• Tidak ada hasil yang ditemukan

B A B I P E N D A H U L U A N

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "B A B I P E N D A H U L U A N"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

B A B I

P E N D A H U L U A N

A. LATAR BELAKANG

Perkawinan merupakan hal yang sangat penting dalam hubungan antar manusia karena perkawinan tidak hanya sebuah peristiwa hukum antara suami dan istri. Akan tetapi, perkawinan juga sebuah peristiwa sosiologis yang berdampak bagi orang ketiga atau orang-orang diluar perkawinan tersebut. Apabila ada pertanyaan terkait “ Mengapa setiap manusia dianjurkan untuk melaksanakan perkawinan ?" mungkin setiap orang juga menemukan berbagai alasan yang berbeda. Oleh karena manusia sebagai makhluk yang berakal, maka bagi manusia perkawinan merupakan budaya untuk berketurunan guna kelangsungan dan memperoleh ketenangan hidupnya, yang beraturan dan mengikuti perkembangan budaya manusia. Dalam masyarakat sederhana budaya perkawinan adalah dalam bentuk yang sederhana, sempit, dan bahkan tertutup. Sedangkan dalam masyarakat modern budaya perkawinannya maju, luas serta terbuka.1 Perkawinan sudah ada dalam masyarakat yang sederhana sekalipun, karena ia dipertahankan oleh anggota-anggota masyarakat dan para pemuka agama dan pemuka adat.

1

Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia menurut Perundangan, Hukum Adat, Hukum Agama, Bandung, Mandar Maju, 2003, Hlm 1.

(2)

Perkawinan dianggap sebagai sebuah prosesi yang sakral dan suci yang mana tidak mengherankan permasalahan mengenai perkawinan ini sering kali dihubungkan dengan kaedah-kaedah agama. Selain kaedah agama, perkawinan juga erat kaitannya dengan adanya norma hukum dan aturan yang mengaturnya. Hukum diperlukan dalam perkawinan dikarenakan dampak dari diberlangsungkannya perkawinan itu sendiri dimana akan menimbulkan hak, kewajiban, serta tanggung jawab masing-masing mempelai juga anggota keluarganya. Apabila tidak ada aturan hukum yang jelas mengikat terkait hal tersebut, maka ditakutkan akan terjadi perselisihan dikemudian hari.

Aturan perkawinan bagi bangsa Indonesia adalah Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang berlaku secara resmi sejak tanggal diundangkan, yaitu tanggal 2 Januari 1974, kemudian berlaku secara efektif pada tanggal 1 Oktober 1975, melalui Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Undang-Undang tersebut sudah berlaku secara formal yuridis bagi bangsa Indonesia, dan telah menjadi bagian dari hukum positif. Undang-undang perkawinan ini, selain meletakkan asas-asas, sekaligus menampung prinsip-prinsip dan memberikan landasan hukum perkawinan yang selama ini menjadi pegangan dan berlaku bagi berbagai golongan masyarakat Indonesia.2

2

Asmin, Status Perkawinan Antar Agama Ditinjau dari Undang-undang Perkawinan No.1 Tahun 1974, Jakarta, Dian Rakyat, 1986, hlm. 16

(3)

Menurut Undang-undang No.1 Tahun 1974 dalam Pasal 1 menyatakan bahwa “ Perkawinan sebagai ikatan lahir dan batin antara seorang wanita dengan seorang pria sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha esa”.3

Ikatan lahir batin yang sebagaimana yang disebutkan dalam pasal 1 tersebut merupakan perwujudan dari hak asasi manusia itu sendiri, yang mana menunjukan bahwasanya perkawinan merupakan bagian dari hak kebebasan pribadi, pikiran dan hati nurani serta hak beragama dan juga hak menikah dan membentuk keluarga yang ketentuannya juga diatur dalam Pasal 4 Undang-Undang No.39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Walaupun tentang perkawinan ini telah ada pengaturannya dalam Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974, tidak berarti bahwa undang-undang ini telah mengatur semua aspek yang berkaitan dengan perkawinan, contoh persoalan yang tidak diatur oleh UU Perkawinan adalah perkawinan beda agama, yaitu antara seorang laki-laki dan seorang perempuan yang berbeda agama.4

Masalah kawin beda agama kembali mencuat setelah adanya pengajuan permohonan pengujian Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan kepada Mahkamah Konstitusi pada September 2014 yang lalu. Pasal tersebut mengatur terkait syarat sahnya perkawinan, yang mana berbunyi sebagai berikut:

3 Djaja S Meliala,Himpunan Peraturan Perundang-Undangan tentang Perkawinan, Nuansa Aulia,

Bandung, 2008, hlm.,1.

4 Rusli dan R. Tama, Perkawinan Antar Agama dan Masalahnya, Pionir Jaya, Bandung, 1986, hlm.

(4)

Pasal 2

(1) Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.

(2) Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal tersebut diintepretasikan bahwa negara memberikan pembatasan terhadap perkawinan yang hanya diakui secara sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaan yang dianut. Dengan demikian, pasal tersebut tidak memberikan kepastian hukum yang jelas kepada calon mempelai yang menikah apabila memiliki keyakianan ataupun agama yang berbeda. Ketentuan tersebut memberikan pembatasan berdasarkan agama terhadap kebebasan hak untuk menikah dan membentuk keluarga terhadap lelaki dan perempuan yang telah dewasa yang mana diatur dalam Universal Declaration on Human Rights ( Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia).

Di dalam Universal Declaration of Human Rights (UDHR) menerangkan dan juga menegaskan bahwasanya perkawinan merupakan bagian dari Hak dasar manusia dalam pergaulan masyarakat Internasional. Hal tersebut dilihat dimana secara khusus hak untuk menikah dan

(5)

membentuk keluarga diatur dalam pasal 16 UDHR yang mana berbunyi sebagai berikut :5

Article 16

(1) Men and women offull age, without any limitation due to race, nationality or religion, have the right to marry and to found a family. They are entitled to equal rights as to marriage, during marriage and at its dissolution

(2) Marriage shall be entered into only with free and full consent of intending spouses

(3) The family is the natural and fundamental group unit of society and is entitled to protection by society and State

Pasal 16

(1) Orang-orang dewasa baik laki-laki maupun perempuan, dengan tidak dibatasi oleh kebangsaan, kewarganegaraan atau agama, berhak untuk menikah dan untuk membentuk keluarga. Mereka mempunyai hak yang sama dalam hal perkawinan, di dalam masa perkawinan dan di saat perceraian

5

Vide Pasal 16 ayat (1),(2), dan (3) Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia ( Universal Declarationof Human Rights) tentang Hak menikah dan membentuk keluarga, yang dideklarasikan pada tanggal 10 Desember 1948.

(6)

(2) Perkawinan hanya dapat dilaksanakan berdasarkan pilihan bebas dan persetujuan kedua mempelai

(3) Keluarga adalah kesatuan alamiah dan fundamental dari masyarakat dan berhak mendapatkan perlindungan dari masyarakat dan negara

Selain itu, kedudukan hak untuk menikah dan membentuk keluarga juga mendapatkan perlindungan Hukum Internasional pada Pasal 23 ayat 2 dan 3 dalam International Convenant on Civil and Political Rights

(ICCPR) yaitu :

1. The family is the natural and fundamental group unit of society and is entitled to protection by society and the State

2. The right of men and women of marriageable age to marry

and to found a family shall be recognized,

3. No marriage shall be entered into without the free and full consent of the intending spouses.

1. Keluarga merupakan kesatuan kelompok masyarakat yang alami dan fundamental dan berhak atas perlindungan dari masyarakat dan negara.

2. Hak Pria dan wanita yang cukup umur untuk menikah dan membentuk keluarga harus diakui.

(7)

3. Perkawinan tidak boleh diadakan tanpa persetujuan yang bebas dan sempurna dari kedua calon mempelai.

Dalam kedua instrumen Hak Asasi Manusia Internasional tersebut menjelaskan bagaimana perkawinan sebagai bagian dari hak asasi manusia seharusnya diberlangsungkan tanpa paksaan dan bebas dilakukan oleh laki-laki dan perempuan tanpa adanya batasan agama, ras, dan kewarganegaraan untuk melangsungkan perkawinan. Akan tetapi, apabila hal tersebut dihubungkan dengan perngertian perkawinan menurut pasal 1 huruf a Undang-Undang Nomor 1 Tahun 19746 yang mana Perkawinan bukan hanya sekedar sebagai suatu perbuatan hukum saja, akan tetapi juga merupakan suatu perbuatan keagamaan, sehingga oleh karenanya sah atau tidaknya suatu perkawinan digantungkan sepenuhnya pada hukum masing-masing agama dan kepercayaan yang dianut oleh rakyat Indonesia.7

Dilihat dari aturan tersebut, tampak adanya perbedaan aturan maupun prinsip terkait hak untuk menikah dan membentuk keluarga ini. Padahal, dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia secara jelas diterangkan bahwa Indonesia berpedoman kepada UDHR, yang mana hal tersebut tertera dalam pasal 75 Undang- Undang No.39 Tahun 1999 yang mana berbunyi sebagi berikut

“....mengembangkan kondisi yang konduksif bagi pelaksanaan hak asasi

6

Vide Pasal 1 huruf a Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan mengenai definisi Perkawinan

7

(8)

manusia sesuai dengan Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, dan Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa, serta Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia..”8

Dilihat dari ketentuan pasal tersebut, Indonesia seharusnya secara otomatis mempunyai kewajiban untuk melaksanakan ketentuan-ketentuan yang telah diatur dalam UDHR tersebut terkait kebebasan untuk menikah yang mana juga tercermin dalam ketentuan Pasal 28I ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 19459 sebagai konstitusi tertinggi negara Indonesia.

Berdasarkan bunyi pasal 2 UU Nomor 1 Tahun 1974, secara eksplisit negara disini mencampurkan koridor perkawinan beserta administrasinya berdasarkan koridor agama. Hal ini dikarenakan hanya perkawinan yang sah yang dapat dicatatkan pada Kantor Catatan Sipil, sedangkan sah atau tidaknya suatu perkawinan dilihat berdasarkan aturan agama masing-masing, maka secara tidak langsung administrasi perkawinan juga tergantung dengan ketentuan agama atau kepercayaan masing-masing. Hal tersebut mungkin tidak akan menjadi sebuah permasalahan apabila perkawinan terjadi diantara laki-laki dan perempuan yang seiman atau beragama sama. Namun, permasalahan pemenuhan hak menikah dan membentuk keluarga ini muncul ketika dihadapkan kepada kasus Perkawinan beda agama dimana laki-laki dan perempuan yang akan menikah tidak seiman dan berbeda agama. Ketika hal tersebut terjadi,

8 Indonesia,Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia Pasal 75 butir a ,Lembar Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 165 , Tambahan Lembar Negara nomor 3886

(9)

timbul berbagai pertanyaan bagaimana keabsahan perkawinan tersebut, lalu ketentuan agama mana yang harus diikuti, dan bagaimana pencatatan perkawinannya. Selain itu, hal ini adalah faktual dan bukan persangkaan bahwa masih banyak anak yang lahir dari perkawinan yang tidak dicatatkan yang mengalami diskriminasi pemenuhan dan perlindungan hak anak, mencakup relasi dalam hukum keluarga, termasuk hak-hak atas pelayanan sosial, pendidikan, dan pencatatan kelahiran. Tentu saja hal itu

vis a vis dengan prinsip kepentingan terbaik bagi anak ( the best interest of child).10 Dengan demikian, dengan tidak adanya kepastian hukum terkait pencatatan perkawinan beda agama, maka tidak hanya kedua mempelai yang mengalami dampaknya. Akan tetapi, hal tersebut juga menjadikan anak yang lahir dalam perkawinan beda agama juga tidak memiliki kepastian secara hukum.

Pada satu sisi, keinginan melegalkan kawin beda agama merupakan ide sensitif yang sangat potensial menimbulkan polemik di masyarakat. Namun, di sisi lain permintaan ini patut dihargai sebagai fakta empiris yang berhubungan dengan jaminan dan perlindungan hak warga negara untuk membentuk keluarga yang hendak atau telah melangsungkan kawin beda agama. Akan tetapi, pembatasan yang terdapat dalam aturan Pasal 2 Undang-Undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tersebut membuat banyak pasangan di Indonesia melangsungkan perkawinan agama melalui penyelundupan hukum. Seorang Peneliti dari Human Right

10http://www.kpai.go.id/tinjauan/perkawinan-tidak-dicatatkan-dampaknya-bagi-anak/ diakses

(10)

Watch (HRW), Andreas Harsono, mengatakan Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan mengakibatkan diskriminasi terhadap pasangan beda agama. Ia melihat pasal tersebut telah membuat warga yang ingin menikah beda agama harus mengorbankan agama dan kepercayaannya demi mendapat status hukum yang sah.11 Pasangan yang melangsungkan perkawinan beda agama kerap menyiasati berbagai cara agar perkawinan mereka sah di mata hukum, misalnya perkawinan di luar negeri, secara adat, atau pindah agama sesaat. Padahal, jelas dalam instrumen HAM Internasional baik UDHR maupun ICCPR dalam hal ini mengatur bahwa perkawinan haruslah dilandasi oleh unsur

“free” and “consent”. Namun, apabila melihat realita bahwa untuk melaksanakan perkawinan beda agama tersebut ‘terpaksa’ mengharuskan salah satu calon mempelai harus berpindah agama dan mengorbankan agama ataupun kepercayaan yang dianutnya membuat pembatasan tersebut secara tidak langsung melanggar unsur ‘free’ and ‘consent’ tadi. Selain itu, siasat penyelundupan hukum dengan melaksanakan perkawinan di luar negeri ataupun dengan cara adat juga berdampak pada aspek hukum lain seperti status anak dan juga masalah waris.

Setelah berlakunya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, maka pengaturan perkawinan beda agama menjadi cenderung terhalangi . Hal ini berdasarkan alasan yakni pertama, dengan mengingat kembali pada sejarah undang-undang perkawinan 1973, terutama perdebatan yang berkaitan

11http://nasional.kompas.com/read/2014/09/06/09352001/UU.Perkawinan.Mendiskriminasi.Pasang

(11)

dengan pasal 11 ayat (2) bahwa “perbedaan karena kebangsaan, suku bangsa, negara asal, tempat asal, agama, kepercayaan dan keturunan tidak merupakan penghalang perkawinan” dan kemudian mendapat perubahan, maka perkawinan beda agama tidak dimungkinkan (dilarang) di Indonesia.12 Hal tersebut menjadi perdebatan, apakah pembatasan yang terdapat dalam aturan perundang-undangan terkait perkawinan di Indonesia tersebut telah melanggar prinsip Hak Asasi Manusi yang diakui secara universal atau memang ada kewenangan negara untuk pembatasan pemenuhan suatu Hak Asasi Manusia dengan alasan tertentu.

Setelah diratifikasinya International Convenant on Civil and Political Rights (ICCPR) melalui UU No. 12 Tahun 2005, Negara Indonesia memiliki tanggung jawab dalam pemenuhan Hak-Hak yang ada didalam ICCPR tersebut termasuk hak untuk menikah dan membentuk keluarga. ICCPR pada dasarnya memuat ketentuan mengenai pembatasan penggunaan kewenangan oleh aparatur represif negara yang menjadi negara-negara pihak ICCPR. Makanya hak-hak yang terhimpun didalamnya juga sering disebut sebagai hak-hak negatif (negative rights).

Artinya, hak-hak dan kebebasan yang dijamin didalamnya akan dapat terpenuhi apabila peran negara terbatasi atau terlihat minus. Tetapi apabila negara berperan intervensionis, tak bisa dielakkan hak-hak dan kebebasan

12

http://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/lexprivatum/article/viewFile/1717/1359 diakses pada tanggal 3 Desember 2015 pukul 16.09 WIB

(12)

yang diatur didalamnya akan dilanggar oleh negara.13 Akan tetapi, dengan adanya aturan perkawinan Indonesia yang berdasarkan UU Nomor 1 Tahun 1974 tersebut. Maka, secara tidak langsung adanya pembatasan pemenuhan hak tersebut yang dilakukan oleh negara. Hal inilah yang secara garis besar akan penulis ulas dalam penulisan hukum berjudul

“Tinjauan Hukum Hak Asasi Manusia Internasional terhadap Kewenangan Negara dalam Membatasi Pemenuhan Hak untuk Menikah dan Membentuk Keluarga” dengan memfokuskan studi pada kasus perkawinan beda agama di Indonesia.

B.

RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan uraian latar belakang permasalahan pada sub-bab sebelumnya, Penulis menentukan rumusan masalah yang akan dibahas dalam penulisan hukum ini adalah sebagai berikut :

1. Bagaimanakah pengaturan HAM dalam Hukum Internasional mengenai perkawinan khususnya perkawinan beda agama ? 2. Bagaimanakah cara mengatasi gap dalam pengaturan perkawinan

beda agama dalam Hukum Internasional dan Hukum Nasional terutama hubungannya dengan Hak Asasi Manusia ?

13

IfdhalKasim, Hak Sipil dan Politik (Esai-Esai Pilihan), Jakarta, Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), 2001, hlm.xi-xii

(13)

C. TUJUAN PENELITIAN

Tujuan yang ingin Penulis capai dalam penulisan hukum ini mencakup 2 (dua) hal, yakni sebagai berikut :

1. Tujuan Subjektif

Tujuan Subjektif dari penulisan hukum ini adalah untuk memperoleh semua data yang diperlukan dalam rangka menyusun penulisan hukum guna memenuhi persyaratan untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum dari Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada.

2. Tujuan Objektif

Tujuan Objektif dari penulisan hukum ini didasarkan pada rumusan masalah yang telah Penulis kemukakan pada sub-bab sebelumnya, yakni sebagai berikut :

a. Untuk mengetahui bagaimana pengaturan HAM dalam Hukum Internasional mengenai perkawinan khususnya perkawinan beda agama.

b. Untuk mengetahui bagaimana cara mengatasi gap dalam pengaturan perkawinan beda agama dalam Hukum Internasional dan Hukum Nasional terutama hubungannya dengan Hak Asasi Manusia.

(14)

D. KEASLIAN PENELITIAN

Penulis telah melakukan penelusuran kepustakaan terhadap beberapa sumber, telah banyak penelitian dengan topik Penegakan Hak Asasi Manusia, namun tidak penulis temukan penelitian yang serupa dengan judul Penulis yakni “Tinjauan Hukum Hak Asasi Manusia

Internasional terhadap Kewenangan Negara dalam Membatasi Pemenuhan Hak untuk Menikah dan Membentuk Keluarga”. Adapun penelitian yang serupa dengan tulisan penulis, berikut perbedaan dan persamaannya dengan Penulisan Hukum yang dibuat penulis :

1. Tesis berjudul “ Kawin Beda Agama Dalam Legislasi Hukum Perkawinan Indonesia Perspektif HAM ”, hasil karya Faiq Tobroni.14

Tesis yang dibuat oleh Faiq ini sama-sama membahas terkait perkawinan beda agama dalam persfektif HAM. Namun, Faiq secara khusus lebih membahas terkait implikasi penggunaan konsep maslahat, baik dari Maqashid Syari’ah dan Utilitarianisme, terhadap kasus kawin beda agama. Selain itu, dalam tesis tersebut Faiq juga membahas terkait implikasi konsep tersebut dengan dinamika legislasi perkawinan konteks Indonesia dalam mengakomodasi tuntutan HAM. Dilihat dari

14

Magister Hukum (M.H), Program Magister Ilmu Hukum, Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia.

(15)

rumusan masalah dan pembahasan Tesis dari Faiq tersebut tentunya berbeda dengan penulisan hukum yang penulis tulis dikarenakan penulis lebih cendrung membahas perkawinan beda agama dalam kaitan pemenuhan Hak menikah dan membentuk Keluarga oleh negara dilihat dari Hukum HAM Internasional yang mana tidak hanya dilihat dari persfektif islam saja seperti karya Faiq tersebut, namun juga dari persfektif agama-agama yang ada di Indonesia.

2. Jurnal berjudul “Interfaith Marriage and Religious

Commitment among Catholics”, hasil karya Larry R Petersen.15

Jurnal yang dibuat oleh Petersen ini juga memiliki kesamaan dengan Penulisan Hukum yang penulis tulis terkait sama-sama membahas terkait “ Perkawinan Beda Agama”. Akan tetapi, perbedaannya terdapat pada pembahasan Petersen lebih kepada Perkawinan Beda Agama yang dilakukan oleh Seseorang yang beragama Katolik dengan diluar agama Katolik. Dalam jurnal tersebut, Petersen juga membahas terkait Perkawinan Beda Agama apabila dikaitkan dengan HAM. Namun, Jurnal Petersen ini berbeda jauh dengan penulisan hukum penulis yang mana dapat dilihat dari segi lokasi yang mana penulis menganalisis mengenai Pemenuhan Hak menikah

15

(16)

dan membentuk keluarga terkait kasus Perkawinan Beda Agama di Indonesia. Disamping itu, penulis juga lebih membahas perkawinan beda agama secara keseluruhan dimana dilihat dari berbagai agama yang ada di Indonesia.

Demikian kedua penelitian dengan tema yang hampir bermiripan dengan penulisan hukum penulis, yakni terkait Hak Asasi Manusi dan Perkawinan Agama. Kendati memiliki kesamaan topik, namun substansi materiil dari apa yang disampaikan berbeda dimana dalam penulisan hukum ini, penulis lebih membahas terkait kewenangan negara dalam pembatasan pemenuhan HAM terutama terkait hak untuk menikah dan membentuk keluarga di Indonesia. Oleh karena itu, Penulis memiliki keyakinan bahwa sepanjang pengetahuan penulis bahwa penulisan hukum ini adalah asli.

E.

KEGUNAAN PENELITIAN

Secara khusus, berikut adalah beberapa keguanaan dari penulisan hukum berjudul “Tinjauan Hukum Hak Asasi Manusia Internasional

terhadap Kewenangan Negara dalam Membatasi Pemenuhan Hak untuk Menikah dan Membentuk Keluarga” ini :

1. Kegunaan Akademis

a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi perkembangan ilmu hukum, khususnya dalam bidang

(17)

Hukum Internasional, lebih khusus lagi dalam bidang hukum hak asasi manusia internasional dengan fokus utama pada hak untuk menikah dan membentuk keluarga.

b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan acuan bagi-bagi penelitian-penelitian selanjutnya yang memiliki

research interest yang sama dengan Penulis, yakni dibidang hak asasi manusi, khususnya terkait hak untuk menikah dan membentuk keluarga.

2. Kegunaan Praktis

a. Hasil penelitan ini diharapkan dapat bermanfaat bagi masyarakat pada umumnya terutama dalam pemenuhan hak asasi manusia terkhusunya hak untuk menikah dan membentuk keluarga.

b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan pertimbangan oleh pemerintah Republik Indonesia dalam pemenuhan Hak Asasi Manusia warga negaranya terkhususnya hak untuk menikah dan membentuk keluarga.

(18)

Referensi

Dokumen terkait

Kandungan amonia berlebih dalam larutan sintesis urea yang keluar dari  stripper  akan naik bila  stripper  dioperasikan pada tekanan yang lebih tinggi.. Apabila

Memahami pernyataan dan ingkarannya, menentukan nilai kebenaran pernyataan majemuk, serta mampu menggunakan prinsip logika matematika dalam pemecahan masalah yang

Kepala daerah dalam menyelenggarakan fungsi sebagai pemimpin daerah terhadap pemerintah daerah memiliki tugas dan wewenang sesuai dengan Pasal 25 Undang-Undang Nomor 32 Tahun

142 D.3 Hasil Perhitungan Dampak Pengganda Total Pendapatan Tabel Input Output Kabupaten Jember Tahun 2010 Transaksi Domestik Atas Dasar Harga Produsen Updatting Tahun

Undang-Undang Republik Indonesia 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak Undang-Undang Republik Indonesia nomor 28 Tahun 2004 Tentang Perubahan. Undang-undang Nomor 16 Tahun

Dengan menerapkan postulat geodesik Einstein pada tera vierbein di dalam untingan kerangka Lorentz (orthonormal) terbatasi, ungkapan asas kesetaraan yang tepat secara fisis

Hasil dari penelitian ini diharapkan memeberikan manfaat kepada pembaca mengenai problematika kehidupan yang dialami masyarakat Timur Tengah dengan melihat pandangan

Ujicoba terhadap sistem dilakukan biasanya setelah pengetesan program. Ujicoba sistem dilakukan untuk memeriksa dan memastikan bahwa komponen-komponen program atau tiap-tiap