• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENDAHULUAN LATAR BELAKANG

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENDAHULUAN LATAR BELAKANG"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

PENDAHULUAN LATAR BELAKANG

Pertanian merupakan salah satu sektor di bidang ekonomi yang terbukti tangguh bertahan dalam badai krisis perekonomian yang melanda Indonesia. Pa-da saat pertumbuhan ekonomi mengalami kontraksi hingga –13,13% paPa-da tahun 1998, sub-sektor tanaman pangan, perkebunan dan perikanan mampu bertahan pa-da pertumbuhan positif, walaupun papa-da tingkat pertumbuhan yang relatif renpa-dah, yaitu masing-masing 2,03%, 0,05% dan 1,92%. Bahkan di puncak krisis, sum-bangan sektor pertanian terhadap PDB meningkat dari 16,09% pada tahun 1997 menjadi 18,08% pada tahun 1998 (BPS, 2000a). Pada periode yang sama terjadi peningkatan penyerapan tenaga kerja dari 40,7% pada tahun 1997 menjadi 45,0% pada tahun 1998 (BPS, 2000b) atau setara dengan penciptaan sekitar 5 juta kesem-patan kerja baru di sektor pertanian (Dillon, 2004). Kenyataan ini mendorong pe-laku dan pengambil kebijakan di bidang ekonomi mengkaji kembali posisi sektor pertanian dalam strategi pembangunan ekonomi di Indonesia. Salah satu hasil ka-jian tersebut berupa upaya untuk mendorong percepatan produksi komoditas per-tanian unggulan dengan pendekatan pewilayahan komoditas pada kawasan andal-an melalui Program Pengembandal-angandal-an Kawasandal-an Sentra Produksi (KSP).

Pengembangan KSP, selain bertujuan untuk mendukung upaya pemulihan ekonomi dalam jangka pendek dan menengah melalui peningkatan jumlah pro-duksi pertanian, dalam jangka panjang ditujukan untuk percepatan pertumbuhan dan perkembangan daerah melalui pemaduan aspek-aspek fungsional, spasial, waktu dan finansial dalam pembangunan daerah yang berdasarkan pada pewila-yahan komoditas pertanian unggulan (Tim Pembina Pusat P-KSP, 1999a) dengan menggunakan pendekatan dan strategi pemanfaatan skala ekonomi (economic of

scale) dan ruang lingkup ekonomi (economic of scope) untuk meningkatkan

(2)

Pengembangan kawasan sentra produksi yang terencana dan terorganisasi secara baik merupakan prasyarat bagi pembangunan sektor pertanian dengan menggunakan pendekatan sistem agribisnis. Agribisnis adalah suatu sistem yang terdiri dari empat sub-sistem yang saling terkait erat, yaitu sub-sistem agribisnis hulu (up-stream agribusiness), sub-sistem usahatani atau pertanian primer

(on-farm agribusiness), sistem agroindustri (down-stream agribusiness) dan

sub-sistem penunjang (supporting institution) (Badan Agribisnis, 1995).

Menurut Prabowo (1995), produk pertanian primer memiliki keterkaitan ke belakang (backward linkage) yang kuat, tetapi sebaliknya memiliki keterkaitan ke depan (forward linkage) yang lemah. Hal ini berarti, upaya pengembangan KSP yang semata-mata ditujukan untuk peningkatan produktivitas usahatani pri-mer (on-farm) hanya akan membawa dampak positif pada kegiatan penyediaan sarana produksi seperti bibit unggul, pupuk dan pestisida (agro-kimia), serta alat dan mesin pertanian (agro-otomotif) yang dihasilkan oleh industri besar padat mo-dal dan teknologi (up-stream agribusiness) yang umumnya berada di luar wilayah KSP; sebaliknya kurang memberikan dampak positif bagi pengembangan sub-sistem agroindustri (down-stream agribusiness), khususnya yang berada di dalam wilayah KSP.

Di sisi lain, dari hasil kajian Kuncoro (1996) diperoleh kesimpulan, bahwa agroindustri, terutama industri pengolahan hasil pertanian, memiliki kaitan

(back-ward linkage) yang erat dengan sub-sektor penyedia input-nya, khususnya dengan

sub-sistem usaha tani primer. Dengan demikian, pembangunan agroindustri pada KSP akan mampu memacu perkembangan sub-sistem pertanian primer dan kare-na pertanian primer memiliki keterkaitan yang erat dengan sub-sistem agribisnis hulu, maka baik secara langsung maupun tidak langsung, pembangunan agroin-dustri yang dikaitkan dengan pengembangan KSP akan memacu pertumbuhan dan perkembangan keseluruhan sistem agribisnis pada wilayah KSP tersebut. Lebih jauh dinyatakan oleh Saragih (1999a dan 2004), bahwa pembangunan keseluruhan komponen pada sistem agribisnis secara integratif dan simultan dapat menjadi penggerak utama (prime mover) bagi upaya peningkatan pendapatan riil petani dan masyarakat, penciptaan kesempatan kerja dan berusaha, serta pertumbuhan dan perkembangan wilayah secara menyeluruh dan sustainable.

(3)

Dengan pendekatan sistem yang integratif dan simultan, agribisnis diha-rapkan dapat menjadi lokomotif pembangunan nasional (agribusiness-lead

deve-lopment strategy) dengan agroindustri sebagai inti (Rasahan dan Wibowo, 1997)

atau sebagai motor penggerak utama (Pambudy, 1998; Didu, 2000a; Husodo, 2004). Strategi ini menekankan perlunya menjadikan agroindustri sebagai leading

sector pembangunan ekonomi, karena agroindustri mampu berperan seba-gai

penyeimbang dalam proses transformasi ekonomi (Saragih, 1995; Erwidodo, 1996; Tajima, 2000), khususnya dalam penyediaan lapangan kerja dan kesempat-an berusaha (Suyata, 1998; Tajima, 2000), penurunkesempat-an kesempat-angka kemiskinkesempat-an (Polmkesempat-an, 2000) dan stabilisasi pertumbuhan ekonomi (Tajima, 2000).

Di samping itu, dari aspek pembangunan sosial budaya, agroindustri dike-tahui mampu berperan dalam dinamisasi kelembagaan lokal, pengembangan dan peningkatan kemandirian sumber daya manusia serta menumbuhkan jiwa kewira-usahaan, sikap keterbukaan dan sikap inovatif (Simatupang, 1995; Hallberg, 2000). Pembangunan agroindustri juga berperan sebagai wahana dalam proses difusi dan transformasi teknologi (Suradisastra, 1996; Suyata, 1998; Gaikwad, 1998; Polman, 2000; Hallberg, 2000). Dalam konteks kewilayahan, pembangun-an agroindustri dippembangun-andpembangun-ang dapat berperpembangun-an sebagai motor penggerak pembpembangun-angunpembangun-an wilayah. Hal ini karena agroindustri memiliki keterkaitan (backward and

for-ward linkages) yang tinggi dengan sektor-sektor ekonomi lainnya (Suradisastra,

1996; Gaikwad, 1998). Pembangunan agroindustri juga berperan dalam menum-buhkembangkan ekonomi kerakyatan melalui penyediaan lapangan kerja (labor

intensity) dan kesempatan berusaha (job creation) (Suyata, 1998; Gaikwad, 1998;

Hallberg, 2000).

Akan tetapi, di samping memiliki banyak keunggulan, fakta empirik juga menunjukkan bahwa tidak sedikit perusahaan agroindustri yang mengalami kega-galan, baik disebabkan oleh kesalahan manajemen, kekurangan bahan baku, atau kegagalan dalam pemasaran (APO dalam Soekartawi, 2000). Kegagalan tersebut tidak mengenal skala usaha, yaitu dapat terjadi pada perusahaan besar, menengah, ataupun kecil, baik yang menggunakan bahan baku hasil pertanian tertentu/spe-sifik ataupun tidak (Soekartawi, 2000; Darmawan dan Masroh, 2004). Di masa mendatang, tantangan yang dihadapi dalam pembangunan agroindustri akan

(4)

se-makin berat, dengan sese-makin meningkatnya intensitas persaingan sebagai akibat dari globalisasi dan liberalisasi perdagangan, pergeseran struktur industri dan pasar, serta perubahan faktor-faktor permintaan seiring dengan perkembangan teknologi (technology progress) dan perubahan sistem kemasyarakatan (society

system) (Putsis, 1999; Weyerbrock and Xia, 2000). Dalam lingkungan bisnis,

perubahan tingkat persaingan terjadi dengan cepat dan bersifat tidak teratur

(turbulent and chaostic) (Pettigrew and Whipp, 1991). Fenomena ini menuntut

kemampuan perusahaan untuk dapat melakukan pembenahan kondisi internalnya agar mampu merespons dengan cepat setiap perubahan yang terjadi.

Pada tataran agroindustri, peningkatan intensitas persaingan menuntut perubahan paradigma pembangunan. Pembangunan agroindustri harus mampu menciptakan keunggulan kompetitif (competitive advantage) melalui transformasi

factor-driven. Pertumbuhan agroindustri tidak boleh hanya mengandalkan

ke-unggulan komparatif (comparative advantage) dari sumber daya alam (natural

resources) dan tenaga kerja kurang terdidik (unskilled labour), tetapi harus

mampu menciptakan keunggulan kompetitif melalui dorongan investasi

(invest-ment-driven) dan kemudian berlanjut pada dorongan inovasi (inovation-driven)

(Hadi dan Noviandi, 1999). Transformasi factor-driven ini akan menggeser posisi produk agroindustri dari produk yang bersifat unskilled labour and natural

resources intensive menjadi produk yang skilled labour and capital intensive dan

selanjutnya menempati posisi sebagai produk yang skilled labour and knowledge

intensive (Saragih, 1999b dan 2004).

Akan tetapi, sebagai suatu proses perubahan dalam konteks pembangunan wilayah yang berkelanjutan (sustainable regional development), transformasi

factor-driven harus berlangsung secara bertahap (gradually) melalui proses

pe-nyesuaian dengan struktur ekonomi, tenaga kerja dan sosial budaya (Widiati, dkk, 1999). Ketidakharmonisan sistem transformasi faktor-faktor struktural sering didakwa sebagai penyebab terjadinya pemiskinan, eksploitasi sumber daya alam (Erwidodo, 1996) dan dehumanisasi sektor pertanian (Fakih, 1999), sehingga melahirkan sikap apatis terhadap proses industrialisasi pertanian. Pembangunan agroindustri, khususnya agroindustri pangan, diharapkan dapat berperan sebagai salah satu unsur yang mampu menjaga keharmonisan pentahapan proses

(5)

transfor-masi factor-driven. Hal ini karena teknologi yang digunakan dalam agroindustri pangan memiliki spektrum tingkat perkembangan yang luas (Ahza dan Wirakar-takusumah, 1997), sehingga dapat dikembangkan secara bertahap sesuai dengan perkembangan endowment, pengetahuan dan teknologi setempat.

Agar proses penyesuaian factor driven dalam pembangunan agroindustri pangan dapat berlangsung secara harmonis, integratif dan simultan serta sesuai dengan sasaran yang diinginkan, diperlukan adanya suatu perencanaan strategis. Perencanaan tersebut harus bersifat efektif, dalam arti dapat dilaksanakan, menye-luruh dan utuh (holistic) serta berorietasi pada pencapaian tujuan (cybernetic) (Pettigrew dan Whipp, 1991; Eriyatno, 1999). Di samping itu, agar perencanaan strategis yang dibuat dapat merespons dan sejalan dengan arah perubahan yang akan terjadi di masa depan (Mintzberg, 1979; Argyris, 1985), maka penyusunan perencanaan strategis harus mempertimbangkan konsep situasi masa depan (Ackoff, 1991; Park and Seaton, 1996).

Eksplorasi konsepsi situasi masa depan secara sistematis dapat dilakukan dengan menggunakan teknik analisis prospektif (Hubeis, 2000). Teknik ini terdiri dari tahapan analisis struktural dan sintesis skenario eksploratif untuk peramalan. Analisis struktural merupakan dasar untuk menentukan parameter kunci (key

factors), yaitu parameter yang berperan sebagai penentu kecenderungan

perubah-an atau trend factors. Selperubah-anjutnya parameter penentu tersebut disintesis ke dalam suatu skenario eksploratif untuk diprediksi kecenderungan perubahannya dengan menggunakan teori peluang (probabilistic theory). Interpretasi terhadap hasil peramalan kecenderungan perubahan memberikan gambaran rinci dan utuh

(holistic) tentang proses evolusi sistem sekaligus membentuk mental map of the future atau perspektif masa depan dari sistem yang dikaji (Widodo, 2000).

Penelitian ini bermaksud mengeksplorasi perspektif masa depan pemba-ngunan agroindustri pangan di Propinsi Jambi dan menggunakannya sebagai ke-rangka kerja dalam mengkaji strategi industrialisasi pertanian dengan mengguna-kan pendekatan pewilayahan komoditas unggulan pada kawasan sentra produksi. Penentuan propinsi sebagai batasan pengkajian didasarkan pada pertimbangan bahwa penerapan kebijakan otonomi daerah dan desentralisasi sebagian besar wewenang kepada pemerintahan kabupaten/kota telah berimplikasi pada semakin

(6)

luasnya pusat-pusat pembuatan kebijakan dengan cakupan wilayah sasaran yang semakin sempit. Hal ini selain memberikan dampak positif, karena proses pembuatan kebijakan menjadi lebih dekat dengan masyarakat sasarannya, juga mengandung potensi konflik, sehingga dibutuhkan peran pemerintahan propinsi untuk koordinasi dan sinkronisasi kebijakan dan program pembangunan yang di-buat oleh masing-masing kabupaten/kota agar tidak menimbulkan konflik dalam pelaksanaannya. Di bidang pertanian, peran pemerintah propinsi dalam perenca-naan dan pengendalian pembangunan regional diwujudkan dalam bentuk kewe-nangan pengaturan kawasan pertanian terpadu (Anonim, 2000).

Pemilihan Propinsi Jambi sebagai kasus didasarkan pada dua alasan uta-ma. Pertama, sektor pertanian masih merupakan penggerak utama pembangunan di Propinsi Jambi. Pada tahun 2000 sektor pertanian merupakan penyumbang ter-besar terhadap PDRB Propinsi Jambi, yaitu seter-besar 31,68%. Akan tetapi, domi-nasi sektor pertanian ini tidak diikuti oleh sub-sektor industri hasil pertanian. Pada tahun yang sama, sumbangan sub-sektor industri hasil pertanian terhadap PDRB hanya sebesar 3,89% (BPS Propinsi Jambi, 2002). Hal ini mengindikasi-kan pembangunan pertanian di Propinsi Jambi masih bersifat sektoral, terfokus pada usahatani primer dan belum terintegrasi dengan industri hasil pertanian (agro industri). Kondisi ini dapat menyebabkan terjadinya stagnasi dalam pertumbuhan pertanian di Propinsi Jambi, sebagaimana dinyatakan oleh Saragih (2004), bahwa stagnasi pertanian akan terjadi jika pembangunan pertanian hanya berkisar pada usahatani primer (on farm).

Pertimbangan kedua didasarkan pada kenyataan tidak adanya prioritas dalam pengembangan KSP di Propinsi Jambi. Hal ini diindikasikan oleh luasnya cakupan tipe KSP yang dikembangkan. Pengembangan KSP di Propinsi Jambi mencakup keseluruhan tipe KSP yang ada, yaitu KSP Mikro Pertanian Dataran Tinggi, KSP Mikro Pertanian Dataran Rendah, KSP Mikro Perikanan Darat, KSP Mikro Perikanan Tambak, dan KSP Mikro Perikanan Laut (Bappeda, 1999). Keseluruhan tipe KSP ini mencakup tiga basis ekologi yang berbeda, yaitu ekologi lahan kering, ekologi sawah dan ekologi pantai (Suryana dan Mardiyanto, 1998). Tidak adanya prioritas karena terlalu luasnya spektrum dan tipe KSP yang dibangun dapat mempersulit penyusunan rencana strategis (renstra), khususnya

(7)

strategi untuk meningkatkan daya saing produk pertanian melalui transformasi keunggulan spesifik (distinctive competence) kawasan menjadi keunggulan kom-petetif (competitive advantage) produk pertanian yang dihasilkan, karena tanpa adanya prioritas akan terjadi trade offs antara sasaran dari masing-masing tipe KSP yang dibangun.

Tidak adanya prioritas dan belum terintegrasinya pembangunan usahatani primer dengan pembangunan agroindustri dalam bentuk agribisnis terpadu meru-pakan permasalahan utama dalam pengembangan KSP di Propinsi Jambi. Hal ini dapat berimplikasi pada keberhasilan pembangunan pertanian yang diupayakan melalui pengembangan KSP. Oleh karena itu, agar pembangunan pertanian dapat berhasil diperlukan adanya pemilihan prioritas dan strategi yang dapat menginte-grasikan pembangunan sub-sistem usahatani dengan sub-sistem agroindustri dalam suatu sistem pembangunan agribisnis yang terpadu.

TUJUAN PENELITIAN

Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mensintesis strategi pembangun-an agroindustri ppembangun-angpembangun-an di Propinsi Jambi dengpembangun-an pendekatpembangun-an pewilayahpembangun-an komo-ditas pertanian unggulan pada kawasan sentra produksi berdasarkan konsep situa-si masa depan. Adapun tujuan khusus penelitian ini adalah untuk : (1) menganali-sis struktur menganali-sistem pembangunan agroindustri pangan, (2) menganalimenganali-sis prospek pembangunan agroindustri pangan, dan (3) mensintesis strategi pembangunan agroindustri pangan.

Referensi

Dokumen terkait

Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam melakukan operasionalisasi terhadap konsep adalah selalu mengingat dan mengacu pada definisi konseptual, membuka pikiran dan

PROYEK PEMBANGUNAN RUMAH TINGGAL LuasM2 :13 x 20 m. PEMILIK:

Penelitian ini mengikuti teknik ensemble adaboost dan bagging menggunakan pohon keputusan J48 (c4.5) sebagai learning base beserta teknik data mining J48 mandiri

Setiap logam memiliki bentuk sel satuan (unit cell) yang berbeda dan asih tergantung pada suhu. Sel satuan merupakan bentuk geometri terkecil dari susunan atom didalam

Metode Kriging adalah estimasi sto- chastic yang mirip dengan Inverse Distance Weighted (IDW) dimana menggunakan kombinasi linear dari weight untuk mem- perkirakan nilai

Kegiatan yang dilakukan oleh siswa dalam tahap prapenulisan adalah: (1) siswa diberi topik tertentu oleh guru; (2) siswa menentukan tujuan penulisan yaitu untuk

Analisis statistik deskriptif digunakan untuk mengetahui gambaran mengenai karakteristik variabel yang digunakan dalam penelitian ini, yakni audit report lag, dewan

Dalam asuransi takâful yang berjalan adalah konsep atas dasar perjanjian transaksi bisnis dalam wujud tolong menolong ( akad takâfuli ) yang menjadikan semua peserta sebagai