BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dewasa ini perkembangan pariwisata sangat diperhatikan oleh seluruh lapisan
masyarakat di dunia karena memberikan peluang usaha bagi siapa saja yang terlibat
didalamnya. Demikian pula di Indonesia, pariwisata merupakan salah satu sektor yang
menyumbang devisa terbesar di Indonesia. Menurut data yang dirilis dari Biro Pusat
Statistik (BPS, 2010), jumlah wisatawan asing di Indonesia sebesar 5.002.101
wisatawan, sedangkan jumlah wisatawan domestik adalah 109,9 juta wisatawan dan
menghasilkan pendapatan sektor pariwisata sebesar Rp.86,6 Triliun.
Berbicara tentang pariwisata, maka hotel merupakan salah satu faktor pendukung
pariwisata yang mempunyai peranan sangat penting dalam mengembangkan sarana dan
prasarana pariwisata. Hotel sebagai salah satu jenis akomodasi yang terlibat secara
langsung dalam penyediaan jasa penginapan, makan dan minum serta fasilitas lain,
diharapkan memberikan kepuasan bagi setiap orang yang memakai jasa tersebut
(Mattendon, 2007). Hal ini berdampak pada tingginya kompetisi antar hotel. Hasil
survei Badan Pusat Statistik Indonesia (2010) terdapat 1240 industri perhotelan
berbintang yang tersebar di seluruh Indonesia, dengan tingkat hunian wisatawan
mancanegara dan domestik per harinya mencapai 84.566 tamu. Di kota Medan, jumlah
industri perhotelan melonjak cukup tajam, tercatat ada 30 industri hotel pada tahun
2005, menjadi 41 industri hotel pada tahun 2010, sehingga tidak mengherankan bila
pada tahun ini, sektor industri hotel menempati urutan pertama sebagai penyumbang
Berdasarkan data statistik dari BPS Provinsi Sumatera Utara, diketahui bahwa
tingkat hunian kamar hotel bintang tiga pada tahun 2011 mencapai 51,37 % dan
merupakan tingkat hunian hunian tertinggi dibanding kelas berbintang lainnya
(Waspada, 2011). Hal ini relatif selaras dengan data tahun 2007 bahwa hotel bintang
tiga telah mendominasi pasar sekitar 56.73% (BPS, 2008).
Pengelola hotel harus responsif dan tanggap terhadap perubahan lingkungan untuk
bisa bertahan dan mempertahankan pangsa pasar serta menciptakan peluang yang baru.
Hal ini sesuai dengan pernyataan Sulastiyono (1999) bahwa hotel yang gagal
mengantisipasi dan beradaptasi terhadap perubahan cenderung akan mengalami
penurunan pendapatan dan jumlah tamu serta tidak akan mampu bertahan.
Hotel X merupakan salah satu hotel bintang tiga di Medan juga mengalami
perubahan. Hotel yang sudah berdiri sejak tahun 2003 ini mengalami perubahan badan
hukum perusahaannya. Pada awal berdirinya, Hotel X berbadan hukum Comanditaire
Vennootschap (CV), kemudian pada tahun 2007, berubah menjadi Perseroan Terbatas (PT). Perubahan ini diakibatkan oleh pembangunan Hotel Grand X yang berbintang
empat di Medan dan bertujuan agar Hotel X dan Hotel Grand X dapat berada dalam satu
badan usaha yakni PT. SK. Hal ini berdampak pada perubahan organisasi Hotel X yakni
perubahan struktur organisasi dan perubahan cara sosialisasi kebijakan perusahaan.
General Manager dan Semua manajer di Hotel X merangkap jabatan manajer di Hotel Grand X, dan berkantor di Hotel Grand X yang berjarak sekitar 1 km dari Hotel
Diagram 1: GM dan M berkantor di Hotel X sebelum Diagram 2: GM dan M tidak berkantor di adanya Hotel Grand X Hotel X sesudah adanya Hotel Grand X
Ket: GM: General Manager; M:Manajer; ASM: Asisten Manajer
Diagram dua memperlihatkan tidak ada yang bertanggung jawab sebagai General
Manager (GM) dan Manajer (M) di Hotel X, yang ada hanyalah Asisten Manajer. Padahal idealnya suatu perusahaan harus memiliki seorang pemimpin untuk
mengarahkan atau mengawasi operasional perusahaan. Hal ini sesuai dengan pernyataan
Thoha (2005) bahwa pemimpin berperan penting dalam menginspirasi bawahan,
menyelesaikan hambatan-hambatan dalam operasional usaha, memberikan teladan
kepada karyawan, mengerahkan karyawan untuk mencapai target perusahaan dan
memperbaiki kesalahan atau kekeliruan. Ketiadaan pemimpin di Hotel X, mengakibatkan kurang efektifnya operasional hotel, para asisten manajer di Hotel X harus melaporkan
dan menunggu instruksi dari Hotel Grand X jika terjadi hambatan dalam operasional
hotel. Selain itu, para manajer yang posisinya berada di Hotel Grand X jarang datang
dan mengawasi langsung kinerja bawahannya di Hotel X. Hal ini seperti yang
diungkapkan oleh salah seorang supervisor engineering (komunikasi personal, 2 Mei
2011):
“....hmm.. jarang sih bu.. biasanya kita yang datang ke Grand. Kalo ada masalah kita melapor ke Grand. Kalo gak ada masalah, ngapaen kita lapor ke sana? Lagian jarang kali manajer itu datang ke sini bu....”
“....kalopun ada masalah, palingan kami disuruh buat laporan tertulis bu. mana ada manajer tuh datang, setidaknya buat lihat keadaan. Misalnya mesin itu rusak, ya kami di sini yang memperbaikinya sendiri. setelah selesai perbaikan pun, manajernya gak ada datang. cuman kami disuruh buat laporan kerusakannya apa dan apa yang kami lakukan..”
GM
M M M M M
Perubahan lainnya yaitu perubahan cara sosialisasi kebijakan perusahaan, yakni
berubah dari komunikasi lisan menjadi tulisan. Perubahan kebijakan yang diambil oleh
para manajer disosialisasikan kepada karyawan di Hotel X secara tertulis dengan
membagikan memorandum. Pembagian memorandum dirasakan kurang efektif, karena
karyawan di Hotel X kurang membaca secara teliti dan terjadi berbagai penafsiran arti
dari memorandum tersebut. Berikut penuturan dari salah seorang staf tata graha di Hotel
X (komunikasi personal, 3 Mei 2011):
“ya mana tau kak perubahan peraturan. Nanti tiba-tiba aja uang servis dipotong kalo terlambat, padahal dulunya gak ada. Sudah dipotong baru dikasih tau kalo keterlambatan akan memotong uang servis. Sebelumnya gak ada...”
“kemaren itu ada ditulis di memorandum kak, yang terlambat akan dipotong uang servisnya. Tapi saya gak tau kak kalo telat 1 menit aja pun akan dianggap sebagai keterlambatan 30 menit. Tau gitu, dah telat, bagusan merokok di luar aja sambil nunggu waktu..”
Selain itu, ASM di Hotel X kurang mensosialisasikan perubahan kebijakan sistem
kerja kepada bawahan sehingga mengganggu tugas operasional harian dan
menimbulkan rasa ketidaknyamanan karyawan yang berbeda departemen. Hal ini
seperti diungkapkan oleh salah seorang staf resepsionis (komunikasi personal, 3 Mei
2011):
“palingan kek di resepsionis, kemaren itu kan terjadi perubahan mengenai sistem pelaporan ke bagian accounting. Tapi si pak A gak ada dijelaskannya, jadinya laporannya jadi double dan ada perbedaan jumlah yang ada dan dalam laporan..kemaren itu ampe gak enak ama orang accounting.. pikirnya kami yang di FO ini malas kali membuat laporan ke accounting...”
Adanya kenyataan bahwa ASM cenderung tidak peduli untuk menyampaikan
perubahan kebijakan kepada bawahan berimbas pada munculnya kekecewan karyawan
terhadap manajemen di Hotel X. Pemicu munculnya kekecewaan karyawan adalah
berupa uang servis. Berikut penjelasan manajer HRD (komunikasi personal, 3 Mei
2011):
“...Kalo masalah kebijakan yang sering dibilang karyawan itu gak pernah diumumkan, tiba-tiba terjadi pemotongan uang gaji. Sebelum dikeluarkan kebijakan baru itu, sudah disampaikan kok ama para headnya.. jadi headnya sudah tau apa kebijakan terserbut. Bahkan para head juga memberikan masukan tentang kebijakan baru tersebut. Kan kamu tau fran, kita seminggu sekali setidaknya ada briefing buat mendiskusikan kebijakan dan masalah-masalah yang dihadapi.. jadi kalo dibilang kebijakan itu tiba-tiba, saya rasa gak benar itu...yang benar itu, para headnya gak ada menyampaikan ama anak buahnya...”
Dalam berinteraksi dengan ASM, karyawan merasa tidak puas terhadap atasan
langsungnya. Adanya rasa tidak puas ini disebabkan karena kurangnya umpan balik
yang diberikan oleh ASM kepada bawahannya. Ketika bawahan melakukan kesalahan,
ASM kurang memberikan masukan cara memperbaiki kesalahan tersebut. Berikut
penjelasan salah seorang staf tata graha (komunikasi personal, 3 Mei 2011):
“mana ada kasi feedback kak.. kalo kerjaan kita beres, ya udah diam-diam aja. Kalo kerjaan kita ada yang salah, yang ada dimarah-marahi tapi gak dikasi tau cara memperbaikinya. Untungnya kita berpengalaman.. jadi kita tau gimana memperbaikinya. Apalagi soal aturan aturan baru, mana ada dikasi tau ama atasan.. tiba-tiba aja keluar surat memorandum gitu”
“oo, headnya mana mau kak mem back up kami.. yang ada dia malah bangga kak memarahi kami di depan orang lain. Kalo misalnya ada salah, ya berikan lah masukan.. jangan marah-marah, pemimpin macam apa lah kak kalo kek gitu?”
Permasalahan lain yang dirasakan oleh Manajer HRD Hotel X, yakni kurangnya
kepedulian karyawan untuk mengikuti program-program yang difasilitasi oleh
departemen HRD, karena program tersebut ternyata disampaikan hanya secara tertulis
yang berupa memorandum dan kurangnya sosialisasi dari para ASM . Hal ini seperti
dituturkan oleh Manajer HRD (komunikasi personal, 3 Mei 2011):
“....ada program training pun kurang efektif. gak dikasih tau ama head nya kalo itu wajib. Terpaksalah kita ngeluarin memorandum. itu pun sedikit yang datang...” “ya gitu lah headnya.. padahal sudah saya ingatkan untuk memberitahukan ama bawahannya pada tanggal segini itu ada pelatihan. Tapi para headnya juga gak
peduli kali, dipikirnya dengan memorandum itu bisa membuat karyawan datang. padahal saya sudah mengingatkan agar para headnya ngomong dan menjelaskan pelatihan ini, biar para bawahan ini datang ke pelatihan. Buktinya asal ada pelatihan, bawahan yang datang cuman sedikit. Nanti sudah saya tegur mengenai jumlah karyawan yang datang pada pelatihan, baru headnya marah-marah.. dah sering itu kek gitu.. jadi maklum maklum aja..”
Selain permasalahan di atas, masalah lain yang dihadapi oleh Hotel X adalah
kurangnya koordinasi antara bawahan dan atasan sehingga menimbulkan gangguan
dalam pelayanan. Hal ini dirasakan cukup mengganggu kenyamanan pelanggan dan
menyebabkan pelanggan tidak ingin menginap di Hotel X lagi, seperti dituturkan oleh
salah satu staf resepsionis (komunikasi personal, 19 Oktober 2011):
“...oo yang itu kak, yang pelanggan bapak dari aceh itu? Kan bapak itu pelanggan lama. Waktu itu, uang bapak itu kurang 2 juta buat bayar biaya hotel. Dia minta utang kak.. nah, saya kan cuman resepsionis.. saya tanyakan ama pak A. Kata pak A nanti didiskusikan ama orang accounting.. tapi dah 1 jam an , pak A gak ngasih kabar apa-apa.. sedangkan tamunya mendesak.. jadi saya bilang bahwa belum ada keputusan. Mungkin bapak itu mendesak terus, ya saya bilang aja kalo gak bisa.. dan bapak itu malah marah dan mengatakan „gak akan kuinjakkan lagi kaki ku ke hotel ini‟ “
“trus, setelah itu saya malah kena marah ama pak A katanya gak bisa melayani pelanggan. Dan katanya kalo dihutangi 2 juta gak apa-apa.. soalnya bapak itu pelanggan lama, aneh kan kak?”
Tabel 1.1. berikut ini merupakan rekapitulasi identifikasi masalah yang terjadi di
Hotel X Medan.
Tabel 1.1. Rekapitulasi identifikasi masalah di Hotel X
Hasil wawancara Indikasi masalah
....palingan kek di resepsionis, kemaren itu kan terjadi perubahan mengenai sistem pelaporan ke bagian accounting. Tapi si pak A gak ada dijelaskannya, jadinya laporannya jadi double dan ada perbedaan jumlah yang ada dan dalam laporan..kemaren itu ampe gak enak ama orang accounting.. pikirnya kami yang di FO ini malas kali membuat laporan ke accounting...
Karyawan kurang mengetahui
perubahan sistem kerja sehingga mengganggu operasional harian dan
memicu rasa ketidaknyamanan
karyawan antar departemen.
...kalo masalah visi dan misi itu, semua head taunya..kan kemaren itu dibuat bersama. Kalo masalah kebijakan yang sering dibilang karyawan itu gak pernah diumumkan, tiba-tiba
Karyawan merasakan kekecewan terhadap manajemen yang tidak menyampaikan kebijakan pemotongan uang servis.
terjadi pemotongan uang gaji. Sebelum dikeluarkan kebijakan baru itu, sudah disampaikan kok ama para headnya.. jadi headnya sudah tau apa kebijakan terserbut. Bahkan para head juga memberikan masukan tentang kebijakan baru tersebut. Kan kamu tau fran, kita seminggu sekali setidaknya ada briefing buat mendiskusikan kebijakan dan masalah-masalah yang dihadapi.. jadi kalo dibilang kebijakan itu tiba-tiba, saya rasa gak benar itu...yang benar itu, para headnya gak ada menyampaikan ama anak buahnya... ....mana ada kasi feedback kak.. kalo kerjaan kita beres, ya udah diam-diam aja. Kalo kerjaan kita ada yang salah, yang ada dimarah-marahi tapi gak dikasi tau cara
memperbaikinya. Untungnya kita
berpengalaman.. jadi kita tau gimana memperbaikinya. Apalagi soal aturan aturan baru, mana ada dikasi tau ama atasan.. tiba-tiba aja keluar surat memorandum gitu..
...oo, headnya mana mau kak mem back up kami.. yang ada dia malah bangga kak memarahi kami di depan orang lain. Kalo misalnya ada salah, ya berikan lah masukan.. jangan marah-marah, pemimpin macam apa lah kak kalo kek gitu?...
Karyawan merasa tidak puas terhadap atasan langsungnya karena kurangnya umpan balik yang diberikan oleh atasan kepada bawahannya. Ketika bawahan melakukan kesalahan, atasan kurang
memberikan masukan cara
memperbaiki kesalahan tersebut
....ada program training pun kurang efektif. gak dikasih tau ama head nya kalo itu wajib. Terpaksalah kita ngeluarin memorandum. itu pun sedikit yang datang...
....ya gitu lah headnya.. padahal sudah saya ingatkan untuk memberitahukan ama bawahannya pada tanggal segini itu ada pelatihan. Tapi para headnya juga gak peduli kali, dipikirnya dengan memorandum itu bisa membuat karyawan datang. padahal saya sudah mengingatkan agar para headnya ngomong dan menjelaskan pelatihan ini, biar para bawahan ini datang ke pelatihan. Buktinya asal ada pelatihan, bawahan yang datang cuman sedikit. Nanti sudah saya tegur mengenai jumlah karyawan yang datang pada pelatihan, baru headnya marah-marah.. dah sering itu kek gitu.. jadi maklum maklum aja..
Karyawan kurang peduli untuk mengikuti program-program yang difasilitasi oleh departemen HRD, karena program tersebut ternyata disampaikan hanya secara tertulis yang berupa memorandum.
...oo yang itu kak, yang pelanggan bapak dari aceh itu? Kan bapak itu pelanggan lama. Waktu itu, uang bapak itu kurang 2 juta buat
Karyawan kurang berkoordinasi dengan atasan sehingga menimbulkan gangguan dalam pelayanan
bayar biaya hotel. Dia minta utang kak.. nah, saya kan cuman resepsionis.. saya tanyakan ama pak A. Kata pak A nanti didiskusikan ama orang accounting.. tapi dah 1 jam an , pak A gak ngasih kabar apa-apa.. sedangkan tamunya mendesak.. jadi saya bilang bahwa belum ada keputusan. Mungkin bapak itu mendesak terus, ya saya bilang aja kalo gak bisa.. dan bapak itu malah marah dan mengatakan „gak akan kuinjakkan lagi kaki ku ke hotel ini‟...
...trus, setelah itu saya malah kena marah ama pak A katanya gak bisa melayani pelanggan. Dan katanya kalo dihutangi 2 juta gak apa-apa.. soalnya bapak itu pelanggan lama, aneh kan kak?....
Berbagai indikasi masalah yang telah ditemukan dan dipaparkan diatas,
mengindikasikan adanya permasalahan yang berkaitan dengan komunikasi dalam
organisasi.
Komunikasi dalam organisasi merupakan sarana penghubung antara atasan dan
bawahan dalam rangka pencapaian tujuan organisasi. Komunikasi yang terjalin antara
atasan dan bawahan (komunikasi vertikal) memiliki peran penting dalam suatu
organisasi karena dua per tiga dari komunikasi yang dilakukan dalam organisasi
berlangsung antara atasan dan bawahan (Stoner dan Freeman, 1994). Menurut Larkin
dan Larkin (dalam Baker, 2002), pola komunikasi atasan ke bawahan merupakan bentuk
komunikasi yang paling banyak digunakan dalam rantai kerja organisasi, sehingga
sering menjadi potensi konflik dalam organisasi.
Komunikasi atasan-bawahan sangat penting dalam organisasi karena dapat membawa
pengaruh yang besar terhadap organisasi. Komunikasi atasan kepada bawahan sangat
berkaitan erat dengan fungsi kepemimpinan dalam roda organisasi, yaitu sebagai
Adanya hubungan komunikasi atasan-bawahan yang efektif dapat menciptakan suatu
kondisi yang menyenangkan dalam organisasi yang kemudian berpengaruh terhadap
kepercayaan dan kepuasan kerja karyawan yang pada akhirnya ikut menentukan kinerja
karyawan dan motivasi karyawan (Irawati, 2004). Hal senada diungkapkan oleh Pace &
Faules (2000) bahwa komunikasi atasan bawahan yang efektif dapat meningkatkan
motivasi karyawan dengan cara menginformasikan dan mengklarifikasi bawahan
mengenai tugas yang harus dikerjakan, perilaku yang diharapkan dalam melakukan
tugasnya, dan bagaimana memperbaiki kinerja bawahan.
Sedangkan hasil penelitian Johlke & Duhan (2008), komunikasi atasan bawahan yang
kurang efektif dapat menimbulkan ambiguitas yang dialami bawahan dan menurunkan
hasil kerja dan produktivitas serta motivasi karyawan.
Berkaitan dengan Hotel X, diindikasikan terjadi penurunan produktivitas. Hal ini
dapat dianalisis dari pendapatan dan okupasi kamar pada Hotel X. seperti pada tabel
berikut ini:
Tabel 1.2. Tingkat pendapatan Hotel X
Tahun Total Pendapatan Okupasi Kamar
2008 5.364.370.691 80,46 %
2009 5.094.480.935 74,03 %
2010 4.896.708.876 73,02%
Sumber: Rekapan Laporan Keuangan Hotel X
Tabel 1.2 diatas memperlihatkan Hotel X mengalami penurunan tingkat hunian tamu
yang mengakibatkan penurunan pendapatan yang cukup signifikan dari Rp
5.364.370.691 pada tahun 2008 bergerak menurun hingga Rp 4.896.708.876 pada tahun
2010 dan okupasi kamar menurun dari 80,46 % hingga 73,02 % (rekap laporan
keuangan hotel X, departemen accounting, 2011).
Selain itu, indikasi penurunan motivasi karyawan terlihat dari adanya kejenuhan dan
keinginan karyawan untuk berpindah tempat kerja. Seperti yang diungkapkan oleh salah
“ya kalo ada kerjaan lain sih pengennya sih pindah.. kemaren sih udah masukin lamaran ke Hotel lain kak.. tapi belum ada panggilan, kalo ada panggilan sih pengennya pindah aja.. dah gak enak kali di sini kak..”
Berdasarkan pemaparan di atas, dapat disimpulkan bahwa tingkat produktivitas Hotel
X terus mengalami penurunan setiap tahunnya dan terdapat indikasi motivasi karyawan
yang rendah. Kedua hal ini sangat dipengaruhi oleh efektifitas komunikasi atasan
bawahan.
Dalam upaya untuk membangun efektifitas komunikasi atasan bawahan di Hotel X,
idealnya semua atasan memiliki pemahaman yang jelas tentang hal-hal yang mendukung
efektifitas komunikasi atasan bawahan, sehingga mampu mencapai tujuan organisasi.
Agar tercapainya komunikasi atasan bawahan yang efektif di Hotel X, maka para atasan
perlu dievaluasi dengan cara memberikan kuesioner komunikasi atasan bawahan kepada
karyawan bawahan di Hotel X. Hal ini sesuai dengan pendapat yang dikemukan oleh
Thoha (2005) bahwa ada 8 dimensi yang dapat digunakan untuk mengevaluasi
efektifitas komunikasi atasan bawahan yakni (1) intensi, (2) kekhususan, (3) deskriptif,
(4) kemanfaatan, (5) tepat waktu, (6) kesiapan, (7) kejelasan, dan (8) validitas. Tanpa
adanya komunikasi atasan bawahan yang efektif kemungkinan tujuan organisasi tidak
tercapai dan atasan tidak mampu mengkoordinasi bawahannya (Thoha, 2005).
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian di atas, maka peneliti ingin meneliti efektifitas komunikasi atasan
bawahan yang diindikasikan kurang berjalan efektif di Hotel X. Perumusan masalah
yang hendak dianalisa dalam penelitian ini adalah: “Bagaimana gambaran efektifitas komunikasi atasan bawahan di Hotel X?”
C. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah :
Mengetahui kondisi efektifitas komunikasi atasan bawahan Hotel X dan memberikan
informasi tentang kondisi tersebut kepada manajemen Hotel X.
D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Praktis
Tesis ini bermanfaat sebagai bahan masukan dan informasi bagi para praktisi dan
konsultan human resource serta staf departemen HRD Hotel X tentang efektifitas
komunikasi atasan bawahan karyawan Hotel X. Apabila hasil penelitian terhadap
efektifitas komunikasi kurang optimal, maka dapat diusulkan strategi untuk mengatasi
hal tersebut.
2. Manfaat Teoritis
a. Dapat menjadi referensi bagi penelitian komunikasi atasan bawahan.
b. Dapat menjadi bukti empiris mengenai kondisi komunikasi atasan bawahan.
E. Sistematika Penulisan
Bab I : Pendahuluan
Bab ini memuat latar belakang masalah yang diteliti, kerangka berfikir,
rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian.
Bab II : Landasan Teori
Bab ini memuat tinjaun teoritis tentang komunikasi atasan bawahan,
Bab III : Metode Penelitian
Bab ini memuat tentang pendekatan penelitian, metode pengumpulan
data, subjek penelitian, tahapan penelitian.
Bab IV : Analisa Data
Bab ini memuat deskripsi analisa data hasil penelitian kuantitatif dan
kualitatif
Bab V : Kesimpulan dan Saran
Bab ini menjelaskan kesimpulan dan saran yang berkaiatan dengan
F. Kerangka Konsep Permasalahan
Persaingan hotel semakin ketat di Medan, termasuk Hotel X berbintang tiga
Bagaimana gambaran efektifitas komunikasi atasan bawahan di Hotel X berdasarkan kedelapan dimensi tersebut?
Hotel X melakukan perubahan organisasi, dari badan hukum CV menjadi PT yang diikuti oleh lahirnya anak perusahaan baru yakni Hotel Grand X.
Perubahan ini menimbulkan berbagai masalah yakni:
Karyawan kurang mengetahui perubahan sistem kerja sehingga mengganggu operasional harian dan ketidaknyamanan karyawan antar departemen. Selain itu, menimbulkan kekecewaan karyawan terhadap manajemen.
Karyawan merasa tidak puas terhadap atasan langsungnya
Karyawan kurang berkerjasama dalam mengikuti program-program yang difasilitasi oleh departemen HRD.
Kurang adanya koordinasi antara bawahan dan atasan sehingga menimbulkan gangguan dalam pelayanan
Menurut Thoha (2005), efektifitas komunikasi atasan bawahan ditentukan oleh 8 dimensi yaitu dimensi intensi, dimensi kekhususan, dimensi deskriptif, dimensi kemanfaatan, dimensi tepat waktu, dimensi kesiapan, dimensi kejelasan, dan dimensi validitas.
Berdampak:
Menurunnya produktivitas
Menurunnya motivasi karyawan
Terganggunya operasional harian dan pelayanan kepada tamu
Menurunnya kepuasan kerja. Terjadi perubahan struktur organisasi dan cara sosialisasi kebijakan
Pengelola hotel harus responsif dan tanggap terhadap perubahan lingkungan
Secara umum mengarah kepada komunikasi atasan bawahan yang tidak berjalan secara efektif.
Keterangan:
: Menyebabkan : Klarifikasi