• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tanggungjawab Negara Terhadap Warga Negara Indonesia Yang Menjadi Korban Pembajakan Kapal Ditinjau dari Hukum Laut Internasional

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Tanggungjawab Negara Terhadap Warga Negara Indonesia Yang Menjadi Korban Pembajakan Kapal Ditinjau dari Hukum Laut Internasional"

Copied!
23
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Laut merupakan jalan raya yang menghubungkan seluruh pelosok dunia.

Melalui laut, Masyarakat dari berbagai negara mengadakan segala macam

pertukaran dari komoditi perdagangan sampai ilmu pengetahuan. Laut memegang

peranan yang sangat penting dalam dunia perdagangan internasional dan

merupakan jalur transportasi yang paling diminati untuk mengirimkan barang

yang bersifat lintas negara, seiring dengan perkembangan zaman serta

meningkatnya hubungan antar negara, maka semakin meningkat pula frekuensi

lalu lintas transportasi laut yang mengangkut manusia dan barang/kargo dari

berbagai negara. Dalam sejarah, laut terbukti telah mempunyai berbagai fungsi,

antara lain sebagai : 1) Sumber makanan bagi umat manusia; 2) Jalan raya

perdagangan; 3) Sarana untuk penaklukan; 4) Tempat pertempuran-pertempuran;

5) Tempat bersenang-senang; 6) Alat pemisah dan pemersatu bangsa.

Dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek), maka fungsi

laut bertambah lagi dengan ditemukannya bahan-bahan tambang dan galian yang

berharga di dasar laut dan usaha-usaha mengambil sumber daya alam.1

1

Prof. Didik Mohamad Sodik, “ Hukum Laut Internasional dan Pengaturannya di Indonesia” Bandung : retika ADITAMA, 2014, hal.1

Fungsi-fungsi laut tersebut telah dirasakan oleh umat manusia dan telah memberikan

dorongan terhadap penguasaan dan pemanfaatan laut oleh masing-masing negara

(2)

Lahirnya konsepsi hukum laut internasional tersebut tidak dapat

dilepaskan dari sejarah pertumbuhan hukum laut internasional yang mengenal

pertarungan antar dua konsepsi, yaitu :

a. Res Communis, yang menyatakan bahwa laut itu adalah milik bersama

masyarakat dunia, dan mereka itu tidak dapat diambil atau dimiliki oleh

masing-masing negara;

b. Res Nulius, yang menyatakan bahwa laut itu tidak ada yang memiliki, dan

karena itu dapat diambil dan dimiliki oleh masing-masing negara.2

Pertumbuhan dan perkembangan kedua doktrin tersebut diawali dengan

sejarah panjang mengenai penguasaan laut oleh Imperium Roma. Kenyataan

bahwa Imperium Roma menguasai tepi Lautan Tengah dan karenanya menguasai

seluruh Lautan Tengah secara mutlak. Dengan demikian menimbulkan suatu

keadaan dimana Lautan Tengah menjadi lautan yang bebas dari gangguan

bajak-bajak laut, sehingga semua orang dapat mempergunakan Lautan Tengah dengan

aman dan sejahtera. Pemikiran hukum bangsa romawi terhadap laut didasarkan

atas doktrin res communis omnium ( hak bersama seluruh umat manusia), yang

memandang penggunaan laut bebas atau terbuka bagi setiap orang. Asas inilah

yang menjadi dasar untuk kepentingan pelayaran internasional.

Menurut Teory Kaum Realis, keamanan merupakan nilai fundamental bagi

manusia yang harus dilindungi dan dijamin dengan cara apapun. Laut dapat

dikatakan aman apabila laut tersebut telah terbebas dari segala ancaman

kekerasan, termasuk ancaman penggunaan kekuatan bersenjata yang dapat

2

(3)

mengganggu dan membahayakan kapal-kapal yang berada dilaut. Banyak hal

yang dapat mengganggu keaman dari laut itu sendiri, baik dari negara itu sendiri

maupun dari negara lain yang biasa disebut transnational crimes ( kejahatan lintas

negara ).

Menurut United Nations Convention on Transnational Organized Crime,

kejahatan bisa disebut bersifat transnational jika :3

1. Dilakukan lebih dari satu negara,

2. Persiapan, perencanaan, pengarahan dan pengawasan dilakukan

dinegara lain,

3. Melibatkan Organized Criminal Group (Organisasi Kriminal) dimana

kejahatan dilakukan di lebih dari satu negara,

4. Berdampak serius pada negara lain.

Kejahatan transnasional merupakan fenomena sosial yang melibatkan

orang, tempat dan kelompok, yang juga dipengaruhi oleh berbagai sosial, budaya,

faktor ekonomi. Akibatnya, berbagai negara cenderung memiliki definisi

kejahatan transnasional yang sangat berbeda tergantung pada filosofi tertentu.

Menurut Martin dan Romano ;4

“Transnational crime may be defined as the behavior of ongoing

organizations that involves two or more nations, with such behavior being

defined as criminal by at least one of these nations”.”Kejahatan lintas

negara dapat didefinisikan sebagai perilaku organisasi yang sedang

3

Romli Atmasasmita. Pengantar Hukum Pidana Internasional, Bandung : PT.Eresco, 1995, Hal. 51

4

(4)

berlangsung yang melibatkan dua atau lebih negara dengan perilaku seperti

yang didefinisikan sebagai kriminal oleh setidaknya satu dari

negara-negara”.

Berdasarkan definisi yang telah disebutkan, dapat disimpulkan bahwa

kejahatan transnasional merupakan kejahatan lintas antar negara. Kejahatan ini

merupakan tipe kejahatan yang terencana terorganisir dan memerlukan persiapan

matang. Pelakunya tak hanya Nation-State (Negara) tapi juga indvidu dan

kelompok juga bisa berperan sebagai “sponsor” tak sekedar sebagi pelaku. Motif

dalam melakukan kejahatan ini juga cenderung luas, bukan hanya ekonomi atau

politik. Lebih jauh lagi bisa saja kejahatan ini dilakukan tanpa motif apapun. Satu

hal yang perlu digaris bawahi bahwa tipe kejahatan ini cenderung tidak

memandang ideologi, suku bangsa, atau agama dari pelakunya.

Transnational crime (Kejahatan Lintas Negara) itu sendiri seperti terorisme,

bajak laut, pencucian uang, perdagangan orang (human trafficking),

penyelundupan manusia (a people smuggling), perdagangan obat-obat terlarang

(drugs trafficking) dan perdaangan senjata ilegal.

Saat ini salah satu bentuk kejahatan transnational crime (kejahatan lintas

negara) yang paling menyita perhatian internasional adalah pembajakan atau bajak

laut. Kejahatan lintas negara ini sangat meresahkan dunia internasional, karena

sasaran dari kejahatan tersebut ialah kapal-kapal komersial dari berbagai negara

yang melintasi wilayah laut teritorial negara maupun dilaut lepas.

Pada tanggal 26 maret 2016 Kapal tunda Brahma 12 dan tongkang Anand

(5)

perairan Filipina. Penyanderaan dua kapal yang mengangkut 7000 ton batu bara

itu terjadi saat dalam perjalanan dari Sungai Puting, Kalimantan Selatan, menuju

Batangas, Filipina Selatan. Kapal tunda Brahma 12 telah dilepaskan dan sudah

berada di bawah penanganan Pemerintah Filipina. Sedangkan, kapal Anand

dengan 10 ABK WNI masih di bawah kendali kelompok teroris Abu Sayyaf di

wilayah Filipina. Pihak penyandera meminta tebusan 50 juta peso atau setara Rp

14 – 15 miliar dengan tenggat waktu 31 Maret 2016.5

Kelompok teroris maritim Abu Sayyaf juga dikenal sebagai Al Harakat Al

Islamiyya yang bermarkas di Mindanao Barat, Filipina Selatan. Kelompok ini

mendeklarasikan Mindanao Barat sebagai negara Islam Merdeka dan menentang

kesepakatan damai dengan Pemerintah Filipina di tahun 2012. Kelompok ini

memiliki sejarah panjang dalam aksi terorisme maritim. Diantaranya pengeboman

MV Doulos pada 1991 di Zamboanga City, peledakan kapal penumpang

Superferry 14 pada 2004 di Teluk Filipina, dan pada 6 Mei 2014 menculik

pengusaha peternakan ikan di P. Baik, Sabah. Pada 15 Mei 2015 dua orang juga

diculik dari resor di Sandakan, Sabah. Satu orang tewas terpenggal karena

negosiasi gagal dan lainnya dibebaskan. Di tahun 2016, selain membajak dan

menyandera ABK kapal Brahma 12, Anand 12, dan Massive 6, mereka juga

menculik turis Tiongkok dan pekerja Filipina dari resor di Semporna, Sabah.

Keduanya dibebaskan pasukan Malaysia dan Filipina. Dengan semakin ketatnya

tekanan militer Filipina, kelompok tersebut mulai mengalami kesulitan pendanaan

5

(6)

sehingga melakukan aksi penculikan dengan uang tebusan untuk mendanai

kegiatan mereka. 6

B. Rumusan Masalah

Terorisme maritim merupakan salah satu representasi dari bentuk

peperangan antara negara dengan aksi teror oleh aktor non-negara. Selain untuk

memenuhi kebutuhan pendanaan, adanya basis ideologi memberi kekuatan

perlawanan yang lebih militan daripada kelompok penculik yang tidak hanya

berbasis ekonomi semata. Aksi kelompok Abu Sayyaf menunjukkan bahwa

kelompok teroris mulai melihat laut sebagai peluang mengumpulkan dana bagi

perlawanan bersenjata mereka, sehingga persoalan keamanan laut sudah

selayaknya mendapat penanganan yang serius baik secara nasional maupun

internasional.

1. Bagaimanakah Pengaturan Hukum Laut Internasional Mengenai

Pembajakan Kapal di Laut ?

2. Bagaimanakah Penegakan Hukum Terhadap Pembajakan Kapal di Laut

Berdasarkan Hukum Internasional?

3. Bagaimanakah Pertanggungjawaban Negara Republik Indonesia Tehadap

Pembajakan Kapal Berbendera Indonesia dan Penyanderaan Warga Negara

Indonesia di Perairan Philipina ?

6

(7)

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan

Berdasarkan rumusan masalah diatas, tujuan yang ingin dicapai dalam

penulisan ini adalah sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui pengaturan Hukum Laut Internasional terkait Kejahatan

Pembajakan kapal di Laut.

2. Untuk mengetahui sejauh mana penegakan Hukum Internasional dalam

menangani dan mengurangi permasalahan pembajakan kapal yang selama

ini terjadi.

3. Untuk mengetahui Pertanggungjawaban Negara terhadap Warga Negara

yang menjadi korban pembajakan kapal yang terjadi di perairan philipina.

D.Keaslian Penulisan

Judul skripsi ini adalah “Tanggungjawab Negara Terhadap Warga Negara

Indonesia Yang Menjadi Korban Pembajakan Kapal Ditinjau Dari Hukum Laut

Internasional”. Skripsi ini ditulis berdasarkan ide, gagasan, serta pemikiran

Penulis dengan menggunakan berbagai referensi. Sehingga, bukan hasil dari

penggandaan karya tulis, skripsi, thesis, bahkan disertasi orang lain dan oleh

karena itu keaslian skripsi ini dapat dipertanggungjawabkan. Dalam proses

penulisan skripsi ini Penulis memperoleh data dari buku-buku, jurnal ilmiah dan

media elektronik. Jika ada kesamaan pendapat dan kutipan, hal itu semata-mata

digunakan sebagai referensi dan penunjang yang penulis perlukan demi

(8)

Demikian penulisan ini dapat dipertanggungjawabkan keasliaanya dan

belum pernah ada judul yang sama, mirip bahkan persis, demikian juga dengan

pembahasan yang diuraikan berdasarkan pemeriksaan oleh Perpustakaan Cabang

Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara / Pusat Dokumentasi dan Informasi

Hukum Fakultas Hukum USU tertanggal 20 April 2016.

E.Tinjauan Pustaka 1. Pengertian Negara

Negara merupakan suatu lembaga yaitu sistem yang mengatur hubungan

yang ditetapkan oleh manusia antara mereka sendiri sebagai suatu alat untuk

mencapai tujuan yang paling pokok yaitu suatu sistem ketertiban yang menaungi

manusia dalam melakukan kegiatan. Negara memiliki sifat territorial/

kewilayahan dan pemerintahan yang menjalankan kekuasaan dan pengawasan atas

orang-orang dan barang-barang dalam batas kewilayahannya.

Negara merupakan subjek hukum terpenting dibandingkan subjek hukum

internasional lainnya. Dalam hukum internasional, terdapat pengertian bahwa

suatu negara menempati daerah tertentu dari permukaan bumi, dimana negara

menjalankan yurisdiksinya dengan mengenyampingkan yurisdiksi negara lain,

akan tetapi selalu tunduk kepada hukum internasional.

2. Unsur-Unsur Negara

Pembentukan suatu negara yang merupakan subjek hukum internasional

memerlukan unsur-unsur konstitutif sebagai berikut.

(9)

Penduduk merupakan unsur pokok bagi pembentukan suatu negara.

Penduduk adalah kumpulan individu-individu yang terdiri dari dua jenis kelamin

tanpa memandang suku, bahasa, agama dan kebudayaan, yang hidup dalam suatu

negara melalui hubungan yuridis dan politik yang diwujudkan dalam bentuk

kewarganegaraan.

2) Wilayah tertentu

Wilayah suatu negara terdiri dari daratan, lautan dan udara diatasnya.

Konfrensi PBB III mengenai Hukum Laut telah mengelompokkan sebagian besar

negara di dunia atas tiga kelompok, yaitu kelompok negara pantai (the coastal

state group), negara yang tidak berpantai (the land-locked state group) dan

negara-negara yang secara geografis tidak menguntungkan (the geographically

disadvantaged state group) wilayah merupakan unsur mutlak bagi pembentukan

suatu negara

3) Pemerintahan

Yang dimaksud dengan pemerintahan biasanya adalah badan eksekutif

dalam suatu negara yang dibentuk melalui prosedur konstitusional untuk

menyelenggarakan kegiatan-kegiatan yang ditugaskan rakyat kepadanya. Dalam

hubungan antara pemerintah dan rakyat tersebut, hukum internasional

menghendaki bahwa pemerintah yang ada mempunyai kekuasaan yang efektif

ialah bahwa pemerintah tersebut mempunyai kapasitas nyata untuk melaksanakan

semua fungsi kenegaraan termasuk pemeliharaan keamanan dan tata tertib di

(10)

4) Kedaulatan

Kedaulatan yaitu kekuasaan tertinggi yang dimiliki oleh suatu negara untuk

secara bebas melakukan berbagai kegiatan sesuai kepentingannya yang tidak

bertentangan dengan hukum internasional. Kedaulatan juga mempunyai arti yang

sama dengan kemerdekaan. Kata merdeka lebih mengacu pada suatu negara yang

tidak lagi berada dibawah kekuasaan asing dan bebas untuk menentukan

kebijaksanaan dalam dan luar negerinya, sedangkan kata kedaulatan lebih

mengutamakan kekuasaan eksklusif yang dimiliki negara tersebut dalam

melaksanakan kebijaksanaannya.

3. Laut Sebagai Bagian Dari Wilayah Negara

a. Pengertian Laut

Laut adalah keseluruhan rangkaian air asin yang menggenangi permukaan

bumi. Laut menurut defenisi hukum adalah keseluruhan air laut yang

berhubungan secara bebas diseluruh permukaan bumi. Jadi, Laut Mati, Laut

Kaspia dan the Great Salt Lake yang terdapat di Amerika Serikat dari segi

hukum tidak dapat dikatan sebagai laut sebab laut- laut tersebut tertutup dan

tidak mempunyai hubungan dengan bagian bagian laut lainnya di dunia,

walaupun airnya asin dan menggenangi lebih dari satu negara pantai ( Laut

Kaspia).7

b. Laut dan Pengaturannya

Laut pada umumnya merupakan wilayah yang berbatasan dengan suatu

7

(11)

negara, sehingga seringkali kejahatan yang dilakukan di wilayah laut dapat

menimbulkan konflik yurisdiksi antara negara pantai. Oleh karena itu

kewenangan negara pantai dapat menerapkan yurisdiksi kriminal di wilayah

perairannya terhadap kejahatan-kejahatan. Khususnya yang dilakukan oleh

kapal asing harus memperhatikan ketentuan-ketentuan dalam hukum

internasional.

4. Laut Yang Tunduk Dibawah Kedaulatan Negara Pantai dan Negara Kepulauan

a. Perairan pedalaman

Perairan pedalaman (internal,national, atau interior waters) adalah perairan

yang berada pada sisi darat ( dalam) garis pangkal. Pada perairan pedalaman

ini, negara pantai memiliki kedaulatan penuh atasnya. Pada prinsipnya

negara-negara lain tidak dapat mengadakan atau menikmati hak lintas

(damai) di perairan ini. Namun, jika perairan pedalaman ini terbentuk

karena adanya penarikan garis pangkal lurus, maka hak lintas damai di

perairan tersebut dapat dinikmati oleh negara-negara lain. 7

b. Laut Teritorial

Laut teritorial adalah laut yang terletak di sisi luar garis pangkal yang tidak

lebih lebar 12 mil laut diukur dari garis pangkal. Negara pantai memiliki

kedaulatan penuh di perairan teritorial. Kedaulatan ini meliputi ruang udara

di atasnya serta dasar laut dan tanah di bawahnya (Pasal 2 Konvensi Hukum

(12)

sepenuhnya merupakan bagian wilayah suatu negara, sebagaimana halnya

dengan wilayah daratannya.8

c. Selat

Selat yang dimaksud disini adalah selat yang dipergunakan untuk pelayaran

internasional (straits used for international navigation). Hal ini diatur dalam

Pasal 34 sampai Pasal 35 Konvensi Hukum Laut 1982. Negara-negara yang

berada di tepi selat memiliki kedulatan (yurisdiksi) penuh diatasnya.

Ada dua kategori selat, yaitu selat-selat yang dipergunakan untuk pelayaran

internasional yang menghubungkan laut lepas atau ZEE lainnya (Pasal 37

KHL 1982), dalam kategori berikut ini berlaku hak lintas transit kapal-kapal

asing. Selanjutnya selat-selat yang menghubungkan laut lepas atau ZEE

dengan perairan teritorial suatu negara asing.

d. Zona Tambahan (Contiguous Zone)

Zona tambahan diatur pada Pasal 33 KHL 1982 yang menentukan sebagai

berikut: 9

1. Dalam suatu zona yang berbatasan dengan laut teritorialnya, negara

pantai dapat melaksanakan pengawasan untuk keperluan:

a. pencegahan pelanggaran terhadap peraturan bea cukai, fiskal,

keimigrasian atau sanitasi di dalam wilayah atau laut teritorialnya;

b. menjatuhkan hukuman/sanksi terhadap pelanggaran peraturan

tersebut di atas yang dilakukan di dalam wilayah atau laut

teritorialnya.

8

Pasal 2 Konvensi Hukum Laut 1982

9

(13)

2. Zona tambahan tidak boleh melebihi 24 mil laut dari garis pangkal yang

digunakan untuk mengukur lebar laut teritorial.

e. Zona Ekonomo Eksklusif (ZEE)

Pasal 55 UNCLOS 1982 mengenai rezim khusus ZEE, disebutkan

bahwa,”Zona Laut Ekonomi Eksklusif adalah suatu daerah di luar dan

berdampingan dengan laut teritorial yang tunduk pada rezim khusus yang

ditetapkan dalam bab ini berdasarkan nama hak-hak dan yurisdiksi negara

pantai dan hak-hak serta kebebasan kebebasan negara lain, diatur oleh

ketentuan-ketentuan yang relevan dengan konvensi ini” 10

Selanjutnya Pasal 57 menentukan bahwa,”Zona Ekonomi Eksklusif tidak

melebihi 200 mil laut dari garis pangkal yang digunakan untuk mengukur

lebar laut teritorial” 11

a) Hak berdaulat untuk keperluan eksplorasi dan eksploitasi, konservasi

dan pengelolaan sumberdaya kekayaan alam yang terdapat di

dalamnya;

Hak-hak negara pantai Dalam Zona Ekonomi EKsklusif adalah :

b) Negara pantai memiliki yurisdiksi yang berkenaan dengan pembuatan

dan pemakaian pulau buatan, instalasi dan bangunan, riset ilmiah

kelautan, perlindungan dan pelestarian lingkungan laut.

Hak-hak dan kewajiban negara lain pada Zona Ekonomi Eksklusif, diatur

dalam Pasal 58 KHL 1982, sebagai berikut:

10

Ibid., Pasal 55 Konvensi Hukum Laut 1982

11

(14)

a) Pada ZEE, semua negara baik negara pantai maupun bukan dapat

menikmati (dengan tunduk pada ketentuan yang relevan dengan konvensi

ini) kebebasan-kebebasan pelayaran dan penerbangan, serta kebebasan

meletakkan kabel dan pipa bawah laut yang disebut dalam pasal 87 dan

penggunaan laut lain yang sah menurut hukum internasional yang bertalian

dengan kebebasan-kebebasan ini, seperti penggunaan laut yang berkaitan

dengan pengoperasian kapal, pesawat udara, dan kabel serta pipa bawah

laut, dan sejalan dengan ketentuan-ketentuan lain konvensi ini;

b) Pasal 88 sampai dengan pasal 115 dan ketentuan hukum internasional lain

berlaku terhadap Zona Ekonomi Eksklusif sepanjang tidak bertentangan

dengan bab V Konvensi Hukum Laut 1982;

c) Dalam melaksanakan hak-hak dan memenuhi kewajibannya berdasarkan

konvensi ini pada Zona Ekonomi Eksklusif, negara-negara harus mentaati

peraturan perundang-undangan yang ditetapkan oleh negara pantai sesuai

dengan konvensi ini dan peraturan hukum internasional lainnya sepanjang

ketentuan tersebut tidak bertentangan dengan ketentuan bab V Konvensi

Hukum Laut 1982.

f. Landas Kontinen

Landas kontinen suatu negara pantai meliputi dasar laut dan tanah di

bawahnya dari daerah dibawah permukaan laut yang terletak di luar laut

teritorialnya sepanjang kelanjutan alamiah wilayah daratannya hingga

(15)

pangkal darimana lebar laut teritorial diukur, dalam hal pinggiran luar tepi

kontinen tidak mencapai jarak tersebut (Pasal 76 KHL 1982).12

1. Hak-hak negara pantai atas landas kontinen:

a. Negara pantai memiliki hak eksplorasi dan eksploitasi sumber kekayaan

alamnya (Pasal 77);

b. Negara pantai memiliki hak eksklusif untuk membangun pulau buatan

instalasi, dan bangunan di atas landas kontinen (Pasal 80);

c. Negara pantai memiliki hak eksklusif untuk mengizinkan dan mengatur

pemboran pada landas kontinen untuk segala keperluan (Pasal 81);

d. Hak negara pantai untuk eksploitasi tanah di bawah landas kontinen

dengan melakukan penggalian terowongan, tanpa memandang

kedalaman perairan di atas tanah dan di bawah landas kontinen tersebut

(Pasal 85);

e. Hak negara pantai atas landas kontinen tidak tergantung pada

pendudukan/okupasi (Pasal 77 ayat 3).

2. Hak negara lain atas landas kontinen dan persyaratan untuk pemasangan

kabel dan pipa bawah laut (Pasal 79 KHL 1982):

a. Semua negara memiliki hak untuk meletakkan kabel dan pipa bawah

laut pada landas kontinen;

b. Dengan tunduk pada haknya untuk mengambil tindakan yang patut

12

(16)

untuk mengeksplorasi landas kontinen, mengeksploitasi sumber

kekayaan alamnya dan untuk pencegahan, pengurangan dan

pengendalian pencemaran yang berasal dari pipa, negara pantai tidak

boleh menghalangi pemasangan atau pemeliharaan kabel atau pipa

demikian;

c. Penentuan arah jalannya pemasangan pipa laut tersebut harus mendapat

persetujuan dari negara pantai;

d. Negara pantai memiliki kewenangan untuk menetapkan persyaratan

bagi kabel atau pipa yang memasuki wilayah atau laut teritorialnya, dan

memiliki yurisdiksi atasnya;

e. Negara-negara yang memasang kabel dan pipa bawah laut harus

memperhatikan kabel dan pipa yang sudah ada dan tidak menimbulkan

kerugian bagi negara pantai atau negara lain.

5. Laut Yang Berada Di Luar Yurisdiksi Nasional

Bagian laut yang tidak termasuk dalam yurisdiksi suatu negara adalah laut

lepas (the High Sea). Pada mulanya, laut lepas berarti seluruh bagian laut yang

tidak termasuk pada perairan pedalaman dan laut teritorial dari suatu negara. Laut

lepas merupakan res nullius (semua negara dapat memanfaatkannya), kecuali

apabila terdapat aturan-aturan pengecualian dan batasan-batasan yang diterapkan

untuk kepentingan negara-negara. Doktrin laut bebas ini menandakan bahwa

(17)

penggunaan laut untuk keperluan lainnya.

Pada Pasal 86 Konvensi PBB tentang Hukum Laut menyatakan bahwa laut

lepas merupakan semua bagian dari laut yang tidak termasuk dalam zona ekonomi

eksklusif, laut teritorial atau perairan pedalaman suatu negara, atau perairan

kepulauan suatu negara kepulauan. Jadi sesuai dengan pengertian tersebut, laut

lepas terletak jauh dari pantai yaitu bagian luar dari Zona Ekonomi Eksklusif

(ZEE).

Selanjutnya Pasal 2 konvensi Jenewa tahun 1958 tentang laut lepas,

menyatakan bahwa laut lepas adalah terbuka untuk semua bangsa, tidak ada suatu

negara pun secara sah dapat melakukan pemasukan bagian dari padanya kebawah

kedaulatannya. Kebebasan di laut lepas dilaksanakan di bawah syarat-syarat yang

ditentukan oleh Pasal 2 dari konvensi dan aturan-aturan hukum internasional

lainnya, baik untuk negara pantai maupun bukan negara pantai, antara lain terdiri

dari:

a) kebebasan pelayaran;

b) kebebasan menangkap ikan;

c) kebebasan menempatkan kabel-kabel dan pipa bawah laut;

d) Kebebasan penerbangan di atas laut lepas.

Setiap kapal yang berlayar di laut lepas harus berlayar di bawah bendera

suatu negara. Bendera kebangsaan suatu kapal tidak boleh dirubah baik sewaktu

dalam pelayaran maupun ketika berada di suatu pelabuhan yang disinggahinya,

kecuali dalam kasus adanya perpindahan pemilikan kapal secara nyata atau

(18)

6. Piracy

Piracy adalah segala tindakan yang melawan hukum, penahanan atau

perampokan yang dilakukan untuk kepentingan pribadi oleh awak kapal atau

penumpang dari kapal terhadap kapal lain atau orang atau barang yang berada

diatas kapal tersebut yang terjadi di laut lepas di luar yurisdiksi dari negara

manapun.

Pasal 92 konvensi menyatakan bahwa, sebuah kapal yang berlayar di bawah

bendera dua negara atau lebih dan menggunakannya berdasarkan kemudahan,

tidak boleh menuntut salah satu kebangsaan itu terhadap negara lain manapun,

dan kapal demikian dianggap sebagai suatu kapal tanpa kebangsaan.

Mengenai status hukum kapal-kapal di laut lepas ini didasarkan atas prinsip

tunduknya kapal-kapal pada wewenang eksklusif negara bendera. Hal ini berarti

bahwa setiap kapal harus mempunyai kebangsaan suatu negara, yang merupakan

syarat agar kapal-kapal itu dapat memakai bendera tersebut. Untuk menentukan

status hukum kapal-kapal yang berlayar di laut, maka perlu dibedakan antara

kapal publik dan kapal swasta.

7. Armed Robbery

Armed robbery ( perampokan di laut ) adalah jenis pembajakan laut yang

terjadi di laut teritorial, perairan kepulauan atau perairan pedalaman. Pada armed

robbery tindakan terjadi di dalam yurisdiksi tunggal dari negara pantai yang

(19)

F. Metode Penelitian

1. Jenis dan Sifat Penelitian

Setiap ilmu pengetahuan memiliki metodenya sendiri,13termasuk ilmu

hukum, guna menganalisa permasalahan yang diangkat. Menurut Peter Mahmud

Marzuki, penelitian hukum adalah suatu proses untuk menemukan aturan hukum,

prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum guna menjawab isu hukum

yang dihadapi.14

Jenis penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah yuridis

normatif. Penelitian dengan metode yuridis normatif atau yang disebut juga

normative doctrinal adalah suatu penelitian yang menganalisis hukum yang

tertulis di dalam peraturan perundang-undangan maupun putusan hakim di

pengadilan.15

Penelitian ini merupakan penelitian yang bersifat deskriptif analitis, yaitu

metode penelitian yang menggambarkan semua data yang kemudian dianalisis dan Dalam penelitian ini pendekatan yuridis normatif digunakan untuk

meneliti norma-norma hukum yang mengatur tentang pembajakan kapal di laut,

baik di wilayah teritorial suatu negara maupun di lautan lepas.

13

H.J. van Eikema Hommes, De elementaire begrippen der Rechtswetenschap, Kluwer:

Deventer, 1972, Hlm. 1, dalam Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Jakarta: Kencana

Prenada Media Group, 2005, Hlm. 11.

14

Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Jakarta: Kencana Prenada Media Group,

2005, Hlm. 35.

15

Amiruddin, dkk. 2006. Pengantar Metode Penelitian. Jakarta: PT. Elexmedia. Hlm.

(20)

dibandingkan berdasarkan kenyataan yang sedang berlangsung dan selanjutnya

mencoba untuk memberikan pemecahan masalahnya.

2. Sumber Data

Sumber data yang diperoleh dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

a. Bahan hukum primer, yaitu semua bahan-bahan hukum yang mengikat

dan ditetapkan oleh pihak-pihak yang berwenang yang menjadi

landasan utama yang digunakan dalam penelitian ini. Dalam penelitian

ini bahan hukum primer yang digunakan berupa Undang-Undang,

Perjanjian Internasional, dan Konvensi Hukum Laut III Perserikatan

Bangsa-Bangsa(United Nations Convention on the Law of the Sea)

1982.

b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan-bahan hukum yang dapat

memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer, seperti

buku-buku, jurnal, makalah,majalah, artikel, internet dan lain-lain yang erat

kaitannya dengan objek penelitian.

c. Bahan hukum tertier, yaitu bahan-bahan hukum yang sifatnya

penunjang untuk dapat memberikan penjelasan terhadap bahan hukum

primer maupun sekunder, seperti kamus hukum, kamus bahasa,

ensiklopedia, dan lain-lain baik di bidang hukum maupun diluar bidang

(21)

3. Teknik Pengumpulan Data

Dalam penelitian ini pengumpulan data dilakukan melalui studi

kepustakaan (library research). Hal ini dilakukan dengan maksud untuk

mendapatkan landasan dalam menganalisis bahan hukum yang diperoleh dari

berbagai sumber yang dapat dipercaya, langsung maupun tidak langsung

(internet). Dengan demikian akan diperoleh suatu kesimpulan yang lebih terarah

dari pokok bahasan. Alat pengumpulan data yang digunakan dalam penulisan ini

adalah studi dokumen terkait dengan permasalahan yang dibahas dalam skripsi

ini.

4. Analisis Data

Data skripsi ini dianalisis secara kualitatif. Analisis data kualitatif adalah

proses kegiatan yang meliputi, mencatat, mengorganisasikan, mengelompokkan

dan mensintesiskan data selanjutnya, memaknai setiap kategori data, menemukan

dan mencari pola, hubungan-hubungan, dan memaparkan temuan-temuan dalam

bentuk deskripsi naratif yang bisa dimengerti dan dipahami oleh orang lain.

Metode ini menggunakan data yang terbentuk atas suatu penelitian atau ukuran

secara tidak langsung dengan kata lain yaitu kesimpulan yang dituangkan dalam

bentuk pernyataan dan tulisan.

G.Sistematika Penulisan

Untuk memudahkan penulisan dan pemahaman isi skripsi ini, maka penulis

(22)

yang disusun secara bertahap, yaitu bab demi bab. Namun secara menyeluruh

merupakan suatu kesatuan yang berkesinambungan.

Ada pun sistematika dari penulisan skripsi ini disusun dalam bab per bab

yang terdiri dari :

BAB I : PENDAHULUAN

Bab ini menguraikan tentang gambaran umum sebagai

pendahuluan untuk pembahasan dalam bab-bab berikutnya.

Dalam bab ini diuraikan tentang latar belakang permasalahan

yang diangkat, perumusan masalah, tujuan pembahasan, keaslian

penulisan, tinjauan kepustakaan, metode penulisan serta

sistematika penulisan.

BAB II : ATURAN-ATURAN HUKUM INTERNASIONAL TENTANG

PEMBAJAKAN

Bab ini membahas tentang sejarah pembajakan secara umum,

perbedaan pembajakan dan perompakan, serta pengaturan hukum

internasional dan nasional dalam hal pembajakan di lautan.

BAB III : PENEGAKAN HUKUM PEMBAJAKAN DI LAUT BERDASARKAN HUKUM INTERNASIONAL

Bab ini menguraikan tentang kedaulatan negara dan kewenangan

negara pantai terhadap tindakan pembajakan di laut melaui

(23)

yurisdiksi mahkamah pidana internasional dalam menangani

pembajakan di lautan.

BAB IV : TANGGUNGJAWAB INDONESIA TERHADAP WNI YANG

MENJADI KORBAN PEMBAJAKAN

Bab ini membahas tentang hubungan antara negara dan warga

negara, tanggungjawab negara terhadap warga negaranya di

negara asing serta upaya indonesia untuk melindungi warga

negaranya dari tindakan pembajakan di laut.

BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN

Bab ini menguraikan tentang kesimpulan yang penulis dapatkan

dari keseluruhan pembahasan yang ada, kemudian dari

kesimpulan tersebut penulis juga memberikan beberapa saran

yang penulis harap dapat berguna bagi penyelesaian

Referensi

Dokumen terkait

Pendidikan Nasional abad XXI ber tujuan untuk mewujudkan cita- cita bangsa, yaitu masyarakat bangsa Indonesia yang sejahtera dan bahagia, dengan kedudukan yang terhormat dan

ANGGOTA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA PEMILIHAN UMUM TAHUN 2014.. PARTAI

dengan adanya surat dari Menteri Pendidikan dan Kebudayaan kepada BSNP yang meminta untuk menyusun standar tersebut, maka Badan yang dimaksud adalah BSNP.. Menurut Illah

Memahami berbagai teori belajar dan prinsip-prinsip pembelajaran yang mendidik yang terkait dengan mata pelajaran akuntansi. Memahami teori belajar dan prinsip pembelajaran yang

Pihak Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan yang telah memberi izin penelitian kepada penulis untuk melakukan penelitian di rumah sakit tersebut... Seluruh staf pengajar dan

Dari ketiga identifikasi masalah tersebut, maka tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan evaluasi laporan keuangan terkait dengan tanggung jawab sosial yaitu

Mengacu kepada pendapat Mulyadi (2004: 455), pengertian penerimaan kas adalah kas yang diterima perusahaan, baik yang berupa uang tunai maupun surat-surat berharga yang mempunyai

Tinjauan Fiqih Muamalah Terhadap Praktek Muzaroah di Desa Sambera Kecamatan Marang Kayu Kabupaten Kutai Kartanegara. Telah Disetujui