• Tidak ada hasil yang ditemukan

Faktor Pencetus Karsinoma Nasofaring di RSUP H. Adam Malik Medan Periode 2012 - 2014

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Faktor Pencetus Karsinoma Nasofaring di RSUP H. Adam Malik Medan Periode 2012 - 2014"

Copied!
22
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Anatomi Nasofaring

Nasofaring merupakan suatu rongga yang berbentuk mirip kubus, terletak

dibelakang rongga hidung, diatas tepi bebas palatum molle dengan diameter

anterior-posterior 2-4 cm, lebar 4 cm yang berhubungan dengan rongga hidung dan telinga

tengah melalui koana dan tuba eustachius. Atap nasofaring dibentuk oleh dasar

tengkorak, tempat keluar dan masuknya saraf otak dan pembuluh darah (Witte dan

Neel, 1998).

Gambar 2.1 Anatomi Nasofaring

(Dikutip dari: Mills SE, Histology for Pathology. Lippincolt

William and Wilkins; 2007 (3) :439)

2.1.1 Batas-Batas Nasofaring

Dinding anterior dibentuk oleh kavum nasi posterior atau disebut juga koana.

Dinding depan ini merupakan lubang yang berbentuk oval yang berhubungan dengan

kavum nasi dan dipisahkan pada garis-garis tengah oleh septum nasi. Diameter

vertikal rata-rata sebesar 2,5 cm sedangkan diameter transversal 1,2 cm.

Dinding superior dan posterior sedikit menonjol, dinding anterior dibentuk

(2)

faringobasilaris yang menutup vertebra servikalis pertama dan kedua. Kelenjar

limfoid adenoid terletak pada batas dinding posterior dan atap nasofaring, tetapi

kadang-kadang kelenjar adenoid ini dapat meluas sampai ke muara tuba eustachius.

Dinding inferior merupakan permukaan atas palatum molle dan berhubungan

dengan orofaring melalui bagian bawah nasofaring yang menyempit yang disebut

dengan isthmus faring. Dinding lateral nasofaring merupakan bagian yang terpenting,

dibentuk oleh lamina faringobasilaris dari fasia faringeal dan muskulus konstriktor

faring superior. Pada dinding lateral ini terdapat muara tuba Eustachius, tepi posterior

merupakan tonjolan tulang rawan yang dikenal sebagai torus tubarius, sedangkan

fossa Rosenmuller atau resesus lateralis terdapt pada supero-posterior dari tuba.

Jaringan lunak yang menyokong struktur nasofaring adalah fasia faringobasilar dan

muskulus konstriktor faringeus superior yang dimulai dari basis oksiput tepat di

bagian anterior foramen magnum. Fasia ini mengandung jaringan fibrokartilago yang

menutupi foramen ovale, foramen spinosum, foramen jugularis, kanalis karotis, dan

kanalis hypoglosus. Struktur ini penting diketahui karena merupakan tempat

penyebaran tumor ke intrakranial (Gustafson dan Neel, 1989).

Fossa russenmuller yang merupakan tepi dinding posterosuperior nasofaring,

merupakan tempat asal munculnya sebagian besar karsinoma nasofaring dan yang

paling sensitif terhadap penyebaran keganasan pada nasofaring. Fossa russenmuller

mempunyai hubungan anatomi dengan sekitarnya, sehingga berperan dalam kejadian

dan prognosis karsinoma nasofaring. Tepat di atas apeks dari fossa russenmuller

terdapat foramen laserum, yang berisi arteri karotis interna dengan sebuah lempeng

tipis fibrokartilago. Lempeng ini mencegah penyebaran karsinoma nasofaring ke

sinus kavernosus melalui karotis yang berjalan naik. Tepat di anterior fossa

russenmuller, terdapat nervus mandibula yang berjalan di dasar tengkorak melalui

foramen ovale. Kira-kira 1.5 cm posterior dari fossa russenmuller terdapat foramen

jugulare, yang dilewati oleh saraf kranial IX-XI, dengan kanalis hipoglosus yang

(3)

Fossa russenmuller yang terletak di apeks dari ruang parafaring ini merupakan

tempat menyatunya beberapa fasia yang membagi ruang ini menjadi 3 kompartemen,

yaitu:

1. Kompartemen prestiloid, berisi a. maksilaris, n. lingualis dan n. alveolaris

inferior

2. Kompartemen poststiloid, yang berisi sarung karotis

3. Kompartemen retrofaring, yang berisi kelenjar Rouviere

Kompartemen retrofaring ini berhubungan dengan kompartemen retrofaring

kontralateral, sehingga pada keganasan nasofaring mudah terjadi penyebaran menuju

kelenjar limfa leher kontralateral. Lokasi fossa russenmuller yang demikian itu dan

dengan sifat karsinoma nasofaring yang invasif, menyebabkan mudahnya terjadi

penyebaran karsinoma nasofaring ke daerah sekitarnya yang melibatkan banyak

struktur penting sehingga timbul berbagai macam gambaran klinis (Witte dan Neel,

1998).

2.1.2 Perdarahan dan Persarafan

Pendarahan nasofaring berasal dari cabang-cabang arteri karotis eksterna,

yaitu arteri faringeal ascenden, arteri palatina ascenden dan descenden, dan cabang

faringeal arteri sfenopalatina. Pleksus vena terletak dibawah selaput lendir nasofaring

dan berhubungan dengan pleksus pterigoid diatas dan vena jugularis interna dibawah.

Daerah nasofaring dipersarafi oleh pleksus faringeal diatas otot konstriktor

faringeus media. Pleksus faringeus terdiri atas serabut sensoris saraf glossofaringeus

(IX), serabut motoris saraf vagus (X) dan serabut saraf ganglion servikalis

simpatikus. Sebagian besar saraf sensoris nasofaring berasal dari saraf

glossofaringeus hanya daerah superior nasofaring dan anterior orifisium tuba yang

mendapat persarafan sensoris dari cabang faringeal ganglion sfenopalatina yang

(4)

2.1.3 Sistem Limfatik Nasofaring

Sistem limfatik dari atap dan dinding posterior nasofaring berjalan ke arah

anteroposterior dan bergabung pada garis tengah. Setelah melalui fasia faringeal,

aliran limfe dari sisi kanan dan kiri akan menuju ke kelenjar limfe retrofaringeal.

Beberapa aliran limfe dari masing-masing sisi akan menuju ke kelenjar yang terletak

paling proksimal dari rantai kelenjar spinal dan jugularis interna. Pada dinding lateral,

terutama di daerah tuba Eustachius paling kaya akan pembuluh limfe. Aliran

limfenya juga berjalan ke arah anteroposterior dan bermuara di kelenjar retrofaringeal

atau ke kelenjar yang paling proksimal dari masing-masing sisi rantai kelenjar spinal

dan jugularis interna, dimana rantai kelenjar ini terletak di bawah otot

sternokleidomastoid pada tiap prosesus mastoid. Beberapa kelenjar dari rantai jugular

letaknya sangat dekat dengan saraf-saraf kranial terakhir, yaitu saraf IX,X,XI,XII

(Cottril, 2003).

2.2 Histologi Nasofaring

Ketika lahir, epitel nasofaring tersusun atas epitel kolumner pseudokompleks

yang melapisi sebagian besar jalan nafas bagian atas. Seiring dengan bertambahnya

usia, area epitel tersebut digantikan oleh epitel skuamous kompleks, sehingga

sebelum mencapai umur 10 tahun seluruh mukosa nasofaring kecuali yang melapisi

dasar adenoid, telah digantikkan oleh epitel skuamous kompleks. Beberapa peneliti

mengemukakan bahwa perubahan tersebut terjadi tidak di program secara genetik,

namun perubahan tersebut merupakan gambaran dari reaksi metaplastik terhadap

perubahan lingkungan. Sepanjang dinding nasofaring lateral, tersisa bercak-bercak

kecil epitel kolumner pseudokompleks, saling bercampur dengan mukosa skuamous

kompleks di regio nasofaring, dimana dua jenis epitel ini bertemu (Witte dan Neel,

1998).

2.3 Karsinoma Nasofaring

Karsinoma nasofaring (KNF) adalah tumor ganas yang berasal dari sel epitel

(5)

dan dapat menyebar kedalam atau keluar nasofaring menuju dinding lateral,

posterosuperior, dasar tengkorak, palatum, kavum nasi, dan orofaring serta metastasis

ke kelenjar limfe leher (Gustafson dan Neel, 1989).

2.4Prevalensi Karsinoma Nasofaring

Indonesia termasuk salah satu Negara dengan prevalensi penderita karsinoma

nasofaring yang termasuk tinggi di luar Cina. Di Indonesia, karsinoma nasofaring

menempati urutan ke-5 dari 10 besar tumor ganas yang terdapat di seluruh tubuh dan

menempati urutan ke-1 di bidang Telinga, Hidung dan Tenggorok (THT). Hampir

60% tumor ganas kepala dan leher merupakan karsinoma nasofaring (Nasir, 2009).

Prevalensi karsinoma nasofaring di Indonesia adalah 6,2/100.000 penduduk

dengan 13.000 kasus karsinoma nasofaring baru setiap tahunnya. Insiden kejadian

karsinoma nasofaring di Medan pada tahun 2000 adalah 4,3/100.000 penduduk

(Adham et al, 2012). Di Indonesia Karsinoma Nasofaring paling banyak dijumpai

diantara tumor ganas di bidang THT dan usia terbanyak yang menderita adalah usia

40 tahun keatas (Munir, 2006).

2.5 Etiologi Karsinoma Nasofaring 1. Faktor Genetik

Karsinoma nasofaring memang tidak termasuk dalam tumor genetik. Namun

kerentanan terhadap kasus ini terhadap kelompok masyarakat tertentu relatif lebih

menonjol dan memiliki agregasi keluarga. Beberapa penelitian menunjukan bahwa

gen HLA (Human Leukocyte Antigen) serta gen pengkode enzim sitokrom p4502E

(CYP2E1) adalah gen yang rentan terhadap karsinoma nasofaring (Nasir, 2009). Pada

keluarga dengan karsinoma nasofaring, haplotipe HLA yang sama ditemukan 21 kali

lipat pada penderita dengan keluarga karsinoma nasofaring. Penelitian di Medan

didapati bahwa frekwensi alel gen yang paling tinggi pada penderita karsinoma

(6)

paling berpotensi menyebabkan timbulnya karsinoma nasofaring pada suku Batak

adalah alel gen HLA-DRB1*08 (Munir D, 2007).

2. Infeksi Virus Epstein - Barr

Salah satu penyebab karsinoma nasofaring adalah virus Epstein Barr. Sebagian

besar infeksi VEB tidak menimbulkan gejala. VEB menginfeksi dan menetap secara

laten pada 90% populasi dunia. Di Hong Kong, 80% anak terinfeksi pada umur 6

tahun, hampir 100% mengalami serokonversi pada umur 10 tahun. Infeksi VEB

primer biasanya subklinis. Transmisi utama melalui saliva, biasanya pada negara

berkembang yang kehidupannya padat dan kurang bersih. Limfosit B adalah target

utama VEB, jalur masuk VEB ke sel epitel masih belum jelas, replikasi VEB dapat

terjadi di sel epitel orofaring. Virus Epstein-Barr dapat memasuki sel-sel epitel

orofaring, bersifat menetap (persisten), tersembunyi (laten) dan sepanjang masa

(life-long) (Yenita, 2012).

Selain itu, Virus Epstein-Barr (VEB) juga berperan dalam perkembangan

karsinoma nasofaring. Reaktivasi VEB pada sel B sel bisa dipicu oleh produk seluler

tumor sel. Sebaliknya, VEB mungkin bertindak sebagai umpan balik untuk promoter

tumorgenesis. Reaktivasi VEB dikaitkan dengan peningkatan tingkat sitokin dan

faktor pertumbuhan, yaitu, interleukin-6, interleukin-10, mengubah faktor

pertumbuhan-β1, dan endotel vascular faktor pertumbuhan, yang dapat berkontribusi

terhadap poliferasi sel, sistem gangguan kekebalan tubuh, dan angiogenesis (Guo et

al, 2014).

3. Faktor lingkungan

Faktor lingkungan yang diduga berperan dalam terjadinya karsinoma nasofaring

adalah debu, asap rokok, uap zat kimia, asap kayu bakar, asap dupa, obat-obatan

tradisional, tetapi hubungan yang jelas antara zat-zat tersebut dengan karsinoma

nasofaring masih belum dapat dijelaskan. Serbuk kayu pada industri mempunyai

hubungan yang kuat dengan penderita karsinoma nasofaring. Karsinoma nasofaring

juga berhubungan akibat sering kontak dengan bahan karsinogen antara lain

bezopyrenen, benzoanthrancene, gas kimia, asap industri, asap kayu dan beberapa

(7)

2.6 Patofisiologi Karsinoma Nasofaring

Gambar 2.2 Skema Patofisiologi terjadinya Keganasan

(Dikutip dari: Maitra, Anirban dan Kumar, Vinay. Buku Ajar Patologi Robbins, Ed.

(8)

2.7 Klasifikasi Karsinoma Nasofaring

Terdapat beberapa cara untuk menentukan stadium karsinoma nasofaring. Di

beberapa negara Asia digunakan penentuan stadium yang dikemukakan oleh Ho pada

tahun 1978 (Ho’s system), sementara di Amerika dan Eropa lebih disukai penentuan

stadium sesuai dengan kriteria yang ditetapkan AJCC/UICC (American Joint

Committee on Cancer / International Union Against Cancer). Cara penentuan

stadium karsinoma nasofaring menurut AJCC/UICC tahun 2010 (American Cancer

Society, 2013).

Klasifikasi TNM menurut AJCC 2010: Tumor Primer (T)

Tx: Tumor primer tidak dapat dinilai

T0: Tidak terbukti adanya tumor primer

Tis: Karsinoma in situ

T1: Tumor terbatas di nasofaring atau tumor meluas ke orofaring dan / kavum

nasi tanpa perluasan ke parafaring.

T2: Tumor dengan perluasan ke daerah parafaring.

T3: Tumor melibatkan struktur tulang dasar tengkorak dan/atau sinus

paranasal

T4: Tumor dengan perluasan intrakranial dan/atau terlibatnya saraf kranial,

hipofaring, orbita atau dengan perluasan ke fossa infratemporal / ruang

mastikator.

KGB Regional (N)

NX: KGB regional tidak dapat dinilai

N0: Tidak ada metastasis ke KGB regional

N1: Metastasis kelenjar getah bening leher unilateral dengan diameter terbesar

6 cm atau kurang, di atas fossa supraklavikular, dan/atau unilateral

atau bilateral kelenjar getah bening retrofaring dengan diameter

(9)

N2: Metastasis kelenjar getah bening bilateral dengan diameter terbesar 6 cm

atau kurang, di atas fossa supraklavikular.

N3: Metastasis pada kelenjar getah bening diatas 6 cm dan/atau pada fossa

supraklavikular:

N3a: Diameter terbesar lebih dari 6 cm

N3b: Meluas ke fossa supraklavikular

Metastasis Jauh (M)

M0: Tanpa metastasis jauh

M1: Metastasis jauh

Stadium:

 Stadium 0 – Tis, n0, M0

 Stadium I - T1, n0, M0

 Stadium IIA - T2a, n0, M0

 Stadium IIB - (T1, N1, M0), (T2, N1, M0), (T2a, N1, M0), (T2b, N0, M0)

 Stadium III - (T1, N2, M0), (T2a, N2, M0), (T2b, N2, M0), (T3, N0, M0), (T3, N1, M0), (T3, N2, M0)

 Stadium IVA - (T4, N0, M0), (T4, N1, M0), (T4, N2, M0)

 Stadium IVB - Setiap T, N3, M0

 Stadium IVC - Setiap T, setiap N, M1

2.8 Gejala Klinis

Karsinoma nasofaring tidak khas dan tidak spesifik, dan nasofaring

merupakan area yang sulit untuk diperiksa. Sehingga karsinoma nasofaring sering

didiagnosis saat stadium lanjut dibandingkan keganasan kepala leher lainnya

(Plant, 2009). Penderita karsinoma nasofaring sering mengalami satu atau lebih

dari 4 kelompok gejala yaitu gejala hidung, telinga, keterlibatan saraf kranial dan

(10)

nasofring, keluhan adanya tumor di leher ini yang pling sering dijumpai dan yang

mendorong penderita untuk datang berobat (Soetjipto, 1989; Ahmad, 2002).

2.8.1 Gejala Dini

Menegakkan diagnosis karsinoma nasofaring secara dini merupakan hal yang

paling penting dalam menurunkan angka kematian akibat penyakit ini. Gejala dini

berupa:

a. Gejala Telinga

Gejala pada telinga dapat dijumpai sumbatan Tuba Eutachius. Pasien mengeluh

rasa penuh di telinga, rasa dengung kadang-kadang disertai dengan gangguan

pendengaran. Gejala ini merupakan gejala yang sangat dini. Radang telinga tengah

sampai pecahnya gendang telinga. Keadaan ini merupakan kelainan lanjut yang

terjadi akibat penyumbatan muara tuba, dimana rongga telinga tengah akan terisi

cairan. Cairan yang diproduksi makin lama makin banyak, sehingga akhirnya terjadi

kebocoran gendang telinga dengan akibat gangguan pendengaran (Roezin dan

Adham, 2007 dan National Cancer Institute, 2009).

b. Gejala hidung

Gejala pada hidung adalah epistaksis akibat dinding tumor biasanya rapuh

sehingga oleh rangsangan dan sentuhan dapat terjadi pendarahan hidung atau

mimisan. Keluarnya darah ini biasanya berulang-ulang, jumlahnya sedikit dan

seringkali bercampur dengan ingus, sehingga berwarna merah muda. Selain itu,

sumbatan hidung yang menetap terjadi akibat pertumbuhan tumor ke dalam rongga

hidung dan menutupi koana. Gejala menyerupai pilek kronis, kadang-kadang disertai

dengan gangguan penciuman dan adanya ingus kental. Gejala telinga dan hidung ini

bukan merupakan gejala yang khas untuk penyakit ini, karena juga dijumpai pada

infeksi biasa, misalnya pilek kronis, sinusitis dan lain-lainnya. Mimisan juga sering

terjadi pada anak yang sedang menderita radang (Roezin dan Adham, 2007 dan

National Cancer Institute, 2009).

(11)

2.8.2 Gejala Lanjut

a. Limfadenopati Servikal

Ditandai dengan pembesaran kelenjar limfe regional yang merupakan penyebaran

terdekat secara limfogen dari karsinoma nasofaring. Dapat terjadi unilateral atau

bilateral. Kelenjar limfe retrofaringeal (Rouviere) merupakan tempat pertama

penyebaran sel tumor ke kelenjar, tetapi pembesaran kelenjar limfe ini tidak teraba

dari luar. Ciri yang khas penyebaran karsinoma nasofaring ke kelenjar limfe leher

yaitu terletak di bawah prosesus mastoid (kelenjar limfe jugulodigastrik), di bawah

angulus mandibula, di dalam otot sternokleidomastoid, konsistensi keras, tidak terasa

sakit, tidak mudah digerakkan terutama bila sel tumor telah menembus kelenjar dan

mengenai jaringan otot di bawahnya.

b. Gejala Neurologis

Sindroma petrosfenoidal, akibat penjalaran tumor primer ke atas melalui foramen

laserum dan ovale sepanjang fosa kranii medial sehingga mengenai saraf kranial

anterior berturut-turut yaitu saraf VI, saraf III, saraf IV, sedangkan saraf II paling

akhir mengalami gangguan. Dapat pula menyebabkan parese saraf V. Parese saraf II

menyebabkan gangguan visus, parese saraf III menyebabkan kelumpuhan otot levator

palpebra dan otot tarsalis superior sehingga menimbulkan ptosis, dan parese saraf III,

IV dan VI menyebabkan keluhan diplopia karena saraf-saraf tersebut berperan dalam

pergerakan bola mata, dan saraf V (trigeminus) dengan keluhan rasa kebas di pipi dan

wajah yang biasanya unilateral.

Sindroma parafaring/penjalaran secara retroparotidian, akibat tumor menjalar ke

belakang secara ekstrakranial dan mengenai saraf kranial posterior yaitu saraf VII

sampai XII dan cabang saraf simpatikus servikalis yang menimbulkan sindroma

Horner. Parese saraf IX menyebabkan keluhan sulit menelan karena hemiparese otot

konstriktor faringeus superior. Parese saraf X menyebabkan gangguan motorik

berupa afoni, disfoni, disfagia, spasme esofagus, gangguan sensorik berupa nyeri

daerah laring dan faring, dispnu, dan hipersalivasi, parese saraf XI menyebabkan

(12)

saraf XII menyebabkan hemiparese dan atrofi sebelah lidah, sedangkan saraf VII dan

VIII jarang terkena karena letaknya lebih tinggi.

Karsinoma nasofaring juga kadang-kadang menimbulkan gejala yang tidak khas

berupa trismus. Gejala ini timbul bila tumor primer telah menginfiltrasi otot pterigoid

sehingga menyebabkan terbatasnya pembukaan mulut. Gejala trismus sangat jarang

dijumpai tetapi lebih sering terdapat sebagai efek samping radioterapi yang diberikan,

sehingga menyebabkan degenerasi serat otot pterigoid dan masseter.

Sakit kepala yang hebat merupakan gejala yang paling berat bagi penderita

karsinoma nasofaring, biasanya merupakan stadium terminal dari karsinoma

nasofaring. Hal ini disebabkan tumor mengerosi dasar tengkorak dan menekan

struktur di sekitarnya (Witte dan Neel, 1998; Ahmad, 2002).

2.8.3 Gejala Metastasis Jauh

Metastasis jauh dari karsinoma nasofaring dapat secara limfogen atau

hematogen, yang dapat mengenai spina vertebra torakolumbar, femur, hati, paru,

ginjal, dan limpa. Metastasis jauh dari KNF terutama ditemukan di tulang (48%),

paru-paru (27%), hepar (11%) dan kelenjar getah bening supraklavikula (10%).

Metastasis sejauh ini menunjukkan prognosis yang sangat buruk, biasanya 90%

meninggal dalam waktu 1 tahun setelah diagnosis ditegakkan (Chiesa and De Paoli,

2001).

2.9Faktor Pencetus Karsinoma Nasofaring

1. Jenis Kelamin

Karsinoma nasofaring lebih sering terjadi pada jenis kelamin laki-laki

dibandingkan perempuan, dengan ratio perbandingan laki-laki dengan perempuan 2:1

(American Cancer Society, 2013).

Di Sumatera Utara, Indonesia, di dapati bahwa pada Suku Batak jumlah

pasien laki-laki dengan perempuan yang menderita karsinoma nasofaring memiliki

perbandingan laki-laki 60% dan wanita 40%. Kecenderungan penderita karsinoma

nasofaring laki-laki lebih banyak dari perempuan dimungkinkan akibat laki-laki lebih

(13)

(Munir D, 2006). Sedangkan menurut Nasution (2008), kasus karsinoma nasofaring

di RSUP H. Adam Malik Medan, dan RSU Dr. Pringadi Medan didapati penderita

laki-laki sebanyak 74% dan perempuan sebanyak 26%.

2. Usia

Sebagian besar penderita karsinoma nasofaring berusia diatas 20 tahun,

dengan rentang usia terbanyak antara umur 50-70 tahun. Di Sumatera Utara, didapati

bahwa kelompok usia 50-59 tahun. Umur penderita yang paling muda adalah 21

tahun sedangkan yang paling tua 77 tahun (Munir D, 2007). Menurut Nasution

(2008), berdasarkan penelitian di RSUP H. Adam Malik Medan, dan RSU Dr.

Pringadi Medan, usia terbanyak adalah pada kelompok usia 50-59 tahun sebanyak 28

(29.2%) penderita.

3. Faktor Pekerjaan

Faktor yang juga ikut berpengaruh adalah pekerjaan yang banyak

berhubungan dengan debu nikel, debu kayu (pada industri mebel atau penggergajian

kayu), atau pekerjaan pembuat sepatu. Adanya asap jenis kayu tertentu yang

digunakan untuk memasak, seringnya kontak dengan zat yang dianggap

karsinogen adalah antara lain: Benzopyrene, Bensoanthracene, gas kimia, dan asap

industri, merupakan hal-hal yang didugan berperan penting dalam terjadinya

karsinoma nasofaring. (Soetjipto, 1989).

Menurut penelitian Nasution (2008), pasien terbanyak di Sumatera Utara yang

terkena karsinoma nasofaring yang berobat ke RSUP H Adam Malik medan dan

RSUP Pringadi medan adalah petani dengan jumlah dengan jumlah 31 (32.3%) kasus,

sedangkan guru memiliki jumlah paling sedikit dengan jumlah 1 (1%) kasus. Menurut

Munir (2007), di Sumatera Utara, golongan pekerjaan penderita karsinoma nasofaring

terbanyak adalah petani dengan 20 (36.3%) kasus, sedangkan yang paling sedikit

adalah pegawai swasta dengan 11 (20%) kasus.

4. Riwayat Keluarga

Riwayat keluarga terdahulu yang pernah terkena karsinoma nasofaring akan

(14)

secara pasti apakah karena genetik, pola hidup yang serupa, maupun karena keduanya

(American Cancer Society, 2013).

Bila ditinjau secara genetika, kerabat pertama, kedua, dan ketiga pasien

karsinoma nasofaring memiliki risiko terkena karsinoma nasofaring. Orang yang

memiliki keluarga tingat pertama karsinoma nasofaring memiliki resiko 4 hingga 10

kali terkena karsinoma nasofaring dibanding yang tidak (Guo X et al, 2009).

Di Sumatera Utara, Indonesia, didapati bahwa sebanyak 96.9% penderita

karsinoma nasofaring memiliki keluarga yang pernah terdiagnosa kanker (Nasution,

2008).

5. Suku dan Bangsa

Karsinoma nasofaring lebih sering terjadi di daerah Asia (suku mongoloid)

dibandingkan di daerah Eropa. Sebagai contoh penduduk asli Cina yang berdomisili

di Cina Selatan memiliki faktor risiko yang tinggi untuk menderita karsinoma

nasofaring. Namun apabila mereka berpindah ke daerah dengan angka kejadian

karsinoma nasofaring yang lebih rendah maka faktor risiko mereka akan turun,

namun tetap lebih tinggi dibandingkan penduduk lokal tersebut. Serta generasi

selanjutnya yang di lahirkan mereka di tempat dengan angka kejadian karsinoma

nasofaring yang rendah akan memiliki faktor risiko yang kecil untuk terkena

karsinoma nasofaring (American Cancer Society, 2013).

Menurut Lutan dan Zachreini dalam Munir D (2006), di RSUP H. Adam

Malik Medan, Provinsi Sumatera Utara, penderita karsinoma nasofaring ditemukan

pada lima kelompok suku, dimana suku yang terbanyak menderita karsinoma

nasofaring ialah Suku Batak, yaitu 46.7% dari 30 kasus. Menurut Nasution (2008),

suku batak menduduki urutan pertama dengan 56.3% dari kasus yang didapati di

RSUP H. Adam Malik dan RSU Dr. Pringadi Medan, sedangkan suku jawa

merupakan suku kedua penderita karsinoma nasofaring dengan 29.2% kasus.

6. Konsumsi Ikan Asin

Ikan asin diyakini sebagai salah satu sumber nitrosamin yang memicu

terjadinya karsinoma nasofaring. Nitrosamin merupakan bahan kimia yang bersifat

(15)

sebagai salah satu penyebab karsinoma nasofaring. Pada proses pengasinan atau

pengeringan ikan dengan sinar matahari terjadi reaksi biokimia berupa nitrosasi.

Gugus nitrit dan nitrat yang terbentuk akan bereaksi dengan ekstrak ikan asin menjadi

nitrosamin (Munir D, 2006).

Penduduk Asia, dan Afrika Utara, dimana merupakan daerah yang terdapat

banyak kasus karsinoma nasofaring, rata-rata penduduknya mengkonsumsi makanan

makanan ikan dan daging dengan kadar garam yang tinggi (ikan asin). Namun, di

Cina angka kejadian karsinoma nasofaring sudah mulai menurun dengan mulai

maraknya makanan khas barat disana (American Cancer Society, 2013).

Mengkonsumsi ikan asin meningkatkan risiko 1,7 hingga 7,5 kali lebih tinggi

untuk terkena penyakit ini dibanding dengan yang tidak mengkonsumsi ikan asin.

Konsumsi ikan asin lebih dari tiga kali dalam sebulan meningkatkan risiko karsinoma

nasofaring. Enam puluh dua persen pasien karsinoma nasofaring mengonsumsi

makanan fermentasi yang di awetkan. Banyaknya konsumsi nitrosamin dan nitrit

yang biasa di dapatkan dari konsumsi daging, ikan, dan sayuran yang di awetkan

selama masa kecil meningkatkan risiko karsinoma nasofaring (Yang X et al, 2005).

Di Sumatera Utara, Indonesia, didapati sebanyak 74.54% dari penderita

memiliki kebiasaan memakan ikan asin hampir setiap hari sebelum umur 10 tahun

(Munir D, 2007). Menurut Nasution (2008), di Sumatera Utara didapati sebanyak

79.2 % penderita karsinoma nasofaring mengkonsumsi ikan asin dibawah usia 10

tahun.

7. Merokok

Merokok telah memberi gambaran sebagai faktor risiko yang cukup berarti

untuk terjadinya kanker pada berbagai organ tubuh. Komponen isi rokok, termasuk

nitrosamine dan formaldehyde, juga menunjukkan rokok mempunyai potensi

karsinogenik. Menghisap rokok akan memberi pajanan bahan karsinogenik yang ada

di dalam rokok secara langsung terhadap nasofaring. Dengan demikian hubungan

antara merokok dan karsinoma nasofaring secara biologi cukup dapat diterima

(16)

Merokok merupakan faktor untuk pertumbuhan tumor, bertindak sebagai

mutagen dan merusak DNA yang mengawali timbulnya tumor pada sel epitel normal.

Merokok dapat menyebabkan mutasi genetik, sehingga menyebabkan transformasi sel

epitel di nasofaring, suatu area berhubungan dengan senyawa yang berpotensial

karsinogen pada rokok yang secara langsung melalui inhalasi. Mutasi DNA dapat

mempengaruhi resistensi terhadap radiasi dan kemoterapi tetapi dapat meningkatkan

metsstsasis jauh yang sering menyebabkan kematian.

Merokok tembakau diketahui dapat menimbulkan efek imunosupresif pada

jaringan lokal melalui induksi sitokin dan kemokin pro – inflamasi dan penekanan

terhadap antigen. Merokok mempengaruhi berbagai sistem kekebalan tubuh bawaan

dan menyebabkan perubahan dalam produksi antibodi, khususnya dalam menanggapi

antigen asing pada mukosa pernapasan. Selain itu, paparan berulang asap rokok atau

nikotin menyebabkan sel T berespon, dan nikotin yang ditimbulkan oleh

imunosupresi sebagai efek langsung terhadap limfosit (Guo et al, 2014).

Besar pajanan asap rokok bersifat kompleks dan dipengaruhi oleh jumlah

rokok yang dihisap dan pola penghisapan rokok tersebut. Faktor lain yang turut

mempengaruhi akibat pajanan asap rokok antara lain lama merokok, dalamnya

hisapan, usia mulai merokok, dan lain-lain. Berdasarkan lamanya merokok, merokok

dapat dikelompokan sebagai berikut; merokok kurang 10 tahun, merokok selama

10-20 tahun, dan merokok selama lebih dari 10-20 tahun. Sedangkan klasifikasi jumlah

rokok yang di konsumsi perhari dapat dikelompokan sebagai berikut; ringan (1-10

batang perhari), sedang (11-20 batang perhari), dan berat (diatas 20 batang perhari)

(Solak et al, 2005).

Di Sumatera Utara, Indonesia, didapati sebanyak 69.8% penderita karsinoma

nasofaring memiliki riwayat merokok, dan sebanyak 51% penderita memulai

(17)

2.10 Diagnosis

2.10.1 Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik

Anamnesis dilakukan berdasarkan keluhan penderita karsinoma nasofaring.

Limfadenopati servikal pada leher bagian atas merupakan keluhan yang paling sering

menyebabkan penderita karsinoma nasofaring berobat. Gejala hidung, telinga,

gangguan neurologis juga sering dikeluhkan penderita karsinoma nasofaring

(Soetjipto, 1989; Ahmad, 2002).

a. Rinoskopi posterior tanpa menggunakan kateter

Pemeriksaan ini dilakukan pada penderita dewasa yang tidak sensitif,

dilakukan dengan menggunakan kaca nasofaring. Tumor yang tumbuh eksofitik dan

sudah agak besar akan tampak dengan mudah (Ahmad, 2002).

b. Rinoskopi posterior dengan menggunakan kateter

Dua buah kateter dimasukkan masing-masing ke dalam rongga hidung kanan

dan kiri. Setelah tampak di orofaring, ujung kateter tersebut dijepit dengan pinset dan

ditarik keluar, kemudian disatukan dengan masing-masing ujung kateter yang

lainnya. Kedua ujung ini ditarik dengan keras agar palatum molle terangkat ke atas

sehingga rongganya menjadi luas, selanjutnya dikunci dengan klem. Dengan kaca

nasofaring rongga nasofaring tampak dengan jelas (Lore dan Medina, 2005).

2.10.2 Pemeriksaan Penunjang

a. Pemeriksaan radiologi

Pemeriksaan ini bertujuan untuk memeperkuat kecurigaan adanya tumor di

daerah nasofaring, menentukan lokasi tumor yang dapat membantu dalam melakukan

biopsi yang tepat dan menentukan luas penyebaran tumor ke jaringan sekitarnya.

Foto polos nasofaring dan dasar tengkorak dengan posisi lateral,

submentovertikal, oksipitosubmental, oksipitofrontal. Foto toraks posisi PA, untuk

menilai adanya metastase paru.

1. CT Scan Nasofaring, pada karsinoma nasofaring yang tumbuh secara

endofitik/submukosa dapat dideteksi dengan CT Scan. Pemeriksaan ini dapat

(18)

luas, dan juga dapat mendeteksi erosi basis kranii dan penjalaran perineural

melalui foramen ovale sebagai jalur utama perluasan ke intrakranial.

2. Magnetic Resonance Imaging, merupakan sarana pemeriksaan diagnostik

terbaru dengan menggunakan medan magnet dan gelombang radio untuk

menghasilkan gambar. Berbeda dengan CT Scan, MRI lebih baik dalam

memperlihatkan jaringan lunak nasofaring yang superfisial maupun profunda,

dan membedakan tumor dari jaringan lunak sekitarnya.

3. Bone Scintigraphy, jika dicurigai metastase ke tulang, selajutnya diikuti

dengan foto lokal pada tulang yang dicurigai pada bone scintigraph (Wei dan

Sham, 2005).

b. Pemeriksaan serologi

Adanya dugaan kuat virus Epstein Barr sebagai salah satu faktor yang

berperan dalam timbulnya karsinoma nasofaring menjadi dasar dari pemeriksaan

serologi ini. Antibodi terhadap VEB baik IgG dan IgA penderita karsinoma

nasofaring meningkat sampai 8-10 kali lebih tinggi dibandingkan penderita tumor

lain atau orang yang sehat (Notopuro et al, 2005). Titer imunoglobulin A (IgA)

terhadap virus Epstein Barr spesifik untuk kapsul virus (Viral capsis antigen/VCA)

dan antigen awal (early antigen/EA) tetapi tingkat spesifisitasnya kurang terutama

pada titer yang rendah, sedankan IgA VEB anti EA sangat spesifik untuk karsinoma

nasofaring tetapi kurang sensitif, dan titernya akan menurun mendekati normal pada

karsinoma nasofaring stadium lanjut. Titer yang tinggi dapat merupakan indikator

karsinoma nasofaring. Pemeriksaan ini juga berguna untuk tindak lanjut penderita

paska pengobatan untuk mengetahui kemungkinan residif (Ahmad, 2002).

c. Biopsi

Biopsi nasofaring mutlak dilakukan, tujuannya untuk konfirmasi dalam

menentukan subtipe histopatologi. Biopsi dapat dilakukan dengan 2 cara, yaitu dari

mulut dan dari hidung. Biopsi yang dilakukan melalui hidung disebut juga dengan

blind biopsy karena dilakukan tanpa melihat dengan jelas tumornya. Cunam biopsi

dimasukan ke dalam rongga hidung, lalu menyusuri konka media ke nasofaring,

(19)

Biopsi yang dilakukan melalui mulut dengan bantuan kateter nelaton yang

dimasukan melalu hidung dan ujung dari kateter berada dalam mulut ditarik keluar

lalu diklem bersama dengan ujung kateter yang berada di hidung sehingga palatum

molle tertarik ke atas. Setelah itu, dengan bantuan kaca laring kita lihat daerah

nasofaring. Biopsi dilakukan dengan melihat kaca terserbut atau dengan bantuan

nasofaringoskop yang dimasukan melalui hidung sehingga masa tumor dapat terlihat

dengan jelas. Biopsi tumor dapat dilakukan dengan anastesi topikal yaitu xylocain

10% (Roezin dan Adham,2007).

2.11 Penatalaksanaan

Penatalaksanaan karsinoma nasofaring terdiri dari beberapa bentuk yaitu:

radiasi, kemoterapi, pembedahan, atau kombinasinya. Karsinoma nasofaring tidak

dapat diangkat melalui pembedahan disebabkan oleh lokasinya secara anatomis

(berdekatan dengan basis tengkorak). Karena itu, radioterapi merupakan pilihan

pertama untuk penanganan karsinoma nasofaring. Namun, didapati bahwa sebanyak

30% pasien mempunyai metastasis jauh setelah dilakukan radioterapi definitive

primer (Huang et al, 2010).

1. Radioterapi

Radioterapi sebagai terapi standar karsinoma nasofaring sudah dimulai

sejak lama (sekitar tahun 1930-an). Hasil radioterapi untuk karsinoma nasofaring

stadium dini cukup baik dengan complete response sekitar 80-100% (Kentjono,

2003). Respon tumor terhadap radioterapi secara keseluruhan sebesar 25-65%. Selain

itu, paska radioterapi cukup sering dijumpai metastase jauh dan komplikasi akibat

lokasi tumor yang dekat dengan organ-organ dengan dosis radiasi terbatas seperti

batang otak, medulla spinalis, aksis hipofise-hipotalamus, lobus temporalis, mata,

telinga tengah dan telinga dalam, dan kelenjar parotis (Kentjono, 2003; Wei dan

Sham, 2005).

Penelitian di Cina melaporkan bahwa radioterapi kepala dan leher dapat

(20)

hipotiroidisme umumnya ditemukan setelah radioterapi kepala dan leher (Ma et al,

2013).

2. Kemoterapi

Alternatif lain untuk mengobati penderita karsinoma sel skuamosa kepala

dan leher yang secara lokal berstadium lanjut adalah kemoterapi induksi diikuti

dengan kemoradioterapi sebagai terapi radikal, terutama pada penderita dengan

respon yang baik terhadap kemoterapi induksi. Kombinasi kemoterapi bersamaan

radioterapi secara signifikan meningkatkan kelangsungan hidup pasien dengan

karsinoma nasofaring lokoregional (Blanchard et al, 2015).

Dari banyak laporan penelitian, ternyata kemoradioterapi konkuren

merupakan yang paling efektif dalam penanganan karsinoma nasofaring.

Dibandingkan dengan kemoterapi induksi yang diikuti dengan radioterapi,

kemoradioterapi konkomitan lebih disukai. Dosis obat kemoterapi yang paling

optimal hanya dapat dicapai dengan kemoterapi neoadjuvan (Wei dan Sham, 2005).

3. Pembedahan

a. Diseksi leher radikal

Hal ini dilakukan jika masih ada sisa kelenjar paska radiasi atau adanya

kekambuhan kelenjar, dengan syarat bahwa tumor primer sudah dinyatakan bersih.

Adanya fibrosis dan reaksi jaringan paska radiasi sering menjadi sulit untuk

memperkirakan perluasan penyakit pada kelenjar limfe servikal baik secara klinis

maupun radiologi (Wei, 2006).

b. Nasofaringektomi

Ketika tumor di nasofaring yang menetap atau berulang meluas ke dalam

rongga paranasofaringeal, atau terlalu besar untuk radiasi interna, maka pilihan

selanjutnya adalah operasi. Nasofaringektomi efektif dalam eradikasi

penyakit-penyakit terlokalisir.

Nasofaring dapat dicapai secara inferior dengan teknik transpalatal,

transmaksila, dan transservikal. Pendekatan-pendekatan ini berguna untuk

(21)

tumor menetap atau berulang dapat direseksi dengan batas yang jelas, maka hasilnya

cukup memuaskan (Wei, 2006).

4. Obat-obatan Sitostatika

Obat-obatan sitostatika dapat diberikan sebagai obat tunggal maupun

kombinasi. Obat tunggal pada umumnya dikombinasikan dengan radioterapi. Obat

yang dapat dipergunakan sebagai sitostatika tunggal adalah Bleocyne, Fluorouracyle,

methotrexate, metomycine C, Endoxan, dan Cisplastin. Obat ini memberikan efek

adiktif dan sinergistik dengan radiasi dan dapat diberikan pada permulaan seri

pemberian radiasi.

Obat kombinasi dapat diberikan sebagai pengobatan lanjutan setelah radiasi,

serta sangat penting pada pengobatan karsinoma yang mengalami kekambuhan.

Banyak kombinasi obat ganda yang dipakai antara lain kombinasi: ABUD

(Adriamycin, Bleomycin, Umblastin dan Decarbazine), BCMF (Bleomycin,

Cyclophosphamide, Methotrexat dan Fluoroacil), dan COMA (Cyclophosphamide,

Vincristine, Methotrexat, dan Adriamycin) (Guigay J et al, 2006).

5. Obat Antivirus

Acyclovir mampu menghambat sinteis DNA virus, sehingga obat antivirus ini

penting pada karsinoma nasofaring anaplastik yang merupakan VEB carrying tumor

dengan pemeriksaan DNA EBV positif (Guigay J et al, 2006).

2.12 Komplikasi

Toksisitas dari radioterapi mencakup xerostomia, fibrosis dari leher,

hipertiroidisme, trismus, kelainan gigi, serta hipoplasia struktur otot dan tulang yang

diradiasi. Gangguan pertumbuhan dapat terjadi akibat radioterapi terhadap kelenjar

hipofisis. Kehilangan pendengaran sensorineural mungkin dapat terjadi sejalan

dengan penggunaan obat cisplatin dan radioterapi. Toksisitas ginjal dapat terjadi

kepada pasien yang diberikan ciplastin. Bleomycin meningkatkan risiko menderita

fibrosis paru. Osteonekrosis dari mandibula merupakan komplikasi yang langka dari

(22)

2.13 Pencegahan

Salah satu pencegahan karsinoma nasofaring adalah dengan pemberian

vaksinasi. Juga penerangan tentang kebiasaan hidup yang salah, megubah cara

memasak dan pilihan makanan, dan menghindari berbagai faktor resiko yang ada.

Bisa juga dilakukan tes serologik IgA-anti VCA dan IgA-anti EA (Roezin dan

Adham, 2007).

2.14 Prognosis

Prognosis karsinoma nasofaring sebenarnya cukup baik pada stadium I.

Hanya saja pada stadium I biasanya tidak menujukkan gejala atau gangguan sehingga

kebanyakan pasien memeriksakan diri setelah sampai ke stadium yag lebih lajut,

dimana sudah menimbulkan gejala atau gangguan (biasanya benjolan di leher).

Angka harapan hidup penderita karsinoma nasofaring dalam jangka waktu 5 tahun

menurut AJCC Cancer Staging Manual edisi ke-7:

Tabel 2.1 Prognosis Pasien Karsinoma Nasofaring Stadium Angka Harapan Hidup

I 72%

II 64%

III 62%

Gambar

Gambar 2.1 Anatomi Nasofaring
Gambar 2.2 Skema Patofisiologi terjadinya Keganasan
Tabel 2.1 Prognosis Pasien Karsinoma Nasofaring

Referensi

Dokumen terkait

Himpunan Peraturan Gubernur Kepulauan Bangka Belitung Tahun 2016 1... Himpunan Peraturan Gubernur Kepulauan Bangka Belitung Tahun

Pada halaman beranda, terdapat slider yang berisi foto/video dari caleg yang berdampingan dengan tombol yang menuju halaman tentang caleg, visi dan misi, program kerja

Bahasa AYU sudah dapat digunakan sebagai bahasa pembelajaran yang cukup baik, karena telah mempunyai struktur yang sangat mendekati bahasa pemrograman sebenarnya Dalam tulisan

[r]

Untuk server dan klien yang menggunakan sistem operasi Windows maka akan mengeluarkan biaya yang tidak sedikit, namun dengan menggunakan sifat heterogen dalam jaringan tersebut,

[r]

Website toko ayiex furnitur ini juga dilengkapi dengan fasilitas pemesanan online, sehingga konsumen dapat mempersingkat waktu ketika

[r]