• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Perkara Nomor 690k Pid.Sus 2010 Ditinjau Dari Perlindungan Hukum Terhadap Anak Korban Eksploitasi Seksual Dalam Pernikahan Dini

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis Perkara Nomor 690k Pid.Sus 2010 Ditinjau Dari Perlindungan Hukum Terhadap Anak Korban Eksploitasi Seksual Dalam Pernikahan Dini"

Copied!
29
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

PENGATURAN TENTANG LARANGAN EKSPLOITASI SEKSUAL PADA PERNIKAHAN ANAK USIA DINI

Ekspolitasi seksual dalam pernikahan dini bagaikan fenomena gunung es yang sulit untuk ditangani, karena terus meningkat setiap tahunnya. Pelaku eksploitasi seksual anak menggunakan berbagai cara atau modus operandi untuk dapat membujuk korban, mulai dari pemberian iming-iming serta janji manis, sampai melakukan pemaksaan dengan kekerasan. Terdapat banyak faktor yang melatarbelakangi alasan meningkatnya kejahatan eksploitasi seksual yang satu ini, namun faktor yang paling menentukan adalah perangkat hukum yang tidak tegas, sehingga dijadikan celah oleh orang yang tidak bertanggung jawab untuk menikahi anak-anak di bawah umur.

Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan telah mengatur batas minimum seorang perempuan untuk diperbolehkan menikah, yaitu pada usia 16 (enam belas) tahun. Apabila karena alasan tertentu yang mengharuskan tetap dilaksanakannya perkawinan di bawah ketentuan usia tersebut, maka perkawinan dilaksanakan dengan izin orang tua. Pengecualian tersebut membuat pengaturan tentang batasan usia menikah bersifat fleksibel.

(2)

Anak Internasional seseorang yang menikah dengan anak usia di bawah 18 (delapan belas) tahun, dengan maksud dan tujuan yang tidak baik termasuk eksploitasi seksual terhadap anak.

Seperti yang telah dikemukakan pada BAB PENDAHULUAN tepatnya pada halaman ke-4 alinea ke-2 bahwa terdapat 5 (lima) bentuk utama dan saling terkait dari eksploitasi seksual anak, yakni: pelacuran anak, pornografi anak, pariwisata seks anak, dan perkawinan anak. Terhadap masalah perdagangan anak, pelacuran anak, pornografi anak, larangannya telah ada termuat dalam KUHPidana, yakni pada pasal pasal 297 (perdagangan anak), pasal 296 dan 506 (pelacuran anak), dan pasal 283 (pornografi anak).

(3)

Terhadap bentuk eksploitasi seksual anak berupa pariwisata seks anak dapat dikategorikan sebagai bentuk perdagangan anak, sebab melalui sarana-sarana penunjang pariwisata, seperti hotel, bar, kafe yang ada di lokasi pariwisata,bisa saja terjadi transaksi jual beli anak41

Terhadap eksploitasi seksual anak dalam bentuk perkawinan anak, selain memang tidak termuat dalam Protokol Opsional Konvensi Hak Anak, Indonesia juga tidak memiliki aturan hukum spesifik untuk menanganinya, namun demikian bukan berarti perbuatannya diperbolehkan. Menyadari akan banyaknya kerugian baik fisik maupun mental, dengan hancurnya masa depan yang akan dialami oleh seorang anak apabila menjadi korban eksploitasi seksual dalam pernikahan dini, maka meskipun tidak diatur secara spesifik, namun beberapa perundang-undangan melarang melakukan persetubuhan dengan anak yang masih di bawah umur, dengan atau tanpa paksaan, atau perbuatan lain yang melanggar kesusilaan, serta dapat merampas hak anak. Perundang-undangan tersebut antara lain yakni : KUHPidana, Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, Keppres . Anak-anak tersbut bisa saja hanya diperuntukkan sebagai pemuas nafsu pada saat mereka melakukan perjalanan wisatawan, atau bisa juga dibeli untuk dimiliki dan dibawa ke negara asalnya, sehingga terhadap eksploitasi seksual dalm bentuk pariwisata seks pengaturan mengenai larangannya dikategorikan ke dalam perdagangan anak.

41

Memerangi Pariwisata seks anak, dalam

(4)

Nomor 36 Tahun 1990 Tentang Konvensi Hak Anak, dan Keppres Nomor 87 Tahun 2002 Tentang Rencana Aksi Penghapusan Eksploitasi Seksual Komersial Anak.

A. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tidak mengenal istilah eksploitasi seksual dalam pernikahan dini, namun di dalamnya terdapat beberapa pasal yang melarang perbuatan bersetubuh dan cabul terhadap orang yang belum dewasa, sehingga bunyi pasal tersebut dapat diinterpretasikan sebagai perbuatan eksploitasi seksual terhadap anak.

a. Pencabulan dan Perkosaan Pasal 285 KUHP:

“Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang wanita bersetubuh dengan dia di luar perkawinan, diancam dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun.” Berdasarkan pasal 285 KUHPidana tersebut, maka batasan eksploitasi seksual adalah :

1. Menyetubuhi seorang wanita; 2. Di luar perkawinan;

3. Dengan kekerasan atau ancaman kekerasan.

Pasal 287 KUHP:

(5)

diancam dengan pidana penjara paling lama 9 (sembilan) tahun.” Pasal ini disebut sebagai statutory rape42

1. Menyetubuhi seorang wanita;

. Batasan eksploitasi seksual terhadap anak menurut pasal 287 KUHPidana adalah :

2. Di luar perkawinan;

3. Menyadari bahwa wanita tersebut belum berusia 15 (lima belas) tahun.

Pasal 288 KUHP :

1) Barang siapa dalam perkawinan bersetubuh dengan perempuan yang dinikahinya, padahal diketahuinya atau patut dapat disangkanya bahwa perempuan itu belum pantas dikawini, dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya empat tahun, apabila perbuatan itu berakibat badan perempuan itu mendapat luka.

2) Jika perbuatan itu berakibat perempuan tersebut mendapat luka berat dijatuhkan pidana penjara selama-lamanya delapan tahun.

3) Jika perbuatan itu mengakibatkan matinya perempuan itu, dijatuhkan pidana selama-lamanya dua belas tahun.

Batasan eksploitasi seksual terhadap anak menurut pasal 288 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3):

1. Bersetubuh dengan perempuan;

2. Perempuan tersebut merupakan isterinya;

3. Ia menyadari bahwa perempuan tersebut belum cukup umur untuk dinikahinya;

42

(6)

4. Persetubuhan tersebut mengakibatkan luka berat pada perempuan tersebut; 5. Persetubuhan tersebut mengakibatkan matinya perempuan tersebut; ayat (3)

Pasal 290 KUHP :

Diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun:

1) Barang siapa melakukan perbuatan cabul dengan seorang, padahal diketahuinya bahwa orang itu pingsan atau tidak berdaya;

2) Barang siapa melakukan perbuatan cabul dengan seorang, padahal diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya, bahwa umumya belum lima belas tahun atau kalau umumya tidak jelas, yang bersangkutan belum waktunya untuk dikawin: 3) Barang siapa membujuk seseorang yang diketahuinya atau sepatutnya harus

diduganya bahwa umurnya belum lima belas tahun atau kalau umumya tidak jelas yang bersangkutan belum waktunya untuk dikawin, untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, atau bersetubuh di luar perkawinan dengan orang lain.

Batasan eksploitasi seksual terhadap anak menurut pasal 290 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) KUHPidana tersebut adalah :

1. Berbuat cabul dengan wanita yang pingsan atau tidak berdaya; ayat (1)

2. Patut diduganya bahwa usia wanita tersebut di bawah 15 (lima belas) tahun, atau belum pantas untuk dikawini; ayat (2)

(7)

Pasal 292 KUHP :

“Orang dewasa yang melakukan perbuatan cabul dengan orang lain sesama kelamin, yang diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya belum dewasa, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun”.

Pelaku perbuatan pasal 292 adalah penyuka sesama jenis. Adapun batasan ekploitasi seksual terhadap anak yang dimaksud dalam pasal ini adalah :

1. Seorang dewasa, baik laki-laki ataupun perempuan; 2. Mencabuli anak yang belum dewasa;

3. Anak tersebut berjenis kelamin yang sama dengannya.

Pasal 293 KUHP :

1) Barang siapa dengan memberi atau menjanjikan uang atau barang, menyalahgunakan pembawa yang timbul dari hubungan keadaan, atau dengan penyesatan sengaja menggerakkan seorang belum dewasa dan baik tingkah lakunya untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul dengan dia, padahal tentang belum kedewasaannya, diketahui atau selayaknya harus diduganya, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun.

2) Penuntutan hanya dilakukan atas pengaduan orang yang terhadap dirinya dilakukan kejahatan itu.

3) Tenggang waktu tersebut dalam pasal 74 bagi pengaduan ini adalah masing-masing sembilan bulan dan dua belas bulan.

(8)

1. Dengan memberi atau menjanjikan uang atau barang;

2. Dengan menyalahgunakan hubungan keadaan antara pelaku dan korban; 3. Dengan penyesatan;

4. Menggerakkan seorang anak;

5. Untuk melakukan perbuatan cabul ataupun membiarkan perbuatan cabul itu dilakukan terhadapnya;

Pasal 294 KUHP :

1) “Barang siapa melakukan perbuatan cabul dengm anaknya, tirinya, anak angkatnya, anak di bawah pengawannya yang belum dewasa, atau dengan orang yang belum dewasa yang pemeliharaanya, pendidikan atau penjagaannya dipercayakan kepadanya, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun”.

2) Diancam dengan pidana yang sama:

(1) Pejabat yang melakukan perbuatan cabul dengan orang yang karena jabatan adalah bawahannya, atau dengan orang yang penjagaannya dipercayakan atau diserahkan kepadanya,

(2) Pengurus, dokter, guru, pegawai, pengawas atas, pesuruh dalam penjara, tempat pekerjaan negara, tempat pendidikan, rumah piatu, rumah sakit, rumah sakit jiwa atau lembaga sosial, yang melakukan perbuatan cabul dengan orang yang dimasukkan ke dalamnya.

(9)

yang di bawah pengawasannya, dimana pendidikan, pemeliharaan, serta penjagaan terhadap anak tersebut, dipercayakan kepadanya. Ayat (2) pasal ini memberikan batasan eksploitasi seksual berupa perbuatan cabul yang dilakukan oleh seorang atasan kepada bawahannya. Batasan eksploitasi seksual yang terdapat pada ayat (3) pasal ini adalah perbuatan cabul yang dilakukan oleh seorang pengurus atau pemberi jasa di suatu lembaga atau instansi pelayanan masyarakat, terhadap orang yang sedang dimasukkan ke dalam lembaga atau instansi tersebut.

b. Prostitusi Anak Pasal 296 KUHP:

“Barang siapa dengan sengaja menghubungkan atau memudahkan perbuatan cabul oleh orang lain dengan orang lain, dan menjadikannya sebagai pencarian atau kebiasaan, diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau pidana denda paling banyak lima belas ribu rupiah.” Batasan eksploitasi seksual dalam pasal 296 adalah jika seseorang menghubungkan seseorang dengan orang lain, untuk memudahkan mereka berbuatan cabul, dimana kegiatan ini dijadikan sebagai mata pencahariannya sehari-hari. Tindakan sebagai menghubungkan atau memudahkan tesebut misalnya dengan menyediakan kamar sewaan, tempat-tempat karaoke, kafe remang-remang, dan sebagainya.

Pasal 506 KUHP:

(10)

tahun.” Batasan eksploitasi seksual yang terdapat dalam pasal ini adalah apabila dengan perbuatan cabul seorang wanita, maka dia mendapatkan bayaran uang, dimana kegiatan tersebut dijadikan sebagai mata pencahariannya sehari-hari. Profesi seperti ini bisa disebut dengan istilah germo, mami, atapun mucikari, yang melalui jasanya seorang penikmat seks bisa mendapatkan wanita pemuas nafsu.

c. Penjualan dan Perdagangan Anak (Untuk Tujuan Seksual)

Pasal 297 KUHP:

“Perdagangan wanita dan perdagangan anak laki-laki yang belum dewasa, diancam dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun.” Batasan eksploitasi seksual anak menurut pasal 297 KUHPidana adalah memperdagangkan wanita dan anak laki-laki yang belum dewasa untuk tujuan seks. Anak yang dimaksudkan dalam pasal ini adalah seorang anak laki-laki yang belum dewasa, sedangkan penyebutan wanita oleh karena tidak disebutkan batas usianya, maka wanita yang diperdagangkan adalah wanita dewasa.

d. Pornografi Anak

Pasal 283 KUHP:

(11)

mencegah atau menggugurkan kehamilan kepada seorang yang belum dewasa dan yang diketahui atau sepatutnya harus diduga bahwa umurnya belum tujuh belas tahun, jika isi tulisan, gambaran, benda atau alat itu telah diketahuinya. 2) Diancam dengan pidana yang sama, barang siapa membacakan isi tulisan yang

melanggar kesusilaan di muka orang yang belum dewasa sebagaimana dimaksud dalam ayat yang lalu, jika isi tadi telah diketahuinya.

3) Diancam dengan pidana penjara paling lama empat bulan atau pidana kurungan paling lama tiga bulan atau pidana denda paling banyak sembilan ribu rupiah, barang siapa menawarkan, memberikan untuk terus maupun untuk sementara waktu, menyerahkan atau memperlihatkan, tulisan, gambaran atau benda yang melanggar kesusilaan, maupun alat untuk mencegah atau menggugurkan kehamilan kepada seorang yang belum dewasa sebagaimana dimaksud dalam ayat pertama, jika ada alasan kuat baginya untuk menduga, bahwa tulisan, gambaran atau benda yang melanggar kesusilaan atau alat itu adalah alat untuk mencegah atau menggugurkan kehamilan.

Batasan eksploitasi seksual terhadap anak menurut pasal ini adalah :

1. Menawarkan atau memberikan untuk terus maupun untuk sementara waktu, menyerahkan atau memperlihatkan tulisan, gambaran atau benda yang melanggar kesusilaan;

(12)

3. Membacakan isi tulisan yang melanggar kesusilaan kepada anak yang belum dewasa, dimana tulisan tersebut diketahuinya adalah tidak baik jika diperdengarkan kepada anak-anak;

Secara keseluruhan berdasarkan ketentuan-ketentuan yang tertuang dalam KUHPidana, mengenai batasan eksploitasi seksual terhadap anak ditemukan fakta-fakta sebagai berikut :43

1. Tidak ada definisi khusus dalam KUHPidana, untuk dikatakan belum dewasa atau dikatakan anak-anak. KUHPidana menggunakan batas usia spesifik, namun terkadang menggunakan term “yang belum dewasa” atau bahkan menggunakan keduanya secara bersama-sama. (perhatikan pasal pasal 45) 2. Batas umur statutory rape, yang dinyatakan dalam KUHPidana terlalu rendah,

yakni 12 (dua belas) tahun (pasal 287 KUHPidana ayat 2). Apabila diasumsikan bahwa batas umur kematangan seksual untuk anak perempuan adalah 16 (enam belas) tahun44

3. Berarti seorang anak perempuan yang berumur 12 (dua belas) tahun di Indonesia dianggap sudah cukup matang untuk berhubungan seks atas dasar suka sama suka namun dia belum boleh menikah secara legal.

, maka ketentuan dalam KUHPidana secara efektif meninggalkan anak-anak yang berumur 12 sampai 16 tahun dari perlindungan terhadap

statutory rape.

43

Emmy. L. Smith, Perlindungan Anak dalam rancangan KUHP, dalam

44

(13)

4. Apabila dikaitkan dengan konteks perlindungan anak, ketentuan KUHPidana membiarkan anak-anak perempuan yang sudah berumur 12 (dua belas) tahun tapi belum mencapai 16 tahun tidak terlindungi dari eksploitasi seksual.

5. Sanksi pidana terhadap mereka yang melakukan statutory rape ditetapkan terlalu rendah, yakni paling lama 9 tahun penjara (pasal 287), bahkan lebih rendah dari sanksi pidana untuk rape, yakni paling lama 12 (dua belas) tahun penjara (pasal 285)

6. Konsep statutory rape dalam KUHPidana tidak dinyatakan secara tegas. Hal ini bersamaan dengan ketiadaan pemahaman di kalangan aparat penegak hukum tentang asumsi-asumsi dasar menyangkut statutory rape, membuat anak-anak yang menjadi korban kekerasan seksual bahkan jika umur mereka kurang dari 12 (dua belas) tahun sering mengalami “kekerasan seksual” dalam bentuk lain selama proses Berita Acara Pemeriksaan (BAP) dan selama proses persidangan karena jenis-jenis pertanyaan yang diajukan oleh polisi (BAP dan oleh hakim (persidangan) pada umumnya berangkat dari asumsi anak-anak itu sudah matang secara seksual.

7. KUHPidana yang berlaku memidanakan para germo dan memberikan sanksi pemenjaraan paling lama 1 tahun 4 bulan (pasal 296) atau denda paling banyak Rp 15,000 (lima belas ribu) rupiah. Ketentuan relevan lainnya, yakni pada pasal 506 hanya memberikan sanksi kurungan paling lama satu tahun bagi praktek penggermoan.

(14)

lokalisasi resmi dan sekaligus memidanakan pelacuran jalanan dan sebagai konseksuensinya anak-anak yang terlibat dalam prostitusi jalanan juga dikriminalisasikan.

9. KUHPidana tidak secara langsung menarget pornografi anak sehingga tidak ada definisi legal dari pornografi anak.

10. Tindakan memperdagangkan wanita dan anak laki-laki belum dewasa, tanpa menyebutkan wanita yang belum dewasa;

11. Tindakan menawarkan, menyerahkan, memperlihatkan, mendengarkan isi surat, naskah, gambar atau bahan yang bertentangan dengan norma kesopanan umum kepada seorang anak (dibawah 17 tahun).

B. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang

(15)

pelaku tindak perdagangan orang, tetapi juga mengharuskan negara untuk menghormati, melindungi, dan memenuhi hak asasi korban perdagangan.45

Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang juga tidak ada menyebutkan secara jelas dan tegas mengenai eksploitasi seksual terhadap anak dalam pernikahan dini. Pengertian eksploitasi seksual yang tercantum di dalam pasal 1 angka 8 hanya memberikan pengertian eksploitasi seksual secara umum tanpa mengerucut kepada eksploitasi seksual yang dilakukan terhadap anak. “Eksploitasi Seksual adalah segala bentuk pemanfaatan organ tubuh seksual atau organ tubuh lain dari korban untuk mendapatkan keuntungan, termasuk tetapi tidak terbatas pada semua kegiatan pelacuran dan percabulan”.

Pasal 2 ayat (1) menyebutkan bahwa: “Setiap orang yang melakukan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat walaupun memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain, untuk tujuan mengeksploitasi orang tersebut di wilayah negara Republik Indonesia, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 120.000.000,00 (seratus dua puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah)”. Pasal 2 ayat

45

(16)

(2) berbunyi: “Jika perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang tereksploitasi, maka pelaku dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1)”.

Berdasarkan bunyi pasal 2, pernikahan dini dapat dimasukkan ke dalam kategori trafiking, yakni pernikahan dini untuk kawin kontrak, apabila dilakukan melalui perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat walaupun memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain untuk dieksploitasi secara seksual, sehingga mendatangkan keuntungan.

C. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak

Keberadaan Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak merupakan perwujudan komitmen pemerintah dalam meratifikasi Konvensi Hak Anak. Secara filosofis, lahirnya Undang-Undang Perlindungan Anak bertujuan untuk melindungi hak-hak anak. Perlindungan anak adalah: “Segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, dan berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”.46

46

(17)

menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh melakukan, atau turut serta melakukan eksploitasi terhadap anak, baik secara ekonomi maupun seksual.

Ketentuan pidana yang terdapat di dalam Undang-Undang Perlindungan Anak lebih tegas bila dibandingkan dengan KUHPidana karena sudah memuat tentang batas minimum hukuman. Ketentuan pidana terkait tindakan eksploitasi seksual terhadap anak tercantum dalam pasal 81, 82, dan 83 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

Pasal 81:

1) Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan

orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun

dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp 300.000.000,00

(tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta

rupiah).

2) Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berlaku pula bagi setiap orang yang dengan sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian

kebohongan, atau membujuk anak melakukan persetubuhan dengannya atau

dengan orang lain.

(18)

Pasal 82:

Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan,

memaksa, melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak

untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, dipidana dengan

pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun

dan denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling

sedikit Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah).

Batasan eksploitasi seksual terhadap anak menurut pasal 82 adalah pencabulan yang

dilakukan oleh orang dewasa kepada seorang anak melalui kekerasan, ancaman kekerasan, ataupun dengan bujukan dan tipu muslihat.

Pasal 83:

Setiap orang yang memperdagangkan, menjual, atau menculik anak untuk diri

sendiri atau untuk dijual, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima

belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp

300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp 60.000.000,00 (enam

puluh juta rupiah).

Batasan eksploitasi seksual terhadap anak menurut pasal ini adalah perdagangan

anak ataupun penculikan anak untuk diri sendiri atau untuk dijual,

(19)

larangan menikahi anak di usia dini, meskipun berdasarkan analisis diketahui bahwa menikahi anak di usia dini merupakan satu bentuk eksploitasi seksual anak sekaligus pelanggaran hak asasi anak, karena akan berdampak buruk terhadap anak, akan tetapi dalam prakteknya apabila kejahatan tersebut terjadi, maka Undang-Undang Perlindungan Anak dijadikan sebagai perangkat hukum untuk melindungi anak.

D. Keppres Nomor 36 Tahun 1990 Tentang Konvensi Hak Anak

Konvensi Hak Anak bermula dari sebuah gagasan mengenai hak anak pada masa berakhirnya perang dunia pertama. Sebuah kondisi, dimana akibat dari perang tersebut, begitu sangat merugikan masyarakat dunia, khususnya kaum perempuan dan anak-anak. Seruan agar adanya sebuah perhatian dari publik dan tentunya perhatian yang lebih pula dari negara, atas nasib anak-anak yang menjadi korban perang dunia, seringkali diteriakan oleh para aktifis perempuan.

(20)

diselesaikan, dan naskah akhirnya disahkan oleh Majelis Umum PBB sebagai Konvensi Hak Anak (KHA).47

Perserikatan Bangsa-Bangsa mengesahkan Konvensi Hak Anak (Child Right

Convention) pada tanggal 20 November 1989. Indonesia telah meratifikasi konvensi

tersebut melalui Kepres Nomor 36 Tahun 1990. Berdasarkan hukum internasional, ratifikasi dimungkinkan dalam 2 (dua) bentuk, yaitu:48

1. Dalam bentuk undang-undang, artinya dalam proses ratifikasi tersebut dimintakan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) selaku wakil rakyat. Ratifikasi dalam bentuk ini bersifat adopsi, artinya memilah-milah isi dari peraturan internasional yang akan diratifikasi tersebut, sehingga menyesuaikannya dengan kondisi bangsa.

2. Dalam bentuk Keputusan Presiden, artinya ratifikasi terhadap perjanjian internasional dilakukan langsung oleh Presiden melalui Keputusan Presiden tanpa meminta persetujuan dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Ratifikasi dalam bentuk bersifat memberlakukan perjanjian internasional secara keseluruhan, tanpa menyesuaikannya dengan kondisi bangsa.

Melalui Keputusan Presiden No. 36 Tahun 1990 jelas terlihat bahwa Indonesia memberlakukan perjanjian internasional Konvensi Hak Anak secara keselurahan, tanpa adanya tindakan penyesuaian terhadap kondisi jiwa bangsa Indonesia yang tentu tidak akan sama dengan negara lain, sehingga keputusan terhadap ratifikasi tersebut menimbulkan pro-kontra di kalangan ahli hukum.

Alasan yang pro adalah masalah tuntutan yang mendesak. Mengingat perkembangan zaman yang menuntut serba cepat, termasuk dalam pengambilan keputusan menyangkut masalah-masalah internasional. Terdapat hal-hal tertentu

47

Menengok Ulang Implementasi Konvensi Hak Anak di Indonesia, dalam

48

(21)

dalam hubungan internasional yang menuntut keputusan segera dan jika keputusan tersebut harus dimintakan kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dengan prosedur yang berbelit-belit seperti saat ini, tentu Indonesia akan terus tertinggal. Oleh karena itu, kelompok yang pro setuju jika dalam kondisi tertentu yang tidak memungkinkan pemerintah untuk meminta persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), memungkinkan ratifikasi terhadap hukum internasional yang tidak menimbulkan dampak penting bagi masyarakat Indonesia, sehingga tidak mempengaruhi politik luar negeri Indonesia, tidak menimbulkan ikatan yang dapat mempengaruhi haluan politik luar negeri Indonesia dan tidak diwajibkan oleh undang-undang bahwa ratifikasi hukum internasional tersebut harus dibuat dalam bentuk undang-undang, sehingga Konvensi Hak Anak tersebut diratifikasi dalam bentuk Keputusan Presiden.49

Bagi kelompok yang kontra berpendapat bahwa ratifikasi hukum internasional harus dalam bentuk undang-undang, dengan alasan bahwa hukum internasional tentunya memiliki nilai-nilai budaya tersendiri yang belum atentu cocok untuk diterapkan di dalam budaya Indonesia, sementara ratifikasi terhadap hukum internasional tersebut mengikat secara hukum untuk dilaksanakan dan dipatuhi oleh masyarakat Indonesia. Kondisi yang demikian sangat memungkinkan hukum internasional yang diadopsi menjadi hukum nasional membawa perubahan budaya masyarakat Indonesia, oleh karenanya untuk meratifikasi hukum internasional tersebut wajib dimintakan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), sehingga

49

(22)

bentuk ratifiksai yang tepat terhadap Konvensi Hak Anak adalah dalam bentuk undang-undang.50

Ratifikasi terhadap konvensi atau hukum Internasional tersebut secara otomatis menimbulkan kewajiban bagi negara Indonesia untuk menjamin perlindungan terhadap hak-hak anak. Perihal perlindungan terhadap hak-hak anak, bahwa setiap anak berhak atas perlindungan baik dari orang tua, keluarga, masyarakat, dan negara,51

1. Kehilangan keluarga;

maka Konvensi Hak Anak internasional mewajibkan negara untuk melindungi anak dari:

2. Pekerjaan yang mengancam kesehatan, pendidikan dan perkembangan anak; 3. Penyalahgunaan obat bius dan narkotika;

4. Eksploitasi dan penganiayaan seksual; 5. Prostitusi dan keterlibatan dalam pornografi; 6. Segala bentuk diskriminasi.

7. Keadaan krisis dan darurat, seperti: pengungsian, korban peperangan/konflik bersenjata, dan konflik dengan hukum.

Berdasarkan susunannya, Konvensi Hak-hak Anak terdiri dari 54 pasal yang terbagi dalam 4 bagian, yaitu:52

1. Mukadimah, yang berisi konteks Konvensi Hak-hak Anak. 2. Bagian Satu (Pasal 1-41), yang mengatur hak-hak anak.

3. Bagian Dua (Pasal 42-45), yang mengatur masalah pemantauan dan pelaksanaan Konvensi Hak-hak Anak.

4. Bagian Tiga (Pasal 46-54), yang mengatur masalah pemberlakuan konvensi. Konvensi Hak-hak Anak mempunyai 2 (dua) protokol opsional, yaitu :

1. Protokol Opsional Konvensi Hak-hak Anak mengenai Keterlibatan Anak Dalam Konflik Bersenjata (telah diratifikasi oleh Indonesia dengan Undang-undang Nomor 9 Tahun 2012).

2. Protokol Opsional Konvensi Hak-hak Anak mengenai Penjualan Anak, Prostitusi Anak dan Pornografi Anak (Indonesia telah meratifikasi protokol opsional ini dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 2012).

50

Ibid 51

Pasal 52 Konvensi Hak Anak Internasional 52

(23)

Konvensi Hak-hak Anak berisi 8 kluster, yaitu:

1. Kluster I : Langkah-langkah Implementasi 2. Kluster II : Definisi Anak

3. Kluster III : Prinsip-prinsip Hukum KHA 4. Kluster IV : Hak Sipil dan Kebebasan

5. Kluster V : Lingkungan Keluarga dan Pengasuhan Alternatif 6. Kluster VI : Kesehatan dan Kesejahteraan Dasar

7. Kluster VII : Pendidikan, Waktu Luang dan Kegiatan Budaya 8. Kluster VIII : Langkah-langkah Perlindungan Khusus

Hak-hak anak menurut Konvensi Hak Anak dikelompokkan dalam 4 kategori, yaitu : 1. Hak Kelangsungan Hidup, hak untuk melestarikan dan mempertahankan hidup

dan hak memperoleh standar kesehatan tertinggi dan perawatan yang sebaik-baiknya.

2. Hak Perlindungan, perlindungan dari diskriminasi, eksploitasi, kekerasan dan keterlantaran.

3. Hak Tumbuh Kembang, hak memperoleh pendidikan dan hak mencapai standar hidup yang layak bagi perkembangan fisik, mental, spiritual, moral dan sosial. 4. Hak Berpartisipasi, hak untuk menyatakan pendapat dalam segala hal yang

mempengaruhi anak.

Perihal larangan eksploitasi seksual terhadap anak dalam Konvensi Hak Anak, terdapat pasal-pasal yang merujuk kepada perlindungan atas eksploitasi anak, yakni:

53

1. Pasal 10 tentang hak anak untuk berkumpul kembali bersama orangtuanya dalam kesatuan keluarga, apakah dengan meninggalkan atau memasuki negara tertentu untuk maksud tersebut;

2. Pasal 11 tentang kewajiban negara untuk mencegah dan mengatasi penculikan atau penguasaan anak diluar negeri;

3. Pasal 16 tentang hak anak untuk memperoleh perlindungan dari gangguan terhadap kehidupan pribadi;

53

(24)

4. Pasal 19 tentang kewajiban negara untuk melindungi anak dari segala bentuk salah perlakuan yang dilakukan oleh orangtua atau orang lain yang bertanggung jawab atas pengasuhan mereka;

5. Pasal 20 tentang kewajiban negara untuk memberikan perlindungan khusus bagi anak-anak yang kehilangan lingkungan keluarga mereka;

6. Pasal 21 tentang adopsi dimana pada negara yang mengakui adopsi hanya dilakukan untuk kepentingan terbaik bagi anak;

7. Pasal 25 tentang peninjauan secara periodik terhadap anak-anak yang ditempatkan dalam pengasuhan oleh negara karena alasan perawatan, perlindungan atau penyembuhan;

8. Pasal 32 tentang kewajiban negara untuk melindungi anak-anak dari keterlibatan dalam pekerjaan yang mengancam kesehatan, pendidikan atau perkembangan mereka;

9. Pasal 33 tentang hak anak atas perlindungan dari penyalahgunaan obat bius dan narkotika serta keterlibatan dalam produksi dan distribusi;

10. Pasal 34 tentang hak anak atas perlindungan dari eksploitasi dan penganiayaan seksual termasuk prostitusi dan keterlibatan dalam pornografi. Negara peserta berusaha untuk melindungi anak dari semua bentuk eksploitasi seksual dan penyalahgunaan seksual, sehingga untuk tujuan ini;

(25)

a. Bujukan atau paksaan agar anak terlibat dalam setiap kegiatan seksual yang tidak sah;

b. Penggunaan anak secara eksploitatif dalam pelacuran atau praktik-praktik seksual lain yang tidak sah;

c. Penggunaan anak secara eksploitatif dalam pertunjukan perbuatan yang bersifat pornografis.

11. Pasal 35 tentang kewajiban negara untuk menjajagi segala upaya guna mencegah penjualan, penyelundupan dan penculikan anak;

12. Pasal 36 tentang hak atas perlindungan dari semua bentuk eksploitasi yang belum tercakup dalam pasal 32, pasal 33, pasal 34 dan pasal 35;

13. Pasal 37 tentang larangan terhadap penyiksaan, perlakuan atau hukuman yang kejam, hukuman mati, penjara seumur hidup, dan penahanan semena-mena atau perampasan kebebasan terhadap anak;

14. Pasal 39 tentang kewajiban negara untuk menjamin agar anak menjadi korban konflik bersenjata, penganiayaan, penelantaran, salah perlakuan atau eksploitasi, memperoleh perawatan yang layak demi penyembuhan dan re-integrasi sosial mereka;

(26)

16. Pasal 58 menyebutkan bahwa setiap anak berhak mendapatkan perlindungan hukum dari segala bentuk kekerasan fisik atau mental, penelantaran, perlakuan buruk, dan pelecehan seksual selama dalam pengasuhan orang tua atau walinya, atau pihak lain mana pun yang bertanggung jawab atas anak tersebut. Apabila orang tua, wali atau pengasuh anak melakukan segala bentuk penganiayaan fisik atau mental, penelantaran, perlakuan buruk, dan pelecehan seksual termasuk pemerkosaan atau pembunuhan terhadap anak yang seharusnya dilindungi, maka harus dikenakan pemberatan hukuman;

Kertas kerja yang berjudul A Guide for Non-Governmental Organzations

Reporting to the Committee on the Rights of the Child, dirinci beberapa pasal

perlindungan khusus (special protection measures), yaitu : 54

1. Anak-anak dalam situasi darurat (children in situation of emergency), yakni : anak-anak dalam pengungsian (vide pasal 22), anak-anak dalam (korban) peperangan atau konflik bersenjata (vide pasal 38);

2. Anak-anak yang berkonflik dengan hukum (children in conflict with the law), yakni : masalah prosedural peradilan anak (vide pasal 40), anak-anak yang berada dalam penekanan terhadap kebebasan (vide pasal 37), re-integrasi sosial anak-anak dan penyembuhan fisik dan psikologis anak (vide pasal 39);

3. Anak-anak dalam situasi eksploitasi (children in situation of exploitation), yakni; eksploitasi ekonomi seperti pekerja anak (vide pasal 32), penyalahgunaan obat bius dan narkotika (vide pasal 33), eksploitasi seksual dan penyalahgunaan

54

(27)

seksual (vide pasal 34), bentuk-bentuk eksploitasi lainnya (vide pasal 36), perdagangan anak, penculikan dan penyelundupan anak (vide pasal 35);

4. Anak-anak dari kelompok minoritas atau anak-anak penduduk suku terasing (children belonging to a minority or an indegenous group) (vide pasal 30).

E. Keppres No. 87 Tahun 2002 Tentang Rencana Aksi Nasional Penghapusan Eksploitasi Seksual Komersial Anak

Pemerintah melalui Keputusan Presiden Nomor 87 Tahun 2002 telah menetapkan Rencana Aksi Nasional Penghapusan Eksploitasi Seksual Komersial Anak (RAN-PESKA) dan Gugus Tugas untuk memerangi dan menghapus eksploitasi seksual anak yakni kejahatan yang melanggar hak asasi anak, merendahkan harkat dan martabat kemanusian serta merupakan salah satu bentuk pekerjaan terburuk untuk anak.

Sama halnya dengan peraturan yang telah dikemukakan di atas, dalam Keputusan Presiden ini juga tidak menyebutkan tentang larang eksploitasi seksual dalam pernikahan dini, namun larangan terhadap kegiatan eksploitasi seksual anak secara tegas dapat dilihat pada konsiderans huruf d Keputusan Presiden Nomor 87 Tahun 2002 telah menetapkan Rencana Aksi Nasional Penghapusan Eksploitasi Seksual Komersial Anak bahwa: “Kegiatan eksploitasi seksual komersial anak di

Indonesia sudah sedemikian parah yang sungguh merisaukan dan

mencemaskan sehingga harus segera ditangani dengan sungguh-sungguh dan

(28)

Lima bidang yang akan digarap dalam memerangi dan menghapus eksploitasi seksual komersial anak yaitu koordinasi dan kerjasama, pencegahan, perlindungan, pemulihan dan reintegrasi serta partisipasi anak. Kondisi yang ingin dicapai yakni memberikan perlindungan kepada setiap anak dari eksploitasi seksual komersial, mengurangi jumlah anak yang rawan terhadap eksploitasi seksual komersial serta mengembangkan lingkungan, sikap dan praktek yang tanggap terhadap permasalahan eksploitasi seksual komersial anak.

Rencana Aksi Nasional Penghapusan Eksploitasi Seksual Komersial bertujuan untuk:55

1. Anak menjamin peningkatan dan pemajuan atas upaya-upaya perlindungan terhadap korban eksploitasi seksual komersial;

2. Mewujudkan kegiatan-kegiatan baik yang bersifat preventif maupun represif dalam upaya melakukan tindakan pencegahan dan penanggulangan atas praktek-praktek eksploitasi seksual komersial anak;

3. Mendorong untuk adanya pembentukan dan/atau penyempurnaan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan tindakan eksploitasi seksual komersial anak;

Berdasarkan hasil evaluasi terhadap pelaksanaan Rencana Aksi Nasional Indonesia tentang penghapusan eksploitasi seksual komersial anak, tidak ada Rencana Aksi Khusus Nasional yang digunakan sebagai panduan oleh para pemangku kepentingan seperti instansi-instansi pemerintah di tingkat nasional, provinsi, dan

55

(29)

lembaga swadaya masyarakat yang disebabkan karena kurangnya fokus strategi dan prioritas, kurangnya standar minimum dan tolok ukur serta kurangnya indokator. Pelaksanaan Rencana Aksi Nasional Pemberantasan Eksploitasi Seksual Komersial Anak tampak dibatasi karena tidak dianggap sebagai sebuah prioritas oleh instansi pemerintah nasional dan pemerintah daerah, hal ini disebabkan oleh karena para petugasnya juga tidak paham dengan permasalahan ini, sehingga apabila data yang akurat tentang dampak dari Rencana Aksi Khusus Nasional ini juga tidak terlihat.56

56

Referensi

Dokumen terkait

Siswa memiliki kemampuan mengaplikasikan konsep kalkulus dalam masalah kontekstual pada topik: - limit fungsi aljabar - turunan fungsi aljabar - integral tentu

Alasan-alasan penyidik tersebut merupakan diskresi kepolisian karena KUHAP pasal 109 ayat (2) telah mengatur mengenai bagaimana penyidik dapat menghentikan

Such a model has never been representative of twentieth-century liberal as well as social democracies, and it is still less representative in the new republican democracy that

Dalam konteks berbahasa menurut Yulianti (2012 : 19) Penguasaan kosa kata dengan media flash card akan dapat mengembangkan kemampuan berbahasa dan secara tidak

Batuan sedimen yang menempati daerah Bengalun bagian utara terdiri dari Formasi Maluwi, Tendehhantu, Menumbar dan Formasi Golok, sedangkan didaerah penyelidikan yang secara

Dengan munculnya beberapa motif baru ini menimbulkan beberapa masalah yang menarik untuk diteliti yaitu mengenai penerapan sumber ide pada batik Sendang dalam

Terhadap anggota kepolisian yang melanggar Kode Etik Profesi Polri tersebut, dari data yang tersaji dapat diketahui bahwa hukuman yang paling banyak dijatuhkan

Ketiga, terlepas secara rasionalitas eksekusi atau penerapan hukum yang tidak mudah dilakukan akibat adanya tenggang waktu menggugat yang cukup lama dalam pemilukada (90 hari),