• Tidak ada hasil yang ditemukan

Prakiraan Konsentrasi Karbon Monoksida dengan Pemodelan Delhi Finite Line Source (Studi Kasus : Jalan MT. Haryono, Medan)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Prakiraan Konsentrasi Karbon Monoksida dengan Pemodelan Delhi Finite Line Source (Studi Kasus : Jalan MT. Haryono, Medan)"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian

Peningkatan jumlah penduduk, peningkatan penggunaan lahan, dan kemajuan teknologi mempengaruhi peningkatan kebutuhan masyarakat perkotaan untuk mobilisasi di bidang transportasi. Hal ini akan mempengaruhi kualitas udara ambien di Kota Medan dari sektor transportasi.

Kota Medan merupakan salah satu kota terpadat di Indonesia yang terletak di Provinsi Sumatera Utara. Kota Medan memiliki letak geografis 20 27’-20 47’Lintang Utara dan 980 35’-980 44’ Bujur Timur. Penduduk Kota Medan mengalami pertambahan setiap tahunnya. Berdasarkan data BPS (2015), jumlah penduduk Kota Medan mencapai 2.210.624 jiwa dengan luas lahan sebesar 265 km2 sehingga kepadatan penduduk Kota Medan yaitu 8.342 jiwa/km2. Berdasarkan data tersebut, dapat dikatakan Kota Medan merupakan salah satu Kota Metropolitan di Indonesia.

Selama kurun waktu tahun 1980-2010 jumlah penduduk Kota Medan selalu mengalami peningkatan tetapi persentase angka pertumbuhan penduduk Kota Medan tidak menunjukkan peningkatan seperti dapat dilihat pada Tabel 2.1.

Tabel 2.1 Jumlah Penduduk dan Pertumbuhan Penduduk Kota Medan Tahun 1980-2010 Tahun Jumlah Penduduk Pertumbuhan penduduk

1980 1 378 955

-1990 1 730 752 2,30 %

2000 1 905 587 1,00%

2010 2 097 610 0,97 %

Sumber : Data BPS, 2015.

(2)

sehari-hari. Kota Medan sendiri memiliki panjang jalan sebesar ± 3.064 km, dengan rincian seperti terlihat pada Tabel 2.2 berikut.

Tabel 2.2 Panjang Jalan Kota Medan Berdasarkan Status, Jenis Permukaan, dan Kondisi Jalan.

Kualitas udararoadsideKota Medan salah satunya dipengaruhi oleh kendaraan bermotor. Jalan MT. Haryono dipadati oleh kendaraan bermotor setiap harinya dan ditambah dengan jalur perlintasan kereta api, sehingga kualitas udara sekitarnya terganggu. Berdasarkan data Dinas Perhubungan Kota Medan Tahun 2016, panjang jalan MT. Haryono yaitu 1,16 km, volume kendaraan harian yaitu 5.512 kendaraan/jam dan kapasitas jalan yaitu 5.099 kendaraan/jam sehingga rasio V/C yaitu 1,08. Angka tersebut menunjukkan bahwa kapasitas jalan sama dengan jumlah kendaraan yang melewati jalan tersebut sehingga menimbulkan kemacetan.

Berdasarkan data BLH Kota Medan (2015), pemantauan kualitas udararoadsidedi Kota Medan hanya dilakukan pada 3 (tiga) ruas jalan yaitu Jalan SM. Raja, Jalan Gatot Subroto, dan Jalan Gagak Hitam. Mengingat di Jalan MT. Haryono memiliki lalu lintas yang heterogen dan rasio V/C lebih dari 1 (satu), sehingga penulis memilih Jalan MT. Haryono sebagai lokasi penelitian.

2.2 Pencemaran Udara

(3)

adalah masuknya satu atau lebih zat/polutan ke atmosferoutdoor dalam jumlah banyak sehingga membahayakan dan mengganggu kesehatan manusia, hewan, tanaman, dll. Seinfeld dalam Supriyadi (2009), mendefinisikan pencemaran udara sebagai kondisi atmosfer ketika suatu substansi konsentrasi udara ambien normal menyebabkan dampak terukur pada manusia, hewan, tumbuhan, dan material. Substansi tersebut bisa berasal dari sifat alami, aktivitas manusia ataupun campuran diantara keduanya.

Mengacu pada Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 12 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Pengendalian Pencemaran Udara di Daerah Pasal 1 ayat 1, pencemaran udara adalah masuknya atau dimasukkannya zat, energi, dan/atau komponen lain ke dalam udara ambien oleh kegiatan manusia, sehingga melampaui baku mutu udara yang telah ditetapkan.

Udara merupakan campuran beberapa macam gas yang perbandingannya tidak tetap, tergantung pada kondisi meteorologi lingkungan sekitar. Apabila susunan udara mengalami perubahan dari komposisi keadaan normal (persentase meningkat) sehingga mengganggu kehidupan manusia dan hewan maka dapat dikatakan udara telah tercemar (Wardhana, 2004). Komposisi dari udara bersih dan kering dapat dilihat pada Tabel 2.3 berikut ini.

Tabel 2.3 Komposisi Udara Bersih dan Kering.

Komposisi Kimia Konsentrasi (ppm) Konsentrasi (µg/m3)

Nitrogen (N2) 780.000 8,95 x 108

Oksigen (O2) 209.400 2,74 x 108

Argon (Ar) 9.300 1,52 x 107

Karbon Dioksida (CO2) 315 5,67 x 105

Neon (Ne) 18 1,49 x 104

Dinitrogen Oksida (N2O) 0,05 9,00 x 102

Ozon (O3) 0,01-0,04 1,96 x 1017,84 x 101

Sumber : Khare dan Nagendra, 2007.

2.3 Sumber Pencemaran Udara

(4)

antropogenik. Erupsi gunung vulkanik, kebakaran hutan, debu yang tertiup angin merupakan beberapa contoh sumber pencemar alami. Sumber antropogenik dibagi lagi menjadi sumber bergerak dan tidak bergerak. Sumber tak bergerak contohnya proses industri, pembangkit listrik, insenerator kota dan lain sebagainya, sedangkan sumber bergerak contohnya transportasi (Liu, 1999; Khare dan Nagendra, 2007).

Kategori distribusi angka dan spasial yaitu terbagi menjadi sumber titik, sumber area dan sumber garis. Karakteristik sumber titik yaitu dari cerobong proses industri dan cerobong hasil pembakaran bahan bakar. Karakteristik sumber area yaitu dari emisi debu fugitif dari pembangkit industri. Sumber pencemaran titik dan area adalah contoh sumber transportasi, pembakaran bahan bakar pada sumber tak bergerak, kehilangan pada proses industri, pembuangan limbah padat, dan lainnya. Sumber garis yaitu seperti fasilitas jalan raya dan pembakaran hutan yang tidak terkontrol (Liu, 1999).

Ada 2 (dua) dasar dari pemilihan karakteristik sumber yaitu pemilihan kerangka acuan dalam menganalisa permasalahan dan perspektif peneliti dalam mengasumsikan bentuk dari sumber polutan (Supriyadi, 2009). Sebagai contoh jalan raya diperkotaan dapat diasumsikan sebagai sumber garis, daerah perindustrian dapat diasumsikan sebagai sumber titik, dan pembukaan lahan baru dapat diasumsikan sebagai sumber area dalam mengemisikan polutan terhadap penurunan kualitas udara.

Polutan dibagi lagi menjadi 2 (dua) jenis yaitu polutan primer dan sekunder. Polutan primer dilepaskan secara langsung dari sumber pencemarnya ke atmosfer dan belum mengalami perubahan seperti parameter CO, CO2, NO2, SO2, Cl2, dan debu. Polutan sekunder merupakan pencemar udara primer yang telah mengalami perubahan akibat proses fotokimia sehingga bersifat reaktif dan bertransformasi menjadi molekul seperti ozon (O3), hujan asam, dan aldehid (Mukono, 1997; Wardhana, 2004; Sutra, 2009). 2.4 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pencemaran Udara

Penyebaran polutan di atmosfer dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya yaitu: 1. Penyebaran polutan melibatkan tiga mekanisme utama yaitu gerakan udara secara

(5)

2. Penyebaran pencemaran dari suatu sumber emisi selain dipengaruhi oleh karakteristik sumber emisi juga dipengaruhi oleh karakteristik meteorologi dan topografi setempat (Oke, 1978 dalam Supriyadi, 2009)

Menurut Schnelle dan Brown (2002), kondisi meteorologi, topografi, dan iklim setempat adalah faktor penting dalam pendispersian yang diangkut dari sumber menuju reseptor. Reseptor termasuk manusia, hewan, benda-benda di lingkungan seperti patung, dan juga tumbuhan. Pencemaran udara dapat mempengaruhi jarak pandang sehingga sulit saat melakukan aktivitas di jalan raya serta menganggu aktivitas penerbangan. Terdapat trilogi dalam pendispersian polutan yang dapat dilihat pada Gambar 2.1.

Gambar 2.1 Trilogi Sumber, Pengangkutan dan Reseptor. Sumber : Schnelle dan Brown, 2002.

2.4.1 Karakteristik Emisi

Emisi adalah zat, energi, dan/atau komponen lain yang dihasilkan dari suatu kegiatan yang masuk dan/atau dimasukkannya ke dalam udara ambien yang mempunyai dan/atau tidak mempunyai potensi sebagai unsur pencemar (KLH, 2010). Sumber emisi dapat dihasilkan dari sumber bergerak dan tidak bergerak.

Emisi yang dikeluarkan dipengaruhi oleh beberapa faktor (Supriyadi, 2009; Jalaluddinet al, 2013; Suryati, 2014):

(6)

2. Kecepatan keluaran emisi menunjukkan cepat atau lambatnya emisi polutan keluar dari sumbernya. Untuk menghitung kecepatan keluaran emisi perlu mengetahui tinggi kepulan (plume rise) emisi yang dikeluarkan dari sumber emisi dalam hal ini cerobong. 3. Dimensi emisi sangat penting untuk diketahui nilainya. Jika sumber emisi merupakan cerobong (sumber titik) maka yang dicari tinggi kepulan (plume rise) namun jika sumber emisi merupakan sumber area atau sumber garis maka yang dicari adalah jumlah emisi yang dihasilkan.

Informasi dimensi yang dibutuhkan antara lain :

a. Untuk sumber titik (cerobong) : tinggi, diameter lubang dasar dan lubang atas. b. Untuk sumber area : luas wilayah tersebut.

c. Untuk sumber garis : panjang dan lebar luas jalan tersebut.

4. Geometri sekitar sumbu emisi mempengaruhi pola aliran udara di sekeliling sumber emisi contohnya seperti ukuran (luas dan tinggi) bangunan, bentuk bangunan, ragam tanaman, letak sumber emisi terhadap bangunan, dan variasi desain jalan.

5. Variasi kendaraan, kondisi lalu lintas, perilaku pengemudi, dan kondisi lingkungan. 2.4.2 Kondisi Meteorologi

Meteorologi adalah suatu ilmu dan ramalan perubahan cuaca dalam hasil sirkulasi atmosfer skala yang besar. Menurut Faith (1959) dalam Cooper dan Alley (1994), beberapa hal mengenai permasalahan udara adalah sebagai berikut:

1. Dipastikan ada emisi polutan di atmosfer.

2. Polutan yang dipancarkan akan dibatasi oleh volume udara. 3. Udara yang terpolusi akan mempengaruhi kesehatan manusia.

(7)

1. Arah dan kecepatan angin

Angin memiliki peran utama dalam penyebaran polutan di atmosfer. Angin dipengaruhi oleh variasi kondisi meteorologi, waktu, tempat, dan topografi. Angin yang kuat mempercepat proses penyebaran polutan sedangkan angin yang bergerak relatif pelan, proses penyebarannya lebih dominan melalui proses difusi dengan atmosfer sekitar. Akibatnya konsentrasi polutan pada tiap titik aliran polutan (plume) memiliki nilai yang relatif lebih rendah jika dibandingkan dengan keluaran dari sumbernya (Forsdyke, 1970 dalam Supriyadi 2009).

Konsentrasi polutan di suatu wilayah dipengaruhi oleh lemah atau kuatnya gerakan udara. Gerakan udara yang lemah mengakibatkan turbulensi udara kecil sehingga konsentrasi polutan di wilayah tersebut tetap besar. Sebaliknya, jika gerakan udara kuat mengakibatkan turbulensi udara besar sehingga konsentrasi lebih kecil. Selain gerakan udara, iklim suatu wilayah juga mempengaruhi konsentrasi polutan (Supriyadi, 2009). Untuk angin dengan kecepatan sedang hingga tinggi, proses difusi polutan dapat diabaikan dalam perbandingan terhadap proses adveksi polutan itu sendiri.

Menurut Cooper dan Alley (1994), cara yang efektif untuk menunjukkan grafik rata-rata data kecepatan dan arah angin pada lokasi yang spesifik adalah dengan windrose.

Windrose atau mawar angin merupakan bentuk gambaran atau pemetaan dari arah dan kecepatan angin pada tempat dan waktu tertentu. Windrose atau mawar angin berguna untuk mengetahui arah penyebaran ataupun pergerakan angin dominan di suatu daerah (Nevers, 2000; Supriyadi, 2009).

2. Suhu dan stabilitas atmosfer

(8)

3. Intensitas radiasi matahari

Tingkat stabilitas atmosfer harus diketahui untuk memperkirakan kemampuan atmosfer untuk mendispersikan polutan. Kecepatan angin dan intensitas radiasi matahari merupakan faktor yang digunakan dalam penentuan kelas stabilitas. Terdapat 6 (enam) kategori dalam kelas stabilitas atmosfer yang dapat ditentukan nilainya menggunakan kelas stabilitas Pasquill-Gifford. Kelas stabilitas atmosfer Pasquill-Gifford dapat dilihat pada Tabel 2.4 berikut ini.

Tabel 2.4 Kelas Stabilitas Atmosfer Pasquill-Gifford

Intensitas radiasi matahari Awan

Sumber : Turner, 1969 dalam Goyal dan Kumar, 2011.

Keterangan : A = sangat tidak stabil; B = tidak stabil; C = agak tidak stabil; D = netral; E = agak stabil; F = stabil.

2.4.3 Karakteristisk Daerah Penerima (Reseptor)

(9)

2.5 Pencemaran Akibat Sektor Transportasi

Dampak pencemaran lingkungan sebenarnya bukan hanya bersumber dari kegiatan industri dan teknologi saja, namun kegiatan yang sangat berpengaruh adalah faktor penunjang kegiatan tersebut seperti faktor penyedia daya listrik dan faktor transportasi. Menurut Nevers (2000), jumlah kendaraan bermotor sudah sangat banyak hingga akhir tahun 2000. Pertama kali mobil bertenaga bensin muncul pada tahun 1886. Pada tahun 1900, dunia memproduksi sekitar 20.000 kendaraan tiap tahunnya dan meningkat pada tahun 1999 yaitu sekitar 30 juta. Kendaraan pribadi memberikan pemiliknya mobilitas personal dan kebebasan yang hanya dapat dirasakan oleh pemilik kendaraan sejak dua abad yang lalu. Walaupun sekitar 500 juta orang yang tidak memiliki kendaraan tetapi tetap mengkonsumsi sedikit bahan bakar dan menghasilkan sedikit polutan. Industri kendaraan bermotor berjumlah 10 % dari industri yang ada di negara-negara industri. Dinamika kehidupan kota yang bersifat dinamis, serta mobilitas yang tinggi menuntut warga kota untuk menggunakan sarana transportasi. Artinya bahwa sarana transportasi merupakan kebutuhan yang mutlak diperlukan untuk menunjang mobilitas dan aktivitas masyarakat kota. Berdasarkan data BLH Kota Medan Tahun 2014 dan 2015, hasil pengujian kualitas udara roadside pada beberapa lokasi di Kota Medan menunjukkan peningkatan konsentrasi pencemar pada beberapa polutan dari tahun 2014 sampai tahun 2015. Data hasil pengujian kualitas udara roadside di Kota Medan dapat dilihat pada Tabel 2.5 berikut ini.

Tabel 2.5 Kualitas UdaraRoadsidedi Kota Medan Tahun 2014 dan 2015

Lokasi / Tahun Penelitian

Pintu KIM I (2014) 5 23,03 37,45 66

Pintu KIM I (2015) 20 82,91 105,85 163

Jalan Gatot Subroto (2014) 11 35,68 42,40 103

Jalan Gatot Subroto (2015) 7 55,39 74,77 98

(10)

2.5.1 Karbon Monoksida (CO)

Karakteristik gas CO yaitu gas tidak berwarna, tidak berasa dan tidak berbau, bersifat mematikan pada kadar lebih dari 5000 ppm. Gas CO dapat berbentuk cairan pada suhu dibawah -192°C. Gas buang kendaraan bermotor merupakan sumber utama penghasil CO. Selain itu, gas CO dapat bersumber dari proses industri dan asap rokok (Mukono, 1997; Wardhana, 2004; BLH, 2015).

Gas CO yang dikeluarkan dari kendaraan bermotor memberi dampak negatif bagi kesehatan manusia. CO dalam bentuk gas dapat bereaksi dengan haemoglobin dalam darah membentuk senyawa Carboxyhaemoglobin(COHb). Haemoglobin manusia lebih reaktif terhadap CO dibandingkan oksigen, sehingga efektif dalam pengurangan oksigen dalam darah dan menimbulkan kematian. Gas CO berasal dari pembakaran tidak sempurna dari bahan bakar yang mengandung karbon. Sumber utama penghasil CO adalah sektor transportasi. Konsentrasi CO di ambien yang paling tinggi jumlahnya ada di pusat kota-kota besar, dimana hampir seluruhnya berasal dari kegiatan kendaraan bermotor (Cooper dan Alley, 1994; Nevers, 2000; Tjokrokusumo, 1998).

2.5.2 Faktor Emisi Kendaraan Bermotor

Menurut Yanuar (2012), faktor emisi diartikan sebagai berat polutan yang dihasilkan dari proses pembakaran menggunakan bahan bakar selama kurun waktu tertentu. Selain itu menurut Supriyadi (2009), faktor emisi adalah suatu faktor untuk memperkirakan besarnya emisi dari satu sumber polusi udara. Faktor emisi pada kebanyakan kasus merupakan rata-rata dari semua data yang sudah tersedia dan menggambarkan kualitas udara, yang umumnya diasumsikan sebagai data representatif dalam jangka waktu lama untuk berbagai kategori sumber.

(11)

Jika diasumsikan bahan bakar yaitu oktana yang akan menghasilkan pembakaran sempurna, maka stoikiometri pembakaran sebagai berikut (Cooper dan Alley, 1994). C8H16+ 12 O2+ 45.1 N2 8 CO2+ 8 H2O + 45.1 N2

Reaksi kimia diatas dapat berubah sesuai dengan perbandingan penggunaan bahan bakar dan jumlah udara yang digunakan saat proses pembakaran. Reaksi diatas disebut rasio udara-bahan bakar (air-to-fuel ratioatau AFR).

Adapun faktor emisi kendaraan bermotor yang digunakan dapat dilihat pada Tabel 2.6 berikut.

Tabel 2.6 Faktor Emisi Indonesia

Kategori CO (g/km)

Sepeda Motor 14

Mobil Penumpang 32,4

Mobil Bus 11

Mobil Truk 8,4

Sumber : KLH, 2013.

2.6 Model Matematis dalam Prakiraan Pencemaran Udara

Konsentrasi dan pola dispersi polutan dapat diperkirakan dengan menggunakan model matematis. Model diklasifikasikan berdasarkan bentuk sumber emisi, seperti sumber titik, garis, atau area. Ada dua pendekatan matematis yang dapat digunakan untuk menjelaskan difusi atmosfer yaitu pendekatanEuleriandanLangrangian.Masing-masing pendekatan tersebut dapat diaplikasikan dalam pemodelan pendispersian polutan. Model-model yang kerap digunakan dalam pendugaan dispersi polutan antara lain, model fixed-box dan model Gaussian (Satria, 2006; Supriyadi, 2009).

Model Gaussian selanjutnya dapat dikembangkan untuk memprediksi konsentrasi polutan oleh kendaraan bermotor, seperti model Finite Length Line Source (FLLS),

General Finite Line Source(GFLS), danDelhi Finite Line Source(DFLS).

(12)

Model FLLS

Kelebihan:

- Dapat digunakan pada jenis lalu lintas heterogen.

- Dapat digunakan di daerah dengan kecepatan angin rendah.

- Memperhatikan segmen jalan dan koefisien dispersi arah horizontal ( ). - Menganggap angin sejajar dengan daerah reseptor dan tegak lurus dengan jalan.

Kekurangan:

- Hanya memperhatikan stabilitas atmosfer dan arah angin.

- Menganggap polutan pada reseptor bernilai sama jika titik reseptor berjarak sama.

Model DFLS

Kelebihan:

- Dapat digunakan pada jenis lalu lintas heterogen.

- Dapat digunakan pada kondisi stabilitas atmosfer tidak stabil (kecepatan angin di lokasi 3 - 5 m/s dan intensitas radiasi matahari ≥ 600

W/m2).

Kekurangan:

- Mengabaikan pengaruh maximum mixing height(MMH).

- Mengabaikan koefisien dispersi arah horizontal ( ).

2.7 PemodelanDelhi Finite Line Source(DFLS)

Model ini dikembangkan oleh peneliti India yaitu Khare dan Sharma pada tahun 1999 di Kota Delhi, India. Model ini sesuai jika digunakan untuk memprediksi polutan udara yaitu CO dari kendaraan bermotor di jalan raya, serta pada jenis lalu lintas yang heterogen. Lalu lintas heterogen yang dimaksud adalah lalu lintas yang memiliki komposisi pengguna jalan raya yang terdiri dari kendaraan bermotor, non-kendaraan bermotor dan pejalan kaki. Lalu lintas heterogen biasanya ditemukan pada negara-negara berkembang seperti India dan Indonesia.

(13)

dinyatakan menggunakan distribusi Gaussian. Dengan analisa pendekatan rumus untuk konsentrasi yang kondisi anginnyasteady state(stabil) dari sumber titik yang dilakukan oleh Sutton, selanjutnya dikembangkan oleh Pasquill dan Gifford dengan rumus sebagai berikut (Khare dan Nagendra, 2007).

C (x,y,z;H) =

. . . .ū. exp −

x exp − ( ) + exp − ( ) (2.1)

Keterangan : C = Konsentrasi polutan (g/m3)

Q = Laju emisi dari sumber titik (g/detik)

σy danσz = Koefisien dispersi arah horizontal dan vertikal (m)

ū = Rata-rata kecepatan angin horizontal (m/detik)

z = Tinggi penerima atau alat pemantau dari permukaan (m) H = Tinggi efektif cerobong (m)= h + Δ h

x dan y = Arah angin dan jarak lateral dari sumber ke titik penerima (m) Secara mendasar model dispersi Gaussian diaplikasikan untuk sumber titik tunggal, seperti cerobong. Model Gaussian juga dapat dimodifikasi untuk menghitung sumber garis (seperti emisi yang dihasilkan dari kendaraan bermotor di sepanjang jalan raya) atau sumber area (dalam satu model menggunakan banyak sumber titik).

(14)

C (x1, y1, z; ho) = .√ . . .ū x exp − ( ) + exp − ( )

x erf

√ .. + erf √ .. (2.2)

Keterangan : C = Konsentrasi polutan (g/m3)

QL = Laju emisi per satuan panjang (g/m.detik) L = Batas panjang jalan

θ = Sudut angin relatif terhadap jalan

σy danσz = Koefisien dispersi arah horizontal dan vertikal (m)

ūe = Kecepatan angin efektif (m/detik) =ūSin θ + Uo

z = Tinggi penerima atau alat pemantau dari permukaan (m) ho = Tinggi efektif sumber (m)

Namun peneliti Khare dan Sharma (1999) memodifikasi persamaan GFLS saat mengevaluasi performa model GFLS untuk kondisi kemacetan di India.Erf pada rumus merupakan fungsi error. Persamaam (2.2) digunakan untuk memprediksi nilai CO di India. Nilai prediksi yang didapatkan dari persamaan dibandingkan dengan nilai observasi dan ditemukan bahwa nilai prediksi model melebihi nilai observasi. Namun setelah menghilangkan fungsierrornilai model sesuai dengan hasil observasi. Kemudian persamaan tersebut disebut model Delhi Finite Line Source (DFLS). Persamaan DFLS dinyatakan sebagai berikut (Khare dan Nagendra, 2007).

C =

.√ . . .ū x exp − ( ) + exp − ( ) (2.3)

Keterangan : C = Konsentrasi pencemar di udara ambien (g/m3) QL = Laju emisi per satuan panjang (g/m.detik)

σz = Koefisien dispersi arah vertikal (m)

ūe = Kecepatan angin efektif (m/detik)

(15)

Persamaan (2.3) secara spesifik menggunakan parameter dispersi sebagai fungsi arah angin di jalan dan jarak dari sumber. Data yang digunakan dalam rumus DFLS dijelaskan secara rinci yaitu sebagai berikut (Khare dan Nagendra, 2007):

1. Laju emisi

Laju emisi (QL) bergantung pada volume kemacetan di jalan raya, komposisi kendaraan, dan mode operasi kendaraan. Faktor emisi juga mempengaruhi laju emisi pencemar. Setiap parameter pencemar memiliki nilai faktor emisi yang berbeda-beda. Rumus laju emisi dinyatakan sebagai berikut (Cooper dan Alley, 1994; Khare dan Nagendra, 2007).

QL= n x FE (2.4)

Keterangan : QL= Laju emisi per satuan panjang (g/m.detik) n = Jumlah kendaraan per jam (kendaraan/jam) FE = Faktor Emisi (g/km.kendaraan)

Adapun faktor emisi yang digunakan dalam perhitungan mengacu pada KLH Tahun 2013 yang dapat dilihat pada Tabel 2.6.

2. Kecepatan angin

Dalam persamaan Gaussian konsentrasi polutan berbanding terbalik dengan kecepatan

angin. Kecepatan angin efektif (ūe) diasumsikan sebagai rata-rata komponen angin

ambien (ū) dan koreksi kecepatan angin (Uo). Koreksi kecepatan angin tergantung stabilitas atmosfer dan diasumsikan konstan yang dijelaskan oleh bilangan Richardson (lihat Tabel 2.8).

Adapun rumus untuk menghitung kecepatan angin efektif adalah sebagai berikut (Khare dan Nagendra, 2007).

ūe= ū sin θ + U0 (2.5)

Keterangan : ū = Kecepatan angin di lokasi sampling

θ = Sudut angin relatif terhadap jalan

(16)

3. Koefisien dispersi arah vertikal

Koefisien dispersi arah vertikal (σz) tergantung jarak angin dari sumber dan stabilitas atmosfer. Rumus untuk menghitung koefisien dispersi arah vertikal dapat menggunakan persamaan 2.6 berikut ini (Khare dan Nagendra, 2007).

σz= (a + b )c (2.6)

Keterangan : x = Jarak alat pemantau dari sumber (m)

θ = Sudut angin relatif terhadap jalan (o)

a, b, dan c = Nilai parameter dalam stabilitas atmosfer (lihat Tabel 2.8) Untuk arahangin θ > 180o= arah angin di lokasi - 180 - sudut kemiringan jalan

Untuk arah angin θ < 180o= arah angin di lokasi - sudut kemiringan jalan

Persamaan sin θ untuk kondisi tidak stabil dan netral,

Sin θ 0,2242 + 0,7758 sinθ (2.7a)

Persamaan sin θ untuk kondisi stabil,

Sin θ 0,1466 + 0,8534sin θ (2.7b)

Sudut kemiringan jalan dapat dicari dengan menggunakan ilustrasi pada gambar 2.2 berikut.

(17)

4. Ketinggian sumber

Tinggi efektif sumber (ho) dianggap sebagai jumlah dari ketinggian sumber garis/tinggi knalpot (H) dan tinggi plume. Persamaan untuk mencari tinggi efektif sumber adalah sebagai berikut (Khare dan Nagendra, 2007).

ho = H +

( ) ,

. x (2.8)

Keterangan : H = Tinggi sumber garis/tinggi knalpot (m)

F1 = 1,5 g/ To(To= temperatur (Kelvin); g = gravitasi bumi)

α = Nilai parameter dalam stabilitas atmosfer (lihat Tabel 2.8)

U’ = ū sin θ + U1

x = Jarak alat pemantau dari sumber (m) 5. Kelas stabilitas atmosfer

Stabilitas atmosfer secara langsung mempengaruhi dispersi pencemar dalam model Gaussian. Stabilitas dijelaskan dalam bilangan Richardson dengan tiga kategori stabilitas yaitu tidak stabil, stabil dan netral. Sebelum menentukan kelas stabilitas dalam bilangan Richardson, terlebih dahulu menentukan kelas stabilitas Pasquill-Gifford pada Tabel 2.4. Kelas stabilitas dalam bilangan Richardson dapat dilihat pada Tabel 2.7 berikut.

Tabel 2.7 Kelas Stabilitas dalam Bilangan Richardson Kondisi kestabilan

atmosfer Bilangan Richardson Bilangan Pasquill-Gifford

Stabil Ri > 0,07 E-F

Netral 0,07≥ Ri > -0,1 C-D

Tidak Stabil Ri≤ -0,1 A-B

Sumber : Ashrafi et al, 2001 dalam Rahayu, 2012.

(18)

Tabel 2.8 Nilai Parameter dalam Persamaan Model DFLS

Parameter a b c α U1 U0

Stabil

Ri > 0,07 1,49 0,15 0,77 20,7 0,18 0,23 Netral

0,07≥ Ri > -0,1 1,14 0,10 0,97 11,1 0,27 0,38 Tidak stabil

Ri≤ -0,1 1,14 0,03 1,33 11,1 0,27 0,63

Sumber : Khare dan Nagendra, 2007.

Asumsi yang digunakan dalam pemodelan ini adalah sebagai berikut (Khare dan Nagendra, 2007):

1. Line source(sumber garis/jalan) untuk sumber polutannya adalah lurus. 2. Data meteorologi adalah valid.

3. Polutan CO hanya berasal dari kendaraan bermotor di sepanjang line source. Selain itu, polutan CO tidak bersifat reaktif yaitu tidak mengalami perubahan fisika dan kimia akibat bereaksi dengan partikel lain. Laju perubahan bentuk serta penghilangannya tidak diperhitungkan.

4. Pergerakan polutan searah dengan arah angin. 2.8 Validasi Model

Data hasil pemodelan (CO hitung) dengan data hasil sampling (CO terukur) perlu diketahui keakuratannya. Salah satu cara untuk mengetahui keakuratan data tersebut yaitu dengan validasi. Validasi data menggunakan persamaan Index of Agreement/ IOA (d). Validasi ini yang sering digunakan untuk membandingkan konsentrasi CO hitung dengan konsentrasi CO terukur. Menurut Khare dan Sharma (1999), indeks d memberikan tafsiran yang lebih baik dalam hasil pemodelan untuk menentukan besaran dan nilai yang diamati serta lebih peka terhadap perbedaan dari konsentrasi CO terukur dan konsentrasi CO hitung.

(19)

d = 1 - Ʃ ( )

Ʃ (| | | |) (2.9)

Keterangan : P = Konsentrasi CO hitung O = Konsentrasi CO terukur

Omean = Konsentrasi CO rata-rata dari konsentrasi CO terukur

Hasil dari validasi IOA (d) dapat diklasifikasikan menjadi 4 jenis yaitu Sempurna (d = 1), Baik (0,8≤ d < 1), Sedang (0,7≤ d < 0,8) dan Buruk (d < 0,7). Dari hasil validasi dapat dilihat kesesuaian data prediksi konsentrasi CO hitung dengan data konsentrasi CO terukur.

Gambar

Tabel 2.2 Panjang Jalan Kota Medan Berdasarkan Status, Jenis Permukaan, dan Kondisi
Tabel 2.3 Komposisi Udara Bersih dan Kering.
Gambar 2.1 Trilogi Sumber, Pengangkutan dan Reseptor.Sumber : Schnelle dan Brown, 2002.
Tabel 2.4 Kelas Stabilitas Atmosfer Pasquill-Gifford
+5

Referensi

Dokumen terkait

Walaupun proses transformasi struktural telah terjadi di Indo- nesia, di mana kontribusi sektor pertanian telah digantikan oleh sektor industri, namun

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan maka dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan signifikan antara prokrastinasi akademik dengan prestasi belajar pada siswa yang

The purpose of this research is to know the diversity of plankton community, the value of water chemistry physics parameters, and the correlation between water chemical physics

Perdagangan elektronik (Electronic Commercial) atau e-commerce adalah transaksi jual beli yang di lakukan secara electronic baik melalui televisi, internet baik melalui komputer

school rules are included: to set the time to learn at home, industrious and orderly learning, good attention while.. studying in class, and order yourself while studying in grade

Dari hasil wawancara yang dilakukan tentang Kepercayaan diri ternyata mahasiswa masih berdasarkan kondisi situasi yang dimiliki oleh pelajar, yang

Pendistribusian zakat oleh Bank Zakat Swadaya Ummah sebagai modal usaha, menurut penulis juga perlu adanya program keterampilan bagi para mustahik yang tepat

Rasa ingin tahunya sudah mulai berkembang, secara umum siswa sering bertanya tentang materi pelajaran matematika yang belum dipahami, berupaya mencari sumber