• Tidak ada hasil yang ditemukan

of law, choice of jurisdiction, condition des estranges dan nationalite. Ruang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "of law, choice of jurisdiction, condition des estranges dan nationalite. Ruang"

Copied!
36
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Hukum Perdata Internasional adalah keseluruhan peraturan dan keputusan hukum yang menunjukkan stelsel hukum manakah yang berlaku dan apakah yang merupakan hukum, jika hubungan dan peristiwa antarwarga (warganegara) pada suatu waktu tertentu memperlihatkan titik-titik pertalian dengan stelsel dan kaidah hukum dari dua atau lebih negara, yang berbeda dalam lingkungan kuasa setempat. Bidang atau ruang lingkup hukum perdata internasional meliputi choice of law, choice of jurisdiction, condition des estranges dan nationalite. Ruang lingkup tersebut menyangkut hukum mana yang diberlakukan untuk meng-cover suatu hubungan hukum. Pada kontrak berdimensi internasional, penentuan pilihan hukum sangat penting untuk menghindari conflict of law, mengingat para pihak yang terlibat, tempat transaksi, dasn sistem hukum yang terkait berbeda-beda dan bahkan mungkin bertentangan atau berkebalikan antar satu yurisdiksi hukum dengan yurisdiksi lainnya. 1

Arbitrase internasional sebagai salah satu pilihan penyelesaian sengketa internasional juga dalam pelaksanaannya memberikan kebebasan bagi para pihak yang bersengketa untuk memilih hukum apa yang akan dipakai dalam proses arbitrase yang dituliskan dalam klausula arbitrase (choice of law). Apabila dalam

1 Susanti Adi Nugroho, Penyelesaian Sengketa Arbitrase dan Penerapan Hukumnya,

(2)

klausula arbitrase tidak dituliskan secara tegas dipilih oleh para pihak, maka hukum yang akan diberlakukan adalah hukum dimana perjanjian atau kontrak dibuat, atau hal-hal lain yang memberikan petunjuk tentang hukum yang akan dipakai. Namun, banyak pihak yang merasa enggan menggunakan hukum suatu negara dalam arbitrasenya. Pemakaian ketentuan-ketentuan hukum kebiasaan atau berdasarkan pada praktek perdagangan internasional yang sudah umum dipakai (Lex Mercatoria) biasanya lebih diminati.2

Pemilihan tempat pelaksanaan proses arbitrase (choice of domicile) dapat ditentukan oleh para pihak yang bersengketa. Apabila tempat tidak ditentukan oleh para pihak, maka arbiter atau majelis arbiter dapat menentukan tempat dimana proses arbitrase berlangsung.

3

Beberapa sengketa komersial internasional telah diselesaikan dengan arbitrase, seperti sengketa antara PT Amco Asia Corporation melawan Pemerintah Indonesia yang diselesaikan melalui lembaga arbitrase ICSID, sengketa PT. Bakrie & Brothers melawan Trading Corporation of Pakistan Limited, sengketa divestasi saham PT. Newmont Nusa Tenggara melawan Pemerintah Republik Indonesia melalui lembaga arbitrase UNCITRAL, dan sengketa lainnya. Banyaknya sengketa komersial internasional yang diselesaikan melalui arbitrase menunjukkan kepopuleran arbitrase dalam penyelesaian sengketa komersial internasional. Jumlah lembaga arbitrase internasional yang terbilang cukup banyak juga menjadi bukti kepopuleran arbitrase dalam

Setelah itu, para pihak juga diberikan kebebasan untuk memilih forum (choice of jurisdiction).

2

Huala Adolf, Arbitrase Komersial Internasional, Cet. Ke-3, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002), hal. 49-50

3

(3)

penyelesaian sengketa intnerasional, seperti Singapore International Arbitration Centre (SIAC) berdiri pada tahun 1991 dan lembaga utama untuk arbitrase di Singapore, International Chamber of Commerce (ICC) yang popular di daerah Eropa dan berpusat di Paris, London Court of International Arbitration (LCIA) dibentuk pada tahun 1891 dan merupakan lembaga arbitrase utama di Inggris, American Arbitration Association (AAA) yang merupakan lembaga arbitrase terkemuka di Amerika Utara, Australian Centre for International Commercial Arbitration (ACIC) yang terletak di Melbourne.

Menurut Huala Adolf, arbitrase internasional merupakan cara penyelesaian sengketa yang lebih diminati daripada penyelesaian sengketa melalui pengadilan. Hal ini dikarenakan pengadilan nasional kurang memiliki kepercayaan pebisnis internasional. Beberapa kelebihan arbitrase internasional, antara lain :4

1. Penyelesaian sengketa melalui arbitrase, menghasilkan sebuah keputusan yang bersifat final and binding, sehingga tidak ada istilah “banding” atau usaha lain yang dapat menjadi “pelampiasan” untuk membawa sengketa ke pengadilan yang lebih tinggi.

2. Pihak ketiga dalam penyelesaian sengketa merupakan orang yang ahli dalam sengketa yang bersangkutan, sehingga akan menyelesaikan sengketa lebih cepat dibanding dengan pengadilan negara yang tidak mempunyai banyak hakim yang berkompeten atau yang berspesialisasi di bidang hukum komersial internasional.

4

(4)

3. Berperkara melalui badan arbitrase internasional lebih fleksibel. Tidak ada tata cara yang yang mutlak harus dijalani. Pihak-pihak yang bersengketa dapat menentukan tempat berperkara, hukum yang dipakai, bahasa yang dipergunakan, dan lain-lain.

4. Penyelesaian melalui arbitrase juga memberikan kebebasan bagi parah pihak untuk menentukan dan memilih “hakim” yang menyelesaikan sengketa mereka. Mereka dapat memilih orang-orang yang dianggap ahli dan mengerti sengketa yang berhubungan, tidak harus selalu ahli hukum.

5. Faktor kerahasiaan proses penyelesaian sengketa juga menjadi kelebihan arbitrase komersial internasional. Kerahasiaan penyelesaian sengketa ini, dapat menjaga nama baik yang dimiliki oleh pihak-pihak yang bersengketa dan menjaga kerahasiaan informasi dagang mereka.

Melihat kelebihan-kelebihan dan pentingnya peranan arbitrase dalam menyelesaikan sengketa-sengketa bisnis di bidang perdagangan internasional, maka Liga Bangsa-Bangsa (LBB) berusaha membentuk konvensi mengenai arbitrase internasional. LBB berupaya memperbaiki hubungan baik antar negara, badan ini telah memperluas kegiatannya kepada bidang-bidang yang bersifat perdata. Untuk maksud tersebut LBB membentuk beberapa konvensi mengenai arbitrase internasional, yaitu the Protocol on Arbitration Clauses yang ditandatangani di Jenewa pada tahun 1923 dan the Convention on the Execution of Foreign Arbitral Awards yang ditandatangani di Jenewa pada tahun 1927. Konvensi ini bertujuan agar negara-negara mau mengakui keabsahan-keabsahan klasula arbitrase yang dibuat di samping kontrak komersial internasional dan

(5)

untuk meningkatkan perdagangan internasional. Namun, dalam prakteknya ditemukan kelemahan-kelemahan. Pasal 3 protokol ini tidak mengatur mengenai kewajiban mengeksekusi putusan arbitrase yang dibuat di negara lain, meskipun negara yang bersangkutan adalah peratifikasi konvensi.5

Disadarkan dengan kekurangan dan kegagalan Konvensi sebelumnya, masyarakat internasional membuat sebuah konvensi baru, yaitu Konvensi tentang Pengakuan dan Pelaksanaan Putusan Arbitrase Asing pada tahun 1958 di New York (selanjutnya disebut Konvensi New York).6

Konvensi lain mengenai arbitrase internasional dibentuk oleh Bank Dunia, yang melahirkan badan arbitrase ICSID. Convention on the Settlement of Investment Disputes between States and Nationals of Other States (Selanjutnya disebut Konvensi ICSID) ini dibentuk karena banyaknya negara berkembang yang melakukan tindakan sepihak terhadap investor asing di wilayahnya, yang menimbulkan sengketa ekonomi. Tujuan Konvensi ini adalah untuk mengisi kekosongan upaya hukum dalam menyelesaikan kasus penanaman modal dengan memberikan mekanisme khusus berupa fasilitas arbitrase atau konsiliasi dan untuk melindungi arus modal dari negara maju kepada negara ketiga.7

Peraturan internasional tentang arbitrase internasional juga dibuat oleh United Nations Commision of International Trade Law (selanjutnya disebut sebagai UNCITRAL). UNCITRAL membentuk UNCITRAL Arbitration Rules pada tanggal 15 Desember 1976. Tujuan dibentuknya UNCITRAL Arbitration Rules adalah untuk menginternasionalisasikan nilai dan tata cara arbitrase dalam

5 Ibid, hal. 27-30 6 Ibid, hal. 30-33 7 Ibid, hal. 36-38

(6)

menyelesaikan sengketa-sengketa antarnegara dalam transaksi perdagangan internasional.8

Indonesia sendiri telah meratifikasi beberapa konvensi mengenai arbitrase internasional dan menjadikan konvensi tersebut sebagai bagian yang tak terpisahkan dari sistem hukum nasional Indonesia. Pada tanggal 5 Agustus 1981 melalui Keputusan Presiden No. 34 tahun 1981, Indonesia telah meratifikasi Konvensi New York 1958, di mana segala putusan arbitrase internasional, yang diputuskan oleh lembaga arbitrase internasional di luar yurisdiksi Indonesia, diakui dan dapat dilaksanakan eksekusinya dengan memperhatikan asas resiprositas. Setelah meratifikasi Konvensi New York, Pemerintah Indonesia langsung membentuk PERMA No. 1 tahun 1990 tentang Tata Cara Pelaksanaan Arbitrase Asing yang menjadi undang-undang pelaksana khusus dari Konvensi New York.9

Sebelumnya, Pemerintah Indonesia telah meratifikasi Konvensi ICSID melalui UU No. 5 tahun 1968. Undang-undang ini hanya berisi lima pasal. Putusan arbitrase berdasarkan Konvensi ICSID dapat dilaksanakan di Indonesia, dengan adanya izin tertulis dari Mahkamah Agung. Mahkamah Agung hanya diperbolehkan menolak putusan arbitrase Konvensi ICSID apabila terdapat hal yang bertentangan dengan ketertiban umum.10

Pengaturan mengenai arbitrase internasional juga terdapat dalam undang-undang nasional Indonesia, yaitu UU No. 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan

8

Suleman Batubara, Orinton Purba, Arbitrase Internasional Penyelesaian Sengketa Asing melalui ICSID, UNCITRAL dan SIAC, (Jakarta:Raih Aksa Sukses, 2013) hal. 66

9 Susanti Adi Nugroho,Op.cit, hal. 302-306 10

(7)

Alternatif Penyelesaian Sengketa (selanjutanya disebut UU Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa). Dalam UU ini diatur tentang putusan arbitrase internasional dan permohonan pelaksanaan putusan arbitrase internasional.11

Meskipun telah meratifikasi konvensi-konvensi mengenai arbitrase internasional dan telah mengatur di dalam undang-undang mengenai pelaksanaan putusan arbitrase internasional, dalam prakteknya masih ditemukan kesulitan dalam proses pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase internasional. Pada dasarnya, ada 3 hal yang dapat menghalangi putusan arbitrase internasional dieksekusi di Indonesia, yaitu:12

1. Putusan arbitrase internasional tersebut belum bersifat final

2. Putusan arbitrase internasional tersebut bertentangan dengan peraturan perundang-undangan dan ketertiban umum

3. Putusan arbitrase internasional tersebut menurut hukum Indonesia bukan sengketa perdagangan.

Hal ini berarti, selama putusan arbitrase internasional dapat memenuhi ketiga hal diatas, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dan Mahkamah Agung harus memberi pengakuan dan pelaksanaan terhadap putusan arbitrase internasional. Pengadilan Negeri Jakarta Pusat memiliki kewenangan untuk memberikan pengakuan ataupun penolakan pelaksanaan putusan arbitrase internasional, tetapi untuk putusan arbitrase dimana Negara Republik Indonesia menjadi salah satu pihak yang bersengketa dalam putusan tersebut, maka pengakuan ataupun

11

pasal 65-69 UU No. 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatid Penyelesaian Sengketa

12

(8)

penolakan pelaksanaannya menjadi wewenang Mahkamah Agung, yang kemudian dilimpahkan kepada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.13

Namun kenyataannya, banyak sekali putusan arbitrase internasional yang ditolak pelaksanaannya di Indonesia, dikarenakan bertentangan dengan ketertiban umum. Ini dikarenakan pengadilan Indonesia masih melihat putusan arbitrase internasional sebagai produk negara asing yang harus disikapi dengan ekstra hati-hati. Ketergantungan lembaga arbitrase internasional untuk mendapatkan pengakuan dan pelaksanaan menunjukkan bahwa lembaga arbitrase internasional tidak mempunyai upaya memaksa terhadap para pihak untuk menaati putusan yang telah dikeluarkan. Selain itu, hal ini juga menunjukkan adanya intervensi dari negara melalui pengadilan untuk mengesampingkan putusan arbitrase internasional apabila berseberangan dengan kepentingan politiknya. Sulitnya melaksanakan putusan arbitrase internasional di Indonesia, menjadikan Indonesia sebagai “an arbitration unfriendly country” di mata dunia internasional.14

B. Perumusan Masalah

Selanjutnya, penelitian ini akan membahas mengenai analisis hukum kekuatan putusan arbitrase internasional di Indonesia dan analisis pertimbangan hakim dalam Putusan MA No. 631K/Pdt.Sus/2012 tentang penolakan pembatalan putusan arbitrase internasional antara Harvey Nichols and Company Limited dengan PT. Hamparan Nusantara dan PT. Mitra Adiperkasa, Tbk.

13

Pasal 65 dan Pasal 66 Undang-Undang No. 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa

14

(9)

Berdasarkan latar belakang yang telah disampaikan, adapun rumusan masalah penelitian ini adalah :

1. Bagaimana kekuatan putusan arbitrase internasional berdasarkan perspektif hukum internasional dan hukum nasional di Indonesia?

2. Bagaimanakah pengaturan mengenai pengakuan, penolakan dan pembatalan putusan arbitrase internasional di Indonesia?

3. Bagaimanakah pertimbangan hukum majelis hakim dalam putusan MA No. 631 K/Pdt.Sus/2012 tentang penolakan pembatalan putusan arbitrase internasional antara Harvey Nichols and Company Limited dengan PT. Hamparan Nusantara dan PT. Mitra Adiperkasa, Tbk.?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Berdasarkan perumusan masalah diatas, maka tujuan penuelitian skripsi ini antara lain :

a. Untuk mengetahui kekuatan putusan arbitrase internasional berdasarkan perspektif hukum internasional dan hukum nasional di Indonesia.

b. Untuk mengetahui pengaturan mengenai pengakuan, penolakan dan pembatalan putusan arbitrase internasional di Indonesia.

c. Untuk mengetahui kewenangan lembaga peradilan dalam putusan arbitrase internasional di Indonesia

(10)

Secara praktis dapat mengetahui pengertian dan informasi terkait kekuatan putusan arbitrase internasional di Indonesia. Selain itu kehadiran tulisan ini dapat memberikan sumbangan kepada masyarakat terutama mahasiswa-mahasiswi Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara sebagai pengembangan dari hukum internasional agar dapat memahami tentang pembatalan putusan arbitrase internasional di Indonesia.

D. Keaslian Penulisan

Penelitian ini berasal dari ide, gagasan dan pemikiran yang merupakan hasil karya peneliti sendiri, bukan merupakan hasil karya tulis orang lain atau pihak tertentu. Terdapat beberapa penelitian yang juga membahas tentang pembatalan arbitrase internasional, antara lain :

1. Skripsi yang berjudul “Pembatalan Putusan Arbitrase Internasional di Indonesia (Studi Kasus : Putusan MA No. 273K/Pdt/2007 dan Putusan MA No. 56PK/Pdt.Sus/2011)” oleh Raden Umar Faaris Permadi, mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Indonesia, yang membahas tentang pengaturan pembatalan putusan arbitrase internasional, aspek Hukum Perdata Internasional (HPI) dalam pembatalan putusan arbitrase internasional dan analisis kasus pembatalan putusan arbitrase PT Comarindo Tama Tour & Travel dengan PT. Yemen Airways dan pembatalan putusan arbitrase PT. Pertamina dengan PT. Lirik.

2. Skripsi yang berjudul “Pembatalan Putusan Arbitrase Internasional (Analisis Putusan MA No. 631K/Pdt.Sus/2012)” oleh Atiek Af’ Idata, mahasiswa

(11)

Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, yang membahas tentang aturan dalam Hukum Perdata Internasional (HPI) dan hukum nasional mengenai pembatalan putusan arbitrase internasional di Indonesia serta analisis mengenai kedudukan hukum Putusan Kasasi Pengadilan Negeri Jakarta Pusat ke MA dalam kasus Harvey Nichols Company Ltd melawan PT Mitra Adi Perkasa dan PT Hamparan Nusantara. Meskipun membahas putusan yang sama, namun dalam penelitian ini hanya membahas pembatalan putusan arbitrase internasional dan meneliti dari sisi hukum perdata internasional dan hukum nasional. Sementara, penelitian saya membahas mengenai kekuatan putusan arbitrase internasional di Indonesia dalam perspektif hukum internasional dan nasional serta pengaturan mengenai pengakuan, penolakan, dan pembatalan putusan arbitrase internasional.

3. Tesis yang berjudul “Kewenangan Pengadilan Membatalkan Putusan Arbitrase Internasional (Suatu Tinjauan Terhadap Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Dalam Perkara PT. Pertamina Melawan Kahara Bodas Company)” oleh Novran Harisa, mahasiswa Pasca Sarjana Program Studi Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara, yang membahas tentang kewenangan pengadilan dalam membatalkan putusan arbitrase internasional dan tinjauan terhadap putusan PN Jakarta Pusat dalam perkara PT. Pertamina dan Kahara Bodas Company.

Berdasarkan beberapa penelitian tersebut, belum pernah ada judul dan pembahasan yang sama, adapun pembahasan dalam skripsi ini adalah mengenai

(12)

kekuatan putusan arbitrase internasional berdasarkan hukum nasional, mekanisme pembatalan putusan arbitrase internasional dan mekanisme penolakan pemberian eksekuatur putusan arbitrase internasional di Indonesia dan menganalisis pertimbangan hukum hakim dalam putusan MA No. 631K/Pdt.Sus/2012 tentang penolakan pembatalan putusan arbitrase internasional antara Harvey Nichols and Company Limited dengan PT. Hamparan Nusantara dan PT. Mitra Adi Perkasa, Tbk.

Penelitian ini telah melalui pemeriksaan oleh Perpustakaan Universitas Sumatera Utara/Pusat Dokumentasi dan Informasi Hukum Universitas Sumatera Utara tertanggal 7 Oktober 2016. Bila ternyata terdapat kesamaan judul dan pembahasan kedepannya, penulis bertanggungjawab penuh terhadap segala akibatnya.

E. Tinjauan Kepustakaan

1. Arbitrase

Pengertian Arbitrase menurut Black’s Law Dictionary adalah, a method of dispute resolution involving one or more neutral third parties who are usually agreed to by the disputing parties and whose decision is binding (sebuah metode penyelesaian sengketa yang melibatkan satu atau lebih pihak ketiga yang netral, biasanya disepakati oleh para pihak yang bersengketa dan keputusannya mengikat). 15

15 Sefriani, Peran Hukum Internasional dalam Hubungan Internasional Kontemporer

(Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2016), hal.370

(13)

melalui jalur hukum dan merupakan bentuk alternatif paling formil untuk menyelesaikan sengketa sebelum berlitigasi.16

Frank Elkuroy dan Edna Elkuroy menyebutkan bahwa arbitrase adalah suatu proses yang mudah yang dipilih para pihak secara sukarela yang ingin agar perkarany diputus oleh juru pisah yang netral sesuai dengan pilihan mereka dimana keputusan mereka berdasarkan dalil-dalil dalam perkara tersebut, para pihak setuju sejak semula untuk menerima putusan tersebut secara final dan mengikat.

17

Menurut UU Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, Arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa.18 Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani merumuskan 3 hal berdasarkan pengertian Arbitrase menurut UU Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, yaitu :19

a. Arbitrase merupakan salah satu bentuk perjanjian . b. Perjanjian arbitrase harus dibuat dalam bentuk tertulis.

c. Perjanjian arbitrase tersebut merupakan perjanjian untuk menyelesaikan sengketa yang dilaksanakan di luar peradilan umum.

16 Salahuddin, Hukum Arbitrase (Penyelesaian Sengketa Bisnis), (Medan : Pustaka

Bangsa Press, 2011), hal. 17

17 Susanti Adi Nugroho, Op.cit, hal. 78 18

Pasal 1 ayat 1 uu no 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa

19 Gunawan Widjaja, Ahmad Yani, Seri Hukum Bisnis :Hukum Arbitrase,(Jakarta:Raja

(14)

Menurut Suleman Batubara dan Orinton Purba, penyelesaian sengketa melalui lembaga arbitrase mempunyai beberapa prinsip dalam pelaksanaanya, yaitu :20

a. Prinsip cepat dan hemat biaya

Prinsip ini dapat dilihat dalam pasal 48 ayat 1 UU Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa yang menyebutkan “Pemeriksaan atas sengketa harus diselesaikan dalam waktu paling lama 180 (seratus delapan puluh) hari sejak arbiter atau majelis arbiter terbentuk.

b. Prinsip pengambilan keputusan berdasarkan keadilan dan kepatutan Penyelesaian melalui jalur pengadilan (litigasi) menyelesaikan sengketa dengan memperhatikan hukum yang berlaku, sedangkan dalam penyelesaian sengketa melalui arbitrase dengan prinsip keadilan dan kepatutan, akan melihat dan berdasarkan pada kepentingan para pihak dan menghasilkan putusan yang bersifat menguntungkan para pihak. Prinsip ini dipertegas dalam UU Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa pasal 56. Prinsip ini merupakan salah satu kelebihan arbitrase, karena memberikan keuntungan bagi para pihak yang bersengketa dengan menghasilkan putusan yang sama-sama diinginkan.

c. Prinsip sidang tertutup untuk umum (disclosure)

20

(15)

Bagi para pebisnis sangatlah penting untuk menjaga image baik mereka demi keberlangsungan bisnis, oleh karena itu mereka lebih menyukai penyelesaian sengketa yang bersifat tertutup dan dapat menjaga kerahasiaan informasi mereka. Karena itulah, banyak pebisnis yang lebih menyukai penyelesaian melalui arbitrase. Dalam pasal 27 UU Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa dikatakan “semua pemeriksaan sengketa oleh arbiter atau majelis arbiter dilakukan secara tertutup.”. Dengan adanya prinsip ini, pihak yang bersengketa bisa tetap menjaga nama baiknya.

Mengacu pada konvensi-konvensi internasional dan pendapat para ahli, jenis-jenis arbitrase dapat dibagi sebagai berikut :

a. Arbitrase ad hoc

Jenis arbitrase ini disebut juga dengan “arbitrase volunteer” atau arbitrase perorangan. Yahya Harahap menyatakan bahwa arbitrase ad hoc adalah arbitrase yang dibentuk khusus untuk permasalahan tertentu, dan keadaannya bersifat “insidentil”. Kedudukannya hanya untuk memutus sengketa tertentu, ketika sengketa tersebut sudah selesai, makanya keberadaan arbitrase ad hoc itupun berakhir dengan sendirinya.21

21

M. Yahya Harahap, Arbitrase, Edisi ke-2, (Jakarta:Sinar Grafika, 2004), hal. 104-105

Pengertian arbitrase ad hoc menurut Gunawan Wijaya adalah arbitrase yang dibentuk khusus untuk menyelesaikan atau memutus perselisihan sengketa tertentu, arbitrase ini bersifat

(16)

incidental dan jangka waktunya tertentu, yaitu sampai sengketa tersebut diputuskan.22

Dalam pasal 1 ayat 1 Konvensi New York 1958, arbitrase ad hoc dirumuskan dengan istilah arbitors appointed for each case (arbiter yang ditunjuk untuk setiap kasus). Terlihat sifat insidentil, penunjukkannya adalah untuk kasus tertentu dan hanya “satu kali”.

23

Untuk mengetahui arbitrase jenis apakah yang disepakati para pihak, dapart dilihat dari rumusan klausulanya. Apabila dalam klausula arbitrase dikatakan menggunakan arbitrase yang berdiri sendiri diluar arbitrase “institusional’ atau diluar lembaga arbitrase, maka arbitrase yang digunakan adalah arbitrase ad hoc. Prinsipnya, arbitrase ad hoc tidak terikat dengan badan arbitrase. Arbiter dan tempat pelaksanaan arbitrasenya dipilih melalui kesepakatan para pihak, aturannya dapat dibuat oleh para pihak atau para pihak dapat menyepakati untuk mengikuti suatu aturan lembaga arbitrase tertentu.24

b. Arbitrase institusional

Arbitrase institusional adalah lembaga arbitrase yang bersifat permanen. Dalam Konvensi New York pasal 1 ayat 2 disebut juga sebagai permanent arbitral body (badan arbitrase permanen).25

Suleman Batubara dan Orinton Purba menyatkan bahwa arbitrase instusional mempunyai sifat yang permanen dan menetap, yang

22

Suleman Batubara, Orinton Purba, Op.cit, hal. 10

23

M. Yahya Harahap, Op.cit, hal. 105

24 Susanti Adi Nugroho, Op.cit, hal. 120-122 25

(17)

merupakan pembeda utama dari arbitrase ad hoc. Pendirian badan arbitrase institusional tidak berdasarkan adanya suatu sengketa tertentu.26

Lembaga arbitrase institusional biasanya diorganisasikan dengan manajemen yang ahli dalam berbagai bidang dan umumnya memiliki ketentuan hukum formal sendiri sebagai hukum acara dalam proses penyelesaian sengketa. Pengertian arbitrase institusional menurut Alan Redfern adalah “an institutional arbitration is one which is administrated by one of the many specialist arbitral instituions under its own rules of arbitration…” (arbitrase institusional adalah arbitrase yang diorganisir oleh lembaga arbitrase dengan ketentuan hukum arbitrasenya sendiri).27

Banyaknya lembaga arbitrase yang ada memberikan pilihan yang beragam dalam menentukan lembaga yang dipakai dalam penyelesaian sengketanya. Dalam pemilihan lembaga arbitrase tersbut, para pihak tentu harus memperatikan banyak faktor, seperti efisiensi dan efektivitas lembaga arbitrase, netralitas prosedur, dan lain-lain.28

Meskipun penyelesaian sengketa arbitrase sangat diminati karena kemudahan dan kelebihannya dibanding penyelesaian sengketa melalui pengadilan, tidak semua sengketa tidak dapat diselesaikan melalui jalur

26

Suleman Batubara, Orinton Purba, Op.cit, hal. 11-12

27 Susanti Adi Nugroho, Op.cit, hal. 124 28

(18)

arbitrase. Dalam UU Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa pasal 5 dikatakan bahwa :29

a. Sengketa yang dapat diselesaikan melalui arbitrase hanya sengketa di bidang perdagangan dan mengenai hak yang menurut hukum dan peraturan perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa.

b. Sengketa yang tidak dapat diselesaikan melalui arbitrase adalah sengketa yang menurut peraturan perundang-undangan tidak dapat diadakan perdamaian.

Tidak dijelaskan dalam penjelasan pasal 5 UU Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa tentang apa saja sengketa yang termasuk di bidang perdagangan dan apa saja sengketa yang tidak dapat diadakan perdamaian. Namun, menurut Susanti Adi Nugroho makna “perdagangan” dalam pasal 5 memiliki arti yang sama dengan pasal 66 huruf b UU Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.30

a. Perniagaan

Penjelasan pasal 66 huruf b, UU Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa mencantumkan kegiatan yang masuk ke dalam ruang lingkup perdagangan, antara lain :

b. Perbankan c. Keuangan

d. Penanaman modal

29

Pasal 5 UU No 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa

30

(19)

e. Industri

f. Hak kekayaan intelektual

Pasal 5 ayat 1 huruf b UU Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa menuliskan bahwa sengketa yang tidak dapat diselesaikan melalui arbitrase adalah sengketa yang menurut peraturan perundang-undangan tidak dapat diadakan perdamaian. Berdasarkan ketentuan tersebut, apabila suatu sengketa dapat diadakan perdamaian berarti sengketa tersebut dapat diselesaikan melalui arbitrase.

Ketentuan dalam pasal 5 ayat 1 mengatakan bahwa hak yang menurut hukum dan peraturan perundang-undangan dikuasai oleh pihak yang bersengketa. Hal ini berarti, para pihak yang bersengketa mempunyai kekuasaan atas permasalahannya.31

2. Arbitrase Internasional

Menurut UNCITRAL Model Law on International Commercial

Arbitration, sebuah arbitrase dinyatakan sebagai arbitrase internasional apabila :32

a. The parties to an arbitration agreement have, at the time of the conclusion of that agreement, their places of business in different states; or (Para pihak yang terlibat dalam perjanjian arbitrase, saat perjanjian dibuat, mempunyai tempat usaha di negara yang berbeda; atau)

31Ibid, hal. 132

32

(20)

b. one of the following places is situated outside the State in which the parties have their places of business: (salah satu dari tempat-tempat ini berada di luar dari negara tempat-tempat usaha para pihak: ) a) the place of arbitration if determined in, or pursuant to, the

arbitration of agreement; (tempat arbitrase ditentukan atau sesuai dengan perjanjian arbitrase)

b) any place where a substantial part of the obligations of the commercial relationship is to be performed or the place with which the subject-matter of the dispute is most closely connected; (tempat pelaksanaan sebagian besar kewajiban hubungan komersial atau tempat yang paling berhubungan dengan objek sengketa;)

c. the parties have expressly agreed that the subject-matter of the arbitration agreement relates to more than one country. (para pihak menyetujui bahwa pokok persoalan dalam perjanjian arbitrase berhubungan dengan lebih 1 negara.)

Sementara itu menurut Mochtar Kusumaatmadja, arbitrase internasional memiliki ciri-ciri antara lain :33

a. Internasional Menurut Organisasinya

Sebagai contoh yang menggambarkan ciri internasional suatu badan arbitrase, yakni Convention on the Settlement of Investment Disputes between Nationals of Other States. Menurut Konvensi ini, para negara

33

(21)

peserta yang memberntuk ICSID. Dalam hal ini, ICSID sebagai suatu organisasi yang anggotanya negara-negara.

b. Internasional Menurut Struktur/Prosedurnya

Umumnya arbitrase internasional dilaksanakan dalam suatu negara. Namun demikian, ada kalanya arbitrase seperti ini terlepas dari sistem hukum suatu negara dan bebas dari yurisdiksi negara di mana tempat arbitrase dilakukan. Selain itu, tata cara atau prosedur persidangannya dan masalah lainnya pun dilaksanakan menurut atau sesuai dengan ketentuan yang disepakati oleh anggota-anggotanya(internasional).

c. Internasional Menurut Faktanya

Arbitrase dapat dikatakan internasional berdasarkan hubungan dengan lebih dari satu yurisdiksi. Hal ini dapat terjadi meskipun arbitrase ini diorganisasi dan dilaksanakan menurut hukum nasional di suatu negara tertentu, akan tetapi ada hubungan dan kaitan dengan unsur yurisdiksi negara lain (unsur asing).

Sampai saat ini, sudah ada beberapa konvensi-konvensi yang dibentuk mengenai arbitrase internasional, para negara-negara peserta konvensi tersebut sepakat untuk menerima, mengakui juga melaksanakan putusan arbitrase di negara-negara peserta konvensi yang telah meratifikasi konvensi tersebut. Konvensi tersebut juga sudah menjadi bagian tidak terpisahkan dari sistem huku m nasional negara-negara yang meratifikasi konvensi tersebut. Konvensi mengenai arbitrase internasional, antara lain adalah UNCITRAL Arbitration Rules, Convention on the Settlement of Investment Disputes

(22)

between States International Centre fot Settlement of Invenstmen Disputes (ICSID), Convention on the Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral Award (Konvensi New York 1958), UNCITRAL Model Law International Commercial Arbitration.

Penyelesaian sengketa komersial internasional melalui arbitrase memberikan kebebasan bagi para pihak untuk menentukan hukum mana yang akan digunakan. Apabila tidak disebutkan secara tegas di dalam perjanjian/kontrak, maka hukum yang diberlakukan adalah hukum yang berhubungan dengan sengketa, seperti hukum dimana perjanjian dibuat. Namun, banyak pengusaha asing tidak ingin kontraknya diatur oleh hukum negara lain. Oleh karena itu, banyak pihak-pihak dalam kontrak setuju untuk tidak menggunakan hukum negara salah satu pihak, tetapi menggunakan ketentuan hukum kebiasaan atau berdasarkan pada praktek-praktek perdagangan internasional yang sudah umum dipakai (Lex Mercatoria).34

Sama halnya dengan arbitrase nasional, arbitrase internasional hanya boleh digunakan pada sengketa-sengketa komersil yang memiliki hubungan hukum yang sah.35 Hal ini ditegaskan lagi dalam pasal 66 UU Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa huruf b, yaitu “Putusan Arbitrase Internasional sebagaimana dimaksud dalam huruf a terbatas pada putusan yang menurut ketentuan hukum Indonesia termasuk dalam ruang lingkup perdagangan.”

34

Huala Adolf, Op.cit, hal. 49-50

35 Article 1 ayat 3 Convention of the Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral

(23)

3. Pembatalan Putusan Arbitrase Internasional

Pasal 5 ayat 1 huruf e Konvensi New York menyebutkan “the award has not yet become binding on the parties, or has been set aside, or suspended by a competent authority of the country in which, or under the law in which, that award was made” (sebuah putusan belum mengikat para pihak, atau dibatalkan, atau ditunda oleh pihak yang berwenang di tempat atau dibawah hukum putusan tersebut dibuat)

Menurut Black’s Law Dictionary, “set aside” berarti “to set aside a judgment decree, award, or any proceedings is to cancel, annul, revoke them at the instance of a party unjustly or irregularly affected by them.” 36 (pengenyampingan keputusan pengadilan, putusan atau tindakan apapun adalah untuk meniadakan, menmbatalkan, mencabut itu atas permintaan pihak yang mendapat akibat yang tidak adil atau tidak sesuai). Sementara itu, di dalam pasal 70 UU Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa tidak membedakan antara pembatalan putusan arbitrase nasional dan pembatalan putusan arbitrase internasional. Pasal ini menyatakan bahwa untuk mengajukan permohonan pembatalan putusan arbitrase, putusan tersebut harus mengandung unsur-unsur sebagai berikut:37

a. Surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan, setelah putusan dijatuhkan, diakui palsu atau dinyatakan palsu

36

dilihat dari http://thelawdictionary.org/set-aside/ diakses pada tanggal 28 Agustus 2016

37

(24)

b. Setelah putusan diambil, ditemukan dokumen yang brsifat menentukan, yang disembunyikan oleh pihak lawan

c. Putusan diambil dari hasil tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu pihak dalam pemeriksaan sengketa

Kemudian permintaan pembatalan putusan arbitrase diajukan kepada Ketua Pengadilan Negeri. Ketua Pengadilan Negeri mempunyai wewenang untuk membatalkan sebagian atau seluruh putusan arbitrase tersebut. Atas putusan pengadilan Negeri, para pihak kemudian dapat mengajukan banding ke Mahkamah Agung.38

Menurut Suleman Batubara dan Orinton Purba, pengaturan tentang pembatalan putusan arbitrase internasional serta syarat-syarat dan alasan upaya hukumnya diatur dalam peraturan perundang-undangan suatu negara. Pengabulan permohonan pembatalan putusan arbitrase internasional memberikan akibat putusan arbitrase internasional tersebut dinafikan atau dianggap tidak pernah ada, Namun, pembatalan putusan arbitrase tidaklah memberikan wewenang bagi pengadilan untuk memeriksa dan memutus sengketa karena para pihak diharuskan untuk mengulang kembali proses arbitrase. Alasan-alasan dari upaya hukum pembatalan putusan arbitrase internasional pun lebih mengacu kepada substansi sengketa.39

38

pasal 72 UU No. 30 tahun1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa

39

(25)

Pembatalan putusan arbitrase internasional juga diatur dalam ICSID. Menurut ICSID, suatu putusan arbitrase dapat dibatalkan apabila memenuhi salah satu syarat berikut :40

a. That the Tribunal was not properly constituted (pembentukan majelis arbitrase tidak tepat)

b. That the Tribunal has manifestly exceeded its powers (Majelis arbitrase melampaui batas kewenangannya)

c. That there was corruption on the part of a member of the Tribunal (Salah seorang arbiter melakukan kecurangan)

d. That there has been a serious daperture from a fundamental rule of procedur; or (Adanya penyimpangan yang serius pada tata cara dan peraturan yang pokok)

e. That the award has failed to state the reason on which it is based, (Putusan tidak mempunyai dasar-dasar yang cukup)

Permohonan pemmbatalan yang ditujukan kepada ICSID harus disampaikan dalam bentuk tertulis dan dialamatkan kepada sekretaris jendral ICSID. Berdasarkan peraturan ICSID, permohonan pembatalan tidak ditujukan dan dilaksanakan sesuai dengan hukum negara dimana putusan dibuat. Permohonan disampaikan ke kantor sekretaris jendral ICSID di Washington dan pemeriksaan serta penyelesaian pembatalannya dilaksanakan oleh ICSID. Permohonan pembatalan harus diajukan dalam waktu 120 hari setelah putusan diserahkan, namun ada pengecualian pada

40 Pasal 52 Conventions on the Settlement of Investment Disputes between States and

(26)

alasan ditemukannya kecurangan, batas tenggang waktu yang diberikan adalah 120 hari sejak ditemukannya kecurangan dan hal ini berlaku sampai batas 3 tahun sejak tanggal putusan diterima para pihak.41

4. Penolakan Putusan Arbitrase Internasional

Penolakan atau “refusal” dalam Black’s Law Dictionary didefinisikan sebagai berikut “the denial or rejection of something of fered or demanded; an opportunity to accept or reject something before it is offered to others; the right or privilege of having this opportunity” (penyangkalan atau penolakan sesuatu perintah; kesempatan untuk menerima atau menolak sesuatu sebelum ditawarkan kepada yang lain; hak atau kehormatan untuk memiliki suatu kesempatan),

Penolakan pelaksanaan atau eksekusi putusan arbitrase internasional adalah upaya hukum kepada pengadilan di mana putusan arbitrase internasional akan dilaksanakan. Upaya hukum penolakan diatur dalam suatu perjanjian internasional dan kemudian ditransformasikan ke dalam undang-undangan nasional suatu negara. Penolakam pelaksanaan putusan arbitrase internasional tidak mengakibatkan putusan arbitrase tersebut dinafikan. Pihak yang ditolak

41

(27)

oleh pengadilan (pihak yang menang) dapat mengajukannya kembali ke negara tempat di mana asset dari pihak yang dikalahkan berada.42

Menurut Konvensi New York, putusan arbitrase internasional dapat ditolak apabila salah satu pihak mengajukan penolakan dengan alasan :43

a. Para pihak yang terikat perjanjian ternyata menurut hukum nasionalnya tidak mampu, atau menurut hukum yang mengatur perjanjian tersebut atau hukum negara putusan tersebut dibuat, apabila tidak ada petunjuk hukum mana yang berlaku.

b. Pihak terhadap putusan diminta tidak diberikan pemberitahuan yang sepatutnya tentang penunjukkan arbitrator atau persidangan arbitrase atau tidak dapat mengajukan kasusnya

c. Keputusan yang dikeluarkan tidak menyangkut hal-hal yang diserahkan untuk diputuskan oleh arbiter, atau keputusan tersebut mengandung hal-hal yang berada di luar hal-hal-hal-hal yang seharusnya diputuskan

d. Komposisi wewenang arbitrase atau prosedur arbitrase tidak sesuai dengan persetujuan para pihak, atau tidak sesuai dengan hukum nasional tempat arbitrase berlangsung; atau

e. Keputusan tersebut belum mengikat terhadap pihak atau dikesampingkan atau ditangguhkan oleh pejabat yang berwenang di negara di mana putusan dibuat

Permohonan penolakan disampaikan kepada pihak yang berkompeten (di Indonesia, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat) dengan menyertakan bukti

42 Suleman Batubara, Orinton Purba, Op.cit, hal. 142-143 43

(28)

pelanggaran. Apabila pihak yang mengajukan permohonan tidak menyertakan bukti pelanggaran, maka dianggap tidak sah memenuhi syarat formil.44

Selain penolakan berdasarkan pengajuan salah satu pihak, pihak yang berkompeten juga dapat melakukan penolakan berdasar jabatan tanpa ada permohonan dari pihak yang bersengketa, apabila pihak yang berkompeten menemukan bahwa:45

a. Pokok yang disengketakan tidak sesuai dengan pengaturan arbitrase negara tersebut.

b. Pengakuan dan pelaksanaan utusan tersebut bertentangan dengan ketertiban umum negara tersebut.

Sedangkan, menurut UU Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, syarat-syarat putusan arbitrase internasional dapat diakui dan dilaksanakan di Indonesia adalah sebagai berikut:46

a. Putusan ini dijatuhkan oleh suatu badan arbitrase ataupun perorangan di suatu negara yang dengan negara Indonesia ataupun bersama-sama dengan negara Indonesia terikat dalam suatu konvensi internasional perihal pengakuan serta pelaksanaan arbitrase asing.

b. Putusan-putusan arbitrase tersebut hanyalah terbatas pada putusan-putusan yang menurut ketentuan hukum Indonesia termasuk dalam ruang lingkup hukum dagang

44

Susanti,Adi Nugroho, Op.cit, hal. 395

45

article 5 ayat 2 Convention of the Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral Award

46

(29)

c. Putusan-putusan arbitrase asing tersebut hanya dapat dilaksanakan di Indonesia terbatas pada putusan-putusan yang tidak bertentangan dengan ketertiban umum.

d. Suatu putusan arbitrase asing dapat dilaksanakan di Indonesia setelah memperoleh Exequatur dari Mahkamah Agung Republik Indonesia.

Putusan arbitrase internasional yang tidak memenuhi syarat-syarat tersebut dapat ditolak oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Namun, atas penolakan pelaksanaan dan eksekusi putusan arbitrase internasional dapat diajukan kasasi ke Mahkamah Agung dan akan diputus dalam jangka waktu 90 hari setelah permohonan kasasi diterima.47

5. Pengakuan Putusan Arbitrase Internasional

Pengakuan Putusan Arbitrase Internasional diatur dalam Konvensi New York 1958. Pasal 3 Konvensi New York 1958 menyatakan bahwa setiap negara peserta harus mengakui suatu putusan arbitrase internasional sebagai putusan yang mengikat dan melaksanakannya sesuai dengan aturan procedural negara di mana putusan diminta dilaksanakan. Untuk mendapatkan pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase internasional, pihak yang mengajukan permohonan pengakuan harus menyampaikan :48

a. Putusan asli yang disahkan atau salinan putusan yang disahkan

b. Perjanjian arbitrase atau klausula arbitrase dalam suatu kontrak asli yang disahkan atau salinan yang disahkan.

47

pasal 68 UU No. 30 tahun1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa

(30)

Putusan dan perjanjian arbitrase apabila tidak dibuat dalam bahasa di mana permohonan pengakuan disampaikan, maka pemohon harus menyediakan terjemahan dari dokumen-dokumen tersebut yang disahkan oleh pejabat atau penerjemah tersumpah atau korps diplomatik atau konsuler.49

Sebuah putusan arbitrase internasional dapat diakui dan dilaksanakan di Indonesia apabila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :

Indonesia yang telah meratifikasi Konvensi New York 1958 melalui Kepres No. 4 tahun 1981 juga telah mengeluarkan Perma No. 1 tahun 1990 tentang tata cara pelaksanaan putusan arbitrase asing. Pasal 1 Perma No. 1 tahun 1990 telah memberi wewenang mengenai masalah yang berhubungan dengan pengakuan serta pelaksanaan putusan arbitrase internasional kepada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Hal ini juga tercantum dalam Pasal 65 UU Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.

50

a. Putusan arbitrase internasional dijatuhkan oleh arbiter atau majelis arbiter di suatu negara yang dengan negara Indonesia terikat pada perjanjian, baik secara bilateral maupun multilateral, mengenai pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase internasional.

b. Putusan arbitrase internasional sebagaimana dimaksud dalam huruf a terbatas pada putusan yang menurut ketentuan hukum Indonesia termasuk dalam ruang lingkup hukum perdagangan.

49 Pasal 4 ayat 2Convention on the Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral Awards

50

(31)

c. Putusan arbitrase internasional sebagaimana dimaksud dalam huruf a hanya dapat dilaksanakan di Indonesia terbatas pada putusan yang tidak bertentangan dengan ketertiban umum .

d. Putusan arbitrase internasional dapat dilaksanakan di Indonesia setelah memperoleh eksekuatur dari Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat

e. Putusan arbitrase internasional sebagaimana dimaksud dalam huruf a yang menyangkut Negara Republik Indonesia sebagai salah satu pihak dalam sengketa, hanya dapat dilaksanakan setelah memperoleh eksekuatur dari Mahkamah Agung Republik Indonesia yang selanjutnya dilimpahkan kepada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

Berdasarkan UU Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, putusan Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang mengakui dan melaksanakan putusan arbitrase internasional, tidak dapat diajukan banding atau kasasi. Namun, terhadap putusan Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang menolak untuk mengakui dan melaksanakan putusan arbitrase internasional, dapat diajukan kasasi.

F. Metode Penelitian

Adapun metode penelitian yang ditempuh dalam memperoleh data-data atau bahan-bahan penelitian meliputi :

1. Jenis Penelitian

Jenis Penelitian yang digunakan dalam menjawab permasalahan dalam pembahasan skripsi ini adalah penelitian hukum normatif. Penelitian hukum

(32)

normatif adalah penelitian yang dilakukan dengan cara menganalisa hukum yang tertulis dari bahan pustaka atau data sekunder yang lebih dikenal dengan nama dan bahan acuan dalam bidang hukum atau bahan rujukan bidang hukum.51

2. Sumber Data

Penelitian hukum ini menggunakan penelitian hukum normatif karena penulis mengumpulkan dan menganalisa hukum dan konvensi yang berlaku tentang pembatalan arbitrase internasional yang berasal dari bahan hukum primer, sekunder dan tersier. Kemudian penulis menganalisa pengimplementasian hukum yang berlaku pada putusan MA No. 631K/Pdt.Sus/2012

Sumber data yang digunakan dalam penulisan ini adalah bahan hukum primer, sekunder, dan tersier.

a. Bahan hukum primer

Bahan hukum yang terdiri dari peraturan perundang-undangan yang mengikat. Contohnya adalah Konvensi New York 1958, UNCITRAL Arbitration Rules, International Convention on the Settlement of Investment Disputes, dan Undang-Undang Repulik Indonesia No. 30 Tahun 1999 tentang

51

(33)

Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian sengketa yang menjadi acuan dalam pelaksanaan penyelesaian sengketa dengan arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa lainnya.

b. Bahan hukum sekunder

Bahan hukum yang memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer, yaitu hasil karya para ahli hukum berupa buku-buku, tulisan ilmiah, hasil penelitian ilmiah, laporan makalah lain yang berkaitan dengan materi penulisan skripsi ini.

c. Bahan hukum tersier

Petunjuk atau penjelasan mengenai bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder yang berasal dari kamus hukum, ensiklopedia, majalah, dan sebagainya.

3. Teknik Pengumpulan Data

Untuk melengkapi penulisan skripsi ini agar dapat lebih terarah dan dapat dipertanggungjawabkan maka digunakan metode penelitian hukum normatif dengan pengumpulan data secara studi pustaka, yaitu dengan meneliti bahan pustaka atau data sekunder yang dikenal dengan nama bahan pedoman dalam bidang hukum atau rujukan bidang hukum. Metode studi pustaka dengan mempelajari sumber dan bahan tertulis yang dapat dijadikan bahan dalam penulisan skripsi ini. Beberapa rujukan berupa buku dan wacana yang dikemukakan oleh sarjana hukum.

(34)

Penelitian yang dilakukan dalam penulisan skripsi ini termasuk ke dalam penelitian hukum normatif. Pengolahan data merupakan kegiatan melakukan analisa terhadap permasalahan yang dibahas. Data dianalisa dengan cara analisa data kualitatif. Pengumpulan data kualitatif diperoleh data dari buku, data dari halaman web, dan lain-lain. Analisa data dilakukan dengan :52

a. Mengumpulkan bahan hukum yang relevan dengan permasalahan yang diteliti b. Memilih kaidah hukum atau doktrin yang sesuai dengan penelitian

c. Menjelaskan hubungan-hubungan antara berbagai konsep, pasal atau doktrin yang ada

d. Menarik kesimpulan dengan pendekatan deduktif yang diawali dengan mengemukakan hal yang bersifat umum, dimulai dari putusan arbitrase internaisonal dan kekuatannya dalam perspektif hukum internasional dan nasional, kemudian diakhiri dengan kesimpulan yang bersifat khusus mengenai kekuatan putusan arbitrase internasional di Indonesia dan analisis dari putusan MA No. 631/K/Pdt.Sus/2012.

G. Sistematika Penulisan

Untuk menghasilkan sebuah karya ilmiah yang baik, maka pembahasan permasalahan perlu dilakukan secara sistematis dan untuk mempermudah penulisan skripsi ini diperlukan sebuah sistematika penulisan yang teratur dan

52

Amiruddin, Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2004), hal. 45

(35)

terbagi dalam bab perbab yang berkaitan satu sama lain. Ada pun sistematika penulisan skripsi ini adalah:

Bab satu skripsi ini berisi pendahuluan yang merupakan pengantar, didalamnya terurai latar belakang penulisan skripsi, rumusan permasalah yang dibahas, tujuan dan manfaat penulisan skripsi, keaslian penulisan, metode penelitian yang digunakan dalam penulisan dan sistematika penulisan skripsi.

Bab dua merupakan bab yang membahas secara umum tentang putusan arbitrase internasional. Dimulai dengan pengertian putusan arbitrase internasional, asas-asas dan prinsip yang melandasi berlakunya sebuah putusan arbitrase internasional, dan dasar hukum kekuatan putusan arbitrase internasional di Indonesia.

Bab tiga adalah bab yang membahas tentang pengakuan, penolakan dan pembatalan putusan arbitrase internasional di Indonesia. Bab ini membahas tentang kewenangan Peradilan Indonesia dalam pengakuan, penolakan dan pembatalan putusan arbitrase internasional, kekuatan hukum dari putusan Peradilan Indonesia mengenai putusan arbitrase internasional dan dasar hukum dari pengakuan, penolakan dan pembatalan putusan arbitrase internasional di Indonesia.

Bab empat dalam skripsi ini merupakan bab yang membahas tentang putusan MA No. 631 K/Pdt.Sus 2012 yang menolak permohonan pembatalan putusan arbitrase internasional Harvey Nichols and Company Limited dengan PT. Hamparan Nusantara dan PT. Mitra Adiperkasa, Tbk. Dalam bab ini akan dianalisa tentang sengketa yang terjadi antara kedua pihak, pertimbangan majelis

(36)

hakim dalam putusan dan prosedur serta dasar hukum penolakan pembatalan putusan arbitrase internasional tersebut.

Bab lima merupakan bab penutup yang membahas tentang kesimpulan dari keseluruhan bab-bab dan saran yang ingin disampaikan dari penulisan skripsi ini. Kesimpulan dibuat berdasarkan uraian-uraian skripsi dan saran-saran yang berhubungan dengan skripsi ini yang diharapkan dapat berguna dan bermanfaat dimasa yang akan datang.

Referensi

Dokumen terkait

Definisi Operasional kecerdasan emosional anak usia 8-11 tahun adalah akumulasi dari kemampuan seorang anak untuk mengenali perasaan diri sendiri dan mengenali perasaan orang

Hasil penelitian uji aktivitas antioksidan dengan metode pemerangkapan radikal bebas DPPH pada sampel pakkat yang segar, direbus dan dibakar menunjukkan kekuatan antioksidan

Berdasarkan uraian diatas, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul, “Peng aruh Likuiditas, Leverage , Profitabilitas, dan Ukuran Perusahaan Terhadap

Ignatius Loyola Cokrodiningratan dan studi pustaka tentang kesetiaan iman Maria, penulis dapat menarik kesimpulan bahwa kedudukan Maria dalam Gereja memiliki keistimewaan dan

Di saat sistem ekonomi lain hanya terfokus pada hukum dan sebab akibat dari suatu kegiatan ekonomi, maka Islam lebih jauh membahas nilai-nilai dan etika yang terkandung

Hal ini sesuai dengan Pasal 6 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang Terbuka Hijau Kawasan Perkotaan (RTHKP) menyatakan bahwa jenis Ruang Terbuka

Berdasarkan hasil analisa SWOT yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa prospek usahatani jamur merang melalui pemanfaatan limbah kulit kopi di Desa Garahan

Tidak seperti model tutorial yang memberikan pendahuluan berupa materi kemudian berlanjut ke tahap akhir dimana pengguna dihadapkan pada soal – soal layaknya ujian, pada