BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Epidemiologi Kecacingan
Infeksi cacing merupakan permasalahan kesehatan dunia.Badan Kesehatan Dunia memperkirakan lebih dari 1,5 miliar (24%) dari penduduk dunia terinfeksi cacing
parasit dengan jumlah terbesar di wilayah Afrika, Amerika, Cina, dan Asia Tenggara.
Kecacingan sering terjadi pada anak-anak, diperkirakan sekitar 270 juta anak usia balita dan 600 juta anak usia sekolah beresiko tinggi terinfeksi parasit cacing di seluruh dunia (WHO., 2015). Di Indonesia, angka kecacingan mencapai 28% (Kemenkes., 2015) dan diperkirakan lebih dari 60% anak-anak terinfeksi cacing parasit
(Tjay dan Rahardja, 2002).Infeksi cacing umumnya terjadi di negara-negara berkembang, dimana keadaan hidup dan pelayanan kesehatan masih kurang baik dan higienitas masih belum memadai(Rahardja dan Tan, 2010).Kecacingan mempengaruhi pemasukan (intake), pencernaan (digestive), penyerapan (absorption), dan metabolisme makanan. Secara kumulatif infeksi cacing dapat menimbulkan kurangnya gizi berupa kalori dan protein, serta kehilangan darah yang berakibat menurunnya daya tahan tubuh dan menimbulkan gangguan tumbuh kembang (Samudar, dkk., 2013).
2.2 Penyebab Kecacingan
Trematoda mempunyai bentuk tubuh yang tidak bersegmen, pipih mirip daun. Cacing dewasa mempunyai alat isap mulut (oral sucker) yang terdapat di kepala, dan alat isap ventral yang terdapat di bagian perut. Trematoda pada umumnya bersifat hermaprodit. Trematoda memiliki alat pencernaan yang belum sempurna dan tidak memiliki rongga tubuh. Ciri khas trematoda adalah adanya sistem ekskresi (flame cell) yang berbentuk khas pada setiap spesies (Soedarto, 2008).
Cacing cestoda mempunyai bentuk seperti pita, pipih ke arah dorsoventral, dan mempunyai banyak ruas (segmen).Cestoda memiliki alat pencernaan yang belum sempurna dan tidak memiliki rongga tubuh. Kepala cacing cestoda mempunyai alat isap untuk menempel yang dilengkapi kait untuk menempel pada organ manusia atau hewan yang menjadi hospes tempatnya hidup (Soedarto, 2008).
Filum nematoda (roundworm) mempunyai bentuk tubuh bulat memanjang, silindris, tidak bersegmen, dan bilateral simetris. Cacing ini memiliki rongga tubuh dan tubuhnya tertutup oleh kutikulum. Alat pencernaannya sudah lengkap, tetapi sistem syaraf dan ekskresinya belum sempurna. Nematoda adalah cacing yang uniseksual dengan alat reproduksi jantan dan betina yang terpisah (Soedarto, 2008).
mengalamikekurangan darah, misalnya disebabkan oleh cacing tambang, pita, dan cambuk (Tjay dan Rahardja, 2002).
2.2.1 Infeksi Nematoda
Menurut Anand dan Sharma (1997) infeksi nematoda (roundworm) yang sering terjadi adalah askariasis, infeksi cacing tambang, trikuriasis, strongyloidiasis, dan filariasis.
2.2.1.1 Askariasis
Penyakit ini disebabkan Ascaris lumbricoides, yaitu cacing yang hidup di lumen usus halus manusia dengan panjang 10-15 cm. Cacing betina mengeluarkan telur dalam jumlah sangat banyak, sampai 200.000 telur dalam sehari yang dikeluarkan dalam tinja (Tjay dan Rahardja, 2002). Infeksi terjadi karena konsumsi makanan atau minuman yang terkontaminasi oleh telur Ascaris. Gejala penyakit cacing gelang yaitu adanya rasa tidak enak pada perut (gangguan lambung), kejang perut, diselingi diare, kehilangan berat badan, dan demam (Irianto, 2013).Rendahnya tingkat sanitasi dan kurangnya kebersihan personal merupakan penyebab utama menyebarnya penyakit ini. Oleh karena itu, penyakit ini umum terjadi pada orang yang tinggal di daerah kumuh yang padat penduduk (Anand dan Sharma, 1997).
esofagus, dan memblok saluran pencernaan yang dapat menyebabkan kolik (Anand dan Sharma, 1997).
2.2.1.2 Infeksi cacing tambang
Infeksi cacing tambang disebabkan oleh nematoda penghisap darah, Ancylostoma duodenale, A. ceylanicum, dan Necator americanus pada saluran cerna manusia.Cacing ini disebut cacing tambang atau cacing terowongan karena terdapat di daerah tambang dan terowongan di gunung.
Infeksi ini umum terjadi pada petani yang bekerja dengan bertelanjang kaki di lahan yang diberi pupuk kandang. Infeksi terjadi melalui larva infektif yang berpenetrasi menembus kulit dan memasuki sirkulasi darah. Larva ini akan tumbuh menjadi cacing dewasa dan memperoleh makanan dengan mengisap darah inangnya melalui vili saluran pencernaan (Anand dan Sharma, 1997).
Gejala utama infeksi ini adalah anemia hipokromik yang disebabkan kehilangan darah dalam jumlah besar.Hal ini menyebabkan perasaan lemas, lunglai, anoreksia, dan menurunnya daya tahan tubuh. Infeksi cacing tambang juga menyebabkan gangguan dan rasa sakit pada saluran pencernaan. Anak-anak dengan infeksi berat menunjukkan pertumbuhan mental dan fisik yang buruk (Anand dan Sharma, 1997).
2.2.1.3 Trikuriasis
infeksi berat Trichuris dapat menyebabkan anemia, eosinofilia, sakit perut, diare, kotoran berlendir, dan prolaps rektum (Anand dan Sharma, 1997).
2.2.1.4 Strongiloidiasis
Cacing tambangStrongyloides stercoralis juga menginfeksi manusia dengan menembus kulit dalam bentuk larva filariform. Cacing ini memiliki tubuh yang tipis seperti benang, sehingga disebut cacing benang. Cacing ini hidup di mukosa intestinal manusia (Anand dan Sharma, 1997).
Pergerakan cacing dewasa dan larvanya menyebabkan perubahan patologis seperti inflamasi sel, reaksi alergi, dan eosinofilia. Gejala klinis penyakit ini adalah diare, sakit perut, dan gangguan pencernaan. Infeksi berat dapat menyebabkan malabsorpsi, flatulens, dan distensi abdominal (Anand dan Sharma, 1997).
2.2.1.5 Filariasis
Filariasis merupakan penyakit yang sering terjadi di daerah tropis. Penyebab utama penyakit ini adalah cacing Wucherecia bancrofti, Brugia malayi, Onchocerca volvulus, Loa loa, Dipetalonema perstans, D. streptocerca, dan Mansonella ozzardi. Nyamuk dan lalat merupakan inang perantara dalam siklus hidup cacing ini. Infeksi pada manusia terjadi ketika nyamuk menghisap darah manusia. Setelah mencapai sirkulasi darah, larva infektif akan berkembang menjadi cacing dewasa yang hidup di nodus limfe, pembuluh limfe, jaringan penghubung dan organ tubuh lainnya (Anand dan Sharma, 1997).
(elephanthiasis), lengan, skrotum, dan dada. Terkadang cacing dewasa dapat bermigrasi ke bola mata dan menyebabkan kebutaan dan gangguan syaraf (Anand dan Sharma, 1997).
2.2.2 Infeksi Trematoda
Infeksi trematoda yang sering terjadi diantaranya adalah schistosomiasis dan fasciolopsiasis (Anand dan Sharma, 1997).
2.2.2.1 Schistosomiasis
Schistosomiasis adalah penyakit kecacingan pada manusia yang disebabkan oleh invasi 4 spesies trematoda darah, yaitu Schistosoma haematobium, S. mansoni, S. japonicum, dan S. intercalatum. Cacing dewasa memiliki alat reproduksi yang terpisah (Anand dan Sharma, 1997).
Cacing dewasa Schistosoma hematobium menyebabkan schistosomiasis saluran kemih (bilharziasis).S. hematobium hidup di pembuluh darah pelvis dan terkadang di pembuluh darah kolon dan rektum. Cacing ini mengeluarkan telur bersama urin dari hospesnya, namun jarang melalui feses. Schistosoma lainnya (S.mansoni, S. japonicum, dan S. intercalatum) mengakibatkan bilharziasis internal dan hidup di peredaran darah, vena mesentrik, dan plexus hemoroid. Ketiga trematoda darah ini umumnya mengeluarkan telur bersama feses hospesnya, dan jarang melalui urin (Anand dan Sharma, 1997).
danau, kolam, kanal, dan aliran air yang terkontaminasi oleh larva. Larva akan masuk ke dalam aliran darah dengan berpenetrasi menembus kulit (Anand dan Sharma, 1997).
2.2.2.2 Fasciolopsiasis
Beberapa cacing trematoda menginfeksi saluran cerna manusia dan hewan, sehingga disebut trematoda saluran pencernaan. Contohnya adalah Fasciolopsis buski, Heterophyses heterophyses, dan Metagonimus yokogawi. Infeksi terjadi melalui konsumsi buah atau tanaman air yang terkontaminasi larva cacing. Hospes perantara cacing ini adalah siput. Manifestasi klinis penyakit ini adalah sakit perut, diare, mual, muntah, dan anoreksia. Terkadang terjadi pembengkakan di wajah pada anak-anak (Anand dan Sharma, 1997).
2.2.3 Infeksi Cestoda
Menurut Tjahyanto dan Salim (2013), infeksi cestoda yang sering dijumpai adalah:
2.2.3.1 Ekinokokkosis
2.2.3.2 Taeniasis
Bentuk penyakit ini disebabkan oleh Taenia solium dewasa (cacing pita babi). Usus merupakan lokasi infeksi utama, organisme dapat menyebabkan diare. Walaupun demikian, sebagian besar infeksi ini bersifat tidak bergejala. Penyakit ini ditularkan melalui larva dalam daging babi yang kurang matang atau melalui penelanan telur cacing pita. Taeniasis didiagnosa melalui deteksi proglotid di dalam feses (Tjahyanto dan Salim, 2013).
Penyakit ini juga disebabkan oleh larva dari Taenia saginata (cacing pita sapi). Organisme ini terutama menginfeksi usus. Penyakit ini ditularkan oleh larva dalam daging sapi yang kurang matang atau mentah. Taeniasis didiagnosa melalui deteksi proglotid dalam feses (Tjahyanto dan Salim, 2013).
Taenia sukar sekali dibasmi karena kepalanya (scolex) yang relatif kecil dibenamkan ke dalam selaput lendir usus hingga tidak bersentuhan dengan obat. Bagian cacing yang bersentuhan dengan obat telah dimatikan dan kemudian scolex dilepaskan dan terbentuk kembali menjadi segmen-segmen baru (Tjay dan Rahardja, 2002).
2.2.3.3 Sistiserkosis
Penyakit ini disebabkan oleh larva Taenia solium. Infeksi menghasilkan sitiserki dalam otak (menimbulkan kejang, sakit kepala, dan muntah) dan di mata. Penyakit ini terjadi sesudah penelanan telur dari feses manusia. Sistiserkosis didiagnosa melalui CT-scan atau biopsi (Tjahyanto dan Salim, 2013).
2.2.3.4 Difilobotriasis
ditularkan oleh larva dalam ikan yang mentah atau kurang matang. Difilobotriasis didiagnosa melalui deteksi telur yang khas di dalam feses (Tjahyanto dan Salim, 2013).
2.3 Pengobatan Kecacingan
Antelmintik atau obat cacing adalah obat yang digunakan untuk memberantas atau mengurangi cacing dalam lumen usus atau jaringan tubuh.Kebanyakan obat cacing diberikan secara oral, pada saat makan atau sesudah makan. Beberapa obat cacing perlu diberikan bersama pencahar. Obat cacing baru umumnya lebih aman dan efektif dibanding dengan yang lama, efektif untuk beberapa macam cacing, rasanya tidak mengganggu, pemberiannya tidak memerlukan pencahar dan beberapa dapat diberikan sebagai dosis tunggal (Syarif dan Elysabeth, 2011).
Menurut Holden-Dye dan Walker (2007), antelmintik dibagi menjadi 6 golongan berdasarkan struktur kimia dan mekanisme kerjanya yaitu:
2.3.1 Golongan piperazin
2.3.2 Golongan benzimidazol
Benzimidazol merupakan antelmintik berspektrum luas dengan mekanisme kerja menghambat pembentukan sitoskeleton dengan berinteraksi secara selektif dengan ß-tubulin. Derivat benzimidazol adalah tiabendazol, mebendazol, dan albendazol (Syarif dan Elysabeth, 2011).
2.3.2.1 Tiabendazol
Merupakan antelmintik derivat benzimidazol berspektrum luas dan efektif untuk mengobati infestasi berbagai nematoda pada manusia. Tiabendazol mempunyai daya antelmintik yang luas, efektivitasnya tinggi terhadap strongiloidiasis, askariasis, dan larva migrans kulit; berguna untuk mengobati trikuriasis dan trikinosis akut. Cara kerjanya sama dengan derivat benzimidazol lainnya, misalnya dengan menghambat enzim fumarat reduktase cacing (Syarif dan Elysabeth, 2011).
2.3.2.2 Mebendazol
Mebendazol efektif untuk mengobati infeksi cacing gelang, cacing kremi, cacing tambang, dan T. trichiura, sehingga efektif untuk mengobati infestasi campuran cacing-cacing tersebut. Mebendazol bekerja dengan menyebabkan kerusakan struktur subselular dan menghambat sekresi asetilkolinesterase cacing. Obat ini juga menghambat ambilan glukosa secara ireversibel sehingga terjadi pengosongan (deplesi) glikogen pada cacing (Syarif dan Elysabeth, 2011).
2.3.2.3 Albendazol
berikatan dengan ß-tubulin parasit sehingga menghambat polimerisasi mikrotubulus dan memblok pengambilan glukosa oleh larva maupun cacing dewasa, sehingga persediaan glukosa menurun dan pembentukan ATP berkurang dan menyebabkan kematian cacing. Obat ini dapat membunuh larva N.americanus dan juga dapat merusak telur cacing gelang, tambang, dan trikuris (Syarif dan Elysabeth, 2011).
2.3.3 Golongan agonis reseptor nikotinik
Obat yang termasuk dalam golongan ini adalah pirantel pamoat dan morantel.
2.3.3.1 Pirantel pamoat
Pirantel pamoat terutama digunakan untuk memberantas cacing gelang, cacing kremi, dan cacing tambang. Pirantel pamoat dan analognya menimbulkan depolarisasi pada otot cacing dan meningkatkan frekuensi impuls, sehingga cacing mati dalam keadaan spastis (Syarif dan Elysabeth, 2011).
2.3.3.2 Morantel
Morantel adalah antelmintik tetrahidro pirimidin yang berguna untuk mengatasi infeksi cacing gelang dan cacing pita (Syarif dan Elysabeth, 2011). 2.3.4 Golongan spiroindol
2.3.5 Golongan lakton makrosiklik
Antelmintik yang termasuk golongan ini adalah avermektin dan ivermektin.
2.3.5.1 Avermektin
Avermektin dihasilkan lewat proses fermentasi dari Streptomyces avermitilis. Obat ini efektif terhadap infeksi onchocersiasis dan strongiloidiasis. Cara kerjanya yaitu memperkuat peranan GABA pada proses transmisi di saraf tepi sehingga cacing mati dalam keadaan paralisis (Syarif dan Elysabeth, 2011). 2.3.5.2 Ivermektin
Ivermektin adalah antelmintik semisintesis dari avermektin yang lebih efektif dan aman dibanding senyawa induknya (Holden-Dye dan Walker, 2007).
2.3.6 Golongan emodepsid
Merupakan hasil fermentasi dari jamur Mycelia sterilia. Menyebabkan paralisis otot dengan mengganggu pertukaran ion kalsium dan kalium pada otot cacing (Holden-Dye dan Walker, 2007).
2.4 Tumbuhan Sebagai Sumber Antelmintik
Euphorbiaceae, Fabaceae, Lythraceae, Moraceae, Myrisnaceae, Polygonaceae,
Rutaceae, Zingiberaceae, Apiaceae, dan Schropulariaceaemampu membunuh cacing parasit penyebab infeksi pada manusia (Padal, et al., 2014; Wink, 2012). Salah satu tumbuhan yang berkhasiat antelmintik adalah pugun tanoh [Curanga fel-terrae (Lour.) Merr.] yang merupakan famili Scrophulariaceae(Patilaya dan Husori,2015). Studi invitro menunjukkan bahwa spesies tumbuhan dari famili Schropulariaceae mampu membunuh cacing parasit penyebab infeksi (Padal, et al., 2014).
2.5 Uraian Tumbuhan
Uraian tumbuhan meliputi morfologi tumbuhan, sistematika tumbuhan, sinonim, nama asing, nama daerah, khasiat dan kandungan senyawa kimia. 2.5.1 Morfologi tumbuhan
2.5.2 Sistematika tumbuhan
Sistematika tumbuhan puguh tanoh menurut Tjitrosoepomo (2001), adalah sebagai berikut:
Subdivisi : Angiospermae
Bangsa
Suku
Marga : Curanga
Spesies : Curanga fel-terrae 2.5.3 Sinonim
Sinonim dari pugun tanoh adalah Curanga amara Vahl., Curanga amara Juss.,CuraniaamaraR&S., Gratiola amara Roxb.,Picria fel-terrae Lour., dan Torenia cardiosepala Benth.
2.5.4 Nama asing
Nama asing dari tumbuhan ini adalah beremi, gelumak susu, empedu tanah, rumput kerak nasi (Malaysia), sagai-uak (Filipina), ku xuan shen, kum ta tjao (Cina), longritong (india) (Quattrocchi, 2012), kong saden (Laos), dan thanh (Vietnam) (Globinmed, 2015).
2.5.5 Nama daerah
raindang, parang rintek (Minahasa), ai laun ujin (Ambon), dan papaita (Ternate) (Heyne, 1987).
2.5.6 Kandungan kimia tumbuhan
Daun pugun tanoh mengandung flavonoid, glikosida, saponin, tanin, steroid, triterpenoid (Patilaya dan Husori, 2015), ß-sitosterol (Sitorus, dkk., 2014), apigenin (Huang et al., 2011), dan curangin (Heyne,1987).
2.5.7 Khasiat tumbuhan
Di Maluku dan Filipina, tanaman ini dianggap sebagai obat cacing untuk anak-anak, untuk mengobati kolik (mulas mendadak) dan malaria. Di Indonesia, tapel daun dapat menyembuhkan gatal-gatal dan penyakit kulit lainnya. Infusa dari daun bersama dengan daun kaki kuda digunakan untuk mengatasi batuk dan rasa sesak di dada. Maserasi daun dengan alkohol dianggap sebagai tonik (untuk menguatkan badan dan meningkatkan nafsu makan)(Prohati, 2015). Pugun tanoh juga memiliki efek diuretik (Dalimunthe, 2015), antikanker (Satria, 2015), antidiabetes (Sitorus, 2014), menyembuhkan luka bakar (Ramadhani, 2014), dan antiasma (Harahap, 2013).
2.6 Simplisia
2.7 Ekstraksi
Ekstrak adalah sediaan kering, kental, atau cair dibuat dengan menyari simplisia hewani atau nabati menggunakan pelarut yang sesuai, kemudian semua atau hampir semua pelarut diuapkan dan serbuk atau massa yang tersisa diperlakukan sedemikian sehingga memenuhi baku yang telah ditetapkan (Ditjen, POM., 2000).
2.7.1 Metode ekstraksi
Ekstraksi dengan menggunakan pelarut terdiri dari 2 cara yaitu: 2.7.1.1 Metode dingin
Ekstraksi dengan metode dingin terdiri dari 2 metode yaitu maserasi dan perkolasi (Ditjen, POM., 2000).
a. Maserasi
Maserasi adalah proses pengeekstrakan simplisia dengan menggunakan pelarut dengan beberapa kali pengocokan atau pengadukan pada temperatur ruangan. Secara teknologi termasuk ekstraksi dengan prinsip metode pencapaian konsentrasi pada keseimbangan. Maserasi kinetik berarti pengadukan yang kontinu (terus-menerus). Remaserasi berarti berarti dilakukan pengulangan penambahan pelarut setelah dilakukan penyaringan maserat pertama, dan seterusnya (Ditjen, POM., 2000).
b. Perkolasi
sampai diperoleh ekstrak (perkolat) yang jumlahnya 1-5 kali bahan (Ditjen, POM., 2000).
2.7.1.2 Metode panas
Ekstraksi dengan metode panas terdiri dari 5 metode yaitu refluks, soxhlet, digesti, infundasi, dan dekoktasi (Ditjen, POM., 2000).
a. Refluks
Refluks adalah proses penyarian simplisia pada temperatur titik didihnyamenggunakan alat dengan pendingin balik dalam waktu tertentu dimana pelarut akan terkondensasi menuju pendingin dan kembali ke labu.
b. Sokletasi
Sokletasi adalah proses penyarian menggunakan pelarut yang selalu baru, dilakukan dengan menggunakan alat khusus (soklet) dimana pelarut akan terkondensasi dari labu menuju pendingin, kemudian jatuh membasahi sampel. c. Digesti
Digesti adalah proses penyarian dengan pengadukan kontinu pada temperatur lebih tinggi dari temperatur kamar, yaitu secara umum dilakukan pada temperatur 40-50°C.
d. Infundasi
Infundasi adalah proses penyarian dengan menggunakan pelarut air pada temperatur 90°C selama 15 menit.
e. Dekoktasi
2.8 Karakterisasi Simplisia dan Ekstrak 2.8.1 Organoleptik
Pemeriksaan organoleptik bertujuan untuk pengenalan awal simplisia dan ekstrak yang sesederhana dan seobyektif mungkin. Prinsipnya adalah penggunaan panca indra untuk pengenalan bentuk, warna, bau, dan rasa (Ditjen, POM., 2000). 2.8.2 Mikroskopik
Uji mikroskopik mencakup pengamatan terhadap bagian simplisia dan fragmen pengenal dalam bentuk sel, isi sel atau jaringan tanaman serbuk simplisia secara umum dilakukan di bawah mikrokop (Depkes, RI., 1979).
2.8.3 Rendemen
Rendemen adalah perbandingan berat akhir (berat simplisia atau ekstrak yang dihasilkan) dengan berat awal (berat daun atau berat simplisia yang digunakan) dikalikan 100% (Sani, dkk., 2014).
2.8.4 Kadar air
Penetapan kadar air bertujuan untuk memberikan batasan minimal atau rentang tentang besarnya kandungan air di dalam bahan. Dapat dilakukan dengan cara titrasi, destilasi, atau gravimetri (Ditjen, POM., 2000).
2.8.5 Kadar abu
2.8.6 Kadar sari
Penetapan kadar sari bertujuan untuk menentukan jumlah senyawa aktif yang terekstraksi dengan pelarut yang digunakan. Digunakan untuk simplisia yang belum diketahui pelarut apa yang paling sesuai untuk ekstraksinya (WHO., 1998).
2.9 Metode Uji Aktivitas Antelmintik 2.9.1 Metode uji invitro
Penelitian secara invitro adalah suatu proses yang dilakukan untuk menunjukkan gejala yang diteliti di luar tubuh makhluk hidup dalam kondisi laboratorium. Penelitiandaya antelmintik secara invitro yang dilakukan adalah dengan metode perendaman yaitu cacing direndam didalam larutan obat dan efek yang timbul diamati. Perendaman bertujuan agar terjadi kontak antara larutan antelmintik dengan tubuh cacing, baik melalui kulit maupun saluran pencernaan, sehingga diharapkan menimbulkan reaksi yang menyebabkan cacing paralisis dan kemudian mati (Patilaya dan Husori, 2015).
Parameter dari uji antelmintik secara invitro adalah waktu paralisis dan waktu kematian cacing. Waktu paralisis dinyatakan apabila cacing tidak bergerak kecuali apabila diguncang dengan kuat. Waktu kematian dinyatakan apabila cacing tetap tidak bergerak meskipun jika dicelupkan ke dalam air hangat bersuhu 40-50°C dan cacing kehilangan warna tubuhnya (Bora et al., 2014).
2.9.2 Metode uji invivo