Konsistensi Kearifan Lokal di Desa Wisata
“
Sunda Buhun
”
(Studi Interaksi Simbolik Tokoh Adat di Desa Wisata
Cireundeu-Cimahi-Jawa Barat dalam Melestarikan
Budaya “
Sunda Buhun
” )
Ani Yuningsih
Fakultas Ilmu Komunikasi, Universitas Islam Bandung yuningsihani@yahoo.com
Pendahuluan
Pertama kali menginjakkan kaki di Desa Cireundeu, daerah Leuwi Gajah, Cimahi, Jawa Barat, tahun 2012, sudah terasa adanya keunikan yang khas, karena tidak sama dengan desa-desa lain yang ada di Jawa Barat, yang sudah terkena sentuhan modernisasi. Di pintu gerbang desa ini berseliweran para pemuda desa yang menggunakan baju pangsi hitam dan ikat kepala batik berwarna cokelat. Desa Cireundeu merupakan salah satu desa wisata yang terpilih oleh Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, untuk dijadikan desa binaan yang memiliki potensi besar untuk berkembang dan menjadi pusat pengembangan budaya Sunda Buhun serta kearifan lokal Sunda lainnya yang sudah hampir punah.
Pinisepuh dan tokoh-tokoh adat di Desa Cireundeu memiliki komitmen yang kuat untuk secara konsisten mempertahankan penerapan kearifan lokal yang merujuk pada adat Tatali Karuhun
budaya Sunda Buhun. Tidaklah mengherankan, dengan konsistensinya tersebut, Desa Cireundeu terpilih menjadi desa yang mendapat bantuan pemberdayaan desa wisata melalui program PNPM Pariwisata pada tahun 2012. Warga Desa wisata Cireundeu sendiri, berpartisipasi aktif dan berupaya keras mempertahankan nilai-nilai budaya Sunda Buhun
dan segala variannya yang berasal dari bahan dasar pohon singkong, yang dikembangkan secara kreatif oleh ibu-ibu warga masyarakat Desa Cireundeu sendiri.
Penelitian ini dilakukan dengan tujuan mengetahui pola komunikasi dalam proses interaksi simbolik yang dilakukan tokoh adat setempat dalam membangun dan mempertahankan nilai budaya serta kearifan lokal Sunda Buhun, kemudian peneliti juga ingin mengetahui makna dan konsistensi nilai “makan singkong” di kalangan warga masyarakat Desa Cireundeu, serta ingin mengetahui motif warga desa dalam membangun citra desa wisatanya, melalui pelestarian budaya
Sunda Buhun.
Penelitian ini penting untuk dilakukan, mengingat setiap potensi wisata yang baik di wilayah Indonesia perlu dipertahankan dan diberdayakan seoptimal mungkin. Program pemberdayaan yang tepat akan dapat diperoleh dan diterapkan dengan baik, jika pemerintah dan pihak berkepentingan lainnya memahami pola komunikasi dan pola pemikiran masyarakat di desa yang bersangkutan. Program pemberdayaan desa wisata juga perlu dikaji, agar mampu mengembangkan nilai-nilai kearifan lokal budaya setempat sehingga memiliki “nilai jual” pariwisata, tanpa merusak konsistensi dan kekuatan makna nilai itu sendiri. Pendekatan yang tepat dan bijaksana, pada gilirannya akan menjadikan desa-desa wisata di Indonesia berkembang dengan baik, cadangan devisa negara naik, dan sekaligus tingkat kesejahteraan warga desanya meningkat. Pendekatan dan pemahaman akan pola interaksi simbolik yang tepat, akan melahirkan model pemberdayaan yang tepat untuk mempertahankan citra desa wisata yang berbudaya luhur, mengacu pada nilai-nilai kearifan lokal setempat secara konsisten dan bersahaja.
Kajian Teori
Teori Interaksi Simbolik
kebutuhan setiap individu dan kelompok untuk berinteraksi dengan sesamanya. Proses interaksi antar individu, diawali suatu tindakan atau perbuatan yang diawali dengan pemikiran, yang diekspresikan melalui simbol-simbol. Terbentuknya simbol diawali dari kebutuhan masyarakat, untuk membangun tindakan sosial secara kolektif. Sementara itu, menurut Blumer (1969), teori interaksi simbolik disebut juga sebagai teori sosiologi interpretatif. Pokok pikiran interaksi simbolik ada 3 (tiga), yakni: Bahwa manusia bertindak (act) terhadap sesuatu (thing) atas dasar makna (meaning). Pokok-pokok pendekatan interaksi simbolik yang diungkapkan pada konsep Blummer adalah “….masyarakat terdiri dari individu-individu yang memiliki kedirian mereka sendiri (yakni membuat indikasi untuk diri mereka sendiri), tindakan individu itu merupakan suatu konstruksi dan bukan sesuatu yang lepas begitu saja, yakni keberadaannya dibangun oleh individu melalui catatan dan penafsiran situasi dimana dia bertindak, sehingga kelompok atau tindakan kolektif itu terdiri dari beberapa susunan tindakan individu yang disebabkan oleh penafsiran individu/ pertimbangan individu terhadap setiap tindakan yang lainnya” (Zetlin, 1995:332).
Teori Konstruksi Citra
Pembentukan citra yang positif oleh organisasi atau kelompk sosial tertentu, jika dilakukan secara kontinyu dan konsisten, akan memberikan kepercayaan kepada khalayak. Terbentuknya kepercayaan publik terhadap sebuah lembaga, termasuk dalam hal ini terhadap desa Cireundeu, dapat meningkatkan proibilitas dan eksistensi desa Cireundeu sebagai desa wisata yang unik dan dikenal baik terutama karena seni dan budaya serta kreatiitas kulinernya yang berbasis kearifan lokal Sunda Buhun. Tujuan dari pembentukan citra, umumnya adalah untuk menghindari kesalahpahaman, mengevaluasi berbagai aktivitas dan program, dan meningkatkan daya tarik khalayak atau publik.
Gambar 1. Proses Terbentuknya Citra Perusahaan
Sumber : Hawkins (2000)
Menurut Jose M. Pina (2004:8), aspek-aspek yang mempengaruhi pembentukan citra perusahaan adalah:
1. Reputation, merupakan pendapat atau pandangan umum terhadap suatu organisasi atau perusahaan.
2. Credibility, merupakan penilai atau sikap percaya terhadap perusahaan.
3. Service quality, merupakan penilaian atau sikap global berkenaan dengan superioritas suatu jasa.
4. Extension quality, adalah kualitas yang diterima oleh konsumen setelah perusahaan melakasanakan perluasan.
5. Fit, merupakan peluang untuk menggunakan secara bersama-sama pelayanan yang telah ada dengan pelayanan setelah perusahaan melaksanakan perluasan.
Shirley Harisson (2005:256) berpendapat juga bahwa dalam pembentukan citra yang pengaruhi oleh persepsi seseorang, maka ada 3 (tiga) hal penting yang menjadikan penentunya, yaitu:
1. Cognitive/Kognitif, merupakan bentuk tanggapan persepsi pernyataan tentang satu keyakinan seseorang terhadap suatu objek. Tujuannya adalah untuk menanamkan suatu pengetahuan ke dalam benak seseorang.
2. Afective/Afektif, merupakan bentuk tanggapan emosional mengenai pernyataan tentang suka atau tidak suka terhadap suatu objek. Tujuannya adalah untuk mempengaruhi atau merubah
attitude seseorang.
Makna dalam Komunikasi
Makna berasal dari interaksi sosial seseorang dengan sesamanya; Makna bukan hanya arti, tetapi lebih berupa penafsiran yang bersifat interpretif. Proses terbentuknya makna dimulai dari adanya pesan dan tindakan komunikasi, ketika seseorang menghadapi sesuatu yang dijumpainya. Blumer mengatakan, bahwa makna yang muncul dari interaksi tersebut tidak begitu saja diterima seseorang, kecuali setelah individu itu menafsirkannya terlebih dahulu.
Weber, seorang sosiolog yang berusaha memahami tindakan-tindakan sosial dan menguraikannya dengan menerangkan sebab-sebab tindakan tersebut. Menurutnya, inti dari sosiologi adalah arti yang nyata dari tindakan perseorangan yang timbul dari alasan–alasan subyektif. Itulah yang kemudian menjadi pokok penyelidikan Max Weber dan disebutnya sebagai Verstehende Sociologie.Verstehen merupakan kata dari bahasa Jerman yang berarti pemahaman. Dalam hal ini verstehen adalah suatu metode pendekatan yang berusaha mengerti dan memahami makna yang mendasari dan mengitari peristiwa atau fenomena sosial dan historis. Pendekatan ini bertolak pada gagasan bahwa tiap situasi sosial didukung oleh jaringan makna yang dibuat oleh para aktor yang terlibat di dalamnya (Weber, 2006). Anggota masyarakat sebagai aktor, selalu memberikan makna atas berbagai peristiwa atau fenomena sosial dan historis dimana dia hidup dan berinteraksi secara berkesinambungan. Makna suatu nilai kearifan lokal dan makna suatu nilai budaya, terbangun atas dasar kehendak para aktor, dalam hal ini tokoh adat atau wewengku adat di desa Cireundeu, yang melahirkan makna yang terpateri di benak para aktor, lalu dikemas dalam bentuk simbol-simbol budaya dan dikomunikasikan dari generasi ke generasi, sehingga muncullah konsistensi penerapan atas nilai budaya tertentu, dan lalu diperkuat dengan norma adat Tatali Karuhun.
Teori Pemberdayaan Masyarakat
1. Menciptakan suasana atau iklim yang memungkinkan potensi masyarakat untuk berkembang. Kondisi ini berdasarkan asumsi bahwa setiap individu dan masyarakat memiliki potensi yang dapat dikembangkan. Hakikat dari kemandirian dan keberdayaan rakyat adalah keyakinan dan potensi kemandirian tiap individu perlu untuk diberdayakan. Proses pemberdayaan masyarakat berakar kuat pada proses kemandirian tiap individu, yang kemungkinan meluas ke keluarga, serta kelompok masyarakat baik ditingkat lokal maupun nasional.
2. Memperkuat potensi atau daya yang dimiliki oleh masyarakat dengan menerapkan langkah-langkah nyata, menampung berbagai masukan, menyediakan prasarana dan sasaran yang baik isik (irigasi, jalan, dan listrik). Maupun sosial (sekolah dan fasilitas pelayanan kesehatan) yang dapat diakses oleh masyarakat lapisan paling bawah. Terbentuknya akses pada berbagai peluang akan membuat rakyat makin berdaya, seperti tersedianya lembaga-lembaga pendanaan, pelatihan, dan pemasaran. Dalam upaya pemberdayaan masyarakat ini yang penting antara lain adalah peningkatan mutu dan perbaikan sarana pendidikan dan kesehatan, serta akses pada sumber-sumber kemajuan ekonomi seperti modal, teknologi, informasi, lapangan kerja, dan pasar.
3. Memberdayakan masyarakat dalam arti melindungi dan membela kepentingan masyarakat yang lemah. Dalam proses pemberdayaan harus dicegah jangan sampai yang lemah bertambah lemah atau mungkin terpinggirkan dalam menghadapi yang kuat oleh karena itu, perlindungan dan pemihakan kepada yang lemah amat mendasar sifatnya dalam konsep pemberdayaan masyarakat. Melindungi dan membela harus dilihat sebagai upaya untuk mencegah terjadinya persaingan yang tidak seimbang dan eksploitasi atas yang lemah.
Menurut Adisasmita (2006:35)” Pemberdayaan masyarakat adalah upaya pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya masyarakat pedesaan yang lebih efektif dan efesien, seperti:
1. Aspek masukan atau input. Seperti Sumber Daya Manusia (SDM), dana, peralatan atau sarana, data, rencana, teknologi.
2. Aspek proses. Seperti pelaksanaan, monitoring dan pengawasan. 3. Aspek keluaran dan out put. Seperti pencapaian sasaran, efektivitas
Menurut Sumaryadi (2010) pemberdayaan masyarakat adalah “upaya mempersiapkan masyarakat seiring dengan langkah upaya memperkuat kelembagaan masyarakat agar mereka mampu mewujudkan kemajuan, kemandirian, dan kesejahteraan dalam suasana keadilan sosial yang berkelanjutan”.
Komunikasi Pariwisata
Pengertian Pariwisata adalah perpindahan orang untuk sementara dan dalam jangka waktu pendek ke tujuan- tujuan diluar tempat dimana mereka biasanya hlidup dan bekerja dan kegiatan-kegiatan mereka selama tinggal di tempat-tempat tujuan itu. Komunikasi pariwisata adalah suatu aktivitas manusia dalam menyampaikan informasi tentang perjalanan kesuatu daerah maupun objek wisata yang akan di kunjungi wisatawan sambil menikmati perjalanan dari suatu objek wisata ke objek wisata lainnya, agar wisatawan tertarik dan sampai pada suatu tindakan untuk mengunjungi.
Industri pariwisata memiliki karakter unik, bahwa sektor pariwisata memberikan efek berantai (multiplier efect) terhadap distribusi pendapatan penduduk di kawasan sekitar pariwisata, elastis terhadap krisis nasional yang terjadi dalam arti tidak terlalu terpengaruh oleh krisis keuangan dalam negeri, ramah lingkungan, serta kenyataan bahwa industri pariwisata merupakan industri yang hampir tanpa konlik.
Desa Wisata
Menurut Wiendu (1993), desa wisata merupakan suatu bentuk integrasi antara atraksi, akomodasi dan fasilitas pendukung yang disajikan dalam suatu struktur kehidupan masyarakat yang menyatu dengan tata cara dan tradisi yang berlaku. Desa wisata biasanya memiliki kecenderungan kawasan pedesaan yang memiliki kekhasan dan daya tarik sebagai tujuan wisata.
Tipe Desa Wisata
Menurut pola, proses, dan tipe pengelolanya desa atau kampung wisata terbagi dalam dua bentuk yaitu tipe terstruktur dan tipe terbuka (Wiendu,1993).
1. Tipe Terstruktur
Tipe terstruktur ditandai dengan karakter sebagai berikut:
a. Lahan terbatas yang dilengkapi dengan infrastruktur yang spesiik untuk kawasan tersebut. Kelebihan tipe ini adalah dalam citra yang ditumbuhkan mampu menembus pasar internasional.
b. Lokasi pada umumnya terpisah dari masyarakat lokal sehingga dampak negatif yang ditimbulkan diharapkan terkontrol dan pencemaran sosial budaya akan terdeteksi sejak dini.
c. Lahan tidak terlalu besar dan masih dalam tingkat kemampuan perencanaan yang integratif dan terkoordinir sehinga diharapkan menjadi agen untuk mendapatkan dana internasional sebagai unsur utama menangkap jasa dari hotel-hotel berbintang.
2. Tipe Terbuka
Tipe ini ditandai dengan karakter tumbuh dan menyatunya kawasan dengan struktur kehidupan, baik ruang maupun pola masyarakat lokal. Distribusi pendapatan yan didapat dari wisatawan dapat langsung dinikmati oleh penduduk lokal, akan tetapi dampak negatifnya cepat menjalar menjadi satu ke dalam penduduk lokal sehingga sulit dikendalikan.
Syarat Untuk Menjadi Desa Wisata
1. Faktor kelangkaan adalah sifat dari atraksi wisata yang tidak bias dijumpai atau langka di tempat lain.
2. Faktor kealamiahan adalah sifat atraksi wisata yang belum pernah mengalami perubahan akibat campur tangan manusia.
3. Keunikan, yakni sifat atraksi wisata yang memiliki keunggulan komparatif disbanding objek wisata lain.
4. Faktor pemberdayaan masyarakat yang mampu menghimbau agar masyarakat ikut serta dan diberdayakan dalam pengelolaan objek wisata di daerahnya.
Desa wisata dilihat sebagai bentuk industri pariwisata yang berupa kegiatan mengaktualisasikan perjalanan wisata identik meliputi sejumlah kegiatan yang bersifat menghimbau, merayu, mendorong wisatawan sebagai konsumen agar menggunakan produk dari desa wisata tersebut atau mengadakan perjalanan wisata ke desa wisata tersebut atau disebut pemasaran desa wisata. Komponen produk pariwisata itu sendiri terdiri atas angkutan wisata, atraksi wisata, dan akomodasi pariwisata (Soekadijo, 2000).
Metode Penelitian
Hasil Penelitian dan Pembahasan
Analisis dan interpretasi hasil penelitian, menunjukkan adanya beberapa temuan penting: pertama, terdapat proses interaksional simbolik yang unik antara para tokoh adat, antara tokoh adat dengan warga masyarakat, serta antar warga masyarakat dalam membangun nilai budaya dan kearifan lokal Sunda Buhun di Desa wisata Cireundeu. Dengan model sederhana, proses interaksi simbolik tersebut memberikan gambara pola komunikasi sebagai berikut:
Gambar 2. Pola Interaksi Simbolik Tokoh/Wewengku Adat
Sumber: Hasil Penelitian (2017)
ada. Semua kelompok mendapat kesempatan untuk menyampaikan usulan program kegiatannya secara terbuka, dibahas secara terbuka, dan diputuskan bersama untuk dituangkan ke dalam program kerja desa. Sehingga program terintegrasi dengan baik. Setiap pengelolaan program diketuai pleh koordinator atau lulugu yang dipercaya dan dipilih oleh warga desa.
Prinsip khas lainnya dalam pola komunikasi di desa Cireundeu, adalah semua bekerja saling membantu, bekerja simultan antar bagian. Secara kelembagaan yang aktif adalah sebanyak 50 orang. Proses kaderisasi berjalan baik, setiap malam minggu “nonoman” atau kawula muda berkumpul dikasih arahan atau didampingi oleh sesepuh (tokoh adat) dan lulugu (koordinator).yang lebih senior (wawancara dengan Asep, tokoh adat, 2016)
Karakteristik sosial budaya yang menonjol pada pola interaksional simbolis di kalangan tokoh adat dengan warganya adalah merujuk pada nilai-nilai kearifan lokal, seperti gotong royong, kolektiitas atau kebersamaan yang kuat, dan rasa cinta akan adat tatali karuhun (nilai-nilai kearifan lokal).
Temuan kedua, adalah adanya kekuatan dan konsistensi nilai budaya dan kearifan lokal “makan singkong” dengan segala variannya dari pohon singkong, di kalangan warga desa wisata Cireundeu. Berikut ini adalah model gambaran ringkas konsistensi nilai budaya “makan singkong” yang dilestarikan dan dibanggakan oleh warga desa wisata Cireundeu.
singkong, malah mendongkrak nama baik desa, dan meningkatkan nilai wisata yang dimilikinya, karena warga desa juga sangat kreatif membuat makanan olahan dari bahan dasar singkong.
Gambar 3. Konsistensi dan Makna Budaya “Makan Singkong”
Sumber: Hasil Penelitian (2017)
Kreativitas yang berakar dari konsistensi kearifan lokal “makan singkong” ini menjadikan desa cukup sejahtera karena mempunyai sumber penghasilan melalui pengembangan keterampilan pengolahan dan produksi makanan dengan bahan dasar singkong. Keuntungan atau nilai tambah lain dari konsistensi budaya makan singkong ini, membuat desa memiliki produksi rumahan yang khas dan laku di pasaran, yaitu produk makanan pokok dan berbagai jenis makanan pendukung, yaitu
eggroll (semprong), rangining, ranginang, awug, dendeng, kerupuk dll, yang semuanya berbahan dasar singkong. Ibu-ibu desa dan menjadi sejahtera yang terlibat dan terikat budaya kuliner “singkong” sudah mencapai 70 KK. Dengan disponsori oleh pemeritah setempat, ibu-ibu tokoh LKM kuliner singkong ini juga menyelenggarakan pelatihan keterampilan kuliner singkong olahan kepada para wisatawan, dan pembelajar dari daerah sekitar dan dari daerah lain di luar Jawa, yang tertarik kepada hal yang sama.
Temuan ketiga, adalah adanya gambaran motif warga Desa Cireundeu dalam mempertahankan dan membangun citra desa wisata
Cireundeu dalam melestarikan nilai kearifan lokal dan budaya Sunda Buhun, terdiri atas tiga jenis motif sebagai berikut:
Gambar 3. Motif Melestarikan Budaya Sunda Buhun Di Kalangan Warga Desa
Sumber: Hasil Penelitian (2017)
Motif penyebab adalah motif awal yang menjadikan warga desa mempertahankan nilai budaya Sunda Buhun, yaitu adanya kecintaan dan ikatan budaya yang kuat, adanya kepatuhan terhadap orang tua dan adat
tatali karuhun, sehingga merasa bersalah atau pamali jika dilanggar. Serta kondisi alam yang mendukung. Sedangkan motif pendorong, adalah motif yang datang kemudian, yaitu kesadaran bahwa keunikan adat budaya mereka ternyata dapat menjadi sumber penghasilan, karena termasuk kategori ekonomi kreatif, diantaranya sering mendapat undangan manggung seni budaya degung; kacapi suling; gondang; karinding; calung; angklung buncis; pencak silat, dan dekorasi event ala Sunda Buhun, di berbagai event di Bandung dan Jawa Barat. Di bidang kuliner, warga desa sering mendapat pesanan makanan olahan berbahan dasar singkong, sehingga kesejahteraan keluarga meningkat.
Penutup (Simpulan dan Saran)
Simpulan yang dapat diterik berdasarkan hasil penelitian adalah: pertama, Pola interaksi Interaksi Simbolik dalam Membangun Nilai Budaya dan Kearifan Lokal di desa Cireundeu, dilakukan secara unik dengan menggunakan simbol-simbol yang khas dan asli berasal dari budaya Sunda Buhun. Proses komunikasi dan interaksi yang berlangsung bersifat demokratis, terbuka dan timbal balik, dengan dilandasi sikap jujur dan saling menghargai.
Kedua, terdapat kekuatan dan konsistensi nilai budaya dan kearifan lokal “makan singkong” yang dipertahankan di kalangan warga desa wisata Cireundeu. Makna yang dimiliki dari budaya makan singkong adalah citra desa wisata yang unik dan khas, tujuan ekonomis juga tercapai secara kreatif melalui wisata kuliner. Kekuatan dan konsistensi budaya makan singkong juga merupakan salah satu media untuk sosialisasi dan pelestarian budaya di kalangan warga desa Cireundeu, yang secara bertahap menyebar ke desa-desa lain yang memiliki karakter sumber daya alam yang hampir sama di Indonesia.
Ketiga, motif warga Desa Cireundeu dalam melestarikan budaya
Sunda Buhun, terdiri atas 3 (tiga) kategori motif, yaitu motif penyebab, berupa keterikatan pada adat tatali karuhun, motif pendorong, berupa terbentuknya citra desa wisata kreatif yang memberika kesejahteraan bagi warga desa, serta motif komprehensif, yaitu kebutuhan untuk meningkatkan kompetensi diri.
Datar Pustaka
Adisasmita, Rahardjo. (2006). Pembangunan Pedesaan dan Perkotaan. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Blumer, Herbert. (1969). Symbolic Interactionism: Perspectif and Method. New Jersey: Harper and Row.
Harrison, Shirley. (2005). Marketers Guide To Public Relations. New York: John. Willwy And Sons, Inc.
Hawkins, et al. (2000). Consumer Behaviour Building Marketing Strategy. Mc Graw Hill.
Kartasasmita, Ginanjar. (1996). Pemberdayaan Masyarakat: Konsep Pembangunan yang berakar pada Masyarakat. Jakarta: Bappenas.
Nuryanti, Wiendu (1993). Concept, Perspective and Challenges, Konferensi Internasional mengenai Pariwisata Budaya. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Pina. Jose M. (2004). Modelling he Impact of Services Brand Extensions on Corporate Image. Journal of Marketing.
Prakoso, Aditha Agung. (2008). Pengembangan Desa Wisata Melalui Pendekatan Rute Wisata Kasus : Desa Wisata Srowolan, Sleman, DIY. Yogyakarta: UGM.
Soekadijo. (2000). Anatomi Pariwisata. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Sumaryadi, I Nyoman. (2010). Sosiologi Pemerintahan dari Perspektif Pelayanan, Pemberdayaan, Interaksi, dan Sistem Kepemimpinan Pemerintahan Indonesia. Bogor: Ghalia Indonesia.
Weber, Max. (2006). Sosiologi. Jogjakarta: Pustaka Pelajar.
Widjaja, HAW. (2003). Otonomi Desa Merupakan Otonomi yang Asli, Bulat dan Utuh. Jakarta: PT Raja Graindo Persada.