• Tidak ada hasil yang ditemukan

HUBUNGAN KEHARMONISAN KELUARGA DENGAN KENAKALAN REMAJA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "HUBUNGAN KEHARMONISAN KELUARGA DENGAN KENAKALAN REMAJA"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

HUBUNGAN KEHARMONISAN KELUARGA DENGAN KENAKALAN

REMAJA

Rizky Widayati kikiwidayati@yahoo.co.id

Sumi Lestari Amir Hasan Ramli

Program Studi Psikologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Brawijaya ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan keharmonisan keluarga dengan kenakalan remaja. Sampel dalam penelitian ini ialah siswa-siswi SMP Negeri “X”, yang terdiri dari kelas VII dan kelas VIII sebanyak 115 orang. Sampel penelitian diambil dengan menggunakan teknik simple random sampling. Pengumpulan data menggunakan skala keharmonisan keluarga dan Kenakalan Remaja. Koefisien korelasi item-total dihitung melalui korelasi Product Moment Pearson dan pengujian reliabilitas menggunakan teknik Cronbach

Alpha. Hasil analisis ditemukan koefisien korelasi Product Moment (r) sebesar -0,258 dengan

p = 0,000 yang menunjukkan terdapat hubungan linier negatif berada pada rentang rendah antara kedua variabel. Hal ini berarti semakin tinggi nilai keharmonisan keluarga pada siswa, maka semakin rendah nilai kenakalan remaja pada siswa. Begitu pula sebaliknya, semakin rendah nilai keharmonisan keluarga pada siswa, maka semakin tinggi nilai kenakalan remaja pada siswa.

Kata Kunci : Keharmonisan Keluarga, Kenakalan Remaja ABSTRACT

The research was aimed to find out the role of family harmony on the adolescent’s delinquency. The subjects were students from SMP N “X” consist of seven grade and eight grade which had 115 students. Simple random sampling technique was used to determine the sample of the research. The instruments were family harmony scale and adolescent’s delinquency scale. Product Moment Pearson correlation was used to count item-total coefficient correlation. Cronbach Alpha technique was used to reliability test. The result gave value of Product Moment Pearson correlation was -0,258 and p = 0,000 that showed negative linier correlation was in low category between two variables. It meant as the family harmony value increases, it will lead to increase the adolescent’s delinquency. Otherwise, as the family harmony value decreases, it will lead to decrease the adolescent’s delinquency. Keyword: family harmony, adolescent’s delinquency.

(2)

LATAR BELAKANG

Berita seputar kenakalan remaja sepertinya tidak pernah ada habisnya menjadi konsumsi publik akhir-akhir ini. Kenakalan dikalangan remaja mencakup semua perilaku remaja yang melanggar norma, perilaku ini tentunya akan sangat merugikan para remaja, keluarga dan masyarakat di sekitarnya. Salah satu SMP di Probolinggo contohnya yang terkenal sekali dengan kasus kenakalan yang dilakukan oleh siswanya, kasus kenakalan yang dilakukan bervariasi dari kenakalan yang ringan hingga kenakalan yang berat. Guru dari sekolah tersebut seringkali tidak mampu mengatasi kenakalan yang dilakukan oleh siswanya, bahkan tidak jarang pihak sekolah sampai mengeluarkan siswa yang berperilaku kenakalan untuk dikembalikan lagi ke orangtuanya. Seperti halnya yang dikemukakan olah guru BK disekolah tersebut yang menyatakan, banyaknya remaja yang berperilaku kenakalan dikarenakan ketidaksiapan dari remaja untuk mengahadapi situasi yang baru karena adanya masa peralihan dari anak-anak menuju dewasa sehingga emosi dari remaja tidak stabil.

Dalam menghadapi berbagai problem sosialnya, remaja memerlukan kehadiran orang dewasa yang mampu memahami dan memperlakukannya secara bijaksana dan sesuai dengan kebutuhannya. Remaja membutuhkan bantuan dan bimbingan serta pengarahan dari orangtua atau orang dewasa lainnya untuk menghadapi segala permasalahan yang dihadapi, sehingga remaja dapat melalui dan menghadapi perubahan-perubahan yang terjadi dengan wajar. Dengan kata lain, remaja membutuhkan dukungan dari orangtua dan orang dewasa yang ada di sekitarnya untuk membantu mengatasi permasalahan-permasalahan yang dihadapi dan menghadapi tuntutan-tuntutan lingkungan sosial yang lebih luas, yaitu masyarakat terhadap mereka (Dagun, 2005).

Perbuatan pelanggaran yang dilakukan oleh remaja ternyata bersumber pada keadaan keluarga yaitu suasana rumah yang tidak menyokong perkembangan remaja dan suasana rumah yang tidak harmonis, sehingga remaja menjadi anak atau orang dewasa yang tidak bertanggung jawab dan melakukan perbuatan antisosial dan amoral (Gunarsa, 2007). Keluarga dan keharmonisan hidup keluarga berpengaruh atas perkembangan remaja dan menentukan dasar-dasar kepribadian bagi remaja.

Wujud dari perilaku kenakalan remaja adalah kebut-kebutan dijalan, brandalan, perkelahian (tawuran), membolos sekolah, kriminalitas anak dan remaja (seperti mengancam, intimidasi, memeras, mencopet, merampas, menyerang, melakukan pembunuhan, dan tindak kekerasan lainnya), mabuk-mabukkan, seks bebas, penggunaan narkotika, pemerkosaan,

(3)

homoseksualitas, komersialisasi seks, pengguguran janin, perjudian, dan bentuk permainan dengan taruhan (Kartono, 2013).

Berdasarkan hasil beberapa penelitian ditemukan bahwa salah satu faktor penyebab timbulnya kenakalan remaja adalah tidak berfungsinya orangtua sebagai figur tauladan bagi anak (Hawari, 2004). Selain itu suasana keluarga yang menimbulkan rasa tidak aman dan tidak menyenangkan serta hubungan keluarga yang kurang baik dapat menimbulkan bahaya psikologis bagi setiap usia terutama pada masa remaja. Menurut Hirschi (Mussen dkk, 2002) orangtua dari remaja nakal cenderung memiliki aspirasi yang minim mengenai anak-anaknya, menghindari keterlibatan keluarga dan kurangnya bimbingan orangtua terhadap remaja. Sebaliknya, suasana keluarga yang menimbulkan rasa aman dan menyenangkan akan menumbuhkan kepribadian yang wajar dan begitu pula sebaliknya.

Kualitas hubungan dengan orangtua sangat menetukan sikap dan perilaku anak terutama remaja yang sudah memiliki kepekaan emosional yang tinggi. Oleh karena itu, kualitas hubungan dengan orangtua akan memengaruhi bagaimana individu melihat dirinya sendiri, yang memunculkan sikap puas dan tidak puas (Walgito, 2007). Remaja yang merasa tidak dihargai kemampuannya dan dipahami keinginannya serta tidak diterima oleh lingkungan sekitar, terutama oleh orangtua di rumah maka cenderung lari dari rumah dan mencari teman untuk mendapatkan perhatian. Perubahan dalam nilai-nilai kultural dan keluarga ini telah membuat remaja merasa kesepian, bingung dan penuh tekanan sehingga seringkali melakukan tindakan atau prilaku kenakalan (Sa’ad, 2003).

Maria (2007) dalam penelitiannya menyatakan bahwa keluarga juga mempunyai peranan dalam membentuk kepribadian seorang remaja. Dalam keluarga yang sehat dan harmonis, anak akan mendapatkan latihan-latihan dasar dalam mengembangkan sikap sosial yang baik dan perilaku yang terkontrol. Selain itu anak juga memperoleh pengertian tentang hak, kewajiban, tanggung jawab serta belajar bekerja sama dan berbagi dengan orang lain. Dengan kata lain seorang anak dalam keluarga yang diwarnai dengan kehangatan dan keakraban (keluarga harmonis) akan terbentuk asas hidup kelompok yang baik sebagai landasan hidupnya di masyarakat nantinya. Lingkungan keluarga yang kurang harmonis sering kali dianggap memberikan kontribusi terhadap munculnya kenakalan pada remaja, karena remaja yang dibesarkan oleh keluarga yang tidak harmonis akan mempersepsi rumahnya sebagai tempat yang tidak menyenangkan dan melakukan hal-hal yang melanggar norma di masyarakat sebagai salah satu cara untuk menyatakan protes pada orangtua.

(4)

Penelitian lainnya oleh Ingram, Patchin, Huebner, Mc Cluskey, dan Bynum (2007) menyatakan bahwa variabel-variabel yang berasal dari keluarga secara tidak langsung berhubungan dengan perilaku kenakalan remaja serius. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa peran pengawasan orangtua adalah komponen penting untuk memahami perilaku antisosial yang dilakukan remaja dan secara keseluruhan hubungan keluarga yang kuat dan pengawasan orangtua dapat mengurangi kesempatan memiliki hubungan negatif dengan teman sebaya yang kemudian menyebabkan remaja melakukan perilaku kenakalan. LANDASAN TEORI

A. Keharmonisan Keluarga

Menurut Hawari (2004) keharmonisan keluarga itu akan terwujud apabila masing-masing unsur dalam keluarga itu dapat berfungsi dan berperan sebagimana mestinya dan tetap berpegang teguh pada nilai- nilai agama kita, maka interaksi sosial yang harmonis antar unsur dalam keluarga itu akan dapat diciptakan. Sedangkan menurut Basri (2008) menyatakan bahwa setiap orangtua bertanggung jawab juga memikirkan dan mengusahakan agar senantiasa terciptakan dan terpelihara suatu hubungan antara orangtua dengan anak yang baik, efektif dan menambah kebaikan dan keharmonisan hidup dalam keluarga, sebab telah menjadi bahan kesadaran para orangtua bahwa hanya dengan hubungan yang baik kegiatan pendidikan dapat dilaksanakan dengan efektif dan dapat menunjang terciptanya kehidupan keluarga yang harmonis. Selanjutnya Hurlock (2013) menyatakan bahwa anak yang hubungan perkawinan orangtuanya bahagia akan mempersepsikan rumah mereka sebagai tempat yang membahagiakan untuk hidup karena makin sedikit masalah antar orangtua, semakin sedikit masalah yang dihadapi anak, dan sebaliknya hubungan keluarga yang buruk akan berpengaruh kepada seluruh anggota keluarga. Suasana keluarga ynag tercipta adalah tidak menyenangkan, sehingga anak ingin keluar dari rumah sesering mungkin karena secara emosional suasana tersebut akan mempengaruhi masing-masing anggota keluarga untuk bertengkar dengan lainnya.

Menurut Stinnet dan DeFrain (Hawari, 2004) mengemukakan enam aspek mengenai keharmonisan keluarga, yaitu :

1. Menciptakan kehidupan beragama.

Hal ini penting karena dalam agama terdapat nilai-nilai moral dan etika kehidupan. Berdasarkan beberapa penelitian ditemukan bahwa keluarga yang tidak religius yang

(5)

penanaman komitmennya rendah atau tanpa nilai agama sama sekali cenderung terjadi pertentangan konflik dan percekcokan dalam keluarga, dengan suasana yang seperti ini, maka anak akan merasa tidak betah di rumah dan kemungkinan besar anak akan mencari lingkungan lain yang dapat menerimanya.

2. Mempunyai waktu bersama keluarga

Keluarga selalu menyediakan waktu untuk bersama keluarganya, baik itu hanya sekedar berkumpul, makan bersama, menemani anak bermain dan mendengarkan masalah dan keluhan-keluhan anak, dalam kebersamaan ini anak akan merasa dirinya dibutuhkan dan diperhatikan oleh orangtuanya, sehingga anak akan betah tinggal di rumah.

3. Mempunyai komunikasi yang baik antar anggota keluarga

Remaja akan merasa aman apabila orangtuanya tampak rukun, karena kerukunan tersebut akan memberikan rasa aman dan ketenangan bagi anak, komunikasi yang baik dalam keluarga juga akan dapat membantu remaja untuk memecahkan permasalahan yang dihadapinya di luar rumah, dalam hal ini selain berperan sebagai orangtua, ibu dan ayah juga harus berperan sebagai teman, agar anak lebih leluasa dan terbuka dalam menyampaikan semua permasalahannya.

4. Saling menghargai antar sesama anggota keluarga

Keluarga memberikan tempat bagi setiap anggota keluarga untuk menghargai perubahan yang terjadi dan mengajarkan ketrampilan berinteraksi sedini mungkin pada anak dengan lingkungan yang lebih luas.

5. Kualitas dan kuantitas konflik yang minim.

Kualitas dan kuantitas konflik yang minim, jika dalam keluarga sering terjadi perselisihan dan pertengkaran maka suasana dalam keluarga tidak lagi menyenangkan. Dalam keluarga harmonis setiap anggota keluarga berusaha menyelesaikan masalah dengan kepala dingin dan mencari penyelesaian terbaik dari setiap permasalahan.

6. Adanya hubungan atau ikatan yang erat antar anggota keluarga

Hubungan yang erat antar anggota keluarga juga menentukan harmonisnya sebuah keluarga, apabila dalam suatu keluarga tidak memiliki hubungan yang erat maka antar anggota keluarga tidak ada lagi rasa saling memiliki dan rasa kebersamaan akan kurang.

(6)

Hubungan yang erat antar anggota keluarga ini dapat diwujudkan dengan adanya kebersamaan, komunikasi yang baik antar anggota keluarga dan saling menghargai.

B. Kenakalan Remaja

Juvenile delinquency atau kenakalan remaja adalah perilaku jahat atau kenakalan

anak-anak muda, merupakan gejala sakit (patologis) secara sosial pada anak-anak-anak-anak dan remaja yang disebabkan oleh satu bentuk pengabaian sosial, sehingga mereka mengembangkan bentuk perilaku yang menyimpang. Istilah kenakalan remaja mengacu pada suatu rentang yang luas, dari tingkah laku yang tidak dapat diterima sosial sampai pelanggaran status hingga tindak kriminal (Kartono, 2013).

Jensen (Sarwono, 2002) membagi kenakalan remaja menjadi empat aspek yaitu:

1. Kenakalan yang menimbulkan korban fisik pada orang lain: perkelahian, perkosaan, perampokan, pembunuhan, dan lain-lain.

2. Kenakalan yang menimbulkan korban materi: perusakan, pencurian, pencopetan, pemerasan, dan lain-lain.

3. Kenakalan sosial yang membahayakan diri sendiri dan orang lain: pelacuran, penyalahgunaan obat, dan hubungan seks bebas.

4. Kenakalan yang melanggar aturan atau melawan status anak sebagai pelajar dengan cara membolos, kabur dari rumah, dan membantah perintah orang tua.

METODE

Partisipan dan Desain Penelitian

Partisipan dalam penelitian ini adalah siswa-siswi kelas VII dan kelas VIII SMP Negeri “X” sebanyak 120 siswa. Teknik pemilihan sampel yaitu dengan menggunakan teknik simple

random sampling. Penelitian ini menggunakan desain penelitian kuantitatif.

Alat Ukur dan Prosedur Penelitian

Penelitian ini menggunakan alat ukur berupa skala. Peneliti menggunakan 2 skala. Skala yang pertama merupakan skala keharmonisan keluarga yang dimodifikasi dari Stinnet dan DeFrain (Hawari, 2004). Aspek-aspek keharmonisan keluarga meliputi, menciptakan

(7)

kehidupan beragama, mempunyai waktu bersama keluarga. mempunyai komunikasi yang baik antar anggota keluarga, saling menghargai antar sesama anggota keluarga, kualitas dan kuantitas konflik yang minim, adanya hubungan atau ikatan yang erat antar anggota keluarga. Skala yang kedua merupakan skala kenakalan remaja yang dimodifikasi dari Jensen (Sarwono, 2002). Aspek-aspek skala kenakalan remaja meliputi, kenakalan yang menimbulkan korban fisik pada orang lain, kenakalan yang menimbulkan korban materi, kenakalan sosial yang membahayakan diri sendiri dan orang lain, kenakalan yang melanggar aturan atau melawan status anak sebagai pelajar. Kedua skala tersebut merupakan skala likert dimana pengujian alat ukur menggunakan try out. Uji validitas dilakukan dengan menggunakan validitas isi dan uji reliabilitas dengan menggunakan uji koefisien Cronbach

Alpha. Hasil yang diperoleh untuk skala keharmonisan keluarga memiliki koefisien alpha

sebebsar 0,900 (sangat tinggi), sementara skala kenakalan remaja memiliki koefisien alpha sebesar 0,904 (sangat tinggi).

Peneliti memodifikasi skala keharmonisan keluarga dan skala kenakalan remaja. Sebelum penelitian dilakukan, peneliti memastikan terlebih dahulu skala yang digunakan kepada dosen pembimbing I dan dosen pembimbing II untuk memastikan kesesuaian aitem yang digunakan dan tampilan skala. Peneliti mencari sekolah yang sesuai dengan kriteria penelitian dan kemudian memenuhi semua persyaratan perijinan penelitian skripsi dari sekolah yang bersangkutan yaitu surat pengantar penelitian skripsi dari fakultas. Sebelum melakukan penelitian, peneliti terlebih dahulu melakukan try out terlebih dahulu untuk mengetahui tingkat keabsahan dan keandalan dari item-item yang ada. Setelah itu, melakukan revisi alat ukur yaitu dengan cara mempertahankan item-item yang lolos uji validitas dan reliabilitas dengan membuang aitem-aitem yang gugur dan tidak memenuhi kualifikasi, kemudian menyusunnya kedalam alat ukur yang digunakan untuk penelitian. Setelah melakukan try out, peneliti melakukan uji reliabilitas untuk mengetahui item yang lolos dan item yang gugur. Pada skala keharmonisan keluarga terdapat 12 item yang gugur dari 40 item dan tersisa 31 item yang lolos dengan 3 item yang harus diperbaiki dengan koefisien Cronbach Alpha sebesar 0,900 (sangat tinggi), sedangkan pada skala kenakalan remaja terdapat 9 item yang gugur dari 32 item dan tersisa 23 item yang lolos dengan koefisien Cronbach Alpha sebesar 0,900 (sangat tinggi). Setelah penelitian, peneliti melakukan analisis data dengan menggunakan teknik analisis korelasi Product Moment Pearson. Peneliti juga menggunakan uji normalitas dan uji linieritas untuk mengetahui data terdistribusi normal atau tidak (Sarjono & Julianitas, 2011).

(8)

HASIL

Uji Asumsi Klasik

A. Uji Normalitas

Peneliti menggunakan uji normalitas dengan metode One Sample Kolmogorov-Smirnov

test. Hasil uji normalitas skala keharmonisan keluarga didapatkan hasil sebesar 0,423 dan

skala kenakalan remaja didapatkan hasil sebesar 0,127 yang berarti data berdistribusi normal karena (asymp.Sig) > 0,05. Berikut table hasil uji normalitas.

Tabel 1. Uji Normalitas

Variabel Signifikansi Keterangan Keharmonisan Keluarga 0,423 Distribusi Normal

Kenakalan Remaja 0,127 Distribusi Normal Sumber : diolah oleh peneliti

B. Uji Linieritas

Hasil dari pengujian linieritas pada kedua variabel dalam penelitian ini didapatkan hasil pada kolom Sig. Deviation from linearity sebesar 0,001 yang berarti lebih kecil dari 0,05. Berikut hasil dari uji linieritas.

Tabel 2. Uji Linieritas

Variabel Signifikansi F tabel Keterangan Keharmonisan Keluarga

* Kenakalan Remaja

0,001 12,295 Linier

Sumber : diolah oleh peneliti

Hal tersebut menunjukkan bahwa variabel keharmonisan keluarga memiliki hubungan linier negatif dengan variabel kenakalan remaja.

C. Uji Hipotesis

Hasil dari uji hipotesis dengan menggunakan teknik analisis korelasi Product Moment

Pearson diperoleh hasil sebagai berikut.

Tabel 3. Uji Hipotesis

Pearson Correlation R Squared Sig. (2-tailed) N

(9)

Sumber : diolah oleh peneliti

Hasil penelitian menunjukkan bahwa r = -0,258 dengan signifikansi (p) = 0,000. Hal ini berarti ada hubungan negatif yang signifikan berada pada rentang rendah antara keharmonisan keluarga dengan kenakalan remaja, dimana semakin tinggi nilai keharmonisan keluarga maka nilai kenakalan remaja semakin rendah. Begitu pula sebaliknya semakin rendah nilai keharmonisan keluarga maka nilai kenakalan remaja semakin tinggi.

R Square menunjukkan besarnya daya determinasi variabel bebas terhadap variabel

terikat. Dalam penelitian ini, daya determinasi sebesar 0,089 yang berarti 8,9% keharmonisan keluarga dijelaskan oleh variabel kenakalan remaja, sedangkan sisanya 91,1% dipengaruhi oleh faktor lain yang tidak terdapat pada penelitian ini.

DISKUSI

Hasil dari kategorisasi keharmonisan keluarga menunjukkan 71,67 % dan hasil kategorisasi kenakalan remaja yang menunjukkan 80 %, yang sesuai dengan hasil kategorisasi penelitian dari Maria (2007) yang menunjukkan persepsi keharmonisan keluarga secara umum termasuk kategori tinggi atau positif sebesar 65,38% dan yang sedang sebesar 34,62% dimana artinya keharmonisan keluarga mempunyai peran dalam menekan kenakalan remaja, hasil penelitian ini juga diperkuat dengan penelitian yang dilakukan oleh Marina (2000), menemukan bahwa remaja yang terpenuhi kebutuhannya secara psikologis lebih kecil kecenderungan untuk berperilaku delinkuensi. Menurut Gunarsa (2007) mengatakan latar belakang keluarga remaja dapat memengaruhi kemungkinan remaja menjadi delinkuen atau tidak. Keluarga yang kurang memiliki kohesivitas (kurangkedekatan hubungan antar anggota keluarga), hubungan yang tidak harmonis dalam keluarga, merupakan suatu prediktor akan kemungkinan timbulkan delinkuen. Penelitian dari Asfriyati (2003) juga menyebutkan bahwa kenakalan remaja sangat dipengaruhi oleh keluarga walaupun faktor lingkungan juga sangat berpengaruh. Faktor keluarga sangatlah penting karena merupakan lingkungan pertama (lingkungan primer).

Hasil pengujian hipotesis menggunakan teknik korelasi product moment menunjukkan bahwa terdapat hubungan linier negatif antara keharmonisan keluarga dengan kenakalan remaja, dengan angka koefisien korelasi sebesar -0,258 dengan nilai signifikansi 0,000. Nilai korelasi tersebut menunjukkan bahwa angka yang negatif sehingga dapat dinyatakan bahwa kedua variabel memiliki hubungan linier negatif, dengan artian bahwa jika keharmonisan

(10)

keluarga yang dimiliki oleh siswa tinggi maka kenakalan remaja pada siswa rendah. Koefisien korelasi antara keharmonisan keluarga dengan kenakalan remaja termasuk kategori korelasi rendah. Dari nilai koefisien korelasi variabel bebas dan terikat, didapatkan R Squared sebesar 0,089. Hal tersebut berarti kemampuan variabel keharmonisan keluarga dengan kenakalan remaja pada siswa adalah sebesar 8,9% sementara 91,1% dijelaskan oleh faktor lain. Faktor lain yang memengaruhi kenakalan remaja antara lain identitas, usia, jenis kelamin, harapan terhadap pendidikan & nilai sekolah, teman sebaya atau peer group, media massa, status sosial ekonomi, dan lingkungan.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai korelasi kedua variabel memiliki hubungan linier negatif yang tergolong kategori rendah, akan tetapi keharmonisan keluarga memberikan kontribusi yang baik untuk menekan kenakalan remaja dengan menanamkan nilai-nilai agama untuk mengurangi konflik dalam keluarga dan tindakan melanggar norma dari anggota keluarga, selalu meluangkan waktu untuk berkumpul dengan keluarga meskipun hanya sekedar makan dan bermain, adanya komunikasi dua arah antar anggota keluarga sehingga ketika salah satu dari anggota memiliki permasalahan segera dibicarakan untuk mencari solusi terbaik, saling menghargai sesama anggota keluarga, mengurangi pertengkaran atau perselisihan antar anggota keluarga untuk meciptakan suasana yang menyenangkan didalam rumah, serta berusaha menyelesaikan masalah dengan kepala dingin.

Berdasarkan hasil uji hipotesis, memperkuat hasil penelitian dari Fiandari dan Santi (2005) dengan nilai -0,354 yang menyatakan adanya hubungan negatif yang sangat signifikan antara sikap terhadap seks pranikah yang merupakan salah satu bentuk dari kenakalan yang dilakukan oleh remaja dengan keharmonisan keluarga. Semakin tinggi tingkat keharmonian keluarga maka semakin rendah sikap terhadap seks pranikah pada remaja, sebaliknya semakin rendah tingkat keharmonisan keluarga maka sikap tinggi terhadap seks pranikah pada remaja. Berdasarkan hal tersebut maka dapat disimpulkan bahwa hipotesis yang diajukan dapat diterima. Hasil uji hipotesis tersebut juga mendukung pendapat dari Setiawati (2006) yang menyatakan bahwa remaja yang cenderung berperilaku nakal kurang mendapatkan sentuhan kasih sayang dan perhatian orangtua serta tidak mendapatkan bimbingan dan pengasuhan orangtua yang memadai. Semakin hubungan kedua orangtua harmonis maka semakin rendah kecenderungan remaja dalam melakukan prilaku kenakalan.

Pada penelitian ini hanya 8,9% kenakalan remaja dipengaruhi dari keharmonisan keluarga sedangkan yang 91,1% kenakalan remaja dijelaskan oleh faktor lain, sedikitnya kontribusi

(11)

keharmonisan keluarga memengaruhi kenakalan remaja dikarenakan pada masa remaja mereka cenderung memiliki keinginan untuk menentukan nasib mereka sendiri tanpa adanya bantuan, arahan, dan bimbingan dari keluarga. Intensitas ketergantungan remaja dengan keluarga juga telah berkurang dikarenakan remaja memilih untuk bergabung dengan teman sebayanya. Oleh karena itu, lebih banyak faktor di luar keluarga yang memiliki kaitan besar dengan terbentuknya kenakalan remaja. Hal tersebut menjadi fenomena menarik yang dapat di teliti pada penelitian-penelitian selanjutnya.

(12)

DAFTAR PUSTAKA

Asfriyati. (2003). Pengaruh Keluarga Terhadap Kenakalan Anak. Digitized by USU digital library.

Basri, H. (2008). Keluarga Sakinah Tinjauan Psikologis dan Agama. ( Edisi Empat). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Dagun. (2005). Psikologi Keluarga: Peranan Ayah dalam Keluarga. Jakarta: Rineka Cipta. Fiandari & Santi. (2005). Hubungan antara Keharmonisan Keluarga dengan Sikap Terhadap

Seks Pranikah pada Remaja. Jurnal. Yogyakarta: Universitas Wangsa Manggala Yogyakarta.

Gunarsa. (2007). Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja. Jakarta: BPK Gunung Mulia.

Hawari. (2004). Ilmu Kedokteran Jiwa dan Kesehatan Mental. Jakarta: Dana Bhakti Yasa. Hurlock, E. (2013). Psikologi Perkembangan. Jakarta: Erlangga.

Ingram dkk. (2007). Parents, friends and serious delinquency: an examination of direct and

indirect effect among at risk early adolescent. Criminal Justice Review Volume 32.

Kartono, K. (2013). Kenakalan Remaja. Jakarta: Rajawali Pers.

Maria, U. (2007). Peran Persepsi Keharmonisan Keluarga dan Konsep Diri terhadap Kecenderungan Kenakalan Remaja. Tesis. Universitas Gadjah Mada. Diunduh pada www.damandiri.or.id/file/Tesis_Ulfah%20Maria.pdf.

Marina. (2000). Hubungan antara tipe kepribadian introvert-ekstrovert dan tingkah laku penyalahgunaan heroin pada remaja. Jurnal Psikologi.

Mussen dkk. (2002). Perkembangan dan Kepribadian Anak. (terjemahan). Jakarta: Arcan. Sa’ad, H. M. (2003). Perkelahian Pelajar: Potret Siswa SMU di Jakarta. Yogyakarta: Galang

Press.

Sarjono, H. & Julianita, W. (2010). SPSS vs LISREL Sebuah Pengantar, Aplikasi untuk Riset. Jakarta: Salemba Empat.

(13)

Setiawati. (2006). Optimalisasi Peran Wanita di Keluarga dalam Membentuk Sumber Daya Manusia Berkualitas. http://buletinbang.dephan.go.id.

Gambar

Tabel 2. Uji Linieritas

Referensi

Dokumen terkait

Sebaliknya semakin tidak harmonis hubungan suatu keluarga maka semakin tinggi intensitas perilaku seksual pranikah yang dilakukan remaja.. Kontribusi keharmonisan keluarga

HUBUNGAN ANTARA PERSEPSI TERHADAP KEHARMONISAN KELUARGA DENGAN PERILAKU DELINKUENSI..

“Hubungan persepsi terhadap keharmonisan remaja dan pemantauan diri dengan kenakalan kecenderungan perilaku delikuen pada remaja”.. Tesis tidak

Penelitian ini bertujuan mendeskripsikan dan menganalisis keharmonisan keluarga dan kecenderungan kenakalan remaja dengan fokus penelitian 1) peran dan fungsi keharmonisan keluarga

Berdasarkan hasil analisis yang telah dilakukan dengan menggunakan teknik korelasi product moment Pearson maka diperoleh hasil nilai koefisien korelasi (r) sebesar

HUBUNGAN PERSEPSI KEHARMONISAN KELUARGA, KONSEP DIRI, DAN PERILAKU AGRESI

Dari beberapa definisi diatas dapat disimpulkan bahwa keharmonisan keluarga adalah suatu situasi atau kondisi keluarga dimana terjalinnya kasih sayang, saling

Berdasarkan hasil analisis regresi dengan metode Multistage Cluster Sampling terhadap data kenakalan remaja dengan keharmonisan keluarga dan konsep diri,diperoleh hasil