Laporan Kasus
KATARAK KONGENITAL
Oleh Hasto Suprobo I1A002049 Pembimbing dr. Hamdanah, Sp.MBAGIAN/SMF ILMU PENYAKIT MATA
FK UNLAM – RSUD ULIN
BANJARMASIN
Juli, 2009
BAB I
PENDAHULUAN
Katarak adalah suatu proses peningkatan opasitas atau kekeruhan lensa. Katarak kongenital seringkali terdiagnosis pada saat kelahiran. Jika katarak tidak terdeteksi pada bayi baru lahir, kebutaan permanen mungkin dapat terjadi. Tidak semua katarak menyebabkan gangguan penglihatan yang bermakna. Jika kekeruhan lentikular terdapat pada sumbu penglihatan, hal ini akan menyebabkan gangguan penglihatan yang bermakna dan mungkin akan berakhir dengan kebutaan. Jika katarak itu kecil, terdapat pada bagian anterior lensa mata, atau di perifer, mungkin tidak terdapat gangguan penglihatan.
Katarak unilateral seringkali merupakan kejadian sporadis. Katarak tersebut dapat dihubungkan dengan abnormalitas okular (misalnya lentikonus posterior, persistent hyperplastic primary vitreus, disgenesis segmen anterior, tumor kutub posterior), trauma, infeksi intrauterin, khususnya rubella.
Katarak bilateral seringkali bersifat kelainan yang diturunkan dan berhubungan dengan penyakit-penyakit lain. Katarak bilateral ini memerlukan penelusuran metabolik, infeksi, sistemik dan genetik secara menyeluruh. Penyebab yang sering adalah hipoglikemia, trisomi (misalnya Sindrom Down, Sindrom Edward, dan sindrom Patau), distrofi miotonik, penyakit-penyakit infeksi (misalnya toksoplasmosis, rubella, sitomegalovirus, dan herpes simpleks [TORCH]), dan prematuritas.
Katarak adalah perubahan lensa mata yang awalnya jernih menjadi keruh. Karena kekeruhan lensa, cahaya tidak dapat menembus sampai ke retina dan
menghasilkan bayangan yang kabur pada retina. 1
Gejala gangguan penglihatan pada penderita katarak tergantung dari letak kekeruhan lensa mata. Bila kekeruhan terdapat pada bagian pinggir lensa maka penderita tidak akan merasakan adanya gangguan penglihatan. Akan tetapi bila kekeruhan terdapat pada bagian tengah lensa, maka tajam penglihatan akan terganggu. Gejala katarak dapat diawali dengan adanya penglihatan ganda, peka terhadap cahaya dan kesilauan yang menyebabkan penglihatan pada malam hari lebih nyaman daripada siang hari.1
Katarak dapat diklasifikasikan menjadi : 1) katarak kongenital : katarak yang sudah terlihat pada usia dibawah 1 tahun, 2) katarak juvenil : katarak yang terjadi sesudah usia 1 tahun, 3) katarak senil : katarak setelah usia 50 tahun, 4) katarak
trauma : katarak yang terjadi akibat trauma pada lensa mata2.
BAB II
1. Definisi
Katarak adalah suatu keadaan kekeruhan yang terjadi pada lensa mata yang dapat terjadi akibat hidrasi (penambahan cairan lensa), denaturasi protein lensa atau dapat juga akibat dari kedua-duanya. Biasanya mengenai kedua mata dan berjalan progresif. Katarak menyebabkan penderitan tidak bisa melihat dengan jelas karena dengan lensa yang keruh cahaya sulit mencapai retina dan akan menghasilkan
bayangan yang kabur pada retina2,3.
2. Patofisiologi
Lensa terbentuk pada proses invaginasi dari ektoderm permukaan yang melapisi vesikel optik. Nukleus embrionik berkembang pada masa minggu keenam kehamilan. Yang mengelilingi nukleus embrionik adalah nukleus fetal. Saat lahir, nukleus embrionik dan nukleus fetal merupakan bagian terbesar dari lensa. Setelah lahir, serabut-serabut kortek lensa terbentuk dari konversi epitel anterior lensa menjadi serabut-serabut kortikal lensa.
Sutura Y adalah suatu tanda penting untuk mengetahui perkembangan nukleus fetal. Material lensa yang berada di sebelah perifer sutura Y adalah korteks lensa, dan material lensa yang berada di sebelah medial dan termasuk sutura Y itu sendiri adalah nukleus lensa. Pada pengamatan dengan slitlamp, sutura Y anterior terlihat tegak dan sutura Y posterior terlihat terbalik.
Berbagai macam gangguan (misalnya infeksi, trauma, metabolik) terhadap nukleus atau serabut-serabut lentikular dapat menyebabkan kekeruhan (katarak) pada media lentikular yang bening. Lokasi dan pola kekeruhan dapat dipakai untuk menentukan saat terjadinya gangguan tersebut dan juga etiologinya.
3. Frekuensi
Di Amerika Serikat, insidensi katarak kongenital adalah 1,2 – 6 kasus per 10.000 kelahiran hidup. Insidensi secara internasional belum diketahui. Walaupun World Health Organization (WHO) dan organisasi kesehatan lainnya telah mengadakan program vaksinasi dan pencegahan penyakit, angka kejadian katarak kongenital masih tinggi terutama di negara yang belum berkembang.
4. Mortalitas / Morbiditas
Morbiditas penglihatan dapat terjadi sebagai akibat dari deprivasi ambliopia, ambliopia refraktif, glaukoma (yang terjadi pada 10% kasus paska operasi pengangkatan katarak), dan keterlibatan retina.
Penyakit metabolik dan penyakit sistemik ditemukan pada 60% kasus katarak kongenital bilateral. Retardasi mental, ketulian, penyakit jantung dan berbagai gangguan sistemik yang lain mungkin merupakan bagian dari kelainan tersebut.
5. Umur
Katarak kongenital seringkali terdiagnosis pada bayi baru lahir. 6. Klinis
a. Riwayat Penyakit
Katarak kongenital terdapat sejak lahir tetapi mungkin tidak teridentifikasi secara dini. Riwayat prenatal dan riwayat keluarga sangat membantu untuk mengidentifikasi adanya katarak kongenital. Beberapa jenis katarak kongenital bersifat statis (tidak berkembang), tetapi beberapa diantaranya bersifat progresif. Hal ini menjelaskan mengapa tidak semua katarak kongenital dapat teridentifikasi pada saat lahir.
Katarak yang bersifat progresif diantaranya yaitu lentikonus posterior, persistent hyperplastic primary vitreus (PHPV), katarak lamelar, dan katarak subkapsular anterior atau posterior. Jenis-jenis tersebut mempunyai prognosis yang lebih baik karena jenis tersebut mulai mengganggu penglihatan hanya setelah periode kritis perkembangan penglihatan terlewati.
Tidak semua katarak mempunyai pengaruh bermakna pada penglihatan. Jika suatu kekeruhan lentikular terdapat pada sumbu penglihatan maka akan menyebabkan gangguan penglihatan secara bermakna dan perlu dilakukan pengangkatan. Katarak pada pusat sumbu penglihatan yang memiliki diameter lebih besar dari 3 mm dapat mengganggu penglihatan secara bermakna. Hal ini selanjutnya akan memiliki hubungan dengan hasil pemeriksaan oftalmologi klinis pada pasien tersebut.
Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Departemen Oftalmologi Pediatrik Wills Eye Hospital mengungkapkan bahwa dalam kaitannya dengan faktor resiko ambliopia, hal yang lebih penting dibandingkan ukuran katarak adalah anisometropia yang diinduksi oleh kekeruhan lensa anterior kongenital (Congenital Anterior lens Opacities [CALOs]). Pasien dengan CALOs yang mengalami anisometropia sebesar 1 dioptri atau lebih memiliki kemungkinan 6,5 kali lebih besar untuk mengalami ambliopia.
b. Pemeriksaan Fisik
Suatu kekeruhan lentikular disebut sebagai katarak. Tidak semua katarak bermakna secara visual. Deskripsi dari suatu katarak kongenital harus mencakup lokasi, warna, densitas dan bentuk untuk tujuan identifikasi.
Suatu bercak cahaya merah irreguler dari mata adalah tanda adanya masalah penglihatan. Jika sebuah bercak cahaya merah yang ireguler terdeteksi pada pemeriksaan skrining, hal ini adalah indikasi bahwa mungkin terdapat katarak kongenital dan harus dilakukan konsultasi ke bagian oftalmologi.
Leukokoria atau bercak cahaya putih dapat merupakan tanda adanya katarak. Sebagai fakta, penelitian Haider et al pada tahun 2008 menyebutkan bahwa penyebab lain adanya leikokoria adalah retinoblastoma (11% unilateral dan 7% bilateral), lepasnya retina (2,8% unilateral dan 1,4% bilateral), PHPV bilateral (4,2%) dan penyakit Coats unilateral (4,2%).
Pada pemeriksaan dengan slitlamp dari kedua mata (dengan pupil dilatasi) tidak hanya dapat mengkonfirmasi adanya suatu katarak tetapi juga dapat mengidentifikasi waktu terjadinya gangguan intrauterin dan apakah terdapat keterlibatan sistemik atau metabolik yang lain. Pemeriksaan fundus terdilatasi direkomendasikan sebagai bagian dari pemeriksaan okular baik pada kasus katarak kongenital unilateral maupun bilateral.
c. Penyebab
Etiologi yang paling sering adalah infeksi intrauterin, gangguan metabolik, dan sindrom yang diturunkan secara genetik. Sepertiga katarak pediatrik bersifat sporadis; katarak tersebut tidak berhubungan dengan penyakit mata ataupun penyakit sistemik. Bisa jadi, katarak tersebut adalah akibat mutasi spontan dan dapat berakibat pembentukan katarak pada pasien. Sekitar 23% katarak kongenital adalah familial. Cara penurunan yang paling banyak adalah autosomal dominan dengan penampilan lengkap. Katarak jenis
ini dapat muncul sebagai katarak total, katarak polar, katarak lamelar, ataupun kekeruhan nukleus. Semua kerabat dekat semestinya harus diperiksa.
Penyebab katarak akibat infeksi diantaranya adalah rubella (merupakan penyebab yang paling sering), rubeola, cacar air, sitomegalovirus, herpes simpleks, herpes zoster, poliomielitis, influenza, virus Epstein-Barr, sifilis, dan toksoplasmosis.
Penelitian-penelitian di Amerika Serikat mengidentifikasi adanya katarak pada sekitar 10% orang dan angka kejadian meningkat hingga sekitar 50% untuk mereka yang berusia antara 65-74 tahun, dan hingga sekitar 70% untuk mereka yang berusia lebih dari 75 tahun3.
Sperduto dan Hiller menyatakan bahwa katarak ditemukan lebih sering pada wanita dibandingkan pria. Pada penelitian lain oleh Nishikori dan Vamomoto, rasio pria dan wanita adalah 1:8 dengan dominasi pasien wanita yang berusia lebih dari 65 tahun dan menjalani operasi katarak3.
7. Etiologi
Sebagian besar katarak terjadi karena proses degeneratif atau bertambahnya usia seseorang. Usia rata-rata terjadinya katarak adalah pada umur 60 tahun keatas. Akan tetapi, katarak dapat pula terjadi pada bayi karena ibu terinfeksi virus pada saat hamil2 :
Penyebab dari katarak dapat dibedakan, yaitu1 :
• Katarak yang terjadi pada bayi atau anak-anak akibat infeksi pada saat ibu hamil disebut katarak kongenital
• Katarak yang disebabkan proses ketuan alamiah disebut katarak senilis
• Katarak akibat infeksi atau penyakit tertentu pada mata disebut katarak komplikata.
Katarak pada usia lanjut terjadi melalui dua proses, yaitu2 :
1) Penumpukan protein di lensa mata
Komposisi terbanyak pada lensa mata adalah air dan protein. Penumpukan protein pada lensa mata dapat menyebabkan kekeruhan pada lensa mata dan mengurangi jumlah cahaya yang masuk ke retina. Proses penumpukan protein ini berlangsung secara bertahap, sehingga pada tahap awal seseorang tidak merasakan keluhan/gangguan penglihatan. Pada proses selanjutnya penumpukan protein ini akan semakin meluas sehingga gangguan penglihatan akan semakin meluas dan bisa sampai pada kebutaan. Proses ini merupakan penyebab tersering yang menyebabkan katarak yang terjadi pada usia lanjut.
2) Perubahan warna pada lensa mata yang terjadi perlahan-lahan seiring dengan pertambahan usia
Pada keadaan normal lensa mata bersifat bening. Seiring dengan pertambahan usia, lensa mata dapat mengalami perubahan warna menjadi kuning keruh atau coklat keruh. Proses ini dapat menyebabkan gangguan penglihatan (pandangan buram/kabur) pada seseorang, tetapi tidak menghambat penghantaran cahaya ke retina.
Faktor resiko lain yang dapat menyebabkan katarak2 :
• Penggunaan beberapa jenis obat dalam jangka panjang
• Kebiasaan buruk, seperti merokok dan mengkonsumsi alkohol
• Kurang asupan antioksidan, seperti vitamin A, C dan E
• Paparan/radiasi sinar ultraviolet
8. Patofisiologi
Lensa mata mengandung tiga komponen anatomis antara lain : nukleus, korteks dan kapsul. Nukleus mengalami perubahan warna coklat kekuningan seiring dengan bertambahnya usia, disekitar opasitas terdapat densitas seperti duri di anterior dan posterior nukleus. Opasitas pada kapsul posterior merupakan bentuk katarak yang paling bermakna. Perubahan fisik dan kimia dalam lensa mengakibatkan hilangnya transparansi. Salah satu teori mrenyebutkan putusnya protein lensa normal terjadi disertai influks air ke dalam lensa, proses ini mematahkan serabut lensa yang tegang dan mengganggu transmisi sinar. Teori lain mengatakan bahwa suatu enzim mempunyai peranan dalam melindungi lensa dari degenerasi. Jumlah enzim akan menurun dengan bertambahnya usia dan tidak ada pada kebanyakan pasien menderita katarak3.
9. Manifestasi klinis
Keluhan atau gejala katarak disebabkan oleh proses kekeruhan yang terjadi pada lensa mata. Proses ini tidak terjadi dalam waktu singkat, sehingga gejalanya tidak muncul secara mendadak. Katarak terdiri dari 4 stadium, yaitu : stadium awal (insipien), stadium imatur, stadium matur dan stadium hipermatur. Pada stadium awal (katarak insipien) kekeruhan lensa mata masih sangat minimal, bahkan tidak terlihat
tanpa menggunakan alat periksa. Pada saat ini seringkali penderitanya tidak merasakan keluhan atau gangguan pada penglihatannya, sehingga cenderung diabaikan. Pada stadium selanjutnya proses kekeruhan lensa terus berlangsung dan bertambah, sehingga keluhan yang sering disampaikan oleh penderita katarak pada saat ini adalah kesulitan saat membaca, penglihatan menjadi kabur, dan kesulitan melakukan aktifitas sehari-hari.2
Selain keluhan tersebut ada beberapa gejala yang dialami oleh penderita katarak, seperti :2
Penglihatan berkabut atau justru terlalu silau saat melihat cahaya
Warna terlihat pudar
Sulit melihat saat malam hari
Penglihatan ganda saat melihat satu benda dengan satu mata. Gejala ini terjadisaat katarak bertambah luas.
10. Diagnosis
Katarak yang dini hanya dapat dilihat dengan menggunakan alat Slit Lamp yang biasa digunakan oleh dokter spesialis mata. Pada umumnya dokter spesialis mata akan menggunakan berbagai alat untuk menentukan jenis, kekeruhan dan letak dari kekeruhana lensa, serta membedakannya dari penyakit lain yang mempunyai gejala yang mirip dengan katarak. Dengan mendiagnosa dini, maka katarak dapat dipantau
apakah berlanjut atau akan menimbulkan komplikasi yang mengakibatkan kebutaan.1
Pemeriksaan diagnostik katarak3 :
• Pemeriksaan lampu slit
• Oftalmoskopis
• A-scan ultrasound (echography)
• Penghitungan sel endotel, penting untuk fakoemulsifikasi dan implantasi
11. Penatalaksanaan
Gejala-gejala yang timbul pada katarak yang masih ringan dapat dibantu dengan menggunakan kacamata, lensa pembesar, cahaya yang lebih terang, atau kacamata yang dapat meredamkan cahaya. Pada tahap ini tidak diperlukan tindakan operasi. Tindakan operasi katarak merupakan cara yang efektif untuk memperbaiki lensa mata, tetapi tidak semua kasus katarak memerlukan tindakan operasi. Operasi katarak perlu dilakukan jika kekeruhan lensa menyebabkan penurunan tajam. Operasi katarak dapat dipertimbangkan untuk dilakukan jika katarak terjadi berbarengan dengan penyakit mata lainnya, seperti uveitis, glaukoma dan retinopati diabetikum. Selain itu jika hasil yang didapat setelah operasi jauh lebih menguntungkan
dibandingkan dengan resiko operasi yang mungkin terjadi.2
Apabila katarak telah menyebabkan penurunan tajam penglihatan sehingga mengganggu pekerjaan atau gaya hidup penderita, pada saat itulah penderita harus dioperasi. Operasi yang dapat dilakukan antara lain :
• ICCE (intra capsular cataract extraction)
Ekstraksi jenis ini merupakan tindakan bedah yang umum dilakukan pada katarak senil. Lensa beserta kapsulnya dikeluarkan dengan memutus zonula Zinn yang telah mengalami degenerasi. Pada saat ini pembedahan intrakapsuler sudah jarang dilakukan4.
• ECCE (extracy catarac extracapsuler)
Pada tehnik ini, bagian depan kapsul dipotong dan diangkat, lensa dibuang dari mata, sehingga menyisakan kapsul bagian belakang. Lensa intraokuler buatan dapat dimasukkan ke dalam kapsul tersebut. Pembedahan ini dilakukan pada pasien katarak muda, pasien dengan kelainan endotel, bersama-sama keratoplasti, implantasi lensa intra okular, kemungkinan akan dilakukan bedah glukoma, mata dengan predisposisi untuk terjadinya prolaps badan kaca, sebelumnya mata mengalami ablasi retina, mata dengan sitoid makular edema, pasca bedah ablasi, untuk mencegah penyulit pada saat melakukan pembedahan katarak seperti prolaps badan kaca. Penyulit yang dapat timbul pada pembedahan ini yaitu dapat terjadinya katarak sekunder3,4.
• Fakoemulsifikasi
Merupakan salah satu tehnik dengan menggunakan alat fako (laser). Pada tehnik ini, lensa diemulsifikasi atau dihancurkan di dalam kantung lensa kemudian disedot/hisap melalui luka yang sangat kecil. Operasi tidak harus menunggu katarak sudah matang atau tebal. Keuntungan operasi dengan tehnik ini adalah waktu pemulihan tajam penglihatan lebih cepat. Luka yang ditimbulkan akibat operasi sangat kecil sehingga waktu kesembuhan menjadi lebih cepat. Oleh karena itu, pasien tidak membutuhkan rawat inap (one day care) sehingga dapat menghemat biaya.
12. Komplikasi
Penyulit yang terjadi berupa visus tidak akan mencapai 5/5 (ambliopia
13. Prognosis
Pterigium dapat menutupi seluruh permukaan kornea atau bola mata sehingga mengganggu penglihatan. Dapat terjadi rekurensi setelah pembedahan sekitar 50%. Pada usia muda, rekurensi lebih sering terjadi. 1,8
Berikut adalah laporan kasus seorang penderita dengan pterigium yang dirawat di Ruang Mata Rumah Sakit Umum Daerah Ulin Banjarmasin.
14. Pencegahan
Umumnya katarak terjadi bersamaan dengan bertambahnya umur yang tidak dapat dicegah. Pemeriksaan mata secara teratur sangat perlu untuk mengetahui adanya katarak. Bila telah berusia 60 tahun sebaiknya mata diperiksa setiap tahun. Pada saat ini dapat dijaga kecepatan berkembangnya katarak dengan :
Tidak merokok, karena merokok mengakibatkan peningkatan radikal bebas
dalam tubuh, sehingga resiko katarak akan bertambah
Pola makan yang sehat, memperbanyak konsumsi buah dan sayuran yang banyak mengandung vitamin C, vitamin A dan vitamin E
Melindungi mata dari sinar matahari, karena sinar UV mengakibatkan katarak
BAB III
LAPORAN KASUS
I. IDENTITAS
Nama : Tn. Putra Adi
Jenis Kelamin : Laki-laki
Usia : 17 tahun
Alamat : Jl. Kurnia No. 27 RT. 13 Martapura
Pekerjaan : Pelajar
II. ANAMNESIS
Hari/tanggal : Jum’at, 17 Juli 2009
Keluhan Utama : Pandangan mata kabur
Riwayat Penyakit Sekarang :
Sejak + 3 bulan yang lalu, awalnya penderita mengeluh kedua matanya sering merah, terasa perih dan berair. Lama-kelamaan tumbuh sesuatu di kedua mata penderita dan keluhan semakin mengganggu. Setelah bangun tidur kedua kelopak mata terasa melekat sehingga agak susah dibuka dan seperti ada ganjalan di kedua mata. Penderita tidak mengeluh adanya pandangan kabur, nyeri mata atau nyeri kepala. Tidak ada riwayat trauma pada mata sebelumnya. Tidak ada riwayat penyakit mata yang sama sebelumnya di keluarga. Mata bertambah perih bila terkena cahaya matahari, debu dan udara panas.
Riwayat penyakit dahulu:
Hipertensi (-), diabetes melitus (-), asma (-) Riwayat penyakit dahulu:
Hipertensi (-), diabetes melitus (-), asma (-)
III.PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan Umum : Baik
Kesadaran : Kompos Mentis
Status Generalis :
Tanda vital : TD : 130/90 mmHg
RR : 20 x/menit
Kepala : lihat status lokalis occuli D/S
Leher : Pembesaran KGB (-), peningkatan JVP (-)
Thorax : Pulmo : suara napas vesikuler, Rhonki (-/-), Wheezing (-/-)
Cor : S1S2 tunggal, bising (-)
Abdomen : Hepar/lien/massa tidak teraba
Ekstremitas : Edema (-), parese (-)
Status Lokalis :
OD OS
6/60 Visus 6/60
Sentral Kedudukan Sentral
Ke segala arah Pergerakan Ke segala arah
Bentuk normal, edema (-) Palpebra Bentuk normal, edema (-)
Hiperemi (+), edema (-), tampak jaringan di nasal dan temporal
Konjungtiva Hiperemi (+), edema (-),
tampak jaringan di nasal dan temporal
Tampak puncak jaringan di
nasal dan temporal ± 4 mm
Kornea Tampak puncak jaringan di
nasal dan temporal ± 4 mm
Putih Sklera Putih
Cukup COA Cukup
Iris shadow (-) Iris Iris shadow (-) Sentral, regular, ∅ 3 mm,
reflek cahaya (+)
Pupil Sentral, regular, ∅ 3 mm,
reflek cahaya (+),
IV. DIAGNOSA KLINIS
Pterigium occuli dextra et sinistra
V. PENATALAKSANAAN
Pro eksisi pterigium occuli dextra et sinistra
VI. PROGNOSIS
Dubia ad bonam
BAB IV
PEMBAHASAN
Diagnosis klinis kasus berikut ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik. Pada anamnesis diketahui bahwa terdapat keluhan iritatif pada mata penderita berupa mata merah, terasa perih dan sering berair tanpa didahului oleh adanya riwayat trauma atau tanda-tanda infeksi pada mata sebelumnya serta hal itu sudah berlangsung kronis selama tiga bulan. Kemudian lama-kelamaan penderita mengeluh ada sesuatu yang tumbuh di kedua matanya. Hal ini menyebabkan ada perasaan mengganjal pada mata. Anamnesis ini sesuai dengan hasil pemeriksaan fisik.
Pada kedua mata penderita dapat dilihat ada jaringan berbentuk segitiga yang berada di konjungtiva bagian nasal dan puncaknya mencapai tepi kornea. Pada jaringan tersebut terlihat vaskularisasi sehingga berwarna kemerahan.
Pemeriksaan fisik tersebut menunjukkan pterigium, di mana diagnosis bandingnya adalah pinguekula dan pseudopterigium. Kedua diagnosis banding disingkirkan dari anamnesis, di mana tidak ada riwayat trauma atau infeksi pada mata sebelumnya yang dapat menjadi predileksi dari pinguekula atau pseudopterigium, serta penyebaran jaringan yang progresif mencapai kornea, yang tidak terjadi pada pinguekula atau pseudopterigium. Pada operasi didapatkan tes sonde negatif, yang mana pterigium tidak dapat dimasukkan sonde di bawahnya. Selain itu, vaskularisasinya terlihat sangat jelas dibandingkan pseudopterigium.
Dilihat dari usia penderita, didapatkan kesesuaian dengan insidensi pterigium yang meningkat pada usia di atas 40 tahun. Akan tetapi usia ini berbanding terbalik dengan rekurensi setelah dilakukan pembedahan.
Dari anamnesis diketahui belum terjadi komplikasi berupa gangguan penglihatan, di mana pada pemeriksaan visus didapatkan nilai lebih dari 6/60. Meskipun demikian, dalam penatalaksanaannya tetap dilakukan pembedahan berupa eksisi pterigium karena memenuhi empat dari kriteria McReynold, yaitu pterigium telah melewati kornea lebih dari 4 mm, pertumbuhannya yang progresif dalam waktu 3 bulan, adanya keluhan mata terasa mengganjal, sering berair dan sangat merah. Terapi adjuvan seperti radiasi dan kemoterapi tidak dilakukan karena kemungkinan rekurensinya rendah ditimbang dari usia penderita. Rekurensi lebih besar terjadi pada penderita usia muda.
Setelah pembedahan, penderita diberikan edukasi untuk menghindari faktor pencetus seperti menghindari pajanan sinar ultraviolet, debu dan udara panas dengan kacamata pelindung.
BAB V
PENUTUP
Telah dilaporkan sebuah kasus wanita 46 tahun dengan pterigium pada occuli dextra et sinistra tanpa disertai komplikasi berupa gangguan penglihatan. Kemudian dilakukan eksisi pterigium tanpa terapi adjuvan radiasi dan kemoterapi. Setelah empat hari perawatan, penderita diperbolehkan pulang dan dianjurkan untuk memakai kacamata pelindung agar terhindari dari sinar ultraviolet, debu dan udara.
DAFTAR PUSTAKA
1. UPMC. Pterygium. UPMC & EBSCO Publishing, 2009. (http://www.google.com,
diakses 15 Juni 2009.
2. Finger P.T. Pterygium. Eye Cancer Network, 2009 (http://www.google.com, diakses 15 Juni 2009).
3. Fisher J.P., Trattler W.B. Pterygium. Web MD 2009 (http://www.google.com,
diakses 15 Juni 2009).
4. James B., Chew C., Bron A. Lecture notes: oftalmologi. Edisi 9. Alih bahasa: dr. Asri Dwi Rachmawati. Jakarta: Erlangga Media Series, 2005.
5. Perhimpunan Dokter Spesialis Mata Indonesia. Ilmu penyakit mata untuk dokter umum dan mahasiswa kedokteran. Edisi 2. Editor: dr. Sidarta Ilyas, Sp.M dkk. Jakarta: Sagung Seto, 2002.
6. Anonymous. Pterygium surgery. Harvard Eye Associates, 2008 (http://www.google.com, diakses 15 Juni 2009).
7. Anonymous. Tumor jinak konjungtiva. Dharmais Cancer Hospital 2009 (http://www.google.com, diakses 15 Juni 2009).
8. Ilyas S. Ilmu penyakit mata. Edisi 2. Jakarta: FKUI, 2003.
9. Jha C.K.N. Conjunctival limbal autograft for primary and recurrent pterygium. MJAFI 2008;64:337-9.
10. Miselfen. Info pterigium. Miselfen WordPress 2008. (http://www.google.com, diakses 27 Juni 2009).