• Tidak ada hasil yang ditemukan

Karakteristik Penderita Rinosinusitis Kronik di Rumah Sakit Santa Elisabeth Medan Tahun 2011-2015

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Karakteristik Penderita Rinosinusitis Kronik di Rumah Sakit Santa Elisabeth Medan Tahun 2011-2015"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Etiologi

Faktor-faktor yang berhubungan dengan rinosinusitis yaitu alergi, system imun, virus, bakteri, jamur, genetic, kimia beracun, polutan dan merokok (Singh et al, 2014). Menurut Andrew P. Lane dan David W. Kennedy (2003), faktor-faktor yang berhubungan dengan terjadinya penyakit rinosinusitis dibagi dalam 2 besar, yaitu faktor manusia dan lingkungan. Faktor manusia misalnya seperti genetik/kelainan kongenital (kista fibrosis, sindrom silia imotil), alergi/kondisi imun tubuh, kelainan anatomi, penyakit sistemik, kelainan endokrin, gangguan metabolik, dan keganasan. Sedangkan faktor lingkungan misalnya seperti infeksi (virus, bakteri, dan jamur), trauma, bahan kimia berbahaya, iatrogenik (medikamentosa ataupun pembedahan).

Rinosinusitis yang disebabkan oleh infeksi ada 3 agen penyebabnya, yaitu virus, bakteri, dan jamur. Rhinosinusitis akibat virus disebut common cold. Virus yang menginfeksi antara lain: rhinovirus (50,0%), coronavirus (20,0%), influenza, parainfluenza, respiratory syncytial virus, adenovirus dan enterovirus. Sementara rinosinusitis bakterial akut disebabkan oleh Streptococcus pneumoniae dan

Haemophilus influenza (sekitar 60,0% kasus rinosinusitis akibat bakteri). Sisanya disebabkan oleh Streptococcus grup A, Streptococcus milleri, Staphylococcus aureus, Neisseria spp., basil gram negatif, Klebsiella sp., Moraxella catarrhalis, dan Pseudomonas sp. Patogen anaerobik seperti Peptostreptococcus, Bacteroides

(2)

sering menyebabkan infeksi sinus paranasal ialah spesies Aspergillus dan Candida (Mangunkusumo, 2011). Rinosinusitis Kronik umumnya merupakan lanjutan dari rinosinusitis akut yang tidak terobati secara adekuat (Hueston WJ, 2003).

Beberapa faktor predisposisi selain yang di atas adalah lingkungan berpolusi, udara dingin dan kering serta kebiasaan merokok. Keadaan tersebut secara perlahan akan menyebabkan perubahan mukosa dan kerusakan silia dalam hidung dan sinus paranasal (Mangunkusumo, 2011).

2.2 Defenisi Rinosinusitis Kronik

Rinosinusitis Kronik adalah inflamasi mukosa hidung dan sinus paranasal yang dapat ditegakkan berdasarkan riwayat gejala yang diderita sudah lebih dari 12 minggu, dan sesuai dengan 2 kriteria mayor atau 1 kriteria mayor ditambah 2 kriteria minor (Staikuniene, 2008).

Rinosinusitis Kronik (RSK) merupakan istilah yang lebih tepat karena sinusitis jarang tanpa didahului rinitis dan tanpa melibatkan inflamasi mukosa hidung. Rinosinusitis menjadi penyakit berspektrum inflamasi dan infeksi mukosa hidung dan sinus paranasal. Rinosinusitis didefinisikan sebagai gangguan akibat inflamasi mukosa hidung dan sinus paranasal; dikatakan kronik apabila telah berlangsung sekurangnya 12 minggu (Benninger, 2008).

(3)

Berdasarkan anatomi sinus yang terlibat, sinusitis dapat diklasifikasikan sebagai sinusitis maksila, sinusitis etmoid, sinusitis frontal, dan sinusitis sfenoid. Sinus yang paling sering terkena infeksi adalah sinus maksilaris dan sinus etmoidalis, sedangkan sinus frontalis dan sinus sfenoidalis lebih jarang (Mangunkusumo, 2011).

Sebuah penelitian menyebutkan, pasien dengan Rinosinusitis Kronik dilaporkan lebih merasakan nyeri jasmani dan fungsi sosial yang lebih buruk dibanding pasien dengan penyakit kronik lainnya seperti penyakit paru obstruksi kronik, gagal jantung kongestif, dan nyeri punggung. Dampak penyakit Rinosinusitis Kronik terhadap kualitas hidup pasien sebanding dengan keparahan penyakit kronik lainnya. Oleh karena itu, sama halnya dengan penyakit kronik yang lain, penyakit Rinosinusitis Kronik sebaiknya ditangani secara proaktif (Desrosiers, 2011).

2.3 Anatomi Sinus Paranasal

(Gambar 2.1 Anatomi Sinus Paranasal)

(4)

pasang sinus paranasal, dimulai dari yang terbesar yaitu sinus maksila, sinus frontal, sinus etmoid dan sinus sfenoid kanan dan kiri. Sinus paranasal merupakan hasil pneumatisasi tulang-tulang kepala, sehingga terbentuk rongga di dalam tulang. Semua sinus mempunyai muara (ostium) ke dalam rongga hidung (Soepardi, 2011).

Fungsi sinus paranasal adalah sebagai pengatur kondisi udara pernafasan; penahan suhu; membantu keseimbangan suara; membantu resonansi suara; peredam perubahan tekanan udara; dan membantu produksi mukus untuk membersihkan rongga hidung (Bambang, 2010).

Secara embriologik, sinus paranasal berasal dari invaginasi mukosa rongga hidung dan perkembangannya dimulai pada fetus usia 3-4 bulan, kecuali sinus sfenoid dan sinus frontal. Sinus maksila dan sinus etmoid telah ada saat bayi lahir, sedangkan sinus frontal berkembang dari sinus etmoid anterior pada anak yang berusia kurang lebih 8 tahun. Pneumatisasi sinus sfenoid dimulai pada usia 8-10 tahun dan berasal dari bagian postero-superior rongga hidung. Sinus-sinus ini umumnya mencapai besar maksimal pada usia antara 15-18 tahun (Soepardi, 2011). Sinus membesar semenjak erupsi gigi permanen dan sesudah pubertas, yang secara nyata mengubah ukuran dan bentuk wajah.

2.4 Pembagian Sinus Paranasal 2.4.1 Sinus Maksila

(5)

sinus maksila bervolume 6-8 ml, sinus kemudian berkembang mencapai ukuran maksimal, yaitu 15 ml saat dewasa (Ballenger, 2002).

Sinus maksila berbentuk piramid. Dinding anterior sinus ialah permukaan fasial ostium maksila yang disebut fosa kanina, dinding posteriornya adalah permukaan infra-temporal maksila, dinding medialnya ialah dinding lateral rongga hidung, dinding superiornya ialah dasar orbita dan dinding inferiornya ialah prosesus alveolaris dn palatum. Ostium sinus maksila berada di sebelahsuperior dinding medial sinus dan bermuara ke hiatus seminularis melalui infundibulum etmoid (Mangunkusumo, 2011).

Dari segi klinik yang perlu diperhatikan dari anatomi sinus maksila adalah: 1. Dasar sinus maksila sangat berdekatan dengan akar gigi rahang atas, yaitu premolar (P1 dan P2), molar (M1 dan M2), kadang-kadang juga gigi taring (C) dan gigi molar M3, bahkan akar-akar gigi tersebut dapat menonjol kedalam sinus, sehingga infeksi gigi geligi mudah naik ke atas menyebabkan sinusitis

2. Sinusitis maksila dapat menimbulkan komplikasi orbita

(6)

2.4.2 Sinus Frontal

Sinus frontal adalah sinus yang paling bervariasi dalam ukuran dan bentuk. Secara embriologik, sinus frontal mungkin dikenal sebagai sebuah sel etmoidalis anterior. Ukurannya tergantung pada derajat pneumatisasi, mungkin tidak ada sama sekali (5,0%) dan biasanya dibagi atau dibatasi dengan sebuah septum intersinus (Walsh, 2006).

Pada fetus usia 4 bulan, perkembangan sinus frontal yang berasal dari resesus frontal dapat dilihat. Dari bagian yang paling anterior dan segmen superior dari kompleks etmoid anterior ini, tulang frontal secara berangsur-angsur mengalami pneumatisasi, menghasilkan sinus frontal yang ukurannya bervariasi. Saat lahir, sinus frontal kecil dan pada foto x-ray sulit dibedakan dari sel etmoid anterior yang lain. Berbeda dengan pneumatisasi sinus maksilaris yang cepat, proses pneumatisasi sinus frontal secara inisial sangat lambat. Meskipun begitu, pneumatisasinya akan tampak jelas pada gambaran CT-Scan pada akhir tahun usia pertama. Saat usia 5 tahun, pneumatisasi akan meluas secara superior dan pada usia 12 tahun sinus sudah tampak besar. Pneumatisasi mungkin akan berlanjut selama masa remaja. Bentuk sinus dan resesus frontal merupakan hal yang sangat penting dalam menentukan variasi (Stammberger, 2008).

(7)

2.4.3 Sinus Etmoid

Dari semua sinus paranasal, sinus etmoid yang paling bervariasi dan akhir-akhir ini dianggap paling penting, karena dapat merupakan fokus infeksi bagi sinus-sinus lainnya. Pada orang dewasa bentuk sinus etmoid seperti piramid dengan dasarnya di bagian posterior. Ukurannya dari anterior ke posterior 4-5 cm, tinggi 2,4 cm dan lebarnya 0,5 cm di bagian anterior dan 1,5 di bagian posterior (Anggraini, 2005).

Sinus etmoid berongga-rongga yang terdiri dari sel-sel seperti sarang tawon, terdapat di dalam massa bagian lateral ostium etmoid dan terletak di antara konka media dan dinding medial orbita (Mangunkusumo, 2011). Tulang-tulang etmoid mempunyai bidang horizontal dan bidang vertikal yang saling tegak lurus. Bagian superior bidang vertikal disebut krista gali dan bagian inferiornya disebut lamina perpendikularis ostium etmoid. Bidang horizontalnya terdiri dari bagian medial, yang tipis dan berlubang-lubang disebut lamina kribrosa dan bagian lateral yang lebih tebal dan merupakan atap-atap sel-sel etmoid (Ballanger, 2002). 2.4.4 Sinus Sfenoid

(8)

Pada orang dewasa, derajat pneumatisasinya berubah-ubah dan keasimetrisan menjadi hal utama yang harus diperhatikan (Stammberger, 2008).

Sebelah superior sinus sfenoid terdapat fosa serebri media dan kelenjar hipofisa, sebelah inferiornya adalah atap nasofaring, sebelah lateral berbatasan dengan sinus kavernosus dan arteri karotis interna dan pada sebelah posteriornya berbatasan dengan fosa serebri posterior di daerah pons (Mangunkusumo, 2011). 2.5 Patofisiologi

Pada dasarnya patofisiologi Rinosinusitis Kronik terkait dua faktor yaitu patensi ostium dan klirens mukosiliar (mucociliary clearance) di dalam kompleks ostiomeatal. Gangguan salah satu faktor atau kombinasi faktor-faktor tersebut merubah fisiologi sinus dan menimbulkan rinosinusitis. Kegagalan transport mukus dan menurunnya ventilasi sinus merupakan faktor utama berkembangnya Rinosinusitis Kronik (Hueston WJ, 2003).

Rinosinusitis Kronik berawal dari adanya sumbatan akibat oedem hasil proses radang di daerah kompleks ostiomeatal. Sumbatan di daerah kompleks ostiomeatal menyebabkan gangguan drainase dan ventilasi sinus sehingga silia menjadi kurang aktif dan lendir yang diproduksi oleh mukosa sinus menjadi lebih kental (Mangunkusumo , 2011).

(9)

kompleks ostiomeatal yang selanjutnya dapat menyebabkan polip atau kista (Hilger P, 1997).

2.6 Gejala Klinis

Berdasarkan data Rhinosinusitis Task Force of the American Academy of Otolaryngology-Head and Neck Surgery (1997), gejala dan tanda rinosinusitis dibagi menjadi kriteria mayor dan minor. Gejala mayor antara lain: obstruksi hidung/sumbatan, adanya sekret hidung yang purulen, gangguan penghidu seperti hiposmia/anosmia, dijumpai sekret purulen pada pemeriksaan hidung, nyeri wajah seperti tertekan, kongesti wajah (penuh), dan demam (hanya pada rinosinusitis akut). Sedangkan gejala minor antara lain: sakit kepala, demam (non-akut), halitosis, lemah/letih, nyeri gigi, batuk, nyeri telinga/ seperti ditekan dan merasa penuh di telinga. Untuk diagnosis rinosinusitis dibutuhkan 2 gejala mayor atau 1 gejala mayor dan 2 gejala minor (Benninger, 2008).

2.7 Epidemiologi Rinosinusitis Kronik 2.7.1 Distribusi Rinosinusitis Kronik

a. Distribusi Rinosinusitis Kronik Berdasarkan Orang

Hasil penelitian Sogebi, et al (2002-2006) di Sagamu Nigeria didapatkan 110 penderita Rinosinusitis Kronik dengan distribusi umur yaitu < 18 tahun 19,1% dan ≥ 18 tahun 80,9%. Penderita laki-laki 49,09% dan perempuan 50,91%,

dimana lokasi rinosinusitis terbanyak yaitu sinus maksila 70,51%.

(10)

55,8%, pekerjaan pegawai negeri 24,2%, keluhan utama berupa sumbatan hidung 74,2%, sinus yang sering terkena yaitu sinus maksila 55,8%, faktor yang sering mempengaruhi adalah alergi 29,2%, dan terapi yang lebih sering diberikan berupa terapi medikamentosa 79,2%.

b. Distribusi Rinosinusitis Kronik Berdasarkan Tempat dan Waktu Rinosinusitis mempengaruhi sekitar 35 juta orang per tahun di Amerika. Menurut National Ambulatory Medical Care Survey (NAMCS), sekitar 14,0% penderita dewasa mengalami rinosinusitis yang bersifat episode per tahunnya. Prevalensi Rinosinusitis Kronik di Kanada tahun 1997 pada perempuan yaitu 5,7% dan laki-laki 3,4%. Prevalensi Rinosinusitis Kronik di Skotlandia Utara dan Karibia Selatan tahun 1999 yaitu 9,6% dan 9,3% (Lubis, 2013).

Penelitian Staikuniene et al (2000-2005) di Lithuania, dari 121 penderita Rinosinusitis Kronik didapatkan 84 orang (69,4%) menderita polip hidung dan 48 orang (39,6%) menderita asma. Penelitian See Goh, et al (April 2001 – Agustus 2002) di Malaysia didapatkan 30 penderita Rinosinusitis Kronik dimana 8 orang (26,7%) disebabkan oleh infeksi jamur yang diagnosisnya ditegakkan dari spesimen pembedahan.

2.7.2 Determinan Rinosinusitis Kronik a. Faktor Host

Rinosinusitis Kronik merupakan penyakit yang dapat mengenai semua kelompok umur, semua jenis kelamin dan semua ras. Penelitian Hedayati et al

(11)

laki-laki 52,0% dan perempuan 48,0%, dimana keluhan terbanyak yaitu hidung tersumbat 96,0%.

b. Faktor Agen

Rinosinusitis Kronik dapat disebabkan oleh beberapa bakteri patogen seperti Streptococcus pneumonia, Haemophillus influenza, Moraxella catarrhalis, Streptococcus pyogenes, Staphylococcus aureus, Bacteroides,

Peptostreptococcus, Fusobacterium dan Basil gram (-). Selain bakteri, rinosinusitis juga dapat disebabkan oleh virus (Rhinovirus, influenza virus, parainfluenza virus dan Adenovirus) dan jamur (Aspergillus dan Candida) (Hueston WJ, 2003).

c. Faktor Lingkungan

Faktor lingkungan yang memengaruhi terjadinya Rinosinusitis Kronik yaitu polusi udara dan udara dingin. Paparan dari polusi udara dapat mengiritasi saluran hidung, menyebabkan perubahan mukosa dan memperlambat gerakan silia. Apabila berlangsung terus-menerus dapat menyebabkan Rinosinusitis Kronik. Udara dingin akan memperparah infeksi karena menyebabkan mukosa sinus membengkak. Hal ini membuat jalannya mukus terhambat dan terjebak di dalam sinus, yang kemudian menyebabkan bakteri berkembang di daerah tersebut (Mangunkusumo, 2011).

2.8 Pencegahan

2.8.1 Pencegahan Primer

(12)

(Budiarto, 2003). Upaya yang dapat dilakukan yaitu memberikan imunisasi lengkap kepada bayi, meningkatkan daya tahan tubuh dengan makan makanan yang bergizi, dan meminimalkan kontak dengan orang yang sedang mengalami influenza atau penyakit saluran pernafasan lainnya untuk menghindari penularan (CDC, 2010).

2.8.2 Pencegahan Sekunder

Tingkat pencegahan kedua merupakan upaya untuk mencegah orang yang telah sakit agar sembuh, menghambat progesifitas penyakit, dan menghindari komplikasi (Budiarto, 2003). Upaya yang dilakukan antara lain:

a. Diagnosis

Diagnosis rinosinusitis kronis menurut EPOS 2012 ditegakkan berdasarkan penilaian subjektif, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang lainnya. Penilaian subjektif berdasarkan pada keluhan, berlangsung lebih dari 12 minggu yaitu: (1) obstruksi hidung atau kongesti, (2) sekret hidung (anterior/posterior nasal drip), umumnya mukopurulen, (3) nyeri wajah/tekanan, nyeri kepala dan (4) penurunan/hilangnya daya penghidu.

(13)

penilaian nasal airway, fungsi penciuman dan pemeriksaan laboratorium (Fokkens, 2012).

1. Anamnesis

Anamnesis yang cermat dan teliti sangat diperlukan terutama dalam menilai gejala-gejala yang ada pada kriteria di atas, mengingat patofisiologi rinosinusitis kronis yang kompleks. Adanya penyebab infeksi baik bakteri maupun virus, adanya latar belakang alergi atau kemungkinan kelainan anatomi rongga hidung dapat dipertimbangkan dari riwayat penyakit yang lengkap. Informasi lain yang perlu berkaitan dengan keluhan yang dialami penderita mencakup durasi keluhan, lokasi, faktor yang memperingan atau memperberat serta riwayat pengobatan yang sudah dilakukan. Menurut EPOS 2012, keluhan subjektif yang dapat menjadi dasar Rinosinusitis Kronik adalah: obstruksi nasal,

sekret/discharge nasal, nyeri/tekanan fasial dan abnormalitas daya penghidu. 2. Pemeriksaan Fisik

(14)

posterior bila diperlukan untuk melihat patologi di belakang rongga hidung sekaligus untuk melihat keadaan nasofaring (Soepardi,2011; Shah,2008).

3. Pemeriksaan Penunjang

Transiluminasi merupakan pemeriksaan sederhana terutama untuk menilai kondisi sinus maksila. Pemeriksaan dianggap bermakna bila terdapat perbedaan transiluminasi antara sinus kanan dan kiri. Namun transiluminasi bukan merupakan pengganti radiografi dalam evaluasi penyakit sinus (Selvianti, 2008; Siegel, 2013).

Endoskopi nasal dapat menilai kondisi rongga hidung, adanya sekret, patensi kompleks osteomeatal, ukuran konka nasi, edema disekitar orifisium tuba, hipertrofi adenoid dan penampakan mukosa sinus. Endoskopi nasal lebih baik dalam penerangan daripada rinoskopi anterior untuk pemeriksaan meatus medius dan superior. Indikasi endoskopi nasal yaitu evaluasi bila pengobatan konservatif mengalami kegagalan (Selvianti, 2008).

Radiologi, merupakan pemeriksaan tambahan yang umum dilakukan, meliputi X-foto, CT-Scan, MRI dan USG. CT-Scan merupakan modalitas pilihan dalam menilai proses patologi dan anatomi sinus, serta untuk evaluasi rinosinusitis lanjut bila pengobatan medikamentosa tidak memberikan respon. Hal ini diperlukan pada Rinosinusitis Kronik yang akan dilakukan pembedahan (Fokkens, 2012).

Pemeriksaan penunjang lain yang dapat dilakukan antara lain (Fokkens, 2012):

(15)

2. Tes alergi

3. Tes fungsi mukosiliar: kliren mukosiliar, frekuensi getar silia, mikroskop elektron dan nitrit oksida

4. Penilaian aliran udara nasal (nasal airflow): nasal inspiratory peakflow, rinomanometri, rinometri akustik dan rinostereometri

5. Tes fungsi olfaktori: threshold testing

6. Laboratorium: pemeriksaan CRP ( C-reactive protein) b. Pengobatan

Pengobatan pada Rinosinusitis Kronik pada prinsipnya adalah memperbaiki drainase dan menormalkan kembali atau membuang lapisan mukosa yang telah mengalami kerusakan. Pengobatan pada Rinosinusitis Kronik dibagi 2 yaitu:

1. Penggunaan obat

Obat yang digunakan meliputi obat anti alergi dan dekongestan, obat mukolitik untuk mengencerkan sekret, obat analgetik untuk mengurangi rasa nyeridan obat antibiotik. Antibiotik yang diberikan biasanya adalah golongan penisilin seperti amoksilin, diberikan selama 10-14 hari meskipun gejala klinik sudah hilang (Mangunkusumo, 2011).

2. Operasi

(16)

(intranasal) atau dari luar hidung (ekstranasal). Drainase sekret pada sinus sfenoid dapat dilakukan dari dalam hidung (intranasal) dan sinus frontal dapat dilakukan dengan operasi Killian.

Bedah sinus endoskopi fungsional (BSEF) merupakan operasi terkini untuk Rinosinusitis Kronik yang memerlukan operasi. Prinsipnya ialah membuka sumbatan di daerah kompleks osteomeatal dan ventilasi sinus-sinus pulih secara alami (Mangunkusumo, 2011).

2.8.3 Pencegahan Tersier

Pencegahan ini dimaksudkan untuk mengurangi ketidakmampuan dan mengadakan rehabilitasi (Budiarto, 2003). Upaya yang dapat dilakukan antara lain: makan makanan yang bergizi untuk meningkatkan daya tahan tubuh untuk mempercepat penyembuhan pasca operasi dan pengobatan dengan antibiotik (CDC, 2010).

2.9 Komplikasi

(17)

2.10 Kerangka Konsep

Berdasarkan latar belakang dan tinjauan pustaka diatas, maka kerangka konsep dari penelitian ini digambarkan sebagai berikut:

Karakteristik Penderita Rinosinusitis Kronik

1. Sosiodemografi Umur

Jenis Kelamin Suku

Agama Pekerjaan 2. Keluhan

3. Lokasi Rinosinusitis 4. Banyak sinus yang Terlibat 5. Riwayat Penyakit

6. Komplikasi

Referensi

Dokumen terkait

|-_l Nasional (tidak drsa.iikan tetapi dirnuat dalam prosiding) I V I mtemasional (drsaj rkan tetapr tidak dimuat dalam prosrding). l-ll Nasional (disajikan tetapi

To obtain well-distributed, stable and quantity controllable features, UR-SIFT algorithm is adopted in source image, meanwhile, SIFT with lower contrast threshold

Kumpulan Carpon Halimun Peuting Karya Iskandarwassid: Tilikan Sosiologi Sastra Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu..

peran para Ilmuwan muslim dinasti Bani Umayyah dalam membangun kebudayaan/ peradaban Islam • Mengasosiasi. -

Nilai-nilai juang yang patut kita teladani dari para tokoh perumus dasar negara adalah..... Saling

Aplikasi ini tidak hanya sebatas untuk mencari arti kata dalam bahasa Indonesia, Inggris maupun Jerman, namun dapat juga mencari arti kalimat yang ditulis dalam ketiga bahasa di

Dengan membawa Stempel, Dokumen Asli dan salinanya sebagaimana tertuang dalam tabel isian kualifikasi pada aplikasi SPSE. Demikian

Program dan Jenis Kegiatan Hasil yang diharapkan Waktu Pelaksana an Pelaksa na Sumbe r Dana penyelenggaraan Prakerin 2.3 Pencarian obyek. 2.4   Rapat   pembentukan