• Tidak ada hasil yang ditemukan

PARADIGMA POSITIVISME DAN POSTPOSITIVISME

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PARADIGMA POSITIVISME DAN POSTPOSITIVISME"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

PARADIGMA POSITIVISME DAN

POSTPOSITIVISME

Diajukan sebagai tugas pada mata kuliah Etika dan Filsafat Komunikasi

Dosen :

Asriyani Sugiyanto, S.Ikom Disusun Oleh :

M. Fahri Husin M. Fauzan Rina Supriana Prodi : Ilmu Komunikasi

Semester V

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH TANGERANG

(2)

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat serta karunia-Nya kepada kita semua sehingga kami bisa menyelesaikan Makalah ini yang alhamdulillah tepat pada waktunya berjudul “PARADIGMA POSITIVISME DAN POSTPOSITIVISME".

Tidak lupa saya ucapkan terima kasih kepada Dosen Pembimbing Mata Kuliah Etika dan Filsafat Komunikasi, Ibu Asriyani Sugiyanto, S.Ikom yang telah memberikan kesempatan kepada kami untuk menyusun makalah ini

Kita ketahui paradigma penelitian merupakan salah satu bagian yang tidak bisa dilepaskan dari proses penelitian.Paradigma penelitian merupakan kerangka berpikir yang menjelaskan bagaimana cara pandang peneliti terhadap fakta kehidupan sosial dan perlakuan peneliti terhadap ilmu atau teori. Dalam makalah ini kami mencoba memaparkan pemahaman tentang paradigma penelitian khususnya untuk paradigma Positivisme dan Postpositivisme

Penulis menyadari bahwa Makalah ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, kami sangat mengharapkan kritik dan saran dari semua pihak untuk proses perbaikan makalah di lain waktu.

Akhir kata, kami selaku penulis menyampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah berperan serta dalam penyusunan Makalah ini dari awal sampai akhir. Semoga Allah SWT senantiasa meridhai segala usaha kita. Amin.

Tangerang, 6 Desember 2013 Tim Penulis

(3)

BAB I

PENDAHULUAN

Dewasa ini terdapat perhatian yang semakin besar terhadap filsafat ilmu. Perkembangan cepat dialami oleh banyak ilmu serta pengaruhnya yang semakin besar terhadap kehidupan masyarakat. Filsafat ilmu ialah penyelidikan tentang ciri-ciri pengetahuan ilmiah dan cara – cara memperolehnya. Dengan kata lain filsafat ilmu sesungguhnya merupakan suatu penyelidikan lanjutan.

Sampai saat ini sejarah tentang ilmu merupakan sebuah kisah kesuksesan, kemenangan-kemenangan ilmu melambangkan suatu proses kumulatif peningkatan pengetahuan dan rangkaian kemenangan terhadap kebodohan dan tahayul. Dan dari ilmulah kemudian mengalir arus penemuan-penemuan yang berguna untuk kemajuan hidup manusia. Sejarawan segera menyadari bahwa gagasan ilmu yang diperoleh selama dalam pendidikannya hanyalah salah satu dari sekian banyak gagasan dan itu merupakan produk-produk dari konteks-konteks yang bersifat sementara.

Pembagian-pembagian nama dan istilah dalam filsafat mengkotak-kotakkan setiap pengetahuan yang sering kali berdasar pada pengalaman, selain itu tidak dipungkiri bahwa berfilsafat sebagai manifestasi kegiatan intelektual yang telah meletakkan dasar-dasar paradigmatik bagi tradisi dalam kehidupan masyarakat ilmiah ala barat.

Sejalan dengan ajaran filsafat Auguste Comte yang dikenal sebagai bapak Sosiologi, logico – positivisme yang juga digagas oleh dirinya, merupakan model epistemologi yang di dalamnya terdapat langkah-langkah progresinya menempuh jalan melalui observasi, eksperimentasi dan komparasi mendapatkan apresiasi yang berlebihan sehingga model ini juga mulai dikembangkan dalam penelitian ilmu-ilmu sosial. Dari sinilah muncul tiga paradigma penelitian penting yang kemudian kita kenal dengan paradigma positivisme, post-positivisme dan konstruktivisme. Pada kesempatan kali ini, Makalah hanya akan memaparkan pemahaman tentang positivisme dan post-positivisme saja.

(4)

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang penulisan, maka rumusan masalah terfokus pada Pemahaman tentang paradigma penelitian Positivisme dan Postpositivisme sebagai berikut,

1. Apa Pengertian Positivisme ? 2. Apa Pengertian Postpositivisme ?

3. Apa perbedaan paradigma Positivisme dan Postpositivisme ?

1.3 Tujuan Penulisan

◦ Mahasiswa dapat memahami Paradigma Penelitian Positivisme dan Postpositivisme ◦ Memenuhi nilai pada mata kuliah Etika dan Filsafat Komunikasi

(5)

BAB II

PEMBAHASAN

A. POSITIVISME

Dalam paradigma ilmu, ilmuwan telah mengembangkan sejumlah perangkat keyakinan dasar yang mereka gunakan dalam mengungkapkan hakikat ilmu yang sebenarnya dan bagaimana cara untuk mendapatkannya. Tradisi pengungkapan ilmu ini telah ada sejak adanya manusia, namun secara sistematis dimulai sejak abad ke-17, ketika Descartes (1596-1650) dan para penerusnya mengembangkan cara pandang positivisme, yang memperoleh sukses besar sebagiamana terlihat pengaruhnya dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dewasa ini. Paradigma ilmu pada dasarnya berisi jawaban atas pertanyaan fundamental proses keilmuan manusia, yakni bagaimana, apa, dan untuk apa. Tiga pertanyaan dasar itu kemudian dirumuskan menjadi beberapa dimensi.

a. Dimensi ontologis, pertanyaan yang harus dijawab oleh seorang ilmuwan adalah: Apa sebenarnya hakikat dari sesuatu yang dapat diketahui (knowable), atau apa sebenarnya hakikat dari suatu realitas (reality). Dengan demikian dimensi yang dipertanyakan adalah hal yang nyata (what is nature of reality?).

b. Dimensi epistemologis, pertanyaan yang harus dijawab oleh seorang ilmuwan adalah: Apa sebenarnya hakikat hubungan antara pencari ilmu (inquirer) dan objek yang ditemukan (know

atau knowable)?

c. Dimensi axiologis, yang dipermasalahkan adalah peran nilai-nilai dalam suatu kegiatan penelitian.

d. Dimensi retorik yang dipermasalahkan adalah bahasa yang digunakan dalam penelitian.

e. Dimensi metodologis, seorang ilmuwan harus menjawab pertanyaan: bagaimana cara atau metodologi yang dipakai seseorang dalam menemukan kebenaran suatu ilmu pengetahuan? Jawaban terhadap kelima dimensi pertanyaan ini, akan menemukan posisi paradigma ilmu untuk menentukan paradigma apa yang akan dikembangkan seseorang dalam kegiatan keilmuan.

(6)

Positivisme merupakan paradigma ilmu pengetahuan yang paling awal muncul dalam dunia ilmu pengetahuan. Keyakinan dasar aliran ini berakar dari paham ontologi realisme yang menyatakan bahwa realitas ada (exist) dalam kenyataan yang berjalan sesuai dengan hukum alam (natural laws). Dengan kata lain, Positivisme merupakan suatu aliran filsafat yang menolak aktifitas yang berkenaan dengan metafisik. Tidak mengenal adanya spekulasi, semua didasarkan pada data empiris. Sesungguhnya aliran ini menolak adanya spekulasi teoritis sebagai suatu sarana untuk memperoleh pengetahuan (seperti yang diusung oleh kaum idealisme khususnya idealisme Jerman Klasik). Positivisme merupakan empirisme, yang dalam segi-segi tertentu sampai kepada kesimpulan logis ekstrim karena pengetahuan apa saja merupakan pengetahuan empiris dalam satu atau lain bentuk, maka tidak ada spekulasi dapat menjadi pengetahuan.

Istilah ini digunakan pertama kali oleh Saint Simon (sekitar tahhun 1825). Positivisme berakar pada empirisme. Prinsip filosofik tentang positivisme dikembangkan pertama kali oleh empirist Francis Bacon. Tesis positivise adalah : bahwa ilmu adalah satu-satunya pengetahuan valid, dan fakta-fakta sajalah yang mungkin dapat menjadi obyek pengetahuan. Dalam perkembangannya ada tiga positivisme, yaitu positivisme sosial, positivisme evolusioner dan positivisme kritis.

a. Positivisme sosial

Ia merupakan penjabaran lebih jauh dari kebutuhan masyarakat dan sejarah. August Comte dan John Stuart Mill merupakan tokoh utama positivisme ini. Sedangkan para perintisnya adalah Saint Simon dan penulis-penulis sosialistik dan utilitarian; yang karya – karyanya juga dekat tokoh besar dalam ekonomi : Thomas Maltrus dan David Ricardo.

b. Filsafat posivitistik Auguste Comte

Filsafat positivistik Comte ini tampil dalam studinya tentang sejarah perkembangan alam pikir manusia, matematika bukan ilmu namun merupakan alat berpikir logik. Ia terkenal dengan penjenjangan sejarah perkembangan alam fikir manusia yaitu : teologik, metaphisik dan positif. Pada jenjang teologik manusia memandang bahwa segala sesuatu itu hidup dengan kemauan dan kehidupan seperti dirinya, jenjang ini dibagi menjadi tiga tahap yaitu: tahap animisme atau fetishisme, yang memandang bahwa pada setiap benda itu memiliki kemauannya sendiri. Kedua tahap polytheisme yang memandang sejumlah dewa menampilkan kemauannya pada sejumlah obyek dan ketiga, tahap monotheisme yang memandang bahwa ada satu Tuhan yang menampilkan kemauannya pada beragam obyek.

(7)

Pada jenjang alam berfikir metaphisik abstraksi kemauan pribadi berubah menjadi abstraksi tentang sebab dan kekuatan alam semesta. Pada jenjang positif, alam berfikir mengadakan pencarian pada ilmu absolut, mencari kemauan terakhir atau sebab utama, ilmu yang pertama menurut Comte adalah astronomi, lalu fisika lalu kimia dan akhirnya biologi.

c. Metodologi A. Comte

Alat penelitian yang pertama menurut Comte adalah observasi, tindak mengamati sekaligus menghubungkan dengan sesuatu hukum yang hipothetik diperbolehkan oleh Comte. Itu merupakan kreasi simultan observasi dengan hukum dan merupakan lingkaran yang tak berujung. Eksperimentasi menjadi metode yang kedua menurut Comte yaitu suatu proses reguler phenomena dapat diintervensi dengan sesuatu yang lain. Komparasi dipakai untuk hal-hal yang lebih kompleks seperti biologi dan sosiologi.

d. Sosiologi A. Comte

Comte-lah yang pertama kali menggunakan istilah sosiologi untuk menggantikan istilah phisique sociale dari Quetelet. Ia membedakan antara social statics dan social dynamic. Pembedaan itu hanyalah untuk tujuan analisis, keduanya menganalisa fakta sosial yang sama, hanya dengan tujuan yang berbeda. Yang pertama menelaah fungsi jenjang-jenjang peradaban, yang kedua menelaah perubahan-perubahan jenjang tersebut.

e. Bentham dan Mill

Tokoh semasa dengan Comte yang juga memberi landasan positivisme adalah Jeremy Bentham dan James Mill, menurut keduanya ilmu yang valid adalah ilmu yang dilandaskan pada fakta. Ethik tradisional yang dilandaskan pada moral diganti dengan ethik pada motif perilaku pada kepatuhan manusia pada aturan. Mill menolak absolut dari agama. Mill berpendapat bahwa kebebasan manusia itu bagaikan a secrad fortress (benteng suci) yang aman dari penyusupan otoritas apapun, wawasan yang menjadi marak pada akhir abad 20-an ini.

(8)

f. Positivisme Evolusioner

Hal ini berangkat dari phisika dan biologi dan digunakan doktrin evolusi biologik g. Herbert Spencer

Konsepnya diilhami oleh konsep evolusi biologik, dalam konsepnya, evolusi merupakan proses dari sederhana ke kompleks, pengetahuan manusia menurut dia terbatas pada kawasan phenomena. Agama yang otentik mengungkap kawasan yang penuh misteri, yang tak diketahui, yang tak terbatas, hal mana yang phenomena tunduk kepada misteri

h. Haeckel dan Monisme

Agama sering melihat materi dan ruh sebagai dua yang dualisme, Hackel berpendapat bahwa hal dan kesadaran itu menampilkan sifat yang berbeda, tetapi mengenai substansi yang satu, monistik. Berbeda dengan Lambrosso yang berpendapat bahwa perilaku criminal bersifat positivistic biologic deterministic. Wilhelm Wundt penganut positivism evolusioner menampilkan teori paralelisme psikhophisik, menentang monism materialistic Lombrosso. i. Positivisme kritis

Pada akhir abad XIX positivisme menampilkan bentuk lebih kritis dalam karya-karya Ernst Mach dan Richard Avenarius dan lebih dikenal sebagai empiriocritisisme. Fakta menjadi satu-satunya jenis unsur untuk membangun realitas.

Tempat utama dalam positivisme pertama diberikan pada Sosiologi, walaupun perhatiannya juga diberikan pada teori pengetahuan yang diungkapkan oleh Comte dan tentang Logika yang dikemukakan oleh Mill. Tokoh-tokohnya Auguste Comte, E. Littre, P. Laffitte, JS. Mill dan Spencer.

Dalam perkembangannya, positivisme mengalami perombakan dibeberapa sisi, hingga munculah aliran pemikiran yang bernama Positivisme Logis yang tentunya di pelopori oleh tokoh-tokoh yang berasal dari Lingkaran Wina. Positivisme logis adalah aliran pemikiran dalam filsafat yang membatasi pikirannya pada segala hal yang dapat dibuktikan dengan pengamatan atau pada analisis definisi dan relasi antara istilah-istilah. Fungsi analisis ini mengurangi metafisika dan meneliti struktur logis pengetahuan ilmiah. Tujuan dari pembahasan ini adalah menentukan isi konsep-konsep dan pernyataan-pernyataan ilmiah yang dapat diverifikasi secara empiris.

(9)

Tujuan akhir dari penelitian yang dilakukan pada positivisme logis ini adalah untuk mengorganisasikan kembali pengetahuan ilmiah di dalam suatu sistem yang dikenal dengan ”kesatuan ilmu” yang juga akan menghilangkan perbedaan-perbedaan antara ilmu-ilmu yang terpisah. Logika dan matematika dianggap sebagai ilmu-ilmu formal.

Positivisme berusaha menjelaskan pengetahuan ilmiah berkenaan dengan tiga komponen yaitu bahasa teoritis, bahasa observasional dan kaidah-kaidah korespondensi yang mengakaitkan keduanya. Tekanan positivistik menggarisbawahi penegasannya bahwa hanya bahasa observasional yang menyatakan informasi faktual, sementara pernyataan-pernyataan dalam bahasa teoritis tidak mempunyai arti faktual sampai pernyataan-pernyataan itu diterjemahkan ke dalam bahasa observasional dengan kaidah-kaidah korespondensi.

Auguste Comte (1798-1857) sering disebut “Bapak Positivisme“ karena aliran filsafat yang didirikannya tersebut. Positivisme adalah nyata, tidak khayal. Ia menolak metafisika dan teologik. Jadi menurut dia ilmu pengetahuan harus nyata dan bermanfaat serta diarahkan untuk mencapai kemajuan.

Metode positif Auguste Comte menepatkan akal (rasio) pada tempat yang sangat penting. Dalam usaha untuk memecahkan suatu masalah yang ada dimasyarakat kelompok ini berusaha mengetahui (lewat penelitian) penyebab terjadinya masalah tersebut untuk selanjutnya diusahakan penyelesaiannya dengan azaz positivisme.

(10)

B. POSTPOSITIVISME

Munculnya gugatan terhadap positivisme di mulai tahun 1970-1980an. Pemikirannya dinamai “post-positivisme”. Tokohnya; Karl R. Popper, Thomas Kuhn, para filsuf mazhab Frankfurt (Feyerabend, Richard Rotry). Paham ini menentang positivisme, alasannya tidak mungkin menyamaratakan ilmu-ilmu tentang manusia dengan ilmu alam, karena tindakan manusia tidak bisa di prediksi dengan satu penjelasan yang mutlak pasti, sebab manusia selalu berubah.

Post-positivisme merupakan perbaikan positivisme yang dianggap memiliki kelemahan-kelemahan, dan dianggap hanya mengandalkan kemampuan pengamatan langsung terhadap objek yang diteliti. Secara ontologis aliran post-positivisme bersifat critical realism dan menganggap bahwa realitas memang ada dan sesuai dengan kenyataan dan hukum alam tapi mustahil realitas tersebut dapat dilihat secara benar oleh peneliti. Secara epistomologis: Modified dualist/objectivist, hubungan peneliti dengan realitas yang diteliti tidak bisa dipisahkan tapi harus interaktif dengan subjektivitas seminimal mungkin. Secara metodologis adalah modified experimental/ manipulatif.

Observasi yang didewakan positivisme dipertanyakan netralitasnya, karena observasi dianggap bisa saja dipengaruhi oleh persepsi masing-masing orang. Proses dari positivisme ke post-positivisme melalui kritikan dari tiga hal yaitu :

1) Observasi sebagai unsur utama metode penelitian,

2) Hubungan yang kaku antara teori dan bukti. Pengamat memiliki sudut pandang yang berbeda dan teori harus mengalah pada perbedaan waktu,

3) Tradisi keilmuan yang terus berkembang dan dinamis (Salim, 2001).

Post positivisme merupakan sebuah aliran yang datang setelah positivisme dan memang amat dekat dengan paradigma positivisme. Salah satu indikator yang membedakan antara keduanya bahwa post positivisme lebih mempercayai proses verifikasi terhadap suatu temuan hasil observasi melalui berbagai macam metode. Dengan demikian suatu ilmu memang betul mencapai objektivitas apabila telah diverifikasi oleh berbagai kalangan dengan berbagai cara.

(11)

ASUMSI DASAR POST POSITIVISME

1) Fakta tidak bebas nilai, melainkan bermuatan teori.

2) Falibilitas Teori, tidak satupun teori yang dapat sepenuhnya dijelaskan dengan bukti-bukti empiris, bukti empiris memiliki kemungkinan untuk menunjukkan fakta anomali.

3) Fakta tidak bebas melainkan penuh dengan nilai.

4) Interaksi antara subjek dan objek penelitian. Hasil penelitian bukanlah reportase objektif melainkan hasil interaksi manusia dan semesta yang penuh dengan persoalan dan senantiasa berubah.

5) Asumsi dasar post-positivisme tentang realitas adalah jamak individual.

6) Hal itu berarti bahwa realitas (perilaku manusia) tidak tunggal melainkan hanya bisa menjelaskan dirinya sendiri menurut unit tindakan yang bersangkutan.

7) Fokus kajian post-positivis adalah tindakan-tindakan (actions) manusia sebagai ekspresi dari sebuah keputusan.

Postpositivisme adalah aliran yang ingin memperbaiki kelemahan pada Positivisme. Satu sisi Postpositivisme sependapat dengan Positivisme bahwa realitas itu memang nyata ada sesuai hukum alam. Tetapi pada sisi lain Postpositivisme berpendapat manusia tidak mungkin mendapatkan kebenaran dari realitas apabila peneliti membuat jarak dengan realitas atau tidak terlibat secara langsung dengan realitas. Hubungan antara peneliti dengan realitas harus bersifat interaktif, untuk itu perlu menggunakan prinsip trianggulasi yaitu penggunaan bermacam-macam metode, sumber data, data, dan lain-lain

Untuk mengetahui lebih jauh tentang postpositivisme empat pertanyaan dasar berikut, akan memberikan gambaran tentang posisi aliran ini dalam kancah paradigma ilmu pengetahuan ;

Pertama, Bagaimana sebenarnya posisi postpositivisme di antara paradigma-paradigma ilmu yang lain? Apakah ini merupakan bentuk lain dari positivisme yang posisinya lebih lemah? Atau karena aliran ini datang setelah positivisme sehingga dinamakan postpositivisme? Harus diakui bahwa aliran ini bukan suatu filsafat baru dalam bidang keilmuan, tetapi memang amat dekat dengan paradigma positivisme. Salah satu indikator yang membedakan antara keduanya bahwa postpositivisme lebih mempercayai proses verifikasi terhadap suatu temuan hasil observasi melalui berbagai macam metode. Dengan demikian suatu ilmu memang betul mencapai objektifitas apabila telah diverifikasi oleh berbagai kalangan dengan berbagai cara.

(12)

Kedua, Bukankah postpositivisme bergantung pada paradigma realisme yang sudah sangat tua dan usang? Dugaan ini tidak seluruhnya benar. Pandangan awal aliran positivisme (old-positivism) adalah anti realis, yang menolak adanya realitas dari suatu teori. Realisme modern bukanlah kelanjutan atau luncuran dari aliran positivisme, tetapi merupakan perkembangan akhir dari pandangan postpositivisme.

Ketiga, banyak postpositivisme yang berpengaruh yang merupakan penganut realisme. Bukankah ini menunjukkan bahwa mereka tidak mengakui adanya sebuah kenyataan (multiple realities) dan setiap masyarakat membentuk realitas mereka sendiri? Pandangan ini tidak benar karena relativisme tidak sesuai dengan pengalaman sehari-hari dalam dunia ilmu. Yang pasti postpositivisme mengakui bahwa paradigma hanyalah berfungsi sebagai lensa bukan sebagai kacamata. Selanjutnya, relativisme mengungkap bahwa semua pandangan itu benar, sedangkan realis hanya berkepentingan terhadap pandangan yang dianggap terbaik dan benar. Postpositivisme menolak pandangan bahwa masyarakat dapat menentukan banyak hal sebagai hal yang nyata dan benar tentang suatu objek oleh anggotanya.

Keempat, karena pandangan bahwa persepsi orang berbeda, maka tidak ada sesuatu yang benar-benar pasti. Bukankah postpositivisme menolak kriteria objektivitas? Pandangan ini sama sekali tidak bisa diterima. Objektivitas merupakan indikator kebenaran yang melandasi semua penyelidikan. Jika kita menolak prinsip ini, maka tidak ada yang namanya penyelidikan. Yang ingin ditekankan di sini bahwa objektivitas tidak menjamin untuk mencapai kebenaran.

(13)

PERBEDAAN PARADIGMA POSITIVISME DAN POST POSITIVISME

Untuk dapat membedakan paradigma Positivistik dan paradigmapostpositivitik maka penulis merumuskan dalam bentuk tabel berikut :

ASUMSI POSITIVISTIK POS-TOSITIVISTIK Ontology bersifat nyata, artinya realita itu

mempunyai keberadaan sendiri dan diatur oleh hukum-hukum alam dan mekanisme yang bersifat tetap.

Realis kritis – artinya realitas itu memang ada, tetapi tidak akan pernah dapat dipahami sepenuhnya.

Epistemologi - dualis/objektif, adalah mungkin dan esensial bagi peneliti untuk mengambil jarak dan bersikap tidak melakukan interaksi dengan objek yang diteliti.

-Nilai, faktor bias dan faktor yang mempengaruhi lainnya secara otomatis tidak mempengaruhi hasil studi.

-Objektivis modifikasi - artinya objektivitas tetap merupakan pengaturan (regulator) yang ideal, namun objektivitas hanya dapat diperkirakan dengan penekanan khusus pada penjaga eksternal, seperti tradisi dan komunitas yang kritis.”

Metodologi bersifat eksperimental/manipulatif: pertanyaan-pertanyaan dan/atau hipotesis-hipotesis dinyatakan dalam bentuk proposisi sebelum penelitian dilakukan dan diuji secara empiris (falsifikasi) dengan kondisi yang terkontrol secara cermat

Eksperimental/manipulatif yang dimodifikasi, maksudnya menekankan sifat ganda yang kritis. Memperbaiki

ketidakseimbangan dengan melakukan penelitian dalam latar yang alamiah, yang lebih banyak menggunakan metode-metode kualitatif, lebih tergantung pada teori-grounded (grounded-theory) dan memperlihatkan upaya (reintroducing) penemuan dalam proses penelitian.”

(14)

BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Positivisme merupakan Aliran pemikiran yang membatasi pikiran pada segala hal yang dapat dibuktikan dengan pengamatan atau pada analisis definisi dan relasi antara istilah-istilah. Dalam perkembangannya ada tiga positivisme, yaitu positivisme sosial, positivisme evolusioner dan positivisme kritis.

• Positivisme sosial adalah paradigma yang berdasarkan kebutuhan masyarakat dan sejarah • positivisme evolusioner adalah paradigma yang berdasarkan phisika dan biologi dan

digunakan doktrin evolusi biologik

• positivisme kritis adalah paradigma yang berdasarkan pada Fakta yang menjadi satu-satunya jenis unsur untuk membangun realitas

Post-positivisme merupakan perbaikan positivisme. Secara ontologis aliran post-positivisme bersifat critical realism artinya realitas itu memang ada, tetapi tidak akan pernah dapat dipahami sepenuhnya artinya.post positivisme bergantung pada konteks value, kultur, tradisi, kebiasaan, keyakinan, natural dan lebih manusiawi. Indikator yang membedakan antara Paradigma positivisme dan postpositivism adalah post positivisme lebih mempercayai proses verifikasi terhadap suatu temuan hasil observasi melalui berbagai macam metode

B. SARAN

Dalam penyusunan makalah ini “POSITIVISME DAN POSTPOSITIVISME”, penulis menggunakan sumber yang cukup mendasar yaitu internet.Selain itu, bentuk pemaparan dan penjelasan makalah ini menggunakan metode pendeskripsian dan argumentasi sederhana untuk-mempermudah pembaca dalam memahami isi makalah. Sehingga Jika terdapat perbedaan teori yang sebenarnya, penulis menyarankan untuk kembali ke buku rujukan.

(15)

DAFTAR PUSTAKA

http://wawanhariskurnia.blogspot.com/2012/12/filsafat-positivisme.html

http://hartono-hartonogs.blogspot.com/2012/10/paradigma-ilmu-positivisme_3909.html

Referensi

Dokumen terkait

Pemerintah Kabupaten Balangan telah melakukan penataan kelembagaan Kerangka Regulasi Perangkat Daerah berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007. Ada beberapa hal yang

Jika diatas sudah dijelaskan bahwa kekurangan dari pemilu tidak langsung yaitu, rakyat tidak dapat langsung memilih, dikhawatirkan DPRD hanya menjadi representasi parpol,

Pada 1 detik pertama, belitan fasa a di- energize sehingga gigi 1 dan gigi 5 rotor akan berhadap-hadapan dengan kutub-kutub fasa a atau rotor bergerak dari posisi 10

Dari hasil penelitian yang dilakukan mengenai pengaruh profitabilitas dengan menggunakan ROE, profitabilitas dengan menggunakan ROE , interest coverage ratio, retained

FAKULTAS SYARIAH DAN DAKWAH JURUSAN.

PENGARUH MODEL PEMBELAJARAN POE TERHADAP PENGUASAAN KONSEP DAN SIKAP ILMIAH SISWA PADA MATERI SISTEM PENCERNAAN.. Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu

Dengan adanya Keputusan Menteri Negara Koperasi Dan Usaha Kecil Dan Menengah Republik Indonesia Nomor: 91/Kep/M.KUKM/IX/2004 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Kegiatan Usaha

keberadaan orang, benda, binatang dalam jumlah yang tidak tertentu, dengan memperhatikan kosakata, fungsi sosial, struktur teks, dan unsur kebahasaan yang benar dan