• Tidak ada hasil yang ditemukan

APLIKASI TEKNOLOGI MODEL MODEL PENGEMBAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "APLIKASI TEKNOLOGI MODEL MODEL PENGEMBAN"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

APLIKASI TEKNOLOGI MODEL MODEL PENGEMBANGAN1

SISTEM INTEGRASI PETERNAKAN PERKEBUNAN DI KALIMANTAN BARAT L.M. Gufroni AR dan Tatang M Ibrahim

Peneliti pada Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Kalimantan Barat Jalan Budi Utomo 45, Siantan Hulu, Pontianak 78241

ABSTRAK

Ternak tidak saja penting sebagai penghasil daging, susu dan telur yang merupakan sumber protein hewani yang bernilai tinggi, akan tetapi juga penting dilihat dari fungsi non pangan seperti penyediaan tenaga kerja ternak, daur ulang nutrisi (nutrient recycling), dengan kotoran ternak dapat mengkompensasi kurangnya akses terhadap input modern seperti pupuk, serta fungsi lainnya dalam membantu mempertahankan kelangsungan hidup dan kelestarian lingkungan.

Kalimantan Barat masih tergolong defisit sapi potong sehingga Kalbar tergolong daerah konsumen sapi potong. Kebutuhan sapi untuk Kalbar masih didatangkan melalui perdagangan antar pulau, sehingga masih sangat besar peluang pasar untuk ternak potong seperti ternak sapi di Kalimantan Barat. Kondisi ini merupakan peluang pengembangan ternak yang diintegrasikan dengan sub sektor perkebunan.

Pakan dasar ternak sapi dari kebun kelapa sawit meliputi pelepah, daun, serat perasan buah dan batang kelapa sawit dapat ditingkatkan nilai gizinya melalui perlakuan pemberian NaOH, fermentasi dan uap. Biomassa setiap ha tanaman kelapa sawit mampu mendukung 1-3 ekor sapi dewasa per tahun. Integrasi ternak dengan Kebun Kelapa Sawit dapat menurunkan biaya produksi, saling menguntungkan (benefit mutualistis), pemroses hasil samping perkebunan, pemberantas gulma, pemanfaatan limbah naungan tanah, tenaga kerja (penghela) dan bertindak sebagai sumber penghasilan bagi petani. Limbah kulit buah kakao dan hijuan dari tanaman pelindung (gamal dan lamtoro) dimanfaatkan petani sebagai sumber pakan dalam usaha ternak kambing. Penggunaan kulit buah kakao sebagai pakan ternak kambing dapat diberikan sampai sebesar 70 % dari total pakan. Pengandangan ternak kambing sangat dianjurkan dengan pertimbangan faktor keamanan, memudahkan pengontrolan reproduksi, mencegah terjadinya kembung perut (bloat), memudahkan rekording ternak dan memudahkan penanganan kotoran ternak sebagai pupuk organik. Pengembangan model integrasi tanaman kebun dan ternak memberikan tambahan pendapatan yang berarti bagi petani.

Keyword : integrasi, sawit, kakao, sapi, kambing

PENDAHULUAN

Ternak tidak saja penting sebagai penghasil daging, susu dan telur yang merupakan komponen penting dalam rantai pangan modern, serta sumber protein hewani yang bernilai tinggi, akan tetapi juga penting dilihat dari fungsi non pangan seperti penyediaan tenaga kerja ternak, daur ulang nutrisi (nutrient recycling), dengan kotoran ternak dapat mengkompensasi kurangnya akses terhadap input modern seperti pupuk, serta fungsi lainnya dalam membantu mempertahankan kelangsungan hidup dan kelestarian lingkungan.

Agribisnis peternakan berpotensi besar untuk dikembangkan karena konsumsi produk peternakan berupa daging, susu dan telur, diyakini akan terus meningkat sebagai konsekuensi logis adanya peningkatan jumlah penduduk, meningkatnya proporsi jumlah penduduk perkotaan, meningkatnya pengetahuan dan kesadaran masyarakat akan kebutuhan gizi, meningkatnya pendapatan dan tingkat kesejahteraan masyarakat. Perkiraan yang optimis dalam peningkatan pendapatan akan terjadi di kawasan Asia-Pasific (APEC)

(2)

khususnya negara-negara Asia Timur dan Asia Tenggara, yang selama dekade terahir ini mampu bertumbuh melampaui rata-rata dunia.

Untuk meningkatkan kemandirian dalam mencukupi permintaan akan daging sapi, pemerintah telah melakukan berbagai upaya melalui intervensi pada sisi penawaran daging sapi dan produk subtitusi. Intervensi pada sisi penawaran daging sapi dapat dibagi menjadi dua kelompok, yaitu : (1) upaya meningkatkan penawaran di sepanjang kurva atau fungsi penawaran (movement along the supply curve), dan (2) upaya meningkatkan penawaran dengan menggeser kurva penawaran (shifting the supply curve) ke kanan bawah. Upaya (1) dilakukan melalui peningkatan harga daging sapi di pasar domestik. Upaya (2) adalah perbaikan teknologi, rekayasa kelembagaan dan lain-lain.

Secara normatif, perbaikan teknologi dapat memperbaiki tingkat kelahiran, mengurangi tingkat kematian, meningkatkan berat badan pedet yang lahir, rata-rata pertambahan berat badan per hari (average daily weight gain), persentase berat karkas per ekor ternak, mutu daging dan efisiensi produksi, yang pada akhirnya meningkatkan daya saing. secara normatif perbaikan teknologi merupakan jalan terbaik bagi perekonomian sapi potong di Indonesia, baik bagi produsen, konsumen maupun ekonomi secara keseluruhan. Pengenaan tarif akan dapat meningkatkan jumlah penawaran tetapi akan menurunkan jumlah permintaan dan membuat perekonomian menjadi tidak efisien. Dalam jangka pendek, pengenaan tarif impor dapat saja ditempuh tetapi tidak terlalu besar dan hanya bersifat perlindungan sementara. Dalam jangka panjang, pemenuhan kebutuhan daging harus diupayakan melalui perbaikan teknologi. Impor hanya untuk daging sapi berkualitas tinggi untuk memenuhi kebutuhan hotel dan restoran kelas atas.

Daerah sentra konsumsi daging sapi dapat diidentifikasi sebagai daerah defisit dalam kegiatan perdagangan ternak antar daerah. Berdasarkan data pada Tabel 1, sentra konsumsi utama daging sapi di Indonesia adalah DKI Jakarta dan Jawa Barat. Sementara itu, sentra produksi utama ternak sapi adalah Jawa Timur, Jawa Tengah, Lampung, Bali, Nusatenggara Barat, Nusa Tenggata Timur dan Sulawesi Selatan. Tabel 1. menunjukkan bahwa secara nasional data jumlah pemasukan tidak sama dengan data jumlah pengeluaran ternak sapi yaitu masing-masing 545 ribu ekor dan 466 ribu ekor. Adanya perbedaan sekitar 79 ribu ekor ini disebabkan oleh beberapa kemungkinan, antara lain adalah : (1) banyaknya pengeluaran ternak antar pulau yang tidak tercatat karena selundupan, (2) pengiriman ternak memang melalui pelabuhan tetapi ada manipulasi data pada dokumen pengiriman, dan (3) ada rembesan ternak, yaitu mengiriman ditujukan untuk Jawa Barat tetapi kemudian mengalir ke DKI Jakarta, atau sebaliknya.

(3)

Tabel 4.1. Rataan Neraca Perdagangan Antar Pulau Sapi Potong di Indonesia,

1997-2002.

Daerah Sentra Konsumsi Neraca (ekor) Daerah Sentra Produksi Neraca (ekor)

Jawa Barat - 292.138 Jawa Timur 93.627

DKI Jakarta - 177.068 Jawa Tengah 80.188

Kalimantan Timur - 25.917 Lampung 67.074

Irian Jaya - 14.860 Bali 58.637

Kalimantan Tengah - 8.082 Nusa Tenggara Timur 56.085 Kalimantan Barat - 6.519 Nusa Tenggara Barat 25.132 Sumatera Barat - 4.899 Sumatera Selatan 24.135 Kalimantan Selatan - 4.351 Sulawesi Selatan 23.375 Sumatera Utara - 3.691 Sulawesi Tengah 9.878

Riau - 3.389 Sulawesi Tenggara 8.889

Maluku - 2.711 Sulawesi Utara 6.919

Jambi - 1.669 D.I. Yogyakarta 6.598

N. A. Darussalam 3.763

Bengkulu 1.958

Total -545.294 Total 466.258

Sumber: Ditjen Bina Produksi Peternakan, (2004).

Kalimantan Barat masih tergolong defisit sapi potong yaitu sebesar 6.519 ekor dalam kurun waktu tersebut sehingga Kalbar tergolong daerah konsumen sapi potong. Data ini menunjukkan bahwa kebutuhan sapi untuk Kalbar masih didatangkan melalui perdagangan antar pulau, sehingga masih sangat besar peluang pasar untuk ternak potong seperti ternak sapi di Kalimantan Barat.

Agribisnis berbasis peternakan adalah salah satu fenomena yang tumbuh pesat ketika basis lahan menjadi terbatas. Tuntutan sistem usahatani terpadu pun menjadi semakin rasional seiring dengan tuntutan efisiensi dan efektivitas penggunaan lahan, tenaga kerja, modal dan faktor produksi lain yang amat terbatas tersebut. Sementara itu, sektor peternakan sendiri yang amat terpukul pada krisis ekonomi – mengalami kontraksi pertumbuhan negatif 1.92 persen, perlu melakukan revitalisasi untuk menciptakan lapangan kerja dan mempercepat peningkatan pendapatan. Kinerja pertumbuhan ekonomi sektor peternakan pernah tumbuh cukup tinggi, yaitu mendekati 7 persen per tahun pada periode 1978-1986 karena peningkatan efisiensi dan efektivitas tersebut. Demikian pula, ketika sektor pertanian tanaman pangan mengalami fase dekonstruktif dan hanya tumbuh di bawah 2 persen pada periode 1986-1997, sektor peternakan justru mencapai hampir 6 persen pada periode yang sama (Arifin, 2003).

Pola integrasi ataupun diversivikasi tanaman dan ternak (khususnya ternak ruminansia) diharapkan dapat merupakan bagian integral dari usaha perkebunan. Integrasi usaha peternakan di bawah tanaman perkebunan memberikan dampak yang sangat besar artinya. Pemanfaatan produk samping tanaman kelapa sawit pada wilayah perkebunan sebagai basis pengadaan pakan ternak diharapkan banyak memberikan nilai tambah baik secara langsung maupun tidak langsung (Hassan et al., 1991; Stur, 1990; Zainudin dan Zahri, 1992 dalam Mathius, et al., 2004).

(4)

Integrasi ternak dengan perkebunan dapat menurunkan biaya produksi yang berkaitan dengan pengadaan bahan kimiawi untuk pemberantasan tanaman pengganggu dan tenaga kerja, serta merupakan pola yang sangat tepat untuk dilaksanakan karena saling menguntungkan (benefit mutualistis). Vegetasi (rerumputan) di lahan perkebunan digunakan sebagai pakan ternak untuk menghasilkan daging. Ternak ruminansia berpotensi besar untuk untuk mendukung pengembangan perkebunan yang pengelolaannya tidak terlepas dari faktor pemupukan dan perbaikan tekstur tanah. Ternak bertindak sebagai bioindustri, dengan menghasilkan pupuk kandang yang berarti pegurangan biaya produksi perkebunan dan berperan ganda sebagai pemroses hasil samping perkebunan, pemberantas gulma, pemanfaatan limbah naungan tanah yang biasa digunakan saat tanaman muda maupun pada lahan berlereng, tenaga kerja (penghela) dan bertindak sebagai sumber penghasilan bagi petani (Wijono, D.B., et al., 2004; Chaniago, 1994 dalam Lermansius H, et al., 2000).

POTENSI SUB SEKTOR PERKEBUNAN KALIMANTAN BARAT

Luas areal perkebunan tahun 2002 di Kalimantan Barat mencapai 954.824 Ha yang sebagian besar (± 80 %) merupakan perkebunan rakyat. Berdasarkan luasan tersebut, perkebunan telah mampu menyerap tenaga kerja sejumlah 506.512 KK petani atau 2.026.048 jiwa. Dengan demikian jumlah penduduk yang terlibat dalam sub sektor perkebunan di Kalimantan Barat merupakan 51,85 % dari jumlah total penduduk Propinsi Kalimantan Barat yang berjumlah 3.907.519 jiwa (BPS, 2003 ;Disbun Propinsi Kalbar, 2004). Luas areal tanaman perkebunan di Kalimantan Barat sampai tahun 2002 disajikan pada tabel 2.

Tabel 2. Potensi, Luas Tanam dan Peluang Pengembangan Komoditas Perkebunan Kalimantan Barat 2002

Komoditas Potensi Lahan

(Ha) Luas Tanam(Ha) Produksi (Ton) Pengembangan (Ha)Peluang 1. Kelapa Sawit 1.500.000 335.896 511.476 1.164.104

2. Karet 1.000.000 464.390 209.482 535.610

3. Kelapa 300.000 108.538 49.183 191.462

4. Aneka Tanaman 2.450.000 46.000 2.404.000

Sumber : Badan Informasi Daerah Kalimantan Barat (2002), BPS (2003).

Berdasarkan luas areal masing-masing komoditas perkebunan, kelapa sawit baru memanfaatkan 22,93 % dari luas potensi lahan yang sesuai, perkebunan karet telah memanfaatkan sebesar 46,44 %, perkebunan kelapa memanfaatkan 45,31 % dan aneka tanaman memanfaatkan hanya 1, 88 % dari luas lahan yang potensial. Distribusi areal perkebunan yang sebagian besar dibawah 50 % menunjukkan bahwa masih terdapat potensi pengembangan areal perkebunan yang sangat besar dan belum dimanfaatkan pada saat sekarang.

Berdasarkan data nilai PDRB atas harga konstan yang menggunakan harga pada tahun dasar tertentu, pada tahun 2002, sektor pertanian memberi kontribusi sebesar 24,10 %. Tanaman perkebunan memberi kontribusi pada PDRB sebesar 8,42 % menempati urutan teratas dalam sektor pertanian yang diikuti tanaman bahan makanan sebesar 6,81 % (BPS, 2003). Keadaan ini menunjukkan besarnya peranan sub sektor perkebunan dalam mendukung perekonomian Propinsi Kalimantan Barat. Keadaan ini menunjukkan bahwa melalui peningkatan produktivitas dan perluasan areal perkebunan akan memberikan dampak yang sangat besar bagi potensi peningkatan PDRB daerah Propinsi Kalimantan Barat.

(5)

Tabel 3. Potensi Komoditas Perkebunan Untuk Mendukung Integrasi

Tanaman-Ternak

Komoditas Potensi Hijauan Makanan

Ternak Potensi Hasil Samping Pengolahan Kelapa Sawit Biomassa tanaman, ruput

dan gulma

Bungkil, Solid, Serabut, Janjang Kosong

Karet Rumput dan tanaman

penutup tanah Bungkil Biji Karet Kelapa Biomassa, rumput dan

tan.penutup Bungkil, Ampas Kelapa Coklat Tanaman penutup, rumput Kulit Buah Kakao Tanaman

Lainnya Biomassa, rumput dan penutup tanah

Banyak jenis produk samping industri kelapa sawit yang potensial untuk digunakan sebagai bahan pakan ternak, diantaranya pelepah sawit, serabut mesokarp, lumpur sawit dan bungkil inti sawit. Pelepah sawit dan serabut mesokarp dapat digunakan sebagai sumber serat kasar atau pengganti pakan hijauan untuk ternak ruminansia, sedangkan lumpur sawit dan bungkil inti sawit dapat digunakan sebagai sumber energi dan protein untuk ternak ruminansia maupun non ruminansia. Serabut mesokarp dan lumpur sawit merupakan bahan sumber energi yang cukup baik untuk ternak disebabkan oleh kandungan minyak yang terdapat di dalamnya (Elisabeth et al., 2004).

Rumput dan tanaman penutup tanah termasuk tanaman sela pada areal perkebunan karet merupakan potensi sebagai bahan pakan ternak, namun keterbatasan produksinya merupakan pembatas dalam pengembangan ternak di areal kebun karet. Buangkil biji karet sebagai hasil samping pengolahan minyak biji karet. Bungkil dihasilkan sejumlah 50 % dari daging biji karet. Dengan kandungan protein 25,70 % hingga 32,20 % bungkil biji karet berpotensi menggantikan tepung kedelai dalam ransum ternak. Kandungan HCN kurang dari 50 ppm dapat diturunkan atau dihilangkan dengan pemanasan dan penyimpanan. Untuk ternak Babi konsumsi HCN maksimal 22,5 mg dan pada ayam 0,4 mg per kg berat badan. Dosis letal minimal HCN untuk ternak sapi dan domba adalah 2 mg dan 2,3 mg per kg berat badan. Ternak ayam dapat mentolerir HCN cukup tinggi sampai 135 mg per kg ransum (Harris U. et al., 1995).

Indonesia memiliki curah hujan yang cukup tinggi dengan distribusi yang merata pada sebagian besar wilayahnya, perkebunan kelapa rakyat menanam sejumlah tanaman diantara tanaman kelapa, seperti tembakau, kopi, kakao, tanaman buah seperti nanas, jeruk, pisang jahe, legum, jagung dan padi. Hasil yang diperoleh dari tanaman sela ini merupakan tambahan produksi pangan dan dijual sebagai sumber pendapatan. Hasil samping yang merupakan biomassa tanaman sela dan rumput-rumputan merupakan potensi bahan pakan bagi ternak ruminansia (Davis A., et al., 1993). Produksi tertinggi hijauan pada kelapa dicapai pada umur 4 tahun dan jenisnya terbanyak. Genera Axonopus/Paspalum, dan Panicum unggul dapat menggantikan genera lokal dalam rangka peningkatan produksi hijauan makanan ternak (Sajimin et al., 1992)

MODEL SISTIM INTEGRASI SAPI – KELAPA SAWIT (SISKA)

Sistem usaha produksi ternak ditopang oleh 3 pilar utama yaitu bibit, pakan dan kesehatan hewan. Biaya pakan merupakan komponen terbesar dalam struktur biaya produksi ternak yang dikelola secara intensif, sehingga tingkat efisiensi penggunaan pakan akan berpengaruh langsung terhadap efisiensi usaha secara keseluruhan. Oleh karena itu, ketersediaan bahan baku pakan dengan harga kompetitif serta berkelanjutan merupakan faktor penting yang perlu diupayakan dalam pengembangan peternakan.

(6)

hemiselulosa, lignin dan pektin) dan hanya dapat dimanfaatkan melalui proses fermentasi pada lambung ternak (Van Soest, 1982). Ternak ruminansia memiliki sistem pencernaan fermentatif yang unik dan memungkinkan ternak mengolah bahan pakan dengan karakter konsentrasi nutrisi rendah per satuan berat atau keambaan tinggi (bulky).

Karakteristik bahan pakan seperti di atas dimiliki oleh hasil samping perkebunan kelapa`sawit (Elaeis guineensis) seperti pelepah, daun, serat perasan buah dan batang kelapa sawit. Bahan pakan tersebut umumnya memiliki kandungan dinding sel yang tinggi namun memiliki tingkat kecernaan yang relatif rendah sehingga potensi nutrisi yang dikandungnya tidak sepenuhnya dapat dimanfaatkan. Oleh karena itu, peningkatan kualitas bahan pakan perlu dilakukan utamanya dalam hal tingkat kecernaan, konsumsi dan kandungan nutrisinya. Sementara itu, hasil samping kelapa sawit lainnya seperti bungkil inti sawit (BIS, palm cernel cake) dan lumpur sawit (solid decanter) tergolong pakan kelas konsentrat yang tidak memerlukan perlakuan pra pemberian (Elizabeth dan Ginting, 2004).

Integrasi ternak dengan perkebunan dapat menurunkan biaya produksi yang berkaitan dengan pengadaan bahan kimiawi untuk pemberantasan tanaman pengganggu dan tenaga kerja, serta merupakan pola yang sangat tepat untuk dilaksanakan karena saling menguntungkan (benefit mutualistis). Vegetasi (rerumputan) di lahan perkebunan digunakan sebagai pakan ternak untuk menghasilkan daging. Ternak ruminansia berpotensi besar untuk untuk mendukung pengembangan perkebunan yang pengelolaannya tidak terlepas dari faktor pemupukan dan perbaikan tekstur tanah. Ternak bertindak sebagai bioindustri, dengan menghasilkan pupuk kandang yang berarti pegurangan biaya produksi perkebunan dan berperan ganda sebagai pemroses hasil samping perkebunan, pemberantas gulma, pemanfaatan limbah naungan tanah yang biasa digunakan saat tanaman muda maupun pada lahan berlereng, tenaga kerja (penghela) dan bertindak sebagai sumber penghasilan bagi petani (Wijono, D.B., et al., 2004; Chaniago, 1994 dalam Lermansius H, et al., 2000).

JENIS DAN KUANTITAS HASIL SAMPING KELAPA SAWIT

Setiap pohon kelapa sawit menghasilkan pelepah, daun dan batang pohon yang merupakan hasil samping karena potensial untuk dimanfaatkan. Selain itu juga dihasilkan produk samping lainnya seperti tandan kosong, serat perasan buah, lumpur sawit dan bungkil inti sawit (Gambar 1).

Tandan Kosong Sawit (TKS)

(23 %)

Minyak Inti Sawit (45-46 %) Serat Mesokarp

(13 %) Minyak Sawit (20-22%)

Lumpur Sawit (2 % BK)

Inti Sawit

(5%) Cangkang(7 %)

Bungkil Inti Sawit (45-46 %) Pelepah Sawit Batang Pohon Sawit Tandan Buah Segar (TBS)

(7)

Gambar 1. Produk dan hasil samping dari kelapa sawit

Setiap hektar kebun sawit secara teoritis dapat menampung 143 tanaman, bila jarak antar pokok tanaman 9 x 9m. Pada kenyataannya jumlah pokok kelapa sawit hanya mencapai  130 pohon/ha, tergantung kondisi wilayah. Setiap pohon dapat menghasilkan 22 pelepah/tahun, dan rataan bobot pelepah per batang mencapai 2,2 kg (setelah dikupas untuk pakan). Sehingga setiap hektar dapat menghasilkan pelepah segar untuk pakan sekitar 9 ton/ha/tahun atau setara dengan 1,64 ton/ha/tahun bahan kering. Daun yang dihasilkan sekitar 0,5 kg/pelepah sehingga setiap tahun akan diperoleh bahan kering untuk pakan sejumlah 0,66 ton/ha/tahun (Dwiyanto, et al., 2004).

Buah sawit mengandung  80 % perikarp (daging buah) dan 20 % buah yang dilapisi kulit yang tipis, mengandung kadar minyak dalam perikarp sekitar 34-40 % (Ketaren, 1986). Minyak sawit (palm oil) dan minyak inti sawit (palm cernel oil) merupakan produk utama dari buah, sedangkan produk samping yang akan diperoleh adalah tandan kosong, serat perasan, lumpur sawit/solid dan bungkil inti sawit. Setiap 1.000 kg tandan buah segar dapat diperoleh minyak sawit sejumlah 250 kg, hasil samping sebanyak 294 kg lumpur sawit, 35 kg bungkil inti sawit dan 180 kg serat perasan. Setiap hektar areal kebun sawit mampu mengasilkan pelepah, daun dan limbah untuk pakan dalam jumlah yang sangat besar (Tabel 4).

Tabel 4. Biomasa tanaman dan olahan kelapa sawit untuk setiap hektar (130 pohon)

Biomasa Segar (kg) Bahan kering (%) Bahan kering (kg)

Daun tanpa lidi 1.430 46,18 658

Pelepah 9.292 26,07 1.640

Tandan kosong 3.680 92,1 3.386

Serat perasan 2.880 93,11 2.681

Lumpur sawit, solid 4.704 24,07 1.132

Bungkil inti sawit 560 91,83 514

Total biomasa 10.011

Sumber : Dwiyanto et al. (2004).

Berdasarkan nilai tersebut, maka produk samping pengolahan buah kelapa sawit yang ada di Indonesia mencapai 3.302 metrik ton bahan kering pelepah, 2.463 metrik ton lumpur sawit, 1.026 metrik ton bungkil kelapa sawit, 5.394 metrik ton serat perasan dan 6.818 metrik ton tandan kosong (Mathius et al., 2004). Biomasa tanaman dan olahan kelapa sawit ini merupakan potensi sebagai bahan pakan ternak ruminansia, bahkan kalau telah diolah dengan baik sebagian dapat dipergunakan untuk menyusun ransum ternak monogastrik.

KARAKTERISTIK NUTRISI

(8)

Tabel 5. Komposisi kimiawi beberapa hasil samping perkebunan kelapa sawit

Komposisi Kimiawi

Bahan Bungkil

Inti Sawit DecanterSolid Pelepah Daun

Serat Perasan

Buah

Batang

Bahan

Kering , % 88-93 84-92 85-90 85-87 86-92 88-92

Protein

Kasar, % 16-18 12-15 4,1-5,0 13-15 4,0-5,8 1,6-3,2

Serat

Kasar, % 13-17 12-17 38-40 - 42-48 36-39

Lemak Kasar,

% 2,0-3,5 12-14 2,0-3,0 3,0-3,4 3,0-5,8 0,6-1,0

BETN, % 52-58 40-46 - - 29-40 51-54

Abu, % 3,0-4,4 19-23 3,2-3,6 3,8-4,2 6,0-9,0 2,8-3,2

GE, Mkal/kg 4,1-4,3 3,8-4,1 - 5,0-5,5 4,0-4,8 4,3-4,6

ME, Mkal/kg 2,8-3,0 2,9-3,1 2,5-2,7 - 1,8-2,2 2,0-2,5

Sumber : Disarikan dari berbagai sumber oleh Ginting dan Elizabeth (2004)

Sumber protein yang potensial adalah bungkil inti sawit (BIS) dan solid decanter, maka kedua bahan tersebut dalam formula ransum mampu memenuhi kebutuhan ternak ruminansia untuk produksi (tumbuh, laktasi, kebuntingan). Bahan dengan serat tinggi sepeti pelepah, daun dan sert perasan buah dan batang sawit merupakan sumber utama energi untuk produksi. Dibandingkan dengan BIS dan solid decanter, energi tersedia (ME) dan bahan dengan kandungan serat tinggi secara konsisten lebih rendah. Akan tetapi bahan tersebut tetap akan menjadi sumber utama energi ternak, karena merupakan pakan dasar (pokok) sehingga dikonsumsi dalam jumlah yang relatif lebih besar.

Jung (1989) dalam Ginting dan Elizabeth (2004) menyatakan, unsur kimia dalam serat atau dinding sel yang secara efektif menentukan potensi energi dari suatu bahan pakan adalah konsentrasi dan keterikatan selulosa, hemiselulosa, lignin dan silika (Tabel 6).

Tabel 6. Kandungan senyawa kimia penyusun serat pada beberapa bahan pakan asal perkebunan kelapa sawit

Unsur Kimia Daun PelepahFraksi kelapa sawitSerat Perasan

Buah Batang

Selulosa, % 16,6 31,7 18,3 34

Hemiselulosa, % 27,6 33,9 44,9 35,8

Lignin, % 27,6 17,4 21,3 12,6

Silika, % 3,8 0,6 Tt 1,4

Total 75,6 83,6 84,5 83,8

Sumber : Disarikan dari berbagai sumber oleh Ginting dan Elizabeth (2004)

Potensi sebagai sumber energi bagi ternak adalah selulosa dan hemiselulosa melalui proses fermentasi dalam sistim pencernaan ternak. Kandungan selulosa dan hemiselulosa pada keseluruhan serat merupakan yang terbesar (60-83 %) atau setara dengan 44-69 % dari bahan kering. Lignin selain tidak termanfaatkan oleh ternak, juga merupakan indeks negatif bagi mutu bahan pakan, karena ikatannya dengan selulosa dan hemiselulosa mempersulit pemanfaatan selulosa dan hemiselulosa sebagai sumber energi bagi ternak.

(9)

Kandungan lignin dan silika yang relatif tinggi (18-40 % dari total dinding sel) merupakan indikator bahwa tingkat kecernaan bahan pakan hasil sampingan perkebunan kelapa sawit merupakan salah satu kendala penting yang membutuhkan teknik untuk mengatasinya.

Berdasarkan tingkat kecernaan bahan kering (Tabel 7), maka BIS dan solid decanter

secara konsisten menunjukkan kualitas yang tinggi, bahan lain dengan kandungan serat kasar lebih tinggi memiliki tingkat kecernaan relatif lebih rendah. Kecernaan paling rendah terdapat pada serat perasan buah dan batang sawit. Kecernaan protein tergolong tinggi pada semua bahan, sedangkan kecernaan serat (deterjen netral dan deterjen asam) relatif rendah. Hal ini menunjukkan bahwa masalah utama pemanfaatan hasil sampingan perkebunan kelapa sawit adalah bagaimana meningkatkan kecernaan. Peningkatan kecernaan diharapkan dapat berpengaruh positif bagi peningkatan konsumsi.

Tabel 7. Tingkat kecernaan bahan kering, protein dan serat bahan pakan hasil sampingan perkebunan kelapa sawit

Unsur Kimia Fraksi kelapa sawit

Bahan kering Protein Kasar Serat Deterjen

Netral Serat DeterjenAsam

Bungkil inti sawit 70 80 53 52

Solid Decanter 70 76 51 tt

Pelepah 60 78 52 53

Daun Sawit 62 80 56 52

Serat Perasan Buah 40 65 52 tt

Batang Sawit 23-35 80 60 55

Sumber : Disarikan dari berbagai sumber oleh Ginting dan Elizabeth (2004)

TEKNOLOGI PENINGKATAN NILAI GIZI

Untuk dapat dimanfaatkan secara optimal , maka produk samping tanaman dan pengolahan buah kelapa sawit sebaiknya diberi perlakuan. Tujuan perlakuan tersebut adalah untuk meningkatkan nilai nutrien produk samping tersebut. Hal tersebut dapat dilakukan secara fisik (cacah, giling, tekanan uap), kimia (NaOH, Urea), biologis (fermentasi) maupun kombinasi dari padanya (Mathius et al., 2004).

Penggunaan NaOH bertujuan meningkatkan kecernaan dengan memutus ikatan selulosa atau hemiselulosa dengan lignin, sehingga energi tersedia dapat meningkat. Percobaan pada batang dan pelepah kelapa sawit oleh Oshio dkk (1988) dalam Ginting dan Elizabeth (2004), menggunakan larutan NaOH dengan konsentrasi 10 % mampu meningkatkan kecernaan bahan organik dari 20 – 23 % (tanpa pemberian NaOH) menjadi 63 %. Peningkatan kecernaan menunjukkan kecenderungan yang linier dengan tingkat konsentrasi NaOH. Pada pelepah sawit penambahan larutan 10 % NaOH meningkatkan kecernaan bahan organik dari 24 % (tanpa perlakuan) menjadi 45 %, sedangkan pada daun sawit dari 20 % menjadi 50 %. Akan tetapi perlakuan 10 – 12 % NaOH cenderung menurunkan palatabilitas (kesenangan) yang selanjutnya menurunkan konsumsi. Larutan 6-9 % NaOH merupakan konsentrasi optimal untuk meningkatkan kualitas batang dan pelepah sawit. Prosedur pengolahan menggunakan NaOH relatif sederhana yaitu batang pelepah atau daun kelapa sawit dicacah dan dikeringkan selama 4-5 hari di bawah sinar matahari. Kemudian dicampur dengan larutan NaOH, dan disimpan di dalam drum secara padat dan ditutup rapat selama 7 hari.

(10)

menjadi partikel panjang 1-3 cm. cacahan dapat diperciki larutan urea (3-6%) kemudian dimasukkan ke dalam drum, dipadatkan dan ditutup rapat (anaerob) selama 2-3 minggu untuk daun sawit atau 60 hari untuk batang sawit (Hasan dkk, 1996 dalam Ginting dan Elizabeth, 2004).

Peningkatan nilai nutrient solid melalui pendekatan enzimatis (fermentasi) dengan menggunakan Aspergilus niger telah dilakukan oleh Sinurat et al. (1998) dalam Dwiyanto et al. (2004). Dilaporkan bahwa kandungan protein kasar meningkat dari 12,21 % menjadi 24,5 %, sementara kandungan energi metabolis meningkat dari 1,6 Kkal/g menjadi 1,7 Kkal/g.

Perlakuan uap dengan tekanan bertujuan untuk memecah ikatan selulosa atau hemiselulosa dengan lignin, sehingga energi yang terkandung di dalam bahan pakan lebih banyak tersedia bagi ternak. Proses tekanan uap menggunakan “steaming”, bahan dimasukkan ke dalam steaming, setelah beberapa waktu bahan dikeluarkan dari mesin dan dimasukkan ke dalam drum, ditutup rapat dan dibiarkan selama 9 hari. Penelitian Oshio dkk, 1988 dalam Ginting dan Elizabeth (2004), menunjukkan bahwa berbagai kombinasi perlakuan tekanan uap (kg/cm2) dengan waktu (menit) diperoleh kondisi optimal dengan

perlakuan tekanan pada 12,5 kg/cm2 selama 7,5 menit. Pada batang sawit teknik ini dapat

meningkatkkan kecernaan bahan kering, bahan organik lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan Na OH.

PENGGUNAAN HASIL SAMPING SEBAGAI PAKAN TERNAK

Pelepah Kelapa Sawit. Hassan dan Ishida (1991) dalam Dwiyanto et al. (2004), melaporkan bahwa pelepah kelapa sawit dapat digunakan sebagai bahan pakan ternak ruminasia, sebagai sumber pengganti hijauan atau dalam bentuk silase yang dikombinasikan dengan bahan lain atau konsentrat sebagai campuran. Studi pada sapi Kedah Kalantan menunjukkan bahwa tingkat kecernaan bahan kering dapat mencapai 45 %. Daun kelapa sawit secara teknis juga dapat dipergunakan sebagai sumber atau pengganti pakan hijauan, kekurangan daun tersebut disebabkan adanya lidi daun yang menyulitkan ternak untuk mengkonsumsinya. Hal tersebut di atas dapat diatasi dengan pencacahan yang dilanjutkan dengan pengeringan, digiling untuk selanjutnya dapat diberikan dalam bentuk pellet. Penampilan sapi yang diberi pelepah segar atau silase dalam bentuk kubus, cukup menjanjikan. Untuk mengoptimalkan penggunaan pelepah kelapa sawit maka bentuk kubus (1-2 cm3) lebih disarankan. Pemberian pelepah sebagai bahan ransum dalam jangka waktu

yang panjang menghasilkan kualitas karkas yang baik.

Pelepah dapat mengganti rumput sampai 80 % tanpa mengurangi laju pertambahan bobot badan domba yang sedang tumbuh. Pada sapi penggunaan pelepah dalam bentuk silase sebanyak 50 % dari total pakan menghasilkan pertambahan bobot badan antara 0,62-0,75 kg, dan nilai konversi pakan berkisar antara 9,0 – 10,0. Pada sapi perah (Sahiwal) pelepah digunakan sebagai sumber serat dan mampu menghasilkan susu sebanyak 5,7 liter/ekor/hari (Purba dkk.,1997; Ishida dan Hassan, 1993; Hassan, 1993 dalam Ginting dan Elizabeth, 2004).

Tandan Kosong. Pemanfaatan tandan kosong yang mengandung serat kasar tinggi dengan indikasi kandungan serat deterjen asam (ADF) sejumlah 61 % memiliki nilai biologis yang rendah. Dalam pemanfaatannya disarankan agar dicampur bahan lain yang berkualitas. Jumlah yang dapat diberikan dalam ransum sapi antara 30-50 % dengan perlakuan fisik seperti dicacah agar ukurannya (2 cm) layak dikonsumsi (Mathius et al., 2004).

Batang Kelapa Sawit . Penelitian Oshio dkk (1988) dalam Ginting dan Elizabeth (2004), menunjukkan bahwa batang kelapa sawit dapat digunakan dalam pakan sebanyak 30 % dari total pakan, dengan komposisi 30 % batang sawit dan 70 % konsentrat diperoleh pertambahan bobot badan sebesar 0,66-0,72 kg pada sapi, sebanding dengan penggunaan jerami (0,71 kg). tetapi efisiensi penggunaan pakan lebih baik pada penggunaan batang sawit silase (FCR = 8,84) dibandingkan dengan jerami (FCR = 10,73).

(11)

30 % sebagai pakan sapi perah masa laktasi untuk memenuhi kebutuhan energi dan protein (Ahmad dan Omar, 1998 dalam Ginting dan Elizabeth, 2004).

Palatabilitas BIS sebagai pakan ruminansia baik hasil proses expeller maupun proses ekstraksi dengan pelarut adalah tinggi, sehingga konsumsi pada ternak tidak menjadi kendala. Tingkat pemberian antara 2-3 % bobot badan, pertambahan bobot badan 0,75 kg/ekor/hari dapat tercapai dengan pemberian BIS sebagai suplemen tunggal pada sapi. Penggunaan BIS pada kambing dan domba menghasilkan pertambahan bobot badan 70-90 g/ekor/hari. Untuk ternak perah BIS dapat mengganti sepenuhnya pakan konsentrat konvensional. Penggunaan BIS sebagai konsentrat tunggal dapat menekan biaya pakan 30 % dengan nilai konversi pakan sebesar 2,2 liter susu/kg. Kandungan Cu yang tinggi (11-55µg/g BK) pada BIS meyebabkan gangguan fungsi hati dan ginjal pada penggunaan yang tinggi. Hal ini dapat dihindari dengan pemberian Zn dalam bentuk seng sulfat pada dosis 500 µg/g (Jaelan dkk, 1991, Ginting dkk, 1987, Ganabathi, 1984, Abdul Rahman dkk, 1989, Jaelani, 1991, Hair-Bejo dan Alimon, 1995, dalam Ginting. dan Elizabeth 2004).

Lumpur Minyak Sawit/Solid Decanter. Lumpur sawit mengandung protein kasar berkisar 12-14 % dengan kandungan air yang tinggi, menyebabkan produk ini kurang disenangi ternak. Kandungan energi yang rendah dengan abu yang tinggi menyebabkan lumpur sawit tidak dapat dipergunakan secara tunggal. Upaya untuk meningkatkan kandungan nutrient dan biologis melalui proses fermentasi berpeluang bagi ternak ruminansia untuk memanfaatkannya secara optimal. Belum diketahui pasti jumlah lumpur sawit yang aman digunakan sebagai pakan ruminansia (Jalaludin et al, 1991 dalam Mathius

et al., 2004).

Lumpur sawit dapat diberikan dalam bentuk segar atau dikeringkan terlebih dahulu. Pada sapi perah kisaran berada antara 15-65 % dari total konsentrat yang diberikan. Solid dapat menggantikan sepenuhnya dedak padi dalam konsentrat dan berpengaruh positif terhadap konsumsi ransum, kadar lemak susu dan efisiensi penggunaan energi dan protein. Pada kambing dan domba penggunaan sebesar 1 % bobot badan menghasilkan pertambahan bobot badan harian sebesar 50-60 g dengan konversi pakan 17-18 Kombinasi penggunaan BIS dan solid/lumpur sawit dapat menjadi suplemen alternatif. Rasio BIS /solid yang optimal adalah 50/50 dengan hasil tercapainya pertambahan bobot badan 0,6 kg/h dengan nilai konversi pakan sebesar 6,3 ( Windyati dkk, 1992, Vadiveloo, 1986, Handayani dkk, 1987, dan Shamsudin dkk, 1987 dalam Ginting dan Elizabeth, 2004).

Penggunaan Kombinasi Hasil Sampingan Kelapa Sawit Sebagai Pakan Utama atau Pakan Komplit. Prinsip penyusunan kombinasi berbagai jenis ransum perlu memperhatikan bahan-bahan yang berserat tinggi sebagai pakan dasar dan pakan yang mengandung konsentrasi protein dan energi tinggi sebagai suplemen suatu ramuan. Kombinasi serat perasan buah (25 %), BIS (15 %), dan lumpur sawit (10 %) dengan total kontribusi pakan 50 % dapat digunakan untuk sapi. Untuk hidup pokok atau sedikit pertumbuhan komposisi BIS (30 %), serat perasan buah (15 %), lumpur minyak sawit (18 %), dengan total kontribusi 63 % dapat dipergunakan untuk sapi. Pakan komplit dalam bentuk blok merupakan alternatif yang perlu dipertimbangkan untuk memudahkan penanganan, terutama untuk produksi skala besar (Dalzell, 1977 dan Wong dkk, 1987 dalam Ginting dan Elizabeth, 2004).

PEMANFAATAN KOTORAN TERNAK SAPI

(12)

reaktor adalah pupuk mikro yang sudah tidak dapat lagi dijadikan tempat berkembang biak mikroorganisme patogen dan langsung dapat diaplikasikan pada tanaman sebagai kompos. Melalui SISKA efisiensi produksi dan penerapan pembangunan pertanian yang berkelanjutan secara ekonomis, sosial dan lingkungan sudah diterapkan sehingga dapat meningkatkan nilai tambah perkebunan kelapa sawit (Agricinal, 2004).

ANALISIS USAHA TANI INTEGRASI SAPI SAWIT

Pemeliharaan sapi dengan model plasma dengan pola gaduhan dengan awal pemeliharaan 1 ekor selama periode 5 tahun dan inti dengan pola kredit 3 ekor selama 7 tahun menunjukkan hasil pendapatan sebesar :

Tabel 8. Analisis Usahatani Integrasi Sapi Kelapa Sawit

Uraian Plasma Inti

Luas kebun (ha) 1,75 15

Jumlah ternak(ekor) 4 12

Pendapatan peternak 1.246.101 17.966.000

R/C 1,42 2,18

Sumber : Gunawan et al. (2004).

Hasil analisis mengindikasikan bahwa pemeliharaan sapi dengan pola inti yang memiliki lahan kebun lebih luas memberikan pendapatan yang lebih tinggi bagi peternak. Kondisi ini menunjukkan bahwa skala usaha sangat berpengaruh terhadap tingkat pendapatan pekebun, sehingga perlu dipertimbangkan pola dan skala usaha yang sesuai dengan daya dukung sumberdaya. (Gunawan et al., 2004).

MODEL INTEGRASI TERNAK KAMBING -KEBUN KAKAO

Pada perkebunan kakao rakyat, limbah kulit buah kakao dan hijuan dari tanaman pelindung (gamal dan lamtoro) dimanfaatkan petani sebagai sumber pakan dalam usaha ternak kambing. Limbah kulit buah kakao selalu tersedia mengingat buah kakao pada perkebunan rakyat dipanen hampir sepanjang tahun. Dengan interval dan cara pemotongan yang benar, hijauan dari tanaman gamal dan lamtoro merupakan bahan yang selalu tersedia. Berdasarkan kandungan nutrisinya kakao dan hijauan pelindung kakao merupakan pakan yang berkualitas, karena memiliki kandungan protein kasar kulit buah kakao sekitar 10 % sementara hijauan dari gamal dan lamtoro lebih dari 20 % (Prabowo et al., 2004).

Kulit kakao digunakan sebagai pakan ternak kambing dengan cara pemberian dicacah dengan ukuran 5 x 1 cm yang diberikan secara segar. Penggunaan kulit kakao akan mengurangi jumlah pakan hijauan yang harus dipersiapkan sebagai pakan ternak, cukup separoh dari yang biasa diberikan. Pemanfaatan kulit kakao dan hujauan dengan tambahan mineral blok pada kambing betina/dara mampu meningkatkan pertambahan bobot badan dari 38 menjadi 38g/hari. Pemberian pakan 30 – 70 % kulit buah kakao ditambah blok suplemen pakan lengkap pada kambing jantan dan betina dapat mencapai peningkatan berat badan harian sebesar 76,8 dan 58,6 g. Kendala utama yang masih dirasakan adalah bahwa kulit kakao hanya mau dikonsumsi kambing sampai dengan 3 hari setelah dikupas (Priyanto et al., 2004).

(13)

ANALISIS USAHATANI INTEGRASI TERNAK KAMBING-KAKAO

Berdasarkan hasil analisa usahatani ternak kambing PE dengan pemberian pakan tambahan (supplemen) dengan dasar pakan hijauan dan kulit buah kakao disajikan pada tabel 9.

Tabel 9. Analisa Usaha Ternak Kambing

Uraian Kontrol Koperator

Skala Usaha(ekor) 9 9

Biaya tetap 6.853.600 7.109.180

Penerimaan 8.019.750 9.274.500

Pendapatan Bersih 1.166.150 2.165.300

R/C 1,17 1,31

Sumber : Prabowo et al., (2004).

Introduksi teknologi pakan pada pemeliharaan ternak kambing di lampung diketahui bahwa dalam satu tahun rata-rata petani kooperator mendapatkan ternak kambing yang lebih banyak (17 ekor banding 14 ekor) dengan pendapatan bersih Rp. 2.165.300 dan R/C sebesar 1,31. tambahan pedapatan petani yang menerapkan teknologi supplemen pakan dan pemberian kulit kakao lebih tinggi Rp. 999.150 (85,7%) dibanding pendapatan yang diperoleh petani yang tidak menerapkan teknologi supplemen pakan (Prabowo et al., 2004).

KESIMPULAN

1. Pakan dasar ternak sapi dari kebun kelapa sawit meliputi pelepah, daun, serat perasan buah dan batang kelapa sawit dapat ditingkatkan nilai gizinya melalui perlakuan pemberian NaOH, fermentasi dan uap.

2. Biomassa setiap ha tanaman kelapa sawit mampu mendukung 1-3 ekor sapi dewasa per tahun.

3. Integrasi ternak dengan Kebun Kelapa Sawit dapat menurunkan biaya produksi, saling menguntungkan (benefit mutualistis), pemroses hasil samping perkebunan, pemberantas gulma, pemanfaatan limbah naungan tanah, tenaga kerja (penghela) dan bertindak sebagai sumber penghasilan bagi petani.

4. Limbah kulit buah kakao dan hijuan dari tanaman pelindung (gamal dan lamtoro) dimanfaatkan petani sebagai sumber pakan dalam usaha ternak kambing.

5. Penggunaan kulit buah kakao sebagai pakan ternak kambing dapat diberikan sampai sebesar 70 % dari total pakan.

6. Pengandangan ternak kambing sangat dianjurkan dengan pertimbangan faktor keamanan, memudahkan pengontrolan reproduksi, mencegah terjadinya kembung perut (bloat), memudahkan rekording ternak dan memudahkan penanganan kotoran ternak sebagai pupuk organik.

7. Pengembangan model integrasi tanaman kebun dan ternak memberikan tambahan pendapatan yang berarti bagi petani.

DAFTAR PUSTAKA

Agricinal, P.T. 2004. Deskripsi Konsep dan Implementasi Program Nirlimbah Cair Dalam Sistem Integrasi Sapi-Sawit di PT. Agricinal. Bidang Pengelolaan Lingkungan PT. Agricinal, Bengkulu.

Arifin B. 2003. Peluang Investasi dan Lapangan Kerja dalam Rangka Pembangunan Agribisnis Berbasis Peternakan. www.deptan.go .id.

(14)

BPS. 2003. Kalimantan Barat Dalam Angka 2002. Biro Pusat Statistik Propinsi Kalimantan Barat, Pontianak.

Bulo D, Agustinus N, Kairupan dan F.F. Munier

Dinas Perkebunan Propinsi Kalimantan Barat. 2004. Informasi Kawasan Industri Masyarakat Perkebunan (KIMBUN) Kelapa Sei Kakap Kabupaten Pontianak. Dinas Perkebunan Propinsi Kalimantan Barat, Pontianak.

Dirjen Bina Produksi Peternakan, 2004. Analisa Ekonomi Program Kecukupan

Daging 2005. www.deptan.go .id.

Dirjennak.2004. Integrasi Ternak Sapi Dengan Perkebunan Kelapa Sawit. www.deptan.go .id.

Dradjat B, Prajogo U. Hadi, Ridwan Dreinda dan Bambang Sulistyo. 1995. Pengkajian Pengembangan Agribisnis Perkebunan. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor.

Dwiyanto, K., Dapot Sitompul, Ishak Manti, I Wayan Mathius, Soentoro. 2004. Pengkajian Pengembangan Usaha Sistem Integrasi Kelapa Sawit-Sapi. Dalam “Prosiding Lokakarya Nasional Sistem Integrasi Kelapa Sawit-Sapi”. Badan Litbang Pertanian, Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Pemerintah Propinsi Bengkulu dan PT. Agricinal, Bogor.

Elizabeth, Y. dan Simon P. Ginting. 2004. Pemanfaatan Hasil Samping Industri Kelapa Sawit Sebagai Bahan Pakan Ternak Sapi Potong. Dalam “Prosiding Lokakarya Nasional Sistem Integrasi Kelapa Sawit-Sapi”. Badan Litbang Pertanian, Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Pemerintah Propinsi Bengkulu dan PT. Agricinal, Bogor.

Gunawan, Azmi, I.W. Mathius, Daryanto, Majestika, S. Kholik dan D.M. Sitompul. 2004 Evaluasi Model Pengembangan Sistem Integrasi Sapi Dengan Kelapa Sawit. Dalam Prosiding Seminar Sistem Integrasi Tanaman-Ternak. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor.

Harris U., Baryono Hardjosuwito, Hermansyah dan Bagya. 1995. Pemanfaatan Biji Karet Secara Komersial Suatu Analisis Potensi dan Kelayakan. Warta Pusat Penelitian Karet, Asosiasi Penelitian dan Pengembangan Perkebunan Indonesia, Medan.

Lermansius H, Ken Suratiyah dan Mashuri. 2000. Usahatani Ternak Domba Berbasis Perkebunan di Kecamatan Stabat Kabupaten Langkat Sumatera Utara. Agro Ekonomi Vol ume 8 No. 2 Des 2000. Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Matius, I.W., Dapot Sitompul, B.P. Manurung, Azmi. 2004. Produk Samping Tanaman dan Pengolahan Buah Kelapa Sawit Sebagai Bahan Dasar Pakan Komplit Untuk Sapi. Dalam “Prosiding Lokakarya Nasional Sistem Integrasi Kelapa Sawit-Sapi”. Badan Litbang Pertanian, Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Pemerintah Propinsi Bengkulu dan PT. Agricinal, Bogor.

Prabowo A. Elma Basri, Firdausil AB, B. Sudaryanto dan Sjamsul Bahri. 2004. Kajian Sistem Usahatani Ternak Kambing Pada Perkebunan Kakao Rakyat di Lampung. Dalam Prosiding Seminar Sistem Integrasi Tanaman-Ternak. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor.

Priyanto D., Atien priyanti dan I Inounu. 2004. Potensi dan Peluang Pola Integrasi Ternak Kambing Pada Perkebunan Kakao Rakyat di Propinsi Lampung. Dalam Prosiding Seminar Sistem Integrasi Tanaman-Ternak. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor.

Sajimin, M.E. Siregar dan Agus Mulyana. 1992. Pengaruh Berbagai Umur Tanaman Kelapa Pada Susunan Botanis Hijauan Lokal di Perkebunan Kelapa di pakuwon, Sukabumi. Dalam Teknologi Pakan dan Tanaman Pakan. Balai Penelitian Ternak, Bogor.

Gambar

Tabel 4.1. Rataan Neraca Perdagangan Antar Pulau Sapi Potong di Indonesia, 1997-2002.
Tabel 3. Potensi Komoditas Perkebunan  Untuk Mendukung Integrasi Tanaman-Ternak
Tabel 5. Komposisi kimiawi beberapa hasil samping perkebunan kelapa sawit
Tabel 7. Tingkat kecernaan bahan kering, protein dan serat bahan pakan hasil sampingan perkebunan kelapa sawit
+3

Referensi

Dokumen terkait

Bagi peneliti yang akan datang bila ingin meneliti tentang judul yang sama atau berkaitan dengan obat herbal, disarankan untuk menggunakan variabel lain untuk lebih besar

Secara garis besar, langkah- langkah dalam penelitian ini meliputi kegiatan sebagai berikut: (1) Kegiatan awal yakni dengan mengkaji teori tentang kreativitas

[r]

Pemrograman dan komunikasi pada Arduino Uno menggunakan software LDmicro berfungsi sebagai perangkat untuk pemrograman ladder diagram , simulator, dan compiler yang

Menurut Rebber dalam Muhibbin (2006: 121) “kemampuan awal atau prasyarat awal untuk mengetahui adanya perubahan”. Hal ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui situasi

Diharapkan dengan adanya pengabdian kepada masyarakat oleh Jurusan Rekam Medis dan Informasi Kesehatan ini, Posyandu Lansia Kelurahan Meteseh mendapatkan

 b. #hreats 7&ncaman8.. Melihat dari banyaknya permintaan masyarakat dalam mengkonsumsi makanan makanan terutama roti  bakar ini, maka persaingan dalam menjalankan usaha ini

SISTEM PELAPORAN BUDAYA KESELAMATAN RUMAH SAKIT '& 'ama 7abatan #etua #&mite #eselamatan Pasien Rumah Sakit 1 Pengertian 7abatan Sese&rang yang diberikan wewenang