BAB I
PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang
Keluarga secara universal dianggap sebagai sel utama dan sangat vital bagi
masyarakat.1 Salah satu alasannya adalah karena keluarga menjadi tempat
paling awal bagi seseorang (anak) untuk mengembangkan jati diri, mempelajari
pola-pola berhubungan secara intim dengan orang lain serta mempelajari
tentang nilai-nilai, ide dan perilaku.2 Menurut Murdock dan Haviland yang
dikutip oleh Eko A. Meinarno, keluarga setidaknya memiliki dua fungsi dasar.3
Pertama adalah masalah seksual. Bagi manusia yang memiliki seperangkat
aturan sosial maka seks dijadikan sebagai area pribadi dan dikendalikan oleh
masyarakat. Bentuk pengendalian itulah yang dinamakan pernikahan yang
menjadi dasar terbentuknya keluarga. Fungsi kedua, yaitu pemeliharaan anak.
Pemeliharaan anak dalam konteks sederhana hanya berkisar pada pemeliharaan
fisik, seperti memberi makan, menjaganya dari gangguan luar yang berupa
fisik. Namun tidak hanya itu, keluarga juga berfungsi untuk membentuk
karakter dan perilaku anak untuk bisa hidup di kalangan yang lebih luas, yakni
masyarakat. Dengan demikian proses pemeliharaan anak mengandung
sosialisasi dan enkulturasi. Fungsi ini didukung dalam pernyataan Maurice
1
Maurice Eminyan, SJ, Teologi Keluarga (Yogyakarta: Kanisius, 2008), 8. 2
Marjorie J. Thompson, Keluarga Sebagai Pusat Pembentukan: Sebuah Visi tentang Peranan Keluarga dalam Pembentukan Rohani (Jakarta: BPK Gunung Mulia, cet 3, 2001), 10.
Eminyan bahwa keluarga mempunyai pengaruh paling kuat pada tingkah laku
dan memberikan model-model (contoh) yang paling baik bagi anak.4 Di
samping itu Kathryn Geldard dan David Geldard (2011) yang mengutip Reis
dan Lee (1998) menyebutkan tentang empat fungsi sentral bagi keluarga,
yakni: memberikan keintiman seksual, reproduksi, kerja sama ekonomi dan
sosialisasi pada anak.5 Menurut Hildred Geertz yang dikutip oleh N.K.
Atmadja Hadinoto, ia menyebutkan bahwa keluarga sebagai kelompok sosial
terkecil maupun dalam bentuk keluarga besar (extended family) mempunyai
tugas menyiapkan anggota-anggotanya untuk dapat berhubungan secara sosial
dengan dunia di luarnya. Pengalaman semasa anak-anak mendapat bentuknya
yang fundamental melalui stuktur kelembagaan keluarga. Melalui
pengalaman-pengalaman inilah ia memperoleh pengertian, perlengkapan emosional dan
keterikatan moral yang membuat ia sebagai orang dewasa dapat berperan
sebagai anggota penuh dari masyarakat.6
Berdasarkan pemikiran para ahli di atas, maka menurut peneliti keluarga
merupakan konteks utama dan penting dalam masa pembentukan seorang
manusia dan berdampak kepada sebuah masyarakat. Keluarga menjadi
lingkungan pendidikan paling awal dalam pembentukan individu yang
berkualitas secara emosi, spiritual dan moral. Di samping itu keluarga juga
adalah bagian yang paling kecil dari masyarakat di mana cita-cita, toleransi,
4
R. Maderna, Famiglia Christiana, dalam Maurice Eminyan, SJ, Teologi Keluarga
(Yogyakarta: Kanisius, 2008), 12. 5
I.L. Reis dan G.R Lee, Family Systems in America (New York: Holt, Rinehart & Winston, 1988) dalam Kathryn Geldard dan David Geldard, Konseling Keluarga – Membangun Relasi untuk Saling Memandirikan Antaranggota Keluarga (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011), 78.
6
prasangka, kebencian serta pola pendidikan dan pengasuhan diwariskan.
Keutamaan pembentukan seorang manusia inilah yang menjadikan keluarga
sebagai bagian penting untuk menentukan berkembangnya masyarakat yang
lebih baik. Pentingnya peran keluarga sebagai pusat pembentukan juga
ditemukan dalam pemahaman iman Kristen.
Kehidupan keluarga Kristen baik ataupun buruk merupakan tempat
pembentukan spiritual, fisik dan emosi para anggota keluarganya.7 Sebelum
menjadi sebuah keluarga, calon pasangan suami isteri harus mengalami proses
pernikahan Kristen. Pernikahan adalah anugerah yang unik dari Allah bagi
umat manusia.8 Ikatan ini bukan hanya sekedar peraturan sipil, ekonomi dan
sosial atau sebuah kontrak hukum yang bisa dibatalkan setiap saat ketika ada
masalah. Pernikahan adalah sebuah persatuan sukarela di mana kedua pria dan
wanita telah mematuhi perintah dari Tuhan untuk meninggalkan ibu dan ayah
masing-masing dan menjadi satu (Markus 10: 6-9). Pernikahan Kristen
dipandang sebagai peraturan suci yang ditetapkan oleh Tuhan, bersifat
monogami dan diyakini sebagai persekutuan seumur hidup.9 Pernikahan juga
tidak semata-mata merupakan anugerah dari Allah, namun ia merupakan
metafora dari hubungan Allah dengan manusia. R. Laurer & J. Laurer
menjelaskan hubungan tersebut sebagai berikut:
“The first mention of marriage in scripture states that a husband ‘clings’ to his wife (Gen. 2: 24). The verb clings is also used to describe the Hebrews’ relationship with God. Thus, Moses exhorted Israel: ‘You shall fear the Lord your God; him alone you shall worship; to him you shall
7
Thompson, Keluarga Sebagai Pusat, 1. 8
Grace Kimathi, Your Marriage and Family (Potchefstroom: Potchefstroom University for Christian Higher Education, 1994), 39.
9
hold fast, and by his name you shall swear” (Deut. 10:20). ‘Hold fast’ is
the same verb translated ‘clings’ in Genesis. You can understand
something of what it means to hold fast to God by reflecting on how you cling to your mate.” 10
Berdasarkan pemikiran para ahli di atas maka dapat disimpulkan bahwa
Keluarga Kristen sebagaimana ia berasal dari pernikahan yang kudus memiliki
dimensi spritual yang tinggi sehingga perlu dihayati sebagaimana manusia
berhubungan dengan Allah. Ia dibangun atas dasar cinta kasih, berakar dan
bertumbuh dalam Kristus. Oleh sebab itu, keluarga Kristen dalam fungsi
sebagai pusat pembentukan spiritual berperan penting untuk menghasilkan
masyarakat yang kritis dan sadar terhadap isu-isu penyimpangan moral dan
sosial. Kesimpulan di atas dengan demikian menegaskan bahwa baik dalam
pemahaman umum maupun perspektif kristiani, keluarga memainkan peranan
sentral untuk membentuk karakter dan juga memiliki pengaruh bagi masa
depan sebuah masyarakat bahkan negara. Namun kenyataannya,
konsep-konsep ideal dan penting tersebut mulai mengalami pergeseran.
Keluarga tidak lagi menjadi tempat yang aman dan nyaman namun
sebaliknya berkembang menjadi penjara yang kasat mata bagi manusia di
dalamnya. Metafora keluarga sebagai penjara menjelaskan pergeseran makna
keluarga yang penuh kasih dan membebaskan berubah menjadi sebuah
lingkungan yang membelenggu, menindas dan tragis. Di mana-mana media
informasi merekam dan memberitakan berbagai kasus kekerasan baik fisik
maupun verbal antara suami dan istri, laporan mengenai perselingkuhan,
10
perceraian serta pengabaian tanggung jawab memelihara dan mendidik anak
oleh orang tua. Pada akhirnya masalah-masalah tersebut menimbulkan
kerusakan karakter di kalangan pemuda akibat disfungsional keluarga.11 Hal ini
secara tidak langsung menunjukkan bahwa pemahaman masyarakat tentang
nilai sebuah keluarga mulai bergeser. Keadaan seperti ini juga tergambar dalam
kehidupan keluarga di kota Ambon. Salah satu buktinya bersumber dari data
dan catatan yang dikeluarkan Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil kota
Ambon bahwa dalam kurun waktu 2004-2014 telah terjadi 703 kasus
perceraian khususnya di kalangan orang Kristen.12 Kasus-kasus perceraian
tersebut mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Rata-rata peningkatan
yang dicatat setiap tahunnya meningkat sebesar 14% dan kurang lebih 33%
dari jumlah tersebut merupakan pasangan dalam usia pernikahan satu sampai
lima tahun. Berikut adalah angka perceraian yang terjadi di Kota Ambon dalam
kurun waktu tahun 2004-2014:
2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014
Perceraian
Tabel I.1. Angka Perceraian Periode 2004-2014 di Kota Ambon
11
Thomas Lickona, Pendidikan Karakter (Bantul: Kreasi Wacana, 2012), 15. 12
Data di atas dapat diasumsikan sebagai ujung dari fenomena gunung es
dari masalah-masalah dalam keluarga yang tercatat. Tentu saja masih banyak
masalah lainnya yang tersembunyi di balik kehidupan keluarga Kristen di kota
Ambon. Hal yang sama juga diungkapan dari pihak Klasis Kota Ambon Gereja
Protestan Maluku (GPM) bahwa masalah-masalah mengenai keluarga seperti
kekerasan dalam rumah tangga, perselingkuhan, perceraian dan kenakalan
remaja cukup banyak.13 Klasis Kota Ambon sendiri merupakan lingkupan
pelayanan Sinode GPM yang berada di tengah kota Ambon dan terdiri dari 18
jemaat. Berdasarkan data dan fakta tersebut dapat disimpulkan bahwa ada
kemerosotan nilai-nilai spiritual maupun sosial dalam kehidupan keluarga.
Secara umum banyak faktor yang dapat disebutkan dalam hubungannya
dengan kemerosotan tersebut. Salah satunya adalah disebabkan oleh perubahan
peran dalam keluarga yang relatif cepat seperti pemahaman umum yang
menempatkan lelaki sebagai tulang punggung ekonomi keluarga, tapi sekarang
tidak lagi; faktor pernikahan antargolongan yang semakin intens yang
berkontribusi terhadap dinamika keluarga baru terbentuk; atau faktor
industrialisasi dan teknologi.14 Namun, secara khusus fenomena kemerosotan
nilai keluarga yang terjadi di kota Ambon dipengaruhi oleh tiga aspek yang
berkembang dalam kehidupan pernikahan calon dan pasangan suami isteri.
Faktor-faktor tersebut antara lain:
“Pertama, masih kurangnya pemahaman tentang esensi pernikahan yang
harus dimiliki oleh pasangan suami isteri. Kedua,kurangnya kemampuan
memahami diri sendiri pada pasangan suami isteri. Ketiga, kurangnya
13
Wawancara dengan Pdt. A. L-P, S.Th (Sekretaris Klasis Kota Ambon GPM), tanggal 10 September 2014.
14
kemampuan pasangan suami isteri dalam membangun relasi interpersonal
baik secara kuantitas maupun kualitas.” 15
Berdasarkan latar belakang masalah di atas maka penelitian ini memberi
fokus kepada kurangnya pemahaman tentang esensi pernikahan yang harus
dimiliki oleh calon pasangan suami-isteri di Klasis Kota Ambon. Fenomena
masalah ini kemudian mengarah kepada sumber masalah tentang bagaimana
pendidikan pranikah yang diselenggarakan oleh pihak gereja.
Penelitian ini memberi fokus kepada sumber masalah tersebut, yaitu
pendidikan pranikah karena ia merupakan titik awal yang membentuk fondasi
sebuah pernikahan. Tanpa fondasi yang kuat sebuah bangunan akan cepat
runtuh. Tanpa pengetahuan yang memadai dan berkualitas seseorang tidak
akan mampu bertahan dan memecahkan tantangan dan problematika di masa
depan. Tanpa persiapan yang berkualitas kedua calon pasangan suami-isteri
tidak bisa bertahan menghadapi kompleksnya kehidupan berkeluarga.
Pentingnya pendidikan pranikah juga diperkuat dengan banyaknya penelitian
dalam aspek ini. Berdasarkan hasil penelitian dalam dua dekade terakhir, telah
menetapkan bahwa program-program persiapan pernikahan yang berkualitas
dapat mengurangi tekanan pernikahan dan meningkatkan kepuasan
perkawinan.16 J.S. Carroll dan J.W. Doherty dalam ulasan meta-analisis dari 23
program pranikah menemukan bahwa secara umum program pendidikan
15
Mercy Lekransy, Suatu Studi Relasi Interpersonal Suami Isteri dalam Jemaat GPM Bethel Klasis Kota Ambon dan Implikasinya terhadap Konseling Pernikahan (Salatiga: Tesis Magister Sosiologi Agama, 2010), 8.
16Benjamin Silliman dan Walter R. Schumm, “Marriage Preparation Programs: A
pranikah efektif dalam memproduksi keuntungan langsung dan jangka pendek
dalam keterampilan interpersonal dan kualitas hubungan pasangan secara
keseluruhan.17
Berdasarkan hal tersebut, disimpulkan bahwa pendidikan pranikah penting
untuk diperhatikan karena memberi kontribusi yang cukup mendasar bagi
kehidupan berkeluarga. Bagian yang penting di sini adalah kemerosotan
nilai-nilai kehidupan pernikahan dalam keluarga menjadi salah satu tantangan gereja
yang terbesar di zaman ini.18 Oleh sebab itu, pendidikan pranikah menjadi
tanggung jawab gereja untuk membentuk keluarga bahkan masyarakat yang
lebih baik. Di sinilah letak intervensi gereja dalam rangka mempersiapkan
calon pasangan suami-isteri menghadapi konteks kehidupan baru yang harus
mereka jalani seumur hidup itu dengan matang. Mempertimbangkan luasnya
lingkup penelitian mengenai proses pendidikan pranikah maka fokus penelitian
ini diberikan bagi persiapan pada tahap akhir. Persiapan pranikah tahap akhir
merupakan proses penting untuk membangkitkan kembali semua pengetahuan
mengenai pernikahan dan memvalidasi pengetahuan yang berkualitas
mengenai kehidupan berumah tangga bagi calon pasangan suami-isteri. Lokasi
penelitian ini dilakukan di Klasis Kota Ambon GPM berdasarkan
pertimbangan bahwa klasis ini berada pada pusat ibu kota Provinsi Maluku
yang memiliki perkembangan ekonomi, sosial dan budaya yang dinamis,
peningkatan angka perceraian yang tinggi serta rentan terhadap krisis keluarga.
17J.S Carroll dan J. W Doherty, “
Evaluating the Effectiveness of Premarital Prevention Programs: A Meta-Analytic Review of Outcome Research,” Family Relations Vol. 52, No.2 (April 2003), 105.
18
Berdasarkan latar belakang di atas maka peneliti merumuskan judul penelitian
ini sebagai:
“Pendidikan Hidup Berkeluarga: Studi tentang Penyelenggaraan Pendidikan
Pranikah di Klasis Kota Ambon - Gereja Protestan Maluku”
1.2.Rumusan Masalah Penelitian
Berdasarkan latar belakang penelitian di atas maka peneliti merumuskan
masalah penelitian yaitu bagaimana penyelenggaraan pendidikan pranikah di
Klasis Kota Ambon GPM. Rumusan masalah tersebut dijabarkan dalam fokus
penelitian sebagai berikut:
1.2.1. Bagaimana penyelenggaraan pendidikan pranikah di Klasis Kota
Ambon?
1.2.2. Faktor-faktor apa saja yang mendukung dan menghambat
penyelenggaraan pendidikan pranikah di Klasis Kota Ambon?
1.3.Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah penelitian di atas maka tujuan penulisan
penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan dan menganalisis tentang
penyelenggaraan pendidikan pranikah di Klasis Kota Ambon GPM. Tujuan
penelitian tersebut dijabarkan dalam dua fokus sebagai berikut:
1.3.1. Mendeskripsikan penyelenggaraan pendidikan pranikah di
1.3.2. Mendeskripsikan dan menganalisis faktor-faktor pendukung dan
penghambat dari kegiatan tersebut.
1.4.Manfaat Penelitian
1.4.1. Manfaat Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan memberikan kontribusi bagi pekerja gereja
di Klasis Kota Ambon mengenai pentingnya pendidikan pranikah yang
disengaja, sistematis dan terus menerus untuk mengembangkan dan
memperlengkapi anggota jemaatnya menghadapi kehidupan keluarga
dengan lebih baik.
1.4.2. Manfaat Praktis
Diharapkan melalui penelitian ini, perhatian dan prioritas gereja terhadap
pendidikan hidup berkeluarga dapat memberikan kontribusi bagi
pengembangan dan pertumbuhan jemaat untuk menciptakan kehidupan
keluarga yang berkualitas.
1.5.Metode Penelitian
1.5.1. Pendekatan
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian
kualitatif. Kata kualitatif menyiratkan penekanan pada proses dan makna
sisi kuantitas, jumlah, intensitas atau frekuensinya.19 Pendekatan ini
menekankan sifat realita yang terbangun secara sosial, hubungan erat
antara peneliti dengan subjek yang diteliti dan tekanan situasi yang
membentuk penelitian. Dengan demikian penggunaan pendekatan
kualitatif ini bertujuan untuk mengungkapkan makna terdalam,
menjelaskan proses, mendeskripsikan dan menggali lebih dalam dari
rumusan masalah yang sudah peneliti sebutkan di atas. Sedangkan metode
yang digunakan adalah metode deskriptif analitis. Metode deskriptif
analitis adalah suatu metode yang berfungsi untuk mendeskripsikan atau
memberi gambaran terhadap objek yang diteliti melalui data atau sampel
yang telah terkumpul sebagaimana adanya.20 Dalam penelitian ini yang
dideskripsikan dan dianalisis adalah penyelenggaraan pendidikan pranikah
di Klasis Kota Ambon-GPM.
1.5.2. Teknik Pengambilan Data dan Sumber Data
Teknik pengambilan data dan sumber data diuraikan sebagai berikut:
a) Wawancara mendalam. Wawancara mendalam atau wawancara
tidak terstruktur hampir sama dengan percakapan informal.
Metode ini bertujuan untuk memperoleh bentuk-bentuk informasi
tertentu dari semua responden, tetapi susunan kata dan urutannya
disesuaikan dengan ciri-ciri setiap responden.21 Sumber datanya
19
Norman K. Denzin dan Yvona S. Lincoln, Handbook of Qualitative Research (Newbury Park: Sage Publication, Inc. 1994), 6.
20
Denzin & Lincoln, Handbook of Qualitative, 14.
21Norman K. Denzin. “The Research Act: A Theoretical Introduction to Sociological
adalah pimpinan Lembaga Pembinaan Jemaat Sinode GPM,
pimpinan Klasis Kota Ambon, ketua majelis dan Pendeta jemaat
Silo, Bethel dan Imanuel Klasis Kota Ambon GPM, serta para
pengajar pendidikan pranikah di Klasis Kota Ambon.
b) Focus group discusion (FGD). Istilah lain dari FGD adalah diskusi
kelompok terarah yaitu wawancara yang dilaksanakan dalam
kelompok.22 Tujuannya adalah untuk berdiskusi dan berdialog
sesama responden/subjek/informan penelitian guna menghasilkan
suatu informasi langsung dari berbagai sudut pandang.23 Metode
FGD ini digunakan sebagai verifikasi data hasil temuan
lapangan.24 Sumber datanya adalah pasangan suami isteri Kristen
yang telah menikah 3-5 tahun.
c) Observasi. Teknik ini adalah strategi lapangan yang secara
simultan memadukan analisis dokumen, wawancara dengan
responden dan informan.25 Sumber datanya diperoleh dari
observasi langsung dalam proses pendidikan pranikah yang
dilakukan pada tingkat jemaat di Klasis Kota Ambon.
d) Dokumentasi. Sumber datanya berasal dari dokumen-dokumen
penting yang dikeluarkan oleh Klasis Kota Ambon berkaitan
dengan pendidikan pranikah.
22
1.5.3. Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Klasis Kota Ambon GPM. Klasis ini
berada pada pusat ibu kota Provinsi Maluku yang memiliki perkembangan
ekonomi, sosial dan budaya yang dinamis, peningkatan angka perceraian
yang tinggi serta rentan terhadap krisis keluarga.26
1.6.Sistematika Penulisan
Penelitian ini akan diuraikan dalam beberapa bagian yaitu bab satu tentang
pendahuluan yang meliputi latar belakang penelitian; pertanyaan penelitian;
tujuan penelitian; manfaat penelitian, metode penelitian dan sistematika
penulisan. Bab dua tentang pendidikan hidup berkeluarga yang meliputi
keluarga Kristen, pernikahan Kristen, pendidikan agama Kristen, pendidikan
orang dewasa, pendidikan pranikah, serta faktor-faktor pendukung dan
penghambat pendidikan pranikah. Bab tiga akan disajikan serangkaian hasil
temuan data empiris di lapangan serta deskripsi analisis berdasarkan dialog
antara teori dan data lapangan.Terakhir adalah bab empat yang meliputi
kesimpulan dan saran. Kesimpulan berisi temuan-temuan yang diperoleh dari
hasil penelitian, pembahasan dan analisis, sedangkan saran berisi kontribusi
bagi pihak-pihak yang berkepentingan dan rekomendasi bagi penelitian
selanjutnya.
26