• Tidak ada hasil yang ditemukan

Gagasan Max Weber Mengenai Kedudukan Kelembagaan Perpustakaan pada Institusi Perguruan Tinggi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Gagasan Max Weber Mengenai Kedudukan Kelembagaan Perpustakaan pada Institusi Perguruan Tinggi"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

H a la m a n 1

Gagasan Max Weber Mengenai Kedudukan Kelembagaan

Perpustakaan pada Institusi Perguruan Tinggi

Prijana Dian Sinaga

Fakultas Ilmu Komunikasi, Universitas Padjadjaran, Indonesia

Abstract

Objective: to explain the idea of Max Weber's institutional position in the college library. Methods: Qualitative research. Result: Institutional college library formally shaped UPT has no line with libraryas faculty. While the faculty library managed superintendent. Max Weber offers bureaucratic model for an institutional college library. Conclusion: The model of governance the college library was time to use the bureaucratic model.

Keywords: The idea of Max Weber, Garis lini, Superintendent, UPT, Bureaucratic model, Institutional college for library

PENDAHULUAN

Kedudukan kelembagaan perpustakaan pada posisi UPT (unit pelaksana teknis) dalam strutur organisasi tata kerja perguruan tinggi tentu memiliki latarbelakang yang sampai saat ini belum pernah dievaluasi. Pemahaman sempit tentang perpustakaan perguruan tinggi cukup dikelola pokoknya jalan, atau ada yang buka-tutup. Disini perpustakaan terlanjur didefinisikan sebagai penjaga buku.

Kita tahu sebuah perguruan tinggi, misalnya Universitas Padjadjaran memiliki mahasiswa dengan jumlah yang cukup besar (diperkirakan mencapai 40.000 mahasiswa). Sementara perkembangan teknologi informasi sekarang begitu cepat,

mengantarkan kelembagaan perpustakaan untuk memberikan layanan

cepat.

Pengelolaan Perpustakaan setingkat UPT konon hanya untuk lembaga

perpustakaan universitas saja tidak sampai pada kelembagaan perpustakaan fakultas. Jikapun boleh kita katakan, itu sebatas perpustakaan universitas sebagai

pembina perpustakaan fakultas.

Sementara perpustakaan fakultas kita ketahui semakin berkembang. Pengelolaan perpustakaan universitas setingkat UPT juga semakin menambah deretan ketidakjelasan tatakelola di dalam struktur organisasi. Jika demikian, bagaimana posisi tatakelola perpustakaan fakultas dalam struktur organisasi. Apakah ini yang dinamakan

sistem di luar sistem. Lembaga

perpustakaan fakultas tidak bisa meng-klaim dirinya UPT. Lalu apa namanya? Perpustakaan fakultas tidak memiliki

garis lini dengan perpustakaan

universitas.

Kondisi lapangan yang semakin memperjelas keberadaan kelembagaan perpustakaan adalah sistem di luar

sistem dalam struktur organisasi tata

(2)

H a la m a n 2 perpustakaan universitas dengan

perpustakaan fakultas. Mereka tampak berdiri masing-masing dan yang pastinya mereka itu berbeda dalam tatakelola. Krisis organisasi ini apakah perlu upaya evaluasi ataukah dibiarkan saja. Dilema bertahun-tahun yang dirasakan staf perpustakan untuk memilih sebagai pegawai struktural ataukah sebagai pegawai fungsional memberikan beban psikologis. Dikotomi ini sering terdengar sehari-hari di lingkungan para pegawai perpustakaan. Mereka tak mampu untuk memilih. Mereka ingin menjadi tenaga fungsional, namun perhargaan sebagai tenaga fungsional pustakawan dirasakan sangat kecil. Keraguan inilah yang terus menghantui staf perpustakaan.

METODE

Metode yang digunakan adalah metode penelitian kualitatif. Metode sampling yang digunakan adalah Purposive sampling (N=15). Unit samplingnya adalah pengelola perpustakaan perguruan tinggi dan pegawai struktural di lingkungan Universitas Padjadjaran.

HASILPENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Kedudukan kepala perpustakaan universitas didalam struktur OTK (organisasi tata kerja) bukan jabatan struktural, walau dalam struktur memiliki garis lini ke bawah ke eselon IV atau setingkat kepala sub-bagian.

Disini organisasi lini merupakan

resultante pembagian tugas pimpinan dan pelaksanaan fungsi secara vertikal dan horizontal (Indrawijaya, 2010). Sementara kedudukan kepala perpustakaan fakultas adalah superintendent, yang oleh F. W. Taylor disebut sebagai organisasi fungsional. Superintendent dalam fungsi manajemen

memiliki wewenang untuk mendelegasikan pada seorang bos

sebagai pengendali. Masing-masing bos memiliki kedudukan yang sama satu

sama lainnya. F.W. Taylor

membayangkan adanya organisasi fungsional ini untuk maksud ditujukan pada pelayanan khusus (special services), misalnya untuk menjalankan manajemen kamar operasi yang memerlukan spesialisasi-spesialisasi khusus. Pertanyaan: apakah tatakelola perpustakaan saat ini masih perlu mempertahankan tipe fungsional, sementara jumlah users perpustakaan fakultas saat ini sudah mencapai angka ribuan/bulan. Disisi yang lain bertambahnya volume kunjungan ke perpustakaan sering diabaikan oleh pengambil keputusan, bahkan nyaris sama sekali tak disentuh. Pihak pengelola perpustakaan juga demikian, tak pernah membicarakan persoalan-persoalan yang dihadapinya. Mereka umumnya merasa semua itu sudah

konsekuensi dari tugas tanggungjawabnya dan merasa kurang

penting untuk membicarakan ke tingkat pengambil keputusan. Sehingga muncul kesan bahwa pengelola perpustakaan itu eksklusif dan asyik dengan dirinya

sendiri. Sharing mengenai dunia

pekerjaan dengan orang lain jarang mereka lakukan. Sesekali hanya mereka lakukan dengan sesama rekan kerjanya sendiri.

(3)

H a la m a n 3 Walaupun mereka misalnya seorang

sarjana, mereka akan tetap beranggapan bahwa seterusnya posisinya akan tetap menjadi staf, tidak memiliki peluang menjadi pimpinan. Barangkali kondisi demikian perlu untuk dikaji sekali lagi dengan cermat dalam tubuh organisasi. Max Weber mengatakan bahwa struktur organisasi itu adalah sebuah model dan referensi yang didekatkan dengan kenyataan (Indrawijaya, 2010). Disini Weber memandang penting potret lapangan untuk dijadikan model dalam struktur organisasi, bukan sebaliknya. Selanjutnya dikatakan bahwa spesialisasi itu tetap memiliki garis vertikal dan berjenjang. Organisasi pemerintah seperti Universitas Padjadjaran sudah sepatutnya menunjuk pada struktur

birokrasi dengan hal-hal

penyesuaiannya. Jikapun diperlukan garis horizontal dalam organisasi, itu hanya merupakan pembagian fungsi saja. Tentunya hubungan kerja akan diatur berdasarkan kedudukan, tugas

pokok, dan fungsi masing-masing.

Pandangan Max Weber ini barangkali cukup menarik untuk dijadikan sebuah pemikiran bahwa struktur organisasi mampu mempengaruhi perilaku dan proses kepemimpinan. Max Weber juga merasa perlu mendudukkan kelembagaan perpustakaan ke dalam struktur organisasi, karena ia tidak begitu percaya akan kemampuan orang untuk mengambil keputusan yang rasional objektif.

Gagasan Max Weber ini akan memudahkan Peter Drucker dalam tata kelola organisasi, yakni tentang management by objective yang disingkat MBO. Disini MBO berorientasi pada output. Misalnya, berapa hasil kerja yang akan dicapai; berapa lama waktu pelaksanaan pekerjaan; berapa personil yang dibutuhkan; apa saja sarana yang mendukungnya; dan berapa anggaran

yang dibutuhkan; kesemuanya itu menurut Peter Drucker meski terukur (measurable).

1. GAGASAN RE-ORGANISASI

Peraturan Menteri Pendidikan RI Nomor 46 Tentang OTK Unpad tahun 2013 secara jelas menegaskan bahwa fakultas memiliki 4 Sub-bagian dan ada juga yang memiliki 2 Sub-bagian. Dalam OTK Universitas Padjadjaran yang baru setelah menjadi PTN BH masing-masing fakultas cukup memiliki 2 sub-bagian. Ini artinya fakultas di lingkungan Unpad saat ini memiliki span of control yang sama, baik untuk fakultas besar maupun kecil. Pengorganisasian bukan hanya sekedar menetapkan struktur organisasi kemudian mengisi kotak-kotak struktur

dengan job description-nya, lalu

mendudukkan orang-orangnya. Barangkali yang meski kita pikirkan lebih penting adalah pengorganisasian

merupakan proses managerial yang

berorientasi pada keberlangsungan organisasi yang semakin efektif dan efisien. Karenanya penting adanya upaya peninjauan kembali struktur organisasi, pengelompokan jenis-jenis pekerjaan yang sama sesuai kebutuhan organisasi ke dalam satu payung koordinasi dengan wewenang dan tanggung jawabnya.

(4)

H a la m a n 4 kabupaten/kota, dan propinsi melalui

otonominya. Kelembagaan perpustakaan masuk dalam struktur organisasi, bukan unit kerja pendukung. Ironis sekali sebagai insan akademika kalau tata kelola kelembagaan perpustakaan perguruan tinggi masih tetap ditempatkan sebagai unit kerja pendukung. Sementara kita ketahui dengan jelas bahwa perguruan tinggi itu merupakan lembaga pendidikan. Unpad juga merupakan lembaga pendidikan tinggi yang terhormat yang kita cintai bersama yang tahu betul posisi kedudukan perpustakaan dalam proses belajar-mengajar.

Bebenah untuk menggabungkan beberapa tugas-tugas pekerjaan secara logis, partisipatif, dan tentunya sesuai aturan yang berlaku seperti yang dilakukan universitas dalam bebenah organisasinya, tentu untuk maksud pencapaian hasil kerja yang efektif, efisien, akuntabel, dan terukur

(measureable ), disamping juga untuk

penataan pembagian kerja diantara anggota organisasi, sehingga pekerjaan dalam organisasi menjadi merata bebannya, tidak ada anggota organisasi yang kesibukannya tinggi dan beban pekerjaannya demikian besar, atau sebaliknya banyak ditemukan adanya pegawai 804 (delapan kosong empat), artinya masuk kerja jam 8 (delapan) dengan isi absen lalu duduk-duduk ngobrol kesana-kemari tak jelas apa yang dikerjakan lalu ditutup dengan absen pulang jam 4 (empat), inilah yang dinamakan pegawai 804 (delapan kosong empat).

Pengelola perpustakaan dituntut masuk sebelum jam kerja dan pulang setelah jam kerja, seperti layaknya pegawai bank. Tugas-tugas pekerjaannya dilaksanakan secara rutin penuh setiap hari kerja, sementara jumlah SDM-nya

sangatlah terbatas. Saat ini tampak bahwa tata kelola kelembagaan perpustakaan universitas memiliki span of control manajemen yang kurang efektif lagi dan tata kelola kelembagaan perpustakaan fakultas memiliki span of control manajemen yang tak jelas.

Satu bagian setingkat eselon III dalam pandangan manajemen klasik hanya mampu mengendalikan maksimum 4 (empat) orang kepala Sub-bagian. Sepertinya pihak universitas sudah mengadopsi gagasan manajemen klasik ini. Pertanyaan: apakah kotak-kotak struktur sudah diisi oleh orang yang tepat. Tidak menutup kemungkinan span of control diperluas pada kegiatan yang sejenis atau kegiatan yang saling berkaitan dekat yang bisa dikerjakan secara bersama-sama, misalnya; pengelolaan kelembagaan perpustakaan dengan pengelolaan data dan Informasi. Setelah struktur organisasi terbentuk, barangkali perlu mempertimbangkan

pendapat Dimock dan Koenig yang

mengatakan bahwa leadership is the key to management. Jadi maksudnya adalah siapa yang patut menduduki jabatan struktural eselon III dan eselon IV. Memang diakui adanya pandangan pro-kontra jika perpustakaan dikelola ke dalam tatakelola birokrasi. Kekhawatiran pertama, mereka berpandangan bahwa nantinya jika perpustakaan dikelola secara birokratis, maka akan mengalami carut-marut manajemen, artinya mereka pesimis jika posisi itu diduduki oleh mereka yang memiliki latar belakang pendidikan bukan dari bidang perpustakaan.

(5)

H a la m a n 5 dan profesi Jaksa, harus mereka yang

memiliki latar belakang pendidikan sarjana hukum. Bagaimana jika kualifikasi seorang pimpinan eselon III ataupun eselon IV, tidak ditemukan. Bukankah di dalam institusi perpustakaan yang kita ketahui terdiri dari pegawai profesi dan pegawai struktural. Mereka juga ada yang ahli bidang IT dan tentunya seorang sarjana. Mereka juga ada yang ahli bidang administrasi dan tentunya seorang sarjana juga. Jadi untuk posisi pimpinan struktural dapat diberikan secara terbuka (sesuai kebutuhan organisasi), artinya tidak menutup peluang bagi mereka yang memiliki latar belakang disiplin ilmu selain bidang perpustakaan.

Kekhawatiran kedua, mereka yang memiliki pandangan bahwa jika pengelolaan perpustakaan dikelola dalam birokrasi, maka akan terkontaminasi SDM yang berkualitas kurang bagus (walaupun ini hanya

sebuah image), misalnya malas, suka

bolos kerja, kerja semaunya, atau nggak bisa kerja, suka ngobrol, dan kerjanya mundar-mandir, bermental buruh kalau nggak diperintah ya nggak gerak maunya disuruh baru bergerak.

Seperti universitas Padjadjaran, tidak hanya krisis tenaga staf, tetapi juga krisis SDM pimpinan. Oleh karena itu, bagaimana kalau pola pikir kita balik, maksudnya adalah dengan memasukan perpustakaan menjadi Tata Kelola birokratis, maka akan memberikan percepatan daya guna pegawai Unpad yang jumlahnya cukup banyak menjadi pegawai yang berkinerja lebih tinggi, yang justru akan memberikan nilai positif dalam tubuh organisasi. Pegawai akan lebih tersebar dalam pekerjaan, tidak menumpuk dalam bagian tertentu saja.

Bekerja pada bidang perpustakaan, data, dan informasi tentunya akan selalu dituntut memiliki kemampuan IT dan berdedikasi. Bidang perpustakaan, data, dan informasi akan selalu bersentuhan dengan skill IT dan layanan prima. Pencitraan baru ini barangkali bisa mendongkrak kualitas kerja karyawan. Tetapi juga perlu dipikirkan, bisa jadi mereka yang kurang percaya diri akan menghindari pekerjaan yang baru ini.

2. GAGASAN CHARLES BAHAGE: ROTASI PEGAWAI

Charles Bahage adalah seorang tokoh manajemen yang menganjurkan adanya rotasi pegawai di level manager (setingkat kepala bagian/eselon III ataupun tingkat kepala sub-bagian/eselon IV) untuk maksud pertukaran pengalaman. Hal ini berkaitan dengan gagasan beliau tentang devision of labour (pembagian kerja) dalam sebuah organisasi industri. Gagasan Bahage inilah yang awal mula muncul ide rotasi pegawai dalam tubuh organisasi dan beliau katakan bahwa rotasi pegawai merupakan prinsip manajemen.

Semenjak itulah ide rotasi pegawai

merupakan tradisi sebuah organisasi

apapun dan dimanapun termasuk organisasi pemerintahan di Indonesia (seperti yang berlaku juga di Universitas Padjadjaran). Gagasan Bahage ini sudah berusia 100 tahun lebih, yang sampai saat ini sudah menjelma semacam

dogma, bahwa rotasi pegawai

merupakan cara yang ampuh untuk mendapatkan seorang calon pemimpin organisasi.

Charles Bahage mengatakan bahwa

(6)

H a la m a n 6 memperoleh keahlian, memperoleh

pengetahuan dan teknologi, atau yang orang sering katakan memiliki jam terbang. Tetapi kalau rotasi pegawai hanya dijadikan simbol tradisi untuk menunjukkan bahwa organisasi itu masih hidup dan rodanya masih berjalan, maka rotasi pegawai perlu dievaluasi lagi, apakah rodanya masih berjalan sesuai prinsip-prinsip manajemen?

3. IDEA F.W. TAYLOR: Time and motion dan differential rate system

F.W.Taylor adalah seorang pioner manajemen yang cukup disegani di tingkat dunia, pemikirannya tentang ‘time and motion’ telah mengantarkan pada kesuksesan besar organisasi perusahaan. Mulanya ide ‘time and motion’ sekedar untuk memenuhi rasa ingin tahu seorang Taylor. Ia mencoba untuk mengetahui berapa besar muatan beban sekop yang digunakan pekerja agar dicapai hasil yang efektif dan efisien.

Taylor mencobakan beban sekop 38 pon, 34 pon, 28 pon, dan 21 pon. Ternyata muatan beban 21 pon yang terpilih sebagai beban ideal, maksudnya para pekerja merasa nyaman dalam bekerja, jika sekop memiliki muatan beban 21 pon. Bila ditambah atau dikurangi, maka hasilnya akan menurun. Inilah ide awal

dari time and motion yang ditemukan

Taylor untuk menggenjot produktivitas pekerja. Ide Taylor ini memberikan terobosan baru bidang manajemen pada pasca perang dunia II. Ide demikian terus berkembang hampir masuk pada

semua lini pekerjaan dalam sebuah

organisasi.

Ide time and motion juga melahirkan

sistem upah, yakni differential rate system. Seperti sekarang yang sering kita dengar ‘upah sesuai pekerjaan’.

Sesungguhnya pemikiran ini benar-benar asli ide terobosan Taylor, yakni metode daya guna yang membawa revolusi manajemen. Ide cemerlang Taylor ini dengan cepat membawa dampak ephori perusahasaan besar di dunia, khususnya Amerika Serikat untuk berlomba-lomba meraup keuntungan. Tetapi mereka

hanya mimesis, mencontoh yang lain

sukses lalu ikut dan ditelan bulat-bulat saja. Time and motion bukan fokus pada pekerjaan saja, tetapi juga memperhatikan karyawan. Ide Taylor tentang pelaksanaan time and motion di Amerika Serikat dijalankan dengan fokus pada pekerjaan. Akibatnya, terjadilah ‘kelesuan gairah kerja’ yang melanda Amerika. Manusia dipandang sebagai mesin robot untuk mencapai daya guna kerja yang setinggi-tingginya bagi perusahaan. Barangkali kita bisa ambil hikmahnya dari kejadian di Amerika Serikat ini. Sesungguhnya time and motion yang dilaksanakan secara tepat dan benar, maka akan memberikan nilai amanah yang adil yang justru akan mampu mendongkrak gairah kerja, bukan sebaliknya.

SIMPULAN

1. Tatakelola kelembagaan

perpustakaan universitas tidak

memiliki garis lini dengan

kelembagaan perpustakaan fakultas.

Tatakelola kelembagaan perpustakaan fakultas dikelola secara

superintendent, yakni dapat langsung

membentuk team kerja di dalam

tubuh organisasinya sendiri.

2. Max Weber memandang bahwa

pentingnya potret lapangan untuk dijadikan model dalam sebuah struktur organisasi, bukan sebaliknya.

3. Tatakelola kelembagaan

(7)

H a la m a n 7 tatakelola kelembagaan perpustakaan

fakultas memiliki span of control yang tak jelas.

DAFTAR PUSTAKA

Dessler, G. 1997. Human resource

management. Jakarta: Prenhallindo.

Hodge, B. J. & Anthony, W. P.1988. Organization Theory. Boston: Allyn & Bacon.

Indrawijaya, A. I. 2010. Teori, perilaku, dan budaya organisasi. Bandung: PT. Efika Aditama. Mangkunegara, A. P. 2007. Evaluasi

kinerja SDM. Bandung: Refika aditama.

Moeljono, D. 2006. Good corporate culture sebagai inti good

corporate governance. Jakarta,

PT. Gramedia.

Ndraha, T. 2005. Teori budaya organisasi. Jakarta, Rineka Cipta.

Robbins, S. P. & Judge, T. A. 2008. Perilaku organisasi. Jakarta: Salemba empat.

Siagian, S. P. 1985. Filsafat administrasi. Jakarta, PT. Gunung Agung.

Sutarno NS. 2004. Manajemen perpustakaan. Jakarta: Samitra media utama.

Sutarno NS. 2006. Perpustakaan dan masyarakat. Jakarta: edisi revisi, Sagung seto.

Terry, G. R. & Rue, L. W. 1992. Dasar-dasar manajemen. Jakarta, PT. Bumi aksara.

Referensi

Dokumen terkait

Bila ditinjau dari daya tampung buangan sampah, lokasi yang akan digunakan untuk TPA sebaiknya lahan tersebut dapat dioperasikan minimum selama 5 tahun. Untuk memenuhi

Pengajuan anggaran ini sudah berdasarkan dengan program kerja dan nominal yang diajukan sudah sesuai dengan hasil perhitungan jumlah data atribut dengan standar biaya

Tujuan dari penelitian ini yaitu untuk mengetahui perbedaan hasil belajar IPA siswa kelas VII SMP Negeri 11 Yogyakarta Tahun Ajaran 2016/2017 antara pembelajaran menggunakan

dengan variabel terikat adalah partisipasi KB Pria. Persepsi adalah anggapan responden tentang peran pria dalam kesehatan reproduksi dan KB pria, sedangkan dukungan

Dalam rangka mewujudkan misi ”Meningkatkan dan mendayagunakan sumberdaya kesehatan”, maka ditetapkan kebijakan : Penyediaan tenaga kesehatan di rumah sakit, balai

Namun dengan adanya zat besi, aktivitas anti-bakteri dari oksitetrasiklin baik tanpa maupun dengan adanya protein telur yang tidak dipanaskan menurun nyata,.. bahkan dengan pemanasan

Pokja ULP Barang/Jasa Pemerintah Program Peningkatan Sarana dan Prasarana Aparatur BPN pada Badan Pertanahan Nasional Kabupaten Gowa akan melaksanakan Pelelangan Sederhana

grade 1 students before and after they are taught vocabulary using video songs. The