EFEKTIVITAS KUMBANG Haltica cyanea Weber TERHADAP GULMA
Ludwigia hyssopifolia (G.Don) Exell
Oleh : Halim
1ABSTRACT
Research of the effectiveness of Haltica cyanea Weber to Ludwigia hyssopifolia has carried out
in Laboratory of Pest and Desease Plant, Faculty of Agriculture, Padjadjaran University Bandung. The
research has been done on April untill August 2004 to know the effectiveness of H.cyanea to
L.hyssopifolia of weed. The density of H.cyanea are 0, 5, 10 and 15 tail polybag
-1. The density of
L.hyssopifolia are 1, 2, 3, and 4 plant polybag
-1. The variable was observated were percentage of leaves
damage, wet weight of weed and ability consumption of H.cyanea. The result showed that’s application
5 tails of H.cyanea on 1 L.hyssopifolia has percentage of leaves damage higthest end in research is
100%. Application 15 tails H.cyanea to 1 L.hyssopifolia has lighth in weigth as 2,53 grams with higthest
ability consumption of H.cyanea as 26,80 grams.
Key words: Haltica cyane, Ludwigia hyssopifolia, weed
PENDAHULUAN
Rendahnya produksi pertanian antara
lain disebabkan oleh organisme pengganggu
yang meliputi hama, penyakit dan gulma.
Kehilangan hasil akibat serangan hama dan
penyakit pada tanaman budidaya dapat dilihat
secara langsung, sedangkan kehilangan hasil
yang diakibatkan oleh gulma tidak dapat dilihat
secara langsung. Hal ini terjadi karena gulma
selalu ada pada areal tanaman sehingga dapat
menyebabkan
kehilangan
hasil
melalui
persaingan dalam memperoleh air, unsur hara,
cahaya matahari, CO2,
dan tempat tumbuh.
Selain itu kehadiran gulma dapat mengganggu
irigasi, menyebabkan kehilangan air lewat
evapotranspirasi serta sebagai inang alternatif
bagi hama, nematoda, dan penyakit tertentu.
Jenis gulma yang dapat menurunkan
hasil
tanaman antara lain adalah gulma
Ludwigia hyssopifolia (G.Don) Exell. Hal ini
sesuai dengan pendapat Soerjani dkk. (l987),
bahwa gulma L. hyssopifolia merupakan gulma
air yang penting pada tanaman padi sawah dan
pada tingkat kepadatan yang tinggi dapat
menyaingi tanaman.
Gulma L. hyssopifolia selalu tumbuh
bersama-sama dengan gulma lain pada areal
tanaman
padi
sawah
seperti
Ageratum
conyzoides, Synedrella nodiflora, Salvinia
molesta,
Monochoria
vaginalis,
Marsilia
crenata, Rotala indica, Limnocharis flava,
Melochia corchorifolia, Cleome rutidosperma,
Echinocloa
colonum,
Paspalum ditichum,
Isahaemum timorense, Leearsia hexandra,
Fimristylis
miliaceae,
Cyperus
flavidus,
Eleusine
indica
serta
Cyperus
rotundus
(Soerjani dkk., 1987). Kehilangan hasil pada
tanaman padi akibat adanya kompetisi dengan
gulma adalah 10% - 13% (De Datta, 1980;
Smith, 1983), 20% - 40% (Madkar dkk., 1986)
dan bahkan dapat mencapai 70 % bergantung
kepada jenis, kerapatan gulma, dan keadaan
lingkungan (Mercado, 1979).
Pengendalian
gulma
yang
umum
dilakukan
oleh
petani
adalah
dengan
menggunakan herbisida. Penggunaan herbisida
dapat memberikan banyak manfaat dalam
pengelolaan gulma karena mampu menekan
pertumbuhan gulma dengan efektif dan relatif
efisien. Hal ini sesuai dengan pendapat Kropf
dan Moody (l992), bahwa pengendalian gulma
dengan herbisida lebih efektif dibandingkan
dengan teknik pengendalian lainnya. Akan
tetapi apabila penggunaan herbisida untuk
mengendalikan gulma tidak dilakukan secara
bijak, maka dapat menimbulkan dampak negatif
terhadap manusia, ternak, lingkungan serta
organisme bukan sasaran (Alwi, l996). Selain
dampak negatif dari herbisida tersebut, aplikasi
herbisida membutuhkan biaya yang cukup
mahal, karena harga herbisida terus meningkat
seiring dengan bertambahnya kebutuhan pangan
bagi penduduk dunia (Rao, 2000). Adanya
bahaya herbisida dan harga herbisida yang
tinggi tersebut maka perlu mencari alternatif
teknik
pengendalian
yang
lain.
Teknik
pengendalian tersebut antara lain dengan
pengendalian biologi.
Pengendalian
biologi
adalah
pengendalian gulma dengan menggunakan
organisme hidup lainnya. Salah satu jenis
organisme tersebut adalah serangga. Serangga
yang telah berhasil dalam mengendalikan gulma
antara lain ordo Lepidoptera, Hemiptera,
Coleoptera,
Diptera,
Hymenoptera
dan
Thysanoptera (Rao,2000). Pengendalian gulma
secara biologi dengan menggunakan serangga
mempunyai keuntungan sebagai berikut :
serangga mempunyai kemampuan yang tinggi
untuk mendapatkan inangnya, tidak mempunyai
efek yang merugikan bagi keselamatan manusia
dan lingkungan, mempunyai tingkat reproduksi
yang tinggi, mampu beradaptasi dengan
lingkungan
yang
ekstrim,
mempunyai
kemampuan menyebar yang tinggi, kompatibel
dengan teknik pengendalian lainnya, serta
pengendalian dengan menggunakan serangga
dapat merusak berbagai komponen tumbuh
gulma sehingga gulma tersebut menjadi mudah
dikendalikan
dengan
teknik
pengendalian
lainnya (Guenette, 2000).
Pengendalian
biologi
mempunyai
kelebihan antara lain pengendalian dapat
berjalan secara alamiah, relatif lebih murah dan
tidak menimbulkan dampak negatif terhadap
manusia, ternak, tanaman budidaya, dan
lingkungan
(Guenette, 2000).
Selain
itu
keuntungan pengendalian biologi adalah bersifat
selektif, perkembangan agensia pengendalian
biologi sangat cepat, pengendalian dapat
dilakukan pada daerah yang lebih luas serta
agensia pengendalian biologi sangat efektif pada
daerah-daerah yang susah dijangkau oleh
manusia (McClay dan Hughes, 2000).
Keberhasilan
pengendalian
gulma
secara biologi pertama kali terjadi di Amerika
Selatan dengan menggunakan kutu Dactylopius
coccus untuk mengendalikan spesies kaktus
berduri
(Opuntia
vulgaris).
Selanjutnya
keberhasilan tersebut juga terjadi di India,
Australia, dan Fiji dengan menggunakan larva
dari serangga Crocidosema lantana, Agromyza
lantanae, Thecla echion, dan Thecla bazochi
untuk mengendalikan gulma Lantana camara.
Keberhasilan lain yang sangat penting adalah
pengendalian gulma Eupatorium adenophorum
dengan
menggunakan
serangga
Procecidochares
utilis
(Rao,
2000).
Chicwenhere dan Keswani (l997), melaporkan
bahwa di Zimbawe keberhasilan dari serangga
penggerek
(Cyrtobagous
salviniae)
untuk
mengendalikan
gulma
Salvinia
molesta
mencapai 99%.
Keberhasilan
pengendalian
gulma
secara biologi juga terjadi di Indonesia dengan
mengintroduksi
jenis
kutu
(Dactylopius
tomentosus) dari Australia ke Sulawesi untuk
mengendalikan kaktus liar (Opuntia elatior)
(Kalshoven, 1981). Mangoendihardjo (1982),
melaporkan
bahwa
serangga
Oerseolella
javanica dapat mengendalikan gulma Imperata
cylindrica dan serangga Bactra vermosana
untuk mengendalikan Cyperus rotundus. Hasil
penelitian Sriyani dkk. (l996), menunjukkan
bahwa serangga Pareuchaetes pseudoinsulata
dapat mengendalikan gulma Chromolaena
odorata dan Ageratum conyzoides. Keberhasilan
serangga dalam mengendalikan gulma inangnya
disebabkan serangga sudah bersifat endemik
sehingga populasi gulma yang tinggi maupun
rendah tidak mempengaruhi kehadiran dan
kemampuan berkembang biak dari serangga
tersebut.
Jenis
serangga
lain
yang
dapat
dimanfaatkan sebagai pengendali gulma adalah
kumbang Haltica cyanea Weber. Jenis serangga
ini selalu ditemukan pada gulma L.hyssopifolia.
Akan tetapi jenis serangga ini belum banyak
mendapat perhatian untuk dimanfaatkan sebagai
pengendali gulma L.hyssopifolia.
Tanaman dan gulma dapat digunakan
oleh serangga sebagai inang utama, inang
alternatif, tempat meletakkan telur dan tempat
istirahat. Sifat yang dimiliki oleh serangga
sebagai pemakan gulma dalam menyerang
inangnya meliputi monofag (mempunyai satu
spesies inang), oligofag (mempunyai lebih dari
satu spesies inang), dan polifag (mempunyai
banyak spesies inang. Hal ini dapat menunjang
keberhasilan pengendalian gulma secara biologi
karena serangga mempunyai kisaran inang yang
berbeda-beda. Sifat ini memungkinkan serangga
tertentu hanya menyerang satu spesies atau
bahkan banyak spesies inang.
Menurut
Rao
(2000),
bahwa
keberhasilan pengendalian gulma secara biologi
dengan menggunakan serangga bergantung pada
kekhususan inang dari serangga tersebut, karena
serangga tidak akan menyerang tumbuhan di
luar kisaran inangnya. Kekhususan inang ini
menyebabkan serangga dapat membedakan
inangnya dan yang bukan inangnya. Selanjutnya
Courtney dan Kibota (1990), mengemukakan
bahwa penolakan dan kecocokan inang serangga
dapat dipengaruhi oleh kandungan kimia dan
morfologi gulma inang, lingkungan abiotik,
interaksi berbagai lingkungan biotik serta
fisiologi serangga. Untuk mengetahui kisaran
inang serangga maka perlu dilakukan pengujian
pada beberapa jenis gulma yang masih
mempunyai kekerabatan dekat (satu famili).
Pengujian kisaran inang dilakukan dengan dua
cara yaitu (1) uji tanpa pilihan (no-choice) dan
(2) uji pilihan (choice). Uji tanpa pilihan yaitu
agensia pengendalian biologi hanya diberikan
gulma sasaran. Sedangkan pada uji pilihan,
agensia pengendalian biologi diberikan dua atau
lebih spesies gulma dan biasanya termasuk
spesies gulma sasaran (Van Drieshche dan
Bellows, 1996).
METODE PENELITIAN
Tempat dan Waktu
Penelitian
ini
dilaksanakan
di
Laboratorium Hama dan Penyakit Tanaman dan
Rumah Kaca Fakultas Pertanian Universitas
Padjadjaran Jatinangor mulai bulan April
sampai Agustus 2004. Serangga direaring di
Laboratorium Hama dan Penyakit Tanaman,
sedangkan tahap pengujian dilaksanakan di
Rumah Kaca.
Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan dalam penelitian
ini meliputi kumbang Haltica cyanea, gulma L.
hyssopifolia, tanah, air, pupuk kandang, bambu,
kertas label, sungkup, dan tali rafia. Sedangkan
alat yang digunakan yaitu pacul, oven, ember,
polybag (ukuran 40 cm x 50 cm), parang, loup,
kuas kecil, kamera, timbangan, dan alat tulis
menulis.
Prosedur Penelitian
Perbanyakan
Kumbang
Haltica
cyanea
Weber
Kumbang H.cyanea yang diambil dari
sawah di bawa ke Laboratorium untuk direaring
secara berpasang-pasangan dalam wadah yang
diberi sungkup dan dibiarkan sampai bertelur.
Telur yang dihasilkan dipindahkan dalam wadah
yang
lain
sampai
menetas.
Selanjutnya
dibiarkan sampai menjadi imago yang akan
dijadikan sebagai keperluan investasi. Jumlah
imago kumbang H.cyanea yang dibutuhkan
dalam penelitian ini adalah 360 ekor. Umur
imago kumbang yang digunakan adalah
seragam. Pakan yang digunakan pada saat
merearing
kumbang
adalah
gulma
L. hyssopifolia.
Persiapan Gulma Ludwigia hyssopifolia
(G. Don) Exell
Biji gulma L. hyssopifolia terlebih
dahulu disemaikan, setelah tumbuh dengan baik
maka dipindahkan pada polybag yang telah diisi
dengan campuran tanah dan pupuk kandang
sesuai dengan jumlah populasi pada
masing-masing perlakuan. Jumlah daun dan umur gulma
yang digunakan adalah seragam. Jumlah
masing-masing
gulma
yang
diperlukan
sebanyak 93 batang. Jadi jumlah keseluruhan
gulma yang digunakan adalah 186 batang.
Investasi Kumbang Haltica cyanea Weber
Setelah
gulma
dipindahkan
pada
polybag, maka semua polybag tersebut diberi
sungkup dengan ukuran 30 cm x 100 cm.
Setelah itu dilakukan investasi serangga uji ke
dalam
polybag
tersebut.
Menurut
Unterstenhover (1963) dalam Sastrosiswojo
(1987), bahwa sebelum dilakukan investasi
maka serangga yang digunakan terlebih dahulu
dipuasakan selama 24 jam.
Rancangan Percobaan
Rancangan lingkungan yang digunakan
dalam penelitian ini adalah Rancangan Acak
Lengkap (RAL) dengan empat kepadatan
kumbang H. cyanea yang diulang sebanyak tiga
kali.
Perlakuan
pada
percobaan
ini
menggunakan kumbang H. cyanea stadia imago
yang diinvestasikan pada gulma L.hyssopifolia.
Tingkat kepadatan kumbang H. cyanea terdiri
dari 0, 5, 10 dan 15 ekor/polybag. Sedangkan
kepadatan gulma L. hyssopifolia 1, 2, 3, dan 4
tumbuhan/polybag. Secara rinci perlakuan
tersebut adalah sebagai berikut : A = kontrol, 0
ekor
imago
H.cyanea
pada
1
gulma
L.hyssopifolia, B = 5 ekor imago H.cyanea pada
1 gulma L.hyssopifolia, C = 5 ekor imago
H.cyanea pada 2 gulma L.hyssopifolia, D = 5
ekor
imago
H.cyanea
pada
3
gulma
L.hyssopifolia E = 5 ekor imago H.cyanea pada
4 gulma L.hyssopifolia, F = 10 ekor imago
H.cyanea pada 1 gulma L.hyssopifolia, G = 10
ekor
imago
H.cyanea
pada
2
gulma
L.hyssopifolia, H = 10 ekor imago H.cyanea
pada 3 gulma L.hyssopifolia, I = 10 ekor imago
H.cyanea pada 4 gulma L.hyssopifolia, J = 15
ekor
imago
H.cyanea
pada
1
gulma
L.hyssopifolia, K = 15 ekor imago H.cyanea
pada 2 gulma L. hyssopifolia, = 15 ekor imago
H.cyanea pada 3 gulma L.hyssopifolia, M =15
ekor
imago
H.cyanea
pada
4
gulma
L.hyssopifolia.
Masing-masing
perlakuan
diulang tiga kali.
Variabel Pengamatan
Variabel yang diamati dalam penelitian
ini adalah: (1) Persentase kerusakan daun gulma
oleh kumbang H.cyanea dengan menggunakan
rumus yang dikemukakan oleh Unterstenhover
(1963) dalam Sastrosiswojo (1987) :
100
x
b
a
P
%
Keterangan: P = Persentase kerusakan daun; a =
Jumlah daun yang terserang; b = Jumlah daun
yang tidak terserang; Z = Nilai tertinggi dari
skala kategori serangan. (2) Bobot basah gulma
dan daya konsumsi kumbang. Bobot basah
gulma diperoleh dengan cara melakukan
penimbangan pada akhir penelitian. Daya
konsumsi kumbang dihitung dengan cara :
bobot basah kontrol (A) - bobot basah setiap
perlakuan lainnya.
Analisis Data
Data
yang
diperoleh
dari
hasil
pengamatan dilakukan analisis statistik (analisis
ragam).
Apabila
hasil
analisis
terdapat
perbedaan yang nyata, maka dilanjutkan dengan
uji BNT pada taraf 95% (Gaspersz, 1991).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Persentase Kerusakan Daun Gulma
Persentase kerusakan daun gulma
L.hyssopifolia yang disebabkan oleh serangan
kumbang H.cyanea terjadi peningkatan pada
semua
perlakuan,
kecuali
pada
kontrol
sebagaimana terlihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Rata-rata persentase kerusakan daun gulma akibat serangan kumbang H.cyanea pada umur 5-25
Hari Setelah Aplikasi (HSA)
Perlakuan
Rata-rata Kerusakan daun gulma (%)
5 HSA
10 HSA
15 HSA
20 HSA
25 HSA
A
B
C
D
E
F
G
H
I
J
K
L
M
0,00 a
76,62 b
59,12 b
56,11 b
39,71 b
73,81 b
69,87 b
71,44 b
61,71 b
74,99 b
66,19 b
49,12 b
48,05 b
0,00 a
87,03 b
69,83 b
76,21 b
55,94 b
85,71 b
76,13 b
70,91 b
84,51 b
88,89 b
83,25 b
72,71 b
59,29 b
0,00 a
93,52 b
75,99 b
75,63 b
73,76 b
90,47 b
85,69 b
88,15 b
79,62 b
91,67 b
86,98 b
80,12 b
78,52 b
0,00 a
98,04 b
84,71 b
89,20 b
84,63 b
92,86 b
96,20 b
94,69 b
87,13 b
97,22 b
91,39 b
85,94 b
90,58 b
0,00 a
100,00 b
91,08 b
93,58 b
92,63 b
97,62 b
97,57 b
96,54 b
64,14 b
100,00 b
98,61 b
94,54 b
96,73 b
Keterangan: Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yangsama berbeda tidak nyata menurut uji Skott-Knott pada taraf 0,05 %.
Tampak bahwa pada pengamatan 5
HSA, 15 HSA, 20 HSA dan 25 HSA,
pemberian 5 ekor imago H.cyanea pada 1
gulma L.hyssopifolia (perlakuan B) memiliki
persentase kerusakan daun yang tertinggi yaitu
masing-masing 76,26%, 93,52%, 98,04% dan
100%. Walaupun tidak terjadi perbedaan
diantara semua perlakuan yang diuji, namun
dalam
prakteknya
perlu
dipertimbangkan
jumlah kumbang yang akan dibutuhkan untuk
mengendalikan gulma. Hal ini terlihat pada
hasil
penelitian,
dimana
perlakuan
B
merupakan perlakuan yang terbaik karena
hanya membutuhkan 5 ekor kumbang untuk
mengendalikan
1
pohon
gulma
sampai
menimbulkan persentase kerusakan daun 100%.
Peningkatan persentase kerusakan daun gulma
terjadi pada saat kumbang mulai memasuki
umur dewasa. Hal ini sesuai dengan pernyataan
Haris (2003), bahwa peningkatan kerusakan
pada
gulma
akibat
serangan
serangga
berhubungan langsung dengan bertambahnya
umur serangga, dimana semakin dewasa suatu
serangga maka semakin tinggi pula kebutuhan
makanan yang diperlukan untuk beraktivitas
dan berkembang biak. Imago yang sudah
dewasa lebih aktif menyebar untuk menemukan
inang
yang
lebih
cocok
serta
dapat
membedakan rasa dari kandungan nutrisi yang
ada di dalam tumbuhan inang (Moschetti,
1999).
Bobot Basah Gulma dan Daya Konsumsi
Kumbang
Berdasarkan
hasil
penelitian
menunjukkan bahwa pemberian 15 ekor imago
H.cyanea
pada
1
gulma
L.hyssopifolia
(perlakuan J) menghasilkan nilai rata-rata bobot
basah gulma yang lebih ringan (2,53 gram)
dengan daya konsumsi kumbang H.cyanea
yang lebih tinggi (26,80 gram). Perlakuan J
menghasilkan bobot basah gulma terkecil jika
dibandingkan dengan kontrol (Tabel 2). Hal ini
menunjukkan bahwa pada populasi kumbang
yang tinggi, maka daya konsumsi dari kumbang
tersebut menjadi lebih besar yang secara
langsung
dapat
menyebabkan
tingginya
penurunan bobot gulma (Moschetti, 1999).
Tabel 2.
Rata-rata
bobot
basah
gulma
L.hyssopifolia dan daya konsumsi
kumbang H.cyanea
Perlakuan
Rata-rata
bobot basah
gulma (gram)
Daya konsumsi
kumbang
(gram)
A
B
C
D
E
F
G
H
I
J
K
L
M
29,33 c
10,67 a
14,22 a
11,83 a
11,13 a
5,70 a
19,03 b
9,30 a
18,50 b
2,53 a
5,10 a
5,73 a
5,20 a
0,00
18,66
15,10
17,50
18,20
23,63
10,30
20,03
10,83
26,80
24,23
23,60
24,20
Keteranga: Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yangsama berbeda tidak nyata menurut uji Skott-Knott pada taraf 0,05 %.