• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang"

Copied!
6
0
0

Teks penuh

(1)

1 BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Peralatan elektronik umumnya rentan terhadap getaran/guncangan. Pada proses penyimpanan dan transportasi peralatan elektronik, untuk meminimalisir getaran/guncangan peralatan tersebut diproteksi menggunakan styrofoam yang terbuat dari polistirena. Selain sebagai protektor peralatan elektronik, styrofoam telah menjadi salah satu pilihan dalam bisnis pangan, yaitu sebagai wadah makanan ataupun bahan makanan. Namun, riset terkini membuktikan bahwa styrofoam diragukan keamanannya. EPA (Enviromental Protection Agency) di tahun 1986 menyebutkan, limbah berbahaya yang dihasilkan dari proses pembuatan styrofoam sangat banyak. Hal itu menyebabkan EPA mengategorikan proses pembuatan styrofoam sebagai penghasil limbah berbahaya ke-5 terbesar di dunia. Selain itu, proses pembuatan styrofoam menimbulkan bau yang tak sedap yang mengganggu pernapasan dan melepaskan 57 zat berbahaya ke udara. Polistirena atau styrofoam dengan satuan struktural propilbenzen adalah bahan yang getas, mudah terbakar, dan tidak tahan terhadap bahan kimia.

Pada Juli 2001 Divisi Keamanan Pangan Pemerintah Jepang menyatakan bahwa residu styrofoam dalam makanan sangat berbahaya. Proses pembuatan styrofoam dari polistirena dengan cara ditiup memakai gas chlorofluoro carbon (CFC). CFC merupakan senyawa gas yang mampu membuat lubang pada lapisan ozon yang selanjutnya menjadi salah satu penyebab terjadinya pemanasan global. Styrofoam butuh waktu yang sangat lama untuk dapat diuraikan oleh tanah dan waktu yang dibutuhkan ± 100 tahun, karena itulah styrofoam juga dapat menggangu keseimbangan ekosistem yang berada di tanah. Tanah yang ada pun kurang subur karena adanya styrofoam akan menggangu aktivitas cacing sebagai organisme yang menggemburkan tanah. Sifat styrofoam itu ringan dan tidak mudah tenggelam, apabila styrofoam terbawa arus sungai atau laut maka otomatis styrofoam akan menjadi sampah dan akan menggangu biota sungai dan laut. Styrofoam dibuat dari bahan kimia berbahaya dan juga tidak dapat diuraikan

(2)

secara alami sehingga dapat mencemari lingkungan (Cho et al., 2009; Vedder, 2007; Faqor, 2009). Di sisi lain pada abad 21, para ahli kimia telah meraih sukses dalam meluaskan lingkup kajiannnya. Peran interaksi lemah antar molekul telah dikenali, dan prosepek baru kimia supramolekular telah terbuka. Di pihak lain, ilmu kimia mempunyai peran besar untuk melestarikan lingkungan, hal tersebut mendorong para ahli kimia untuk mencari cara agar alam dan manusia dapat berdampingan dengan langgeng, yang dalam terminologi modern disebut masyarakat berkelanjutan (sustainable societies) (Takeuchi, 2009). Sumber daya alam cukup tersedia untuk mendukung keinginan tersebut, yaitu dengan adanya polimer alam yang mempunyai sifat fisik mirip styrofoam antara lain gabus batang singkong dan cocopeat dari sabut kelapa.

Tanaman kelapa secara umum banyak dijumpai di Indonesia. Di pulau Jawa, tanaman kelapa sudah banyak tersingkirkan sebagai akibat kebutuhan areal perumahan bagi pertumbuhan penduduk yang sangat cepat. Menurut Indrous dan Arancon dan Idrous (2010) Indonesia menempati urutan teratas total luas areal perkebunan kelapa di dunia yaitu 3,8 juta ha yang diikuti oleh Filipina 3,4 juta ha dan India di urutan ketiga 1,9 juta ha. Masyarakat Indonesia umumnya, dalam kehidupan kesehariannya sulit untuk terlepas dari kelapa untuk mengolah bahan makanan. Tanaman kelapa di Indonesia belum dimanfaatkan secara optimal. Masyarakat umumnya baru memanfaatkan daging buah kelapa sebagai penghasil santan serta tempurung untuk dijadikan arang. Sabut buah kelapa di daerah-daerah terpencil hanya digunakan sebagai matras pengganti busa. Sabut kelapa yang belum termanfaatkan, jumlahnya jauh lebih banyak dibanding yang telah dimanfaatkan. Tumpukan sabut sebelum dapat diuraikan oleh alam, hanya menjadi sampah yang mengganggu pemandangan dan tata ruang daerah.

Menurut Arbintarso (2009) di Indonesia rata-rata pertahunnya dapat dihasilkan buah kelapa sebanyak 15,5 milyar butir. Dari hasil tersebut dapat diproduksi 1,8 juta ton serabut dan 3,3 juta ton cocopeat. Sabut kelapa terdiri dari serat sabut yang direkatkan oleh cocopeat. Ketersediaan bahan baku serabut kelapa cocopeat tersebut, seharusnya dapat dimanfaatkan untuk menghasilkan berbagai produk bernilai ekonomi dan ramah lingkungan.

(3)

Sabut kelapa merupakan bagian terbesar dari buah kelapa yaitu 35% dari bobot buah kelapa. Sabut kelapa jika diolah dengan baik akan menghasilkan serat sabut kelapa. Karena sifat fisika dan kimia dari lignoselulosa yang dimiliki oleh sabut kelapa ini sesuai dengan kebutuhan manusia, sehingga bahan baku alamiah tersebut mulai dimanfaatkan sebagai bahan baku industri karpet, jok, dashboard kendaraan, kasur, bantal, dan hardboard (Sudarsono et al., 2010). Para peneliti Baylor menyatakan bahwa sifat mekanik dari serat kelapa memiliki kualitas yang sama baik atau bahkan lebih baik dari serat sintetik dan poliester dalam penggunannya di bidang parts otomotif. Bradley mengatakann bahwa serat kelapa lebih murah dibandingkan serat lain dan ramah lingkungan (Subiyanto et al., 2003; Rustamiaji, 2009). Pada sabut kelapa, di antara serat terdapat bahan seperti gabus yang disebut cocopeat. Cocopeat merupakan polimer alam yang mengandung lignin, selulosa dan hemiselulosa, material dengan kandungan tersebut dalam kimia dikenal sebagai lignoselulosa.

Serat sabut dapat dicelup dengan zat pewarna CI Reactive Blue 217, karena bersifat non ionik ditambahkan katalis larutan NaCl dan buffer fosfat untuk mempertahankan pH dengan potensial elektrokinetik didapatkan penyerapan warna yang lambat pada serat sabut (Blus and Bernska, 2010). Cocopeat yang selanjutnya disebut lignoselulosa memiliki permukaan yang lebih luas sehingga membutuhkan modifikasi perlakuan dalam proses pewarnaan agar dihasilkan produk yang berkualitas. Proses pewarnaan pada lignoselulosa ini menggunakan warna-warna yang alamiah, agar tidak memberikan limbah yang lebih banyak terhadap lingkungan. Zat warna dapat digunakan pada berbagai bahan, baik yang berupa serat, lembaran, butiran atau bahan yang permukaannya dapat menyerap dan menyebabkan terjadinya perubahan ikatan pada permukaan zat.

Karet alam termasuk polimer adisi alam yang penting. Karet disadap dari pohon karet dalam bentuk suspensi di dalam air yang berwarna putih, berbau khas dan dikenal sebagai lateks. Karet alam sebagai polimer isoprena yang dihasilkan dari pohon karet bersifat lembek dan lengket bila dipanaskan. Kekuatan rantai dalam elastomer (karet) terbatas, akibat adanya struktur jaringan, namun energi kohesi harus rendah untuk memungkinkan peregangan. Contoh elastomer yang

(4)

banyak digunakan adalah poli vinil klorida, polimer stirena-butadiena-stirena (SBS) merupakan jenis termoplastik elastomer. Saat perang dunia II, persediaan karet alam berkurang, industri polimer tumbuh dengan cepat karena ahli kimia telah meneliti untuk pengganti karet. Beberapa pengganti yang berhasil dikembangkan adalah neoprena yang kini digunakan untuk membuat selang/pipa air untuk pompa gas, dan karet stirena – butadiena (SBR /styrene – butadiene rubber), yang digunakan bersama dengan karet alam untuk membuat ban-ban mobil. Meskipun pengganti–pengganti karet sintesis ini mempunyai banyak sifat--sifat yang diinginkan, namun tidak ada satu pengganti karet sintesis ini yang mempunyai semua sifat dari karet alam yang dinginkan (Yanto dan Hermiati, 2008; Azizah, 2009).

Anom (2010) melaporkan, lateks tanpa tambahan sulfur ataupun kompon dapat mempertahankan kelenturan serabut kelapa yang telah dipanaskan, walaupun sifat-sifat yang dinginkan dari produk tersebut masih banyak yang belum dicapai. Cocopeat merupakan limbah dari pengambilan serat sabut kelapa. Serat sabut/fiber biasanya digunakan untuk anyaman dan bahan pengganti busa pada pembuatan kasur. Cocopeat tersebut sudah mulai dimanfaatkan sebagai media tumbuh bagi tanaman, namun masih belum banyak variasi dalam pemanfaatannya. Pada penelitian ini cocopeat dimanfaatkan sebagai sumber lignoselulosa yang selanjutnya dicampur dengan poliisoprena untuk membuat lignoselulofoam. Interaksi antara poliisoprena dengan lignoselulosa diharapkan dapat terjadi melalui protein yang melapisi poliisoprena. Lapisan protein yang terdapat pada poliisoprena akan membentuk ikatan hidrogen dengan lignoselulosa. Dari semua uraian tersebut, untuk meminimalisir ketergantungan terhadap styrofoam, penelitian ini dilakukan untuk membuat suatu komposit yang disebut lignoselulofoam sebagai bahan pengganti beberapa fungsi styrofoam. Lignoselulofoam akan dibuat menggunakan polimer lignoselulosa dari sabut kelapa yang dipoliblending dengan polimer poliisoprena dari karet alam. Karet alam yang akan digunakan diencerkan dengan menambahkan air hingga diperoleh konsentrasi optimal, dengan demikian produk yang dihasilkan adalah lignoselulofoam yang ramah lingkungan.

(5)

1.2. Keaslian Penelitian

Berdasarkan penelusuran pustaka dari berbagai sumber yang telah dilakukan, dapat dikemukakan bahwa :

Pemanfaatan lignoselulosa sebagai media tanam dan bahan untuk membuat papan sudah banyak dilakukan seperti oleh Meerow dan Broschat, 2003; Treder, 2008; Rustamiaji, 2009; Kanmani et al., 2009; Subiyanto et al., 2003. Selain itu juga digunakan sebagai bahan pengisi pada helm anak dan peredam suara (Sonenblum et al., 2004; Zulkifli et al., 2010; Khuriati et al., 2006). Hasil-hasil riset tersebut dapat disimpulkan bahwa lignoselulosa dapat dijadikan produk padat maupun non padat dan juga dapat dengan perekat ataupun tanpa perekat. Dari penelitian yang disitasi, belum ada yang menginformasikan kajian molekuler tentang poliblending dua polimer alam yaitu lignoselulosa dan poliisoprena untuk menggantikan fungsi styrofoam. Penelitian ini penting untuk dilakukan sebagai alternatif pemanfaatan potensi alam dengan bahan kimia tidak berbahaya yang sekaligus mengurangi penggunaan bahan kimia berbahaya dan potensi pencemaran lingkungan terutama dari penggunaan styrofoam.

1.3. Rumusan Masalah

Butiran-butiran gabus/foam yang saling berikatan sebagai polimer lignoselulosa diperkuat karena berikatan dengan serat pada kulit kelapa, dapat melindungi tempurung kelapa sehingga tidak pecah saat jatuh. Setelah butiran-butiran lignoselulosa terpisah akibat proses pengupasan buah kelapa, dapatkah butiran lignoselulosa tersebut direkatkan kembali menggunakan polimer poliisoprena dan poliisoprena tersulfurisasi menjadi lignoselulofoam? Apakah lignoselulofoam yang dihasilkan dapat memberikan sifat-sifat yang diinginkan, degredable dan dapat mengurangi pemanfaatan styrofoam. Informasi tentang poliblending polimer lignoselulosa dengan polimer poliisoprena untuk pembuatan lignoselulofoam juga belum tersedia.

(6)

1.4. Tujuan Penelitian

A. Mempelajari pengaruh penggunaan metode penyemprotan dan perendaman serta konsentrasi poliisoprena (%) dalam lateks, terhadap kekuatan, elastisitas dan massa jenis lignoselulofoam.

B. Mempelajari pengaruh sulfurisasi poliisoprena dalam lateks, terhadap kekuatan, elastisitas, massa jenis, stabilitas termal dan distribusi partikel lignoselulofoam tersulfurisasi.

C. Mempelajari pengaruh perendaman lignoselulofoam tersulfurisasi di dalam pelarut kerosin, asam kuat dan basa kuat terhadap kekuatan patah dan elastisitas lignoselulofoam tersulfurisasi.

D. Mempelajari pengaruh suhu pengeringan terhadap kekuatan dan elastisitas lignoselulofoam dari lignoselulosa-poliisoprena tersulfurisasi.

1.5. Manfaat Penelitian

Penelitian ini penting untuk pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, khususnya bidang kimia molekuler dalam pemanfa’atan bahan kimia yang tidak berbahaya, untuk mengurangi penggunaan bahan kimia berbahaya sperti Benzen dan CFC yang digunakan pada pembuatan styrofoam. Pada bidang advanced material, untuk menghasilkan bahan alternatif protektor peralatan elektronik, papan, dll., yang bersifat degredable dan ramah lingkungan.

Referensi

Dokumen terkait

Adapun yang menjadi tujuan dalam penelitian ini adalah Untuk mengetahui apakah ada pengaruh model pembelajaran Creative Problem Solving (CPS) terhadap hasil belajar matematika

Dengan demikian dalam eksekusi program secara paralel, peningkatan overhead clock pada penambahan jumlah prosesor memang sulit untuk dihindari.

Fonem konsonan bahasa Arab yang dalam sistem tulisan Arab dilambangkan dengan huruf, dalam transliterasi ini sebagian dilambangkan dengan huruf dan sebagian

Berdasarkan teori diatas, CTI-CFF sebagai rezim internasional membuat kesepakatan karena adanya kesamaan kepentingan antar negara anggotanya yaitu untuk menangani isu-isu

Hak Guna Bangunan atas tanah untuk rumah tinggal yang ditingkatkan menjadi Hak Milik sebagai jaminan utang, maka untuk menjamin kepentingan Bank/kreditor yang semula dijamin

Perbedaan penelitian ini dengan penelitian tersebut adalah penelitian yang dilakukan oleh Era Octafiona meneliti tentang gaya bahasa pada kumpulan puisi, serta

Alasan menanamkan pendidikan karakter pada anak usia dini karena usia tersebut merupakan waktu yang tepat dalam menanamkan pendidikan karakter karena anak yang

4.80 Dalam rangka pemberdayaan dan percepatan pengembangan usaha koperasi khususnya sektor riil, Pemerintah Propinsi Sumatera Barat melalui Dinas Koperasi, UMKM telah