• Tidak ada hasil yang ditemukan

UJI EFEKTIVITAS IRADIASI GAMMA LAJU DOSIS TINGGI DALAM MELEMAHKAN PARASIT Plasmodium berghei MELALUI INKORPORASI [³H]- HIPOKSANTIN PADA MENCIT - e-Repository BATAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "UJI EFEKTIVITAS IRADIASI GAMMA LAJU DOSIS TINGGI DALAM MELEMAHKAN PARASIT Plasmodium berghei MELALUI INKORPORASI [³H]- HIPOKSANTIN PADA MENCIT - e-Repository BATAN"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

PTKMR-BATAN, Universitas Indonesia, KEMENKES-RI, Universitas Pakuan 118

UJI EFEKTIVITAS IRADIASI GAMMA LAJU DOSIS TINGGI DALAM

MELEMAHKAN PARASIT Plasmodium berghei MELALUI INKORPORASI

[³H]-HIPOKSANTIN PADA MENCIT

M. Rezky Zakiri1, Dewi Elfidasari1, Teja Kisnanto2, Mukh Syaifudin2

1

Program Studi Biologi (Bioteknologi) Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Al Azhar Indonesia, Jl. Sisingamangaraja Jakarta Pusat

2

Pusat Teknologi Keselamatan dan Metrologi Radiasi, Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN), Jl. Lebakbulus Raya No. 49 Jakarta Selatan

ABSTRAK

UJI EFEKTIVITAS IRADIASI GAMMA LAJU DOSIS TINGGI DALAM MELEMAHKAN PARASIT Plasmodium berghei MELALUI INKORPORASI [³H]-HIPOKSANTIN PADA MENCIT. Indonesia termasuk negara endemis malaria. Pemerintah telah mencanangkan program pemberatasan penyakit mematikan ini antara lain melalui pengembangan vaksin. Vaksin untuk protozoa pada umumnya adalah vaksin aktif yang dapat dibuat dengan radiasi sinar gamma untuk melemahkan mikroorganisme target. Efektivitas sinar gamma dalam melemahkan parasit pada umumnya diketahui dengan cara mikroskopis, akan tetapi cara ini memiliki kelemahan sehingga dikembangkan uji viabilitas melalui inkorporasi hipoksantin berlabel tritium. Darah mencit terinfeksi parasit P. berghei (106 – 107 parasit/ml) yang telah diiradiasi gamma dosis 0 Gy, 150, 175, 200 dan 250 Gy pada laju dosis 740 Gy/jam masing-masing dicampur dengan 2 µCi [³H]-hipoksantin dan diinokulasikan secara intraperitoneal pada masing-masing kelompok mencit. Dua hari kemudian dilakukan pengambilan sampel darah dari ekor dan dibuat apusan darah tipis untuk pengamatan mikroskopis, dan sebagian yang lain (10 µl) untuk uji viabilitas berbasis inkorporasi hipoksantin dengan mencacah menggunakan Liquid Scintillation Counter (LSC). Diketahui dosis 175 Gy merupakan dosis optimal dalam melemahkan parasit berdasarkan nilai aktivitas tritium. Hasil pengamatan mikroskopis juga mendukung hal tersebut.

Kata kunci: malaria, vaksinasi, iradiasi gamma, inkorporasi [³H]-hipoksantin ABSTRACT

TEST ON THE EFFECTIVENESS OF GAMMA IRRADIATION AT HIGH DOSE RATE IN ATTENUATING Plasmodium berghei PARASITES BASED ON INCORPORATION OF [3H] HYPOXANTHINE IN MOUSE. Indonesia is a malaria endemic country. The government is intended to pursue the elimination program of this deadly disease through development of vaccine. Vaccine for protozoa in general is active vaccine that can be created by using gamma rays to attenuate microorganisms as target. Effectivity of gamma rays in attenuating parasit can be obtained through microscipic observation, however this technique has a weakness so viability test based on tritium labeled hypoxantine incorporation was developed. Mouse blood infected with P. berghei (106– 107 parasites/ml) that already irradiated with gamma rays at dosies of 0 Gy, 150, 175, 200 and 250 Gy at dose rate of 740 Gy/hour was each mixed with 2 µCi of [³H]-hipoxantine and then were inoculated intraperitoneally to each group of mice. Two days later blood samples from tail of mouse were taken and thin blood smear were made for microscopic observation, and other part of blood (10 µl) for viability assessment based on the hypoxantine incorporation by counting with Liquid Scintillation Counter (LSC). It was known that dose of 175 Gy was the optimal dose to attenuate parasit based on value of tritium activity. Result of microscopic observation also support this case.

Keyword: malaria, vaccination, gamma irradiation, incorporation of [³H]-hipoxantine

I. PENDAHULUAN

Malaria merupakan penyakit mematikan

dan menjadi permasalahan kesehatan utama di

dunia. Jumlah kasus malaria di Indonesia

termasuk ke dalam kategori tinggi, terutama di

Indonesia bagian timur [1]. Berdasarkan data

Riset Kesehatan Dasar menunjukkan bahwa

pada tahun 2011 terdapat 374 kabupaten

endemis malaria di Indonesia dengan jumlah

(2)

PTKMR-BATAN, Universitas Indonesia, KEMENKES-RI, Universitas Pakuan 119

diakibatkan oleh infeksi parasit. Plasmodium

yang menginfeksi manusia memiliki kemiripan

secara morfologi, genetik, dan siklus hidup

dengan plasmodium yang menginfeksi hewan

seperti rodensia [3]. Oleh karena itu penelitian

mengenai aspek parasitologi dan imunologi

termasuk pengembangan vaksin malaria banyak

dilakukan dengan menggunakan hewan model

rodensia dan mencit [4].

Penyebaran penyakit malaria dapat

dikendalikan melalui beberapa cara, antara lain

pengendalian dengan vaksinasi yang dilakukan

dengan melemahkan parasit melalui iradiasi

gamma. Vaksin aktif pada umumnya digunakan

pada penyakit yang disebabkan oleh protozoa,

seperti parasit malaria. Pembuatan vaksin aktif

dapat dilakukan dengan memanfaatkan sinar

gamma untuk melemahkan organisme target [5].

Teknik ini lebih efektif melemahkan parasit

sehingga meningkatkan respon imun

dibandingkan dengan teknik konvensional

seperti pemanasan dan kimia. Iradiasi gamma

parasit dapat menghasilkan immunogen yang

mampu memproduksi antibodi untuk menahan

serangan infeksi parasit malaria [6].

Dosis iradiasi merupakan faktor yang

mempengaruhi daya pelemahan parasit. Hasil

penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa

dosis iradiasi gamma 75 sampai 125 Gy belum

dapat melemahkan parasit, sedangkan dosis 150

hingga dosis 175 merupakan dosis optimal

untuk melemahkan parasit P. berghei pada laju

dosis 380 Gy/jam [7]. Namun demikian belum

diketahui informasi terkait dosis iradiasi gamma

yang efektif dalam melemahkan parasit (P.

berghei) melalui inkorporasi [³H] Hipoksantin

pada mencit pasca iradiasi dengan laju dosis

lebih tinggi (740 Gy/jam).

Metode kultur Plasmodium terus

dikembangkan untuk studi kemoterapi dan

imunologi antara lain dengan menggunakan

hipoksantin [8]. Hipoksantin merupakan

senyawa biologis yang termasuk ke dalam

golongan purin dan berperan sebagai penyusun

basa pada nukleotida inosin monofosfat (IMP).

IMP merupakan intermediate awal dalam

sintesis purin. Sintesis IMP akan membentuk

adenosin monofosfat (AMP) dan guanosin

monofosfat (GMP) [9]. AMP berperan dalam

pelepasan energi untuk digunakan oleh sel [10].

Dengan demikian [³H]-Hipoksantin dapat

dijadikan sebagai cara uji viabilitas parasit

karena hipoksantin memiliki peranan penting

dalam biosintesis nukleotida plasmodium.

Tujuan penelitian adalah menguji

efektivitas iradiasi gamma dalam melemahkan

parasit P. berghei pada hewan model mencit

melalui uji inkorporasi hipoksantin pada mencit

sebagai uji praklinis pengembangan vaksin

malaria.

II. BAHAN DAN METODE

Sekelompok mencit Swiss Webster (15 ekor)

berumur kurang lebih 2 bulan dibagi ke dalam 5

kelompok, masing-masing terdiri dari 3 mencit,

dipelihara dalam kandang plastik dengan tutup

kawat dan alas kandang berupa serutan sekam

kayu dan diberikan makanan pelet dan minuman

ad libitum. Darah terinfeksi parasit P. berghei

(3)

PTKMR-BATAN, Universitas Indonesia, KEMENKES-RI, Universitas Pakuan 120

gamma pada dosis 0 Gy, 150, 175, 200 dan 250

Gy menggunakan Irradiator Gamma Cell 220

(IRPASENA) dari sumber Co-60 dengan laju

dosis iradiasi 740 Gy/jam.

Masing-masing darah yang telah

diiradiasi tersebut selanjutnya dicampurkan

dengan 2 µCi [³H]-Hipoksantin (Amersham) dan

kemudian diinokulasikan secara intraperitoneal

(IP) pada masing-masing kelompok mencit.

Dua hari kemudian dilakukan pengambilan

sampel darah dari ekor dan dibuat apusan darah

tipis untuk pengamatan mikroskopis, dan

sebagian yang lain (10 µl) dicampurkan dengan

3 ml air dalam tabung scintilasi dan

ditambahkan 12 ml larutan scintilasi (Perkin

Elmer). Untuk pengamatan mikroskopis

dihitung jumlah sel eritrosit yang terinfeksi

parastit dari sejumlah 2000 sel eritrosit total.

Untuk uji viabilitas berbasis inkorporasi

hipoksantin, campuran dicacah menggunakan

Liquid Scintillation Counter (LSC) selama 1

jam. Pengambilan sampel ini diulangi setiap 2-3

hari sekali hingga 22 hari pasca inokulasi.

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

Pengujian efek iradiasi

Dalam penelitian ini, aktvitas tritium

digunakan untuk mengetahui viabilitas parasit

pasca iradiasi gamma. Viabilitas parasit di

dalam sel darah sangat penting dalam

pengembangan vaksin aktif yang dilemahkan

dengan sinar gamma [11]. [³H]-Hipoksantin

menjadi cara uji viabilitas parasit yang dianggap

akurat karena hipoksantin memiliki peranan

penting dalam biosintesis nukleotida

Plasmodium yang terkait dengan perkembang

biakan sel.

Gambar 1. Kurva aktivitas tritium pada hari-hari pasca penyuntikan

Hasil perhitungan aktivitas tritium

menunjukkan bahwa pertumbuhan parasit yang

diiradiasi 0 Gy mulai terjadi pada hari ke 12,

kemudian menurun dan berfluktuasi dari hari ke

14 hingga hari ke 22. Pada dosis iradiasi 150

Gy, viabilitas parasit teramati pada hari ke 4 dan

16. Nilai aktivitas tritium pada dosis 150 Gy

sangat berbeda dengan dosis 0 Gy yang

diakibatkan dosis radiasi yang optimum dapat

merusak DNA parasit dan menyebabkan

mikroorganisme tidak dapat melakukan replikasi

sehingga tidak menimbulkan infeksi. Virulensi

parasit salah satunya ditentukan oleh daya

multiplikasi parasit dan daya invasi parasit [12].

Infeksi parasit yang telah dilemahkan tersebut

dapat dieliminasi oleh respon imun yang muncul

sebagai respon imun terhadap infeksi. Proses

patologi parasit sangat dipengaruhi oleh siklus

(4)

PTKMR-BATAN, Universitas Indonesia, KEMENKES-RI, Universitas Pakuan 121

parasit akan terus meningkat hingga inang mati

atau mengaktifkan sistem imun untuk melawan

parasit [13].

Hasil uji aktivitas tritium menunjukkan

bahwa laju dosis juga mempengaruhi

pertumbuhan parasit. Resistensi melawan infeksi

malaria pada mencit berbanding lurus dengan

besar dosis iradiasi dan jumlah dosis imunisasi

sehingga laju dosis 740 Gy/jam merupakan laju

dosis yang cukup tinggi bagi parasit, sehingga

pertumbuhan parasit tidak maksimal [14].

Penentuan viabilitas parasit melalui

penentuan nilai aktivitas tritium pada dosis

iradiasi 175 Gy hanya muncul pada hari ke 4.

Laju dosis yang tinggi mengakibatkan parasit

menjadi sangat lemah dan bahkan mati. Iradiasi

gamma dosis 200 dan 250 tidak menunjukkan

adanya nilai aktivitas tritium yang menandakan

kematian parasit. Tidak adanya nilai aktivitas

tritium pada sampel membuktikan bahwa parasit

tidak dapat bertahan hidup pasca iradiasi dosis

200 dan 250 Gy. Berdasarkan hasil nilai

aktivitas tritium dapat disimpulkan bahwa dosis

175 Gy pada laju dosis 740 Gy/jam merupakan

dosis optimal dalam melemahkan P. berghei.

Aktivitas tritium pada dosis 175 Gy masih dapat

terlihat pada hari ke 16 dan kemudian menurun

dan tidak muncul kembali hingga hari ke 24.

Hasil pada dosis 150 Gy dapat digunakan

sebagai dosis optimal pembuatan vaksin karena

iradiasi dapat merusak DNA, membuat mikroba

tidak dapat bereplikasi sehingga menurunkan

daya infeksi patogen tersebut [15].

Hasil pengamatan mikroskopis

menunjukkan bahwa tidak terdeteksi adanya

parasit atau jumlahnya sangat rendah pada

pengamatan apusan darah tipis terutama untuk

parasit diiradiasi 175 Gy (Gambar 2). Untuk

semua dosis iradiasi, terutama 200 dan 250 Gy

pada laju dosis tinggi ternyata mematikan

parasit seblum disuntikkan ke tubuh mencit.

Gambar 2. Tampilan mikroskopis apusan

darah tipis pasca iradiasi gamma dosis 175

Gy pada hari ke 18 (tidak teramati adanya

parasit atau parasitemia sangat rendah).

Pada penelitian ini radiasi gamma

digunakan untuk melemahkan parasit sebagai

bahan vaksin. Pada dasarnya radiasi secara

teknik merupakan proses sederhana yang

mempertahankan sifat struktural

mikroorganisme patogen tanpa menghancurkan

antigen alamiah. Oleh karena itu suatu respon

imun yang kuat dapat terbentuk pada inang yang

diberi vaksin. Radiasi memiliki ciri khusus

karena memiliki kemampuan untuk melakukan

penetrasi sel, jaringan dan memberikan energi

pada benda yang terpapar olehnya dalam bentuk

ionisasi [16].

Paparan radiasi dapat menimbulkan efek

(5)

PTKMR-BATAN, Universitas Indonesia, KEMENKES-RI, Universitas Pakuan 122

yakni kerusakan DNA dan menyebabkan

mikroorganisme tidak dapat melakukan replikasi

sehingga tidak menimbulkan infeksi. Hilangnya

kemampuan infektif parasit memungkinkan

untuk mendapatkan bahan untuk pembuatan

vaksin. Terdapat beberapa faktor yang dapat

mempengaruhi proses perolehan bahan tidak

aktif dari mikroorganisme ini, seperti jenis

radiasi, dosis dan laju dosis radiasi itu sendiri

[17].

Viabilitas parasit merupakan hal sangat

penting dalam pengembangan vaksin

life-attenuated dengan sinar gamma [11]. Hal ini

meliputi pengamatan invasi terhadap sel darah

merah dan untuk mengetahui tahapan

perkembangan parasit secara in vitro maupun in

vivo dapat digunakan suatu senyawa berlabel

isotop [18]. Perkembangan sistem kultur in vitro

P. falciparum pun telah berlangsung cepat

terutama untuk uji obat anti malaria [19]. Uji

tradisional ini biasanya meliputi inkubasi

eritrosit terinfeksi selama waktu tertentu dengan

perlakuan obat. Selanjutnya senyawa bertanda

seperti hipoksantin ditambahkan dan diinkubasi

kembali selama 24 jam. Inkorporasi dari

radioaktivitas ke dalam biopolimer parasit

digunakan sebagai indeks proliferasi sel.

Keunggulan uji in vitro ini adalah kemudahan

dan sensitivitasnya [20]. Sedangkan untuk

pengembangan vaksin masih belum banyak

dilakukan.

IV. KESIMPULAN

Laju dosis iradiasi 740 Gy/jam

mempengaruhi kemampuan parasit untuk

bertahan hidup sehingga dosis optimal dalam

melemahkan parasit sulit diketahui. Akan tetapi

berdasarkan hasil uji inkorporasi hipoksantin

dan pengamatan mikroskopis, diketahui dosis

175 Gy merupakan dosis optimal dalam

melemahkan parasit.

DAFTAR PUSTAKA

1. HISWANI, Gambaran penyakit dan vektor

malaria di Indonesia. Sumatera Utara :

Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas

Sumatera Utara, 2004.

2. ANONIMUS. Estimasi Nasional Infeksi

HIV pada Orang Dewasa Indonesia Tahun

2002, Departemen Kesehatan RI, Jakarta,

2002.

3. WARDIARTO, Parasitologi Biologi Parasit

Hewan, Gajah Mada University Press,

Jogyakarta, (1989).

4. DARLINA dan TETRIANA D. 2006.

Pengaruh irradiasi gamma pada

Plasmodium berghei terhadap daya tahan

mencit. [PTKMR-BATAN].

http://www.batan.go.id/ptkmr/Biomedika/P

ublikasi%202006/Devita-2006(Kode%20II.Kl2.2.06).pdf [21 Juli

2012]

5. ANONYMOUS, Parasite control, Nature

reviews/immunology. Nature publishing

(6)

PTKMR-BATAN, Universitas Indonesia, KEMENKES-RI, Universitas Pakuan 123

6. HOFFMAN S.L., GOH, M.L., LUKE,

T.C., Protection of humans against malaria

by immunization with radiation-attenuated

Plasmodium falciparum sporozoites.

Journal of Infectious Diseases 185:1155–

1164, 2002.

7. DARLINA, TETRIANA, D., Studi awal

pengembangan vaksin malaria dengan

teknik nuklir : Pengaruh Iradiasi gamma

pada plasmodium berghei terhadap daya

tahan mencit. Seminar nasional sains dan

teknologi PTNBR – BATAN : Bandung, 17

-18 Juli 2007.

8. CHULAY, J.D., HAYNES, D., CARTER,

L., Plasmodium falciparum : Assesment of

in vitro growth by [³H] Hypoxantine

incorporation. Experimental parasitology

55, 138 – 146, 1983.

9. NURINGTYAS, T.R., Metabolisme asam

nukleat dan nukleotida. E-learning

universitas gajah mada, 2010.

10. SHERMAN, I.W., , Purine and pyrimidine

metabolism of asexual stages, In: Malaria

Parasites Biology Pathogenesis and

Protection, Irwin W. Sherman (Ed.), ASM

Press, Washington D.C., 1998, pp.

177-184.

11. MADRID, D.C., TING, L M., WALLER,

K.L., SCHRAMM, V.L., KIM, K.,

Plasmodium falciparum Purine Nucleoside

Phosphorylase Is Critical for Viability of

Malaria Parasites, Journal of Biological

Chemistry, 283, 35899-35907, 2008.

12. LANDAU, J., BOULARD, Y., Lifecycles

and morphology, In: Rodent Malaria, R

Killick -Kendrick (Ed.), Academic Press,

London, 53–157, 1978.

13. TAMBAYONG E H. Patobiologi malaria

dalam Harijanto P N. (Ed) Malaria:

Epidemiologi, Patogenesis, Manifestasi

klinis dan Penanganannya. 2000. Jakarta :

kedoketran EGC.

14. WELLDE, B.T. and SADUN, E.H., 1967.

Resistance produced in rats and mice by

exposure to irradiated Plasmodium berghei,

Experimental parasitology 21, 310-324.

15. ANONYMOUS, Using gamma radiation

preserves T-cell responses in bacterial

vaccine, Medical Research News.

http://health.ucsd.edu/ news/2006/

07_25_Raz.htm. Retrieved in July (2006).

16. BENNETH, C., THATCHER, S.,

TOLMAN-HULSBERG, J., POWERS, M.,

MILWADM, H., NIELSEN, D., TENG,

D.H.F., Comparison of gamma irradiated

and triazol-treated RNA viruses using the

joint biological agent identification and

diagnostic, Idaho Technology Inc. Salt

Lake City, 2002.

17. HALL, E.J., Radiobiology for the

radiobiologist, Lippincott Williams and

Walkin, Philadelphia, 1994.

18. MALAGON, F. and CASTILLO, O.G., On

the labeling of malaria parasites in vivo

with 3H-hipoxanthine while developing an

infection in the mouse, Acta Protozoologica

39, 281-288, 2000.

19. OKIRO, E., HAY, S., GIKANDI, P.,

SHARIF, S., NOOR, A., PESHU, N.,

(7)

PTKMR-BATAN, Universitas Indonesia, KEMENKES-RI, Universitas Pakuan 124

in paediatric malaria admissions on the

coast of Kenya. Malarial Journal, 15;6 (1),

151-155, 2007.

20. ASAHI, H. and KANAZAWA,

T. Continuous cultivation of

intrerythrocytic Plasmodium falciparum in

a serum-free medium with the use of a

growth-promoting factor. Parasitology 109,

397-401, 1994.

TANYA JAWAB

1. Penanya : Fadil Nazir

Pertanyaan :

- Mengapa pada dosis 0 gy terjadi penurunan pada

hari ke 16 lalu naik drastis pada hari ke 18?

Jawaban :

- Hal yang mungkin terjadi adalah parasit

Plasmodium berghei mengalami fase dorman

namun untuk memastikannya diperlukan

pengamatan parasitemia. Mikroskopis dalam

Gambar

Gambar 1. Kurva aktivitas tritium pada hari-hari pasca penyuntikan
Gambar 2. Tampilan mikroskopis apusan

Referensi

Dokumen terkait

Pengaruh Gaya Kepemimpinan dan Reward to Performed Teacher in Madrasah Aliyah Asy-Syafi’iyah Margasari Kebupaten Tegal, Kusnoto, Tesis Program Pascasarjana Institut

Alhamdulillah, puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah senantiasa melimpahkan rahmat dan hidayahnya, sehingga dapat menyelesaikan

Hasil output uji T terhadap komposisi hasil tangkapan rajungan dalam berat (kg) pada selang kepercayaan 95% (P>0,05) dan hasil output uji T hasil tangkapan dalam jumlah

Dilihat dari jumlah lahan yang berubah, CA deterministik menunjukan nilai yang berubahdari lahan terbangun menjadi lahan terbangun sebesar 145.350 piksel sedangkan CA

Soerjono Soekanto, Fungsi Hukum dan Perubahan Sosial , (Bandung : Citra Aditya Bakti, 1991).. Pada taraf strukturil, timbul masalah bagaimana mengorganisasikan pola peranan

Dalam perkembangan selanjutnya, Politeknik Kesehatan Kemenkes Riau yang kedudukan manajemen berpusat di Pekanbaru, menyulitkan koordinasi managemen keuangan,

Gaji berdasarkan peraturan baru ini selanjutnya (setelah 1 Januari 1968) akan menjadi dasar untuk menetapkan pensiun pokok bagi pegawai negeri serta janda dan anak

Orang yang bertanggung jawab pada pelaksanaan pekerjaan akan melengkapi rekomendasi-rekomendasi JSA selama persiapan pekerjaan dan mengkomunikasikan JSA pada semua pihak