• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. wewenang pelaksanaan pemerintahan diserahkan kepada daerah itu sendiri secara

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. wewenang pelaksanaan pemerintahan diserahkan kepada daerah itu sendiri secara"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Dalam menjalankan penyelenggaraan pemerintahan dikenal ada dua pendekatan yang menghubungkan pemerintah pusat dan daerah yaitu pendekatan secara sentralisasi dan pendekatan desentralisasi. Pendekatan sentralisasi merupakan pendekatan dimana segala urusan, tugas, fungsi dan wewenang penyelenggaraan pemerintahan dilakukan oleh pemerintah pusat, sedangkan desentralisasi merupakan pendekatan dimana semua urusan, tugas, fungsi, dan wewenang pelaksanaan pemerintahan diserahkan kepada daerah itu sendiri secara otonom (Yani,2002, 5).

Otonomi daerah umumnya diikuti dengan kebijakan desentralisasi fiskal, sebagai instrumen untuk mendukung daerah dalam pelayanan publik melalui transfer dana ke daerah. Kebijakan Desentralisasi fiskal merupakan salah satu cara ataupun instrumen yang digunakan oleh pemerintah dalam mengelola pembangunan guna mendorong perekonomian daerah maupun nasional (pusat), dengan cara pemberian wewenang belanja dan pengelolaan sumber – sumber pendapatan kepada pemerintah daerah

Kebijakan desentralisasi fiskal sendiri telah diterapkan di berbagai belahan dunia, sebagai contoh, desentralisasi pengambilan kebijakan fiskal dan administrasi publik di negara-negara Amerika Latin, dan reformasi ekonomi dari sentralistik menjadi desentralisasi di negara-negara Asia. Kwon (2003) mengemukakan beberapa argumen mengapa desentralisasi fiskal banyak diadopsi

(2)

oleh negara-negara di dunia karena desentralisasi fiskal diyakini mampu meningkatkan kinerja sektor publik.

Kebijakan desentralisasi fiskal bertujuan untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakatnya, terutama dalam mencapai standar pelayanan minimum. Standar Pelayanan Minimal sebagaimana diatur dalam Pasal 11 ayat (4) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah kedua kalinya dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 merupakan ketentuan tentang jenis dan mutu pelayanan dasar dalam penyediaan kebutuhan dasar masyarakat dan merupakan urusan wajib daerah yang berhak diperoleh setiap warga secara minimal. Hal ini diwujudkan dalam suatu kebijakan yang disebut dengan perimbangan keuangan daerah antara pusat dan daerah (Setiabudi, 2005, 2).

Di Indonesia sendiri, desentralisasi diberlakukan sejak Januari 2001, dengan dikeluarkannya UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No. 25 tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pusat dan Daerah. Kedua peraturan tersebut kemudian disempurnakan oleh UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No. 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pusat dan Daerah. Undang-undang tersebut memiliki dampak bahwa pemerintah kabupaten maupun kota mempunyai andil besar dalam hal mengatur dan mengelola perekonomian serta sumber daya daerahnya sendiri.

Pelaksanaan desentralisasi diharapkan dapat menciptakan pemerataan pembangunan dengan cara memanfaatkan potensi daerahnya masing-masing sebagai sumber pendanaan dalam pembangunan, selain adanya transfer dana dari pemerintah pusat. Pelaksanaan desentralisasi tidak hanya memiliki keuntungan

(3)

dalam pelaksanaan pembangunan, tetapi juga menimbulkan kerugian, diantaranya kerugian finansial yang didapat oleh pemerintah daerah dikarenakan besarnya pengeluaran yang harus ditanggung pemerintah daerah daripada keuntungan yang didapat.

Besarnya pengeluaran ini telah menyebabkan Pemerintah daerah lebih berorientasi dalam peningkatan pendapatan daerah (PAD) sehingga pemerintah daerah akan memperluas sumber pendapatannya melalui pajak dan retribusi yang berakibat dapat menambah beban pajak bagi masyarakat. Hal ini sebagai akibat dari pemberian kewenangan yang lebih besar kepada pemerintah daerah sehingga kurang adanya pengawasan dan intervensi dari pemerintah pusat (Mudrajad, Kuncoro (2004)).

Saat ini, isu pokok bukan pada kewenangan pemerintah daerah untuk meningkatkan dan memperluas sumber pendapatannya. Isu pokok sekarang adalah bagaimana mengarahkan daerah, terutama daerah-daerah terbelakang untuk bisa menggunakan APBDnya secermat mungkin dan berkontribusi pada peningkatan kesejahteraan masyarakat (Hirawan, 2007). Upaya-upaya yang dilakukan pemerintah daerah untuk meningkatkan penerimaan daerah selama ini kurang diikuti upaya untuk meningkatkan pelayanan publik (Halim dkk [2004] dalam Agustino [2005]),

Salah satu pelayanan publik yang menjadi kebutuhan dasar masyarakat adalah bidang kesehatan (Alisjahbana,2000). Penyediaan pelayanan publik yang memadai khususnya bidang kesehatan diharapkan dapat meningkatkan kapasitas modal manusia. Apabila seseorang memiliki tingkat kesehatan yang baik, maka akan menghasilkan tingkat produktivitas yang tinggi dan akan berdampak pada

(4)

peningkatan pendapatan yang diharapkan akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat (Arum Atmawikarta, Investasi Kesehatan Untuk Pembangunan, 2008, Hal.2).

Pentingnya modal manusia ini sudah sangat dipahami oleh para pengambil kebijakan atau salah satunya pemerintah daerah, sehingga wewenang untuk menyediakan layanan dasar dalam mensejahterakan masyarakat pada masa desentralisasi ini merupakan tanggung jawab pemerintah daerah. Kesadaran akan pentingnya sektor kesehatan ini tertuang dalam Undang-Undang No 36 Tahun 2009 Pasal 171 tentang pengalokasian anggaran minimal 10% dari APBD untuk sektor kesehatan.

Ketetapan Undang-Undang No 36 Tahun 2009 tetang alokasi sumber daya fiskal untuk sektor kesehatan telah dilaksanakan oleh sebagian besar pemerintah kabupaten/kota di provinsi Jawa Tengah diantaranya Kabupaten Blora, anggaran untuk kesehatan Kabupaten Blora selama sepuluh tahun terakhir sudah cukup baik menurut UU No 36 Tahun 2009 dengan rata-rata 10,08% dari total APBD, selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 1.2 berikut :

Tabel 1.1

Anggaran APBD Sektor Kesehatan Kabupaten Blora Tahun 2010-2014 (dalam jutaan rupiah dan persen)

Tahun

APBD (Jutaan rupiah)

Alokasi Anggaran Kesehatan (Jutaan rupiah) Persentase (%) 2004 Rp 349.450 Rp 32.088 9,18 2005 Rp 338.252 Rp 26.918 7,96 2006 Rp 484.341 Rp 40.733 8,41 2007 Rp 611.149 Rp 59.872 9,80

(5)

2008 Rp 704.763 Rp 69.373 9,84 2009 Rp 714.065 Rp 73.187 10,25 2010 Rp 770.231 Rp 74.937 9,73 2011 Rp 940.041 Rp 92.511 9,84 2012 Rp1.057.137 Rp 124.462 11,77 2013 Rp1.238.973 Rp 137.788 11,12 2014 Rp1.468.698 Rp 191.272 13,02 Rata-rata Rp 788.827 Rp 83.922 10,08

Sumber : DJPK DEPKEU Laporan Realisasi APBD, diolah

Berdasarkan Tabel 1.1, alokasi anggaran untuk sektor kesehatan di Kabupaten Blora setiap tahunnya meningkat, pada tahun 2005 merupakan alokasi dana paling kecil yang persentasenya hanya sebesar 7,96 % dari total APBD dengan nominal sebesar Rp 26.918 juta, alokasi anggaran terbesar pada tahun 2014 dengan persentase 13,02% dari total APBD yang menunjukkan nominal sebesar Rp 191.271 juta. Untuk rata-rata alokasi anggaran fungsi kesehatan sebesar 10,08 % dengan nominal sebesar Rp 788.827 juta. Peningkatan anggaran kesehatan menunjukkan bahwa pemerintah Kabupaten Blora telah menunjukkan kepeduliannya terhadap sektor kesehatan.

Dengan penganggaran pemerintah untuk sektor kesehatan yang telah sesuai dengan persentase minimal yang ditetapkan UU No 36 Tahun 2009, maka seharusnya diimbangi pula dengan kualitas kesehatan yang terus meningkat di Kabupaten Blora. Peningkatan kualitas kesehatan sangat diperlukan untuk membangun kualitas modal manusia, hal ini sangat dibutuhkan terutama oleh anak-anak sebagai generasi penerus bangsa. Pentingnya kualitas kesehatan bagi

(6)

anak-anak sebagai suatu faktor kunci dalam percepatan pembangunan manusia ini, mendorong suatu deklarasi millenium yang dikenal dengan Millenium development goals (MDGs), yang dalam tujuan MDGs kesehatan bagi anak-anak tertuang dalam tujuan keempat, dari delapan tujuan utama MDGs.

Kualitas kesehatan pada anak dapat pula diukur dengan menggunakan indikator yang telah ditentukan oleh Kementerian Kesehatan RI. Indikator hasil akhir yang dapat digunakan untuk mengukur kualitas bidang kesehatan salah satunya adalah melalui angka kematian bayi. Kematian bayi telah dianggap sebagai indikator yang paling lengkap dari kesehatan dalam masyarakat. Hal ini mencerminkan kesehatan anak dan wanita hamil, selain keadaan perkembangan kesehatan dalam masyarakat. Selain itu, kematian bayi dianggap lebih sensitif pada perubahan kebijakan seperti desentralisasi daripada indikator kesehatan lainnya seperti harapan hidup (Dolores, Rubio. 2011). Penetapan indikator ini didasarkan pada alasan bahwa anak-anak terutama bayi lebih rentan terhadap penyakit dan kondisi hidup yang tidak sehat (Stalker, Peter. 2008). Pencapaian indikator hasil akhir (outcomes) kesehatan yang ditunjukkan dengan angka kematian bayi di Kabupaten Blora dalam lima tahun terakhir dapat dilihat pada gambar dibawah ini.

Gambar 1.1

Jumlah Kematian Bayi Kabupaten Blora Tahun 2010-2014

(7)

Sumber : BPS Kabupaten Blora, data diolah

Berdasarkan diagram 1.1 diatas yang menggambarkan indikator outcomes

bidang kesehatan dicerminkan dengan angka kematian bayi yang fluktuatif, dikarenakan pelayanan kesehatan Kabupaten Blora hanya terpusat di kota, sedangkan di daerah-daerah pedalaman pelayanan kesehatan masih belum terjangkau, sehingga tingkat kematian bayi masih belum terkontrol dengan baik.

Besarnya nilai penganggaran dalam bidang kesehatan di Kabupaten Blora, ternyata tidak diikuti dengan peningkatan kualitas kesehatan. Pada periode 2010-2014 penganggaran alokasi kesehatan pemerintah Kabupaten Blora menunjukkan trend yang meningkat (tabel 1.1), namun pada indikator angka kematian bayi (diagram 1.1) tidak menunjukkan hasil yang baik. Hal ini menunjukkan bahwa kualitas indikator kesehatan di Kabupaten Blora belum menunjukkan peningkatan, sehingga dari data yang ada dapat terlihat bahwa tujuan dari dilaksanakannya desentralisasi untuk menciptakan efisiensi dalam penyediaan pelayanan publik belum dapat terpenuhi. Oleh karena itu itu diperlukan adanya tinjauan empiris untuk mengetahui pengaruh desentralisasi fiskal terhadap kualitas pelayanan publik terutama dalam bidang kesehatan.

0 20 40 60 80 100 120 140 160 180 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011

(8)

Perlunya penelitian empiris untuk membuktikan hubungan antara desentralisasi fiskal dan hasil akhir (outcome) bidang kesehatan ini, telah menarik minat banyak peneliti untuk meneliti hal tersebut. Berbagai penelitian dilaksanakan agar dapat memperoleh bukti secara empiris mengenai pengaruh dari pelaksanaan desentralisasi fiskal terhadap berbagai indikator kesejahteraan. Dari beberapa penelitian terdahulu dapat disimpulkan bahwa pelaksanaan desentralisasi fiskal memberikan dampak positif terhadap indikator kesejahteraan masyarakat terutama bidang kesehatan, diantaranya menumbuhkembangkan pola kemandirian pelayanan kesehatan (termasuk pembiayaan kesehatan) dan pemerataan pembangunan. Namun, ini akan berdampak negatif apabila pada dinas kesehatan tidak mampu membuat program dan kebijakan yang tepat bagi daerahnya, selain itu pengawasan pengelolaan keuangan harus diperhatikan untuk menghindari adanya penyelewengan dana.

Banyak studi yang telah dilakukan untuk mengukur dampak dari pelaksanaan desentralisasi fiskal terhadap outcomes bidang kesehatan. Studi terdahulu tersebut telah dilakukan Rubio, Dolores (2011) dalam penelitian ini variabel outcomes bidang kesehatan adalah angka kematian bayi. Dalam penelitiannya Rubio, Dolores (2011) menggunakan indikator variabel desentralisasi fiskal yang diukur dari pengeluaran kesehatan pada GDP. Kontrol variabel yang digunakan dalam penelitian ini antara lain GDP perkapita, tingkat pendidikan, dan konsumsi alkohol dan tembakau sebagai indikator gaya hidup. Dari hasil penelitiannya Rubio, Dolores (2011) menemukan bahwa pelaksanaan desentralisasi fiskal di berbagai Negara (cross country) dapat menurunkan angka

(9)

kematian bayi, hal ini dapat terjadi hanya jika anggaran yang disiapkan oleh pemerintah mencukupi kebutuhan bidang kesehatan.

Penelitian lain oleh Victoria, Maria dan Vincent (2012), penelitian ini menganalisis dampak desentralisasi fiskal dari pengeluaran kesehatan terhadap angka kematian bayi di Kolombia. Angka kematian bayi untuk 1080 kotamadya selama periode lebih dari 10 tahun (1998-2007) dikaitkan dengan desentralisasi fiskal dengan menggunakan model analisis regresi. Variabel yang digunakan adalah angka kematian bayi, pengeluaran kesehatan daerah, transfer kesehatan dari pemerintah pusat, dan tingkat kemiskinan. Hasil utama penelitian ini menunjukkan bahwa desentralisasi fiskal dapat menurunkan tingkat kematian bayi di Kolombia dan tingkat penurunan lebih tinggi terjadi di kota yang makmur dari pada di kota yang terbelakang, dikarenakan kota yang makmur memiliki anggaran yang lebih mencukupi untuk memenuhi kebutuhan masyarakatnya dibandingkan kota terbelakang.

Penelitian serupa juga dilakukan oleh Gregory, Yinghua dan Tong Zeng (2015), dalam penelitiannya yang berjudul “Fiscal Decentralization and China’s Regional Infant Mortality” menganalisis dampak dari desentralisasi fiskal pada

tingkat angka kematian bayi di China. Kontrol variabel yang digunakan dalam penelitian ini ratio desentralisasi fiskal jumlah dokter per 10.000 orang, tingkat urbanisasi, jumlah rumah sakit, GDP per kapita, dan pengeluaran kesehatan. Hasil penelitian ini mengemukakan bahwa walaupun pertumbuhan ekonomi yang kuat dan desentralisasi fiskal telah menggambarkan ekonomi China lebih dari 30 tahun, di dalam penelitian ini tidak menemukan penurunan konsisten baik angka kematian bayi atau underreporting angka kematian bayi kecuali bahwa

(10)

keseluruhan penurunan angka kematian bayi provinsi terlihat mengurangi

underreporting pada periode sampel.

Atas dasar penelitian diatas, skripsi ini akan menggunakan variabel yang dipakai oleh Rubio, Dolores (2011); Victoria, Maria dan Vincent (2012); dan Gregory, Yinghua dan Tong Zeng (2015) yaitu untuk variabel desentralisasi fiskal dengan menggunakan data ratio derajat desentralisasi fiskal, outcomes bidang kesehatan ditunjukkan dengan angka kematian bayi, variabel lain yang digunakan masing-masing adalah, tingkat kemiskinan, dan rasio kapasitas tempat tidur rumah sakit per 10000 penduduk. Untuk mendapatkan hasil penelitian yang valid, diperlukan data dari tahun ke tahun untuk melihat pengaruh desentralisasi fiskal terhadap angka kematian bayi, hal ini lah yang membuat peneliti memilih periode penelitian dilakukan pada rentang waktu lima belas tahun dimulai tahun 1995 sampai tahun 2014.

Atas dasar uraian tersebut, penelitian ini akan mengambil judul “Analisis Desentralisasi Fiskal, Serta Faktor-Faktor Yang Dapat Mempengaruhi Angka Kematian Bayi di Kabupaten Blora”.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasar latar belakang diatas, beberapa permasalahan yang akan dibahas pada penelitian ini adalah sebagai berikut.

1. Bagaimana pengaruh Desentralisasi Fiskal terhadap Angka Kematian Bayi di Kabupaten Blora ?

2. Bagaimana pengaruh Jumlah Kapasitas Tempat Tidur Rumah Sakit terhadap Angka Kematian Bayi di Kabupaten Blora ?

(11)

3. Bagaimana pengaruh Tingkat Kemiskinan terhadap Angka Kematian Bayi di Kabupaten Blora ?

1.3 Tujuan Penelitian

1. Untuk menganalisis pengaruh Desentralisasi Fiskal, terhadap Angka Kematian Bayi di Kabupaten Blora

2. Untuk menganalisis pengaruh Jumlah Kapasitas Tempat Tidur Rumah Sakit terhadap Angka Kematian Bayi di Kabupaten Blora

3. Untuk menganalisis pengaruh Tingkat Kemiskinan, terhadap Angka Kematian Bayi di Kabupaten Blora

1.4 Manfaat Penelitian

1. Sebagai media pembelajaran bagi penulis untuk dapat membuat penelitian lebih baik lagi kedepannya.

2. Sebagai gambaran kepada Pemerintah Kabupaten Blora bagaimana pengaruh Desentralisasi Fiskal terhadap Angka Kematian Bayi

3. Sebagai bahan masukan dan evaluasi bagi Pemerintahan Kabupaten Blora untuk memperbaiki kebijakan-kebijakan terkait implementasi desentralisasi fiskal terutama pada bidang kesehatan.

4. Sebagai bahan untuk penelitian selanjutnya bagi penulis atau peneliti yang mengambil topik pendapatan asli daerah yang terkait dengan Desentralisasi Fiskal, dan Angka Kematian Bayi.

(12)

1.5 Sistematika Penulisan

Sistem penulisan skripsi ini terdiri dari lima bab, yaitu : BAB I : Pendahuluan

Merupakan Pendahuluan yang berisi tentang uraian latar belakang, masalah penelitian, rumusan masalah penelitian, tujuan dan kegunaan penelitian, serta sistematika penulisan.

BAB II : Tinjauan Pustaka

Merupakan Tinjauan Pustaka yang akan diuraikan landasan teoritis menjelaskan teori-teori yang mendukung perumusan hipotesis, yang didukung dengan penelitian terdahulu. Kerangka pemikiran teoritis menjelaskan permasalahan yang akan diteliti yaitu tentang apa yang seharusnya, sehingga timbul adanya hipotesis.

BAB III : Metode Penelitian

Merupakan metode penelitian, berisi tentang uraian variabel penelitian dan definisi operasional, jenis dan sumber data, serta metode analisis data yang digunakan dalam penelitian.

BAB IV: Hasil dan Pembahasan

Merupakan hasil dan pembahasan, terdiri dari uraian analisis deskriptif dan objek penelitian, analisis data, pengujian hipotesis, dan pembahasan. BAB V : Kesimpulan dan Saran

Merupakan penutup yang memuat simpulan hasil analisis data dan pembahasan, keterbatasan dari penelitian, serta saran-saran yang direkomendasikan kepada pihak-pihak tertentu yang berkaitan dengan tema penelitian ini.

Referensi

Dokumen terkait

[r]

Adapun metode pembelajaran pendidikan Islam secara umum dibagi menjadi tiga macam. Pertama adalah metode lisan, yang berupa dikte, ceramah, qira’ah dan diskusi.. adalah

30 menit sebelum datang ke IGD Rumah Sakit Umum Daerah Ambarawa pasien mengalami kejang, kejang berlangsung selama 5 menit, kejang terjadi di sebagian tubuh pasien yaitu tangan

Temuan penelitian menunjukkan bahwa: (1) gerakan reformasi telah mempengaruhi gagasan konstruksi masyarakat kewargaan; (2) penyusunan karakter masyarakat kewargaan

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan sebelumnya, adapun perumusan masalah dala penelitian ini adalah bagaimana cara merancang iklan komersial untuk tv

Berdasarkan penelitian Safitri, dkk., 2017: 62 dalam sintesis CMC dari selulosa kulit durian, bahwa dalam proses delignifikasi dalam ekstraksi selulosa yang

Hasil analisis menunjukkan bahwa sikap peternak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap pendapatan peternak yang diukur melalui Revenue Cost Ratio , hal ini sesuai

Maksud Paulus bukanlah bahwa pekerjaan sampingan harus dilakukan untuk mendatangkan uang supaya bisa makan dan memenuhi kebutuhan hidup, melainkan dengan mengerjakan