• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
24
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Manisan Buah

Manisan adalah salah satu proses pengawetan yang menggunakan gula sebagai pengawetnya (Royaningsih, 1999). Manisan buah adalah salah satu bentuk makanan olahan yang banyak disukai oleh masyarakat. Rasanya yang manis bercampur dengan rasa khas buah yang sangat cocok untuk dinikmati berbagai kesempatan. Buah yang dijadikan manisan umumnya adalah buah yang aslinya tidak mempunyai rasa manis, tetapi lebih asam (Sediaoetama, 2008).

Meskipun jenis buah-buahan yang umum dipasarkan ada bermacam-macam bentuk dan rasanya. Manisan tersebut dapat dikelompokkan menjadi 4 golongan, yaitu (Kusmiadi, 2008) :

1. Golongan pertama adalah manisan basah dengan larutan gula encer (gula yang dilarutkan, dicampurkan dengan buah jambu, mangga, salak, dan kedondong).

2. Golongan kedua adalah manisan larutan gula kental menempel pada buah. Manisan jenis ini adalah pala, lobi-lobi, dan cermai.

3. Golongan ketiga adalah manisan kering dengan gula utuh (gula tidak larut dan menempel pada buah). Buah yang sering digunakan adalah buah mangga, kedondong, sirsak, dan pala.

4. Golongan keempat adalah manisan kering asin karena unsur dominan dalam bahan adalah garam. Jenis buah yang dibuat adalah jambu biji, buah mangga, belimbing, dan pala.

(2)

2.2 Bahan Tambahan Pangan

Bahan Tambahan Pangan (BTP) sangat dekat dengan kehidupan sehari-hari kita. Ketika kita minum susu atau jus botolan pada pagi sehari-hari, di dalam produk tersebut kemungkinan besar ada BTP pewarna atau pengawet. Saat makan siang atau malam, ikan asin atau ayam panggang, tahu goreng, saus sambal, dan soft drink yang kita konsumsi kemungkinan besar mengandung BTP.

Bahan Tambahan Pangan (BTP) adalah bahan atau campuran bahan yang secara alami bukan merupakan bagian dari bahan baku pangan, tetapi ditambahkan ke dalam pangan untuk mempengaruhi sifat atau bentuk bahan pangan. Jadi, BTP ditambahkan untuk mempengaruhi karakter pangan agar memiliki kualitas yang meningkat. BTP pada umumnya merupakan bahan kimia yang telah diteliti dan diuji lama sesuai dengan kaidah-kaidah ilmiah yang ada (Syah, dkk, 2005).

Pengertian bahan tambahan pangan dalam Peraturan Menteri Kesehatan RI No 772/Menkes/Per/IX/1988 dan No. 1168/Menkes/PER/X/1999 secara umum adalah bahan yang biasanya tidak digunakan sebagai makanan dan biasanya bukan merupakan komponen khas makanan, mempunyai atau tidak mempunyai nilai gizi yang dengan sengaja ditambahkan ke dalam makanan untuk maksud teknologi pada pembuatan, pengolahan, penyiapan, perlakuan, pengepakan, pengemasan, dan penyimpanan. Penggunaan bahan tambahan pangan sebaiknya dengan dosis dibawah ambang batas yang telah ditentukan.

(3)

2.2.1 Penggunaan Bahan Tambahan Pangan

Dalam penggunaan Bahan Tambahan Pangan pada makanan harus memenuhi persyaratan sesuai dengan Permenkes RI No. 033 Tahun 2012 yaitu sebagai berikut :

a. BTP tidak dimaksudkan untuk dikonsumsi secara langsung dan tidak diperlakukan sebagai bahan baku pangan.

b. BTP dapat mempunyai nilai gizi atau tidak, yang sengaja ditambahkan ke dalam pangan pada pembuatan, pengolahan, pengemasan dan penyirmpanan sehingga diharapkan menghasilkan suatu komponen atau mempengaruhi sifat pangan tersebut, baik secara langsung atau tidak langsung.

c. BTP tidak termasuk cemaran atau bahan yang ditambahkan ke dalam pangan untuk mempertahankan atau meningkatkan nilai gizi.

Menurut Cahyadi pada tahun 2012 dan Syah, dkk pada tahun 2005, secara khusus tujuan penggunaan BTP di dalam pangan adalah untuk :

1. Mengawetkan makanan dengan mencegah pertumbuhan mikroba perusak pangan atau mencegah terjadinya reaksi kimia yang dapat menurunkan mutu pangan.

2. Membentuk makanan menjadi lebih enak, renyah, dan lebih enak di mulut. 3. Memberikan warna dan aroma yang lebih menarik sehingga menambah

selera

4. Meningkatkan kualitas pangan 5. Menghemat biaya

(4)

7. Membuat bahan pangan lebih mudah dihidangkan 8. Mempermudah preparasi bahan pangan

2.2.2 Jenis Bahan Tambahan Pangan

Secara umum, Bahan Tambahan Pangan dapat dibagi menjadi 2 bagian besar yaitu (Cahyadi, 2012) :

1. Bahan tambahan pangan yang ditambahkan dengan sengaja ke dalam makanan, dengan mengetahui komposisi bahan tersebut dan maksud penambahan itu dapat mempertahankan kesegaran, cita rasa, dan membantu pengolahan, sebagai contoh pengawet, pewarna, dan pengeras. Dibagi menjadi 3 kategori yaitu :

a. Bahan makanan yang aman atau GRAS (Generally Recognized as Safe)

Zat ini aman dan tidak berefek toksik dengan dosis yang tidak dibatasi misalnya pati (sebagai pengental).

b. Bahan tambahan pangan yang boleh digunakan namun harus mendapat persetujuan dari instansi yang berwenang (Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan, Departemen Kesehatan). Misalnya, zat warna yang sudah dilengkapi sertifikat dari negara asalnya bahwa aman dan boleh digunakan pada makanan (Diluar daftar Permenkes RI No.722/Menkes/Per/IX/1988).

c. Bahan tambahan pangan yang digunakan dengan dosis tertentu, dimana untuk menggunakannya ditentukan dosis maksimum, sesuai

(5)

Permenkes RI No. 722/Menkes/PerIX/1988 (sekarang Permenkes RI No. 033 Tahun 2012).

2. Bahan tambahan pangan yang tidak sengaja ditambahkan,yaitu bahan yang tidak mempunyai fungsi dalam makanan tersebut, terdapat secara tidak sengaja, baik dalam jumlah sedikit atau cukup banyak akibat perlakuan selama proses produksi, pengolahan, dan pengemasan. Bahan ini dapat pula merupakan residu atau kontaminan dari bahan yang sengaja ditambahkan untuk tujuan produksi bahan mentah atau penanganannya yang masih terus terbawa ke dalam makanan yang akan dikonsumsi. Contoh bahan tambahan pangan dalam golongan ini adalah residu pestisida (termasuk insektisida, herbisida, fungisida, dan rodentisida), antibiotik, dan hidrokarbon aromatik polisiklis.

2.2.3 Penggolongan Bahan Tambahan Pangan

Berdasarkan peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia nomor 033 tahun 2012 tentang Bahan Tambahan Pangan yang diatur oleh Departemen Kesehatan, golongan Bahan Tambahan Pangan yang diizinkan penggunaannya di Indonesia diantaranya adalah sebagai berikut :

1. Antioksidan (Antioxidant) 2. Antikempal (Anticaking agent)

3. Pengatur Keasaman (Acidity Regulator) 4. Pemanis Buatan (Artificial Sweeteners)

5. Pemutih dan pematang telur (Flour treatment agent)

(6)

7. Pengawet (Preservative) 8. Pengeras (Firming Agent) 9. Pewarna (Colour)

10. Penyedap rasa dan aroma, penguat rasa (Flavour, flavour enhancer) 11. Sekuestran (Sequestrant)

2.3 Zat Pemanis

Pemanis merupakan zat yang dapat menimbulkan rasa manis atau mempertajam penerimaan terhadap rasa manis tersebut (Winarno, 1994). Pemanis merupakan senyawa kimia yang sering ditambahkan untuk keperluan produk olahan pangan, industri serta makanan dan minuman kesehatan. Pemanis berfungsi untuk meningkatkan cita rasa dan aroma, serta memperbaiki sifat-sifat fisik, sebagai pengawet, memperbaiki sifat-sifat kimia sekaligus merupakan sumber kalori bagi tubuh, mengembangkan jenis minuman dan makanan dengan jumlah kalori terkontrol, mengontrol program pemeliharaan dan penurunan berat badan, mengurangi kerusakan gigi, dan sebagai bahan substitusi pemanis utama. ( Eriawan R. dan Imam P., 2002).

Pemanis termasuk ke dalam bahan tambahan kimia, selain zat yang lain seperti antioksidan, pemutih, pengawet, dan lain sebagainya. Pemanis berfungsi untuk meningkatkan cita rasa dan roma, memperbaiki sifat-sifat fisik, sebagai pengawet, dan untuk memperbaiki sifat-sifat kimia sekaligus merupakan kalori bagi tubuh.

(7)

Pemanis ditambahkan sebagai penambah rasa. Pemanis selain gula ditambahkan untuk menjaga energi makanan (kalori) rendah, atau karena mereka memiliki efek baik untuk penderita diabetes, kerusakan gigi, dan diare (Darya, 2011). Pemanis merupakan senyawa alami atau sintetis yang menanamkan sensasi manis dengan kandungan nilai gizi diabaikan (pemanis tanpa gizi) dalam kaitannya dengan tingkat kemanisan (Hans, 2009). Pemanis adalah zat dengan rasa manis. Pemanis digunakan sebagai alternative pengganti sukrosa yang sering disebut dengan pemanis alternatif (Alicja, 2006).

Rasa manis dapat dirasakan pada ujung sebelah luar lidah. Rasa manis dihasilkan oleh berbagai senyawa organik, termasuk alkohol, glikol, gula, dan turunan gula. Sukrosa adalah bahan pemanis pertama yang digunakan secara komersial karena pengusahaannya paling ekonomis. Sekarang telah banyak diketahui bahwa bahan alami maupun sintetis mempunyai rasa manis. Bahan pemanis tersebut termasuk karbohidrat, protein maupun senyawa sintetis yang bermolekul sederhana dan tidak mengandung kalori seperti bahan pemanis alami (Cahyadi, 2012).

Berdasarkan sumbernya, pemanis dapat dikelompokkan menjadi pemanis alami dan pemanis buatan (sintetis) yaitu :

1. Pemanis Alami/ Gula Alami

Pemanis alami berasal dari tumbuhan dan hewan. Tanaman penghasil pemanis yang utama adalah tebu (Saccharumofficanarum L) dan bit (Beta vulgaris L). Bahan pemanis yang dihasilkan dari kedua tanaman tersebut dikenal

(8)

sebagai gula alam atau sukrosa. Beberapa pemanis alami yang sering digunakan adalah (Cahyadi, 2012) : 1. Sukrosa 2. Laktosa 3. Maltosa 4. Galaktosa 5. D- Glukosa 6. D-Fruktosa 7. Sorbitol 8. Manitol 9. Gliserol 10. Glisina

Berikut contoh pemanis alami yang umum dikonsumsi yaitu sebagai berikut (Partana, 2008):

a. Gula Tebu ( gula pasir )

Gula pasir merupakan pemanis yang sering digunakan terutama di kalangan rumah tangga. Gula pasir berasal dari tanaman tebu yang telah cukup umur untuk diolah dan selanjutnya diambil sarinya. Sari tebu tersebut kemudian dikristalisasi sehingga menjadi gula pasir. Kadar sukrosa dalam tebu ± 6-20 %

b. Gula Kelapa

Gula kelapa terbuat dari nira yang diperoleh dari pelapah pohon kelapa yang selanjutnya dipanaskan hingga menjadi cairan kental.

(9)

c. Pemanis alami lainnya

Pemanis alami lain yang sering digunakan adalah madu yang berasal dari lebah, buah bit, fruktosa dan glukosa. Pemanis alami jarang digunakan dalam proses produksi oleh indusri karena menyebabkan biaya produksi menjadi lebih tinggi dan harga yang relatif lebih mahal (Cahyadi, 2012 ).

2. Pemanis sintetis

Pengertian pemanis buatan (sintetis) menurut Peraturan Menteri Kesehatan No. 033 tahun 2012 adalah bahan tambahan pemanis yang diproses secara kimiawi dan tidak terdapat pada alam, yang dapat memberikan rasa manis dalam makanan, yang tidak atau hampir tidak memiliki nilai gizi (Permenkes no 722/Menkes/Per/IX/88).

Gula sintetis adalah gula yang dibuat dengan bahan-bahan kimia di laboratorium atau dalam suatu industri dengan tujuan memenuhi produksi gula yang belum cukup dipenuhi oleh gula alami khususnya gula tebu. Contohnya: sakarin, siklamat, aspartam, dulsin, sorbitol sintetis dan nitro-propoksi-anilin (Yuliarti, 2007).

Di Indonesia, ada beberapa pembatasan dalam peredaran dan produksi siklamat, tetapi belum ada larangan dari pemerintah mengenai penggunaannya. Karena itu, masyarakat Indonesia setiap hari juga mengonsumsi sakarin, siklamat, atau aspartame dalam jumlah tertentu baik secara terpisah maupun gabungan dari dua atau tiga jenis pemanis sintesis tersebut (Winarno, 1994). Meskipun sakarin dan siklamat tergolong dalam pangn yang diizinkan pemerintah namun

(10)

kewaspadaan terhadap penggunaan jenis pemanis buatan tersebut perlu dilakukan mengingat tidak semua masyarakat mengerti tentang bahan tambahan pangan, penggunaan serta pengolahannya (Lestari, 2011).

Berdasarkan peraturan kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) RI nomor 4 tahun 2014 tentang batas maksimum penggunaan bahan tambahan pemanis buatan yang diperbolehkan dengan jumlah yang dibatasi dengan ADI (Acceptable Daily Intake) tertentu.

Perhitungan Nilai ADI menggunakan standar Berat Badan berdasarkan dengan kelompok umur sesuai standar FAO - WHO dalam buku Handbook of Human Nutrition Requirements yaitu

1. Berat Badan standar anak anak (0-9 tahun) adalah 17kg

2. Berat Badan standar remaja laki laki (10-19 tahun) adalah 42kg 3. Berat Badan standar remaja perempuan (10-19 tahun) adalah 41kg 4. Berat Badan standar dewasa laki (20-60 tahun) adalah 55kg

5. Berat Badan standar dewasa perempuan (20-60 tahun) adalah 47kg (Soediaoetomo, 2008).

(11)

Tabel 2.1 Daftar Pemanis buatan berdasarkan kategori pangan Jenis BTP Pemanis

Buatan

Nilai Kalori ADI

(Acceptable Daily Intake) Mg/kg BB

Kkal/g KJ/g

1. Alitam 1,4 5,85 0,34

2. Asesulfam – K 0 0 15

3. Aspartam 0,4 1,67 50

4. Isomalt ≥2 ≥8,36 Termasuk GRAS

5. Laktitol 2 8,36 Termasuk GRAS

6. Maltitol 2,1 8,78 Termasuk GRAS

7. Manitol 1,6 6,69 Termasuk GRAS

8. Neotam 0 0 2

9. Sakarin 0 0 5

10. Siklamat 0 0 11

11. Silitol 2,4 10,03 Termasuk GRAS

12. Sorbitol 2,6 10,87 Termasuk GRAS

13. Sukralosa 0 0 15

Sumber : PIPIMM, 2015

Sesuai dengan Peraturan Menteri Kesehatan RI No 208/Menkes/PER/IV/ 1985, terdapat beberapa jenis gula pemanis buatan yang diizinkan untuk dicampurkan dalam makanan, diantaranya sakarin, siklamat, aspartam, dan sorbitol. Berikut ini daftar pemanis buatan, bahan makanan, beserta ADI ( Acceptable Daily Intake ) pada tabel 2.2

(12)

Tabel 2.2 Daftar Pemanis Sintetis yang Diizinkan Sesuai dengan Peraturan Nama

Pemanis Sintetis

ADI Jenis Bahan Makanan Batas Maksimal Penggunaan Sakarin (serta Garam Natrium) 0 – 2,5 mg Makanan berkalori rendah a. Permen karet b. Permen c. Saus d. Es Krim dan sejenisnya e. Es lilin f. Jam dan Jeli g. Minuman Ringan h. Minuman Yoghurt i. Minuman ringan fermentasi a. 50 mg/kg(sakarin) b. 100 mg/kg (Na – sakarin) c. 300 mg/kg (Na – sakarin) d. 200 mg/kg (Na – sakarin) e. 300 mg/kg (Na – sakarin) f. 200 mg/kg (Na – sakarin) g. 300 mg/kg (Na – sakarin) h. 300 mg/kg (Na – sakarin) i. 50 mg/kg (Na – sakarin) Siklamat (serta garam natrium dan garam kalsium) Makanan berkalori rendah a. Permen karet b. Permen c. Saus d. Es lilin e. Minuman yoghurt f. Minuman ringan fermentasi a. 500 mg/kg dihitung sebagai asam siklamat b. 1 g/kg dihitung sebagai asam siklamat c. 3 g/kg dihitung sebagai asam siklamat d. 3 g/kg dihitung sebagai asam siklamat e. 3 g/kg dihitung sebagai asam siklamat f. 500 mg/kg dihitung sebagai asam siklamat Aspartam 0 – 40 mg

Sorbitol Kismis , Jam dan Jeli , roti serta makanan lain

5 g/kg 300g/kg 120 g/kg Sumber : Permenkes RI No. 1168/ Menkes/ PER/ X/ 1999

Pada awalnya, pemanis buatan diproduksi komersial untuk memenuhi ketersediaan produk makanan dan minuman bagi penderita diabetes melitus yang

(13)

harus mengontrol kalori makanannya. Seiring perkembangannya, pemanis buatan juga digunakan untuk menguatkan rasa manis dan cita rasa produk yang mengharuskan rasa manis sedangkan didalamnya sudah tergantung gula. BPOM telah membuat ketentuan terkait pemanis buatan berupa SK Kepala BPOM RI Nomor HK 00. 05. 5.1 4547 (PIPIMM, 2015).

Batas maksimum penggunaan sakarin dan siklamat diatur dalam SNI 01-6993-2004 dan Keputusan Kepala Badan POM HK 00.05.5.1.4547 tahun 2004 yaitu untuk sakarin 500 mg/kg berat bahan sedangkan siklamat memiliki batas penggunaan maksimum yang sama yaitu 500 mg/kg berat bahan. Bahan yang digunakan adalah manisan buah.

Pemanis sintetis sering ditambah ke dalam pangan sebagai pengganti gula karena memiliki kelebihan dibanding pemanis alami (Cahyadi, 2012) :

a. Sebagai pangan bagi penderita diabetes mellitus karena tidak menimbulkan kelebihan gula darah.

b. Memenuhi kebutuhan kalori rendah untuk penderita obesitas c. Sebagai penyalut obat

d. Menghindari kerusakan gigi

e. Pada industri pangan, minuman, termasuk industri rokok, pemanis sintetis dipergunakan dengan tujuan untuk menekan biaya produksi, karena pemanis sintetis ini selain mempunyai tingkat rasa manis yang lebih tinggi juga harganya relatif lebih murah dibandingkan dengan gula yang diproduksi di alam.

(14)

2.4 Sakarin

Sakarin adalah senyawa dengan formula C7H4ONHSO2, yang berbentuk kristal, berwarna putih, berasa amat manis, tidak beracun, sedikit larut dalam eter, air dan kloroform serta larut dalam alkohol, benzena, amil asetat, dan etil asetat. Sakarin dihasilkan dengan mereaksikan campuran asam toluena sulfonat dengan garam natrium dan banyak digunakan sebagai pemanis buatan dalam pembuatan minuman ringan, sirup, dan makanan-makanan lainnya (Basri, 1996).

Gambar 2.1 Struktur kimia sakarin

Sakarin ditemukan dengan tidak sengaja oleh Fahbelrg dan Remsen pada tahun 1897. Ketika pertama ditemukan sakarin digunakan sebagai antiseptik dan pengawet, tetapi pada tahun 1900 digunakan sebagai pemanis. Sakarin dengan rumus C7H4ONHSO2 dan berat molekul 183,18 disintesis dari toluen biasanya tersedia dalam garam Natrium. Nama lain dari sakarin adalah 2,3-dihidro-3-oksobenzisulfonasol, benzosulfimida, atau o-sulfobenzimida, sedangkan nama dagangnya adalah glucide, garantose, saccarinol, saccarinose, sakarol, saxin, sykose, hermesetas (Cahyadi, 2012). Pemeriannya berupa serbuk atau hablur putih, tidak berbau atau berbau aromatik lemah, larutan encer sangat manis, larutan bereaksi asam terhadap lakmus (Anonim, 1995).

Sakarin, merupakan pemanis tertua, termasuk pemanis yang sangat penting perannya dan biasa dijual dalam bentuk garam Na atau Ca. Pada

(15)

hasil pengujian pada hewan percobaan menunjukkan kecenderungan bahwa sakarin menimbulkan efek karsinogenik, tetapi hal ini belum dapat dibuktikan pada manusia. Oleh karena itu, sakarin sampai saat ini masih diizinkan penggunaannya dihampir semua negara (Siagian, 2008)

Berdasarkan kategori pangan pada SNI 01-6993-2004, sakarin memiliki nilai kalori 0 kkal/g atau setara dengan 0 kg/ g dan ADI 5 mg/kg Berat Badan. Batas maksimum penggunaan sakarin yaitu 500 mg/kg buah bergula.

Intensitas rasa manis garam natrium sakarin cukup tinggi yaitu kira-kira 200-500 kali sukrosa (PIPIMM, 2015). Di samping rasa manis, sakarin juga mempunyai rasa pahit yang disebabkan oleh kemurnian yang rendah dari proses sintesis (Cahyadi, 2012) .

Penggunaan sakarin biasanya dicampur dengan bahan pemanis lain seperti siklamat atau aspartam. Hal ini dimaksudkan untuk menutupi rasa tidak enak dari sakarin dan untuk memperkuat manisnya. Sebagai contoh , kombinasi sakarin dan siklamat dengan perbandingan 1:3 merupakan campuran yang paling baik sebagai pemanis yang menyerupai gula dalam minuman (Cahyadi, 2012).

Sakarin menimbulkan rasa pahit jika dikonsumsi dalam konsentrasi tinggi. Alasan digunakannya sakarin karena harga yang murah , nilai kalorinya rendah serta tidak menimbulkan kanker. Biasanya bahan tambahan ini banyak dicampurkan pada berbagai macam minuman ringan (soft drink), selai, permen, tak terkecuali berbagai jenis jajanan pasar dan berbagai macam produk kesehatan mulut seperti pasta gigi dan obat penyegar mulut (Yuliarti, 2007).

(16)

Penelitian yang dilakukan pada manisan buah yang dijajakan dipasar petisah tahun 2003, dari analisis kualitatif menunjukkan dari 8 sampel terdapat 2 sampel positif menggunakan sakarin dan analisis kuantitatif didapatkan kadar tertinggi adalah 637,58 mg/kg. Berdasarkan hasil tersebut kadar sakarin tersebut melebihi batas yang ditetapkan oleh Permenkes No 722/Menkes/IX/1988 yaitu sebesar 300 mg/kg (Setia, 2003) .

Hasil penelitian dilakukan terhadap es krim yang dijajakan di kota Medan, dari 15 sampel terbukti seluruh sampel menggunakan zat pemanis buatan. Zat pemanis buatan yang digunakan sebagai bahan pemanis adalah sakarin tetapi kadar sakarin yang digunakan melebihi batas yang ditetapkan. Kadar sakarin tertinggi adalah 8631 mg/kg dan kadar sakarin terendah 6754 mg/kg (Napitupulu, 2005) .

Penelitian sejenis juga dilakukan pada permen karet yang beredar di kota Medan, setelah dilakukan analisis kualitatif, terbukti dari 18 sampel yang diperiksa, ditemukan 5 sampel mengandung pemanis buatan sakarin. Dari analisis kuantitatif yang dilakukan kadar sakarin tertinggi adalah 25,53 mg/kg, dan kadar sakarin terendah 0,121 mg/kg. Bila dibandingkan dengan Permenkes RI No 1168/Menkes/Per/IX/1999. Kadar pemanis buatan pada permen karet masih memenuhi syarat kesehatan (Silalahi, 2010).

Dari hasil – hasil peneltian yang telah dilakukan menunjukkan masih banyak penggunaan pemanis sintetis berupa sakarin dalam makanan dan minuman. Hal ini dilakukan produsen untuk menekan biaya produksi dan mendapatkan keuntungan yang besar pula.

(17)

Meskipun zat pemanis buatan yang digunakan oleh produsen adalah zat pemanis yang diizinkan, namun dalam penggunaannya masih banyak yang melebihi batas yang sudah ditetapkan oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) dan Menteri Kesehatan.

2.5 Siklamat

Siklamat pertama kali ditemukan oleh Michael Svedia pada tahun 1937. Siklamat ditambahkan dalam pangan dan minuman sejak tahun 1950. Siklamat biasanya tersedia dalam bentuk garam natrium dari asam siklamat dengan rumus molekul C6H11NHSO3Na. Nama lain dari siklamat adalah natrium sikloheksisulfamat atau natrium siklamat. Dalam perdagangan, siklamat dikenal dengan nama assugrin, sucaryl, atau sucrosa.

Gambar 2.2 Struktur kimia siklamat

Siklamat umumnya dalam bentuk garam kalsium, kalium, dan natrium siklamat. Garam siklamat berbentuk kristal putih, tidak berbau, tidak berwarna, dan mudah larut dalam air dan etanol, intensitas kemanisannya ± 30 kali kemanisan sukrosa. Kombinasi penggunaan siklamat dengan sakarin bersifat sinergis, dan kompatibel dengan pencita rasa dan sebagai bahan pengawet. Sifat fisik siklamat tahan panas, sehingga sering digunakan dalam pangan yang diproses dalam suhu tinggi misalnya pangan dalam kaleng (Cahyadi, 2012).

Siklamat diperjualbelikan dalam bentuk garam Na atau Ca-nya. Siklamat dilarang penggunaannya di Amerika Serikat, Kanada, dan Inggris sejak tahun

(18)

1970-an karena produk degradasinya bersifat karsinogenik. Meskipun demikian, penelitian yang mendasari pelarangan penggunaan siklamat banyak mendapat kritik karena siklamat digunakan pada tingkat yang sangat tinggi dan tidak mungkin terjadi dalam praktek sehari-hari. Oleh karena itu, FAO/WHO masih memasukkan siklamat sebagai bahan tambahan pangan yang diperbolehkan (Siagian, 2008).

Berdasarkan kategori pangan pada SNI 01-6993-2004, siklamat memiliki nilai kalori 0 kkal/g atau setara dengan 0 kg/g dan ADI sebesar 11 mg/kg Berat Badan. Batas maksimum penggunaan sakarin yaitu 500 mg/kg buah bergula.

Hasil penelitian pada minuman berenergi yang dijual di Kota Medan pada tahun 2004 menunjukkan dari 15 sampel yang diteliti, diperoleh 6 sampel yang positif mengandung siklamat dengan kadar terendah yaitu 1,77 g/kg dan kadar tertinggi yaitu 2,91 g/kg. Kadar tertinggi sudah mendekati kadar maksimum penggunaan siklamat yang diizinkan yaitu 3 g/kg berdasarkan Permenkes No 722/ Menkes/ IX/88 (Sinamo, 2004). Penelitian sejenis dilakukan oleh Simatupang (2009) pada sirup produk lokal atau produk nasional di pasar tradisional Medan tahun 2009 menunjukkan bahwa kadar siklamat masih jauh dari ambang batas yang diizinkan yaitu 500 mg/kg menurut SNI 01-6993-2004 tentang persyaratan penggunaan zat pemanis.

Hasil penelitian lain juga dilakukan pada manisan buah yang dijajakan di Pasar Petisah pada tahun 2003. Dari 8 sampel, diperoleh 6 sampel yang positif menggunakan siklamat sebagai pemanis buatan. Kadar siklamat terendah yaitu 59,96 mg/kg dan kadar siklamat tertinggi yaitu 1.676,5 mg/kg (Setia, 2003).

(19)

Kadar penggunaan siklamat pada penelitian diatas masih dibawah batas maksimum penggunaan yaitu 3 g/kg.

Penelitian sejenis juga dilakukan pada saus tahu gejrot yang digunakan di kawasan USU tahun 2015. Hasil analisis yang didapat penjual menambahkan siklamat pada sebagian saus tahu genjrot yang dijual. Dari 7 sampel saus tahu genjrot semua positif mengandung siklamat. Kadar siklamat terendah yaitu 0,1328 g/ kg dan kadar siklamat tertinggi yaitu 0,2960 g/ kg (Hakiki, 2015) .

Berdasarkan dari penelitian yang telah dilakukan pada siklamat, penggunaan sakarin masih banyak digunakan sebagai bahan tambahan pangan dalam makanan dan minuman , tetapi kadar yang digunakan masih dibawah kadar ambang batas yang ditetapkan yaitu 3 g/ kg menurut Permenkes RI No 722/Menkes/Per/IX/1988 sedangkan menurut WHO berdasarkan ADI adalah 11 mg/ kg BB.

Ditinjau dari data pengawasan tahun 2006 yang dilakukan Badan POM di 478 Sekolah Dasar yang tersebar di seluruh Indonesia, menunjukkn bahwa dari 2903 contoh PJAS yang dianalisis, 1069 contoh diantaranya adalah produk Es (es sirop, es mambo, es lolipop, dsb), sirup jelly, agar-agar, dan minuman ringan, dimana 458 (42,84%) contoh diantaranya mengandung siklamat melebihi batas maksimum penggunaan yang diizinkan (BPOM, 2006).

Menurut Depkes RI, sakarin hanya diperbolehkan untuk pasien yang mempunyai penyakit diabetes atau orang yang membutuhkan makanan berkalori rendah. Namun, penggunaan siklamat semakin meluas di berbagai kalangan dan produk. Menurut Winarno dan Birowo (1988), hal ini terjadi karena harga

(20)

siklamat yang jauh lebih murah dan menimbulkan rasa manis tanpa meninggalkan rasa pahit serta memiiki tingkat kemanisan 30 kali gula.

2.6 Dampak Sakarin dan Siklamat pada Makanan Terhadap Kesehatan Pemanis buatan (sintetis) banyak menimbulkan penyakit bagi kesehatan manusia bila dikonsumsi dalam jumlah berlebihan. Dari hasil penelitian National Academy of Science tahun 1968 menyatakan bahwa konsumsi sakarin oleh orang dewasa sebanyak 1 gram atau lebih rendah tidak menyebabkan terjadinya gangguan kesehatan. Lain hal pada penelitian lain yang menyebutkan bahwa sakarin dalam dosis tinggi dapat menyebabkan kanker pada hewan percobaan. Pada tahun 1977 Canada’s Health Protection Branch melaporkan bahwa sakarin bertanggung jawab terhadap terjadinya kanker kantong kemih. Sejak itu sakarin dilarang digunakan di Kanada, kecuali sebagai pemanis yang dijual di apotek dengan mencantumkan label peringatan (Cahyadi, 2012).

Penggunaan siklamat sebagai bahan tambahan pangan tidak boleh melebihi batas maksimum yang dipersyaratkan. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, batas maksimum konsumsi siklamat harian (Acceptable Daily Intake) menurut Organisasi Kesehatan Dunia Food and Agriculture Organization's Joint Expert Committee on Food Additives (JECFA) adalah sebesar 11 mg/kg.

Namun demikian, berdasarkan survey paparan yang dilakukan badan POM di Malang terhadap total 72 responden murid Sekolah Dasar, menunjukkan asupan harian siklamat sebesar 26,4 mg/kg/BB/hari yang berasal dari produk

(21)

Walaupun belum mewakili seluruh daerah di Indonesia serta hasil survey tersebut belum direview oleh pakar independen, paparan siklamat untuk anak-anak Indonesia cukup tinggi (Emran, 2007).

Penggunaan siklamat secara berlebih dapat menyebabkan gangguan kesehatan. Bakteri organik dalam saluran gastrointestinal dapat mengubah siklamat yang dikonsumsi menjadi senyawa cyclohexilamine yang lebih toksik dibanding siklamat itu sendiri (Lu, 1995).

Dalam jangka waktu pendek, hal yang dapat dirasakan setelah mengonsumsi sakarin dan siklamat adalah migrain, sakit kepala, kehilangan daya ingat, bingung, insomnia, iritasi, asthma, diare, sakit perut, alergi, impotensi, gangguan seksual, dan kebotakan (Endah, 2013).

Dampak kesehatan yang ditimbulkan oleh senyawa sikloheksilamin pada jangka panjang antara lain :

a. Efek testikular

Sejumlah studi toksikologi telah menunjukkan bahwa testis tikus merupakan organ yang paling sensitif terhadap sikloheksilamin, dan efek ini yang digunakan oleh JECFA dan lembaga lainnya sebagai dasar untuk menentukan Acceptable Daily Intake (ADI) dari siklamat (Nabors, 2001). Senyawa sikloheksilamin dalam tubuh dalam menyebabkan atropi (penghentian pertumbuhan) testikular (Lu, 1995).

b. Efek kardiovaskular

Berdasarkan studi yang dilakukan, diketahui bahwa sebanyak 0,1% siklamat yang dikonsumsi akan bermetabolisme menjadi sikloheksilamin

(22)

dalam urin. Sebagian dari senyawa sikloheksilamin akan mengendap di dalam plasma darah dan dapat meningkatkan tekanan darah (Nabors, 2001).

c. Kerusakan Hati dan Ginjal

Menurut New Jersey Department of Health (NJDH) tahun 2010, bahwa hasil dari paparan siklamat dan sikloheksilamin secara berulang-ulang dengan dosis tinggi dapat menyebabkan kerusakan hati dan ginjal (NJDH, 2010).

d. Kerusakan organ

Berdasarkan hasil uji laboratorium pada hewan uji (tikus), pemberian siklamat dalam dosis tinggi dapat menyebabkan tumor kandung kemih, paru, hati, limpa dan menyebabkan kerusakan genetik dan tropi testikular (BPOM, 2008).

2.7 Pasar Tradisional

Berdasarkan Peraturan Presiden No 112 tahun 2007, Pasar tradisional adalah pasar yang dibangun dan dikelola oleh pemerintah, pemerintah daerah, swasta, Badan Usaha Milik Negara, dan Badan Usaha Milik Daerah termasuk kerjasama dengan swasta dengan tempat usaha berupa toko, kios, los, dan tenda yang dimiliki/ dikelola oleh pedagang kecil, menengah, swadaya masyarakat, atau koperasi dengan usaha skala kecil, menengah, modal kecil dan dengan proses jual beli barang dagangan melalui tawar menawar.

(23)

kelontong yang menjual barang-barang kebutuhan sehari-hari yang berada di wilayah perumahan, pedagang kaki lima, pedagang yang berjualan di pasar tradisional.

Jumlah pasar tradisional yang ada dikota Medan berkisar 53 jenis pasar yang berskala kecil maupun besar, salah satunya yaitu Pasar Rame. Pasar tradisional terkenal dengan barang jual/ dagang yang memiliki harga jual yang relatif rendah (Carolina, 2013).

2.8 Kerangka Konsep

Berdasarkan tinjauan pustaka diatas, maka dibuat kerangka konsep yaitu sebagai berikut :

Berdasarkan pada kerangka konsep di atas, pemeriksaan zat pemanis buatan (sakarin dan siklamat) dilakukan melalui uji kualitatif dan uji kuantitatif. Uji kualitatif dilakukan untuk mengetahui ada atau tidaknya zat pemanis buatan pada manisan buah. Lalu dilanjutkan dengan uji kuantitatif untuk mengetahui kadar dari zat pemanis buatan yang digunakan. Kadar zat pemanis buatan dari hasil pemeriksaan disesuaikan dengan kadar zat pemanis buatan yang diizinkan,

Gambar 2.3 Kerangka Konsep Penelitian

Kesesuaian dengan SNI 01-6993-2004 Tentang Bahan Tambahan Pangan Pemanis Buatan Pemeriksaan Laboratorium - Sakarin - Sikamat

melalui uji kuantitatif dan uji kualitatif pada manisan buah

(24)

mengacu pada peraturan SNI 01-6993-2004 tentang bahan tambahan pangan pemanis buatan.

Gambar

Tabel 2.1 Daftar Pemanis buatan berdasarkan kategori pangan  Jenis BTP Pemanis
Tabel 2.2 Daftar Pemanis Sintetis yang Diizinkan Sesuai dengan Peraturan  Nama
Gambar 2.3 Kerangka Konsep Penelitian

Referensi

Dokumen terkait

Setiap pergerakan dari objek tersebut difoto (frame individual), di dalam teknik Stopmotion terdapat bentuk animasi boneka (puppet) animasi ini melibatkan tokoh

Bukti-bukti tinggalan budaya paleolitik di Pulau Seram telah memberikan suatu pandangan baru yang sangat signifikan terhadap perkembangan penelitian arkeologi prasejarah di

Multiple Channel Model merupakan suatu model pendekatan manajemen pelayanan publik, model ini dapat mengatur sistem pelayanan dengan baik sehingga harapan akan kepuasan

Untuk mencapai tujuan utama tersebut, maka pada penelitian ini dilakukan beberapa kegaitan diantaranya (1) menentukan kondisi eksisting perairan Danau Maninjau, (2) membangun

Menurut Sanjaya (Syaefudin, 2008), pembelajaran kontekstual adalah suatu pendekatan pembelajaran yang menekankan kepada proses keterlibatan siswa secara penuh untuk

1.. susunan saraf pusat secara meluas yang dapat melumpuhkan segala aspek kehidupan pecandunya. Penggunaan narkoba juga dapat mengakibatkan perubahan fungsi otak sehingga

a) Lingkungan Pengendalian (Control Environment). Faktor lingkungan pengendalian termasuk integritas, etika, kompetensi, pandangan, dan.. 157 filosopi manajemen dan

Dengan mencermati tiga karya di atas, berkaitan dengan karya yang akan penulis ciptakan terdapat beberapa perbedaan, letak perbedaannya adalah dalam proses pembakaran, formula