• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh Kebisingan Terhadap Kejadian Ketulian Akibat Bising (Noise Induced Hearing Loss) Pada Pekerja Bengkel (Workshop) Balai Yasa Pulubrayan Sumatera Utara PT. Kereta Api Indonesia Chapter III VI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pengaruh Kebisingan Terhadap Kejadian Ketulian Akibat Bising (Noise Induced Hearing Loss) Pada Pekerja Bengkel (Workshop) Balai Yasa Pulubrayan Sumatera Utara PT. Kereta Api Indonesia Chapter III VI"

Copied!
34
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 3

METODE PENELITIAN

3.1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini merupakan explanatory research yaitu penjelasan yang ditujukan untuk menganalisis pengaruh intensitas kebisingan, frekuensi kebisingan, periode pemaparan perhari, masa kerja dan penggunaan APD terhadap ketulian akibat bising. Rancangan penelitian dilakukan dengan menggunakan metode cross sectional, yaitu cara pendekatan observasi atau pengumpulan data sekaligus pada saat

tertentu (point time approach), (Notoadmojo, 2010).

3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan pada Unit Produksi, Bengkel (Workshop) Balai Yasa Pulubrayan di lingkungan Divisi Regional I Sumatera Utara. PT. Kereta Api Indonesia yang berlokasi di jalan Bengkel Pulubrayan Medan. Alasan pemilihan lokasi disebabkan dalam menjalankan pekerjaan sehari-hari unit produksi memiliki nilai ambang batas kebisingan yang mempunyai potensi bahaya (hazard) dan belum pernah dilakukan pemeriksaan pendengaran/survei kebisingan.

(2)

3.3. Populasi dan Sampel 3.3.1. Populasi

Populasi pada penelitian ini adalah seluruh pekerja di unit produksi berjumlah 60 orang yang berstatus pegawai pemerintah dengan jam kerja + 8 jam sehari.

3.3.2. Sampel

Sampel yang diambil pada penelitian ini adalah berdasarkan pertimbangan (purposive sampling) dengan kriteria inklusi :

a. Masa kerja > 1 tahun

b. Pada pemeriksaan tidak dijumpai kelainan yang memengaruhi sistim fungsi pendengaran.

c. Tidak ada riwayat sakit telinga yang memengaruhi sistim fungsi pendengaran. d. Tidak ada riwayat trauma kepala, trauma akustik yang memengaruhi fungsi

pendengaran.

e. Tidak ada riwayat keluarga dengan gangguan pendengaran yang dibawa sejak lahir.

f. Tidak menderita penyakit sistemik seperti: DM.

g. Tidak sedang mendapat obat ototoksik selama penelitian. h. Tidak ada riwayat pekerjaan/hobi yang terpapar bising. i. Bersedia diikutsertakan dalam penelitian.

(3)

3.4. Metode Pengumpulan Data Data yang dikumpulkan berupa : 1. Data primer

a. Pengukuran intensitas kebisingan (sound pressure level) dan frekuensi kebisingan di tempat kerja dengan menggunakan Sound Level Meter.

b. Pengukuran ambang pendengaran pekerja dengan menggunakan Audiometer. c. Pengukuran faktor kebisingan (periode pemaparan perhari, masa kerja,

penggunaan APD) dengan menggunakan kuesioner. Peneliti melakukan wawancara langsung pada responden dengan berpedoman pada kuesioner/status penelitian.

2. Data sekunder, berupa data penunjang yang diperoleh dari pihak manajemen.

3.5. Variabel dan Definisi Operasional 3.5.1. Variabel

a. Variabel bebas yaitu faktor risiko kebisingan yang meliputi intensitas kebisingan (sound pressure level), frekuensi kebisingan, periode pemaparan per hari (duty cycle perday), dan masa kerja.

b. Variabel terikat yaitu ketulian akibat bising (noise induced hearing loss). 3.5.2 Definisi Operasional

a. Intensitas Kebisingan

(4)

Sound level meter dengan satuan dB(A), dinyatakan dalam bentuk skala pengukuran ordinal dengan kategori :

0 = Tidak sesuai dengan NAB (> 85 dB(A)) 1 = Sesuai dengan NAB (≤ 85 dBA)) b. Frekuensi Kebisingan

Frekuensi kebisingan yaitu jumlah gelombang yang merambat per satuan waktu, dan dinyatakan dalam getaran per detik (cps/cycle per second) atau dalam Hertz (Hz), dinyatakan dalam bentuk skala pengukuran ordinal dengan kategori :

0 = jika frekuensi kebisingan lingkungan kerja ≥ 2000-3000 Hz 1 = jika frekuensi kebisingan lingkungan kerja 500 - < 2000 Hz c. Periode Pemaparan

Periode pemaparan perhari yaitu lama paparan bising dalam satu hari kerja dan dihitung dalam jam/hari. Diukur dengan cara jumlah jam kerja setiap hari dikurangi dengan lama waktu istirahat dalam waktu bekerja, dinyatakan dalam skala pengukuran ordinal dengan kategori :

0 = jika pekerja mempunyai periode pemaparan perhari > 1 = jika pekerja mempunyai periode pemaparan perhari < 8 jam

8 jam

d. Masa Kerja

(5)

e. Penggunaan APD

Penggunaan APD yaitu pemakaian alat pelindung diri, dinyatakan dalam bentuk skala pengukuran ordinal dengan kategori :

0 = Tidak memakai APD, jika tenaga kerja tidak memakai ear plug atau ear muff selama bekerja atau selama berada di lingkungan kerja.

1 = Memakai APD, jika tenaga kerja memakai ear plug atau ear muff selama bekerja atau selama berada di lingkungan kerja

f. Ketulian akibat bising (noise induced hearing loss)

Ketulian akibat bising (noise induced hearing loss) yaitu kurang pendengaran yang timbul akibat terpajan bising yang cukup keras 85 dB(A) atau lebih dalam jangka waktu yang cukup lama, biasanya disebabkan oleh bising lingkungan kerja dan hasil pemeriksaan pada satu atau kedua telinga melalui pengukuran audiometer yang memberikan gambaran tuli sensorineural, disertai takik pada frekuensi 4.000 Hz dinyatakan dalam bentuk skala pengukuran ordinal dengan kategori :

0 = NIHL; apabila hasil pemeriksaan audiometri > 25 dB(A) pada salah satu telinga atau kedua telinga, memberikan gambaran tuli sensorineural, disertai takik pada frekuensi 4000 Hz.

(6)

3.6. Metode Pengukuran

Pengukuran variabel dalam penelitian ini dengan menggunakan kuesioner, sound level meter dan audiometer.

a. Kuesioner/status penelitian

Pengukuran faktor risiko kebisingan (periode pemaparan perhari/duty cycle perday, masa kerja, penggunaan APD) menggunakan alat ukur

kuesioner/status penelitian. b. Sound level meter

Alat yang digunakan untuk mengukur intensitas atau kebisingan (sound pressure level) dan frekuensi kebisingan adalah sound level meter.

Pengukuran dilakukan menurut skala A oleh teknisi, ketika pekerja melakukan aktivitas pekerjaannya.

c. Audiometer

Alat yang digunakan untuk mengukur pendengaran adalah audiometer. Pengukuran dilakukan oleh teknisi yang bersertifikat, pemeriksaan dilakukan terhadap pekerja yang tidak terpapar oleh bising sekurang–kurangnya selama 12-14 jam. Hasil pemeriksaan audiometer disebut audiogram.

3.6.1. Prosedur Penelitian

Langkah-langkah yang dilakukan oleh peneliti dalam melaksanakan penelitian adalah sebagai berikut :

(7)

penjaringan sampel, pengukuran pendengaran/audiometri, pengukuran intensitas kebisingan (sound pressure level), frekuensi kebisingan dan data sekunder.

b. Wawancara terhadap seluruh pekerja di unit produksi berjumlah 60 orang (populasi) merujuk pada kuesioner untuk penjaringan sampel.

c. Semua sampel penelitian yang memenuhi kriteria inklusi terlebih dahulu dilakukan pemeriksaan otoskopi dengan menggunakan lampu kepala dan otoskop. Telinganya dibersihkan bila ada kotoran, selanjutnya pendengaran pasien diperiksa dengan menggunakan audiometer. Derajat ketulian ditentukan dengan mengukur nilai rata-rata ambang pendengaran pada frekwensi percakapan (500 Hz, 1000 Hz, 2000 Hz dan 4000 Hz) untuk hantaran udara dan hantaran tulang terhadap skala ISO 1964.

d. Pengukuran intensitas kebisingan (sound pressure level) dan frekuensi kebisingan pada unit produksi.

3.7. Metode Analisis Data 1. Analisis Data

Penelitian ini menggunakan 3 tahapan analisis yaitu analisis univariat, bivariat, dan multivariat.

a. Analisis Univariat

(8)

dalam bentuk tabel distribusi frekuensi dan persentase masing-masing kelompok dalam skala nominal dan ordinal disertai dengan narasi.

b. Analisis Bivariat

Uji statistik yang digunakan untuk mengetahui ada tidaknya hubungan antara variabel bebas dengan variabel terikat adalah uji statistik chi square (x2). Apabila dalam penelitian ini menunjukkan ada hubungan, maka untuk mencari pengaruh dapat diteruskan, apabila menunjukkan tidak ada hubungan, maka analisis pengaruh tidak dapat diteruskan.

c. Analisis Multivariat

Analisis ini dilakukan untuk melihat pengaruh antara dua variabel atau lebih, yaitu variabel bebas dan variabel terikat. Uji statistik yang akan digunakan adalah regresi logistik ganda dengan model (Budiarto,2002) sebagai berikut :

p(x)= (z)

1

1

(9)

BAB 4

HASIL PENELITIAN

4.1. Deskripsi Lokasi Penelitian

Unit Pelaksanaan Teknis (UPT) Balai Yasa Pulubrayan adalah satuan organisasi di lingkungan PT. Kereta Api Indonesia (Persero) yang berada di bawah Divisi Regional I Sumatera Utara di Medan dan berkedudukan di Pulubrayan. Unit ini mempunyai tugas pokok merencanakan dan melaksanakan program pemeliharaan dan perbaikan lokomotif, Kereta Rel Diesel (KRD), kereta, gerbong, dan fasilitas kerja, pengendalian dan evaluasi kinerja serta menjamin kualitas hasil pemeliharaan dan perbaikan, melaksanakan pembinaan administrasi sumber daya manusia (SDM), kerumahtanggaan dan umum, administrasi keuangan, serta administrasi logistik.

UPT Balai Yasa Pulubrayan dibagi dalam beberapa bagian yakni bagian administrasi, logistik, perencanaan, produksi dan quality control. Unit produksi terdiri dari :

a. Golongan lokomotif dan KRD bertugas untuk pemeliharaan dan perbaikan motor diesel dan turbo, charger lokomotif dan KRD, body, bogie, dan alat bantu (auxiliary).

(10)

c. Golongan Gerbong bertugas untuk pemeliharaan dan perbaikan dinding, lantai, pintu, peralatan rem dan rangka dasar alat tolak tarik, pengecatan, pengereman dan bogie set.

d. Golongan Logam bertugas untuk pelaksanaan garapan logam bersudip/logam dingin (pembubutan), perakitan, revisi dan rekondisi suku cadang, logam panas (pengecoran dan pengelasan).

4.2. Karakteristik Responden

Semua responden dalam penelitian ini adalah laki-laki, kemudian responden dikelompokkan berdasarkan kelompok umur jumlah terbesar adalah 33-38 tahun sebanyak 14 orang (33,3%), kelompok umur jumlah terkecil adalah 27-32 tahun sebanyak 2 orang (4,8%), dapat dilihat pada tabel 4.1 :

Tabel 4.1. Distribusi Umur pada Pekerja Bengkel (Workshop) Balai Yasa Pulubrayan Sumatera Utara PT. Kereta Api Indonesia

(11)

4.3. Analisis Univariat 4.3.1. Intensitas Kebisingan

Dari hasil penelitian yang dilaksanakan, diperoleh hasil intensitas kebisingan responden paling banyak adalah kategori tidak sesuai dengan NAB yakni sebanyak 23 orang (54,8%) dan paling sedikit adalah kategori sesuai dengan NAB yakni sebanyak 19 orang (45,2%). Secara rinci dapat dilihat pada tabel di bawah ini :

Tabel 4.2. Distribusi Intensitas Kebisingan pada Bengkel (Workshop) Balai Yasa Pulubrayan Sumatera Utara PT. Kereta Api Indonesia

No Intensitas Kebisingan f %

1 Tidak sesuai NAB 23 54,8

2 Sesuai NAB 19 45,2

Jumlah 42 100,0

4.3.2. Frekuensi Kebisingan

Dari hasil penelitian yang dilaksanakan, diperoleh hasil frekuensi kebisingan responden paling banyak adalah kategori ≥ 2000 -3000 Hz yakni sebanyak 23 orang (54,8%) dan paling sedikit adalah kategori 500-<2000 Hz yakni sebanyak 19 orang (45,2%). Secara rinci dapat dilihat pada tabel di bawah ini :

Tabel 4.3. Distribusi Frekuensi Kebisingan pada Bengkel (Workshop) Balai Yasa Pulubrayan Sumatera Utara PT. Kereta Api Indonesia

No Frekuensi Kebisingan f %

1 ≥2000-3000 Hz 23 54,8

2 500- < 2000 Hz 19 45,2

(12)

4.3.3. Periode Pemaparan Perhari

Dari hasil penelitian yang dilaksanakan, diperoleh hasil periode pemaparan perhari responden paling banyak adalah kategori < 8 jam/hari yakni sebanyak 25 orang (59,5%) dan paling sedikit adalah kategori > 8 jam/hari yakni sebanyak 17 orang (40,5%). Secara rinci dapat dilihat pada tabel di bawah ini :

Tabel 4.4. Distribusi Periode Pemaparan Perhari pada Pekerja di Bengkel (Workshop) Balai Yasa Pulubrayan Sumatera Utara PT. Kereta Api Indonesia

No Periode Pemaparan Perhari F %

1 > 8 jam/hari 17 40,5

2 < 8 jam/hari 25 59,5

Jumlah 42 100,0

4.3.4. Masa Kerja

Dari hasil penelitian yang dilaksanakan, diperoleh hasil masa kerja diperoleh bahwa sebagian besar responden adalah dengan lama kerja > 10 tahun yakni sebanyak 30 orang (71,4%) dan jumlah paling sedikit adalah kelompok ≤ 10 tahun sebanyak 12 orang (28,6%). Secara rinci dapat dilihat pada tabel di bawah ini :

Tabel 4.5. Distribusi Masa Kerja pada Pekerja di Bengkel (Workshop) Balai Yasa Pulubrayan Sumatera Utara PT. Kereta Api Indonesia

No Masa Kerja f %

1 ≤ 10 tahun 12 28,6

2 > 10 tahun 30 71,4

(13)

4.3.5. Penggunaan APD

Dari hasil penelitian yang dilaksanakan, diperoleh hasil penggunaan APD responden paling banyak adalah kategori pakai APD yakni sebanyak 23 orang (54,8%) dan paling sedikit adalah kategori tidak pakai APD yakni sebanyak 19 orang (45,2%). Secara rinci dapat dilihat pada tabel di bawah ini :

Tabel 4.6. Distribusi Pengguaan APD pada Pekerja di Bengkel (Workshop) Balai Yasa Pulubrayan Sumatera Utara PT. Kereta Api Indonesia

No Penggunaan APD f %

1 Tidak Pakai 19 45,2

2 Pakai 23 54,8

Jumlah 42 100,0

4.3.6. Ketulian Akibat Bising (NIHL)

Dari hasil penelitian yang dilaksanakan, diperoleh hasil ketulian akibat bising responden paling banyak adalah kategori normal atau diluar NIHL yakni sebanyak 35 orang (83,3%) dan paling sedikit adalah kategori NIHL yakni sebanyak 7 orang (16,7%). Secara rinci dapat dilihat pada tabel di bawah ini :

Tabel 4.7. Distribusi Ketulian Akibat Bising pada Pekerja di Bengkel (Workshop) Balai Yasa Pulubrayan Sumatera Utara PT. Kereta Api Indonesia

No Ketulian Akibat Bising f %

1 Tuli (NIHL) 7 16,7

2 Normal 35 83,3

Jumlah 42 100,0

(14)

4.4. Analisis Bivariat

Analisis bivariat digunakan untuk mengidentifikasi hubungan variabel faktor intensitas kebisingan, frekuensi kebisingan, periode pemaparan perhari, masa kerja dan penggunaan APD dengan ketulian akibat kerja dilihat pada dibawah ini :

4.4.1. Hubungan Intesitas Kebisingan dengan Ketulian Akibat Bising

Untuk melihat hubungan intensitas kebisingan dengan ketulian akibat bising dapat dilihat pada tabel 4.8 :

Tabel 4.8. Hubungan Intesitas Kebisingan dengan Ketulian Akibat Bising pada Pekerja Bengkel (Workshop) di Balai Yasa Pulubrayan Sumatera Utara PT. Kereta Api Indonesia

No Intensitas Kebisingan

Ketulian Akibat Bising

(15)

kategori sesuai NAB (ada hubungan intensitas kebisingan dengan ketulian akibat bising pekerja).

4.4.2. Hubungan Frekuensi Kebisingan dengan Ketulian Akibat Bising

Untuk melihat hubungan frekuensi kebisingan dengan ketulian akibat bising dapat dilihat pada tabel 4.9 :

Tabel 4.9. Hubungan Frekuensi Kebisingan dengan Ketulian Akibat Bising pada Pekerja Bengkel (Workshop) di Balai Yasa Pulubrayan Sumatera Utara PT. Kereta Api Indonesia

No Frekuensi Kebisingan

Ketulian Akibat Bising

(16)

4.4.3. Hubungan Periode Pemaparan Perhari dengan Ketulian Akibat Bising Untuk melihat hubungan periode pemaparan dengan ketulian akibat kerja dapat dilihat pada tabel 4.10:

Tabel 4.10. Hubungan Periode Pemaparan Perhari dengan Ketulian Akibat Bising pada Pekerja Bengkel (Workshop) di Balai Yasa Pulubrayan Sumatera Utara PT. Kereta Api Indonesia

No Periode Pemaparan

Ketulian Akibat Bising

(17)

4.4.4. Hubungan Masa Kerja dengan Ketulian Akibat Bising

Untuk melihat hubungan masa kerja dengan ketulian akibat bising dapat dilihat pada tabel 4.11:

Tabel 4.11. Hubungan Masa Kerja dengan Ketulian Akibat Bising pada Pekerja Bengkel (Workshop) di Balai Yasa Pulubrayan Sumatera Utara PT. Kereta Api Indonesia

No Masa Kerja

(18)

4.4.5. Hubungan Penggunaan APD dengan Ketulian Akibat Bising

Untuk melihat hubungan penggunaan APD dengan ketulian akibat bising dapat dilihat pada tabel 4.12:

Tabel 4.12. Hubungan Penggunaan APD dengan Ketulian Akibat Bising pada Pekerja Bengkel (Workshop) di Balai Yasa Pulubrayan Sumatera Utara PT. Kereta Api Indonesia

No Penggunaan APD

Ketulian Akibat Bising

Berdasarkan tabel diatas, hasil analisis hubungan antara penggunaan APD dengan ketulian akibat bising pekerja diperoleh bahwa ada sebanyak 6 dari 19 orang (31,6%) yang tidak pakai APD mengalami kejadian NIHL. Sedangkan untuk pekerja yang menggunakan APD terdapat 1 dari 23 orang (4,3%) mengalami kejadian NIHL. Hasil uji statistik chi square diperoleh nilai p=0,034 < 0,05 maka dapat disimpulkan ada perbedaan proporsi kejadian NIHL antara pekerja dengan penggunaan APD kategori tidak memakai dengan memakai APD (ada hubungan penggunaan APD dengan ketulian akibat bising pekerja).

4.5. Analisis Multivariat

(19)

penggunaan APD, maka dapat dimasukkan dalam analisis multivariat karena nilai pada bivariat dengan binary logistik hasil output, pada tabel block 1 didapatkan hasil omnibus test pada bagian bloc dengan p value nya <0,25 sehingga 4 (empat) variabel

dapat dilanjutkan ke analisis multivariat. Analisis multivariat merupakan analisis untuk mengetahui pengaruh variabel independen (intensitas kebisingan, frekuensi kebisingan, periode pemaparan perhari dan penggunaan APD) terhadap variabel dependen (ketulian akibat bising) dengan serta mengetahui variabel dominan yang memengaruhi dengan menggunakan uji regresi logistik ganda. Berdasarkan hasil uji regresi logistik ganda diperoleh bahwa variabel periode pemaparan perhari dan penggunaan APD diperoleh bahwa nilai p < 0,05 maka variabel tersebut berpengaruh terhadap kejadian ketulian akibat bising, variabel intensitas kebisingan dan frekuensi kebisingan terdapat nilai p>0,05 artinya variabel tersebut tidak berpengaruh terhadap kejadian ketulian akibat bising.

Untuk melihat pengaruh periode pemaparan perhari dan penggunaan APD terhadap kejadian ketulian akibat bising pada pekerja bengkel (Workshop) di Balai Yasa Pulubrayan Sumatera Utara PT. Kereta Api Indonesia dapat dilihat pada Tabel 4.13 :

(20)

Dari hasil analisis regresi logistik ganda dihasilkan probabilitas ketulian akibat bising, sehingga sebagai persamaan akhir untuk probabilitas ketulian akibat kerja adalah :

p(x)= (-2,633periodepemaparan perhari 2,386penggunaanAPD)

1

1

− −

+

e

Dari hasil analisis dapat dilihat bahwa variabel periode pemarapan perhari dan penggunaan APD memiliki nilai p-value < 0,05 sehingga dapat diambil kesimpulan bahwa periode pemaparan perhari dan penggunaan APD memiliki pengaruh yang signifikan terhadap ketulian akibat bising pada pekerja bengkel Balai Yasa Pulubrayan.

(21)

BAB 5 PEMBAHASAN

5.1. Pengaruh Intensitas Kebisingan (Sound Pressure Level) terhadap Ketulian Akibat Bising (Noise Induced Hearing Loss) pada Pekerja Bengkel (Workshop) di Balai Yasa Pulubrayan Sumatera Utara PT. Kereta Api Indonesia

Hasil penelitian tentang variabel intensitas kebisingan (sound pressure level) ditemukan intensitas kategori tidak sesuai NAB dengan persentase kejadian tuli sebesar 30,4%. Uji statistik menunjukkan variabel intensitas kebisingan tidak berpengaruh terhadap ketulian akibat bising. Mengacu pada hasil uji tersebut dapat dijelaskan semakin tinggi intensitas kebisingan tidak sesuai NAB tidak meningkatkan kejadian ketulian pada pekerja di unit produksi pekerja bengkel Balai Yasa Pulubrayan Sumatera Utara PT. Kereta Api Indonesia.

(22)

lebih banyak < 8 jam/hari yaitu sebesar 59,5%. Menurut peneliti keadaa ini yang mengakibatkan intensitas kebisingan tidak berpengaruh terhadap ketulian akibat bising pada pekerja bengkel (workshop) Balai Yasa Pulubrayan Sumatera Utara PT. Kereta Api Indonesia.

Hal ini tidak sejalan dengan Roestam (2004) bahwa efek kebisingan pada pendengaran adalah gangguan paling serius dapat menyebabkan ketulian. Ketulian bersifat progresif, pada awalnya bersifat sementara dan akan segera pulih kembali bila menghindar dari sumber bising, namun bila terus menerus bekerja di tempat bising, daya dengar akan hilang secara permanen dan tidak akan pulih kembali.

(23)

Pada penelitian ini juga menunjukkan bahwa tempat intensitas kebisingan kerja bengkel Balai Yasa Pulubrayan Sumatera Utara PT. Kereta Api Indonesia diperoleh dengan intensitas kebisingan dengan kategori tidak sesuai NAB sebesar 54,8%, yang berarti intensitas kebisingan tempat kerja bengkel Balai Yasa Pulubrayan Sumatera Utara PT. Kereta Api Indonesia tergolong tinggi, untuk itu perlu perhatian pada pengelola PT. Kereta Api Indonesia untuk memperhatikan intensitas kebisingan tempat kerja mekanik. Sesungguhnya bahwa bahaya bising yang timbul di tempat kerja dapat dikenali dengan cara sederhana dengan menggunakan rekasi fisiologis atau keluhan subjektif dari tenaga kerja.

(24)

Intensitas kebisingan merupakan salah satu faktor yang memengaruhi ketulian seseorang pekerja, mereka yang yang terpajan dengan intensitas kebisingan yang tidak sesuai NAB mempunyai peluang lebih besar kejadian NIHL dibandingkan dengan pekerja yang terpajan dengan intensitas kebisingan yang sesuai NAB. Intensitas kebisingan yang tidak sesuai NAB yang semakin meningkat menjadi penyebab utama responden dengan kejadian NIHL.

Hal ini sesuai dengan penelitian Husdiani (2008) dalam penelitiannya di Manufacturing Workshop PT. X di Medan menyimpulkan daerah tersebut memiliki

tingkat intensitas kebisingan 75% melebihi NAB, pekerja mendapatkan dosis bising berlebih adalah 85%, hasil audiometri mendapatkan bahwa 40% pekerja mengalami NIHL.

5.2. Pengaruh Frekuensi Kebisingan terhadap Ketulian Akibat Bising (Noise Induced Hearing Loss) pada Pekerja Bengkel (Workshop) di Balai Yasa Pulubrayan Sumatera Utara PT. Kereta Api Indonesia

Hasil penelitian tentang variabel frekuensi kebisingan ditemukan frekuensi kategori ≥ 2000 -3000 Hz dengan persentase kejadian tuli akibat bising sebesar 30,4%. Uji statistik menunjukkan variabel frekuensi kebisingan tidak berpengaruh terhadap ketulian akibat bising. Mengacu pada hasil uji tersebut dapat dijelaskan semakin tinggi frekuensi kebisingan kategori ≥ 2000 -3000 Hz tidak meningkatkan kejadian ketulian pada pekerja di unit produksi pekerja bengkel (workshop) Balai Yasa Pulubrayan Sumatera Utara PT. Kereta Api Indonesia. Hal ini bukan berarti

(25)

bengkel Balai Yasa Pulubrayan Sumatera Utara PT. Kereta Api Indonesia tidak perlu diperhatikan, namun kejadian NIHL terjadi setelah seseorang cukup lama terpapar kebisingan, terutama terjadi pada frekuensi 4000 Hz. Gangguan ini paling banyak ditemukan dan bersifat permanen, tidak dapat disembuhkan. Kenaikan ambang pendengaran yang menetap dapat terjadi setelah 3,5 sampai 20 tahun terjadi pemaparan, ada yang mengatakan baru setelah 10-15 tahun setelah terjadi pemaparan.

Pekerja yang terpajan di unit produksi pekerja bengkel Balai Yasa Pulubrayan Sumatera Utara PT. Kereta Api Indonesia dengan frekuensi kebisingan kategori ≥ 2000-3000 Hz lebih banyak dengan pendengaran normal atau diluar NIHL. Hal ini disebabkan karena pekerja melaksanakan program perlindungan terhadap bahaya ketulian akibat bising. Selain itu diasumsikan bahwa proses ketulian bersifat lambat dan tersembunyi, sehingga pada tahap awal tidak disadari oleh pekerja, sesuai dengan penelitian yang peneliti lakukan bahwa sebagian besar pekerja tidak memiliki keluhan apapun pada telinga.

(26)

Menurut Soetirto (2001), Kerusakan telinga dalam mula-mula terjadi pada frekwensi 3000, 4000 dan 6000 Hz, dimana kerusakan yang paling berat terjadi pada frekwensi 4000 Hz. Dengan paparan bising yang konstan, ketulian pada frekwensi 3000, 4000 dan 6000 Hz akan mencapai tingkat yang maksimal dalam 10-15 tahun. Ketulian timbul secara bertahap dalam jangka waktu bertahun-tahun, yang biasanya terjadi dalam 8-10 tahun pertama paparan.

5.3. Pengaruh Periode Pemaparan Perhari terhadap Ketulian Akibat Bising (Noise Induced Hearing Loss) pada Pekerja Bengkel (Workshop) di Balai Yasa Pulubrayan Sumatera Utara PT. Kereta Api Indonesia

Hasil penelitian tentang variabel periode pemaparan perhari ditemukan kategori ≥ 8 jam/hari dengan persentase kejadian tuli sebesar 30%. Uji statistik menunjukkan variabel periode pemaparan berpengaruh terhadap ketulian akibat bising. Mengacu pada hasil uji tersebut dapat dijelaskan semakin tinggi periode pemaparan kategori ≥ 8 jam/hari meningkatkan kejadian ketulian akibat bising pada pekerja di unit produksi pekerja bengkel (workshop) di Balai Yasa Pulubrayan Sumatera Utara PT. Kereta Api Indonesia.

(27)

Pekerja di unit produksi bengkel (workshop) Balai Yasa Pulubrayan Sumatera Utara PT. Kereta Api Indonesia masih banyak yang bekerja ≥ 8 jam/hari, keadaan ini perlu diperhatikan oleh pihak pengelola unit produksi bengkel (workshop) Balai Yasa Pulubrayan Sumatera Utara PT. Kereta Api Indonesia untuk menghindari keadaan akibat periode pemaparan pada pekerja sebaiknya mempekerjakan tenaga kerja ≤ 8 jam/hari.

Hal ini sesuai menurut Keputusan Menteri Tenaga Kerja No.51 Tahun 1999 dan Keputusan Menteri Kesehatan No.1405 Tahun 2002, kebisingan yang dapat diterima oleh tenaga kerja tanpa mengakibatkan penyakit atau gangguan kesehatan dalam pekerjaan sehari-hari untuk waktu tidak melebihi 8 jam sehari atau 40 jam seminggu yaitu 85 dB(A) (Bashiruddin, 2007).

Selain itu, menurut Roestam (2004) bahwa intensitas bising di tempat kerja yang diperkenankan adalah 85 dB(A) untuk waktu kerja 8 jam perhari, seperti yang diatur dalam Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja no SE.01/Men/1978 tentang Nilai Ambang Batas (NAB) untuk kebisingan di tempat kerja.

5.4. Pengaruh Masa Kerja terhadap Ketulian Akibat Bising (Noise Induced Hearing Loss) pada Pekerja Bengkel (Workshop) di Balai Yasa Pulubrayan Sumatera Utara PT. Kereta Api Indonesia

(28)

kejadian ketulian pada pekerja unit produksi pada bengkel (workshop) di Balai Yasa Pulubrayan Sumatera Utara PT. Kereta Api Indonesia.

Hal ini dapat kita lihat pada hasil penelitian, persentase kejadian ketulian diantara pekerja tidak memandang masa kerja dari pekerja. Mungkin faktor lain yang lebih dominan yang memengaruhi kejadian tuli bagi pekerja unit produksi di Balai Yasa Pulubrayan Sumatera Utara PT. Kereta Api Indonesia.

Hal ini tidak sejalan dengan penelitian Sulistyanto (2004) prevalensi NIHL pada masinis meningkat sesuai masa kerja dan paling banyak setelah bekerja lebih dari 20 tahun. Kemudian penelitian Laras Dyah (2001), bahwa masa kerja pekerja home industry knalpot di Kelurahan Purbalingga Lor yaitu < 10 tahun sebanyak 31

responden sedangkan > 10 tahun sebanyak 19 responden. Kejadian NIHL pada pekerja home industry knalpot di Kelurahan Purbalingga Lor sebesar 20 responden dan yang tidak menderita NIHL sebanyak 30 responden. Lama masa kerja berhubungan dengan kejadian Noise Induced Hearing Loss (NIHL) pada pekerja home industry knalpot di Kelurahan Purbalingga Lor. Semakin lama masa kerja maka

kejadian NIHL tinggi.

(29)

corti. Intensitas bunyi yang sangat tinggi dan dalam waktu yang cukup lama mengakibatkan perubahan metabolisme dan vaskuler yang dapat menyebabkan kerusakan degeneratif pada struktur sel-sel rambut di dalam organ corti.

Menurut Fox (1997) bahwa banyak faktor yang memengaruhi tingkat dan beratnya ketulian yang didapatkan pada kasus-kasus ketulian akibat kerja salah satunya adalah lamanya masa kerja.

5.5. Pengaruh Penggunaan APD terhadap Ketulian Akibat Bising (Noise Induced Hearing Loss) pada Pekerja Bengkel (Workshop) di Balai Yasa Pulubrayan Sumatera Utara PT. Kereta Api Indonesia

Hasil penelitian tentang variabel penggunaan APD ditemukan penggunaan APD kategori tidak memakai APD dengan persentase kejadian tuli sebesar 31,6%. Uji statistik menunjukkan variabel penggunaan APD berpengaruh terhadap ketulian akibat bising. Mengacu pada hasil uji tersebut dapat dijelaskan semakin tinggi pemakaian APD akan mengurangi kejadian ketulian pada pekerja di unit produksi pekerja bengkel (workshop) Balai Yasa Pulubrayan Sumatera Utara PT. Kereta Api Indonesia.

Pemakaian APD sangat diperlukan pada pekerja di unit produksi pekerja bengkel (workshop) di Balai Yasa Pulubrayan Sumatera Utara PT. Kereta Api Indonesia, karena lingkungan pekerjaan yang masih tinggi dengan kebisingan, sehingga untuk menghindarkan kejadian NIHL diperlukan penggunaan APD.

(30)

bagi pekerja yang terpapar kebisingan. Penggunaan alat pelindung pendengaran ini merupakan tahap terakhir dari hirarki pengendalian apabila upaya pengendalian administratif tidak berhasil dijalankan.

Pada penelitian ini juga menunjukkan bahwa pekerja yang mempergunakan APD masih ada dengan kejadian NIHL, hal ini menunjukkan bahwa meskipun pekerja telah mempergunakan APD belum tertutup kemungkinan akan terjadi NIHL. Hal ini terjadi karena pekerja masih kurang taat dalam penggunaan APD yang baik, pekerja kadang-kadang mempergunakan dan kadang-kadang tidak, jadi diperlukan kedisiplinan dan kesadaran pekerja akan pentingnya penggunakan APD untuk menghindari ketulian dan pihak manajemen agar menyediakan APD yang baik dan berkualitas sesuai jumlah pekerja serta mengawasi kepatuhan pekerja dalam menggunakan APD.

(31)

Hal ini sesuai bahwa APD merupakan suatu perlengkapan yang digunakan para pekerja untuk melindungi diri dari berbagai hal yang dapat membahayakan pekerja, sehingga pekerja tidak dirugikan dari bahaya yang ada di tempat kerja. Selain dukungan dari perusahaan diharapkan juga dukungan dari pekerja karena pekerja adalah subjek dan objek dari kegiatan tersebut. Dukungan dari pekerja dapat dilihat dari ketaatan menggunakan APD yang tersedia sesuai dengan resiko penggunaannya. Selain pekerja harus menggunakan APD, mereka harus tahu resiko yang akan mereka hadapi di tempat kerja sehingga mereka benar-benar menggunakan APD yang ada dengan sebaik-baiknya sesuai dengan prosedur.

Penelitian Kesuma, 1998 terhadap 48 pekerja bagian produksi PT. Krakatau Steel Cilegon, menunjukkan 40,6% pekerja yang menggunakan alat pelindung telinga. Demikian juga penelitian Sumbung, 2000 terhadap 204 pekerja Dryer dan Gluing pabrik kayu lapis di Bandung menunjukkan hanya 27,9% yang menggunakan alat pelindung diri. Diperkirakan 19% melaporkan kehilangan pendengaran; proporsi dengan kehilangan pendengaran meningkat tajam, diantara mereka dengan hilang pendengaran, 29,9% melaporkan bahwa mereka terkait dengan hilang pendengaran akibat kebisingan di tempat kerja (Stanbury, et al, 2008).

5.6. Keterbatasan Penelitian

(32)

2. Kurangnya tingkat kepatuhan dan kerjasama pekerja di bengkel / workshop dalam penelitian ini.

(33)

BAB 6

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1. Kesimpulan

1. Terdapat pengaruh periode pemaparan perhari terhadap ketulian akibat bising (noise induced hearing loss) pada pekerja bengkel (workshop) di Balai Yasa Pulubrayan Sumatera Utara PT. Kereta Api Indonesia.

2. Terdapat pengaruh penggunaan APD terhadap ketulian akibat bising (noise induced hearing loss) pada pekerja bengkel (workshop) di Balai Yasa

Pulubrayan Sumatera Utara PT. Kereta Api Indonesia

3. Tidak terdapat pengaruh intensitas kebisingan terhadap ketulian akibat bising (noise induced hearing loss) pada pekerja bengkel (workshop) di Balai Yasa Pulubrayan Sumatera Utara PT. Kereta Api Indonesia.

4. Tidak terdapat pengaruh frekuensi kebisingan terhadap ketulian akibat bising (noise induced hearing loss) pada pekerja bengkel (workshop) di Balai Yasa Pulubrayan Sumatera Utara PT. Kereta Api Indonesia

5. Tidak terdapat pengaruh masa kerja terhadap ketulian akibat bising (noise induced hearing loss) pada pekerja bengkel (workshop) di Balai Yasa

(34)

6.2. Saran

1. Pihak manajemen bengkel (workshop) Balai Yasa Pulubrayan Sumatera Utara PT. Kereta Api Indonesia mengatur jam kerja tidak lebih dari 8 jam per hari. 2. Pihak manajemen bengkel (workshop) Balai Yasa Pulubrayan Sumatera Utara

PT. Kereta Api Indonesia memberi sanksi kepada pekerja yang tidak memakai APD.

Gambar

Tabel 4.1. Distribusi Umur pada Pekerja Bengkel (Workshop) Balai Yasa Pulubrayan Sumatera Utara PT
Tabel 4.2.  Distribusi Intensitas Kebisingan pada Bengkel (Workshop) Balai Yasa Pulubrayan Sumatera Utara PT
Tabel 4.4. Distribusi Periode Pemaparan Perhari pada Pekerja di Bengkel (Workshop) Balai Yasa Pulubrayan Sumatera Utara PT
Tabel 4.7. Distribusi Ketulian Akibat Bising pada Pekerja di Bengkel (Workshop) Balai Yasa Pulubrayan Sumatera Utara PT
+7

Referensi

Dokumen terkait

170 Modul guru pembelajar paket keahlian dental asisten sekolah menengah kejuruan (SMK) Pada kegiatan pendahuluan dimana guru menyampaikan tujuan pembelajaran, sesungguhnya

bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 14 Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 ten tang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah sebagaimana telah diubah beberapa kali tera.khir

(2) Urusan pemerintahan wajib yang tidak berkaitan dengan pelayanan dasar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf a angka 2 yang menjadi

Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis regresi linier berganda, yang dimana analisis regresi berganda digunakan untuk mengetahui arah

digunakan dalam pembelajaran bermain peran drama pada siswa kelas VIII di. SMP Negeri 2 Singaparna

Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang berjudul “Efektivitas Pelatihan Keterampilan Sosial Pada Remaja” yang saya tulis ini sepanjang sepengetahuan saya tidak

Pasal 31 KHA menegaskan “Negara mengakui hak anak untuk beristirahat dan bersantai, untuk bermain dan turut serta dalam kegiatan rekreasi yang sesuai dengan usia anak, dan

OMSK adalah stadium dari penyakit telinga tengah dimana terjadi peradangan kronis dari telinga tengah dan mastoid dan membrane timpani tidak intak (perforasi) dan ditemukan