• Tidak ada hasil yang ditemukan

Evaluasi interaksi obat pada pasien pediatrik demam tifoid di Rumah Sakit Umum Sari Mutiara Medan periode Januari 2014 - Desember 2014

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Evaluasi interaksi obat pada pasien pediatrik demam tifoid di Rumah Sakit Umum Sari Mutiara Medan periode Januari 2014 - Desember 2014"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Drug Related Problems (DRPs) merupakan penyebab kurangnya kualitas

pelayanan rumah sakit yang didefinisikan sebagai kejadian tidak diinginkan yang menimpa pasien yang berhubungan dengan terapi obat yang secara nyata maupun potensial berpengaruh terhadap kesembuhan pasien yang diinginkan. Penggunaan obat yang tidak rasional sering ditemukan dalam peresepan obat sehingga menimbulkan pemborosan dan mengurangi kualitas pelayanan rumah sakit (Christina, et al., 2014).

Salah satu kejadian DRP yang sering ditemukan pada peresepan di rumah sakit yaitu interaksi obat. Interaksi obat pada pasien diakibatkan adanya suatu interaksi yang bisa terjadi yaitu ketika efek suatu obat diubah oleh kehadiran obat lain, obat herbal, makanan, minuman atau agen kimia lainnya dalam lingkungan. Definisi yang lebih relevan adalah ketika obat bersaing satu dengan yang lainnya atau yang terjadi ketika satu obat hadir bersama dengan obat yang lainnya (Stockley, 2008).

(2)

Meningkatnya kejadian interaksi obat dengan efek yang tidak diinginkan adalah akibat makin banyaknya dan makin seringnya penggunaan apa yang dinamakan polipharmacy atau multiple drug therapy. Interaksi obat dapat dicegah bila farmasis mempunyai pengetahuan farmakologi tentang obat- obat yang dikombinasikan. Haruslah diakui bahwa pencegahan itu tidaklah semudah yang kita sangka, mengingat jumlah interaksi yang mungkin terjadi pada penderita yang menerima pengobatan polifarmasi cukup banyak (Gapar, 2003).

Populasi pediatrik merupakan kelompok yang memiliki fisiologi berbeda, dan tidak boleh diperlakukan sebagai miniatur laki-laki atau wanita dewasa. Secara internasional populasi pediatrik dikelompokkan menjadi bayi prematur yang baru lahir (preterm newborn infants), bayi yang baru lahir umur 0-28 hari (term newborn infant), bayi dan anak kecil yang baru belajar berjalan umur >28 hari sampai 23 bulan (infants and toddlers), anak-anak 2- 11 tahun (children), dan anak remaja umur 12 sampai 16 sampai 18 tahuntergantung daerah (adoloscent) (WHO, 2007).

Pasien anak-anak memiliki kebutuhan yang berbeda dalam pengobatan dibandingkan dengan orang dewasa. Masalah yang berkaitan dengan perbedaan farmakokinetika, dosis, rute pemberian dan kepatuhan semuanya harus dipertimbangkan oleh ahli farmasi klinis agar dapat memaksimalkan layanan kefarmasian pada kelompok pasien tersebut (Aslam, 2003).

(3)

ini karena gambaran klinis hampir sama dengan penyakit infeksi lain. Sementara laboratorium bakteriologi belum tersedia secara merata di seluruh Indonesia. Diagnosis bisa ditegakkan melalui tanda-tanda klinis, terutama lima tanda utama (mual, nyeri abdominal, anoreksia, muntah dan gangguan motilitas saluran cerna) dan kriteria lainnya. Berdasarkan tanda-tanda klinis (Kalbe, 2014).

Demam tifoid merupakan penyakit yang terdapat di seluruh dunia, di Amerika Serikat diperkirakan terdapat 5700 kasus demam tifoid terjadi tiap tahun, umumnya terjadi pada wisatawan. Diperkirakan 21 juta kasus demam tifoid terjadi dan 200.000 kematian di seluruh dunia. Demam tifoid merupakan masalah utama bagi negara-negara di Asia Tenggara termasuk Indonesia, Malaysia, dan Thailand. Pada tahun 2007, Centers for disease control and prevention melaporkan prevalensi kasus demam tifoid di Indonesia sekitar 358-810 per 100.000 penduduk dengan 64% terjadi pada usia 3 sampai 19 tahun. Di Jakarta, demam tifoid adalah infeksi kedua tertinggi setelah gastroenteritis dan menyebabkan angka kematian yang tinggi (Moehario, 2009).

Menurut laporan data surveilans dari sub Direktorat surveilans Departemen Kesehatan Republik Indonesia, insiden penyakit demam tifoid berturut-turut pada tahun 1990,1991,1992,1993 dan 1994 yaitu 9,2; 13,4; 15,8; 17,4 per 10000 penduduk. Sementara data penyakit demam tifoid dari Rumah Sakit dan pusat kesehatan juga meningkat dari 92 kasus (1994) menjadi 125 kasus (1996) per 100,000 penduduk (Rohman, 2010).

(4)

Rumah Sakit menempati urutan kedua dari 10 penyakit terbesar yaitu sebanyak 1.276 penderita (11,4%) (Dinkes Provinsi Sumatera Utara., 2009).

Terapi pengobatan demam tifoid dibagi menjadi pengobatan simptomatik dan spesifik dengan antibiotik sehingga membutuhkan terapi obat kombinasi. Tata laksana pengobatan demam tifoid, antibiotik seperti Kloramfenikol (drug of choice) 50-100 mg/kgbb/hari, oral atau IV, dibagi dalam 4 dosis selama 10-14

hari, amoksisilin 100 mg/kgbb/hari, oral atau intravena, selama 10 hari, kotrimoksasol 6 mg/kgbb/hari, oral, selama 10 hari, seftriakson 80 mg/kgbb/hari, intravena atau intramuskular, sekali sehari selama 5 hari, sefiksim 10 mg/kgbb/hari, oral, dibagi dalam 2 dosis, selama 10 hari, kortikosteroid diberikan pada kasus berat dengan gangguan kesadaran, deksametason 1- 3mg/kgbb/hari intravena dibagi 3 dosis dosis hingga kesadaran membaik (PPM IDI, 2009).

Dua atau lebih obat yang diberikan pada waktu yang sama atau hampir bersamaan berpotensi menyebabkan interaksi yang dapat mengubah efek yang diinginkan. Interaksi bisa bersifat aditif, sinergis atau antagonis efek satu obat oleh obat lain, atau adakalanya beberapa efek lainnya. Walaupun hasilnya bisa positif (meningkatkan kemanjuran) atau negatif (menurunkan kemanjuran, toksisitas atau idiosinkrasi) (Martin, 2009).

(5)

RSUD Purbalingga tahun 2009, juga terdapat beberapa obat demam tifoid yang mengalami interaksi (Shinta, 2011).

Berdasarkan hal-hal diatas maka peneliti tertarik melakukan penelitian mengenai kejadian potensi interaksi obat pada penyakit demam tifoid di RSU Sari Mutiara Medan karena sampai sekarang belum ada data ilmiah mengenai interaksi obat pada penyakit demam tifoid secara retrospektif pada pasien pediatrik.

1.2 Kerangka Pikir Penelitian

Penelitian ini mengidentifikasi kejadian potensi interaksi obat atau obat- obat yang sering berinteraksi di RSU Sari Mutiara Medan, mengkaji frekwensi kejadian potensi interaksi obat dan mempelajari mekanisme terjadinya interaksi obat serta menentukan tingkat keparahan interaksi obat yang terjadi. Dalam hal ini karakteristik pasien (usia) dan karakteristik obat (jumlah obat yang diterima pasien) adalah variabel bebas (Independent variable) dan kejadian potensi interaksi obat adalah variabel terikat (Dependent variabel). Adapun selengkapnya mengenai gambaran kerangka pikir penelitian ini ditunjukkan pada Gambar 1.1.

Variabel bebas Variabel terikat Parameter

(6)

1.3 Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka perumusan masalah penelitian ini adalah:

a. bagaimana profil pengobatan pada pasien pediatrik dengan diagnosis demam tifoid di RSU Sari Mutiara Medan?

b. apakah terjadi potensi interaksi obat pada pasien pediatrik dengan diagnosis demam tifoid di RSU Sari Mutiara?

c. apakah jenis obat demam tifoid yang sering berpotensi interaksi?

d. apa sajakah pola mekanisme interaksi obat dan tingkat keparahan interaksi obat pada pasien pediatrik dengan diagnosis demam tifoid di RSU Sari Mutiara?

e. apakah usia dan jumlah obat mempengaruhi potensi interaksi obat- obat yang digunakan pada pasien demam tifoid?

1.4 Hipotesis

Berdasarkan perumusan masalah di atas, maka hipotesis penelitian ini adalah:

a. profil pengobatan pada pasien pediatrik dilihat dari jumlah obat yang paling banyak digunakan adalah antibiotik seperti Kloramfenikol.

b. terjadi potensi interaksi obat pada peresepan obat-obat pada pasien pediatrik dengan diagnosis demam tifoid di RSU Sari Mutiara.

(7)

d. pola mekanisme interaksi obat adalah farmakokinetika, farmakodinamik dan unknown dan tingkat keparahan interaksi obat adalah berat, sedang dan ringan.

e. usia dan jumlah obat mempengaruhi potensi interaksi obat- obat yang digunakan pada pasien demam tifoid.

1.5 Tujuan Penelitian

Berdasarkan hipotesis di atas, maka tujuan penelitian ini adalah:

a. mengetahui profil pengobatan pasien pediatrik dengan diagnosis demam tifoid.

b. mengetahui potensi interaksi obat pada pasien demam tifoid. c. mengetahui jenis obat demam tifoid yang sering berinteraksi

d. mengetahui pola mekanisme interaksi obat dan tingkat keparahan interaksi obat pada pasien pediatrik dengan diagnosis demam tifoid di RSU Sari Mutiara

e. Mengetahui faktor yang mempengaruhi interaksi obat.

1.6 Manfaat Penelitian

Berdasarkan hal- hal di atas, maka manfaat penelitian ini adalah:

a. Memberikan gambaran mengenai profil pengobatan pada pasien pediatrik demam tifoid

(8)

dan tingkat keparahan terjadinya interaksi pada penyakit demam tifoid pasien pediatrik di RSU Sari Mutiara Medan

Gambar

Gambar 1.1 Skema hubungan variabel bebas dan variabel terikat

Referensi

Dokumen terkait

Rincian Perubahan Anggaran Belanja Langsung Program dan Per Kegiatan Satuan Kerja Perangkat Daerah. Kode

International Archives of the Photogrammetry, Remote Sensing and Spatial Information Sciences, Volume XL-5/W2, 2013 XXIV International CIPA Symposium, 2 – 6 September 2013,

In this paper, it is proposed to couple 2D infrared images representing the surface temperature of the building with 3D point clouds acquired with Terrestrial Laser Scanner

Rincian Perubahan Anggaran Belanja Langsung Program dan Per Kegiatan Satuan Kerja Perangkat Daerah. Kode

A patient-specific 3D modelling and printing procedure (Figure 1), for surgical planning in case of complex heart diseases was developed.. The procedure was applied to two

The produced 3D point clouds are gridded to 6 mm resolution from which topographic parameters such as slope, aspect and roughness are derived.. At a later project stage these

1 Halaman broken link dimodifikasi (cek dengan mengetik http://depkes.go.id/error) agar menampilkan pemberitahuan kepada pengunjung kesalahan mereka sekaligus disediakan

Camat juga berperan sebagai kepala wilayah (wilayah kerja, namun tidak memiliki daerah dalam arti daerah kewenangan), karena melaksanakan tugas umum pemerintahan di wilayah