• Tidak ada hasil yang ditemukan

Drug Patch Test pada Pasien Cutaneous Adverse Drug Reaction dengan Reaksi Hipersensitivitas Tipe IV

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Drug Patch Test pada Pasien Cutaneous Adverse Drug Reaction dengan Reaksi Hipersensitivitas Tipe IV"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

Pengarang Utama 5 SKP. Pengarang Pembantu 1 SKP (SK PB IDI No. 318/PB/A.7/06/1990)

Drug Patch Test pada Pasien Cutaneous Adverse Drug Reaction

dengan Reaksi Hipersensitivitas Tipe IV

(Drug Patch Test in Cutaneous Adverse Drug Reaction Patient with Type IV

Hypersensitivity Reaction)

Vella, Cita Rosita SP, Hari Sukanto

Departemen/Staf Medik Fungsional Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin

Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga/Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Soetomo Surabaya

ABSTRAK

Latar belakang: Drug Patch Test (DPT) dengan menggunakan panel obat yang dicurigai dapat membantu dalam menentukan

obat penyebab dari Cutaneous Adverse Drug Reaction (CADR) dan dapat mengetahui mekanisme imunologi yang terlibat. Tujuan: Dengan dilakukan penelitian ini diharapkan dapat menjelaskan relevansi dari anamnesis pada CADR reaksi hipersensitivitas tipe IV dengan hasil DPT, selanjutnya digunakan untuk memperbaiki penatalaksanaan CADR reaksi hipersensitivitas tipe 1V sebagai pemeriksaan penunjang diagnosis CADR dan mengurangi risiko kejadian berikutnya. Metode: Secara retrospektif pada 25 pasien dengan CADR hipersensitivitas tipe IV yang berobat di bagian kulit dan kelamin RSU Dr. Soetomo Surabaya antara Januari - Desember 2010. Terdiri dari 13 pasien makulopapupar, 4 pasien Steven Johnson Syndrome (SJS), 6 pasien Fixed Drug Eruption (FDE), dan 2 pasien Pustular Exanthematous Generalized Acute (PEGA). DPT dilakukan antara 6 minggu sampai 6 bulan setelah benar-benar sembuh dari CADR. Pembacaan DPT sesuai dengan International Contact Dermatitis Research Group (ICDRG). Hasil: Hasil positif pada 7 (28%) pasien: 2/3 pasien makulopapular (15,4%), 3/6 pasien FDE (50%), dan 2/4 pasien SJS (50%). Kesimpulan: DPT merupakan metode yang aman dan mudah dilakukan pada pasien CADR. DPT jarang menimbulkan efek samping, risiko terjadinya reaktivasi erupsi obat sangat rendah. DPT digunakan sebagai pemeriksaan penunjang di RSUD Dr. Soetomo untuk CADR reaksi hipersensitivitas tipe IV dan dapat membantu pasien untuk mengetahui obat penyebab, sehingga pasien dapat lebih waspada dan dapat mencegah terjadinya kasus CADR yang berulang.

Kata kunci: diagnosis, alergi obat, uji tempel obat, skin test

ABSTRACT

Background: Drug Patch Test (DPT) uses material that are suspected determining the cause of Cutaneous Adverse Drug Reaction (CADR)

and in studying the involved pathophysiological mechanism. Purpose: The main purpose of this study is expected to explain the relevance between anamnesis of CADR type IV hypersensitivity reaction with DPT results, then use it to improve the management of type 1V hypersensitivity reactions CADR as to support diagnosis of CADR and reduce the risk of subsequent events. Methods: A Retrospective in 25 patients with type IV hypersensitivity CADR who visited the Dermato Venereology Department of Dr. Soetomo General Hospital Surabaya between January to December 2010. Consisting of 13 patients with maculopapular Eruption, 4 patients with Steven Johnson Syndrome (SJS), 6 patients with Fixed Drug Eruption (FDE), and 2 patients with Pustular Exanthematous Generalized Acute (PEGA). DPT was performed between 6 weeks to 6 months after complete recovery from CADR. DPT readings were conducted in accordance with the International Contact Dermatitis Research Group (ICDRG) guidelines. Results: Positive results occurred in 7 (28%) patients: 2/3 were maculopapular patients (15.4%), 3/6 were FDE (50%), and 2/4 were SJS patients (50%). Conclusion: DPT was shown to be a simple and a safe method to confirm drug imputabililty in CADR, because DPT rarely causes side effect, the risk of reactivation of drug eruptions are very low. DPT can be use to support investigation of type IV hypersensitivity CADR reactions in Dr. Soetomo General Hospital and can help patients to identify suspected medicine so that patients can be more cautions and able to prevent the occurrence of recurrent cases of CADR.

Key words: diagnosis, drug allergy, drug patch test, skin test

Korespondensi: Vella, Departemen/Staf Medik Fungsional Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Soetomo, Jl. Mayjen Prof. Dr. Moestopo No. 6–8 Surabaya 60131, Indonesia. Telepon: (031) 5501609, e-mail: vella_asnawi@yahoo.co.id

(2)

PENDAHULUAN

Cutaneous Adverse Drug Reaction (CADR)

merupakan masalah yang sering di bidang

dermatologi.1,2,3,4 Mekanisme CADR dapat melalui

reaksi non-imunologis dan imunologis.5,6,7

Beberapa hal yang menjadi permasalahan dalam penanganan CADR. Kejadian CADR berhubungan dengan morbiditas, mortalitas dan

biaya perawatan.7,8,9,10

Penelitian yang sudah dipublikasikan mengenai

Drug Patch Test (DPT) pada kasus-kasus CADR di

Indonesia hingga saat ini masih belum banyak. Penelitian DPT ini juga belum pernah dilakukan di Unit Rawat Jalan Kesehatan Kulit dan Kelamin maupun di ruang Rawat Inap Kulit dan Kelamin RSUD Dr. Soetomo Surabaya. Hal ini dapat dipahami oleh karena DPT masih belum menjadi pemeriksaan penunjang yang rutin dalam kasus-kasus CADR dan karena pengadaan alat-alat teknis pelaksaanaan dan interpretasi hasil yang cukup sulit.

Berdasarkan literatur, didapatkan hasil DPT yang positif pada 7,5–54% pasien yang mengalami CADR. Hasil dari DPT bergantung pada gambaran klinis dari CADR yang terjadi dan jenis obat yang

diujikan.3,11

DPT positif bisa dipastikan jika patomekanisme dari CADR melibatkan reaksi hipersensitivitas tipe lambat pada CADR (tipe IV menurut klasifikasi Gell

dan Coombs).12,13,14 Jika hasil negatif maka tidak

dapat menghilangkan kemungkinan hipersensitivitas

obat tersebut.14 Prick test dan uji provokasi harus

dipertimbangkan juga pada kasus-kasus dimana hasil uji kulit negatif.11

Dengan dilakukan penelitian ini diharapkan dapat menjelaskan relevansi dari anamnesis pada CADR reaksi hipersensitivitas tipe IV dengan hasil DPT. Selanjutnya digunakan untuk memperbaiki penatalaksanaan CADR reaksi hipersensitivitas tipe 1V sebagai pemeriksaan penunjang diagnosis CADR dan mengurangi risiko kejadian berikutnya.

METODE

Penelitian DPT ini dilakukan secara deskriptif yang dapat dipakai sebagai pemeriksaan penunjang dan dapat mengetahui relevansi hasil serta adanya reaksi silang pada pasien dengan diagnosis CADR reaksi hipersensitivitas tipe IV, menggunakan semua penderita yang didiagnosis dengan CADR reaksi hipersensitivitas tipe IV di IRNA dan URJ

Kesehatan Kulit dan Kelamin RSUD Dr. Soetomo Surabaya diambil secara retrospektif dari rekam medik periode Januari–Desember 2010 berdasarkan seleksi sampel.

Kriteria penerimaan sampel adalah pasien dengan diagnosis CADR reaksi hipersensitivitas tipe IV usia 15–60 tahun, enam minggu sampai enam bulan setelah sembuh dari CADR dan sekurang-kurangnya satu bulan diberhentikan dari sistemik kortikosteroid atau obat-obat imunosupresan dan keadaan umum penderita baik. Tes tempel menggunakan panel obat yang terdiri dari: Amoksisilin Trihidrate 10% pet., Dikloksasilin Sodium Salt 10% pet., Sefotaksim Sodium Salt 10% pet., Doksisiklin Monohidrat 10% pet., Eritromisin base 10% pet., Kotrimoksazol 10% pet., Siprofloksasin Hidrokhlorida 10% pet., Karbamazepine 1,0% pet., Hidantin 10% pet., Diltiazem Hidrokhlorida 10% pet., Asetil Salisilik Acid 10% pet., Piroksikam 1,0% pet., Asetaminophen (Parasetamol) 10% pet., Ibuprofen 10% pet. dilakukan di Divisi Alergi Unit Rawat Jalan Kesehatan Kulit dan Kelamin RSUD Dr. Soetomo Surabaya.

Alur penelitian dimulai dari pengumpulan data retrospektif pasien CADR hipersensitivitas reaksi tipe IV dari data rekam medik periode Januari–Desember 2010 berdasarkan seleksi sampel kriteria penerimaan dan penolakan sampel. Penderita yang memenuhi kriteria penerimaan, diberikan penjelasan tentang tujuan dan manfaat penelitian untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan pengembangan Ilmu pengetahuan. Setelah pasien menyetujui turut serta dalam penelitian, maka dijadikan sampel penelitian dengan menandatangani surat persetujuan/ informed

consent. Pada penderita dilakukan anamnesis,

pemeriksaan klinis dan pengambilan dokumentasi. Setelah pasien bersedia dilakukan tes tempel, kemudian dilakukan penempelan di punggung belakang dengan menggunakan Finn Chamber, kemudian dilakukan pembacaan pada 20 menit, 48 jam, 72 jam dan 96 jam. Pembacaan sesuai dengan International Contact

Dermatitis Research Group (ICDRG).13,14,15

Interpretasi dari hasil DPT:

– : Reaksi negatif

? : Reaksi meragukan (makula eritematus batas

tidak jelas)

+ : Positif lemah (eritema, infiltrasi, papula)

++ : Positif kuat (eritema, infiltrasi, papula, vesikel)

+++ : Positif sangat kuat (reaksi dengan bula)

(3)

dengan Reaksi Hipersensitivitas Tipe IV

Data dan hasil yang didapat dimasukkan dalam lembar pengumpul data dan kemudian data disusun dalam bentuk tabel dan grafik.

HASIL

Kelompok umur terbanyak pada penelitian ini adalah 45–64 tahun sebanyak 10 orang (40%). (Gambar 1). Dari hasil penelitain ini tidak didapatkan riwayat alergi sebelumnya sebesar 14 orang (56%) (Gambar 2).

9 (36%)

6 (24%)

10 (40%)

15 - 2 4 2 5 - 4 4 4 5 - 6 4

T ahun

Gambar 1. Distribusi kelompok umur penderita

CADR

12 (48%) 13 (52%)

20 (80%)

5 (20%)

Diri Sendiri Keluarga

Tidak Ya

Gambar 2. Distribusi riwayat alergi pada penderita

dan keluarga 21(84%) 4(16%) 0 5 10 15 20 25 Tidakada Ada

Gambar 3. Distribusi riwayat keluarga yang alergi

terhadap obat

Pada penelitian ini ditemukan riwayat alergi sebesar 13 orang (52%) pada diri sendiri dan 5 orang (20%) mempunyai riwayat alergi dari keluarga berupa dermatitis atopi, rhinitis alergi maupun asma. (Gambar 3).

Pada gambar 4 tidak ditemukan riwayat alergi pada keluarga yaitu sebanyak 21 orang (84%).

2 11 3 3 2 2 0 2 ME FDE SJS PEGA Positif Negatif

Gambar 4. Distribusi hasil DPT positif berdasarkan

jenis CADR.

M E = M a c u l o p a p u l a r F D E =

Fixed Drug eruption; SJS = Steven J o h n s o n S y n d r o m e ; P E G A = Pustular Exanthematoous Generalized Acute

Tabel 1. Hasil DPT terhadap obat pada penderita

alergi obat (n = 25) Hasil Uji

DPT

Pembacaan (%)

48 jam 72 jam 96 jam

Negatif 18 (72%) 18 (72%) 18 (72%) Positif 7 (28%) 7 (28%) 7 (28%) + 6 (85,7%) 6 (85,7%) 6 (85,7%) ++ 1 (14,2%) 1 (14,3%) 1 (14,3%) +++ 0 (0%) 0 (0%) 0 (0%) Meragukan 0 (0%) 0 (0%) 0 (0%) Iritan 0 (0%) 0 (0%) 0 (0%) Total 25 (100) 25 (100) 25 (100)

Pada penelitian ini hasil DPT terhadap obat pada penderita alergi obat lebih banyak yang negatif pada 18 orang (72%) pada pembacaan 48 jam, 72 jam dan 96 jam, dibandingkan dengan hasil positif pada 7 orang (28%)dengan pembacaan yang sama.

(4)

Tabel 2. Distribusi hasil DPT positif berdasarkan

jenis CADR Jenis

CADR

Hasil uji Drug Patch Test

Jumlah (%) Negatif (%) Positif (%) Maculo- papular 11 (84,6) 2 (15,4) 13 (100) FDE 3 (50,0) 3 (50,0) 6 (100) SJS 2 (50,0) 2 (50,0) 4 (100) PEGA 2 (100) 0 (0,0) 2 (100)

Pada tabel 2 didapatkan hasil uji DPT positif paling banyak pada FDE (50%).

PEMBAHASAN

Pada penelitian ini didapatkan bahwa onset alergi obat paling sering terjadi pada usia 45–64 tahun yaitu 10 orang (40%). (Gambar 1). Banyaknya insidensi alergi obat pada pasien usia lanjut disebabkan pada usia tersebut lebih rentan untuk menderita berbagai jenis penyakit kronis (seperti jantung koroner, stroke, dan kanker) yang memerlukan penanganan oleh beberapa ahli medis sekaligus, dimana dalam penatalaksanannya juga akan memberikan berbagai macam obat-obatan. Pada kelompok usia ini kejadian polypharmacy (yaitu pemberian lima atau lebih obat sekaligus) berkisar 20–40%. Disamping juga karena adanya perubahan pharmacodinamic dan fungsi dari organ di dalam tubuh yang menurun dengan semakin

meningkatnya usia.16,17,18

Kejadian CADR terhadap obat-obat diperkirakan terjadi pada 0.1% s/d 1% pasien yang menggunakan obat-obatan sistemik. Obat-obat tertentu seperti Nonsteroidal Anti-Inflamatory Drugs (NSAIDs), antibiotik, dan anti nyeri mempunyai risiko terjadinya ADR sekitar 1% s/d 5%. Diperkirakan sekitar 2% erupsi kulit karena ADR dapat menyebabkan reaksi

yang serius.19

Pada penelitian ini didapatkan riwayat alergi berupa rinitis alergi, asma bronkhial atau dermatitis atopik baik pada penderita sendiri atau pada keluarga yaitu 13 orang (52%) pada diri sendiri dan 5 orang (20%) pada keluarga. Pada pasien atopi, rhinitis alergi, asma bronkhial atau dermatitis atopik risiko terjadi reaksi alergi terhadap bahan radio kontras sangat tinggi, dan dapat meningkatkan risiko terjadinya reaksi anafilaktik yang disebabkan oleh obat. Informasi tentang adanya riwayat asma, rhinitis alergi dan atopi sangat penting ditanyakan baik itu pada diri sendiri

ataupun pada keluarga.18,20,21 (Gambar 2)

Pada penelitian ini terdapat 4 orang (16%) yang memiliki riwayat keluarga yang alergi terhadap obat. Faktor genetika juga sangat penting dalam perkembangan terjadinya reaksi alergi yang disebabkan oleh obat. Dalam beberapa tahun ini bidang medikal genetik menfokuskan pada lokasi genotype HLA dan hubungannya dengan kejadian reaksi hipersensitivitas. Dimana untuk mendapatkan reaksi kekebalan, molekul-molekul HLA berperan sebagai penyaji antigen pada sel T melalui T Cell Receptor (TCR). Molekul HLA kelas 1 (HLA A, HLA B, HLA C) yang tersebar di mana-mana dan dapat ditemukan pada semua permukaan sel-sel yang berinti. Kemudian menyajikan antigen intraseluler pada CD8 + T Cell

Cytotoxic. Molekul HLA kelas 2 (HLA DP, HLA

DQ, HLA DR) yang menyjikan antigen ektraseluler pada CD4 + T-Cell Helper. Adanya peranan MHC ( Major HistoCompability Compleks) juga berperan dalam reaksi hipersensitivitas yang disebabkan oleh obat. Adanya riwayat alergi pada keluarga memiliki predisposisi genetik yang kuat dimana faktanya sering dipergunakan untuk mengidentifikasikan anak-anak yang berisiko mendapatkan penyakit ini.21,22,23 (Gambar 3)

UjiDPT dilakukan antara enam minggu sampai

enam bulan setelah pasien benar-benar sembuh dari CADR dan sekurang-kurangnya satu bulan setelah diberhentikan pemberian sistemik kortikosteroid atau

obat-obat imunosupresan lainnya.3 Menggunakan

alumunium (Finn Chamber) dengan plester scanpor dengan panel obat Amoksisilin Trishidrat 10%, Diklosasilin Sodium Salt 10%, Sefotaksim Sodium Salt 10%, Doksisiklin Monohidrat 10%, Eritromisin Base 10%, Kotrimoksazole 10%, Siprofloksasin Hidrokhlorida 10%, Karbamazepine 1,0%, Hidantin 10%, Diltiazem hidrokhlorida 10%, Acetil salislic Acid 10%, Piroksikam 1,0%, Asetaminophen (Parasetamol) 10%, Ibuprofen. Telah dilakukan uji DPT selama 2 hari, dan dibaca pada jam ke 48, 72 dan 96. Didapatkan hasil uji DPT positif pada 7 orang (25%) dari 25 orang pasien CADR.(Tabel 1). Hasil DPT yang positif dilaporkan oleh Barbaud dan kawan-kawan (2000) pada makulopapular 33/61 (54%), Walkenstain dan kawan-kawan (1996) pada AGEP 7/14 (50%), SJS 2/22 (9,1%), Alanko dan kawan-kawan (1994) pada

FDE 26/30 (87%),Ramano dan kawan-kawan (2002)

melaporkan bahwa dengan uji DPT dapat melihat adanya reaksi silang yang terjadi seperti pada antibiotik β-laktam. Hasil DPT yang positif telah dilaporkan oleh Barbaud (2005) berkaitan dengan beberapa

(5)

dengan Reaksi Hipersensitivitas Tipe IV

obat: antibiotik β-laktam khususnya amoksisilin, kotrimoksazole, NSAID, heparin, pristinamisin, karbamazepine, diltiazem, diazepam, hidroksin,

pseudoephedrine atau tetrazepam.11

Pada penelitian ini terdapat 13 pasien yang menderita makulopapular dengan gejala umum seperti muncul kemerahan di kulit, demam tinggi dan disertai rasa gatal. DPT positif 2/13 pasien makulopapular (15,4%). (Tabel 2). Tingginya hasil negatif pada makulopapular mungkin disebabkan karena bukan mekanisme reaksi hipersensitivitas tipe 1V yang terlibat sewaktu terjadinya alergi, bisa terjadi reaksi imunologi tipe 1, 2 dan 3 atau terjadi reaksi imunologi tipe campuran, bukan murni makulopapular tetapi kemungkinan saat itu terjadi alergi yang disebabkan karena morbiliformis atau suatu virus, obat yang digunakan pada DPT tidak sesuai dengan riwayat obat penyebab terjadinya alergi. Hasil DPT positif pada makulopapular telah dilaporkan oleh Barbaud dan kawan-kawan (1998) sebanyak 43% dari 72 pasien, Barbaud dan kawan-kawan (2000) sebanyak 50% dari 108 pasien, Bruynzeel dan Van Ketel (1987) pada 18% dari 47 pasien yang disebabkan oleh amoksisilin dan Osawa dan kawan-kawan (1990) 31,7% dari 197

pasien.3

Pada penelitian ini terdapat 3/6 pasien (50%) dengan FDE memberikan hasil positif pada DPT. Hasil DPT negatif pada lokasi lesi mungkin disebabkan pada lokasi FDE terjadi hiperkeratosis. Adanya peningkatan inflamasi, terjadi replikasi keratinosit di stratum basalis, sehingga terjadi penumpukan sel-sel keratinosit yang mati, pada stratum korneum akan tampak hiperkeratosis. Terjadinya hiperkeratosis menyebabkan penetresi obat terganggu, sehingga panel obat DPT penetresinya tidak mencapai stratum spinosum, di mana pada startum spinosum ini banyak terdapat sel Langerhans. Hasil negatif pada non lesi pasien FDE disebabkan karena peran limfosit-T memori efektor lebih dominan daripada limfosit T-memori, sehingga pada non lesi tidak terjadi aktivasi limfosit T-memori. Yang menarik pada FDE, DPT dapat dilakukan pada kulit normal dan daerah hiperpigmentasi (residual pigmentation) setelah FDE. Telah banyak diamati bahwa tes tempel akan memberikan hasil yang positif pada lokasi lesi (local

memory) dan negatif pada kulit yang normal.24,25

Patogenesis dari FDE belum sepenuhnya dipahami, tetapi sel-T CD8 epidermal yang bertahan di lesi kulit berperan dalam memori imunologis yang mengalami re-aktivasi ketika terjadi paparan yang

berulang. Sel T dinamakan sel T-efektor memori. Tes provokasi dapat digunakan untuk konfirmasi etiologi FDE, tetapi risiko terjadi reaksi anafilaktik atau re-aktivasi lesi yang berat dengan jumlah lesi yang lebih banyak. Lokasi lesi FDE memberikan reaksi positif > 43% kasus.

Reaktivasi tergantung dari obat dan vehikel dan biasanya terlihat setelah 24 jam dan hanya terbatas pada lesi kulit. Limfosit T efektor memori dapat berperan penting pada DPT di lesi kulit FDE. Alanko (1994) melaporkan hasil DPT positif pada 26 dari

30 (87%) pasien FDE.26,27,28

Pada penelitian ini hanya didapatkan 2 dari 4 pasien (50%) yang sebelumnya pernah mengalami SJS memberikan hasil DPT positif. Hasil DPT positif telah dilaporkan oleh Klein dan kawan-kawan (1995) pada TEN yang disebabkan oleh kotrimoksazole, Wolkenstein dan kawan-kawan (1996) DPT positif

pada 2 dari 22 (9%) pasien SJS atau TEN.3

Terdapat 2 orang (7,7%) pasien dengan diagnosis PEGA memberikan hasil negatif. Barbaud dan kawan-kawan (2000) melaporkan hasil DPT positif 7 dari

14 (50%) pada pasien PEGA.29,30

Keberhasilan DPT yang positif antara 7,5% s/d 54% tergantung pemilihan pasien, jenis CADR, dan

obat-obat yang terlibat.Faktor yang berhubungan

dengan pemilihan pasien seperti jenis kelamin, usia, genetika, riwayat alergi, kehamilan, AIDS. Hasil yang positif dari DPT dapat diinterpratasikan adanya relevansi riwayat alergi yang terjadi saat ini, adanya relevansi riwayat alergi pada masa lalu, dan tidak

adanya relevansi dengan susp.obat penyebab alergi.31,32

DPT positif bisa dipastikan adanya patomekanisme dari CADR yang melibatkan reaksi hipersensitivitas tipe lambat pada CADR (tipe IV menurut klasifikasi Gell dan Coombs) dan adanya dermatitis kontak. Karena CADR berhubungan dengan reaksi tipe lambat, sehingga DPT dapat dibaca pada hari 2, 3, 4 dan jika negatif dapat di baca sampai hari ke-7. Jika memberikan hasil yang positif maka kita harus menentukan adanya relevansi dengan obat yang digunakan pasien serta pasien harus menghindari pemberian obat yang sama untuk menghindari reaksi yang berulang dan kemungkinan akan lebih

parah.3

Pada penelitian ini didapatkan hasil yang positif pada 7 (28%) pasien CADR dengan makulopapular 2 orang (15,4%), FDE 3 orang (50%) dan SJS 2 orang (50%). Didapatkan adanya relevansi pada 5 orang (71,4%) pasien sesuai dengan kecurigaan obat

(6)

penyebab. Terdapat 2 orang (28,6%) pasien dengan hasil DPT yang tidak sesuai dengan kecurigaan obat penyebab (tidak ada relevansi).

Hasil DPT negatif sekitar 30–50% pada pasien CADR. Kemungkinan hasil DPT negatif karena agen penyebab CADR adalah metabolit obat yang tidak terbentuk oleh aplikasi DPT (terbentuknya oleh metabolisme obat di liver, dan lain-lain) atau obat yang benar di uji tetapi alergennya mungkin hanya metabolit, tidak ada mekanisme imunologi yang terlibat dalam CADR, saat dilakukan DPT tidak ada faktor penyerta yang dapat menginduksi intoleransi obat oral transien/sementara, misalnya infeksi virus, kemungkinan adanya faktor patomekanisme yang berbeda, bioaviabiliti dari bahan uji mungkin tidak cukup, menggunakan obat yang bukan menyebabkan alergi (dari anamnesa tidak di ketahui obat apa saja yang menyebabkan alergi), penetresi yang kurang dari obat ke epidermis (sehingga perlu ditambahkan petrolatum, air, dan alkohol), dan waktu yang terlalu cepat/lambat melakukan tes, sehingga hasil DPT negatif dan tidak dapat memberikan hasil yang mutlak. Hasil DPT negatif tidak menghilangkan kemungkinan

terjadinya reaksi hipersensitiviti atau ADR.3,33,34

Pada penelitian ini didapatkan hasil DPT negatif pada 18 (72%) orang pasien CADR yaitu makulopapular 11 orang (84,6%), FDE 3 orang (50%), SJS 2 orang (50%) dan PEGA 2 orang (100%). Pada penelitian ini hasil negatif kemungkinan: (i) reaksi alergi yang terjadi bukan reaksi hipersensitivitas tipe IV tetapi kemungkinan dapat terjadi reaksi campuran (Tipe I,II,III) dikarenakan anamnesis yang tidak lengkap/jelas bagaimana riwayat saat terjadinya alergi obat, (ii) sistem imun dalam keadaan respon yang berbeda dengan saat terjadinya alergi obat di mana pada saat itu dapat terjadi danger

signal karena infeksi, virus dan inflamasi, sehinga

dapat menyebabkan respon imun yang meningkat, (iii) interaksi obat, (iv) gangguan metabolit dari obat, (v) obat yang menjadi penyebab alergi tidak terdapat dalam panel obat yang diujikan.

Jika hasil DPT negatif langkah berikutnya adalah dapat dilakukan prick test, scratch test, intradermal

atau tes provokasi.35 Selain itu dapat dilakukan uji

in vitro seperti lymphocyte stimulation/transformation

test (LTT).36,37

KEPUSTAKAAN

1. Shear NH, Knowles SR, Shapiro R. Cutaneous reactions to drugs. In: Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffel DJ, editors.

Fitzpatrick's dermatology in general medicine. 7 ed.

New York: McGraw-Hill; 2008. p. 355–61.

2. Zawodniak A, Pichler WJ. Immunological Principles of Drug Hypersensitivity. Berlin: Spinger; 2009. p. 393–408.

3. Goncalo M, Bruynzeel DP. Patch Testing in Adverse Drug Reactions. In: Johansen JD, editors. Contact Dermatitis. Berlin: Springer-Verlag Berlin Heidelberg; 2011. p. 475–91.

4. Ardern-Jones MR, Friedmann PS. Skin manifestations of drug allergy. Br J Clin Pharmacol 2010; 71(5): 672–83.

5. Lee A, Thomson J. Drug-induced skin reactions.

Adverse drug reactions. 2nd ed. New York:

Pharmaceutical Press; 2006.

6. Roychowdhury S, Svensson C. Mechanism of drug-induced delayed-type hypersensitivity reactions in the skin. The AAPS Journal 2005; 7(4): 834–3. 7. Wolf R, Orion E, Marcos B, Matz H. Life-threatening

acute adverse cutaneous drug reactions. Clin in Dermatol 2005; 23: 171–81.

8. Pichler WJ, Adam J, Daubner B, Gentinetta T, Keller M, Yerly D. Drug Hypersensitivity reactions: Pathomechanism and clinical symtoms. Med Clin N Am 2010; 94: 645–64.

9. Buajordet I, Ebbesen J, Erikssen J, Brors O, Hilberg T. Fatal adeverse drug events: the paradox of drug treatment. J of Int Med 2001; 250: 372–41.

10. Hutchison LC, Kajkenova. Prevention of drug reactions and allergies in dermatology. London: Spinger-Verlag London; 2010.

11. Barbaud A. Drug patch testing in systemic cutaneous drug allergy. Toxicology 2005: 209–16.

12. Friedmann PS, Arden-Jones M. Patch testing in drug allergy. Curr Opin Allergy Clin Immunol 2010; 10: 291–6.

13. Lachapelle JM. Testing Procedures in Cutaneus Adverse Drug Reactions. In: Lachapelle JM, Maibach HI, editors. Patch Testing and Patch Testing: A Practical Guide. Berlin: Springer-Verlag Berlin Heidelberg; 2009. p. 155–66.

14. Barbaud A. Usefulness of drug patch testing in cutaneous drug allergy: what is new? Revue francaise d'allergologie et d'immunologie clinique 2003; 43: 222–6.

15. Barbaud A, Goncalo M, Bruynzeel D, Bircher A. Guidelines for performing skin tests with drugs in the investigation of cutaneous adverse drug reactions. Contact Dermatitis 2001; 45: 321–8.

16. Adam J, Pichler WJ, Yerly D. Delayed hypersensitivity: models of T-cell stimulation. Br J Clin Pharmacol 2011; 71(5): 701–7.

17. Pichler WJ, Beeler A, Keller M, Lerch M, Pasadas S, Schmid D. Pharmacological Interaction of Drug with Immune Receptors: The p-I. Allergology International 2006; 55: 17–25.

(7)

dengan Reaksi Hipersensitivitas Tipe IV

18. Volcheck GW. Clinical evaluation and management of drug hypersensitivity. Immunol Allergy Clin Am 2004; 24: 357–71.

19. McKenna JK, Leiferman KM. Dermatologic drug reactions. Immunol Allergy Clin N Am 2004; 24: 399–423.

20. Demoly P, Pichler W, Pirmohamed M, Romano A. Important questions in Allergy:1-drug allergy/ hypersesnsitivity. Allergy 2008; 63: 616–9.

21. Thong B, Tan TC. Epidemiology and risk factors for drug allergy. Br J Clin Pharmacol 2011; 71(5): 684–700.

22. Ramano A, Torres MJ, Castells M, Blanca M. Diagnosis and management of drug hypersensitivity reactions. J Allergy Clin Immunol 2011; 127: S67–73.

23. Friedmann PS, Arden-Jones M. Patch testing in drug allergy. Curr Opin Allergy Clin Immunol 2010; 10: 291–6.

24. Sadawa Y, Nakamura M, Tokura Y. Generalized Fixed Drug Eruption Cause by Pazulfloxacin. Acta Derm Venereol 2011; 4(2): 1–2.

25. Shiohara T. Fixed drug eruption: pathogenesis and diagnostic tests. Curr Opin Allergy Clin Immunol 2009; 9: 316–21.

26. Giatrakou SI, Theodoropoulos K, Papadavid E, Bozi E, Katoulus A, Toumbis-Idannou E. Fixed drug eruption caused by dimenhydrinate. JAAD 2009; (3): 69–72. 27. Tavallaee M, Rad MM. Fixed drug eruption resulting

from flukonazole use: a case report. J of Med Case report 2009; 3: 7368–70.

28. Andrane P, Gancalo M. Fixed drug eruption caused by etoricoxib-2 cases confirmed by patch testing. Contact Dermatitis 2011; 64: 110–20.

29. Kim HJ, Jung KD, Lee KT, Byun JY, Lee DY, Lee JH. Acute Generalized Exanthematous Pustolosis Cause by Diltiazem. Ann Dermatol 2011; 23(1): 108–10. 30. Thomas E, Bellon T, Barranco P, Padial A, morel

E, ffereira JA. Acute Generalized Exanthematous Pustulosis Due to Tetrazepam. J Investig Allergol Clin immunol 2008; 18(2): 119–22.

31. Barbaud A. Usefulness of drug patch testing in cutaneous drug allergy: what is new? Revue francaise d'allergologie et d'immunologie clinique 2003; 43: 222–6.

32. Friedmann PS, Arden-Jones M. Patch testing in drug allergy. Curr Opin Allergy Clin Immunol 2010; 10: 291–6.

33. Romano A, Viola M, Gaeta F, Rumi G, Maggioletti M. Patch Testing in Non-Immediate Drug Eruptions. Allergy, Asthma, and Clinical Immunology 2008; 4(2): 66–74.

34. Barbaud A, Goncalo M, Bruynzeel D, Bircher A. Guidelines for performing skin tests with drugs in the investigation of cutaneous adverse drug reactions. Contact Dermatitis 2001; 45: 321–8.

35. Brockow K, Romano A, Blanca M, Ring J, Pichler W. General considerations for skin test procedures in the diagnosis of drug hypersensitivity. Allergy 2002; 57: 45–1.

36. Pichler WJ, Tilch J. The lymphocyte transformation test in the diagnosis of drug hypersensitivity. Allergy 2004; 59: 809–20.

37. Kano Y, Hirahara K, MitsuyamaY, takashi R, Shiohara T. Utility of the lymphocyte transformation test in the diagnosis of drug sensitivity: dependence on its timing and the type of drug eruption. Allergy 2007; 62: 1439–44.

Gambar

Gambar 2.  Distribusi riwayat alergi pada penderita  dan keluarga 21(84%) 4(16%) 0510152025 Tidakada Ada
Tabel 2.  Distribusi hasil DPT positif berdasarkan  jenis CADR

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan, dapat dilihat bahwa diantara ketiga  bagian tersebut, baik akar, batang maupun daun, tidak ada distribusi zat radioaktif yang terdapat

Dari latar belakang di atas, dapat dirumuskan masalah yang akan dibahas dalam penelitian ini, yaitu apakah motivasi yang mendorong masyarakat Desa Bonang Rembang dalam

5.4.2.4 Hasil evaluasi, rencana tindak lanjut, dan tindak lanjut terhadap pelaksanaan koordinasi lintas program dan lintas sektor.. UKM

Model pembaharuan SMK memiliki karakteristik sebagai berikut: kecepatan dalam menciptakan perubahan dan pengambilan keputusan bersama, akuntabilitas, transparansi,

Bilangan bulat kurang dari 10 harus ditulis dengan huruf, sedangkan untuk bilangan sepuluh atau lebih ditulis dengan angka kecuali penulisan bilangan pada nomor

Pusat Kesehatan masyarakat yang selanjutnya disebut Puskesmas adalah fasilitas pelayanan Pusat Kesehatan masyarakat yang selanjutnya disebut Puskesmas adalah fasilitas

Peserta didik diminta membuat rangkuman serta memahami kembali mengenai prosedur pengurusan izin usaha dan penentuan permodalan usahah. Pertemuan Ke-2

Dengan menggunakan hukum II Newton. Ini adalah besar gaya normal benda yang diletakkan pada bidang miring. Jika massa balok 18 kg dan percepatan 3 m/s 2 maka gaya gesekan yang