• Tidak ada hasil yang ditemukan

BIOLOGI Troides helena helena DAN Troides helena hephaestus (PAPILIONIDAE) DI PENANGKARAN ST. NURJANNAH

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BIOLOGI Troides helena helena DAN Troides helena hephaestus (PAPILIONIDAE) DI PENANGKARAN ST. NURJANNAH"

Copied!
101
0
0

Teks penuh

(1)

BIOLOGI

Troides

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BIOLOGI Troides helena helena DAN

Troides helena hephaestus (PAPILIONIDAE

DI PENANGKARAN

ST. NURJANNAH

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2010

(2)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul ’’Biologi Troides helena helena dan Troides helena hephaestus (Papilionidae) di Penangkaran” adalah benar hasil karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Februari 2010

ST. Nurjannah NRP G352070161

(3)

ABSTRACT

ST. NURJANNAH. Biology of Troides helena helena and Troides helena

hephaestus (Papilionidae) at Domestication Site. Supervised by DEDY

DURYADI SOLIHIN and TRI ATMOWIDI.

Troides helena is one of butterflies favored by collectors due to its large size and beautiful color of its wings. T. helena of Indonesia is protected by laws and recorded in Appendix II CITES. The trade has to be drawn from domestication sites. T. h. helena and T. h. hephaestus are subspecies of T. helena restrictedly distributed in Indonesia. The domestication has to be socialized for conservation of T. helena in Indonesia. The research were aimed to study domestication technique and biology of T. h. helena and T. h. hephaestus. Pupae of T. h. helena were obtained from Cilember (West Java) and T.h. hephaestus were from Bantimurung (South Sulawesi). Both larvae were fed by Aristolochia tagala leaves. Egg, larvae, and pupae were treated at the laboratory and imago were treated in the domestication dome of IPB. Results indicated that domestication was run well. A life cycle of T. h. helena from egg to imago was about 70 days, while T. h. hephaestus was 64 days. Lowest survival of T. h. helena occured at the egg stage, on the other hand, in T. h. hephaestus occured at the stages of pupae and imago. Sex ratio of male to female was 2:3 for T. h. helena and 5:6 for T. h. hephaestus. In average, egg production of T. h. helena and T. h. hephaestus was 100 eggs. Predators (house lizard, lizard, and spider) were one of the limiting factor for butterfly development.

(4)

RINGKASAN

ST. NURJANNAH. Biologi Troides helena helena dan Troides helena hephaestus (Papilionidae) di Penangkaran. Dibimbing oleh DEDY DURYADI SOLIHIN dan TRI ATMOWIDI.

Indonesia adalah negara kepulauan beriklim tropik dengan berbagai tipe habitat dan ekosistem. Kondisi alam Indonesia merupakan habitat yang cocok bagi berbagai fauna termasuk kupu-kupu. Diperkirakan sekitar 4 000 – 5 000 jenis kupu-kupu terdapat di Indonesia.

Troides helena merupakan salah satu kupu-kupu yang memiliki kombinasi warna sayap indah dan berukuran besar, sehingga menarik perhatian kolektor kupu-kupu. T. helena termasuk satwa yang diperdagangkan dan telah memasukkan devisa dari subsektor kehutanan Indonesia. Untuk mencegah dari kepunahan karena eksploitasi yang berlebihan, maka pemerintah melindungi T. helena melalui PP No. 7 Tahun 1999. Semua genus Troides masuk dalam daftar Appendix II CITES, sehingga perdagangan jenis ini harus merupakan hasil budi daya di penangkaran.

Terdapat 17 subspesies dari T. helena di dunia. Indonesia memiliki 13 subspesies yang menyebar dari Sumatra bagian selatan sampai ke Kepulauan Tukangbesi di Sulawesi. Troides helena helena tersebar di Jawa dan Sumatra bagian selatan dan populasinya mulai berkurang. Troides helena hephaestus tersebar di Sulawesi dan terbatas pada beberapa daerah saja. Di Hutan Wisata Bantimurung, Sulawesi Selatan banyak ditemukan T. h. hephaestus terutama pada akhir musim kemarau.

Upaya konservasi perlu dilakukan untuk menjaga kelangsungan hidup T. helena di Indonesia. Untuk mendukung upaya konservasi diperlukan pengetahuan tentang teknik budi daya kupu-kupu dan database tentang biologi T. helena. Sampai saat ini teknik budi daya dan data biologi T. helena di Indonesia belum tersedia.

Penelitian dilaksanakan dari bulan Februari 2008 sampai Oktober 2009 bertempat di laboratorium Biomolekuler PPSHB PAU dan kubah penangkaran IPB. Bahan yang dibutuhkan dalam penelitian ini adalah 10 Pupa T. h. helena dan 10 pupa T. h. hephaestus, tanaman pakan larva berupa sirih hutan (Aristolochia tagala), tanaman pakan imago berupa berbagai jenis tanaman berbunga serta nektar buatan berupa larutan madu. Sarana yang digunakan adalah kubah penangkaran IPB berukuran tinggi 9 m dan diameter 13 m, kandang kawin di dalam kubah penangkaran dibuat dari bambu dan paranet berukuran 3 x 2 x 3 m, kandang pupa terbuat dari rangka kayu dan kain kasa berukuran 40 x 40 x 40 cm. Tahapan persiapan penelitian meliputi penyiapan kubah penangkaran, kandang kawin dan kandang pupa, penyiapan pakan imago dan pakan larva, pemilihan pupa, dan pemilihan imago pasangan kawin. Pelaksanaan penelitian meliputi pengamatan siklus hidup dan kelangsungan hidup, morfologi, fekunditas betina, konsumsi pakan larva, dan perilaku selama di penangkaran.

Total waktu yang dibutuhkan T. h. helena dari telur-imago adalah 70 ± 18.55 hari, sedangkan pada T. h. hephaestus 64 ± 10.98 hari. Waktu terpendek kedua subspesies adalah stadia prepupa yang hanya berlangsung 1 hari, sedangkan waktu terlama adalah stadia pupa dan imago, yaitu minimal 18 hari.

(5)

Kelangsungan hidup terendah T. h. helena terjadi pada stadia awal, yaitu stadia telur. Persentase penetasan telur adalah 0.44 atau 44%. Kelangsungan hidup terendah T. h. hephaestus terjadi pada imago betina, yaitu 0.12 atau 12% dari total angka stadia awal. Parasitoid yang menyerang stadia telur adalah famili Scelionidae (Hymenoptera). Predator yang menyerang imago di kubah penangkaran adalah laba-laba, cicak, dan kadal.

Jumlah telur yang dihasilkan betina per hari adalah 6.65 ± 2.21 telur, total telur yang dihasilkan selama betina hidup rata-rata 100.33 ± 69.92 telur. Masa peneluran betina 13.67 ± 8.08 hari. Puncak peneluran terjadi pada hari ke-3. Persentase tetas telur rata-rata 85.28% ± 0.84%. Pada T. h. hephaestus, jumlah telur yang dihasilkan per hari rata-rata 4.97 ± 2.76 telur. Jumlah total telur yang dihasilkan berkisar rata-rata 100.67 ± 56.45 telur. Lama masa peneluran rata-rata 20.33 ± 4.51 hari. Puncak peneluran terjadi pada hari pertama. Persentase tetas telur rata-rata 80.98% ± 11.40%.

Larva kecil (instar ke 1-3) T. h. helena mengkonsumsi pakan sebanyak 0.32 g atau sebanyak 12.8% dari total konsumsi larva. Larva besar (instar 4-5) mengkonsumsi pakan sebanyak 2.18 g per larva, atau sebanyak 87.2 % dari total konsumsi larva. Jumlah total pakan yang dikonsumsi selama stadia larva adalah 2.50 ± 0.72 g bobot kering per larva. Pada T. h. hephaestus, larva kecil mengkonsumsi pakan sebanyak 0.25 g atau sebanyak 15.43% dari total konsumsi larva. Larva besar mengkonsumsi sebanyak 1.37 g per larva, atau 84.57% dari total konsumsi larva. Jumlah total pakan yang dikonsumsi selama stadia larva sebanyak 1.62 ± 0.65 g bobot kering per larva.

Perilaku T .h. helena dan T. h. hephaestus selama di penangkaran adalah imago keluar dari pupa (eklosi) umumnya pada pagi hari antara pukul 07.00 sampai 12.00. Imago keluar dari pupa melalui selubung pupa. Selanjutnya kupu mengeringkan sayap antara 30 menit sampai 3 jam. Setelah sayap kering, imago mengepakkan sayap untuk melatih kekuatan otot, kemudian terbang mencari sumber nektar dan melakukan kopulasi (kawin). Suhu minimum saat pasangan imago kawin rata-rata 20 ±5.20 ºC, sedangkan suhu maksimum 36.67 ± 1.15 ºC. Kelembaban rata-rata lingkungan sebesar 64.67 ± 13.32%. Intensitas cahaya lingkungan berada pada rataan 3566.67 ± 1436 lux. Suhu minimum rata-rata saat imago betina bertelur adalah 29.33 ± 1.53 ºC, sedangkan suhu maksimum rata-rata adalah 33.67 ± 2.08 ºC. Pada T. h. helena dan T. h. hephaestus, larva mengalami empat kali ganti kulit (moulting), hal ini berati fase larva dari instar ke-1 sampai instar ke-5. Setiap kali mengalami moulting, larva akan meninggalkan kapsul kepala lama, sedangkan kulit lama (exuviae) terkadang dimakan kembali. Pada saat terganggu larva mengeluarkan osmeteriumnya yang berjumlah sepasang. Selanjutnya larva akan menggantung pada substrat dengan membuat serat sutera dan menempel dengan kremaster pada ujung abdomen. Masa ini disebut dengan stadia prepupa yang berlangsung selama satu sampai dua hari. Exuviae prepupa terlepas dan individu akan keluar menjadi pupa (pupasi). Pupa yang mengalami gangguan akan melakukan gerakan mengejang dan mengeluarkan bunyi desis. Perilaku lain yang teramati pada imago di kubah penangkaran adalah terjadinya perkawinan antara subspesies T. h. helena jantan dengan subspesies T. h. hephaestus betina. Dari hasil perkawinan antara 2 subspesies, dihasilkan telur fertil sebanyak 86 telur dengan persentasi tetas 86%.

(6)

T. h. helena dan T. h. hephaestus dapat dibudidaya di penangkaran dengan keberhasilan tinggi, baik di laboratorium maupun di kubah penangkaran. Kondisi suhu minimum di laboratorium 24.12 ± 1.68 ºC, dan suhu maksimum 33.91±1.50 ºC. Kelembaban ruangan berkisar antara 51-75%. Di kubah penangkaran, suhu minimum antara 21-29 ºC, dan suhu maksimum 28-43 ºC. Kelembaban di tempat ini berkisar antara 51-75% dan intensitas cahayanya antara 543-8 228 lux. Penangkaran kupu-kupu dilakukan dengan menempatkan stadia telur sampai larva instar ke-3 pada cawan petri di laboratorium. Larva instar ke 4 sampai prepupa ditempatkan pada toples gelas. Stadia pupa ditempatkan pada kandang pupa, sedangkan imago ditempatkan di kubah penangkaran. Telur yang telah dioviposisi oleh betina segera ditempatkan pada cawan petri untuk menghindari parasitoid. Setiap hari, kotoran larva dibersihkan dan larva yang masuk fase prepupa segera ditempatkan pada toples gelas yang bersih. Pupa yang rusak segera dikeluarkan dari kandang pupa. Imago yang eklosi dilepas ke kubah penangkaran setelah sayapnya kering.

(7)

© Hak Cipta Milik IPB, tahun 2010 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa

mencantumkan atau menyebutkan sumber.

a. Pengutipan untuk kepentingan pendidikan,penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah.

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

2. Dilarang mengumumkan atau memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.

(8)

BIOLOGI Troides helena helena DAN

Troides helena hephaestus (PAPILIONIDAE)

DI PENANGKARAN

ST. NURJANNAH

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Departemen Biologi

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2010

(9)
(10)

Judul Tesis : Biologi Troides helena helena dan Troides helena hephaestus (Papilionidae) di Penangkaran Nama : ST. Nurjannah NRP : G352070161 Disetujui Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Dedy Duryadi Solihin, DEA Dr. Drs. Tri Atmowidi, M.Si

Ketua Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Biologi Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr. Bambang Suryobroto Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S.

(11)

PRAKATA

Syukur Alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas rahmat, inayah dan hidayah-Nya yang telah dilimpahkan kepada penulis sehingga tesis yang berjudul “Biologi Troides helena helena dan Troides helena hephaestus (Papilionidae) di Penangkaran” dapat diselesaikan dengan baik.

Keberhasilan penulisan tesis ini tidak lepas dari masukan dan arahan serta bimbingan berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis ucapkan terima kasih Kepada Dr. Ir. Dedy Duryadi Solihin, DEA dan Dr. Drs. Tri Atmowidi, M.Si, selaku komisi pembimbing atas arahan, bimbingan dan dorongan semangat selama proses awal hingga terselesaikannya tesis ini. Ucapan terima kasih penulis juga disampaikan kepada Djunijanti Peggie, M.Sc, Ph.D, Staf Ahli Serangga (Kupu-Kupu) LIPI Cibinong atas informasinya, dan Prof. R. I. Van-Wright (Sc. Ass. Entomology the Natural History Museum London) atas bantuan jurnal dan informasinya; Pimpinan & Staf Balai Taman Nasional Bantimurung-Bulusaraung (Sulawesi Selatan) dan Pak Edi Staf Wana Wisata Curug Cilember (Jawa Barat) atas bantuan sampel; Pimpinan BMG Kab. Maros (Sul Sel) & BMG Dramaga Bogor atas informasinya; seluruh Dosen Mayor Biosains Hewan yang telah memberikan bekal ilmu; Staf laboratorium Biomolekuler PPSHB PAU, laboratorium terpadu FMIPA, dan laboratorium Biosistematika Serangga DPT IPB, Pak Ace Staf Pertamanan IPB, Pak Dedi di Sindang Barang, dan Pak Ali di Bantimurung atas bantuannya selama penelitian; Departeman Agama Republik Indonesia yang telah memberikan beasiswa pendidikan kepada penulis; Gubernur Sulawesi Selatan dan Bupati Polewali Mandar atas bantuan dana penelitian; Keluarga Besar MAN Polewali Mandar, MAS Muallimin Muhammadiyah Makassar, dan SMP Wahyu Makassar atas izin studi dan dukungannya.

Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada suami tercinta, orang tua, saudara, keluarga besar, teman-teman di lab. Biomolekuler PPSHB & Pascasarjana IPB, dan semua pihak yang telah membantu materi dan non materi hingga tesis ini selesai. Semoga tesis ini bermanfaat.

Bogor, Februari 2010 ST. Nurjannah

(12)

RIWAYAT PENULIS

Penulis dilahirkan di Makassar pada tanggal 15 Mei 1973 dari ayah Drs. Andi Nurdin Ahmad (Alm) dan ibu ST. Hani Mappiasse (Alm). Penulis merupakan putri kedua dari tiga bersaudara. Pada tahun 2007 penulis menikah dengan Andi Aco Bugman, M.Ag.

Tahun 1996 penulis menyelesaikan program Strata 1 pada IAIN Alauddin Makassar, Jurusan Biologi. Selanjutnya penulis mengajar di MAS Muallimin Muhammadiyah makassar mulai tahun 1998 sampai sekarang, dan MAN Polewali Mandar sejak tahun 2004 sampai sekarang. Tahun 1999-2004 penulis membina SMK Pelayaran & Perkapalan Samudera Nusantar Makassar, dan menjabat sebagai ketua Yayasan Samudera Nusantara Makassar pada tahun 2001-2003. Pada Tahun 2007, penulis berkesempatan melanjutkan studi Pascasarjana di Insitut Pertanian Bogor, Program Studi Biologi Mayor Biosains Hewan dengan mendapatkan beasiswa dari Departeman Agama Republik Indonesia.

Penulis merupakan salah satu staf pengajar mata pelajaran biologi di MAN Polewali Mandar (Sulawesi Barat), MAS Muallimin Muhammadiyah Makassar (Sulawesi Selatan), dan SMP Wahyu Makassar (Sulawesi Selatan).

(13)

Kupersembahkan tesis ini sebagai ibadah dan puji syukur atas segala nikmat hidup dan kesempatan menuntut ilmu di Insitut Pertanian Bogor dari Allah SWT. Untuk:

Orang tuaku Drs. Andi Nurdin Ahmad (Alm) & ST. Hani Mappiasse (Alm).

Suami tercinta Andi Aco Bugman, M.Ag, atas do’a, keikhlasan, kesabaran, ketulusan, dan dorongan semangat yang telah diberikan.

Kakak Andi Nurhani; adik Andi Nurshiyam, AM.Keb; Ahmad Yani, S.Pd; kemenakanku Ahwan & Nanda, pamanku Andi Arifuddin atas do’a dan dukungannya.

Seluruh keluarga besarku atas do’a dan motivasi selama penulis menuntut ilmu.

Keluarga Besar Andi Kasim Toto (Alm) atas do’a dan restunya. Keluarga Drs. Pabelloi atas do’a dan dukungannya.

(14)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... iii

DAFTAR GAMBAR ... iv DAFTAR LAMPIRAN ... vi PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1 B. Rumusan Masalah ... 2 C. Tujuan Penelitian ... 3 D. Manfaat Penelitian ... 3 E. Kerangka Penelitian ... 3 TINJAUAN PUSTAKA A. Klasifikasi ... 5 B. Morfologi ... 5 a. Telur (Ovum) ... 5 b. Ulat (Larva) ... 6 c. Kepompong (pupa) ... 7 d. Kupu (Imago) ... 8 C. Siklus Hidup ... 10 D. Perilaku ... 11

a. Mencari Pakan (Feeding) ... 11

b. Berjemur (Basking) ... 13

c. Berkerumun (Puddling) ... 13

d. Mencari Pasangan (Courting) ... 13

e. Kawin (Mating) ... 13

f. Meletakkan Telur (Egg Laying) ... 14

E. Habitat dan Penyebaran ... 14

a. Habitat ... 14

b. Penyebaran ... 15

F. Pakan ... 15

G. Penangkaran ... 15

H. Life Table ... 16

BAHAN DAN METODE A. Waktu dan Tempat Penelitian ... 17

B. Bahan dan Alat ... 17

C. Metode Penelitian ... 18

a. Persiapan ... 18

b. Pelaksanaan Penelitian ... 22

D. Analisis Data ... 30

(15)

b. Pengukuran Lingkungan Fisik Laboratorium dan Kubah ...

Penangkaram ... 30

c. Lama Waktu Setiap Stadia T. h. helena dan T. h. hephaestus ... 30

d. Kelangsungan Hidup T. h. helena dan T. h. hephaestus ... 30

e. Morfologi Telur, Larva, Pupa, dan Imago ... 32

f. Fekunditas (Keperidian) Imago Betina ... 32

g. Konsumsi Pakan Larva ... 32

h. Perilaku Selama di Penangkaran ... 32

HASIL A. Teknik Penangkaran T. h. helena dan T. h. hephaestus ... 33

B. Kondisi Lingkungan Fisik Laboratorium dan Kubah Penangkaran ... 34

C. Lama Waktu Setiap Stadia T. h. helena dan T. h. hephaestus ... 37

D. Kelangsungan Hidup T. h. helena dan T. h. hephaestus ... 38

E. Morfologi Telur, Larva, Pupa, dan Imago ... 43

F. Fekunditas (Keperidian) Imago Betina ... 45

G. Konsumsi Pakan Larva... 47

H. Perilaku T. h. helena dan T. h. hephaestus Selama di Penangkaran ... 49

PEMBAHASAN A. Teknik Penangkaran T. h. helena dan T. h. hephaestus ... 53

B. Kondisi Lingkungan Fisik Laboratorium dan Kubah Penangkaran .... 54

C. Lama Waktu Setiap Stadia T. h. helena dan T. h. hephaestus ... 55

D. Kelangsungan Hidup T. h. helena dan T. h. hephaestus ... 56

E. Morfologi Telur, Larva, Pupa, dan Imago ... 57

F. Fekunditas (Keperidian) Imago Betina ... 58

G. Konsumsi Pakan Larva... 59

H. Perilaku T. h. helena dan T. h. hephaestus Selama di Penangkaran ... 60

SIMPULAN DAN SARAN Simpulan ... 63

Saran ... 63

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN ... 45

(16)

DAFTAR TABEL

Halaman

1 Rataan lama waktu setiap stadia T. h. helena & T. h. hephaestus ... 37

2 Life table T. h. helena hasil penangkaran di IPB ... 38

3 Life table T. h. hephaestus hasil penangkaran di IPB ... 39

4 Perbandingan morfologi T. h. helena hasil penangkaran IPB dan hasil penangkaran Cilember ... 44

5 Perbandingan morfologi T. h. hephaestus hasil penangkaran IPB dan hasil penangkaran Bantimurung ... 45

6 Fekunditas T. h. helena hasil penangkaran IPB ... 46

7 Fekunditas T. h. hephaestus hasil penangkaran IPB ... 46

8 Jumlah konsumsi pakan larva T. h. helena pada tiap fase (n=10) ... 47

9 Jumlah konsumsi pakan larva T. h. hephaestus pada tiap fase (n=10) ... 48

10 Hasil analisa proksimat daun pakan Aristolochia tagala ... 48

(17)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1 Kerangka pemikiran penelitian ... 4

2 Bentuk dan bagian-bagian tubuh larva Lepidoptera (Braby 2000) ... 6

3 Larva Lepidoptera: kroset pada ujung proleg (a) dan tungkai sejati dan tungkai palsu (b) ... 7

4 Kremaster pupa untuk menempel pada substrat ... 7

5 Morfologi kupu-kupu (D’Abrera 1975) ... 8

6 Venasi sayap Papilionidae (Nielsen & Common1991)... 9

7 Bentangan sayap T. h. hephaestus jantan 13.5 cm (a) dan T. h. hephaestus betina 14.5 cm (b) ... 11

8 Kupu jantan sedang menghisap nektar buatan ... 12

9 Kubah penangkaran IPB ... 17

10 Kandang yang digunakan untuk penelitian: kandang kawin (a) dan kandang pupa (b) ... 19

11 Proses pembibitan pakan larva: biji A. tagala (a), biji A. tagala disemai dalam nampan (b), bibit satu minggu setelah disemai (c), dan bibit umur satu bulan (d) ... 20

12 Posisi peletakan tanaman pakan larva: stek A. tagala di polibag telah tumbuh (a), A. tagala di pot (b) ... 20

13 Peta lokasi Wana Wisata Curug Cilember ... 21

14 Peta lokasi Taman Nasional Bantimurung-Bulusaraung ... 22

15 Larva instar ke 3 dalam cawan petri yang berisi A. tagala ... 24

16 Larva instar ke 4 dalam toples gelas berisi daun A. tagala (a), stadia prepupa (b) ... 25

17 Pupa T. h. hephaestus: enam pupa dalam kandang pupa (a), perubahan warna pupa menjelang eklosi (b) ... 26

18 Mikroskop stereo (a), telur T. h. hephaestus, diameter 2.5 cm, berwarna jingga (b) ... 27

(18)

19 Cara pengukuran larva T. h. hephaestus: panjang larva instar ke 5 (a),

lebar larva instar ke 5 (b) ... 27

20 Cara pengukuran pupa T. h. hephaestus: panjang pupa (a), lebar pupa (b) ... 28

21 Cara pengukuran panjang bentangan sayap T. h. helena jantan ... 28

22 Komponen-komponen yang digunakan untuk menyusun neraca kehidupan ... 31

23 Perbedaan morfologi pupa T. h. hephaestus: betina (kiri) dan jantan (kanan) ... 34

24 Rataan suhu minimum dan suhu maksimum harian di laboratorium dan kubah penangkaran IPB ... 36

25 Rataan kelembaban harian di laboratorium dan kubah penangkaran IPB ... 36

26 Grafik kurva kelangsungan hidup T. h. helena dan T. h. hephaestus di penangkaran ... 40

27 Diagram life table T. h. helena (n = 3) ... 41

28 Diagram life table T. h. hephaestus (n = 3) ... 42

29 Parasitoid telur T. h. helena (Scelionidae: Hymenoptera)... 43

30 Jumlah telur yang dihasilkan betina T. h. helena dan T. h. hephaestus berdasarkan hari pengamatan ... 46

31 Pupa saat imago keluar: sebelum eklosi (a) dan sesudah eklosi (b) ... 51

32 Posisi imago T. h. helena saat mating: saling berhadapan (a) dan betina berada di atas jantan (b) ... 51

33 Pola peletakan telur T. h. hephaestus: sendiri-sendiri (a) dan mengelompok (b) ... 51

34 Perkawinan T. h. helena jantan dengan T. h. hephaestus betina... 52

(19)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1 Peta penyebaran Troides helena ... 69

2 Beberapa alat yang digunakan dalam penelitian ... 69

3 Data lingkungan fisik di laboratorium ... 70

4 Data lingkungan fisik di kubah penangkaran ... 71

5 Imago yang diserang predator laba-laba ... 72

6 Imago yang diserang predator cicak ... 72

7 Hasil uji t diameter telur T. h. helena ... 73

8 Hasil uji t bobot telur T. h. helena ... 73

9 Hasil uji t panjang pupa T. h. helena ... 74

10 Hasil uji t lebar pupa T. h. helena ... 74

11 Hasil uji t panjang bentangan sayap imago jantan T. h. helena ... 75

12 Hasil uji t panjang bentangan sayap imago betina T. h. helena ... 75

13 Hasil uji t diameter telur T. h. hephaestus ... 76

14 Hasil uji t bobot telur T. h. hephaestus... 76

15 Hasil uji t panjang pupa T. h. hephaestus... 77

16 Hasil uji t lebar pupa T. h. hephaestus ... 77

17 Hasil uji t panjang bentangan sayap imago jantan T. h. hephaestus ... 78

18 Hasil uji t panjang bentangan sayap imago betina T. h. hephaestus ... 78

19 Hasil analisis proksimat pakan pada daun A. tagala ... 79

20 Tanaman-tanaman berbunga sebagai sumber nektar imago ... 80

21 Pupa yang diserang mikroorganisme ... 82

22 Imago yang gagal eklosi... 82

(20)

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Indonesia adalah negara kepulauan beriklim tropik dengan tipe habitat dan ekosistem beragam. Indonesia merupakan habitat yang cocok bagi berbagai fauna termasuk kupu-kupu. Diperkirakan sekitar 4 000 – 5 000 jenis kupu-kupu terdapat di Indonesia (Tsukada & Nishiyama 1982).

Kupu-kupu termasuk ordo Lepidoptera karena mempunyai sisik pada sayapnya yang mudah terlepas seperti debu bila dipegang, kebanyakan tubuh dan tungkai juga tertutup dengan sisik (Triplehorn & Johnson 2005). Kupu-kupu memiliki ciri ujung antena membesar seperti pemukul golf yang membedakannya dengan ngengat (Watts 1991). Kupu-kupu mengalami metamorfosis sempurna karena kehidupannya dimulai dari telur - larva - pupa - dewasa (Gullan & Cranston 2000). Kupu-kupu merupakan satwa liar yang memiliki manfaat ekologi sebagai penyerbuk tanaman, sumber ilmu pengetahuan, bioindikator, dan ekoedutourisme.

Troides helena merupakan salah satu kupu-kupu yang memiliki kombinasi warna sayap indah dan berukuran besar, sehingga menarik perhatian kolektor. Kupu-kupu T. helena termasuk satwa yang diperdagangkan dan telah memasukkan devisa dari subsektor kehutanan Indonesia (Dephut 2009). Untuk mencegah dari kepunahan karena eksploitasi yang berlebihan, maka pemerintah melindungi T. helena melalui PP No. 7 Tahun 1999 (Noerdjito 2001). Semua genus Troides masuk dalam daftar Appendix II CITES, sehingga perdagangan jenis ini harus merupakan hasil budi daya di penangkaran.

Terdapat 17 subspesies dari T. helena di dunia, 13 subspesies ditemukan di Indonesia yang menyebar dari Sumatra bagian selatan sampai ke Kepulauan Tukangbesi di Sulawesi. Dari 13 subspesies tersebut, 2 subspesies diantaranya yaitu Troides helena helena tersebar di Jawa dan Sumatra bagian selatan, sedangkan Troides helena hephaestus tersebar di Sulawesi (Tsukada & Nishiyama 1982).

T. h. helena (Jawa) sudah mulai berkurang populasinya, tetapi masih ditemukan di Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (Suharto et al. 2005). Di

(21)

Taman Nasional Ujung Kulon (New et al. 1987) dan kawasan hutan koridor di Taman Nasional Gunung Halimun-Salak (Efendi 2009), tidak ditemukan adanya T. h. helena. Namun demikian, di daerah Cilember (Cisarua - Bogor) yang merupakan Wana Wisata Curug, kupu-kupu jenis ini masih banyak ditemukan. Penelitian keberadaan T. h. helena di Jawa dan Sumatera Selatan masih terbatas.

Sulawesi memiliki 133 jenis kupu-kupu khas dengan tingkat endemisitas spesies mencapai 43% (Vane-Wright & de Jong 2003). Sulawesi juga memiliki 23 dari 122 jenis Papilionidae yang ada di Indonesia (Tsukada & Nishiyama 1982). Sulawesi merupakan salah satu daerah penjelajahan Wallace tahun 1856-1861. Hasil penelitian Wallace ini menjadi salah satu inspirasi Darwin untuk mengumumkan teori evolusi dalam buku The Origin of Species yang diterbitkan tahun 1859. Wallace mendapat data mengenai keragaman organisme di daerah Sulawesi. Bantimurung merupakan salah satu daerah di Sulawesi Selatan yang mendapat gelar “The Kingdom of Butterfly” oleh Wallace setelah menemukan 270 jenis kupu-kupu di daerah tersebut (Koolhof 2004). Di daerah ini, hidup dengan baik Troides helena hephaestus yang merupakan salah satu subspesies T. helena. Penyebaran T. h. hephaestus di Sulawesi terbatas di Sulawesi Selatan, Kepulauan Tukangbesi, Kepulauan Banggai, dan Kepulauan Sula (Matsuka 2001). Di Hutan Wisata Bantimurung Sulawesi Selatan banyak ditemukan T. h. hephaestus, namun keberadaannya hanya dapat ditemukan pada akhir musim kemarau (Achmad 1988). Sampai saat ini penelitian tentang keberadaan T. h. hephaestus masih sangat terbatas.

Upaya konservasi perlu dilakukan untuk menjaga kelangsungan hidup T. helena di Indonesia. Untuk mendukung upaya konservasi, diperlukan pengetahuan tentang teknik budi daya kupu-kupu dan database tentang biologi T. helena. Sampai saat ini teknik budi daya dan data biologi T. helena di Indonesia belum lengkap. Penangkaran kupu-kupu jenis ini perlu digalakkan untuk mendukung upaya konservasi T. helena di Indonesia.

B. Rumusan Masalah

Kupu-kupu subspesies T. h. helena dan T. h. hephaestus merupakan fauna asli Indonesia yang dilindungi Undang-Undang melalui PP No. 7 Tahun 1999.

(22)

Upaya konservasi perlu dilakukan untuk menjaga kelangsungan hidupnya melalui penangkaran. Diperlukan pengetahuan tentang teknik penangkaran dan data biologi kupu-kupu di penangkaran untuk mencegah kepunahan dan tekanan perburuan di habitat alaminya.

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan:

1. Mempelajari teknik penangkaran kupu-kupu.

2. Mengkaji biologi T. h. helena dan T. h. hephaestus di penangkaran.

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi tentang teknik penangkaran kupu-kupu dan biologi T. h. helena dan T. hephaestus di penangkaran. Informasi yang diperoleh dapat dijadikan database untuk mendukung upaya konservasi T. helena di Indonesia.

E. Kerangka Penelitian

Kerangka penelitian tentang biologi T. h. helena dan T. h. hephaestus (Papilionidae) di penangkaran terdapat dalam gambar 1.

(23)

Gambar 1 Kerangka pemikiran penelitian.

T. h. helena dan T. h. hephaestus mengalami penurunan populasi di alam karena:

- Perburuan liar secara besar-besaran untuk diperdagangkan - Tekanan parasitoid dan predator

- Kekurangan pakan dan habitat alaminya yang telah rusak

- Dilindungi Undang-Undang melalui PP No. 7 Tahun 1999 - Masuk dalam appendix II CITES

- Diperlukan upaya konservasi melalui penangkaran

Penangkaran dengan cara:

Budi daya di laboratorium dan di kubah penangkaran

Kondisi lingkungan yang cocok: - Suhu - Kelembaban - Intensitas cahaya Ketersediaan: - Pakan imago - Pakan larva Sumber bibit : - Pembibitan pakan larva - Breeding

Teknik pemeliharaan yang tepat

- Teknik penangkaran kupu T. h. helena dan T. h. hephaestus

- Data biologi - Ekoedutourisme

(24)

TINJAUAN PUSTAKA

A. Klasifikasi

Kupu-kupu dan ngengat merupakan serangga yang termasuk dalam ordo Lepidoptera dengan ciri khas sisik pada sayap, tubuh, dan tungkai. Kupu-kupu memiliki antena ramping dengan ujung membesar (Triplehorn & Johnson 2005). Kupu-kupu memiliki ciri aktif terbang dan mencari pakan pada siang hari (Watts 1991). Klasifikasi T. helena menurut Triplehorn & Johnson (2005) dan Tsukada & Nishiyama (1982) adalah sebagai berikut:

Filum : Arthropoda Subfilum : Mandibulata Kelas : Insekta Subkelas : Pterygota Ordo : Lepidoptera Superfamili : Papilionoidea Famili : Papilionidae Subfamili : Papilioninae Tribe : Troidini Genus : Troides

Spesies : Troides helena

Subspesies : Troides helena helena Linnaeus, 1758 Troides helena hephaestus Felder, 1864

B. Morfologi a. Telur (Ovum)

Ukuran telur berkaitan dengan jumlah instar pada larva dan ukuran imago kupu-kupu (Chew & Robbins 1984). Pada antena Papilionidae, telur berbentuk bulat dan berwarna hijau kekuningan atau putih (Hoi-sen 1989). Telur T. helena berdiameter 2.5 mm (Carey-Hughes & Pickford 1977), bervolume 2.18 mm³ (Garcia-Barros 2000). Pada bagian bawah telur selalu berbentuk rata dan bagian atas telur terdapat lubang kecil (mikropile) yang merupakan tempat masuknya sperma ke dalam telur (Amir et al. 2003).

(25)

b. Ulat (Larva)

Larva Lepidoptera berbentuk silindri

baik, tubuh terdiri dari 3 ruas di bagian toraks dan 10 ruas di bagian abdomen (Gambar 1). Terdapat sepasang tungkai sejati pada tiap rua

palsu (proleg) pada abdomen (Gambar 2). Tungkai palsu terdapat pada ruas ke 3 6 abdomen dan pada ruas ke 10 yang dilengkapi dengan kait kecil (kroset) pada ujungnya (Gambar 3). Proleg sangat berbeda dengan tungkai sejati karena memiliki ruas yang berbeda dan berdaging (empuk). Proleg digunakan untuk berjalan atau menggantung pada substrat. Pada sisi pleuran dari tiap segmen toraks dan abdomen terdapat sepasang lubang spirakel yang berguna untuk pernafasan. Larva Papilionidae umumnya me

yang dapat dijulurkan apabila larva terganggu (Triplehorn & Johnson 2005).

Gambar 2 Bentuk dan bagian

Larva T. helena

instar ke 2 dan 3 berwarna gelap, dan larva fase instar akhir berwarna abu (Carey-Hughes & Pickford 1977).

toraks kepala osmeterium protoraks tungkai palpus spinneret antena mandibel stemata

Larva Lepidoptera berbentuk silindris (erusiform), kepala berkembang

baik, tubuh terdiri dari 3 ruas di bagian toraks dan 10 ruas di bagian abdomen (Gambar 1). Terdapat sepasang tungkai sejati pada tiap ruas toraks dan tungkai palsu (proleg) pada abdomen (Gambar 2). Tungkai palsu terdapat pada ruas ke 3 6 abdomen dan pada ruas ke 10 yang dilengkapi dengan kait kecil (kroset) pada ujungnya (Gambar 3). Proleg sangat berbeda dengan tungkai sejati karena ki ruas yang berbeda dan berdaging (empuk). Proleg digunakan untuk berjalan atau menggantung pada substrat. Pada sisi pleuran dari tiap segmen toraks dan abdomen terdapat sepasang lubang spirakel yang berguna untuk pernafasan. Larva Papilionidae umumnya memiliki kelenjar bau (osmeterium) yang dapat dijulurkan apabila larva terganggu (Triplehorn & Johnson 2005).

Gambar 2 Bentuk dan bagian-bagian tubuh larva Lepidoptera (Braby 2000).

T. helena instar ke 1 berwarna merah kecoklatan, larva pada fase

instar ke 2 dan 3 berwarna gelap, dan larva fase instar akhir berwarna abu Hughes & Pickford 1977).

abdomen toraks

protoraks

spirakel

tungkai palsu anal kroset

tungkai palsu ventral tungkai sejati

spinneret

), kepala berkembang baik, tubuh terdiri dari 3 ruas di bagian toraks dan 10 ruas di bagian abdomen s toraks dan tungkai

palsu (proleg) pada abdomen (Gambar 2). Tungkai palsu terdapat pada ruas ke 3

-6 abdomen dan pada ruas ke 10 yang dilengkapi dengan kait kecil (kroset) pada ujungnya (Gambar 3). Proleg sangat berbeda dengan tungkai sejati karena ki ruas yang berbeda dan berdaging (empuk). Proleg digunakan untuk berjalan atau menggantung pada substrat. Pada sisi pleuran dari tiap segmen toraks dan abdomen terdapat sepasang lubang spirakel yang berguna untuk miliki kelenjar bau (osmeterium) yang dapat dijulurkan apabila larva terganggu (Triplehorn & Johnson 2005).

bagian tubuh larva Lepidoptera (Braby 2000).

instar ke 1 berwarna merah kecoklatan, larva pada fase

instar ke 2 dan 3 berwarna gelap, dan larva fase instar akhir berwarna abu-abu

anal

kroset tungkai palsu anal

(26)

kroset Tungkai sejati Tungkai palsu (proleg)

(a) (b)

Gambar 3: Larva Lepidoptera: kroset pada ujung proleg (a) dan tungkai sejati dan tungkai palsu (b).

c. Kepompong (Pupa)

Pupa Lepidoptera umumnya memiliki embelan yang menempel erat pada tubuh (abtekt). Pupa Papilionidae menempel pada substrat dengan bantuan juluran ujung posterior (kremaster) (Gambar 4). Di samping itu, juga terdapat serat sutera di tengah sebagai penyangga tubuh selama berada pada stadia pupa. Warna pupa kupu-kupu beragam dan seringkali berlekuk tidak rata (Triplehorn & Johnson 2005). Pupa memiliki cara perlindungan khusus, yaitu dengan cara kamuflase warna dan bentuk (Mastright & Rosariyanto 2005). Pupa T. helena memiliki variasi warna dari coklat terang sampai hijau (Carey-Hughes & Pickford 1977). Variasi warna tersebut tergantung pada tanaman atau substrat tempat larva mengalami pupasi.

(27)

d. Kupu (Imago)

Tubuh kupu terbagi menjadi tiga bagian, yaitu kepala (caput), toraks, dan abdomen. Pada kepala terdapat sepasang antena panjang dan membesar pada ujungnya yang berfungsi sebagai peraba dan perasa. Di kepala terdapat lidah bergulung (proboscis) yang berfungsi sebagai penghisap cairan (Mastright & Rosariyanto 2005). Kupu-kupu memiliki satu pasang mata majemuk (compound eye) yang berfungsi untuk mengenali bentuk, warna, dan gerakan (Braby 2000).

Toraks kupu-kupu terbagi tiga segmen yaitu protoraks, mesotoraks, dan metatoraks. Protoraks merupakan segmen terkecil dan terletak pada segmen terdepan dari toraks. Segmen kedua adalah mesotoraks yang merupakan segmen terbesar. Segmen toraks yang ketiga adalah metatoraks. Pada masing-masing segmen terdapat sepasang tungkai. Sepasang sayap terdapat pada mesotoraks dan metatoraks (Braby 2000) (Gambar 5).

Gambar 5 Morfologi kupu-kupu (D’Abrera 1975).

Abdomen merupakan bagian yang lebih lunak dibandingkan kepala dan toraks. Abdomen terdiri dari 10 segmen yang terdiri atas tergum pada bagian dorsal dan sternum pada bagian ventral. Pada segmen pertama sampai ketujuh abdomen terdapat bukaan (spirakel) yang berfungsi sebagai jalan masuknya udara. Dua atau tiga segmen terakhir abdomen mengalami modifikasi membentuk alat

toraks abdomen mesotoraks metatoraks antena spirakel mata majemuk palpus labial proboscis dasar sayap tarsus koksa trokanter femur tibia

(28)

genitalia. Alat genitalia eksternal jantan dan betina serta saluran alat kelamin betina sering dipergunakan sebagai karakter identifikasi jenis kupu (Braby 2000).

Morfologi T. helena jantan adalah kepala berwarna hitam dengan sisik merah di bagian belakang; dada berwarna hitam dan pada bagian ventral terdapat tanda warna merah; perut berwarna kuning dan putih pada bagian dorsal, serta tertutup garis-garis hitam pada tiap segmen; bagian sisi dalam berwarna kuning; sayap depan memiliki warna dasar abu-abu atau hitam dengan tanda putih; sayap belakang berwarna kuning emas dengan batas hitam yang melebar pada tulang sayap (Simbolon & Iswari 1990).

Morfologi T. helena betina adalah kepala berwarna hitam coklat dengan lengkungan merah pada sisi atas; dada berwarna coklat dan terdapat bulu berwarna merah di bawah dasar sayap; perut umumnya berwarna abu-abu, coklat, atau kuning; sayap depan berwarna abu-abu, coklat atau hitam, serta terdapat sisik-sisik coklat; sayap belakang berwarna kuning keemasan dan hitam serta spot hitam besar dan putih (Simbolon & Iswari 1990).

Sistem venasi pada sayap Papilionidae adalah sayap depan dengan vena radius 4 (R4) dan radius 5 (R5) biasanya dengan ”tangkai”. Vena anal 2, 2A bertangkai dengan 1A. Sayap belakang dengan vena humeral (humeral vein). Subcosta (Sc) sayap belakang terhubung dengan radius sectorial (Rs) dekat dasar vena radius 1 (R1). Vena anal 1 kadang terdapat tonjolan seperti ekor (Nielsen & Common 1991) (Gambar 6).

Gambar 6 Venasi sayap Papilionidae (Nielsen & Common 1991).

(29)

C. Siklus Hidup

Kupu-kupu mengalami metamorfosis sempurna (holometabola), yaitu memiliki empat stadia dalam hidupnya yang terdiri atas telur (ovum), ulat (larva), kepompong (pupa), dan kupu-kupu dewasa (imago) (Gullan & Cranston 2000). Waktu yang dibutuhkan oleh kupu-kupu dalam siklus hidupnya bervariasi. Hal tersebut tergantung pada suhu lingkungan (Carey-Hughes & Pickford 1977). Selain suhu yang lebih panas, telur dari spesies kupu-kupu yang kecil dapat menetas dalam waktu yang relatif lebih cepat.

Larva yang baru menetas dari telur berukuran sangat kecil. Stadia larva adalah fase makan yang intensif karena sebagian besar pertumbuhan tubuh Lepidoptera terjadi pada fase larva. Larva mengalami pergantian kulit, dimana kulit lama dilepaskan dan diganti dengan kulit baru yang ukurannya sesuai. Hal tersebut untuk mengantisipasi kulit yang tidak elastis, sehingga untuk menjadi besar larva mengalami pergantian kulit dari waktu ke waktu. Larva Lepidoptera umumnya mengalami 5 kali ganti kulit, tergantung pada jenis. Fase di antara pergantian kulit dikenal dengan istilah instar. Jumlah instar pada larva tidak selalu konstan. Larva Lepidoptera biasanya terdiri dari 5-7 instar (Chapman 1982), larva T. helena mengalami 4 instar (Carey-Hughes & Pickford 1977).

Pupa adalah masa tidak makan dan merupakan masa reorganisasi serta transformasi organ-organ calon imago (Braby 2000). Untuk melekatkan diri pada substrat, pupa memiliki serat-serat sutera yang dihasilkan oleh larva dari kelenjar sutera. Lama masa pupa kupu-kupu berkisar beberapa hari sampai sebulan lebih (Mastright & Rosariyanto 2005). Fase pupa merupakan suatu periode tidak bergerak, namun pupa T. helena melakukan gerakan berkejang dan mengeluarkan bunyi desis apabila terganggu (Carey-Hughes & Pickford 1977).

Stadia setelah pupa adalah imago. Imago keluar dari pupa dengan membuka bagian atas pupa. Selanjutnya dengan tungkai depan berpegang pada tangkai atau substrat lalu menarik diri keluar dari pupa yang basah. Saat pertama keluar dari pupa, sayap imago masih basah dan terlipat. Imago yang baru keluar dari pupa akan mengeluarkan cairan dari abdomennya, kemudian mengeringkan tubuh dengan cara mengepak-ngepakkan sayapnya. Seluruh proses ini biasanya berlangsung di pagi hari saat cuaca cerah (Mastright & Rosariyanto 2005).

(30)

Panjang sayap depan imago

Betina T. helena memiliki ukuran tubuh lebih besar dari pada jantan. Panjang bentangan sayap dapat mencapai 13

besar dan memiliki

Pickford 1977) (Gambar 7).

(a) (b)

Gambar 7 Bentangan sayap

hephaestus

D. Perilaku

a. Mencari Pakan (Feeding

Pemilihan tanaman pakan inang yang tepat untuk pertumbuhan dan perkembangan larva dilakukan oleh kupu betina saat oviposisi (Rausher 1979). Pilihan tempat oviposisi betina sangat penting bagi kelangsungan hidup keturunannya. Pengenalan pakan dilakukan oleh

olfactory, dan gustatory dari senyawa kimia yang dihasilkan oleh tanaman pakan (Nishida 2005). Larva

mulut untuk merespon senyama kimia tanaman pakannya (Nishida 2005)

Pachliopta aristolochiae

tanaman Aristolochiae dengan membuat lubang

beraturan. Sedangkan larva instar ke 2 memakan daun lunak dari bagian tepinya. Larva instar ke 3 dan

tanaman yang lunak (Barua & Slowik 2007).

Imago kupu-kupu membutuhkan nektar sebagai sumber energi. Alat mulut berupa proboscis sesuai dengan cara mencari pakan (

Panjang sayap depan imago T. helena adalah 81.00 mm (Garcia

memiliki ukuran tubuh lebih besar dari pada jantan. Panjang

bentangan sayap dapat mencapai 13-18 cm. Imago T. helena umumnya berukuran

warna berbeda antara jantan dan betina (Carey Pickford 1977) (Gambar 7).

(a) (b)

Gambar 7 Bentangan sayap T. h. hephaestus jantan 13.5 cm (a) dan

hephaestus betina 14.5 cm (b).

Feeding)

Pemilihan tanaman pakan inang yang tepat untuk pertumbuhan dan perkembangan larva dilakukan oleh kupu betina saat oviposisi (Rausher 1979). Pilihan tempat oviposisi betina sangat penting bagi kelangsungan hidup

keturunannya. Pengenalan pakan dilakukan oleh betina berupa sensor visual,

olfactory, dan gustatory dari senyawa kimia yang dihasilkan oleh tanaman pakan

(Nishida 2005). Larva Papilio xuthus (Papilionidae) memiliki chemosensilla pada

mulut untuk merespon senyama kimia tanaman pakannya (Nishida 2005)

Pachliopta aristolochiae (Papilionidae) yang baru menetas memakan daun lunak

tanaman Aristolochiae dengan membuat lubang-lubang kecil yang tidak

beraturan. Sedangkan larva instar ke 2 memakan daun lunak dari bagian tepinya. dan instar ke 4 memakan daun muda, daun tua, serta bagian lain tanaman yang lunak (Barua & Slowik 2007).

kupu membutuhkan nektar sebagai sumber energi. Alat mulut berupa proboscis sesuai dengan cara mencari pakan (feeding

adalah 81.00 mm (Garcia-Barros 2000).

memiliki ukuran tubuh lebih besar dari pada jantan. Panjang umumnya berukuran

warna berbeda antara jantan dan betina (Carey-Hughes &

jantan 13.5 cm (a) dan T. h.

Pemilihan tanaman pakan inang yang tepat untuk pertumbuhan dan perkembangan larva dilakukan oleh kupu betina saat oviposisi (Rausher 1979). Pilihan tempat oviposisi betina sangat penting bagi kelangsungan hidup betina berupa sensor visual, olfactory, dan gustatory dari senyawa kimia yang dihasilkan oleh tanaman pakan (Papilionidae) memiliki chemosensilla pada

mulut untuk merespon senyama kimia tanaman pakannya (Nishida 2005). Larva

(Papilionidae) yang baru menetas memakan daun lunak lubang kecil yang tidak beraturan. Sedangkan larva instar ke 2 memakan daun lunak dari bagian tepinya. 4 memakan daun muda, daun tua, serta bagian lain

kupu membutuhkan nektar sebagai sumber energi. Alat mulut

(31)

menghisap. Kupu-kupu secara umum menyukai jenis bunga yang memiliki kantong madu dangkal agar mudah dijangkau oleh proboscis (Noerdjito & Amir 1992). Umumnya, kupu-kupu terbang mencari nektar ketika cuaca cerah dan tubuhnya cukup hangat untuk dapat terbang. Waktu mulai aktif adalah awal matahari terbit di pagi hari sampai akhir sore hari (Braby 2000). Alternatif sumber nektar bagi kupu-kupu adalah nektar buatan berupa cairan madu (Gambar 8) dengan perbandingan air dan madu adalah sembilan berbanding satu (Watts 1991).

Gambar 8 Kupu jantan sedang menghisap nektar buatan.

Selain mengunjungi sumber nektar, kupu-kupu juga sering menghisap air dan makanan lain yang mengandung mineral. Kupu jantan menyukai air seni sebagai sumber mineralnya (Mastright & Rosariyanto 2005). Sumber mineral yang sering dikunjungi oleh kupu-kupu adalah buah yang busuk, kotoran, urine, dan bangkai. Di samping itu, tempat feeding sumber mineral lain bagi kupu-kupu adalah tebing basah, kubangan lumpur, dan pasir berair. Areal tersebut merupakan sumber mineral dan nutrisi bagi kupu-kupu untuk kelangsungan hidup dan reproduksinya (Stokes et al. 1991).

(32)

b. Berjemur (Basking)

Kupu-kupu membutuhkan suhu tubuh berkisar antara 29.4-37.8 ºC untuk dapat terbang dengan baik. Untuk mencapai suhu tubuh tersebut, kupu-kupu seringkali berjemur dengan memanfaatkan sinar matahari. Cara kupu-kupu berjemur ada beberapa macam diantaranya dengan membuka lebar sayap lalu menghadapkan ke arah matahari. Cara lain dengan menutup sayap dan menempatkan posisi tubuh tegak lurus ke arah sinar matahari. Aktivitas berjemur kupu-kupu umumnya dimulai pada pagi hari (Stokes et al. 1991).

c. Berkerumun (Puddling)

Secara umum kupu-kupu jantan sering berkerumun di sekitar genangan air atau tempat becek untuk menghisap air yang mengandung mineral, khususnya sodium. Sodium dibutuhkan untuk menghasilkan aroma khas (seks feromon) yang digunakan saat mencari pasangan. Disamping hal tersebut, sodium bersama mineral lainnya diperlukan dalam perkawinan (Stokes et al. 1991).

d. Mencari Pasangan (Courting)

Umumnya kupu-kupu jantan aktif terbang mencari betina sebagai pasangan kawin dengan terbang berkeliling menggunakan pengamatan visual. Jika betina yang diamati ternyata bukan sesama jenisnya, maka ia akan terbang ke tempat lain. Apabila yang ditemukan ternyata jantan dari jenisnya, maka akan berkejaran sejenak lalu terbang secara vertikal hingga akhirnya berpisah. Jantan yang menemukan betina akan melakukan percumbuan (courtship) dengan terbang mengitari betina sambil mengepak-ngepakkan sayapnya. Sambil terbang, jantan juga akan melepaskan feromon melalui sayap atau tubuh. Selanjutnya betina akan hinggap pada suatu tempat dan diikuti oleh jantan untuk berkopulasi (Stokes et al. 1991).

e. Kawin (Mating)

Pasangan imago yang telah melakukan courtship akan melakukan mating. Jantan dan betina akan hinggap pada suatu tempat dengan posisi saling membelakangi. Selanjutnya, pasangan akan saling melengkungkan abdomen

(33)

untuk melakukan kopulasi atau perkawinan. Kopulasi pada kupu-kupu dapat berlangsung antara sepuluh menit sampai beberapa jam. Seringkali pasangan imago terbang dalam kondisi abdomen yang masih saling menempel (Stokes et al. 1991). Hal tersebut terjadi apabila pasangan yang sementara mating mendapat gangguan.

f. Meletakkan Telur (Egg laying)

Perilaku meletakkan telur (egg laying) dikenal pula dengan istilah oviposisi. Betina yang akan meletakkan telur akan terbang sambil menyentuh berulang kali daun tanaman yang berbeda. Hal tersebut dilakukan untuk mendeteksi dan mengidentifikasi tanaman pakan larvanya. Betina meraba permukaan daun dengan menggunakan tungkai, antena, dan proboscisnya. Identifikasi pakan larva juga dilakukan betina dengan mencium aroma dari tanaman. Setelah betina menemukan tanaman pakan larvanya, ia akan meletakkan telurnya pada permukaan bawah atau atas dari tanaman tersebut (Stokes et al. 1991). Imago betina Ornithoptera alexandrae (Papilionidae) umumnya meletakkan telur tunggal pada bagian bawah daun tua. Seringkali telur juga diletakkan dengan jarak beberapa sentimeter sampai satu meter di atas tanaman pakan larva (Straatman 1971).

E. Habitat Dan Penyebaran a. Habitat

Secara umum kupu-kupu menyukai tempat yang bersih, sejuk, dan tidak terpolusi oleh insektisida. Hal ini menyebabkan kupu-kupu sering digunakan sebagai bioindikator (Amir et al. 2003). Kupu-kupu membutuhkan tumbuhan sebagai sumber pakan larva, sumber nektar, dan tanaman pelindung untuk kelangsungan hidupnya (Achmad 1988). Oleh karena itu keragaman jenis tumbuhan pada suatu daerah berpengaruh terhadap keragaman jenis kupu-kupu. Keadaan iklim tropik juga merupakan habitat yang cocok bagi perkembangan berbagai jenis kupu-kupu (Tsukada & Nishiyama 1982). Daerah terrestrial dengan ketinggian 0-2 000 mdpl memungkinkan berbagai jenis kupu-kupu dapat hidup. Habitat kupu-kupu antara lain daerah pertanian, perkebunan, lahan bera (waste

(34)

lands), dan kawasan hutan (Clark et al. 1966). Habitat utama Ornithoptera alexandrae (Papilionidae) yaitu pada ketinggian di atas 900 mdpl (Straatman 1971).

b. Penyebaran

Penyebaran T. helena menurut Tsukada dan Nishiyama (1982) yaitu: T. h. cerberus meliputi N. India, Burma, Laos, Vietnam, Thailand, Malay Peninsula; T. h. spilotius meliputi Hainan S dan China; T. h. heliconoides di Andaman; T. h. ferrari di Nicobar; T. h. typhaon di N. C. Sumatra; T. h. isora di Nias; T. h. nereis di Enggano; T. h. mosychlus di Borneo & Natura; T. h. helena di Java & S. w. Sumatra; T. h. nereides di Bawean; T. h. antileuca di Kangean; T. h. maurus di Bali; T. h. sagittatus di Lombok; T. h. propinguus di Sumbawa; T. h. hephaestus di Celebes; T. h. mopa di Butung; dan T. h. neoris di Tukangbesi (Lampiran 1).

F. Pakan

Umumnya, kupu-kupu menyukai berbagai jenis bunga dengan kantong madu yang dangkal dan mudah dijangkau oleh proboscisnya, seperti bunga Lantana sp. dan Mimosa sp. (Noerdjito dan Amir 1992). Makanan larva Papilionidae terutama adalah bagian-bagian tumbuhan Aristolochiaceae, Rutaceae, Lauraceae, Annonaceae, dan Umbeliferae (Noerdjito dan Aswari 2003). Pakan larva T. helena adalah A. tagala (Carey-Hughes & Pickford 1977).

G. Penangkaran

Penangkaran adalah upaya pengembangbiakan jenis satwa liar secara intensif pada suatu tempat terbatas, seperti kandang. Satwa liar yang perlu segera ditangkarkan adalah yang ukuran populasinya di alam sangat rendah. Hal yang perlu diperhatikan dalam penangkaran adalah kualitas bibit, jumlah bibit, dan variasi genetiknya. Faktor tersebut perlu diperhatikan karena satwa yang hidup di penangkaran sangat peka terhadap perubahan fekunditas, daya hidup, materi genetik, seks rasio, dan ukuran tubuh (Thohari 1987).

Pemeliharaan telur kupu-kupu di dalam ruangan sangat tergantung pada teknik pemindahan telur dari alam. Pemeliharaan larva kupu-kupu sebaiknya di

(35)

tempatkan pada toples yang diberi banyak pakan untuk menghasilkan imago berukuran besar. Prepupa dan pupa sebaiknya dipelihara dalam ruangan dan menjaga agar kremasternya tidak terlepas. Imago sebaiknya dipelihara dalam penangkaran yang cukup luas agar dapat terbang dengan leluasa. Penangkaran harus berisi tanaman penghasil nektar, tanaman pakan larva, dan tanaman pelindung sebagai penyejuk (Tikupadang & Gunawan 1997).

H. Life Table

Life table atau neraca kehidupan menggambarkan tentang perkembangan, kelangsungan hidup, produktivitas atau kesuburan induk betina pada suatu kelompok dan menyajikan data dasar parameter pertumbuhan populasi. Life table dihasilkan dari data lapangan dan digunakan untuk mengestimasi kemampuan adaptasi populasi yang dipengaruhi oleh faktor biotik dan abiotik (Gabre et al. 2005). Kelahiran dan kematian dapat ditabulasi dengan menggunakan life table. Neraca kehidupan juga merupakan ringkasan pernyataan yang memuat tipe kehidupan individu dari populasi atau kelompok individu, sehingga harapan hidup individu dapat diperhitungkan (Price 1984).

(36)

BAHAN DAN METODE

A. Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian dilaksanakan dari bulan Februari 2008 sampai bulan Oktober 2009 bertempat di laboratorium Biomolekuler PPSHB PAU dan kubah penangkaran IPB (Gambar 9).

Gambar 9 Kubah penangkaran IPB.

B. Bahan dan Alat

Bahan yang diperlukan dalam penelitian ini adalah 10 Pupa T. h. helena dan 10 pupa T. h. hephaestus, tanaman pakan larva berupa sirih hutan (Aristolochia tagala) yang bibitnya sebagian didatangkan dari Bantimurung dan Cilember. Tanaman pakan imago berupa berbagai jenis tanaman berbunga, yaitu: pagoda (Clerodendrum sp.), soka (Ixora paludosa), pacar air (Impatients balsamina), lantana (Lantana camara), lolipop merah (Justicia carnea), jengger ayam, teratai (Nymphaea sp.), batavia (Jathropa integerrima), beauty (Cuphea hissofolia), merak (Caesalpinia pulcherrima), cucur bebek (Kalanchoe pinnuta), dan sirih pagar. Bahan lain yang digunakan adalah nektar buatan, berupa larutan

(37)

madu dengan perbandingan air dan madu 9:1, alkohol, tisu, selotip, lem fox, tali plastik, styrofoam, dan air.

Alat yang digunakan yaitu: pinset, gunting, pipet tetes, kuas, lup, labu semprot, jam, kamera digital merek Fujifilm tipe FinePix S700 – 7,1 megapixels 10 x optical zoom dilengkapi tripod, timbangan digital AND HX-100 berskala 0.0001 gram, termometer minimum – maksimum, luxmeter merek Extech model 401025, higrometer merek Kawe, mistar, jangka sorong, mikrometer, mikroskop stereo merek Zeiss model Stemi 2000-C pembesaran 62.5 x , oven merek Heraeus D-6450 Hanau max 250 ºC, botol film, nampan plastik, jaring serangga dan alat tulis menulis (Lampiran 2). Sarana penunjang lain terdiri dari: kubah penangkaran, kandang kawin, kandang pupa, cawan petri, toples gelas, dan toples plastik.

C. Metode Penelitian a. Persiapan

1. Penyiapan Kubah Penangkaran, Kandang Kawin dan Kandang Pupa

Kubah penangkaran IPB yang berukuran tinggi 9 m dan diameter 13 m

pada awalnya merupakan tempat pembibitan dan penyimpanan tanaman hias yang dikelola oleh Direktorat Properti Bagian Pertamanan IPB. Setelah mendapatkan persetujuan peminjaman kubah, dilakukan penyiapan kubah penangkaran dengan mengadakan renovasi dan pembersihan bagian kubah untuk memastikan tidak adanya lubang yang memungkinkan imago lepas dan predator masuk ke penangkaran. Suhu, kelembaban, dan intensitas cahaya di kubah penangkaran dan di laboratorium diukur agar diketahui kondisi lingkungan.

Kandang kawin di dalam kubah penangkaran dibuat dari bambu dan

paranet berukuran 3 x 2 x 3 m (Gambar 10a). Sebelum ukuran kandang kawin ditentukan, diadakan penelitian pendahuluan untuk memastikan pasangan imago dapat menempati luasan minimum agar dapat melakukan perkawinan.

Kandang pupa terbuat dari rangka kayu dan kain kasa berukuran 40 x 40

x 40 cm dan ditempatkan di laboratorium (Gambar 10b). Salah satu sisi dibuat pintu untuk memasukkan pupa dan mengeluarkan imago jika ada imago yang keluar dari pupa (eklosi), serta diberi kapur pengaman predator semut. Penetapan

(38)

ukuran dan model kandang pupa didapatkan setelah dilakukan penelitian pendahuluan untuk memastikan imago dapat mengalami eklosi dan tidak keluar dari kandang pupa setelah eklosi.

a b

Gambar 10 Kandang yang digunakan untuk penelitian: kandang kawin (a) dan kandang pupa (b).

2. Penyiapan Pakan Imago dan Pakan Larva

Kubah penangkaran dan kandang kawin berisi pakan imago berupa berbagai tanaman berbunga seperti pagoda (Clerodendrum sp.), soka (Ixora paludosa), pacar air (Impatients balsamina), lantana (Lantana camara), lolipop merah (Justicia carnea), jengger ayam, teratai (Nymphaea sp.), batavia (Jathropa integerrima), beauty (Cuphea hissofolia), merak (Caesalpinia pulcherima), cucur bebek (Kalanchoe pinnuta), dan sirih pagar. Di dalam kubah penangkaran ini dilengkapi pula dengan tanaman pelindung, seperti bambu jepang dan sanseviera.

Langkah berikutnya adalah pembibitan pakan larva (Gambar 11), dengan menyemai biji A. tagala menggunakan nampan plastik yang diberi beberapa lubang pada bagian bawahnya. Nampan yang telah diisi biji A. tagala kemudian ditutup dengan plastik. Apabila biji-biji tersebut telah tumbuh dan memiliki tiga sampai empat daun, maka bibit dipindahkan ke polibag. Pembibitan dapat juga berasal dari stek tangkai tua yang ditanam dalam polibag. Biji yang telah disemai ditutup dengan sungkup plastik, sedangkan polibag berisi bibit dan stek tangkai diletakkan ditempat yang aman yaitu tidak terkena hujan dan sinar matahari langsung. Bibit A. tagala yang telah tumbuh kemudian ditanam di bagian tepi

(39)

dalam kubah penangkaran dan diberi tali untuk sarana merambat, sedangkan sebagian lagi ditempatkan dalam pot yang diberi kawat besi (Gambar 12).

a b d c

Gambar 11 Proses pembibitan pakan larva: biji A. tagala (a), biji A. tagala disemai dalam nampan (b), bibit satu minggu setelah disemai (c), dan bibit umur satu bulan (d).

a b

Gambar 12 Posisi peletakan tanaman pakan larva: stek A. tagala di polibag telah tumbuh (a), A. tagala di pot (b).

(40)

3. Pemilihan Pupa

Pupa T. h. helena didapatkan dari hasil budidaya di Wana Wisata Curug Cilember (Gambar 13), sedangkan T. h. hephaestus berasal dari Taman Nasional Bantimurung-Bulusaraung (Gambar 14). Banyaknya pupa dari masing-masing subspesies tersebut adalah 10 dengan kondisi baik. Pupa-pupa tersebut ditempatkan di kandang pupa dalam laboratorium. Tangkai tanaman tempat bergantungnya pupa ditancapkan pada styrofoam dalam kandang pupa. Apabila ada pupa yang terlepas, maka bagian ventral pupa direkatkan pada kayu dengan menggunakan lem fox.

(41)

Gambar 14 Peta lokasi Taman Nasional Bantimurung-Bulusaraung.

b. Pelaksanaan penelitian

1. Teknik Penangkaran

Bagian tepi dalam kubah penangkaran ditanami A. tagala yang diberi sarana untuk merambat berupa tanaman bambu jepang. Diantara tiang kubah penangkaran diberi bentangan tali plastik sebagai sarana merambat A. tagala. Bagian tengah kubah penangkaran ditanami A. tagala yang ditempatkan dalam wadah pot mengelilingi kolam penampungan air. Tanaman berbunga sebagai sumber nektar imago juga ditanam pada bagian tepi dan tengah kubah penangkaran secara teratur, dan sebagian ditempatkan dalam wadah pot. Kandang kawin dalam kubah penangkaran juga ditanami A. tagala dan bunga sebagai sumber nektar imago. Pemberian nektar buatan dari larutan madu ditempatkan pada wadah yang diberi bunga. Setiap dua hari sekali, nektar buatan diganti dengan larutan baru dan bunga yang masih segar. Setiap dua hari sekali, kubah

(42)

penangkaran diperiksa dan dibersihkan dari predator. Setiap hari atap dan dinding kubah penangkaran diperiksa dari kebocoran yang memungkinkan imago lepas dari kubah penangkaran. Setiap lima hari, tanaman pakan larva dan pakan imago diperiksa dan dibersihkan dari hama dan gulma yang menyerang.

Laboratorium tempat pemeliharaan telur sampai pupa diperiksa dan dibersihkan setiap hari dari serangan musuh alami, khususnya semut dan tikus. Penampungan air dan pencahayaan juga setiap hari diperiksa untuk menjaga kelembaban laboratorium. Jendela laboratorium dibuka pada siang hari, jika suhu udara mencapai 37 ºC.

Stadia telur sampai larva instar ke 3 ditempatkan dalam cawan petri. Larva instar ke 4 sampai instar ke 5 dan prepupa sampai pupa berumur satu hari ditempatkan dalam toples gelas. Pupa berumur satu hari ditempatkan dalam kandang pupa sampai imago keluar. Imago yang telah kering sayapnya dipindahkan ke kubah penangkaran menggunakan toples plastik yang bagian atasnya ditutup kain kasa.

2. Pengukuran Lingkungan Fisik Laboratorium dan Kubah Penangkaran

Suhu dan kelembaban ruangan di laboratorium diukur tiga kali sehari (pukul 07.00, 12.00 dan 17.00). Sedangkan di kubah penangkaran dilakukan pengukuran suhu, kelembaban dan intensitas cahaya tiga kali sehari (pukul 07.00, 12.00 dan 17.00) untuk diketahui kondisi lingkungan. Intensitas cahaya di laboratorium tidak diukur, karena cahaya berasal dari lampu yang intensitasnya sudah diketahui dan tetap (500 lux). Data lingkungan diukur secara rutin mulai bulan Februari 2009 sampai Oktober 2009.

3. Pengamatan Lama Waktu Setiap Stadia dan Kelangsungan Hidup

Pasangan imago yang melakukan perkawinan dicatat waktu dan lamanya perkawinan dan direkam imago yang melangsungkan perkawinan, dengan bantuan kamera digital. Telur yang telah diletakkan oleh imago betina di daun sirih hutan, kemudian diambil dan ditempatkan dalam cawan petri di laboratorium. Pada cawan tersebut diberi label hari peletakan telur. Telur diambil dengan cara menggunting daun tempat menempelnya telur atau dengan menggunakan kuas.

(43)

Data penunjang dicatat, seperti tempat dan posisi diletakkannya telur dan jumlah telur yang menetas menjadi larva instar ke 1. Setiap hari, telur diperiksa untuk memastikan ada tidaknya parasitoid yang menyerang telur. Telur yang terserang parasitoid segera dipisahkan.

Telur yang telah menetas menjadi larva instar ke 1 segera ditempatkan dalam cawan petri berdiameter 9 cm tinggi 2 cm di laboratorium. Cawan-cawan tersebut diisi dengan daun A. tagala sampai larva mencapai instar ke 4. Ujung tangkai A. tagala dibalut dengan tisu basah agar daun tetap segar. Waktu menetasnya telur dicatat untuk diketahui lama masa telur dan umur awal larva. Setiap 1 cawan petri hanya diisi 1 larva untuk memudahkan pengamatan (Gambar 15). Setiap hari cawan petri dibersihkan dari kotoran larva. Kapsul kepala yang terlepas saat larva mengalami ganti kulit (moulting) dipisahkan dan dikumpulkan dalam wadah tersendiri sebagai indikator bahwa larva telah mengalami ganti kulit.

Gambar 15 Larva instar ke 3 dalam cawan petri yang berisi A. tagala.

Larva instar ke 4 dipindahkan ke toples gelas berdiameter 14.5 cm dengan tinggi 23 cm dan ditempatkan di laboratorium (Gambar 16a). Toples diberi daun A. tagala yang tangkainya ditempatkan dalam botol film berisi air untuk menjaga agar daun tetap segar. Tiga kali dalam sehari, kotoran larva dibersihkan dan diperiksa ketersediaan pakan agar larva tidak kekurangan pakan. Larva yang

(44)

mengeluarkan cairan dari analnya sebagai tanda akan memasuki stadia prepupa, maka di dalam toples tersebut diberi sarana untuk memanjat berupa kayu yang ditancapkan pada botol film. Setiap hari diamati dan dicatat fase perkembangan yang terjadi pada larva (instar) untuk mengetahui lamanya masa larva setiap fase instar. Jumlah larva yang hidup pada setiap fase dihitung, kemudian diamati perilaku selama stadia larva. Periode larva atau lamanya masa larva dihitung sejak menetas dari telur sampai menjadi prepupa. Toples gelas segera dibersihkan dari kotoran dan dikosongkan dari pakan apabila larva telah memasuki stadia prepupa (Gambar 16b).

(a) (b)

Gambar 16: Larva instar ke 4 dalam toples gelas berisi daun A. tagala (a), stadia prepupa (b).

Individu yang telah berada pada stadia prepupa masih ditempatkan dalam toples gelas di laboratorium sampai larva menjadi pupa (pupasi). Sisa kulit (exuviae) prepupa saat pupasi ditempatkan dalam wadah terpisah. Dicatat waktu pupasi dan jumlah prepupa yang berkembang menjadi pupa. Lamanya stadia prepupa dihitung sejak larva menggantung dengan menggunakan sutera dan kremaster sampai pupasi yang ditandai dengan terlepasnya exuviae prepupa.

Pupa yang telah berumur sehari dipindahkan ke kandang pupa di laboratorium dengan menancapkan kayu tempat menggantungnya pupa pada styrofoam (Gambar 17). Untuk memudahkan pemantauan pupa, maka satu kandang hanya diisi empat sampai enam pupa (Gambar 17a). Setiap hari pupa

(45)

diamati untuk menghindari kerusakan dan kematian pupa dan untuk memeriksa predator. Pupa yang rusak segera dikeluarkan dari kandang untuk mencegah penularan ke pupa lainnya, selanjutnya kandang dibersihkan. Ciri pupa yang akan mengalami eklosi menjadi imago adalah berwarna agak gelap atau kehitaman (Gambar 17b). Jumlah imago yang keluar dari pupa dicatat dan lama stadia pupa dihitung sejak pupasi sampai eklosi.

Imago yang baru mengalami eklosi mengeluarkan cairan dari ujung abdomennya, kemudian mengeringkan sayap di penggantung pupa dengan mengepak-ngepakkan sayap. Selanjutnya, imago bergantung pada dinding kandang sampai sayap benar-benar kering dan membentang dengan sempurna. Imago kemudian diukur bentangan sayapnya menggunakan jangka sorong dan selanjutnya dilepas ke kubah penangkaran. Imago dibawa ke penangkaran menggunakan toples plastik yang ditutup dengan paranet dan satu kotak hanya diisi dengan satu imago. Lama periode imago dihitung sejak eklosi sampai imago mati. Seks rasio antara imago jantan dan imago betina dihitung.

a b

Gambar 17 Pupa T. h. hephaestus: enam pupa dalam kandang pupa (a), perubahan warna pupa menjelang eklosi (b).

4. Pengamatan Morfologi Telur, Larva, Pupa, dan Imago

Sebanyak tiga puluh telur yang berumur 5 hari diukur diameternya menggunakan mikrometer pada mikroskop stereo, dan diamati warna telurnya (Gambar 18). Bobot telur ditimbang menggunakan timbangan digital.

Panjang dan lebar sepuluh larva diukur dengan jangka sorong skala 0.05 mm. Panjang larva diukur dari ujung kapsul kepala sampai ujung abdomen,

Gambar

Gambar 2  Bentuk dan bagian
Gambar 3:  Larva Lepidoptera: kroset pada ujung proleg (a) dan tungkai sejati dan  tungkai palsu (b)
Gambar 5  Morfologi kupu-kupu (D’Abrera 1975).
Gambar  7    Bentangan  sayap  hephaestus
+7

Referensi

Dokumen terkait

Masih ada aspek-aspek lain yang juga harus diperhatikan diantaranya, Aspek Yuridis, Pembentukan OJK ini mengakibatkan perubahan yang berkaitan dengan tugas dan wewenang

Jumlah telur per hari yang diletakkan imago betina pada daun cabai dengan perlakuan cendawan endofit lebih rendah dibandingkan dengan kontrol dari hari ke-1 sampai hari ke-6

Hal-hal yang harus diperhatikan untuk budidaya tanaman bawang merah ( Allium cepa var. ascalonicum ) antara lain adalh iklim meliputi ketinggian tempat, suhu

Misalnya pada sampel berupa air sungai tempat pembuangan limbah suatu industri, maka beberapa hal yang perlu diperhatikan adalah : sampel harus segera diproses segera

sebanyak 0,1ml kedalam cawan petri sesuai dengan media yang digunakan yaitu Mac Konkeyagar untuk mengetahui total koliform, dan PCA untuk mengetahui total bakteri

Menurut Nurmianto, (1998) dalam sistem pengembangan produk kursi, terdapat beberapa kriteria yang harus diperhatikan, antara lain: 1) stabilitas produk; 2) kekuatan produk;

Dalam mengimplementasikan ta’widh, ada beberapa hal yang harus diperhatikan oleh Perbankan Syariah, antara lain: (1) ta’wih harus didasarkan atas biaya riil (real cost) yang

Setelah perusahaan melakukan pelaksanaan semua aktivitas perusahaan, aspek penting lain yang harus diperhatikan dalam mengelola sebuah organisasi perusahaan adalah