• Tidak ada hasil yang ditemukan

TAP.COM - KARAKTERISTIK SOSIS IKAN KURISI - IPB REPOSITORY

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "TAP.COM - KARAKTERISTIK SOSIS IKAN KURISI - IPB REPOSITORY"

Copied!
103
0
0

Teks penuh

(1)

KARAKTERISTIK SOSIS IKAN KURISI

(

Nemipterus nematophorus

) DENGAN PENAMBAHAN ISOLAT

PROTEIN KEDELAI DAN KARAGENAN PADA

PENYIMPANAN SUHU

CHILLING

DAN

FREEZING

Oleh :

Setyo Agus Widodo

C34103049

PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL PERIKANAN

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

(2)

RINGKASAN

SETYO AGUS WIDODO. Karakteristik Sosis Ikan Kurisi (Nemipterus nematophorus) dengan Penambahan Isolat Protein Kedelai dan

Karagenan pada Penyimpanan Suhu Chilling dan Freezing. Dibimbing oleh Anna C. Erungan dan Ella Salamah.

Ikan kurisi merupakan salah satu ikan hasil tangkap samping yang belum banyak dimanfaatkan oleh masyarakat. Rendahnya tingkat konsumsi masyarakat Indonesia diantaranya disebabkan oleh kurangnya pengetahuan proses pengolahan pasca panen. Sosis ikan merupakan salah satu jenis produk yang dapat dikembangkan. Sosis yang banyak dikenal oleh masyarakat adalah sosis dengan bahan baku daging atau ayam, sedangkan sosis dengan bahan baku ikan belum banyak dikenal. Penelitian ini bertujuan untuk mengupayakan pengembangan diversifikasi produk olahan perikanan menjadi produk olahan berupa sosis ikan serta untuk mengetahui karakteristik sosis ikan kurisi dengan kombinasi penambahan isolat protein kedelai dan karagenan.

Penelitian dilakukan dalam dua tahap, tahap pertama untuk mengetahui sosis dengan tekstur terbaik. Sosis terpilih kemudian digunakan dalam penelitian tahap kedua, yaitu penyimpanan pada suhu chilling dan freezing.

Hasil analisis sensori pada parameter warna, penampakan, aroma dan rasa menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata. Pada parameter tekstur, nilai tertinggi pada perlakuan penambahan isolat protein kedelai dan karagenan sebesar 1%. Hasil analisis kekuatan gel diperoleh nilai terbesar pada perlakuan penambahan isolat protein kedelai 0,5% dan karagenan 1% yaitu sebesar 673,75 g/cm2. Hasil analisis kekerasan diperoleh nilai terbesar pada perlakuan penambahan isolat protein kedelai dan karagenan 1% yaitu sebesar 986,13 g/cm2. Hasil analisis elastisitas diperoleh nilai terbesar pada sosis komersil sebesar 95,30 g/cm2. Nilai tertinggi analisis stabilitas emulsi terdapat pada sosis komersil, yaitu 90,34%. Nilai kadar air terbesar pada perlakuan isolat protein kedelai 0% dan karagenan 0,5% sebesar 63,33%. Nilai kadar abu tertinggi terdapat pada perlakuan tanpa penambahan isolat protein kedelai dan karagenan sebesar 2,65%. Nilai analisis protein tertinggi terdapat pada perlakuan tanpa penambahan isolat protein kedelai dan karagenan yaitu 14,995%. Nilai analisis lemak tertinggi terdapat pada perlakuan penambahan isolat protein kedelai sebesar 0% dan karagenan 1% yaitu 0,78%. Nilai perhitungan kadar karbohidrat tertinggi pada perlakuan penambahan isolat protein kedelai sebesar 0,5% dan karagenan 1% sebesar 21,93%. Nilai pH sosis selama penyimpanan terjadi penurunan setiap minggunya. Jumlah mikroorganisme yang terdapat pada sampel menunjukkan peningkatan tiap minggunya, baik pada penyimpanan chilling maupun freezing.

(3)

KARAKTERISTIK SOSIS IKAN KURISI

(

Nemipterus nematophorus

) DENGAN PENAMBAHAN ISOLAT

PROTEIN KEDELAI DAN KARAGENAN PADA

PENYIMPANAN SUHU

CHILLING

DAN

FREEZING

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan

Institut Pertanian Bogor

Oleh:

Setyo Agus Widodo C34103049

PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL PERIKANAN

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

(4)

Judul : KARAKTERISTIK SOSIS IKAN KURISI (Nemipterus nematophorus) DENGAN PENAMBAHAN ISOLAT PROTEIN KEDELAI DAN KARAGENAN PADA PENYIMPANAN SUHU CHILLING DAN FREEZING

Nama : Setyo Agus Widodo NRP : C34103049

Menyetujui,

Pembimbing I Pembimbing II

Ir. Anna C. Erungan, MS Dra. Ella Salamah, M.Si

NIP: 131 601 219 NIP:131 788 597

Mengetahui,

Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan

Dr. Ir. Indra Jaya, M.Sc NIP. 131 578 799

(5)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa Skripsi dengan Judul “Karakteristik Sosis Ikan Kurisi (Nemipterus nematophorus) dengan Penambahan Isolat Protein Kedelai dan Karagenan pada Penyimpanan Suhu Chilling dan

Freezing adalah karya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir Skripsi.

Bogor, Februari 2008

Setyo Agus Widodo

(6)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Purworejo pada tanggal 06 Agustus 1985. Penulis merupakan anak ke empat dari lima bersaudara dari pasangan Bapak Suranto dan Ibu Sri Mulyati. Pendidikan formal dimulai dari TK Mardisiwi II pada tahun ajaran 1990-1991 dilanjutkan dengan pendidikan Sekolah Dasar di SD Negeri Sindurjan I pada tahun 1991-1997. Pada tahun 1997 penulis melanjutkan sekolah ke SLTP Negeri I Purworejo sampai tahun 2000. Setelah lulus SLTP penulis melanjutkan pendidikan di SMU N 3 Purworejo dan lulus tahun 2003.

Pada tahun 2003, penulis diterima sebagai mahasiswa di Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut

Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Masuk IPB (USMI). Selama menjadi mahasiswa, penulis turut aktif pada berbagai organisasi kemahasiswaan di IPB maupun diluar IPB, diantarnya Himpunan Mahasiswa Teknologi Hasil Perikanan (HIMASILKAN), Fisheries Processing Club (FPC) Organisasi Kedaerahan Mahasiswa Purworejo (GAMAPURI), dan fgW Student Forum. Penulis juga aktif berpartisipasi dalam berbagai kegiatan, antara lain kepanitian Orientasi Mahasiswa Departemen Teknologi Hasil Perairan sebagai anggota bidang keamanan, kepanitiaan Field trip Ekologi Perairan sebagai Koordinator Lapangan untuk jurusan THP, Kepanitiaan Field trip Biologi Laut sebagai Koordinator Lapangan untuk jurusan THP, Kepanitiaan Olimpiade Mahasiswa IPB, dan berbagai kepanitiaan lain. Penulis juga pernah menjadi asisten mata kuliah Rekayasa Industri Hasil Perikanan (tahun 2004-2005), asisten mata kuliah Teknologi Refrigerasi Hasil Perikanan (tahun 2006-2007), serta asisten Teknologi Proses Thermal Hasil Perikanan (tahun 2006-2007).

(7)

KATA PENGANTAR

Segala Puji bagi Allah SWT, yang telah memberikan rahmat serta hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Karakteristik Sosis Ikan Kurisi (Nemipterus nematophorus) dengan Penambahan Isolat Protein Kedelai dan Karagenan pada Penyimpanan Suhu Chilling dan Freezing”. Penulisan Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.

Dengan segala keikhlasan hati, penulis mengucapkan terima kasih kepada: 1. Ibu Ir. Anna C. Erungan, MS dan Ibu Dra. Ella Salamah, M.Si selaku dosen

pembimbing yang telah banyak memberikan bimbingan, arahan, dan masukan

dalam menyelesaikan skripsi ini.

2. Bapak Dr. Ir. Bustami Ibrahim, M.Sc dan Ibu Dr. Ir. Sri Purwaningsih, M.Si selaku dosen penguji yang telah memberikan bimbingan, arahan, dan masukan dalam menyelesaikan skripsi ini.

3. DIKTI dalam program SP4 yang telah memberikan dukungan materiil kepada penulis dalam menyelesaikan penelitian.

4. Keluargaku tercinta, Ayahanda Suranto B.E, Ibunda Sri Mulyati B.E, kakak-kakakku Setyo Haryadi Suranto Putro, Setyo Prihandono, Endah Rahayu Setianingrum, serta adikku Setyo Budi Laksono yang telah memberikan dorongan baik berupa doa, motivasi, dan materi yang tak terhingga kepada penulis. Kalian adalah hal terbaik dalam hidupku.

5. Pimpinan PT. Markaindo Selaras dan juga Bapak Diding Darojat, atas segala bantuan yang diberikan sehingga penelitian dapat berjalan dengan lancar. 6. Bu Ema, Bu Rubiyah, Pa Sobirin, Bu Yati, dan Kiki yang telah membantu

penulis selama penelitian.

7. Terry Ayu Adrianny yang selalu ada disampingku dan mendukungku dalam suka maupun dukaku, berat maupun ringanku, dan kuat maupun lemahku. Semoga kebersamaan kita tidak akan lekang dimakan waktu.

(8)

bantuan yang telah diberikan, kakak-kakaku THP ’39 (Mas Dwi Santoso, Mas Joko), serta adik-adikku THP ‘41 dan THP ’42 atas persahabatan, motivasi, dan bantuan yang diberikan selama penulis mengerjakan penelitian dan penulisan skripsi ini.

9. Yacob JS, Budi P, Dumadi S dan Oki D atas persahabatan yang indah. Semoga persahabatan kita tidak akan pernah hilang.

10.Sahabat sekaligus saudaraku C3 291, Sinung, Sofyan, Venta yang menjadi keluarga pertamaku saat mengawali Studi di IPB.

11.Warga Wisma Persia, Swardi Sitio, Permana Giri, Norman S, Syamsul, Agung S. Mukti, N-pe, Suyadi, Anton, Tito, teman-teman satu angkatan GAMAPURI, dan keluarga besar GAMAPURI yang selalu ada untuk penulis. 12.Semua pihak yang terlibat dalam pengerjaan penelitian dan penulisan skripsi

yang tidak dapat disebutkan satu-persatu.

Penulis sadar bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna, akan tetapi penulis berharap skripsi ini dapat memberikan manfaat kepada pihak yang memerlukan. Amin.

Bogor, Februari 2008

(9)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL... x

DAFTAR GAMBAR... xi

DAFTAR LAMPIRAN... xii

1. PENDAHULUAN... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Tujuan ... 3

2. TINJAUAN PUSTAKA... 5

2.1 Deskripsi Ikan Kurisi (Nemipterus nematophorus) ... 5

2.2 Sosis ... 6

2.2.1 Klasifikasi sosis ... 6

2.2.2 Emulsi... 7

2.2.3 Bahan pengikat dan bahan pengisi ... 9

2.2.4 Tapioka ... 10

2.2.5 Susu skim... 11

2.2.6 Isolat protein kedelai ... 11

2.2.7 Karagenan... 12

2.2.8 Bahan tambahan atau bahan pembantu ... 14

2.2.9 Selongsong ... 16

2.2.10 Pembuatan sosis... 16

2.2.11 Komposisi kimia sosis ... 18

2.3 Penyimpanan ... 19

2.3.1 Penyimpanan suhu chilling... 20

2.3.2 Penyimpanan suhu beku (Freezing) ... 22

3. METODOLOGI... 23

3.1 Waktu dan Tempat ... 23

3.2 Alat dan Bahan... 23

3.3 Tahapan Penelitian ... 23

3.4. Prosedur Penelitian... 24

3.5 Prosedur Analisis ... 27

3.5.1 Uji sensori ... 27

3.5.2 Analisis sifat fisik ... 27

3.5.1.1 Uji lipat (Nasran dan Tambunan 1974 dalam Purwandari 1999) ... 27

3.5.1.2 Uji gigit (Istihastuti et al. 1998)... 27

(10)

3.5.1.4 Kekerasan (Ranggana 1986) ... 28

3.5.1.5 Elastisitas (Ranggana 1986)... 28

3.5.1.6 Stabilitas emulsi (AOAC 1995) ... 28

3.5.3 Analisis sifat kimia ... 29

3.5.3.1 Analisis pH ... 29

3.5.3.2 Analisis kadar air (AOAC 1995)... 29

3.5.3.3 Anaisis kadar abu (AOAC 1995) ... 30

3.5.3.4 Kadar protein (AOAC 1995)... 30

3.5.3.5 Kadar lemak (AOAC 1995) ... 30

3.5.3.6 Kadar karbohidrat (Winarno 1997) ... 31

3.5.4 Analisis mikrobiologi (Fardiaz 1987)... 31

3.6 Rancangan Percobaan ... 32

4. HASIL DAN PEMBAHASAN... 35

4.1 Karakteristik Sosis ... 35

4.1.1 Mutu Sensori ... 35

4.1.2 Sifat Fisik ... 41

4.1.2.1 Uji lipat... 41

4.1.2.2 Uji gigit ... 42

4.1.2.3 Kekuatan gel... 43

4.1.2.4 Kekerasan ... 44

4.1.2.5 Elastisitas... 46

4.1.2.6 Stabilitas emulsi ... 47

4.1.3 Sifat Kimia... 48

4.1.3.1 Nilai pH (sebelum penyimpanan)... 48

4.1.3.2 Kadar air ... 49

4.1.3.3 Kadar abu... 51

4.1.3.4 Kadar protein ... 52

4.1.3.5 Kadar lemak... 53

4.1.3.6 Kadar karbohidrat ... 54

4.2 Karakteristik Sosis Selama Penyimpanan ... 55

4.2.1 Nilai pH (setelah penyimpanan) ... 56

4.2.2 Total Mikroba (Total Plate Count atau TPC)... 57

5. KESIMPULAN DAN SARAN... 60

5.1 Kesimpulan ... 60

5.2 Saran... 60

DAFTAR PUSTAKA... 61

(11)

DAFTAR TABEL

Halaman

1. Komposisi ikan kurisi (Nemipterus nematophorus) ... 5

2. Komposisi kimia bahan pengikat dan bahan pengisi ... 10

3. Analisis kandungan gizi susu skim per 100 g bahan ... 11

4. Standar mutu karagenan... 12

(12)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1. Ikan kurisi (Nemipterus nematophorus)... 5

2. Pengaruh suhu terhadap fase lag pada pertumbuhan bakteri ... 21

3. Diagram alir pembuatan sosis ikan (Modifikasi ASEAN – CANADA Project 1995) ... 25

4. Diagram penelitian tahap I dan tahap II pembuatan sosis ikan kurisi... 26

5. Histogram nilai rata-rata uji sensori warna ... 36

6. Histogram nilai rata-rata uji sensori penampakan... 37

7. Histogram nilai rata-rata uji sensori tekstur ... 38

8. Histogram nilai rata-rata uji sensori aroma... 39

9. Histogram nilai rata-rata uji sensori rasa ... 40

10 Histogram nilai rata-rata uji lipat ... 41

11 Histogram nilai rata-rata uji gigit... 42

12 Histogram nilai rata-rata kekuatan gel ... 43

13 Histogram nilai rata-rata kekerasan ... 45

14 Histogram nilai rata-rata elastisitas... 46

15 Histogram nilai rata-rata stabilitas emulsi... 47

16 Histogran rata-rata nilai pH sosis sebelum penyimpanan ... 49

17 Histogram nilai rata-rata kadar air ... 50

18 Histogram nilai rata-rata kadar abu... 51

19 Histogram nilai rata-rata kadar protein ... 52

20. Histogram nilai rata-rata kadar lemak... 54

21. Histogram nilai rata-rata kadar karbohidrat ... 55

22. Nilai pH sosis ikan kurisi selama penyimpanan ... 56

(13)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman 1. Tabel scoresheet uji organoleptik skala hedonik sosis ikan kurisi

(Nemipterus nematophorus) ... 64

2. Tabel scoresheet uji lipat sosis ikan kurisi (Nemipterus nematophorus) ... 65

3. Tabel scoresheet uji gigit sosis ikan kurisi (Nemipterus nematophorus)... 66

4. Rekapitulasi dan hasil uji organoleptik skala hedonik pada parameter aroma ... 67

5. Rekapitulasi dan hasil uji organoleptik skala hedonik pada parameter rasa.. 68

6. Rekapitulasi dan hasil uji organoleptik skala hedonik pada parameter warna... 69

7. Rekapitulasi dan hasil uji organoleptik skala hedonik pada parameter tekstur ... 70

8. Rekapitulasi dan hasil uji organoleptik skala hedonik pada parameter penampakan ... 71

9. Rekapitulasi data hasil uji lipat ... 72

10. Rekapitulasi data hasil uji gigit ... 73

11. Analisis ragam analisis sensori skala hedonik ... 76

12. Uji lanjut Tukey analisis sensori parameter tekstur ... 76

13. Analisis ragam uji lipat dan gigit ... 76

14. Uji lanjut Tukey parameter uji lipat ... 77

15. Uji lanjut Tukey parameter uji gigit... 77

16. Analisis statistik uji kekuatan gel... 78

17. Uji lanjut Tukey kekuatan gel sosis ikan kurisi ... 78

18. Analisis statistik uji kekerasan ... 76

19. Uji lanjut Tukey kekerasan sosis ikan kurisi... 79

20. Analisis statistik uji elastisitas ... 79

21. Analisis statistik uji stabilitas emulsi ... 78

22. Uji lanjut Tukey stabilitas emulsi sosis ikan kurisi... 80

23. Rekapitulasi data rata-rata hasil uji proksimat ... 81

24. Analisis statistik uji kadar air... 81

(14)

26. Analisis statistik uji kadar abu ... 82

27. Uji lanjut Tukey kadar abu sosis ikan kurisi... 82

28. Analisis statistik uji kadar protein... 82

29. Uji lanjut Tukey kadar protein sosis ikan kurisi ... 83

30. Analisis statistik uji kadar lemak ... 83

31. Analisis statistik uji kadar karbohidrat... 83

32. Rekapitulasi nilai pH sebelum penyimpanan... 84

33. Rekapitulasi nilai pH sebelum penyimpanan... 84

34. Rekapitulasi uji TPC untuk penyimpanan sosis... 84

35. Daya simpan sosis ikan pada suhu chilling dan freezing... 85

25. Alat-alat yang digunakan ... 86

(15)

1. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Ikan hasil tangkap samping merupakan ikan yang tertangkap dalam suatu operasi penangkapan ikan tertentu yang sebenarnya tidak ditujukan untuk menangkap ikan tersebut. Jenis ikan yang ikut tertangkap pada umumnya kurang memiliki nilai ekonomis, sehingga para nelayan sering tidak membawa ikan hasil tangkap samping tersebut ke pelabuhan. Masalah yang menyebabkan rendahnya nilai ekonomis ikan tersebut adalah bentuk dan ukuran yang kurang menarik, dan secara tradisional ikan tersebut tidak banyak dimanfaatkan oleh masyarakat (Moeljanto 1994). Beberapa spesies yang merupakan hasil tangkap ikutan atau hasil tangkap samping berukuran kecil yang dapat ditingkatkan pemanfaatannya adalah ikan kurisi, sangeh, selanget, selar kuning, senangi dan spesies ikan lainnya (Naamin dan Sumiono 1983).

Pengukuran kesejahteraan masyarakat salah satunya dapat melalui tingkat konsumsi energi dan protein. Menurut Soedjana, Rusastra, dan Sudaryanto (1998), pemerintah berupaya meningkatkan konsumsi protein hewani dengan meningkatkan konsumsi ikan pada masyarakat melalui penerbitan pedoman

umum Gerakan Makan Ikan sebagai sumber protein hewani (Gema Insani). Pedoman umum ini diterbitkan berdasarkan keputusan Direktorat Jendral Perikanan No. IK.310/DI.3310/1997. Tujuan gerakan Gema Insani ini adalah untuk meningkatkan kualitas sumberdaya manusia sebagai pelaksaan pembangunan. Salah satu programnya adalah dengan adanya diversifikasi pangan dan gizi melalui ketersediaan pangan dan gizi yang berasal dari ikan.

(16)

Indonesia meningkat. Pengolahan ikan merupakan salah satu cara untuk menyelamatkan hasil panen yang disertai dengan usaha peningkatan penerimaan konsumen melalui rasa, aroma, dan penampakan produknya. Kegiatan diversifikasi dapat digunakan sebagai salah satu alternatif pemanfaatan hasil perikanan agar mempunyai nilai ekonomis yang lebih tinggi, selain itu bertujuan untuk memperpanjang daya simpannya.

Salah satu upaya diversifikasi pada olahan ikan adalah dengan pembuatan sosis ikan. Sosis yang banyak beredar dipasaran saat ini adalah sosis sapi dan sosis ayam, sedangkan pemanfaatan ikan sebagai bahan baku pembuatan sosis masih belum dikembangkan oleh masyarakat. Padahal protein yang terkandung dalam daging ikan sangat tinggi mutunya dan murah harganya. Disamping itu kandungan gizi ikan yang rendah kolesterol (mempunyai EPA dan DHA yang tinggi). Lebih lanjut, tingkat konsumsi masyarakat secara umum sekarang ini telah berubah dari konsumsi red meat seperti daging sapi dan kambing, menjadi konsumsi white meat seperti daging ikan. Hal ini terkait dengan isu-isu kesehatan dalam konsumsi daging sapi dan ayam, seperti kasus flu burung pada unggas, sapi gila (mad cow) pada sapi yang dapat membahayakan kesehatan jika dikonsumsi oleh manusia, sehingga potensi berkembangnya produk sosis yang terbuat dari bahan dasar ikan akan tinggi.

Komponen penyusun dalam pembuatan sosis diantaranya adalah emulsifier (bahan pengemulsi) dan bahan pengikat (Binder). Sosis yang dijual dipasaran, pada umumnya menggunakan bahan pengikat berupa sodium tripolifosfat yang merupakan salah satu jenis bahan tambahan makanan yang terbuat dari bahan kimia sintetik. Seperti yang telah diketahui bersama, apabila bahan kimia dikonsumsi secara terus menerus, maka akan dapat menimbulkan efek yang kurang baik bagi kesehatan, diantaranya adalah dapat menyebabkan timbulnya penyakit degenerati seperti kanker, sehingga diperlukan suatu bahan yang dapat menggantikan fungsi dari sodium tripolifosfat tersebut.

(17)

kasein, dengan harga yang lebih murah, tetapi memiliki fungsi yang sama sebagai bahan pengemulsi, sehingga sosis dapat dinikmati tidak hanya oleh orang dari kalangan menengah ke atas saja, tetapi juga dari kalangan menengan ke bawah.

Banyak sekali bahan yang dapat digunakan sebagai bahan pengemulsi dan bahan pengikat, diantaranya adalah isolated soy protein (isolat protein kedelai) dan tepung karagenan. Isolat protein kedelai didesain untuk dapat menggantikan sebagian protein larut garam pada daging, mengikat air dan minyak, menstabilkan emulsi, dan membantu mempertahankan struktur pada produk olahan daging.

Karagenan dapat diaplikasikan pada berbagai produk, sebagai pembentuk gel atau penstabil, pensuspensi, pembentuk tekstur emulsi, terutama pada produk-produk jelly, permen, sirup, dodol, nugget, produk susu, bahkan untuk industri kosmetik, tekstil, cat, obat-obatan, dan pakan ternak.

Suatu bahan pangan pada umumnya mudah mengalami kerusakan. Kerusakan bahan makanan diantaranya disebabkan oleh bakteri-bakteri pembusuk yang membuat makanan menjadi tidak layak untuk dikonsumsi. Untuk menjaga agar makanan tetap aman untuk dikonsumsi, maka harus disimpan pada kondisi dimana bakteri tersebut tidak dapat tumbuh. Metode penyimpanan yang dapat dilakukan adalah dengan pendinginan (chilling) dan pembekuan (freezing), karena pada kondisi tersebut, aktivitas pembusukan bakteri akan dapat dihambat.

1.2 Tujuan

Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengupayakan pengembangan diversifikasi produk olahan perikanan, khususnya ikan kurisi, menjadi produk olahan berupa sosis ikan, selain itu juga untuk mengganti bahan-bahan kimia yang biasa digunakan dalam pembuatan sosis yang dapat menimbulkan efek negatif terhadap kesehatan, dengan bahan-bahan alami yang lebih aman bagi kesehatan. Tujuan khusus dari penelitian ini adalah:

1) Mengetahui karakteristik fisik sosis ikan kurisi diantaranya stabilitas emulsi, kekuatan gel, elastisitas, dan kekerasan.

(18)

Hipotesis

Ho : Penambahan isolat protein kedelai dan karagenan tidak memberikan pengaruh terhadap sifat sensori dari sosis yang dihasilkan.

H1 : Penambahan isolat protein kedelai dan karagenan memberikan pengaruh terhadap sifat sensori dari sosis yang dihasilkan.

Ho’ : Penambahan isolat protein kedelai dan karagenan tidak memberikan pengaruh terhadap sifat fisik dari sosis yang dihasilkan.

H1’ : Penambahan isolat protein kedelai dan karagenan memberikan pengaruh terhadap sifat fisik dari sosis yang dihasilkan.

Ho’’ : Penambahan isolat protein kedelai dan karagenan tidak memberikan pengaruh terhadap sifat kimia dari sosis yang dihasilkan.

(19)

2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Deskripsi Ikan Kurisi (Nemipterus nematophorus)

Menurut Direktorat Prasarana Perikanan Tangkap (2001), klasifikasi ikan kurisi adalah sebagai berikut:

Ordo : Percomorphi

Subordo : Percoidea Famili : Nemipteridae Genus : Nemipterus

Spesies : Nemipterus nematophorus

Gambar 1 Ikan Kurisi (Nemipterus nematophorus) (http://www.pipp.dkp.go.id)

Ikan kurisi memiliki nilai gizi yang tinggi. Komposisi kimia ikan kurisi (Nemipterus nematophorus) menurut Sedayu (2004) disajikan pada Tabel 1:

Tabel 1 Komposisi ikan kurisi (Nemipterus nematophorus)

Komposisi % Berat basah

Kadar air 79,55

Kadar abu 0,97

Kadar protein 16,85

Kadar lemak 2,2

Sumber: Sedayu (2004)

Ikan kurisi tergolong dalam ikan berprotein tinggi dan berlemak rendah. Ikan yang tergolong berlemak rendah dan berprotein tinggi memiliki kandungan protein 15-20% dan kandungan lemaknya kurang dari 5% (Stansby 1963).

(20)

demikian juga jari-jari teratas lembaran sirip ekornya. Sirip dubur berjari-jari keras 3, dan 7 jari-jari lemah (http://www.pipp.dkp.go.id).

Ikan kurisi termasuk ikan buas, makanannya organisme dasar (cacing-cacing kecil, udang, moluska). Hidup di dasar, karang-karang, dasar lumpur atau lumpur pasir pada kedalaman 10-50 m. Warna kepala dan gigir punggung kemerahan. Ban-ban warna kuning diselang-seling ban warna merah mawar membujur badan sampai batang ekornya. Satu totol kuning terdapat pada awal garis rusuk. Ukuran dapat mencapai panjang 25 cm, umumnya 12-18 cm (http://www.pipp.dkp.go.id).

Daerah penyebarannya hampir terdapat di seluruh perairan Indonesia. Disamping memiliki nama Indonesia, ikan kurisi juga memiliki nama lokal, diantaranya adalah kerisi (PPN Pemangkat), krese (PPN Brondong), tuyul (PPP Banjarmasin), krisi (PPP Sungai Liat), gorara (PPN Bitung), boce (PPN Palabuhan Ratu), juku eja (PPN Ambon), kerisi (PPN Tanjung Pandan),

abangan, kempongan (PPP Tegalsari) (http://www.pipp.dkp.go.id).

2.2. Sosis

2.2.1 Klasifikasi sosis

Sosis atau sausage berasal dari bahasa latin yaitu salsus yang secara harfiah berarti daging yang disiapkan melalui penggaraman, karena pada awal pembuatannya sosis dibuat melalui penggaraman dan pengeringan daging. Proses pembuatan sosis pada waktu itu dirasakan cukup karena dimaksudkan untuk mengawetkan daging segar yang tidak dapat dikonsumsi pada saat itu saja (Rust 1987). Proses pembuatan sosis sekarang ini tidak lagi sebatas memberikan garam dan melakukan pengeringan pada daging, namun sekarang ini sosis dibuat dari daging yang digiling dan diberikan bumbu dan biasanya dibentuk menjadi

bentuk yang simetris (Tauber 1985).

Sosis merupakan emulsi minyak dalam air (oil in water atau o/w). Emulsi

adalah suatu dispersi atau suspensi cairan dalam cairan lain, yang molekul-molekul kedua cairan itu tidak berbaur tetapi saling antagonistik

(21)

Berdasarkan metode pembuatannya, sosis dikelompokkan ke dalam enam kelas, yaitu: sosis segar, sosis tidak dimasak tapi diasap, sosis dimasak dan diasap, sosis masak, sosis kering dan semi kering serta difermentasi dan sosis spesialis daging masak (Kramlich 1971).

Sosis segar dibuat dari daging segar, dicacah, dilumatkan atau digiling, diberi garam dan bumbu-bumbu, dimasukkan dan dipadatkan di dalam selongsong serta harus dimasak sebelum dimakan. Sosis masak dibuat dari daging segar, bisa ditambahkan bahan-bahan lain atau tidak, dimasukkan dan dipadatkan di dalam selongsong, tidak diasap dan setelah dibuat harus segera dimasak. Sosis kering dan agak kering dibuat dari daging yang ditambahkan bahan-bahan lain dan dikeringkan udara, dapat diasap sebelum pengeringan serta dapat dikonsumsi dalam keadaan dingin atau setengah masak (Soeparno 1998).

2.2.2 Emulsi

Emulsi adalah suatu dispersi atau suspensi suatu cairan dalam cairan yang lain, yang molekul-molekul kedua cairan tersebut tidak saling berbaur tetapi saling antagonik. Air dan minyak merupakan cairan yang tidak saling berbaur tetapi saling ingin terpisah karena mempunyai berat jenis yang berbeda. Pada suatu emulsi biasanya terdapat tiga bagian utama yaitu bagian yang terdispersi yang terdiri dari butir-butir yang biasanya terdiri dari lemak, bagian kedua disebut

media pendispersi yang juga dikenal sebagai continuous phase, yang biasanya terdiri dari air, dan bagian ke tiga adalah emulsifier yang berfungsi menjaga agar butir minyak tetap tersuspensi di dalam air (Winarno 1997). Jika air sebagai fase pendispersi dan minyak sebagai fase terdispersi, emulsi ini disebut sebagai emulsi minyak dalam air (O/W), sebaliknya jika minyak sebagai fase pendispersi dan air sebagai fase tersispersi, maka emulsi jenis ini disebut emulsi air dalam minyak (W/O) (deMan 1997).

(22)

Hasil emulsi yang baik dapat diperoleh dengan cara memecah atau melumatkan daging prerigor bersama-sama dengan es, garam dan bahan curing, kemudian disimpan beberapa jam sehingga proses ekstraksi protein lebih efisien. Emulsi akan stabil apabila lemak telah terselubungi oleh protein, pemanasan emulsi akan mengkoagulasi protein sehingga protein akan mengikat lemak dalam suspensi dan menstabilkan emulsi (Pomeranz 1991).

Stabilitas emulsi menunjukkan kestabilan suatu bahan dalam sistem emulsi atau terdapat keseragaman molekul fase pendispersi dan fase terdispersi dalam kondisi baik. Kestabilan emulsi terjadi apabila suatu partikel terdispersi yang terdapat dalam bahan tidak mempunyai kecenderungan untuk bergabung dengan partikel lain dan membentuk lapisan yang terpisah. Untuk mendapatkan emulsi yang pekat dan stabil dari kedua cairan, baik sistem minyak dalam air (o/w) atau air dalam minyak (w/o), maka diperlukan komponen ketiga, yaitu bahan pengemulasi. Fungsi dari komponen ketiga adalah untuk mempercepat atau mempermudah terjadinya proses emulsi dan memberikan atau meningkatkan kestabilan emulsi. Pengemulsi merupakan senyawa aktif permukaan yang mampu menurunkan tegangan antar permukaan, antara permukaan udara-cairan dan cairan-cairan. Kemampuan ini merupakan akibat dari struktur molekul pengemulsi yang mengandung dua bagian yang jelas, satu bagian mempunyai sifat polar atau

sifat hidrofil, bagian yang lain bersifat non polar atau hidrofob. Jumlah pengemulsi yang dibutuhkan tergantung dari besarnya ukuran partikel emulsi, semakin kecil ukuran partikel emulsi, maka jumlah pengemulsi yang dibutuhkan akan meningkat (deMan 1997).

Stabilitas emulsi dipengaruhi oleh temperatur selama proses emulsifikasi, ukuran partikel lemak, pH, viskositas emulsi, jumlah dan tipe protein yang larut (Kramlich 1971).

(23)

2.2.3 Bahan pengikat dan bahan pengisi

Bahan pengikat dan bahan pengisi adalah bahan bukan daging yang ditambahkan ke dalam sosis dengan tujuan untuk meningkatkan kestabilan emulsi, mengurangi penyusutan selama pemasakan, memperbaiki sifat irisan, memperbaiki cita rasa serta mengurangi biaya produksi (Kramlich 1971).

Bahan pengisi yang ditambahkan ke dalam pembuatan sosis terdiri dari tepung-tepungan yang mempunyai kandungan pati yang tinggi, namun kandungan proteinnya rendah. Bahan pengisi mempunyai kemampuan untuk mengikat sejumlah besar air, namun kemampuan emulsifikasinya rendah (Albert et. al. 2001). Bahan pengisi yang umum digunakan dalam pembuatan sosis adalah tepung serealia, ekstrak pati, dan sirup jagung atau padatannya. Kandungan pati dalam bahan tersebut tinggi tetapi kadar proteinnya rendah, sehingga mempunyai kemampuan untuk mengikat air, tetapi tidak berperan dalam mengemulsi lemak (Wilson et al. 1981).

Bahan pengikat merupakan bahan bukan daging yang ditambahkan ke dalam pembuatan sosis yang mempunyai kemampuan untuk mengikat air dan mengemulsikan lemak. Bahan pengikat menurut asalnya dibedakan menjadi

bahan pengikat hewani dan bahan pengikat nabati. Bahan pengikat hewani merupakan produk susu yang meliputi susu bubuk tanpa lemak, susu bubuk tanpa lemak rendah kalsium, dadih susu, dan sodium kaseinat. Bahan pengikat nabati yang sering digunakan dalam pembuatan sosis adalah produk kedelai (Kramlich 1971). Bahan pengikat dan bahan pengisi ditambahkan ke dalam formulasi pembuatan sosis dengan tujuan untuk: (1) Mengurangi harga formulasi,

(2) Memperbaiki hasil masakan, (3) Memperbaiki karakteristik irisan, (4) Memperbaiki aroma, (5) Menambah kandungan protein, (6) Memperbaiki

stabilitas emulsi, (7) Memperbaiki proses pengikatan lemak, (8) Meningkatkan pengikatan air (Tauber 1985).

(24)

Tabel 2 Komposisi kimia bahan pengikat dan bahan pengisi

3)Direktorat Gizi Departemen Kesehatan RI (1989) 4) Tasman (1981)

5)Sebrell dan Hagerty (1982) *Swinkels (1985)

2.2.4 Tapioka

Tapioka merupakan pati yang diperoleh dari ubi kayu (Manihot esculenta) melalui proses pemarutan, pemerasan, penyaringan, pengendapan, dan pengeringan. Pati merupakan komponen utama tepung tapioka dan merupakan senyawa yang tidak mempunyai rasa dan bau sehingga untuk memodifikasi rasa tepung tapioka mudah dilakukan (Rusmono 1983 diacu dalam Suwardian 2005).

Tapioka memiliki sifat yang sangat mirip dengan amilopektin karena tapioka sebagian besar terdiri atas amilopektin. Sifat – sifat amilopektin antara lain (Tjoroadikosoemo 1986):

1) Dalam bentuk pasta, amilopektin menunjukkan penampakan yang sangat jernih sehingga dapat meningkatkan mutu penampilan produk akhir.

2) Pada suhu normal, pasta dari amilopektin tidak mudah menggumpal dan kembali menjadi keras.

3) Mempunyai daya perekat yang tinggi sehingga pemakaiaan pati dapat dihemat.

(25)

1) Langsung dimakan sebagai makanan, custard dan bentuk makanan lainnya. 2) Sebagai pengental (thikener) seperti soup, makanan bayi, saus dan lain-lain. 3) Sebagai pengisi (filler) untuk memadatkan kandungan soup, pil tablet, es krim

dan lain-lain.

4) Sebagai bahan pengikat (binder) untuk menggabungkan massa dan mencegahnya dari penguapan selama pemasakan (sosis dan daging olahan).

2.2.5 Susu skim

Susu skim merupakan bagian susu yang tertinggal setelah krim diambil sebagian atau seluruhnya. Susu skim mengandung semua zat makanan dari susu kecuali lemak dan vitamin yang larut dalam lemak (Buckle et. al. 1987). Aroma produk yang ditambah susu skim dapat meningkat akibat adanya kandungan laktosa dalam susu skim tersebut (Karmas 1977). Susu skim dapat juga digunakan sebagai bahan tambahan karena bersifat adesif dan menambah nilai gizi (Wilson et al. 1981). Komposisi kimia susu skim disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3 Analisis kandungan gizi susu skim per 100 g bahan

Kandungan Satuan Jumlah

Energi Kal 362

Protein Gram 35,6

Lemak Gram 1,0

Karbohidrat miligram 52,0

Vitamin A S.I 0,04

Air Gram 3,5

Vitamin B1 Miligram 0,35

Ca Miligram 1300

P Miligram 1030

Fe miligram 0,6

Sumber : Direktorat Gizi, Departemen Kesehatan RI (1989)

2.2.6 Isolat protein kedelai

Isolat protein kedelai adalah produk dari protein kedelai bebas lemak atau berlemak rendah (bisa dibuat dari kedelai utuh) yang diolah sedemikian rupa

(26)

adalah sifat fungsional proteinnya. Sifat ini menentukan pemakaian atau fungsi produk tersebut dalam berbagai produk makanan (Koswara 2005).

Isolat protein kedelai merupakan bentuk protein kedelai yang paling murni, karena kadar proteinnya minimum 95 % dalam berat kering. Produk ini hampir bebas dari karbohidrat, serat dan lemak sehingga sifat fungsionalnya jauh lebih baik dibandingkan dengan konsentrat kedelai dan tepung kedelai (Koswara 2005).

Isolat protein kedelai biasanya digunakan sebagai bahan campuran dalam makanan olahan daging dan susu. Isolat protein kedelai baik sekali digunakan dalam formulasi berbagai produk makanan, juga sebagai bahan pengikat dan pengemulsi dalam produk-produk daging (Koswara 2005).

2.2.7 Karagenan

Karagenan merupakan salah satu contoh dari zat aditif yang sering ditambahkan dalam makanan. Food and Agricultural Organization (FAO), Food Chemical Codex (FCC), dan European Economic Community (EEC) menetapkan selang standar untuk produk karagenan yang disajikan pada Tabel 4.

Tabel 4 Standar mutu karagenan

Spesifikasi FAO FCC EEC

Zat volatile/kadar air (%) Maks 12 Maks 12 Maks 12

Sulfat (%) 15-40 18-40 15-40

Viskositas pada larutan 1,5 % Min 5 cp Min 5 cp Min 5 cp

Kadar abu (%) 15-40 Maks 35 15-40

Kadar abu tak larut asam (%) maks 2 Maks 1 Maks 2

Pb (ppm) Maks 10 Maks 10 Maks 10

As (ppm) Maks 3 Maks 3 Maks 3

Cu+Zn(ppm) - - Maks 50

Logam berat

Zn (ppm) - - Maks 25

Sumber : A/S Kobenhvsn pektifabrik (1978) dalam alpis (2002)

(27)

Perbedaan fraksi satu dengan yang lain didasarkan pada jumlah 3,6-anhydro-D-galaktosa yang terkandung serta posisi dari gugus ester sulfat. Kappa karagenan terdiri atas unit-unit ulangan antara ikatan 1,3 dari unit D-galaktosa-4-sulfat dan ikatan 1,4 dari unit 3,6-anhydro-D-galaktosa. Iota karagenan terdiri atas unit-unit ulangan antara ikatan 1,3 dari D-galaktosa-4-sulfat dan ikatan dari unit 3,6-anhydro-D-galaktosa-2 sulfat, sedangkan lamda-karagenan terdiri atas unit-unit ulangan antara ikatan 1,3 dari unit D-galaktosa-2 sulfat dan ikatan 1,4 dari unit D-galaktosa-2,6-disulfat (Glicksman 1983).

Karagenan banyak mengandung ester sulfat, sehingga untuk mengimbas pembentukan gel diperlukan kation seperti K, Ca, Na dan lain-lainnya (Chapman dan Chapman 1980). Jumlah sulfat pada karagenan berkisar antara 18 % sampai 40%.

Karagenan merupakan suatu jenis galaktan dan umum digunakan pada industri makanan, khususnya sebagai emulsifier pada industri minuman. Karagenan juga dimanfaatkan pada industri kosmetik, tekstil, obat-obatan, cat dan juga sebagai materi dasar dari aromatic diffuser (Chapman dan Chapman 1980).

Karagenan dapat diaplikasikan pada berbagai produk sebagai pembentuk gel, penstabil, pensuspensi, pembentuk tekstur emulsi, terutama pada produk-produk jelly, permen, sirup, dodol, nugget, produk susu, bahkan untuk industri kosmetik, tekstil, cat, obat-obatan, dan pakan ternak (Suptijah 2002 diacu dalam Ariyani 2005).

Karagenan dapat digunakan sebagai bahan penstabil karena mengandung gugus sulfat yang bermuatan negatif disepanjang rantai polimernya dan bersifat hidrofilik yang dapat mengikat air atau gugus hidroksil lainnya (Moirano 1977). Berdasarkan sifatnya yang hidrofilik tersebut, maka penambahan karagenan dalam produk emulsi akan meningkatkan viskositas fase kontinu sehingga emulsi menjadi stabil (Frasier dan Parker 1985).

(28)

dan hidrolisa terjadi tidak lama sehingga gel dapat stabil (Glickman 1983). Tidak adanya 3,6 anhydro-D-galaktosa dalam karagenan hanya menyebabkan larutan menjadi kental dan tidak membentuk gel (Greer et al. 1984 diacu dalam Harun 1993).

2.2.8 Bahan tambahan atau bahan pembantu

Bahan tambahan atau bahan pembantu adalah bahan yang sengaja ditambahkan atau diberikan ke dalam suatu adonan dengan maksud atau tujuan tertentu, misalkan untuk meningkatkan konsistensi, nilai gizi, cita rasa, mengendalikan keasaman dan kebasaan, serta memantapkan bentuk dan rupa (Winarno et. al. 1980).

1) Garam

Garam bisa terdapat secara alami dalam makanan atau ditambahkan dalam pengolahan dan penyajian makanan. Penggunaan garam dianjurkan tidak terlalu banyak karena akan menyebabkan terjadinya penggumpalan atau salting out dan rasa produk menjadi terlalu asin (Buckle et al. 1987). Secara umum pada pembuatan sosis, jumlah garam yang ditambahkan adalah 2-3% (Rust 1987).

Nilai penting dalam keberhasilan pembuatan sosis adalah kemampuan dari garam untuk melarutkan protein otot. Kelarutan protein ini menjalankan fungsi sebagai emulsifier dimana akan menyelubungi partikel lemak dan mengikat air serta dalam menjaga kestabilan dari emulsi sosis. Dalam menjalankan fungsi membantu mengikat air, garam juga membantu mempertahankan produk yang dihasilkan (Kramlich 1971).

2) Gula

Gula adalah istilah umum yang sering diartikan bagi setiap karbohidrat yang digunakan sebagai pemanis, tetapi dalam industri pangan biasanya digunakan untuk menyatakan sukrosa, gula yang diperoleh dari bit atau tebu (Buckle et al. 1987).

(29)

pengawet. Adanya glukosa, sukrosa, pati dan lain-lain dapat meningkatkan cita

rasa pada makanan serta menimbulkan rasa khusus pada makanan (Buckle et al. 1987). Gula jika dipanaskan akan bereaksi dengan asam amino

sehingga terbentuk warna coklat yang membuat bahan lebih menarik (Winarno 1997).

Gula berfungsi untuk memodifikasi rasa dan menurunkan kadar air yang sangat dibutuhkan untuk pertumbuhan mikroorganisme. Konsentrasi gula yang tinggi dalam curing berfungsi sebagai bahan preservatif (Soeparno 1992).

3) Bawang Putih

Bawang putih berfungsi sebagai penambah aroma dan untuk meningkatkan cita rasa produk yang dihasilkan Bawang putih mengandung senyawa pembentuk aroma dan juga senyawa-senyawa berkhasiat lainnya. Bawang putih merupakan bahan alami yang biasanya ditambahkan ke dalam makanan atau produk sehingga diperoleh aroma yang khas guna meningkatkan selera makan. Bau khas pada bawang putih berasal dari senyawa allisin. Selain itu, bawang putih juga mengandung protein, lemak, vitamin B dan C, serta mineral, yaitu kalium, fosfat, besi, dan belerang (Wibowo 1999).

4) Air atau Es

Air merupakan salah satu bahan yang umumnya ditambahkan dalam

adonan sosis. Jumlah air yang ditambahkan ke dalam adonan sosis adalah 20-30% dari berat daging dan umumnya air yang ditambahkan dalam bentuk es (Forrest et al. 1975). Penambahan air dalam bentuk es atau air es bertujuan untuk (1) melarutkan garam dan mendistribusikan secara merata ke seluruh bagian massa daging, (2) memudahkan ekstraksi protein serabut otot, (3) membantu pembentukan emulsi, dan (4) mempertahankan suhu daging agar tetap rendah selama penggilingan dan pembuatan adonan (Kramlich 1971).

5) Lemak

(30)

Jumlah lemak yang ditambahkan harus seimbang dengan jumlah air dan protein. Apabila jumlah yang ditambahkan terlalu sedikit, maka akan menghasilkan sosis yang keras dan kering, sebaliknya apabila penambahan lemak berlebihan, maka akan menghasilkan sosis yang keriput dan lunak, karena selama pemasakan terjadi kehilangan lemak (cooking loss) yang tinggi sehingga sebagian lemak akan terpisah (Wilson 1981). Jumlah penambahan lemak dalam pembuatan sosis dibatasi untuk mempertahankan tekstur selama pengolahan dan penanganan, lemak yang ditambahkan tidak boleh lebih dari 30% dari bobot daging (Kramlich. 1971).

2.2.9 Selongsong

Selongsong atau casing adalah sarung pembungkus yang digunakan untuk membungkus dan membentuk sosis. Casing sendiri dapat dibagi menjadi 3 yaitu:

casing hewan, casing kolagen, casing selulosa dan tabung plastik (Price dan Bernand 1987).

Selongsong diperlukan sebagai wadah pembentuk sosis dan menentukan bentuk serta ukuran sosis yang dihasilkan. Selongsong alami terutama dihasilkan dari saluran pencernaan ternak misalnya sapi, babi, domba atau kambing. Pada dasarnya selongsong alami adalah kolagen. Selongsong ini mudah sekali rusak oleh mikroorganisme sehingga setelah dibersihkan perlu dikeringkan atau

digarami, dalam keadaan basah mudah ditembus oleh asap atau cairan. Selongsong buatan terdiri dari empat kelompok yaitu selulose, kolagen yang dapat dimasak, kolagen yang tidak dapat dimasak, dan plastik. Selongsong buatan mempunyai kekuatan yang lebih besar dibandingkan dengan selongsong alami (Soeparno 1992).

2.2.10 Pembuatan sosis

(31)

casing, pengukusan dan penggorengan. Pemasakan sosis ini bertujuan untuk menyatukan komponen-komponen dalam adonan sosis, menetapkan warna dan menonaktifkan mikroba (Tanikawa 1971). Tahapan pembuatan sosis ikan adalah sebagai berikut:

1) Penyiangan dan pencucian

Penyiangan merupakan tahap pembuangan bagian yang tidak diperlukan dari ikan seperti isi perut, sirip ekor, serta daging bagian perut. Penyiangan dan pencucian pada dasarnya betujuan untuk menghilangkan segala kotoran, darah, lendir, dari ikan yang merupakan sumber bakteri pembusuk maupun bakteri patogen.

2) Filleting

Filleting merupakan tahap pemisahkan daging ikan dari tulang-tulangnya, dengan kata lain mengambil dagingnya saja, atau mengambil bagian yang dapat dimakan dalam hal ini dilakukan pembuangan kulit.

3) Penggilingan

Selesai filleting dilakukan penggilingan menggunakan mesin penggiling daging yang bertujuan untuk menghaluskan atau melembutkan daging sehingga memudahkan pencampuran bahan-bahan lain untuk membentuk adonan. Selama penggilingan akan timbul panas akibat gesekan antara ikan dengan alat giling,

sehingga mengakibatkan denaturasi dari aktomiosin, oleh sebab itu perlu adanya penambahan es (Suzuki 1981). Penggilingan daging bertujuan untuk memperkecil ukuran partikel, memperoleh daging giling yang berukuran seragam, mengekstraksi protein larut dalam air dan larutan garam serta untuk proses emulsifikasi (Brown dan Toledo 1975).

4) Pengadonan

Pengadonan merupakan proses pencampuran dari berbagai bahan dasar agar semua bahan tercampur merata atau homogen. Mutu adonan antara lain dipengaruhi oleh jumlah dan lemak yang ditambahkan, lama pengadukan yang baik biasanya antara 15-25 menit (Tanikawa 1971).

(32)

penghancuran daging dan pengadonan ditambahkan es dan lemak pada akhir proses pengadonan (Wilson 1981).

5) Pengisian dalam selongsong

Adonan yang sudah homogen dimasukkan ke dalam selongsong atau casing yang masih dalam bentuk panjang, untuk itu perlu diikat menjadi bentuk yang kecil dan seragam, berukuran kurang lebih 10-15 cm.

6) Pengukusan

Pengukusan adalah proses pemanasan yang sering diterapkan pada sistem

jaringan sebelum pembekuan, pengeringan atau pengalengan (Harris dan Karmas 1989). Adapun tujuan dari pengukusan adalah untuk

mengurangi kadar air dalam bahan baku, sehingga tekstur bahan menjadi kompak. Gelatinisasi merupakan pengembangan dan proses tidak teratur yang terjadi dalam granula-granula pati selama pemasakan dengan air. Pengembangan granula-granula pati selama pemasakan disebabkan oleh penetrasi air dan dehidrasi molekul pati. Pati akan mengembang setelah mencapai suhu kritis. Pengembangan pati akan menghasilkan pasta yang kenyal dan gel yang kaku. Pati yang kandungan amilopektinnya tinggi atau kandungan amilosanya rendah akan membentuk produk yang lengket (Winarno 1997).

2.2.11 Komposisi kimia sosis 1) Protein

Protein merupakan komponen bahan kering yang terbesar dari daging (Soeparno 1994). Kadar protein sosis dipengaruhi oleh jumlah dan jenis daging, jumlah dan jenis bahan pengikat yang ditambahkan (Rompis 1998). Protein dalam daging berdasarkan kelarutannya terbagi menjadi tiga kelompok yaitu protein sarkoplasma yang larut dalam air, protein miofibril yang larut dalam larutan garam dan protein stroma yang tidak larut dalam larutan garam (Ockerman 1983). Berdasarkan SNI, kadar protein sosis daging minimal adalah 13% (DSN pada SNI No. 01-3820-1995).

2) Air

(33)

dipengaruhi oleh jumlah pati atau tepung dan jumlah air es yang ditambahkan dalam pembuatan sosis (Rompis 1998). Berdasarkan SNI kadar air pada sosis daging tidak lebih dari 67% (DSN pada SNI No. 01-3820-1995).

3) Lemak

Kadar lemak sosis dapat dipengaruhi oleh jenis dan jumlah daging serta jumlah lemak yang ditambahkan ke dalam pembuatan sosis (Rompis 1998). 4) Karbohidrat

Kadar karbohidrat pada sosis dapat dipengaruhi oleh jenis dan jumlah bahan pengisi yang ditambahkan. Kandungan karbohidrat daging segar umumnya kurang dari 1% dari berat daging dan biasanya dalam bentuk glikogen dan asam laktat (Rompis 1998).

5) Abu

Kadar abu sosis dapat berasal dari daging sebagai bahan utama, tepung, STPP (sodium tripolifosfat) dan garam yang ditambahkan. Abu atau mineral dalam daging umumnya terdiri dari kalsium, fosfor, iron, magnesium, sodium, sulfur, klorin dan potasium. (Forrest et al. 1975).

2.3 Penyimpanan

Cara Pengawetan pangan dengan suhu rendah ada 2 macam yaitu

pendinginan (cooling) dan pembekuan (freezing). Pendinginan biasanya akan mengawetkan bahan hanya dalam berapa hari atau minggu saja tergantung dari jenis bahan pangannya, sedangkan pembekuan dapat mengawetkan bahan pangan untuk beberapa bulan atau kadang-kadang beberapa tahun (Koswara 2006).

Perbedaan yang lain antara pendinginan dan pembekuan adalah dalam hal pengaruhnya terhadap aktivitas mikroba dalam bahan pangan. Penggunaan suhu rendah dalam pengawetan bahan tidak dapat menyebabkan kematian mikroba sehingga bila bahan pangan dikeluarkan dari tempat penyimpanan dan dibiarkan mencair kembali (thawing) pertumbuhan mikroba pembusuk dapat berjalan dengan cepat (Koswara 2006).

(34)

(chilling injuries) dan kerusakan proses pembekuan (freezing injuries) (Koswara 2006).

2.3.1 Penyimpanan suhu chilling

Istilah penyimpanan suhu dingin diartikan sebagai penggunaan suhu rendah dalam kisaran 1 oC sampai 3,5 oC, suhu yang jauh melebihi permulaan pembekuan otot, tetapi masih berada dalam suhu optimum -2 oC dan 7 oC bagi pertumbuhan mikroorganisme psikrofilik (Buckle et al. 1987).

Makanan yang di-chilling adalah makanan yang disimpan dalam kondisi es yang mencair pada 0 oC atau direfrigerasi pada temperatur diatas suhu freezing (-1 oC) sampai suhu 5 oC. Pada temperatur ini, bakteri psychotrops masih dapat tumbuh dan pada akhirnya dapat merusak makanan, tetapi pada fase lag-nya (dari fase pertumbuhan bakteri) akan mengalami pertambahan panjang, kecepatan pertumbuhannya akan menurun. Hal ini dapat menyebabkan daya simpan makanan meningkat lebih lama melebihi daya simpan makanan yang disimpan pada suhu kamar (Garbutt 1997).

Daya simpan makanan akan tergantung pada (Garbutt 1997): 1) Kontaminasi awal.

2) Komposisi makanan.

3) Penanganan atau pengolahan lain yang dilakukan. 4) Temperatur pendinginan.

Penyimpanan yang optimum adalah mendekati suhu freezing sedemikian mungkin yang dilakukan pada semua rantai dari produksi sampai konsumsi. Berdasarkan reaksi pertumbuhannya terhadap suhu, mikroorganisme dapat dikelompokkan menjadi 5 kelompok, seperti yang disajikan pada Tabel5.

Tabel5 Pengelompokan mikroorganisme berdasarkan suhu pertumbuhannya

Suhu Pertumbuhan (oC) Kelompok Mikroorganisme

Minimum Optimum maksimum

Psikrofilik -15 10 20

Psikrotrof -5 25 35

Mesofil 5 - 10 30 - 37 45

Thermofil 40 45 - 55 60 - 80

(35)

Sumber Buckle et al., (1987)

Pendinginan dengan menggunakan suhu chilling, akan memperlambat pertumbuhan dan melemahkan daya tahan mikroba, sedangkan pendinginan dengan suhu freezing, selain faktor suhu rendah yang dapat menghambat pertumbuhan bakteri, juga akan terjadi reduksi aktivitas air (Aw) (Gauld 1989).

Temperatur mempunyai pengaruh penting pada fase lag dari kurva pertumbuhan bakteri. Ketika temperatur diturunkan sampai suhu chilling, tidak hanya kecepatan pertumbuhan yang akan menurun, tetapi juga fase lag pertumbuhan bakterinya juga akan memanjang (Garbut 1997). Pengaruh suhu terhadap fase lag pertumbuhan bakteri disajikan pada Gambar 2.

Gambar 2. Pengaruh suhu terhadap fase lag pada pertumbuhan bakteri

Penyimpanan pada suhu chilling dapat menyebabkan kerusakan (chilling injury) pada sel-sel mikroba. Ada 2 tipe chilling injury, yaitu (Garbutt 1997):

1) Cold shock (kerusakan sel secara langsung).

Tingkat kerusakan sel tergantung pada kecepatan pendinginan yang dilakukan dengan pendinginan cepat. Kerusakan sel bakteri pada tipe ini diakibatkan oleh rusaknya struktur dari membran sel yang menyebabkan adanya kelainan sel-sel penting hasil metabolisme, seperti asam amino dan ATP. Sel-sel yang berada pada fase tumbuh aktif lebih rentan daripada sel yang sudah pada fase stasioner.

2) Idirect chilling injury

Hal ini berhubungan dengan bahan makanan yang disimpan pada temperatur dingin dalam waktu lama dan tidak bergantung pada kecepatan pendinginan. Kerusakan sel-sel bakteri ini disebabkan oleh adanya kekurangan

10 20 30 40 50 60 70 25 oC 10 oC

0 oC

Temperatur dibawah minimum

(36)

pada pertukaran materi dengan lingkungannya yang mengakibatkan akumulasi produk-produk metabolisme yang bersifat toksik dan atau karena kehabisan bahan-bahan metabolit sel yang penting, seperti ATP yang mengakibatkan kerusakan sel-sel dan akhirnya dapat menyebabkan kematian bakteri

2.3.2 Penyimpanan suhu beku (Freezing)

Pembekuan adalah penyimpanan bahan pangan dalam keadaan beku. Pembekuan yang baik biasanya dilakukan pada suhu -12 sampai -24oC, Pembekuan cepat (quick freezing) dilakukan pada suhu -24 sampai -40oC. Pembekuan cepat ini dapat terjadi dalam waktu kurang dari 30 menit, sedangkan pembekuan lambat biasanya berlangsung selama 30 - 72 jam (Koswara 2006).

(37)

3. METODOLOGI

3.1 Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April sampai November 2007 di Laboratorium Pengolahan Hasil Perairan dan Unit Produksi, Laboratorium Organoleptik, Laboratorium Mikrobiologi Hasil Perairan, Departemen Teknologi Hasil Perairan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor, serta laboratorium Kimia Pangan Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

3.2 Alat dan Bahan

Alat-alat yang digunakan selama pembuatan sosis diantaranya pisau, panci, baskom, food processor, grinder, selongsong, dan stuffer untuk memasukkan adonan dalam selongsong serta steamer yang digunakan untuk mengukus. Alat yang digunakan untuk analisis diantaranya cawan kosong, desikator, timbangan analitik, oven, tanur, termometer, erlenmeyer, gelas kimia, pH meter, bunsen, labu lemak, pipet, labu kjeldahl, alat pemanas, kertas saring, soxhlet, dan Rheoner RE 3305.

Bahan-bahan yang digunakan untuk membuat sosis meliputi ikan kurisi (Nemipterus nematophorus) dengan bahan pengikat karagenan, bahan pengisi tepung tapioka, emulsifier isolat protein kedelai, minyak masak, susu skim, air es, bawang putih, garam dan gula. Bahan yang digunakan untuk analisis adalah aquades, HCl 0,2 N, HCl 1N, Plate Count Agar (PCA), NaCl, garam fisiologis, larutan bufer pH 4.0 dan 7.0, H2SO4, tablet kjeltab, dan petroleum benzene.

3.3 Tahapan Penelitian

(38)

Penelitian tahap pertama dilakukan dengan tujuan untuk menentukan sosis dengan tekstur terbaik. Penelitian tahap pertama dengan perlakuan kombinasi penambahan isolat protein kedelai sebagai bahan emulsifier dan karagenan sebagai bahan pengikat. Konsentrasi emulsifier terdiri dari 3 taraf, yaitu 0%; 0,5%; 1%, dan untuk bahan pengikat, terdiri dari 3 taraf, yaitu 0%; 0,5%; 1%. Ulangan dilakukan sebanyak 2 kali. Uji yang dilakukan untuk menentukan komposisi emulsifier dan bahan pengikat terpilih yaitu dengan uji sensori (warna, penampakan, tekstur, aroma, dan rasa), uji fisik (uji lipat, uji gigit, kekuatan gel, kekerasan, dan elastisitas), uji stabilitas emulsi, serta analisis proksimat (kadar air, abu, protein, lemak, dan karbohidrat).

Sosis dengan perlakuan terpilih dari penelitian tahap pertama, digunakan untuk penelitian tahap II. Pada penelitian tahap II dilakukan penyimpanan sosis terpilih pada suhu chilling dan freezing. Penyimpanan dilakukan selama 2 bulan dan pengamatan dilakukan setiap satu minggu sekali yaitu dengan melakukan uji total mikrobiologi dengan metode total plate count (TPC) serta analisis pH. Pengamatan dilakukan sebanyak sembilan titik yang dimulai dari H-0 atau pada minggu ke-0 hingga H-9 atau minggu ke-8.

3.4. Prosedur Penelitian 3.4.1 Proses pembuatan sosis

Ikan kurisi yang akan digunakan dilakukan penghilangan bagian-bagian yang tidak digunakan seperti isi perut, sirip ekor, serta daging bagian perut, kemudian dilakukan pemisahan dari tulang atau duri serta kulit (filleting skinless), setelah itu digiling menggunakan mesin penggiling daging untuk mendapatkan daging ikan lumat. Selama penggilingan, suhu ikan dijaga agar tetap dingin, dengan cara baskom tempat menampung hasil gilingan, diisi dengan es batu

(39)

daging. Proses pengadonan dilakukan hingga terbentuk adonan yang homogen, kemudian adonan dimasukkan ke dalam selongsong dengan menggunakan stuffer. Adonan yang telah dimasukkan ke dalam selongsong kemudian diikat menggunakan tali, panjang sosis dibuat berkisar antara 10-15 cm. Sosis yang telah terbentuk kemudian dikukus dengan menggunakan alat steam selama 20 menit dengan suhu 90 - 100oC, setelah itu sosis diangkat dan didinginkan. Diagram alir pembuatan sosis ikan kurisi disajikan pada Gambar 3.

Keterangan : = awalan/akhiran; = proses

= data

Ikan kurisi

Penyiangan

Pemfiletan

Penggilingan

Pencampuran Daging lumat

Minyak masak, garam, gula, bawang putih.

Bread crumb, tepung tapioka, air es.

Pemasukan ke dalam selongsong

Pengukusan

Pendinginan

Pengemasan

Pembekuan

(40)

Gambar 3 Diagram alir pembuatan sosis ikan (Modifikasi ASEAN – CANADA Project 1995)

Keterangan : = awalan/akhiran; = proses

= data

Tapioka, minyak masak, air es, garam, gula, bawang putih Penyiangan

Pemfiletan

Penggilingan

Pencampuran

Pemasukan ke dalam selongsong

Pengukusan

Penyimpanan selama 2 bulan

Ikan Kurisi

Daging lumat

Bahan pengikat

(karagenan): 0%; 0,5%; 1% Emulsifier (ISP) : 0%; 0,5%; 1%

Uji sensori, uji lipat, uji gigit

(41)

Gambar 4 Diagram alir penelitian tahap I dan tahap II Pembuatan sosis ikan kurisi

Kombinasi perlakuan diberi kode sebagai berikut: A1B1 : Isolat protein kedelai 0% dan karaginan 0%. A2B1 : Isolat protein kedelai 0,5% dan karaginan 0%. A3B1 : Isolat protein kedelai 1% dan karaginan 0%. A1B2 : Isolat protein kedelai 0% dan karaginan 0,5%. A2B2 : Isolat protein kedelai 0,5% dan karaginan 0,5%. A3B2 : Isolat protein kedelai 1% dan karaginan 0,5%. A1B3 : Isolat protein kedelai 0% dan karaginan 1%. A2B3 : Isolat protein kedelai 0,5% dan karaginan 1%. A3B3 : Isolat protein kedelai 1% dan karaginan 1%.

3.5 Prosedur Analisis 3.5.1 Uji sensori

Uji kesukaan merupakan salah satu jenis uji penerimaan yang menggunakan skala hedonik, dimana dalam uji ini panelis diminta mengungkapkan tanggapan pribadinya tentang kesukaan terhadap sosis yang disajikan. Skala hedonik yang diperoleh ditransformasikan menjadi skala

numerik dengan angka menurut tingkat kesukaan. Skala hedonik yang digunakan berkisar antara 1-9. Sosis dinilai 25 orang panelis semi terlatih dan tidak terlatih yang dipilih secara acak, dengan sudah cukup mengenal sosis.

3.5.2 Analisis sifat fisik

3.5.2.1 Uji lipat (Nasran dan Tambunan 1974 diacu dalam Purwandari 1999) Pengujian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat elastisitas sosis. Uji ini dilakukan dengan cara mengiris sosis setebal 4-5 mm, yang hasil irisannya dilipat dengan tangan, diantara ibu jari dan telunjuk, kemudian dilipat untuk diamati ada tidaknya keretakan pada sosis ikan.

3.5.2.2 Uji gigit (Istihastuti et al. 1998)

(42)

dan bawah, sosis yang di uji mempunyai ketebalan 4 – 5 mm, nilai skor sebagai atribut pengujian dalam hubungannya dengan uji gigit berkisar dari 1 – 5.

3.5.2.3 Kekuatan gel (Bourne 1982)

Pengukuran dilakukan dengan menggunakan rheoner RE 3305. Sosis diletakkan dibawah probe berbentuk silinder pada tempat penekanan, dengan sisi lebar ke atas dan dilakukan penekanan. Tekanan menekan sampel dengan probe silinder. Kecepatan laju penekanan 3 mm per menit dan dibandingkan 1 : 1 dengan laju kertas grafik. Beban maksimal yang digunakan adalah 50 kg. Kekuatan gel merupakan kalibrasi ((97/5,025 g cm-1)/0,1923 cm2) yang dikalikan dengan jarak dalam sentimeter sampai permukaan pecah.

3.5.2.4 Kekerasan (Ranggana 1986)

Kekerasan adalah gaya yang dibutuhkan untuk menekan suatu bahan atau produk sehingga terjadi perubahan bentuk yang diinginkan. Pengukuran dilakukan dengan menggunakan alat rheoner RE 3305. Cara kerjanya yakni sosis diletakkan dibawah jarum penusuk, kemudian penusukan dilakukan pada sosis sebanyak lima kali pada lima titik yang berbeda. Pada saat penusukan tersebut digunakan sejumlah gaya sebesar 60 gr sampai terjadi perubahan bentuk pada produk tersebut. Hasil setiap penusukan ditunjukkan dalam bentuk kurva. Nilai kekerasan (gf) produk diukur dengan cara menghitung jarak penembusan (mm)

jarum rheoner RE 3305 berbanding dengan waktu penembusannya (s).

3.5.2.5 Elastisitas (Ranggana 1986)

Elastisitas adalah laju perubahan bentuk ke bentuk semula setelah gaya untuk merubah bentuk tersebut dipindahkan. Pengukuran dilakukan dengan menggunakan alat rheoner RE 3305. Sosis diletakkan dibawah plunger rheoner RE 3305 yang berbentuk silinder dengan luas permukaan penekanan 22,6 cm2. penekanan elastisitas dilakukan sebanyak dua kali sehingga ketebalan yang diperoleh 5mm/menit dan berbanding 1:1 dengan laju kertas grafik penekanan ke-2 (H2) dibagi dengan tinggi puncak grafik penekanan yang pertama (H1).

3.5.2.6 Stabilitas emulsi (AOAC 1995)

(43)

dihasilkan dihancurkan dengan menggunakan mortar, lalu ditimbang sebanyak 5 g dan dimasukkan ke dalam oven dengan suhu 45oC selama satu jam, kemudian dimasukkan dalam pendingin bersuhu dibawah 0oC selama satu jam. Sampel dimasukkan lagi ke dalam oven pada suhu 45oC selama satu jam dan dibiarkan sampai beratnya konstan. Pengamatan dilakukan terhadap kemungkinan terjadinya pemisahan air dari emulsi. Air yang terpisah diserap dengan kertas serap. Bila terjadi pemisahan, emulsi dikatakan tidak stabil dan tingkat kestabilannya dihitung berdasarkan persentase fase terpisah terhadap emulsi keseluruhan. Stabilitas emulsi dapat dihitung berdasarkan rumus berikut:

( )

x100%

Berat fase yang tersisa = (berat emulsi pengovenan ke-2 + cawan) – berat cawan. Berat total bahan emulsi = (berat bahan emulsi + cawan) – berat cawan.

3.5.3 Analisis sifat kimia 3.5.3.1 Analisis pH

Sebanyak ± 10 gram sosis dan 90 ml akuades dihomogenkan. Alat

pengukur pH (pH meter) dihidupkan dengan menekan tombol on, kemudian dikalibrasi pada larutan buffer pH 4,0 dan 7,0 caranya dengan memasukkan elektroda ke dalam larutan pH 4,0, tekan tombol cal, kemudian elektroda diangkat, dibilas dengan akuades, dilap dengan kertas tisu, kemudian dikalibrasi pada pH 7,0. Setelah itu pH larutan diukur dengan cara memasukkan elektroda pada campuran sampai angka yang tertera stabil.

3.5.3.2 Analisis kadar air (AOAC 1995)

Penentuan kadar air didasarkan pada perbedaan berat contoh sebelum dan sesudah dikeringkan. Mula-mula cawan kosong dikeringkan dalam oven selama 30 menit dengan suhu 105oC, lalu didinginkan dalam desikator selama 15 menit, kemudian ditimbang. Sebanyak 3-5 gram sosis dimasukkan ke dalam cawan kemudian dikeringkan dalam oven 105oC selama 6 jam. Cawan didinginkan dalam desikator selama 30 menit, kemudian ditimbang kembali.

Kadar air ditentukan dengan rumus :

(44)

Keterangan : W1 = berat contoh awal (gram)

W2 = berat contoh setelah dikeringkan (gram)

3.5.3.3 Analisis kadar abu (AOAC 1995)

Cawan dibersihkan dan dikeringkan dalam oven pada suhu 105oC, lalu didinginkan dalam desikator selama 30 menit dan ditimbang. Sebanyak 3-5 gram sosis ditimbang kemudian dimasukkan ke dalam cawan, diletakkan dalam tanur pengabuan, dibakar hingga diperoleh abu berwarna abu-abu. Pengabuan dilakukan dalam dua tahap, yaitu pertama pada suhu 400oC dan yang kedua pada suhu 550oC. Cawan lalu didinginkan dalam desikator dan ditimbang.

Kadar abu ditentukan dengan rumus :

Kadar abu (%) =

3.5.3.4 Analisis kadar protein (AOAC 1995)

Penentuan kadar protein dilakukan dengan metode Kjeldahl-mikro. Sosis ditimbang sebanyak 0,5 gram dan dimasukkan ke dalam labu Kjeldahl, kemudian dimasukkan tablet kjeltab dan 10 ml H2SO4. Tabung yang berisi larutan tersebut

diletakkan pada alat pemanas dengan suhu 4100 C dan didekstruksi hingga warna larutan menjadi kuning bening. Isi labu dipindahkan ke dalam alat destilasi, lalu didestilasi. Destilat ditampung dalam erlenmeyer 250 ml dan dititrasi dengan HCl 0,2 N sampai terjadi perubahan warna menjadi merah muda.

(45)

3.5.3.5 Analisis kadar lemak (AOAC 1995)

Labu lemak dikeringkan dalam oven, didinginkan dan ditimbang. Sosis sebanyak 3 gram dibungkus dalam kertas saring dan diletakkan di dalam alat ekstraksi soxhlet. Hexan ditambahkan ke dalam labu lemak, kemudian dilakukan ekstraksi selama 16 jam pada suhu sekitar 40oC sampai pelarut yang turun kembali ke labu lemak menjadi jernih. Pelarut yang ada di dalam labu lemak didestilasi sehingga semua pelarut lemak menguap, selanjutnya labu lemak hasil ekstraksi dikeringkan dalam oven pada suhu 105o C. Labu didinginkan dalam desikator dan ditimbang.

(

berat labu lemak

)

berat labu lemak

Berat = + −

3.5.3.6 Analisis kadar karbohidrat (Winarno 1997)

Perhitungan kadar karbohidrat dilakukan secara by difference, yaitu dengan menggunakan rumus:

Kadar karbohidrat = 100% - (kadar lemak +kadar protein + kadar air + kadar abu)

3.5.4 Analisis mikrobiologi (Fardiaz 1987)

Analisis mikrobiologi yang dilakukan adalah dengan penentuan TPC

(Total Plate Count) dengan metode agar tuang. Prinsip metode ini adalah sel bakteri dalam sampel ditumbuhkan pada medium agar dan diinkubasi selama 24-48 jam. Sel bakteri akan tumbuh membentuk koloni yang dapat dilihat secara visual, sehingga dapat langsung dihitung.

Mula-mula cawan petri, tabung reaksi dan pipet disterilisasi dalam oven pada suhu 180ºC selama 2 jam. Media Plate Count Agar (PCA) dibuat dengan cara melarutkan 8 g PCA dalam 400 ml aquades. Media tersebut disterilkan dalam autoklaf suhu 121ºC selama 15 menit dengan tekanan 1 atm. Setelah disterilisasi, suhu media dipertahankan 45-55ºC dalam penangas air untuk menjaga agar media tidak membeku. Pembuatan larutan pengencer (garam fisiologis) dengan cara melarutkan 8,5 g NaCl dalam 1 liter aquades yang kemudian disterilkan dalam autoklaf pada suhu 121ºC selama 15 menit.

(46)

dipipet 1 ml, kemudian dimasukkan ke dalam tabung reaksi yang telah berisi 9 ml larutan pengencer steril untuk memperoleh pengenceran 10-2. Demikian seterusnya sampai diperoleh pengenceran 10-5, sesuai dengan pendugaan tingkat kebusukan sosis ikan pada saat pengamatan. Dari tiap pengenceran, dipipet 1 ml dan dimasukkan ke dalam cawan petri steril, setiap pengenceran dilakukan secara duplo. Lalu setiap ke dalam cawan petri tersebut digerakkan diatas meja dengan gerakan melingkar agar media PCA merata. Setelah PCA membeku, cawan petri diinkubasi dengan posisi terbalik dalam inkubator pada suhu 30ºC selama 48 jam. Setelah waktu inkubasi, koloni yang tumbuh pada cawan petri dapat dihitung dengan jumlah koloni yang diterima 30-300 koloni per cawan.

Nilai TPC produk sosis ikan dapat dihitung dengan menggunakan rumus :

n

3.6 Rancangan Percobaan

Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah rancangan acak lengkap (RAL) dengan dua faktor. Faktor yang pertama adalah konsentrasi bahan pengikat dalam hal ini karagenan, yang terdiri dari tiga taraf yaitu 0%; 0,5%; 1% sedangkan faktor yang kedua adalah konsentrasi emulsifier dalam hal ini isolat protein kedelai yang terdiri dari tiga taraf, yaitu dari 0%; 0,5%; 1%. Adapun perumusan matematikanya menurut Steel dan Torrie (1989) adalah sebagai berikut:

Yij = Hasil pengamatan dari faktor ke-1 ulangan ke-i, faktor ke-2 ulangan ke-j

µ = Rata-rata sebenarnya

αi = Pengaruh faktor pertama (konsentrasi bahan emulsifier) dan ulangan ke-i

βj = Pengaruh faktor kedua (konsentrasi bahan pengikat) dan ulangan ke-j

(αβ)ij = Pengaruh dari interaksi faktor ke-1 dengan faktor ke-2

(47)

Hipotesis yang digunakan adalah:

Ho = perlakuan penambahan isolat protein kedelai dan karagenan tidak signifikan H1 = perlakuan penambahan isolat protein kedelai dan karagenan signifikan

Analisis non parametrik dilakukan untuk pengujian sensori skala hedonik dan skala mutu hedonik menggunakan model matematika Kruskal Wallis yang dilanjutkan dengan dengan uji lanjut Tukey untuk melihat perbedaan dan hubungan antar perlakuan. Panelis yang digunakan tergolong dalam panelis semi terlatih. Model matematika uji Kruskal-Wallis sebagai berikut :

H =

ni = banyaknya pengamatan dalam perlakuan ke-i

Ri2 = jumlah rangking dalam perlakuan ke-i

T = banyaknya pengamatan seri dalam kelompok H´ = H terkoreksi

H = simpangan baku

t = banyaknya pengamatan yang seri

Pengambilan keputusan dilakukan dengan membandingkan nilai x2 hitung dengan x2 tabel. Cara mencari x2 tabel adalah sebagai berikut :

1) Mencari derajat bebas dengan rumus db = (p-1)

dimana db = derajat bebas p = banyaknya perlakuan

2) Nilai x2 tabel diperoleh dari data tabel.

(48)

Jika hasil uji Kruskal Wallis menunjukkan hasil yang berbeda nyata selanjutnya dilakukan uji lanjut Tukey dengan rumus sebagai berikut (steel dan Torrie 1991):

Rumus Uji Multiple Comparison :

Rj

Ri− >< Zα/2p

6 ) 1 (n+ k

p= k(k+1)/2

Keterangan :

Ri : rata-rata rangking perlakuan ke-i Rj : rata-rata rangking perlakuan ke-j

k : banyaknya ulangan

(49)

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Karakteristik Sosis 4.1.1 Mutu sensori

Uji sensori adalah uji dengan menggunakan indra yang terdapat pada

manusia. Disebut uji sensori karena penilaiannya didasarkan pada rangsangan sensorik pada organ indra (Soekarto 1990). Uji sensori yang dilakukan pada penelitian tahap I ini adalah uji kesukaan, yang meliputi warna, penampakan, tekstur, aroma, dan rasa. Uji dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui tanggapan panelis terhadap semua produk yang dihasilkan dan tingkat kesukaannya.

1) Warna

Uji sensori warna ditujukan untuk mengetahui tingkat kesukaan panelis terhadap warna sosis yang dihasilkan. Warna penting bagi banyak makanan, baik makanan yang tidak diproses maupun makanan yang diproses. Bersama-sama dengan bau, rasa, dan tekstur, warna memegang peran penting dalam penerimaan makanan. Selain itu, warna dapat memberikan petunjuk mengenai perubahan kimia dalam makanan, seperti pencoklatan dan pengkaramelan (deMan 1997).

Secara visual, faktor warna tampil lebih dulu dan kadang-kadang sangat menentukan sebelum mempertimbangkan faktor lain (Winarno 1997). Dalam proses pembuatannya, sosis ini tidak ditambahkan dengan pewarna, baik alami maupun sintetik, sehingga warna yang dihasilkan adalah putih.

Nilai rata-rata kesukaan panelis terhadap parameter warna dari sosis yang dihasilkan berkisar antara 5,44-6,08 (agak suka sampai suka). Nilai rata-rata

(50)

sebesar 1% dan karagenan 0% sebesar 6,08 (suka). Berdasarkan hasil uji Kruskal-Wallis (Lampiran 11) pada parameter warna sosis ikan menunjukkan perlakuan penambahan isolat protein kedelai dan karagenan tidak memberikan pengaruh

yang berbeda (α=0,05). Hal ini terjadi karena sosis yang umumnya ditemui

adalah sosis yang berwarna, misalnya merah, sedangkan sosis yang dihasilkan dari penelitian ini adalah sosis yang berwarna putih karena tidak menggunakan bahan pewarna, baik sintetik maupun alami. Histogram nilai rata-rata analisis sensori skala hedonik terhadap parameter warna disajikan pada Gambar 5.

Keterangan: adanya huruf yang sama menunjukkan bahwa perlakuan tersebut tidak berbeda nyata

Gambar 5 Histogram nilai rata-rata uji sensori warna

Bagi panelis semua sosis yang diujikan memiliki nilai warna yang cenderung sama dan cenderung agak disukai. Tepung karagenan dan isolat protein kedelai tidak memberikan pengaruh terhadap warna dari sosis yang dihasilkan. Karagenan memiliki warna yang putih kecoklatan.

2) Penampakan

Penampakan merupakan karakteristik pertama yang dinilai konsumen dalam mengkonsumsi suatu produk. Bila kesan penampakan baik atau disukai, maka konsumen melihat karakteristik lainnya (aroma, rasa, dst). Meskipun

Keterangan:

Gambar

Tabel 1  Komposisi ikan kurisi (Nemipterus nematophorus)
Tabel 2  Komposisi kimia bahan pengikat dan bahan pengisi
Tabel 3  Analisis kandungan gizi susu skim per 100 g bahan
Tabel 4  Standar mutu karagenan
+7

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian menunjukkan bahwa substitusi parsial telur dengan isolat protein kedelai dan penambahan emulsifier berpengaruh nyata terhadap kadar air, volume

Penambahan karagenan pada fruit leather nanas dan wortel ditinjau dari karakteristik fisikokimia memberikan pengaruh yang nyata terhadap kadar air, kadar abu, kuat

Hasil penelitian menunjukkan bahwa penambahan tepung tulang ikan belida tidak mempengaruhi kadar air kerupuk, tetapi berpengaruh terhadap kadar abu, kadar protein, kadar lemak,

Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa penambahan isolat protein kedelai pada bakso ikan swangi menunjukkan perbedaan yang nyata (P&lt;0,05) terhadap

Proporsi tepung tapioka : tepung porang dengan penambahan NaCl memberikan interaksi nyata (α=0,05) terhadap kadar air, tetapi tidak untuk kadar abu, kadar protein dan kadar

Hasil analisa keragaman menunjukkan bahwa dengan perlakuan kombinasi tepung ikan motan berpengaruh nyata pada uji taraf uji 5% terhadap kadar abu kerupuk pangsit yang

Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa penambahan isolat protein kedelai pada bakso ikan swangi menunjukkan perbedaan yang nyata (P&lt;0,05) terhadap

Rasio penambahan ikan motan dan tepung sagu pada pembuatan kerupuk sagu memberikan pengaruh nyata terhadap kadar air, kadar abu, kadar protein, daya kembang dan deskriptif,