61 BAB IV
ANALISA PANDANGAN MASYARAKAT NEGERI RUMAHTIGA TENTANG KEBERSAMAAN DALAM FALSAFAH SAGU SALEMPENG
PATAH DUA PASCA KONFLIK 1999
A. Pendahuluan
Falsafah sagu salempeng patah dua sudah lama hidup dan menjadi
bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat Maluku. Sama halnya
dengan masyarakat Maluku pada umumnya, masyarakat Negeri Rumahtiga juga
telah menjadikan falsafat sagu salempeng patah dua sebagai pola hidup mereka
dalam membina hubungan yang baik sebagai wujud hidup orang bersaudara.
Sebagai sebuah falsafah hidup, sagu salempeng patah dua telah berhasil
menciptakan sebuah pola hidup yang rukun dan saling mempedulikan antara
satu dengan yang lainnya, bukan hanya kepada yang seiman ataupun satu suku
tertentu melainkan kepada yang berbeda iman maupun suku. Sagu salempeng
patah dua adalah simbol hidup berbagi yang telah menjadi identitas masyarakat
Maluku. Falsafah sagu salempeng patah dua dapat mempersatukan kehidupan
orang Maluku. Hal ini telah banyak diuraikan penulis dalam bab III sesuai
dengan hasil wawancara yang diakukan terhadap beberapa narasumber yang
tinggal di Negeri Rumahtiga.
Negeri Rumahtiga adalah salah satu daerah yang hancur akibat konflik
kemanusiaan pada tahun 1999 yang terjadi di Maluku. Fenomena yang terjadi ini
62
salempeng patah dua yang dulunya dapat mempersatukan kehidupan masyarakat
Negeri Rumahtiga, baik itu antara orang Muslim dan orang Kristen, jika
diperhadapakan dengan kenyataan sekarang, dalam hal ini pasca konflik 1999.
Penulisan berikut ini adalah analisis terhadap pemahaman masyarakat
Negeri Rumahtiga tentang kebersamaan dalam falsafah sagu salempeng patah
dua pasca konflik 1999, dengan tujuan untuk melihat bagaimana cara pandang
masyarakat Negeri Rumahtiga tentang kebersamaan dalam falsafah sagu
salempeng patah dua pasca konflik 1999 sesuai dengan data yang diperoleh
pada bab III di atas, selanjutnya akan dilihat bagaimana eksistensi falsafah ini
dalam kehidupan bermasyarakat Negeri Rumahtiga apakah falsafah ini masih
tetap dipertahankan? Ataukah perwujudan falsafah ini mulai ditinggalkan?
B. Analisa Pandangan Masyarakat Negeri Rumahtiga Tentang Kebersamaan Dalam Falsafah Sagu Salempeng Patah Dua Pasca Konfik 1999.
Falsafah sagu salempeng patah dua merupakan identitas orang Maluku
yang telah ada sejak masa lampau. Hal ini diakui oleh sejumlah narasumber
yang berasal Negeri Rumahtiga. Negeri Rumahtiga merupakan salah satu daerah
yang terkena konflik sejak tahun 1999. Berdasarkan hasil penelitian yang telah
penulis jelaskan pada bab III, maka pada bagian ini, akan dilakukan proses
identifikasi berdasarkan pandangan Emile Durkheim tentang solidaritas sosial
63
Rumahtiga tentang kebersamaan dalam falsafah sagu salempeng patah dua
pasca konflik 1999 yang terjadi di Maluku.
Masyarakat adalah makhluk individu sekaligus juga makhluk sosial.
Demikian bahwa dalam dirinya mengandung hakekat, yang oleh Durkheim
disebut sebagai homo duplex.1 Meskipun demikian, hakekat sosialis masyarakat
lebih menguasai seluruh keberadaannya, sehingga deminya manusia rela
mengorbankan kedirian dan kepentingan jasmaniah sendiri. Masyarakat Negeri
Rumahtiga yang hidup di tengah masyarakat yang plural dalam suku, bahasa,
agama dan lain-lain, tetap memiliki ciri khas yang umumnya terjadi pada
masyarakat Maluku yaitu hidup dalam falsafah sagu salempeng patah dua.
Falsafah sagu salempeng patah dua dipahami sangat dalam oleh orang
Maluku terkhususnya masyarakat Negeri Rumahtiga. Lahirnya pemahaman
tersebut didasarkan oleh berbagai peristiwa saling peduli, saling berbagi dan
lainnya sejak masa lalu yang dilakukan oleh generasi ke generasi. Secara
sederhana, sagu salempeng patah dua merupakan salah satu falsafah yang sudah
terikat dalam kehidupan masyarakat Negeri Rumahtiga. Aktualisasi nilai
falsafah sagu salempeng patah dua bagi keseharian masyarakat Negeri
Rumahtiga adalah merupakan warisan nenek moyang yang sudah diyakini sejak
dahulu secara turun temurun sangat membantu mereka untuk mengembangkan
kehidupan yang lebih baik dalam kebersamaan yang saling tolong menolong,
berbagi dan saling melayani. Dari pernyataan tersebut, dapat dikatakan bahwa
1
64
falsafah sagu salempeng patah dua merupakan salah satu simbol solidaritas
sosial.2
Masyarakat Negeri Rumahtiga pada awalnya termasuk masyarakat
mekanik, di mana orang-orang yang tinggal disitu mempunyai banyak
kesamaan, baik itu dari segi pekerjaan, kepercayaan, suku maupun budaya dan
dalam masyarakat tersebut telah hidup falsafah sagu salempeng patah dua yang
menjadi pola hidup yang mengatur tatanan kehidupan sosial masyarakat Negeri
Rumahtiga. Hal tersebut berarti bahwa dalam falsafah sagu salempeng patah
dua yang dijadikan sebagai pola hidup masyarakat Negeri Rumahtiga
menunjukkan adanya kekuasaan masyarakat terhadap individu, karena sagu
salempeng patah dua itu tercipta dari kesadaran kolektif masyarakat Negeri
Rumahtiga.
Dalam melihat fenomena ini, Durkheim menggunanakan istilah
solidaritas mekanik untuk menganalisa masyarakat secara keseluruhannya.
Kesadaran kolektif bersama yang menyadarkan pada totalitas kepercayaan dan
sentimen bersama yang rata-rata ada pada warga masyarakat yang sama.
Solidaritas mekanis merupakan sesuatu yang bergantung pada individu-individu
yang memiliki sifat-sifat yang sama dan menganut kepercayaan dan pola norma
yang sama pula. Oleh karena itu sifat individualitas tidak berkembang,
individual ini terus-menerus akan dilumpuhkan oleh tekanan yang besar untuk
suatu jenis pengaruh sosial ketika seseorang mengubah sikap dan tingkah laku
mereka agar sesuai dengan norma sosial yang ada.
2
65
Mengacu pada pemahaman tersebut, maka pemikiran Durkheim bahwa
masyarakat yang hidup sebagai makhluk sosialis akan berinteraksi satu dengan
yang lain. Hal tersebut terjadi karena kesadaran kolektif yang telah mengikat
mereka. Akan tetapi bagi Durkheim, kebersamaan yang tercipta dalam
kehidupan masyarakat bukanlah sebuah kontrak sosial yang dibuat oleh mereka,
melainkan kesadaran kolektif mereka.3
Masyarakat Negeri Rumahtiga dulunya hidup secara homogen yang pada
dasarnya memiliki kesamaan dalam berbagai aspek seperti suku, agama, budaya
yang terbentuk oleh kesadaran koletif dimana falsafah sagu salempeng patah
dua dijadikan sebagai pola hidup bersama dalam membina kehidupan sosial.
Kesadaran kolektif inilah yang membuat masyarakat Negeri Rumahtiga hidup
berinteraksi tanpa mempedulikan lagi kepentingan pribadi secara individu,
melainkan lebih secara umum atau kolektif. Hal inilah yang mendasari
kehidupan masyarakat Negeri Rumahtiga yang mencerminkan solidaritas sosial
yang menurut Emile Durkheim lebih menunjuk pada suatu keadaan hubungan
antara individu dan/atau kelompok yang didasarkan pada persamaan moral dan
kepercayaan yang dianut bersama yang diperkuat oleh pengalaman emosional
bersama.
Seiring perkembangan Zaman, telah terjadi pembauran dalam masyarakat
Negeri Rumahtiga. Namun Solidaritas sosial dalam Masyarakat Negeri
Rumahtiga tetap ada dan dipraktekan di antara sesama mereka masyarakat
Negeri Rumahtiga, selain itu hal tersebut juga dipraktekan bagi setiap orang
3Ibid.,
66
yang berada di dalam Negeri Rumahtiga meskipun merupakan warga pendatang,
karena Solidaritas sosial yang dipraktekan bukan berdasarkan hubungan secara
kekeluargaan maupun kekerabatan atau hubungan satu darah dan satu keturunan
suku saja, melainkan kepada seluruh masyarakat. Oleh karena itu, solidaritas
sosial yang kuat tersebut telah menjadi identitas bagi kehidupan masyarakat
Negeri Rumahtiga.
Melalui aktualisasi falsafah sagu salempeng patah dua yang
memperlihatkan solidaritas sosial yang kuat dari masyarakat Negeri Rumahtiga
telah menunjukkan terjalinnya sebuah hubungan perasaan moral, keyakinan
bersama yang diperkuat dengan pengalaman emosional pula. Dengan demikian,
melakukan praktek falsafah sagu salempeng patah dua bagi masyarakat Negeri
Rumahtiga, berarti mereka telah ikut mempertahankan dan melestarikan
pengalaman berharga dari para nenek moyang secara turun temurun bagi
keberlangsungan hidup bersama kelompok masyarakat.
Di lain sisi, sadar maupun tidak, falsafah ini telah mengalami pergeseran
dalam kehidupan masyarakat Maluku khususnya dalam Negeri Rumahtiga yang
menyebabkan aktualisasi nilai dari falsafah ini hampir tidak diwujudkan lagi
dalam kehidupan sekarang. Proses pergeseran ini tidak terjadi dengan
sendirinya, ada beberapa faktor yang membuat sehingga pergeseran terhadap
aktualisasi nilai falsafah sagu salempeng pata dua ini terjadi, salah satu
diantaranya yaitu terjadinya pembauran etnik dalam kehidupan masyarakat
Negeri Rumahtiga. Tidak dapat dipungkiri bahwa proses pembauran etnik
67
dari falsafah sagu salempeng pata dua. Hal tersebut terlihat jelas bahwa jumlah
warga pendatang lebih banyak daripada warga asli, dari sini terlihat bahwa
masyarakat yang tinggal sekarang dalam Negeri Rumahtiga bukan saja warga
asli Negeri Rumahtiga yang dulunya hidup dan mempraktekan falsafah sagu
salempeng pata dua tetapi juga ada warga pendatang. Warga Rumahtiga yang
sekarang hidupnya sudah berbeda, perbedaannya nampak jelas ketika sudah
banyak warga Rumahtiga yang keluar untuk bersekolah di luar daerah, oleh
karena itu secara otomatis ketika dia keluar daerah maka dia akan berjumpa
dengan budaya lain dan menerima informasi atau pengetahuan yang dipandang
efektif untuk menambah wawasan sehingga telah mengubah pemahaman mereka
bahwa sagu salempeng pata dua bukanlah satu-satunya yang efektif dalam
menjalani hidup. Dari sinilah dapat mengubah mereka menjadi individualistik.
Selain itu, ada juga orang pendatang yang tinggal serta menjadi warga
Rumahtiga. Mereka berasal dari suku dan agama yang berbeda, maka secara
otomatis tidak dapat dipungkiri bahwa akan terjadi pembauran budaya dan nilai.
Oleh karena itu, bisa saja pola hidup dan budaya yang dibawa oleh para
pendatang justru lebih mendominasi budaya asli Negeri Rumahtiga. Hal tersebut
juga dapat diperparah ketika isu sentimen agama menjadi perdebatan dalam
kehidupan sosial masyarakat Negeri Rumahtiga. Hal inilah yang dapat
menimbulkan konflik serta menjadi ancaman terhadap aktualisasi nilai dari
falsafah sagu salempeng patah dua.
Falsafah sagu salempeng patah dua adalah sebuah sistem saling berbagi,
68
Maluku khususnya Negeri Rumahtiga dalam memenuhi berbagai kebutuhan
hidup dan atau mencapai tujuan hidup tertentu. Pemaknaan sagu salempeng
patah dua merupakan penghayatan yang mendalam terhadap warisan turun
temurun nenek moyang. Penghayatan tersebut merupakan kesadaran kolektif
masyarakat bahwa falsafah sagu salempeng patah dua sangat bermakna bagi
kehidupan sosial masyarakat.
Berdasarkan data penelitian yang diperoleh ternyata terjadi perubahan
pemahaman masyarakat Negeri Rumahtiga terhadap aktualisasi nilai falsafah
sagu salempeng patah dua. Hal ini dikarenakan juga oleh faktor modernisasi
yang membuat setiap warga Negeri Rumahtiga harus bekerja untuk memenuhi
kebutuhan hidup mereka, dengan kata lain masyarakat Negeri Rumahtiga sudah
ada dalam pembagian kerja, hal ini yang disebut oleh Durkheim sebagai
solidaritas sosial organik.4
Ini menunjukan bahwa adanya perubahan yang terjadi dalam masyarakat
Negeri Rumahtiga yaitu perubahan dari masyarakat yang dulunya homogen
(mekanik) menjadi masyarakat yang heterogen (organik) seperti pada data yang
dipaparkan oleh penulis pada bab III. Jika demikian maka dapat dipastikan
bahwa ketika mereka berada dalam pembagian kerja, maka mereka akan lebih
disibukkan dan berkonsentrasi dengan rutinitas pekerjaan masing-masing.
Individu mulai fokus untuk apa yang dia kerjakan bahkan alur atau cara
berpikirnya yang dibangun pun terarah berdasarkan situasi dimana individu
bekerja, bahkan ia hanya dipaksakan untuk fokus kepada satu pekerjaan, hal
4Ibid
69
tersebut dapat menyebabkan berkurangnya kesadaran kolektif yang dianggap
kurang penting lagi untuk keteraturan sosial dan konsekuensi yang dapat
ditimbulkan adalah sikap individualistis yang semakin kuat dari individu secara
pribadi.
Namun dengan pembagian kerja tersebut individu akan memiliki
spesialisasi dan lebih otonom serta saling tergantung antara satu dengan yang
lainnya. Saling ketergantungan yang dimaksudkan oleh Durkheim adalah
ketergantungan secara fungsional, contohnya seorang PNS memerlukan hasil
panen dari petani untuk makan, begitupun seorang petani memerlukan guru
untuk mengajari anaknya di sekolah dan lewat sikap saling ketergantungan ini
maka solidaritas sosial tetap ada, inilah yang disebut Durkheim sebagai
solidaritas sosial organik.5
Dari penjelasan tersebut, bila melihat realita kehidupan masyarakat
Negeri Rumahtiga, maka dapat dikatakan bahwa masyarakat Negeri Rumahtiga
telah mengalami perubahan dari masyarakat mekanik menjadi masyarakat
organik di mana sudah terjadi pembagian kerja dan oleh karena itu orang saling
ketergantungan antara satu dengan yang lainnya, akan tetapi pembagian kerja itu
telah membuat kesadaran kolektif masyarakat Negeri Rumahtiga mulai
berkurang, tetapi tidak sampai menghilangkan kesadaran kolektif itu sama
sekali, di mana sekarang mereka saling terikat atau peduli antara satu dengan
yang lainnya bukan lagi karena satu adat atau satu leluhur, tapi lebih daripada itu
keterikatan yang terjadi adalah karena secara sadar mereka saling membutuhkan
70
atau saling ketergantungan secara fungsional antara satu dengan yang lain
misalnya warga asli Rumahtiga bisa saja lebih bergantung kepada warga
pendatang yang bekerja sebagai tukang bangunan untuk membangun rumah
mereka ketimbang warga asli Rumahtiga, hal tersebut memebuat pola hidup
masyarakat berubah sehingga masyarakat Negeri Rumahtiga lebih cenderung ke
ciri masyarakat organik. Inilah yang membuat pemahaman terhadap aktualisasi
nilai sagu salempeng pata dua mulai bergeser.
Dari pernyataan di atas maka dapat dikatakan bahwa di dalam
masyarakat organik masih tetap hidup solidaritas suku atau solidaritas sosial
mekanik, hanya saja tingkat kesadaran kolektif mulai berkurang bahkan
cenderung hilang karena individu lebih otonom. Solidaritas organik tersebut
tidak membuat individu menjadi terpisah sama sekali dari ikatan sosial yang
didasarkan oleh kesepakatan bersama.6 Hal ini juga berarti falsafah sagu
salempeng patah dua memang mengalami pergeseran tetapi tidak ditinggalkan
sama sekali, terbukti dengan masih adanya acara-acara adat yang dilakukan di
dalam masyarakat yang organik itu, serta melibatkan individu-individu yang ada
di dalamnya. Acara-acara tersebut diantaranya ikat tali gandong7 dan makan
patita8. Hal tersebut dilakukan untuk tetap menjaga eksistensi falsafah sagu
salempeng patah dua
6
Emile Durkheim, The Division of Labor In Society,...,172.
7
Ikat tali gandong adalah dialeg Maluku yang menunjuk pada suatu ritual adat yang dilakukan untuk mempererat hubungan persaudaraan antara dua negeri atau lebih.
8
71
Selain beberapa faktor yang disebutkan oleh penulis, ada juga faktor
yang tidak dapat diabaikan terkait dengan bergesernya aktualisasi nilai dari
falsafah sagu salempeng patah dua. Faktor tersebut adalah konflik. Tidak dapat
dipungkiri bahwa konflik kemanusiaan yang terjadi tahun 1999 di Maluku
termasuk di Negeri Rumahtiga telah merusak tatanan hidup serta nilai-nilai
persaudaraan orang Maluku terkhususnya masyarakat Negeri Rumahtiga yang
telah terbina sangat baik sebelum terjadinya konflik. Konflik yang memakan
banyak korban jiwa maupun materiil ini telah menimbulkan trauma yang
mendalam bagi masyarakat Negeri Rumahtiga, sadar maupun tidak hal tersebut
telah membuat rusaknya nilai-nilai adat yang selama ini telah dipakai sebagai
pola hidup orang bersaudara dalam membina kehidupan sosial masyarakat
Negeri Rumahtiga. Hal ini terbukti dengan masih adanya rasa curiga serta takut
yang mendalam ketika seseorang berada di dalam wilayah yang bukan
merupakan wilayah mayoritasnya. Padahal sebelum terjadinya konflik, hal
semacam ini tidak pernah dirasakan. Orang dapat tinggal dan bergaul dengan
siapa dan dimana saja tanpa memandang suku maupun agama. Dari hal tersebut
terlihat jelas bahwa nilai aktualisasi dari falsafah sagu salempeng patah dua
telah bergeser.
Faktor lain yang mungkin tidak disadari oleh masyarakat Negeri
Rumahtiga tentang bergesernya falsafah sagu salempeng pata dua adalah
hadirnya NKRI, mengapa demikian? Secara tidak sadar, hadirnya NKRI
membuat setiap orang berhak tinggal dimana saja selama itu masih dalam
72
dulu, sebelum ada NKRI dan undang-undang, orang tidak bisa bebas datang dan
tinggal di suatu tempat tanpa izin dari tua-tua adat setempat, ini menujukkan
bagaimana kehadiran NKRI dengan hukum-hukum positifnya merusak tradisi
dan hukum-hukum adat disuatu tempat terkhususnya di Negari Rumahtiga.
Kalau melihat konteks pembauran yang terjadi di Negeri Rumahtiga,
ternyata telah terjadi perubahan dari masyarakat tradisional ke masyarakat
modern yang disebabkan oleh adanya perpaduan tradisi antara masyarakat asli
dan pendatang serta tingkat pembagian kerja yang tinggi. Berdasarkan realita
tersebut, bila dilihat dari kacamata Durkheim, seharusnya terjadi suatu
perubahan dari masyarakat mekanik ke masyarakat organik, hal tesebut
disebabkan oleh pemikiran Durkheim bahwa masyarakat yang diperhadapkan
dengan pembagian kerja itu bisa saling menyatu karena adanya saling
ketergantungan satu dengan yang lainnya, dan dampak dari pembagian kerja
yang berbeda-beda itu adalah otonomi atau kebebasan.
Seharusnya dengan adanya pendatang di Negeri Rumahtiga bisa
memunculkan solidaritas sosial organik, namun pada kenyataannya tidak seperti
yang dibayangkan karena dalam proses perubahan masyarakat Negeri
Rumahtiga dari masyarakat mekanik ke organik terjadi konflik yang disebabkan
oleh hadirnya NKRI yang masih ditunggangi oleh isu agama yang
mengakibatkan proses peralihan dari solidaritas mekanik ke organik tidak
bejalan dengan baik. Jadi, kehadiran republik ini harus kita sikapi dengan baik
secara bersama, apakah Republik ini telah hadir dengan wajah yang nasionalis
73
membawa persoalan dan kepentingan suatu golongan tertentu yang pada
akhirnya menciptakan konflik?
Bertolak dari pemahaman diatas, maka tulisan Soekarno dalam arsip
nasional RI tentang Nasionalisme, Islamisme dan Marxisme dapat menjadi suatu
acuan untuk mewujudkan NKRI yang hadir dan berlaku adil di tengah-tengah
masyarakat tanpa ditunggangi oleh kepentingan suatu golongan atau kelompok
tertentu. Dalam tulisannya, Soekarno menjelaskan bahwa Islamiesme, Marxisme
dan Nasionalis bisa bersatu. Persatuan itu dapat terwujud apabila tiap kelompok
bisa meninggalkan kepentingan masing-masing, dengan begitu mereka dapat
membawa bangsa Indonesia menjadi bangsa yang merdeka. Walaupun pikiran
masing-masing kelompok berbeda-beda, namun harus memiliki keyakinan
bahwa persatuan tersebut harus tercapai demi kepentingan bersama yaitu
kepentingan bangsa Indonesia. Ketiga paham ini juga harus saling bertukar
pikiran serta saling mengisi satu dengan yang lain agar tercipta rasa persatuan
yang nasionalis tanpa dilatarbelakangi oleh kepentingan-kepentigan kelompok
atau golongan tertentu.9
Dengan tegas dijelaskan pula bahwa Soekarno tidak mengaharapkan
yang Nasionalisme untuk berubah menjadi Islamisme dan Marxisme, atau
mengharapkan Islamisme dan Marxisme itu berbalik menjadi Nasionalisme
melainkan impiannya adalah menciptakan kerukunan antara ketiga golongan
tersebut.10 Sehingga rasa nasionalisme yang diharapkan adalah nasionalisme
9
Soekarno. Arsip Nasional RI, 22.
10Ibid.,
74
yang tulus dan baik tanpa memiliki niat atau tekad untuk
kepentingan-kepentingan tertentu yang tidak adil, melainkan menjadi nasionalisme yang
benar-benar nasionalisme yang tidak dicampur adukan dengan
kepentingan-kepentingan dari golongan atau kelompok-kelompok tertentu.
Dari tulisan Soekarno inilah dapat tercermin bagaimana NKRI yang hadir
di tengah-tengah masyarakat itu harus benar-benar menjunjung persatuan
Indonesia, berlaku adil tanpa membedakan suku, agama dan ras tertentu, NKRI
yang hadir itu seharusnya tidak boleh ditunggangi oleh
kepentingan-kepentingan kelompok atau golongan tertentu, dengan begitu impian untuk