• Tidak ada hasil yang ditemukan

KIPRAH ARKEOLOGI DAN PERAN IAAI KOMDA KALIMANTAN DALAM IMPLEMENTASI KURIKULUM 2013 *)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KIPRAH ARKEOLOGI DAN PERAN IAAI KOMDA KALIMANTAN DALAM IMPLEMENTASI KURIKULUM 2013 *)"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

KIPRAH ARKEOLOGI DAN PERAN IAAI KOMDA KALIMANTAN DALAM

IMPLEMENTASI KURIKULUM 2013

*)

Sunarningsih

Artikel masuk pada 5 Mei 2014

Abstrak. Sebagai insan cendekia yang mempelajari kehidupan masa lalu, arkeolog mempunyai tanggung jawab untuk menyusun dan menyebarkan informasi yang dihasilkan dari kajiannya kepada masyarakat. Beragam cara dapat dilakukan untuk dapat membagi informasi penting tentang kehidupan masa lalu tersebut, antara lain dengan publikasi hasil penelitian dalam bentuk berbagai terbitan (buku dan artikel), pameran, seminar, dan sosialisasi. Masih banyak cara lainnya yang bisa dilakukan oleh seorang arkeolog untuk membagi informasi kepada masyarakat. Dengan menggunakan sebuah organisasi profesi, Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia (IAAI), terutama di Komisariat Daerah (Komda) Kalimantan, diharapkan peran arkeolog di masyarakat, khususnya Kalimantan, lebih dapat dirasakan. Oleh karena itu, dalam makalah ini penulis mencoba untuk membahas peran arkeolog terhadap keberadaan kurikulum 2013, yang mulai diberlakukan pada sekolah (SD, SMP, dan SMA) di Indonesia. Kurikulum pendidikan yang fokus pada pendidikan karakter dirasakan perlu diterapkan seiring dengan perubahan dan tuntutan yang berkembang saat ini. Tulisan ini bersifat deskriptif, pengumpulan data dilakukan dengan cara studi pustaka (buku dan koran), dan observasi terhadap kegiatan pengembangan yang dilakukan oleh institusi penelitian arkeologi di Kalimantan, yaitu Balai Arkeologi Banjarmasin dan kegiatan yang sudah dilakukan oleh IAAI Komda Kalimantan. Hasil penelusuran terhadap sumber tertulis dan observasi tersebut akan dievaluasi dan selanjutnya disusun kegiatan-kegiatan yang dapat dilakukan oleh para arkeolog yang tergabung dalam IAAI (Komda Kalimatan) untuk berperan lebih aktif dalam pelaksanaan kurikulum 2013.

Kata Kunci : arkeologi, budaya, Kalimantan, publikasi, kurikulum, pendidikan

Abstract. The Archaeological Gait dan Role of IAAI (Association of Indonesian Archaeologist) Kalimantan Commissariat Area in The Implementation of 2013 Curriculum. As scholars who study the human past lives, archaeologists have a responsibility to develop and disseminate information from their studies to public. Various ways can be done to share information of how important the past by various publications (books and articles), exhibitions, seminars, and socialization. There is other stragetic to share information, such as by using an archeologist organization, Association of Indonesian Archaeologists (Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia), especially in Kalimantan (Komda Kalimantan), who are expected to role in society. Therefore, in this paper the author tries to discuss the role of archaeologists to the enactment of the 2013 curriculum for schools (elementary, middle, and high school) in Indonesia. Education curriculum that focuses on character education along with the necessity to apply the changes and the growing demands in this moment. This paper is descriptive, data collection was done by means of literature study (books and newspapers), and the observation of the development activities undertaken by the centre of archaeology Banjarmasin (Balai Arkeologi Banjarmasin), and activities have been done by IAAI (Komda Kalimantan). The results on written sources and the observation will be further evaluated and then organized various activities that can be done by archaeologists who are members of the IAAI (Komda Kalimantan) for a more active role in the implementation of the 2013 curriculum.

Keywords: archaeology, culture, Kalimantan, publications, curriculum, education

Artikel direvisi pada 5 Oktober 2014 Artikel selesai disunting pada 10 Oktober 2014 Balai Arkeologi Banjarmasin, Jalan Gotong Royong II, RT 03/06, Banjarbaru 70711, Kalimantan Selatan;

Telepon (0511) 4781716; Facsimile (0511) 4781716; email: asihwasita@yahoo.com

A. Pendahuluan

Arkeologi sebagai sebuah ilmu sudah mendapat perhatian yang cukup baik di Indonesia, yang antara lain dibuktikan dengan adanya

beberapa perguruan tinggi yang memiliki jurusan arkeologi meskipun semua perguruan tinggi tersebut adalah perguruan tinggi negeri milik pemerintah. Selain itu, perhatian juga ditunjukkan

* Makalah ini telah dipresentasikan dalam Diskusi Ilmiah Arkeologi (DIA) Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia Komda Kalimantan pada hari Minggu 21 September 2014 di Banjarbaru, Kalimantan Selatan.

(2)

dengan adanya beberapa kantor pemerintahan di bawah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, baik di pusat maupun di daerah yang mempunyai tugas pokok dan fungsi yang berkaitan dengan arkeologi. Kegiatan penelitian dan pelestarian terhadap hasil budaya masa lalu sudah ditangani oleh pemerintah melalui beberapa lembaga yang sudah dibentuk yang berpusat di Jakarta. Selanjutnya, dibentuk pula unit pelaksana teknis (UPT) di daerah sebagai kepanjangan tangan pusat, yaitu Balai Arkeologi dan Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB). Kiprah masing-masing UPT tersebut sesuai dengan tugas dan fungsinya tentu sudah dilaksanakan dengan baik. Beragam bentuk publikasi untuk menyebarluaskan hasil kegiatan masing-masing sudah sampai ke masyarakat. Namun demikian, masih banyak hal yang belum sempurna dilakukan terutama di wilayah Kalimantan. Kalimantan, sebuah pulau besar yang wilayahnya dimiliki oleh dua negara, yaitu Indonesia dan Malaysia, tergolong tertinggal dalam hal kegiatan arkeologi (penelitian dan pelestarian). Balai Arkeologi Banjarmasin sebagai sebuah institusi penelitian berdiri pada 1993, sedangkan institusi pelestariannya, yaitu Balai Pelestarian Cagar dan Budaya Samarinda baru berdiri pada 2009. Apabila dibandingkan dengan balai arkeologi lainnya, Banjarmasin termasuk masih berusia muda, apalagi BPCB Samarinda (yang dulunya bernama BP3) masih belum lama berkiprah. Dengan keterbatasan tenaga peneliti yang ada di Balai Arkeologi Banjarmasin dan luas wilayah kerjanya, membuat kegiatan penelitian yang dihasilkan belum maksimal. Demikian juga dengan keberadaan IAAI Komda Kalimantan yang keanggotaannya pada awalnya didominasi oleh tenaga arkeolog dari Balai Arkeologi Banjarmasin, tampaknya juga belum bisa berkiprah di masyarakat secara maksimal. Keanggotaan itu sendiri sudah mengalami kemajuan, baik dari jumlah maupun latar belakang keilmuannya. Ada beberapa anggota yang berasal dari museum, dinas kebudayaan, dan masyarakat yang peduli dengan budaya.

Selama ini, IAAI Komda Kalimantan melakukan kegiatan penyebaran informasi melalui kegiatan diskusi ilmiah yang sudah dilakukan empat kali, yaitu pada 2003, 2004, 2006, dan 2007. Hasil dari diskusi dengan tema budaya, diikuti oleh berbagai pihak (tidak hanya anggota IAAI saja), kemudian

artikel yang telah dipresentasikan dicetak menjadi buku. Buku hasil diskusi tersebut disebarluaskan kepada masyarakat melalui beberapa toko buku yang ada di Kalimantan Selatan (Banjarmasin dan Banjarbaru), dan juga dipasarkan lewat beberapa kegiatan yang dilakukan oleh Balai Arkeologi Banjarmasin, misalnya, pameran dan sosialisasi.

Akan tetapi, kegiatan diskusi tampaknya tidak rutin dilakukan setelah tahun 2007. Tidak ada lagi kegiatan untuk masyarakat yang dilakukan oleh IAAI Komda Kalimantan. Kegiatan pengembangan yang ditujukan untuk memasyarakatkan hasil penelitian dan kegiatan arkeologi lainnya hanya dilakukan oleh dua institusi yang memang berkaitan dengan arkeologi, yaitu Balai Arkeologi Banjarmasin dan Balai Pelestarian dan Cagar Budaya Samarinda. Oleh karena itu, penulis akan mencoba untuk menawarkan beberapa kegiatan yang bisa dilakukan oleh IAAI Komda Kalimantan bermanfaat bagi masyarakat. Perubahan kebijakan dan arah pembangunan menjadi bahan pertimbangan untuk mendapatkan kegiatan yang bermanfaat tersebut. Tampaknya diberlakukannya kurikulum yang baru (kurikulum 2013) oleh pemerintah saat ini bisa menjadi salah satu bahan untuk menyusun kegiatan pemasyarakatan arkeologi.

B. Metode Penelitian

Untuk dapat menyusun berbagai kegiatan memasyarakatkan arkeologi dalam kaitannya dengan diberlakukannya kurikulum 2013, maka tulisan ini bersifat deskriptif. Data yang digunakan bersifat primer dan sekunder. Data primer diperoleh dari observasi terhadap beberapa kegiatan pengembangan yang telah dilakukan oleh Balai Arkeologi Banjarmasin, yaitu kegiatan penerbitan, pameran, dan workshop. Adapun data sekunder yang berkaitan dengan kurikulum 2013 dan sumber tulisan lain yang mendukung diperoleh dari kajian pustaka, termasuk di dalamnya adalah surat kabar. Data tersebut selanjutnya dianalisis dan disintesakan untuk dapat menyusun jenis kegiatan pemasyarakatan arkeologi yang bisa dilakukan sesuai dengan pemberlakuan kurikulum 2013.

C. Arkeologi dan Masyarakat

Arkeologi mempelajari kehidupan manusia masa lalu melalui tinggalan materialnya, seperti

(3)

bangunan, peralatan, dan jenis artefak lainnya yang disebut sebagai budaya materi (Renfrew dan Bahn 2012, 12). Budaya materi masa lalu tersebut berasal dari semua periode, baik yang berada pada masa sebelum mengenal tulisan (prasejarah) maupun masa di mana tulisan dikenal (sejarah). Banyak hal yang harus dilakukan oleh seorang arkeolog untuk dapat merangkai kehidupan pada masa lalu tersebut. Oleh karena itu, dalam arkeologi dikenal berbagai metode penelitian sebagai cara untuk mengetahui kehidupan nenek moyang melalui material budayanya. Salah satu metode untuk mengumpulkan data yang hanya dimiliki oleh ilmu arkeologi dan tidak dimiliki oleh ilmu lainnya adalah metode ekskavasi (penggalian).

Tantangan yang utama dari seorang arkeolog adalah keterbatasan data material yang diperoleh selama penelitian. Data yang didapatkan biasanya sudah tidak utuh lagi akibat proses transformasi yang terjadi setelah budaya materi (data arkeologis) tersebut ditinggalkan. Keterbatasan data tersebut disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain karena faktor alam dan faktor manusia. Faktor alam tersebut antara lain adalah perubahan cuaca dan bencana alam, seperti banjir, gunung meletus, gempa bumi. Faktor manusia yang mempengaruhi data material budaya bisa dibagi dalam dua jenis, yaitu yang disengaja dan tidak disengaja. Perbuatan yang disengaja, biasanya terjadi karena nilai ekonomis dari benda arkeologis tersebut, sehingga keinginan untuk memilikinya, baik dengan cara yang dianggap “legal” (penjualan/ pelelangan) maupun ilegal (penjarahan) dari masyarakat sangat besar. Kegiatan yang tidak disengaja dan merusak data arkeologis bisa terjadi karena kurangnya pengetahuan masyarakat akan pentingnya data arkeologis tersebut, baik atas nama pribadi maupun instansional (atas nama pembangunan).

Selanjutnya, ada sebuah pertanyaan yang cukup menarik apa arti pentingnya masa lalu untuk masyarakat, apakah masa lalu itu hanya milik arkeolog saja? Tujuan dari arkeologi untuk mempelajari masa lalu karena percaya bahwa penting setiap orang bisa tahu tentang masa lalunya, darimana mereka datang, dan bagaimana mereka bisa berada di tempat yang sekarang menjadi rumahnya (Renfrew dan Bahn 2012, 535 &

538). Oleh karena itu, arkeologi memang tidak hanya milik arkeolog, tetapi juga milik masyarakat. Masyarakat perlu identitas, baik secara lokal maupun nasional, yang antara lain bisa didapatkan melalui kajian arkeologi melalui budaya material. Di dalam budaya material tersebut terdapat nilai-nilai luhur yang bisa diraih, baik nilai-nilai yang bersifat tangible (teraba) maupun nilai intangible (tidak teraba). Nilai-nilai budaya yang dimiliki oleh suatu bangsa, itulah yang disebut sebagai karakter atau kepribadian. Nilai tersebut sebagai hasil dari proses adaptasi dan interaksi dengan lingkungan dan pengaruh dari luar pada masa lampau, yang kemudian ditambah dengan inovasi dan serapan dari budaya modern (Simanjuntak 2012, 9). Dengan alasan itulah, sangat mendesak arkeolog untuk melakukan komunikasi secara efektif dengan masyarakat yang lebih luas (Renfrew dan Bahn 2012, 538). Dengan harapan masyarakat akan lebih tahu tentang budayanya sendiri dengan mengambil nilai positif di dalamnya (identitas dan jati diri), sehingga muncul rasa ikut memiliki dan menjaga kelestarian warisan budaya yang ada di sekitarnya.

D. Kurikulum 2013

Dalam dunia pendidikan, kurikulum adalah sesuatu yang sangat penting bagi keberhasilan kegiatan belajar mengajar. Kurikulum berasal dari bahasa Yunani, yang menurut UU No. 20 Tahun 2003 tentang pendidikan nasional, disebutkan dalam pasal 1 butir 19, bahwa kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman peyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu.

Sebenarnya, istilah kurikulum sendiri baru digunakan pada 1968 untuk menggantikan istilah Rencana Pembelajaran tahun 1950 (Kurniasih 2014, 3). Selanjutnya, kurikulum pendidikan di Indonesia terus mengalami perubahan, hingga akhirnya muncul kurikulum 2013 sebagai kurikulum terbaru menggantikan kurikulum 2006 (KTSP). Sebenarnya, kurikulum 2013 ini merupakan penyempurnaan kurikulum yang telah dirintis sejak 2004, dan kemudian berubah menjadi kurikulum 2006. Perbedaan antara kurikulum 2013 dengan kurikulum sebelumnya adalah penekanan pada

(4)

E. Arkeologi (IAAI) dan Kurikulum 2013

Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia Komda Kalimantan yang dibentuk pada 2003 hingga saat ini, kiprahnya belum begitu terasa bagi masyarakat terutama yang tinggal di Kalimantan. Selain berusaha untuk menambah jumlah anggotanya, kegiatan yang sudah dilakukan selama ini adalah mengadakan diskusi dan mengikuti kegiatan pertemuan ilmiah yang diadakan oleh pengurus IAAI pusat yang ada di Jakarta. Diskusi Ilmiah Arkeologi (DIA) Komda Kalimantan sudah dilakukan sebanyak empat kali, yaitu pada 2003, 2004, 2006, dan 2007. DIA yang pertama memilih tema sungai dan kehidupan masyarakat di Kalimantan (Kasnowihardjo, dkk 2004), dan hasil artikel para peserta sudah dibukukan. Begitu juga dengan DIA berikutnya, yaitu buku bertema dinamika kearifan lokal masyarakat kompetensi berbasis sikap, ketrampilan, dan

pengetahuan. Oleh karena itu, guru dituntut untuk lebih mampu dalam berpengetahuan dan mencari tahu pengetahuan tersebut sebanyak-banyaknya. Siswa didik harus memiliki tanggungjawab kepada lingkungan, kemampuan interpersonal, antarpersonal, dan memiliki kemampuan berpikir kritis, yang bertujuan untuk membentuk generasi produktif, kreatif, inovatif, dan afektif (Kurniasih 2014, 7)

Peran guru dalam kurikulum 2013 harus memiliki kompetensi (Permendiknas No. 16 tahun 2007), yaitu kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional. Kompetensi yang terakhir, yaitu kompetensi profesional mencakup penguasaan materi kurikulum atau pelajaran, substansi keilmuan yang menaungi materi, dan penguasaan struktur metodologi keilmuannya. Adapun ciri khas dan kekuatan kurikulum 2013 adalah penerapan pendekatan saintifik/ilmiah (Permendikbud no. 65 tahun 2013). Pendekatan saintifik dirancang agar peserta didik secara aktif menyusun konsep, hukum atau prinsip melalui tahapan mengamati, merumuskan masalah, mengajukan/merumuskan hipotesis, mengumpulkan data dengan berbagai teknik, menganalisis data, menarik kesimpulan dan mengkomunikasikan konsep/hukum/prinsip yang ditemukan. Dengan demikian, karakteristik dari pembelajaran dengan metode saintifik berpusat pada siswa, melibatkan keterampilan untuk mengkonstruksi konsep, hukum atau prinsip, melibatkan proses kognitif, khususnya ketrampilan berpikir tingkat tinggi siswa, dan mengembangkan karakter siswa.

Dari uraian di atas tampak jelas bahwa, pendidikan karakter menjadi fokus dalam kurikulum 2013. Karakter yang ingin dikembangkan di SD, SMP, dan SMA berjumlah 18 karakter, yaitu religius, jujur, toleransi, disiplin, kerja keras, kreatif, mandiri, demokratis, rasa ingin tahu, semangat kebangsaan, cinta Tanah Air, menghargai prestasi, bersahabat/komunikatif, cinta damai, gemar membaca, peduli lingkungan, peduli sosial, dan tanggung jawab (Kompas 8 September 2014, 1&5) Adapun model pembelajaran yang dianggap cocok dengan prinsip pendekatan saintifik adalah discovery learning, problem based learning, dan

project based learning (Kurniasih 2014, 64). Pada sistem discovery learning, masalah yang dihadapkan pada siswa adalah rekayasa guru, dan murid diberi kesempatan untuk menjadi seorang problem solver, scientist, historian, atau ahli matematika. Oleh karena itu, dalam sistem pembelajaran ini siswa dan guru sama-sama aktif. Kelemahan dari sistem ini adalah tidak bisa diterapkan pada kelas dengan jumlah siswa yang banyak karena waktu yang dibutuhkan akan sangat banyak sehingga tidak efisien. Metode yang kedua, yaitu problem based learning, menyajikan masalah kontekstual, dengan tujuan untuk mengembangkan kemampuan berpikir secara kritis, mampu memecahkan masalah, dan secara aktif dapat membangun pengetahuan sendiri. Selanjutnya metode yang ketiga, yaitu pembelajaran berbasis proyek yang menggunakan kegiatan sebagai media. Metode ini menggunakan masalah sebagai langkah awal untuk mengumpulkan dan mengintegrasikan pengetahuan baru berdasarkan pengalaman saat beraktifitas secara nyata. Metode yang ketiga ini juga memerlukan waktu yang lama. Tampaknya model kedua, yaitu problem based learning yang paling cocok untuk diterapkan pada pola pembelajaran dengan menggunakan kurikulum 2013, dan menjadi model yang diberikan kepada guru dalam kegiatan diklat (Radar Banjarmasin 14 September 2014, 11).

(5)

Kalimantan (Hartatik, dkk. 2005), dan buku bertema arkeologi dan sumber daya budaya di Kalimantan, masalah dan apresiasi (Ahimsa-Putra 2011). Buku tersebut selanjutnya dijual kepada masyarakat melalui toko buku baik yang berskala nasional, yaitu Gramedia dan juga beberapa toko buku lokal di Banjarbaru (Kalimantan Selatan). Sejak diadakannya DIA pada 2006, kegiatan diskusi ini berhenti sehingga tidak ada lagi buku yang diterbitkan oleh IAAI Komda Kalimantan.

Kontribusi yang diberikan kepada masyarakat oleh organisasi profesi IAAI memang lebih banyak difasilitasi oleh Balai Arkeologi Banjarmasin, termasuk modal awal untuk dapat menebitkan artikel hasil diskusi menjadi sebuah buku. Sebenarnya masih banyak kegiatan yang bisa dilakukan oleh IAAI sebagai bentuk partisipasi dalam penyebaran informasi ke masyarakat. Akan tetapi, hal tersebut belum dilakukan karena keterbatasan yang dimiliki. Kesibukan masing-masing anggota yang sebagian besar masih aktif bertugas menjadi salah satu kendala. Meskipun demikian, seharusnya organisasi ini tetap bisa eksis di masyarakat Kalimantan, dan bisa memberi peran yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat secara langsung.

Berdasarkan dari hasil pengamatan terhadap kegiatan penelitian dan pengembangan yang dilakukan oleh Balai Arkeologi Banjarmasin selama ini, dapat diketahui bahwa ternyata masih banyak informasi yang belum sampai kepada mereka. Sebagai sarana untuk memasyarakatkan hasil penelitian yang telah dilakukan, Balai Arkeologi Banjarmasin telah memiliki dua buah terbitan berkala, yaitu Naditira Widya dan Berita Penelitian Arkeologi. Kedua terbitan tersebut secara rutin disebarkan ke sekolah (Sekolah Menengah Atas di seluruh Kalimantan), perguruan tinggi di Indonesia (yang mempunyai jurusan Sejarah dan Arkeologi), dan instansi yang terkait dengan kegiatan kebudayaan. Adapun kegiatan pengembangan yang dilakukan, yaitu antara lain sosialisasi sumberdaya budaya, pameran arkeologi, dan workshop arkeologi lebih ditujukan kepada upaya untuk meningkatkan apresiasi terhadap sumberdaya budaya kepada masyarakat di Kalimantan. Dalam kegiatan pengembangan yang rutin dilakukan oleh Balai Arkeologi Banjarmasin

setiap tahunnya tersebut banyak menemukan permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat, terutama keinginan mendapatkan informasi tentang pengetahuan kehidupan masa lalu, terutama di Kalimantan yang belum sepenuhnya terpenuhi. Antusiasme peserta kegiatan juga sangat menggembirakan, tampak sekali bahwa penghargaan masyarakat terhadap dunia arkeologi cukup tinggi.

Kegiatan sosialisasi sumberdaya budaya, dilakukan secara berpindah-pindah (antarkabupaten) dengan peserta para stakeholder di kabupaten setempat. Biasanya materi yang dibicarakan adalah informasi tentang sumberdaya budaya di daerah setempat dan cara melestarikannya sesuai dengan UU Cagar Budaya yang baru (UU No. 11 Tahun 2010). Dari beberapa kali sosialisasi yang dilakukan, masyarakat cukup antusias dan dirasakan cukup berhasil. Paling tidak ada perhatian dari dinas terkait untuk menindaklanjutinya, yang diwujudkan antara lain dengan adanya permintaan kepada Balai Arkeologi Banjarmasin dalam bentuk kolaborasi penelitian arkeologi.

Kegiatan pameran arkeologi yang dilakukan secara rutin oleh Balai Arkeologi terdiri atas dua macam kegiatan, yaitu pameran keliling di seluruh Kalimantan dan pameran tetap dalam kegiatan Kalimatan Selatan Expo. Bahan pameran yang disajikan disesuaikan dengan tempat pelaksanaan kegiatan, yaitu hasil penelitian Balai Arkeologi Banjarmasin. Pameran keliling dilakukan di pusat perbelanjaan (mall) dengan pertimbangan jumlah pengunjung akan banyak, karena perilaku masyarakat saat ini yang suka berkunjung ke mall sebagai salah satu tujuan untuk mencari hiburan selain berbelanja. Pameran tetap dipilih pada Kalimatan Selatan Expo dengan pertimbangan lokasi kantor yang berada di Banjarbaru menjadi dorongan tersendiri untuk secara rutin menampilkan hasil penelitan yang terbaru. Antusiasme pengunjung pameran arkeologi sangat menggembirakan. Salah satu pameran yang sangat mengesankan adalah pameran keliling yang dilakukan di sebuah pusat perbelanjaan kecil di Kabupaten Hulu Sungai Utara dengan ibukotanya Amuntai. Undangan yang disebarkan ke sekolah baik SMP maupun SMA mendapat tanggapan yang

(6)

sangat baik. Kelihatan sekali bahwa guru di kabupaten ini mempunyai perhatian dan sangat membutuhkan informasi terutama sejarah lokal di Provinsi Kalimantan Selatan. Dari hasil wawancara dengan para guru, bisa diketahui bahwa pelajaran sejarah yang diberikan selama ini belum mencakup informasi sejarah lokal. Hal tersebut nampak ketika terjadi pemaparan materi pameran kepada siswa (sebelum mulai melihat materi pameran), pertanyaan mendasar tentang sejarah lokal, baik dari masa prasejarah maupun sejarah (Klasik, Islam, Kolonial) banyak yang tidak bisa menjawab. Kegiatan workshop arkeologi, ditujukan untuk memberi pengetahuan kepada siswa dan guru SMA tentang cara kerja seorang peneliti arkeologi. Peserta diberi pengetahuan dasar ilmu arkeologi, metode penelitian dan praktek langsung bagaimana arkeolog mendapatkan data, yaitu dengan metode survei dan ekskavasi. Kegiatan workshop berlangsung selama tujuh hari, dan sudah lima kali kegiatan ini dilakukan oleh Balai Arkeologi Banjarmasin, empat kali di situs Benteng Tabanio

dan satu kali dilakukan di situs Jambu Hulu. Siswa dan guru diajak untuk berpikir secara kritis dan sistematis untuk memecahkan permasalahan di lapangan, selanjutnya belajar untuk membuat laporan kegiatan dan hasilnya. Pengetahuan akan keberadaan situs tempat kegiatan, yang harus dilindungi, juga menambah pengetahuan mereka akan sejarah lokal. Cara belajar yang ditawarkan dalam kegiatan ini ternyata sangat sesuai dengan kurikulum pendidikan yang baru, yaitu kurikulum 2013. Hasil wawancara dengan para pengajar dapat diketahui bahwa selama ini mereka merasa kesulitan untuk memperoleh bahan ajar sejarah lokal bagi anak didik. Pelajaran sejarah dari buku sekolah lebih banyak berisi tentang sejarah nasional (lebih banyak membahas wilayah Jawa)

Kegiatan pengembangan yang dilakukan oleh Balai Arkeologi Banjarmasin di atas memberi petunjuk bahwa sebenarnya masih banyak informasi hasil penelitian arkeologi yang belum sampai kepada masyarakat terutama siswa sekolah. Cara menyebarkan informasi yang dilakukan belum maksimal. Untuk dapat menyentuh ranah pendidikan sekolah akan lebih baik apabila arkeologi ikut andil dalam penerapan kurikulum 2013, terutama pada penyediaan bahan ajar sejarah

lokal. Pemanfaatan hasil penelitian ke dalam bahan ajar tersebut dapat menjadi salah satu kegiatan yang lebih tepat diampu oleh organisasi profesi IAAI, terutama Komda Kalimantan.

Dari hasil penelusuran tentang penerapan kurikulum 2013 dari media masa (surat kabar harian), dapat diketahui ada lima permasalahan yang dihadapi oleh sekolah, berdasarkan hasil kajian oleh Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGD) terhadap 142 sekolah di 21 provinsi dan 46 kabupaten/kota, yaitu pendistribusian buku, penggunaan dana bantuan operasional sekolah, isi buku, percetakan, dan pelatihan guru (Kompas 11 September 2014, 11). Kurikulum 2013 memang berfokus tidak hanya pada keaktifan siswa didik, tetapi juga pada kemampuan guru. Guru dituntut untuk proaktif dalam pola pembelajaran dan lebih kreatif dalam pembuatan soal. Pelatihan terhadap guru ternyata belum dilakukan secara merata, dengan kata lain belum semua guru menguasai pola pembelajaran dengan kurikulum 2013 secara tepat.

Dalam hal ini, keberadaan IAAI Komda Kalimantan dengan anggotanya yang banyak berkecimpung di dalam kegiatan penelitian tidak hanya dapat membagi hasil penelitiannya sebagai sumber sejarah lokal kepada para guru, tetapi juga bisa membagi keahliannya dalam melakukan penelitian. Komunikasi yang baik dengan forum guru mata pelajaran sejarah harus dijalin dengan harapan transfer ilmu tersebut bisa terealisasi.

Oleh karena itu, dianggap perlu untuk membuat terobosan baru agar keberadaan IAAI Komda Kalimantan lebih dapat memberi manfaaat kepada masyarakat. IAAI harus secara aktif menjemput bola

dengan memberi pelayanan kepada stakeholder,

dalam hal ini siswa sekolah dan para guru untuk menyediakan bahan ajar sejarah lokal dan konsultasi lain yang diperlukan. Pelayanan antara lain bisa dilakukan secara langsung maupun tidak langsung. Pelayanan secara langsung antara lain dengan melakukan kunjungan ke sekolah untuk memberikan informasi (sejarah lokal) sumberdaya budaya yang diperlukan. Pelayanan secara tidak langsung, antara lain bisa menggunakan fasilitas

website, informasi tentang sejarah lokal yang bisa

diunduh oleh masyarakat, dan dibuka kontak dengan pembaca untuk dapat melakukan konsultasi.

(7)

F. Penutup

Kurikulum 2013 diterapkan karena tuntutan jaman yang semakin maju, sehingga siswa dituntut untuk lebih memiliki karakter yang baik dan tangguh. Meskipun demikian, ternyata masih muncul kendala dalam pelaksanaannya. Sebagai salah satu organisasi profesi yang berkecimpung dalam kegiatan arkeologi, IAAI (khususnya Komda Kalimantan) sudah selayaknya ikut aktif untuk membantu program pemerintah tersebut. Pembuatan bahan ajar sejarah lokal dapat menjadi salah satu bahan guru di Kalimantan untuk disampaikan kepada anak didik. Dalam sejarah lokal tersebut banyak sekali pendidikan karakter

Referensi

Ahimsa-Putra, Heddy Shri. 2011. Arkeologi dan

sumber daya budaya di Kalimantan:

masalah dan apresiasi. Banjarbaru: Ikatan

Ahli Arkeologi Indonesia Komda Kalimantan.

Anonim. 2014. Kurikulum 2013 pendidikan karakter

tak mudah diajarkan. Kompas. 8

September, 1 dan 5.

_______. 2014. 5 Masalah utama Kurikulum 2013.

Kompas. 11 September, 11.

_______. 2014. Peer teaching model pembelajaran

problem base learning 4 core. Radar

Banjarmasin. 14 September, 11.

Hartatik, dkk. 2005. Dinamika kerifan lokal

masyarakat Kalimantan. Banjarbaru: Ikatan

Ahli Arkeologi Indonesia Komda Kalimantan.

Kasnowihardjo, Gunadi. 2004. Sungai dan

kehidupan masyarakat di Kalimantan.

Banjarbaru: Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia Komda Kalimantan.

Kurniasih, Imas dan Berlin Sani.2014. Sukses

mengimplementasikan kurikulum 2013.

Jakarta: Kata Pena.

Pemerintah Republik Indonesia. 2003.

Undang-undang nomor 20 Tahun 2003 tentang Pendidikan Nasional.

Pemerintah Republik Indonesia. 2007. Peraturan

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan nomor 16 Tahun 2007 tentang Kompetensi Guru.

Pemerintah Republik Indonesia. 2013. Peraturan

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan nomor 65 Tahun 2013 tentang Penerapan Pendekatan Saintifik/Ilmiah.

Renfrew, Colin dan Paul Bahn. 2012. Archaeology

theories, methods, and pratice, edisi ke-6.

London: Thames and Hudson Ltd. Simanjuntak, Truman. 2012. “Arkeologi dan

pembanguan karakter bangsa” dalam

Arkeologi untuk publik, 7-14Jakarta: Ikatan

Ahli Arkeologi Indonesia.

yang bisa diberikan kepada anak didik. Bahan ajar (sejarah lokal) yang disediakan harus disesuaikan dengan kebutuhan anak sesuai dengan jenjang pendidikannya (SD, SMP, dan SMA). Selain itu, cara kerja arkeolog dalam kegiatan penelitian bisa menjadi salah satu model pembelajaran yang

sesuai dengan kurikulum 2013 (problem based

learning), dengan modifikasi untuk mempersingkat

jumlah waktu kegiatan. Keberadaan website

menjadi sangat penting untuk menyebarkan informasi sekaligus media untuk berkomunikasi, sehingga konsultasi dan kebutuhan yang diperlukan

oleh stakeholder (tidak hanya siswa dan guru, juga

masyarakat lain) tentang informasi sumberdaya arkeologi dapat dipenuhi.

(8)

Referensi

Dokumen terkait

Namun demikian saat ini kondisi Tanjung Pallette memiliki nasib yang serupa dengan objek wisata lainnya, bukan hanya Kabupaten Bone tapi seluruh daerah di

Dengan resistansi gangguan sebesar 5 ohm besar tegangan dip yang terjadi pada jaringan distribusi 3 fasa BSB-4 20 kV akibat gangguan fasa ke tanah di sepanjang saluran

Aksara Jawa adalah aset yang otentik sebagai citra diri di persaingan global, Selama ini pemerintah kota Surakarta sudah memperkenalkan Aksara Jawa secara

Sebagaimana yang telah dijelaskan dalam resital 34 bahwa penyelidikan perpanjangan Safeguard berfokus pada keadaan apakah pengenaan BMTP masih diperlukan

Yogyakarta ……… L 20 Lampiran 21 Packet Sent (packets) Kontributor Bandung ke Enterprise Network L 21 Lampiran 22 Packet Sent (packets) Kontributor Semarang ke Enterprise Network

(3) Ekstrakurikuler pilihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b merupakan kegiatan Ekstrakurikuler yang dapat dikembangkan dan diselenggarakan oleh Satuan

Pengujian hipotesis dilakukan dengan menggunakan uji t digunakan untuk menguji koefisien regresi secara individual (persial) yakni dengan melihat pengaruh dari

Yang berarti setiap entitas pada himpunan entitas A dapat berhubungan dengan banyak entitas pada himpunan entitas B, tetapi tidak sebaliknya, dimana setiap