• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh Kebisingan Terhadap Kejadian Ketulian Akibat Bising (Noise Induced Hearing Loss) Pada Pekerja Bengkel (Workshop) Balai Yasa Pulubrayan Sumatera Utara PT. Kereta Api Indonesia

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pengaruh Kebisingan Terhadap Kejadian Ketulian Akibat Bising (Noise Induced Hearing Loss) Pada Pekerja Bengkel (Workshop) Balai Yasa Pulubrayan Sumatera Utara PT. Kereta Api Indonesia"

Copied!
33
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Kebisingan 2.1.1. Definisi

Secara umum bising adalah bunyi yang tidak diinginkan, secara audiologi bising adalah campuran bunyi nada murni dengan berbagai frekuensi, secara fisika bising didefinisikan sebagai suara yang disebabkan oleh gelombang akustik dengan intensitas dan frekuensi yang acak (random). Dibidang industri, bising adalah suara yang tidak diinginkan dan merupakan energi yang terbuang (Fox,1997). Berdasarkan Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor PER13/MEN/X/2011 tentang Nilai Ambang Batas Faktor Fisika dan Faktor Kimia di Tempat Kerja, kebisingan adalah semua suara yang tidak di kehendaki yang bersumber dari alat proses produksi dan/atau alat kerja yang pada tingkat tertentu dapat menimbulkan gangguan pendengaran.

2.1.2. Prinsip Dasar Kesehatan Lingkungan

Dalam menentukan efek kebisingan terhadap kesehatan maka dibedakan beberapa zona dimana kebisingan akan memberikan efek pada kesehatan manusia sesuai dengan lokasi kebisingan, menyebutkan ada 4 zona, yaitu:

(2)

b) Zona B, adalah zona bagi tempat perumahan, tempat pendidikan, rekreasi dan sejenisnya.

c) Zona C, adalah zona bagi perkantoran, pertokoan, perdagangan, pasar, dan sejenisnya.

d) Zona D, adalah zona bagi industri, pabrik, setasiun kereta api, terminal bis dan sejenisnya.

Untuk ke 4 zona tersebut harus memenuhi persyaratan sebagai berikut (Mukono, 2011):

Tabel 2.1. Zona Kebisingan

No. ZONA

Tiga aspek gelombang bising yang perlu diperhatikan untuk terjadinya gangguan pendengaran, yaitu frekuensi, intensitas, dan waktu.

(3)

diterima manusia hanya berkisar 500-3000 Hz. Gangguan pendengaran yang terjadi pada area rentang frekuensi ini menjadi sangat penting, karena akan menjadi hambatan aktivitas sehari–hari seseorang, terutama untuk berkomunikasi dengan orang lain.

Pada kegiatan sehari–hari di industri, kebanyakan bising yang terbentuk berasal dari campuran berbagai spektrum frekuensi yang dihasilkan dari bermacam-macam sumber suara seperti mesin, kendaraan bermotor, cerobong asap, teriakan suara manusia dan lain – lain. Untuk jenis bising ini diklasifikasikan sebagai bising nada lebar (wide band noise). Untuk bising yang berasal dari frekuensi yang hampir senada disebut bising nada sempit (narrow band noise) seperti yang berasal dari gergaji sirkular, alat pemotong elektrik, atau peralatan yang berputar lainnya.

Spektrum frekuensi merupakan salah satu faktor yang menentukan derajat gangguan suatu bising. Frekuensi bising yang tinggi dan bising nada sempit lebih mengganggu pendengaran dibandingkan dengan frekuensi bising yang rendah dan bising nada lebar.

Intensitas bunyi atau amplitudo atau derajat kekerasan bunyi atau sound pressure level (SPL) adalah besarnya daya atau tinggi gelombang suara, yang

(4)

2.1.4. Nilai Ambang Bising

Berdasarkan Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor PER. 13/MEN/X/2011 Tentang Nilai Ambang Batas Faktor Fisika dan Faktor Kimia di Tempat Kerja.

Tabel 2.2. Nilai Ambang Batas Kebisingan

Waktu Pemajanan per hari Intensitas Kebisingan dalam dB(A)

8 Jam 85

Jenis kebisingan yang sering ditemukan adalah:

(5)

b. Kebisingan menetap berkelanjutan dengan spektrum frekuensi tipis (steady state, narrow band noise), misalnya bising gergaji sirkuler, katup gas.

c. Kebisingan terputus–putus (intermittent noise), misalnya bising lalu lintas, suara kapal terbang di bandara.

d. Kebisingan impulsif (impact or impulsive noise), seperti bising pukulan palu, tembakan bedil atau meriam, dan ledakan.

e. Kebisingan impulsif berulang, misalnya bising mesin tempa di perusahaan atau tempaan tiang pancang bangunan (Suma’mur, 2009).

2.1.6. Sumber Kebisingan

Menurut Dirjen PPM dan PL, DEPKES & KESSOS RI Tahun 2000, sumber kebisingan dibedakan menjadi :

2.1.6.1. Bising Industri

Industri besar termasuk didalamnya pabrik, bengkel dan sejenisnya. Bising industri dapat dirasakan oleh karyawan maupun masyarakat disekitar industri(Subaris dan tearyono, 2008).

Sumber kebisingan di lingkungan industri :

a) Peralatan pemakai energi pada industri (furnace dan heater). b) Sistem kontrol benda cair (pompa air dan generator).

c) Proses industri (mesin dan segala sistemnya). d) Menara pendingin (cooling tower).

(6)

g) Alat/mesin bertekanan tinggi.

h) Pengelolaan material (crane dan fork-lift). i) Kendaraan bermotor.

j) Pengaturan arsitek bangunan yang tidak memenuhi syarat (Mukono,2011). 2.1.6.2 Bising Rumah Tangga

Umumya disebabkan oleh alat rumah tangga dan tidak terlalu tinggi tingkat kebisingannya.

2.1.6.3. Bising Spesifik

Bising yang disebabkan oleh kegiatan khusus misalnya pemasangan tiang pancang tol atau bangunan (Subaris dan Haryono, 2008).

2.1.7. Pengaruh Bising terhadap Kesehatan Tenaga Kerja

Bising menyebabkan berbagai gangguan pada tenaga kerja, seperti gangguan fisiologis, gangguan psikologis, gangguan komunikasi dan ketulian.

2.1.7.1. Gangguan Fisiologis

Pada umumnya, bising bernada tinggi sangat mengganggu, apabila terputus– putus atau yang datangnya tiba-tiba. Gangguan dapat berupa peningkatan tekanan darah (±10mmHg), peningkatan nadi, konstriksi pembuluh darah perifer terutama pada tangan dan kaki, serta dapat menyebabkan pucat dan gangguan sensoris.

2.1.7.2. Gangguan Psikologis

(7)

2.1.7.3. Gangguan Komunikasi

Gangguan komunikasi biasanya disebabkan masking effect (bunyi yang menutupi pendengaran yang jelas) atau gangguan kejelasan suara. Komunikasi pembicaraan harus dilakukan dengan cara berteriak. Gangguan ini bisa menyebabkan terganggunya pekerjaan, sampai pada kemungkinan terjadinya kesalahan karena tidak mendengar isyarat atau tanda bahaya, gangguan komunikasi ini secara tidak langsung membahayakan.

2.1.7.4. Gangguan Keseimbangan

Bising yang sangat tinggi dapat menyebabkan kesan berjalandi ruang angkasa atau melayang, yang dapat menimbulkan gangguan fisiologis berupa kepala pusing (vertigo) atau mual.

2.1.7.5. Efek pada Pendengaran

Efek pada pendengaran adalah gangguan paling serius karena dapat menyebabkan ketulian. Ketulian bersifat progresif. Pada awalnya bersifat sementara dan akan segera pulih kembali bila menghindar dari sumber bising, namun bila terus menerus bekerja di tempat bising, daya dengar akan hilang secara menetap dan tidak akan pulih kembali (Roestam,2004).

2.1.8. Pengenalan Bahaya Bising

(8)

yang timbul di tempat kerja dapat dikenali dengan cara sederhana ialah dengan menggunakan reaksi fisiologi atau keluhan subjektif dari tenaga kerja.

Kenyataan bahwa reaksi fisiologi atau keluhan subjektif dari tenaga kerja merupakan suatu alat yang baik untuk mengenal adanya bahaya bising di tempat kerja. Tanda atau gejala yang terlihat antara lain :

a) Bahaya bising ada, apabila tenaga kerja mengalami kesulitan berkomunikasi di tempat kerja pada jarak 1-1½ m, dengan suara setengah berteriak.

b) Bahaya bising ada, apabila tenaga kerja mengeluh karena timbul tinitus dalam telinganya pada setiap akhir kerja.

c) Bahaya bising ada, apabila tenaga kerja mengalami tuli sementara (temporary threshold shift) yang berkepanjangan.

d) Bahaya bising ada apabila tenaga kerja merasa ada gangguan pendengaran. e) Tenaga kerja sulit berkomunikasi

Apabila terjadi tanda atau gejala seperti itu, maka jelas sangat diperlukan suatu evaluasi terhadap tingkat intensitas kebisingan di tempat kerja (Soeripto, 2008).

2.1.9. Program Perlindungan terhadap Bahaya Tuli Akibat Kerja

Tempat kerja yang memiliki pajanan bising ≥85dB (A) selama 8 jam kerja sehari, diwajibkan melaksanakan program perlindungan terhadap bahaya tuli akibat kerja bagi para pekerjanya. Terdapat empat langkah program perlindungan terhadap bahaya tuli akibat kerja (occupational conservation), yaitu :

(9)

b)Upaya mengurangi intensitas bising

c) Melindungi penerima bising dengan alat pelindung diri, bila pajanan bising tidak dapat dihindarkan

d)Melaksanakan tes pendengaran awal kerja (baseline hearing test) dan dilanjutkan tes pendengaran periodik, untuk mengevaluasi efektivitas hearing conservation program.

2.1.10. Mengidentifikasi Sumber Bising di Tempat Kerja

Survei bising adalah pengukuran derajat kebisingan pada suatu lokasi tempat kerja. Tata cara pelaksanaan survei bising adalah sebagai berikut :

2.1.10.1. Survei Awal Sumber Bising

Survei awal sumber bising tidak dimaksudkan untuk mengetahui derajat dan lamanya pajanan bising secara mendalam, tetapi hanya untuk menentukan terjadinya pajanan bising yang membahayakan di suatu lokasi tempat kerja. Dengan demikian, survei awal sumber bising perlu dilaksanakan pada lokasi kerja yang diindikasikan terpajan bising yang membahayakan, misalnya dilokasi kerja yang pekerjanya mendapat kesukaran berkomunikasi dengan suara yang normal, atau bila terdapat beberapa pekerja yang menderita kurang pendengaran atau terjadinya tinnitus beberapa jam setelah pajanan bising.

2.1.10.2. Survei Bising Definitif

(10)

a. Memperoleh informasi pasti mengenai besarnya derajat bising di masing–masing lokasi tempat kerja yang dapat membahayakan pekerja, sehingga diyakini para pekerjanya membutuhkan alat pelindung diri terhadap pajanan bising.

b. Mengidentifikasi mesin atau peralatan yang menghasilkan derajat kebisingan tinggi sehingga diyakini para pekerjanya membutuhkan pengukuran derajat kebisingan dengan instrumen noise dosimeter.

c. Mengidentifikasi para pekerja yang terpajan derajat kebisingan tinggi, sehingga membutuhkan tes pendengaran.

d. Merencanakan pedoman pengendalian teknik dan/atau pengendalian administratif. e. Memastikan bahwa peraturan pelaksanaan kesehatan dan keselamatan kerja yang

ditetapkan pemerintah telah dilaksanakan dengan baik.

Pelaksaaan survei bising harus menggunakan sound pressure level meter yang memenuhi standar ANSI SI.4-1971/R.1971 yang diatur pada skala A, respons lambat, di sekeliling mesin atau peralatan yang diperkirakan menghasilkan derajat kebisingan tinggi, survei ini dilaksanakan memalui 3 tahap proses berikut :

Langkah 1 (Pengukuran Daerah/Lokasi Kebisingan)

(11)

Langkah 2 (Pengukuran di Tempat Kerja)

Untuk mengevaluasi para pekerja yang bekerja di daerah kebisingan dengan derajat bising maksimal 80-92 dB(A), dibutuhkan pengukuran masing-masing pekerja di tempat/meja kerjanya. Jika derajat bising maksimal tidak pernah kurang dari 90 dB(A), dapat di indikasikan bahwa pekerja di tempat ini bekerja dalam kondisi lingkungan kerja dengan derajat bising yang membahayakan. Namun,bila derajat bising maksimal tidak pernah lebih dari 85 dB(A), kondisi lingkungan masih dapat dianggap aman.

Langkah 3 (Lama Pajanan)

Bila di tempat kerja dengan tingkat bising maksimal bervariasi di sekitar angka 85dB(A), dibutuhkan analisis lebih lanjut. Biasanya noise dosimeter digunakan untuk mengukur jumlah pajanan bising pekerja tersebut sepanjang hari kerja. Mikrofon noise dosimeter sedekat mungkin dengan telinga pekerja tersebut, yaitu

dengan cara :

a) Meletakkan mikrofon di bahunya, kira–kira 15cm di sebelah lateral telinganya, pada pekerja yang banyak bergerak dalam bekerja

b) Meletakkan mikrofon di bahunya, sedekat mungkin dari telinganya (kira-kira 0,5 cm) pada pekerja yang menetap di tempat kerja.

2.1.11. Upaya Mengurangi Intensitas Bising dengan Pengendalian Derajat Bising

2.1.11.1. Pengendalian Administratif

(12)

a. Dibutuhkan tindakan yang dapat menjamin bahwa setiap individu di lingkungan kerja memiliki tanggung jawab untuk berkoordinasi dalam menjaga keberhasilan program perlindungan terhadap bahaya tuli akibat kerja, dengan cara melaporkan kemajuan dan masalah yang timbul pada pelaksanaan program ini kepada atasannya.

b. Diperlukan keputusan administratif yang dapat mendukung program perlindungan terhadap bahaya tuli akibat kerja, misalnya pembelian mesin yang spesifikasinya sesuai dengan standar yang disyaratkan dan tidak melampaui nilai ambang batas pajanan pada operator.

c. Untuk mengurangi lama pajanan pada pekerja yang bekerja di tempat dengan beresiko tinggi terpajan bising perlu dilaksanakan penjadwalan mengenai lamanya operasi mesin, atau dilaksanakan rotasi pekerja secara reguler.

2.1.11.2. Pengendalian Teknik

Mekanisme pengendalian bising dapat dilaksanakan melalui 3 arah, yaitu sumber bising, transmisi bising, dan penerima bising. Pengendalian ini dilakukan dengan cara :

a) Mengurangi intensitas sumber bising :

a. Memilih mesin dengan teknologi yang lebih maju guna mendapatkan mesin dengan suara yang lebih halus.

(13)

c. Pemeliharaan mesin yaitu memperbaiki, mengganti atau melumasi komponen mesin yang longgar, roda gigi atau packing yang rusak, sudah tua atau hilang untuk mengurangi sumber bising penyerta dan menggunakan peralatan pemotong yang tajam dan bentuknya sesuai dengan kebutuhan.

d. Subsitusi seperti mesin yang kecil dan berkecepatan tinggi diganti dengan mesin yang lebih besar tapi kecepatannya lebih rendah, mesin dengan ketukan tunggal yang keras diganti dengan ketukan bertahap tetapi lebih lemah, alat potong memanjang diganti dengan alat potong rotasi, putaran roda gigi diganti dengan putaran ban dan proses tempa diganti dengan proses pemadatan, proses pemadatan mekanik diganti dengan pemadatan hidrolik.

e. Mengurangi intensitas bunyi dari komponen peralatan yang bergetar melalui mengurangi daya atau kecepatan mesin, isolasi, menambah kekakuan, massa, dan ukuran komponen peralatan yang bergetar untuk mengurangi frekuensi resonansi, mengurangi bunyi yang dihasilkan akibat aliran gas dengan menggunakan saringan gas, mengurangi tekanan dan turbulensi gas, mengganti kipas pendorong yang kecil dan berkecepatan tinggi dengan yang lebih besar dan berkecepatan lebih rendah.

b) Menghambat transmisi bising

a. Mengurangi transmisi suara melalui benda padat dengan menggunakan bantalan yang fleksibel atau yang mempunyai daya pegas.

(14)

peralatan yang dapat mengatur distribusi suara (buffle), misalnya traktor yang dilengkapi peredam bising (fully insuled tractor).

c. Mengisolasi operator pada ruangan yang kedap suara. c) Alat pelindung diri

Bila pajanan bising tidak dapat dihindari, penerima bising harus menggunakan alat pelindung diri. Alat pelindung diri cukup efektif untuk mengurangi intensitas bising yang diterima oleh telinga, yaitu sekitar 10-32 dB(A). Alat pelindung diri dibedakan atas beberapa jenis, berikut ini :

a. Penutup kepala (enclosure protector), penutup seluruh kepala, seperti helm yang dipakai astronot, dapat mengurangi intensitas bising secara maksimal dari 35dB(A) pada frekuensi 350 Hz sampai 50 dB(A) pada frekuensi tinggi. Alat pelidung diri ini juga dapat mengurangi transmisi aliran bising. Penutup kepala ini jarang digunakan di sektor industri, karena harganya mahal. Cocok digunakan oleh tentara untuk melindungi bising dengan intensitas dan frekuensi yang sangat tinggi, seperti bom dan peluru kendali. Pemakaiannya yang dikombinasikan dengan alat pelindung diri yang lain (sumbat telinga atau penutup telinga) dapat mengurangi kembali intensitas bising hingga 10 dB(A).

(15)

tidak menimbulkan reaksi alergi dan sumbat telinga yang dipakai berulang yang terbuat dari bahan karet silikon lunak agar dapatdisterilisasi dengan alkohol atau dengan pemanasan. Karena ukurannya tetap, maka harus tersedia dalam berbagai ukuran, sumbat telinga ketat terbuat dari bahan yang seperti karet, difiksasi dengan pita penutup yang dilekatkan dengan ketat untuk menambah daya pengurangan intensitas bising.

c. Penutup telinga (circum aural protector)

Biasanya disebut earmuff, yang terdiri dari 2 buah mangkok yang dihubungkan dengan tangkai penghubung untuk menempel dengan ketat pada telinga pemakai. Bantalan mangkok penutup harus diganti secara teratur setiap 3–6 bulan sekali untuk menjamin penutupan telinga tetap ketat dan nyaman.

Pemilihan masing–masing jenis alat pelindung diri tergantung dari karakteristik bising yang dihasilkan, dengan mempertimbangkan faktor–faktor kemudahan, cara pemakaian, dan efektivitas pengurangan intensitas bising. Lebih praktis untuk pajanan bising yang mengalir terus menerus.

(16)

2.1.11.3. Tes Pendengaran 1. Tes pendengaran awal

Tes audiometri awal dilaksanakanpada semua pekerja dalam 6 bulan pertama pajanan bising. Gambaran audiogram pekerja harus sudah diperoleh paling sedikit 14 jam sebelum terpajan bising terus menerus.

2. Tes pendengaran periodik

Pada pekerja yang bekerja di lingkungan dengan bising ≥85 dB(A), harus dilaksnakan tes audiometri berkala setiap tahun sekali.

2.1.11.4. Pelatihan

Pada pekerja yang bekerja di lingkungan dengan bising ≥85 dB(A), perlu dilaksanakan pelatihan tentang masalah yang timbul akibat bising, tujuan tes audiometri, keuntungan dan kerugian, serta tata cara pengguanan alat pelindung diri yang benar (Harrianto, 2010).

2.1.11.5. Strategi untuk Mencegah Tuli Akibat Bising a. Strategi perlindungan individu

(17)

situasi bunyi yang keras dan menghindarkannya bila mungkin atau menggunakan tutup telinga. Sangat penting untuk menyadari bahwa tingkat kebisingan dan lamanya (paparan) memiliki kontribusi dalam menimbulkan resiko. Bunyi tertentu, seperti ledakan dapat menyebabkan kerusakan permanen yang cepat.

b. Strategi Non Okupasional

Ketulian akibat bising berasal dari bukan lingkungan pekerjaan cukup sering terjadi, tapi umumnya sedikit yang menyadarinya. Program pendidikan dengan sasaran anak–anak, orang tua, grup hobby dan jabatan profesional seperti guru, dokter, audiologist, insinyur, arsitek dan ahi hukum. Konsumen membutuhkan panduan dan label peringatan produk untuk membantu mereka dalam memilih peralatan yang lebih melindungi dan dalam mengimplementasikan strategi untuk mengurangi paparan. Masyarakat harus diberitahukan tentang efektivitas dari alat perlindungan pendengaran (sumbat telinga, tutup telinga dan canal caps). Produsen alat tersebut harus memberikan petunjuk yang menyeluruh tentang cara penggunaan protektor.

c. Strategi okupasional

(18)

perubahan pendengaran. Peraturan pemerintah yang diterapkan pada industri–industri yang menimbulkan kebisingan harus direvisi agar meliputi semua industri dan semua karyawan, diawasi secara ketat dan sanksi yang berat bagi yang melanggarnya.

Program konservasi pendengaran yang dilakukan sering tidak efektif karena organisasi yang buruk dan pelatihan staf yang tidak adekuat. Pimpinan perusahaan harus dapat mengontrol kebisingan yang ada, menggunakan peralatan yang lebih senyap dan mengarahkan kepada pengurangan kebisingan pada perencanaan peralatan baru.

Paparan bunyi harus diukur secara akurat dan tingkat gangguan yang ditimbulkan pada pekerja. Alat perlindungan pendengaran yang digunakan harus nyaman, praktis untuk pekerjaan, memberikan proteksi yang adekuat. Pekerja perlu memonitor efektivitas program dengan menggunakan teknik yang sesuai untuk menganalisa data audiometri. Dengan mendeteksi daerah yang bermasalah, manager dapat memprioritaskan alokasi sumber dana dan memodifikasi kebijakan perusahaan untuk meningkatkan efektivitas, mengurangi biaya kompensasi pekerja, mengurangi absen, memperkecil kecelakaan dan meningkatkan produktivitas.

d. Strategi umum

(19)

dan produk yang dihasilkan sesuai dengan peraturan tentang tingkat emisi maksimal dari hasil produksi, seperti peralatan pertukangan (Gunawanta, 2002).

2.2. Anatomi Telinga

Telinga secara anatomi terbagi atas tiga bagian yaitu telinga luar yang terdiri dari daun telinga, liang telinga dan sisi luar membran timpani. Kemudian telinga tengah berbentuk ruang dengan enam dinding yang berisikan rangkaian tulang-tulang pendengaran dan assesorisnya serta bagian telinga dalam yang terdiri dari organ keseimbangan atau vestibuler dan organ pendengaran atau koklea yang berlanjut ke susunan saraf pusat melalui serabut saraf penghantar informasi yang diterima oleh organ secara keseluruhan setelah melalui proses yang diperlukan.

Daun telinga dibentuk oleh tulang rawan dan otot, kemudian berlanjut ke arah liang telinga yang terdiri dari lapisan tulang rawan berbentuk corong yang menutupi hampir sepertiga lateral, berisi kelenjar serumen dan folikel rambut, sedangkan dua pertiga liang telinga lainnya dibentuk oleh tulang yang ditutupi oleh kulit yang melekat erat dengan membran timpani.

(20)

atau amplifikasi sebelum memasuki ruang telinga dalam. Organ telinga dalam atau koklea yang biasa disebut dengan rumah siput membentuk tabung ulir yang dilindungi oleh tulang dengan panjang sekitar 35 mm dan terbagi atas skala vestibuli, skala media dan skala timpani.

Di dalam ruang telinga dalam terdapat beberapa komponen penting terutama organ corti yang terdiri dari sel rambut dalam, sel rambut luar, sel-sel penunjang Deiters, Hensen’s, Claudius’s, membran tektoria dan lamina retikularis. Sel rambut

dalam dan sel rambut luar berperan dalam mengubah hantaran bunyi yang berbentuk energi mekanik/akustik atau getar gelombang bunyi yang diteruskan dari telinga tengah yang disampaikan melalui aktifitas kaki tulang stapes dalam bentuk gerakan seperti piston pada permukaan tingkap lonjong menjadi energi listrik.

Setelah energi mekanik gelombang bunyi mengalami proses sampai dengan berubah menjadi energi listrik maka energi tersebut akan diteruskan oleh sistem organ tepi tersebut menuju ke sistem yang lebih dalam melalui serabut saraf menuju pusat pendengaran di otak.

(21)

informasi dari sel rambut pada koklea akan berlanjut ke nukleus auditorius sampai ke korteks pendengaran (Bramantyo dkk, 2008).

2.3. Fisiologi Pendengaran

Proses mendengar diawali dengan ditangkapnya energi bunyi oleh daun telinga dalam bentuk gelombang yang dialirkan melalui udara atau tulang ke koklea. Getaran tersebut menggetarkan membran timpani diteruskan ke telinga tengah melalui rangkain tulang pendengaran yang akan mengamplifikasi getaran melalui daya ungkit tulang pendengaran dan perkalian perbandingan luas membran timpani dan tingkap lonjong.

(22)

2.4. Pengertian Gangguan Pendengaran dan Ketulian

Menurut WHO pengertian gangguan pendengaran dan ketulian dibedakan berdasarkan ketentuan sebagai berikut:

1) Gangguan Pendengaran : berkurangnya kemampuan mendengar baik sebagian atau seluruhnya, pada salah satu atau kedua telinga, baik derajat ringan atau lebih berat dengan ambang pendengaran rata-rata lebih dari 26 dB(A) pada frekuensi 500, 1000, 2000 dan 4000 Hz (Modul, 2008).

2) Ketulian : hilangnya kemampuan mendengar pada salah satu atau kedua sisi telinga, merupakan gangguan pendengaran sangat berat dengan ambang pendengaran rata–rata lebih dari 81 dB(A) pada frekuensi 500, 1000, 2000 dan 4000Hz.

Gangguan pendengaran atau tuli adalah penurunan fungsi pendengaran. Ada tiga jenis gangguan pendengaran yang dapat dikenali dengan uji pendengaran : tuli konduksi, tuli sensorineural dan gabungan keduanya atau tuli campuran. Penyebab gangguan pendengaran berdasarkan jenis ketulian atau lokasi adalah

a. Tuli konduksi adalah akibat kelainan telinga luar dan atau tengah dengan telinga dalam normal seperti liang telinga, membran timpani, kavum timpani, radang, trauma telinga dan oklusio tuba.

(23)

hipertensi, avitaminosis B1, intoksikasi obat: Steptomisin, Kina, Garamisin, infeksi.

c. Tuli campuran atau kombinasi meliputi gangguan pendengaran pada kedua mekanisme konduksi dan sensorineural seperti otitis media kronika stadium lanjut, dimana telah terjadi komplikasi ke labirin, otosklerosis stadium lanjut, dimana telah terjadi penjalaran pembentukan tulang pada labirin, trauma kapitis, dimana telah terjadi ruptur membran timpani dan putusnya rantai osikel, hematotimpani atau fraktur os temporal yang merusak koklea, trauma akustik, dimana disamping merusak membran timpani dan rantai osikel juga bunyi yang sangat keras dapat merusak organ Corti (Hetaharia danMulyani, 2011).

2.4.2. Cara Pemeriksaan Pendengaran 2.4.2.1. Audiometri Nada Murni

(24)

dicatat pada audiogram untuk memperoleh informasi tentang jenis dan derajat ketulian.

Notasi pada audiogram dipakai grafik AC (air conduction), yaitu dibuat dengan garis lurus penuh (Intensitas yang diperiksa antara 125-8000 Hz) dan grafik BC (bone conduction) yaitu dibuat dengan garis terputus–putus (intensitas yang diperiksa : 250-4000 Hz).

Untuk telinga kiri dipakai warna biru, sedangkan untuk telinga kanan, warna merah. Dari hasil pemeriksaan audiogram disebut ada gap apabila antara AC dan BC terdapat perbedaan lebih atau sama dengan 10 dB(A), minimal pada 2 frekuensi yang berdekatan. Pada pemeriksaan audiometri, kadang–kadang perlu diberi masking. Suara masking, diberikan berupa suara seperti angin (bising), pada head phone telinga yang tidak diperiksa supaya telinga yang tidak diperiksa tidak dapat mendengar bunyi yang diberikan pada telinga yang diperiksa.

Pemeriksaan dengan masking dilakukan apabila telinga yang diperiksa mempunyai pendengaran yang mencolok bedanya dari telinga yang satu lagi. Oleh karena AC pada 45 dB(A) atau lebih dapat diteruskan melalui tengkorak ke telinga kontralateral, maka pada telinga kontralateral (yang tidak diperiksa) diberi bising supaya tidak dapat mendengar bunyi yang diberikan pada telinga yang diperiksa. Dari audiogram dapat dilihat apakah pendengaran normal (N) atau tuli. Jenis ketulian, tuli konduktif, tuli sensorineural atau tuli campur. Derajat ketulian dihitung dengan menggunakan indeks Fletcher yaitu :

(25)

Menurut kepustakaan terbaru frekuensi 4000Hz berperan penting untuk pendengaran, sehingga perlu turut diperhitungkan, sehingga derajat ketulian dihitung dengan menambahkan ambang dengar 4000Hz dengan ketiga ambang dengar di atas, kemudian dibagi 4.

Ambang Dengar (AD) =

Dapat dihitung ambang dengar hantaran udara (AC) atau hantaran tulang (BC). Pendengaran normal: AC dan BC sama atau kurang dari 25 dB(A), AC dan BC berhimpit, tidak ada gap. Tuli sensorineural : AC dan BC lebih dari 25 dB(A), AC dan BC berhimpit tidak ada gap. Tuli konduktif: BC normal atau kurang dari 25dB(A) AC, lebih dari 25dB(A), antara AC dan BC terdapat gap. Tuli campur : BC lebih dari 25 dB(A), AC lebih besar dari BC terdapat gap.

Dari hasil pemeriksaan audiogram disebut ada gap apabila antara AC dan BC terdapat perbedaan lebih atau sama dengan 10dB(A), minimal pada 2 frekuensi yang berdekatan.Dalam menentukan derajat ketulian, yang dihitung hanya ambang dengar hantaran udaranya (AC) saja.

Derajat ketulian (ISO 1964) : 0 – 25 dB : normal

(26)

>40- 55 dB : tuli sedang >55- 70 dB : tuli sedang berat >70 - 90 dB : tuli berat

> 90 dB : tuli sangat berat (Soetirto dkk, 2010) Tes Audiometri

Tes pendengaran dengan manual pure–tone audiometer merupakan pemeriksaan yang paling penting untuk mendeteksi terjadinya gangguan pendengaran. Untuk menghasilkan tes audiometri yang optimal dibutuhkan ruang kedap suara yang memadai, peralatan audiometer yang sudah dikalibrasi dan operator yang terlatih. Manual pure-tone audiometer merupakan peralatan yang memiliki kemampuan pengendalian frekuensi dan intensitas suara dari nada–nada murni yang diaplikasikan pada individu yang diperiksa. Rentang frekuensi biasanya berkisar antara 125 atau 250–8000 Hz dan dibagi dalam beberapa interval yang jelas. Intensitas suara dapat digambarkan sebagai variable dengan interval 5 atau 10 dB(A). Intensitas suara minimum yang terdengar oleh kedua telinga seorang dewasa muda yang sehat pada beberapa frekuensi yang berbeda, dinyatakan sebagai titik 0 (nol), dan digambarkan sebagai sebuah garis lurus, untuk menyatakan referensi nilai ambang batas titik nol dari potensi pendengaran manusia.

(27)

untuk menentukan potensi pendengaran individu yang diperiksa. Selama proses pengetesan, telinga yang tidak dites harus ditutup, biasanya dengan menekan tragus untuk menutup liang telinga luar. Operator melakukan tes pendengaran dari berbagai frekuensi untuk mencatat intensitas suara minimum yang dapat didengar individu yang diperiksa. Perbedaan beberapa desibel dari titik nol dengan nilai yang dapat didengar, dilaporkan sebagai derajat potensi pendengaran individu yang diperiksa, yang berarti sebagai derajat penurunan potensi pendengaran dari masing–masing frekuensi yang diperiksa.

Dengan alat ini, gangguan pendengaran akibat bising sudah dapat diindikasikan sejak dini sebelum menimbulkan gejala gangguan berkomunikasi, dengan karakteristik gambaran audiogram yaitu, terjadinya penurunan tajam gambaran audiogram pada frekuensi 4000 Hz. Pada kasus yang lebih berat, gambaran penurunan di titik tersebut menjadi lebih tajam dan lebih lebar, dan biasanya bilateral. Penurunan potensi pendengaran pada frekuensi tinggi jarang melampaui 75 dB(A), sedangkan pada frekuensi rendah jarang melampaui 40 dB(A) (Harrianto, 2010).

2.5. Ketulian Akibat Bising

(28)

Bising yang berintensitas 85 dB(A) atau lebih dapat mengakibatkan kerusakan pada reseptor pendengaran Corti di telinga dalam. Yang sering mengalamikerusakan adalah alat Corti untuk reseptor bunyi yang berfrekuensi antara 3000 Hz sampai dengan 6000 Hz dan yang terberat kerusakan alat corti untuk reseptor bunyi yang berfrekuensi 4000 Hz. Beberapa teori menjelaskan terjadinya takik pada frekuensi 4000 Hz sebagai berikut : 1) membran basilaris di daerah belokan pertama, yaitu kira–kira 10mm dari oval window vaskularisasinya sangat kurang sehingga sangat rentan; 2) membran basilaris pada tempat tersebut kaku dan tegang sehingga mudah rusak; 3) perubahan amplitudo dan kecepatan gelombang suara mulai terbentuk pada daerah 4000 Hz (Susilawati dkk, 2010).

2.5.1. Gejala

Kurang pendengaran disertai tinitus (berdengung di telinga) atau tidak. Bila sudah cukup berat disertai keluhan sukar menangkap percakapan dengan kekerasan biasa dan bila sudah lebih berat percakapan yang keraspun sukar dimengerti. Secara klinis pajanan bising pada organ pendengaran dapat menimbulkan reaksi adaptasi, peningkatan ambang dengar sementara (temporary threshold shift) menetap (permanent threshold shift) (Bashiruddin dan Soetirto, 2010).

(29)

meningggalkan tempat kerja, tetapi kemudian pendengaran terang lagi setelah beberapa jam jauh dari lingkugan bising. Nyeri dan vertigo jarang ditemukan. Selama paparan bising berlangsung, ketulian menyebar kedua arah tetapi hanya ada sedikit efek pada pendengaran. Gangguan pendengaran biasanya tidak disadari sampai ambang pendengaran bunyi nada percakapan 500, 1000, 2000, dan 3000 Hz rata–rata lebih dari 25 dB(A). Ketulian berat dapat timbul pada frekuensi 3000-8000 Hz, mungkin menyebabkan keluhan subjektif sedikit saja mengenai perubahan pendengaran. Awal dan perkembangan tuli saraf akibat NIHL lambat dan tidak jelas, dan pekerja mungkin tidak sadar akan gangguan pendengarannya atau tidak peduli. Ketulian selalu tipe sensorineural dan serupa kualitas dan kuantitasnya pada kedua telinga. Secara otoskopik gendang telinga tampak normal (Fox, 1997).

2.5.2. Diagnosis

(30)

sensitivity index), ABLB (alternate binaural loudness balance), MLB (monoaural

loudness balance), audiometri Bekesy, audiometri tutur (speech audiometry), hasil

menunjukkan adanya fenomena rekrutmen (recrutiment) yang patognomonik untuk tuli sensorineural koklea.

Rekrutmen adalah suatu fenomena pada tuli sensorineural koklea, dimana telinga yang tuli menjadi lebih sensitif terhadap kenaikan intensitas bunyi yang kecil pada frekuensi tertentu setelah terlampaui ambang dengarnya (Bashiruddin dan Soetirto, 2010).

2.5.3. Penatalaksanaan

(31)

2.5.4. Prognosis

Oleh karena jenis ketulian akibat terpapar bising adalah tuli saraf koklea yang sifatnya menetap, dan tidak dapat diobati secara medikamentosa maupun pembedahan, maka prognosisnya kurang baik. Oleh karena itu yang terpenting adalah pencegahan terjadinya ketulian (Rambe, 2003).

2.6. Landasan Teori

Ketulian akibat bising didefenisikan secara umum sebagai gangguan pendengaran yang berkembang secara perlahan dalam periode waktu yang lama (beberapa tahun) akibat terpapar bising secara terputus–putus atau menetap berulang. Ketulian akibat bising memberikan gambaran tuli sensorineural, bilateral yang disertai takik pathognomonic pada frekuensi 4000 Hz pada audiogram (Seidman dan Standaring, 2010).

Paparan bising yang menetap berulang lebih dari 85dB(A) selama 8 jam terbukti menyebabkan NIHL (Seidman dan Standring, 2010). Apabila telinga normal terpapar bising pada intensitas yang merusak selama periode waktu yang cukup lama, akan terjadi penurunan pendengaran yang temporer, yang akan menghilang setelah beristirahat beberapa menit atau beberapa jam. Kurang pendengaran temporer ini merupakan fenomena yang fisiologis dan disebut sebagai perubahan ambang temporer (temporary threshold shif/ TTS). Diduga terjadi di sel rambut organ corti

(32)

pemaparannya lebih lama dan atau intensitasnya lebih besar, akan tercapai suatu tingkat ketulian yang tidak dapat kembali lagi ketingkat pendengaran semula. Keadaan tersebut disebut ketulian akibat bising (noise induced hearing loss) atau perubahan ambang permanen (permanent threshold shift/PTS).Bila dilakukan pemeriksaan audiogram, harus dipastikan bahwa tiap karyawan tertentu tidak terpapar oleh bising sekurang–kurangnya selama 12-14 jam (Fox, 1997).

Ada banyak faktor yang mempengaruhi tingkat dan beratnya ketulian yang didapatkan pada kasus-kasus ketulian akibat kerja yaitu (1) intensitas atau kerasnya bunyi (sound pressure level), (2) tipe bising (spektrum frekuensi), (3) periode pemaparan perhari (duty cycle perday), (4) lamanya masa kerja, (5) kerentanan individual, (6) umur pekerja, (7) penyakit telinga yang menyertai, (8) sifat lingkungan tempat bising dihasilkan, (9) jarak dari sumber bunyi, dan (10) posisi tiap telinga terhadap gelombang suara. Empat yang pertama merupakan faktor–faktor terpenting dalam pemaparan bising (Fox, 1997).

(33)

adalah tuli sensorineural frekuensi tinggi mulai dari frekuensi 1000 Hz, umumnya terjadi mulai usia 65 tahun, simetris pada telinga kiri dan kanan (Suwento dan Hendarmin, 2010).

2.7. Kerangka Konsep

Berdasarkan landasan teori maka dapat dirumuskan kerangka konsep penelitian sebagai berikut :

Variabel Independen Variabel Dependen

Gambar 2.1 Kerangka Konsep Penelitian

Ketulian Akibat Bising

(Y) Pekerja Terpapar Bising

Gambar

Tabel 2.2. Nilai Ambang Batas Kebisingan
Gambar 2.1 Kerangka Konsep Penelitian

Referensi

Dokumen terkait

Hasil: 1) Pada bagian Final Test diperoleh hasil pengukuran tingkat kebisingan berkisar antara 94,9-103 dB(A), nilai ini diatas NAB. 2) sebesar 38,64% pekerja mengalami stres

Hasil: 1) Pada bagian Final Test diperoleh hasil pengukuran tingkat kebisingan berkisar antara 94,9-103 dB(A), nilai ini diatas NAB. 2) sebesar 38,64% pekerja mengalami stres