PENERAPAN PENDEKATAN KONSTRUKTIVISTIK MODEL
COOPERATIVE LEARNING UNTUK MENINGKATKAN INTERAKSI SOSIAL SISWA KELAS VII SMPN 18 MALANG (SEKOLAH INKLUSI)
Novia Damayanti Universitas Negeri Malang
nononovia1@gmail.com 085755166155
Abstrak
Sekolah inklusi adalah sekolah regular yang menerima anak berkebutuhan khusus untuk mengikuti kegiatan pembelajaran bersama-sama dengan siswa regular. Sekolah inklusi juga memberikan kesempatan bagi siswa berkebutuhan khusus dalam mengembangkan potensi melalui interaksi sosial dengan teman sebaya yang tidak mengalami hambatan. Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan terhadap kelas VII A di SMPN 18 Malang, tingkat interaksi sosial siswa yang satu dengan yang lain masih rendah. Hal ini terbukti dengan pengaturan tempat duduk yang terpisah antara laki dan perempuan grup di dalam kelas. Selain itu terisolirnya 1 siswa ABK semakin mempertegas bahwa kesenjangan kemampuan masih terjadi. Dengan demikian proses belajar mengajar diharapkan tidak lagi berpusat pada pendidik (teacher centered) tetapi berpusat pada siswa (student centered). Bagi anak yang menyandang cacat fisik dan atau mental mereka juga diberikan kesempatan yang sama untuk memperoleh pendidikan baik pendidikan biasa maupun luar biasa.Tujuan dilakukan penelitian ini adalah untuk menerapkan pendekatan konstruktivistik model cooperative learning. untuk meningkatkan interaksi sosial siswa dan poembenahan strategi bimbingan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pendekatan konstruktivistik model cooperative learning dapat meningkatkan interaksi sosial siswa. Saran yang perlu dipertimbangkan bagi konselor adalah ketika menerapkan model seyogyanya mempertimbangkan hal-hal seperti: kesiapan konselor, kesiapan siswa, ketersediaan waktu untuk diskusi serta memberikan pengalaman belajar yang bervariasi untuk memilih media dan metode.
Kata kunci: cooperative learning, interaksi sosial, sekolah inklusi
PENDAHULUAN
Pendekatan konstruktivistik dalam belajar dan pembelajaran berlandaskan pada perpaduan antara beberapa penelitian dalam psikologi kognitif dan psikologi sosial yang dikembangkan oleh Jean Piaget dan
Vygotsky. Teori Jean Piaget dan Vygotsky (Santrock, 2008) dikenal dengan nama “Piaget Konstruktivism
Kognitif” dan “Vygotsky
menemukan atau menerapkan sendiri gagasan-gagasan dan mengajarkan siswa untuk mengetahui dengan sadar menggunakan strategi mereka sendiri untuk belajar. Dengan demikian, Slavin menegaskan konstruktivistik adalah siswa belajar menemukan dan mengubah informasi baru dengan cara menemukan makna informasi pada diri mereka sendiri.
Pendapat Slavin selaras dengan Isjoni (2010) yang mendefinisikan konstruktivistik sebagai satu pandangan bahwa siswa membina sendiri pengetahuan atau konsep secara aktif berdasarkan pengetahuan dan pengalaman yang ada. Dalam proses belajar dan pembelajaran siswa dituntut aktif “membangun” pengetahuan, keterampilan dan informasi dengan cara melakukan penyesuaian pengetahuan yang diterima dengan pengetahuan yang ada untuk membina pengetahuan baru.
Sekolah inklusi adalah sekolah regular yang menerima anak berkebutuhan khusus untuk mengikuti kegiatan pembelajaran bersama-sama dengan siswa regular. Sekolah inklusi juga memberikan kesempatan bagi siswa berkebutuhan khusus dalam mengembangkan potensi melalui interaksi sosial dengan teman sebaya yang tidak mengalami hambatan. Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan terhadap kelas VII A di SMPN 18 Malang, tingkat interaksi sosial siswa yang satu dengan yang lain masih rendah. Hal ini terbukti dengan pengaturan tempat duduk yang terpisah antara laki dan perempuan grup di dalam kelas. Selain itu terisolirnya 1 siswa ABK semakin mempertegas bahwa kesenjangan kemampuan masih terjadi. Dengan demikian proses belajar mengajar diharapkan tidak lagi berpusat pada pendidik (teacher centered) tetapi berpusat pada siswa (student centered). Bagi anak yang menyandang cacat fisik dan atau mental mereka juga diberikan kesempatan yang sama untuk memperoleh pendidikan baik pendidikan biasa maupun luar biasa.
Pendidikan inklusi sebagai terobosan baru penyelenggara pendidikan yang berupaya menghapus batas bahwa sekolah tidak saja diperuntukkan khusus bagi anak regular dan anak cacat, tetapi juga anak dari kalangan mampu dan tidak mampu dan berbagai perbedaan lainnya. Mereka (ABK) dapat bersekolah dan mendapatkan ijazah layaknya anak normal. Dalam hal ini yang termasuk anak berkebutuhan khusus diantaranya tunanetra, tunarungu, tunagrahita, tunadaksa, anak berbakat, autis maupun anak-anak yang memiliki gangguan emosi.
Berdasarkan hasil wawancara dengan konselor kelas VII A SMPN 18 Malang mengatakan bahwa beban untuk menangani anak regular dengan dengan perbandingan 1:150 sudah berat apalagi jika harus menangani ABK, menangani satu ABK sama halnya dengan seppuluh anak regular, untuk itu konselor bekerjasama dengan GPK dalam menangani ABK. Selain itu, konselor bertugas untuk memberikan orientasi pada anak-anak regular mengenai karakteristik, peran dan tugas ABK sebagai teman belajar mereka di sekolah.
Merujuk pada sejarah BK sejak tahun 1975 dan Permen Diknas No. 20 tahun 2006 tentang standar isi semakin mempertegas bahwa program bimbingan dan konseling (BK) merupakan bagian yang terintegrasi dengan program sekolah, begitu juga dengan program pendidikan inklusi. Integrasi antara program BK dengan program sekolah berwujud tujuan operasional yang menyatakan bahwa pendidikan untuk mengembangkan potensi siswa sesuai dengan tugas perkembangannya.
sebagai sumber daya pendidik dalam memberikan layanan bimbingan antara anak normal dan abnormal, sedangkan GPK berperan sebagai fasilitator anak dengan guru dan atau konselor dalam pemberian bimbingan, dan orang tua sebagai mitra pendidikan dalam kegiatan layanan bimbingan dan konseling maupun kegiatan sekolah. Oleh sebab itu, harapan yang dicapai sesuai dengan sasaran tujuan system pendidikan nasional yaitu mengembangkan potensi siswa.
Tujuan dilakukan penelitian ini adalah untuk menerapkan pendekatan konstruktivistik model cooperative learning untuk meningkatkan interaksi sosial siswa dan pembenahan strategi bimbingan. Pendidikan Inklusi sebagai jembatan terhadap jarak yang terjadi antara anak normal dengan cacat/anak berkebutuhan khusus (ABK), memberikan kesempatan bagi ABK untuk mengikuti kegiatan sekolah bersama anak normal lainnya.
METODE
Penelitian yang dilaksanakan ini adalah penelitian tindakan kelas (PTK), salah satu jenis rancangan penelitian kualitatif di bidang pendidikan. Rancangan penelitian kualitatif berlandaskan pada filsafat postpositivisme. Filsafat pospositivisme sebagai latar belakang filosofis yang memandang bahwa penelitian dilakukan oada kondisi objek yang alamiah, dimana penaliti adlah sebagai instrument kunci, teknik pengumpulan data dilakukan secara triangulasi, analisis data bersifat induktif/kualitatif, dan hasil penelitian kualitatif lebih menekankan makna daripada generalisasi (Sugiyono 2006: 9).
Desain PTK yang dilakukan mengacu pada model Kemmis dan McTaggart (dalam Herawati, Husnul & Yuyun, 2009) yang terdiri atas empat komponen yaitu perencanaan, tindakan, obervasi dan refleksi. PTK dengan
menerapkan pendekatan
konstruktivistik model cooperative learning terdiri dari dua siklus,
masing-masing siklus terdiri dari: rencana tindakan, pelaksanaan tindakan, observasi dan refleksi.
Subyek penelitian adalah seluruh siswa kelas VII A di SMPN 18 Malang yang berjumlah 41 siswa (terdiri dari 20 siswa laki-laki dan 21 siswa perempuan, serta 2 diantaranya adalah siswa ABK). Jenis kebutuhan khusus untuk siswa BK untuk siswa laki-laki adalah gangguan emosi, sedangkan untuk siswa perempuan adalah autis. Data penelitian meliputi : 1) hasil observasi pada refleksi awal, 2) hasil observasi interaksi sosial siswa selama pemberian tindakan, 3) hasil observasi ketepatan tindakan konselor selama observasi, dan 4) hasil wawancara pratindakan dan pasca tindakan.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil analisis dan refleksi tindakan pada siklus I dan siklus II menunjukkan bahwa terjadi peningkatan interaksi sosial siswa dengan penerapan pendekatan konstruktivistik model cooperative learning. Hal ini terlihat dari temuan penelitian berupa data peningkatan interaksi sosial siswa dari siklus I dan siklus II. Perbandingan interaksi sosial siswa siklus I dan siklus II dapat dilihat pada tabel 1.1 berikut:
Tabel 1.1 perbandingan interaksi sosial siswa siklus I dan siklus II
Aspek interaksi
sosial SiklusI (%) I I (%)Siklus Peningkatan (%)
Adanya kerjasama
7 0
7 6
6
Adanya
persaingan 7 25 18 Adanya
pertentanga n
1
7 21 4
Adanya
penyesuaian 41 57 16 Adanya
Peningkatan tersebut terlihat dari aspek situasi interaksi sosial yang diobservasi, yakni: 1) adanya kerjasama, peningkatan presentase sebesar 6%, 2) adanya persaingan, peningkatan persentase sebesar 18%, 3) adanya pertentangan, peningkatan persentase sebesar 4%, 4) adanya persesuaian peningkatan, persentase sebesar 17% dan 5) adanya perpaduan, peningkatan persentase sebesar 12%. Untuk ketepatan tindakan konselor dengan menerapkan pendekatan konstruktivistik model cooperative learning terdiri dari empat tahapan, yaitu eksplorasi, eksplanasi, ekspansi dan evaluasi juga mengalami peningkatan dari tindakan siklus I dan siklus II.
Perbandingan ketepatan tindakan konselor siklus I dan siklus II dapat dilihat pada tabel 1.2 berikut:
Table 1.2 Perbandingan ketepatan tindakan konselor siklus I dan siklus II
Tahap tindakan Siklus
I (%)
Siklus I I (%)
Pening katan
(%)
Kegiatan
awal 67 67
-Kegiatan inti 1. Tahap eksplorasi 2. Tahap eksplanasi 3. Tahap ekspansi
7 5 1 0 0 6 0 1 0 0 1 0 0 8 0 2 5 -2 0 Kegiatan akhir/ tahap
evaluasi 50 75 25
Tindakan konselor dalam menggali pengetahuan awal siswa pada tahap eksplorasi mengalami peningkatan sebesar 25%. Tindakan konselor pada tahap eksplanasi menunjukkan tingkat keberhasilan 100% pada siklus I dan siklus II, sedangkan pada tahap ekspansi mengalami peningkatan sebesar 25%. Dengan demikian hasil penelitian
menunjukkan bahwa pendekatan konstruktivistik model cooperative learning dapat meningkatkan interaksi sosial siswa.
KESIMPULAN
Penelitian tindakan kelas (PTK) merupakan rancangan penelitian kualitatif. Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan terhadap kelas VII A di SMPN 18 Malang, tingkat interaksi sosial siswa yang satu dengan yang lainnya masih rendah. Hal ini terbukti dari pengaturan tempat duduk ang homogeny memisahkan antara group laki-laki dan group perempuan dalam kelas. Selainitu terisolirnya dua siswa ABK semakin mempertegas bahwa kesenjangan kemampuan dalam berineraksi sosial masih terjadi.
Focus masalah PTK dalam penelitian ini adalah penerapan pendekatan konstruktivistik model cooperative learning untuk meningkatkan interaksi sosial siswa kelas VII A di pendidikan inklusi SMPN 18 Malang. PTK dengan menerapkan pendekatan konstrukvistik model cooperative learning terdiri dari empat tahapan, yaitu eksplorasi, eksplanasi, ekspansi dan evaluasi. PTK terdiri dari dua siklus, masing-masing siklus terdiri dari rencana tindakan, pelaksanaan tindakan, observasi, dan refleksi. Subjek penelitian adalah seluruh siswa kelas VII A SMPN 18 Malang yang berjumlah 41 siswa.
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilaksanakan, maka diperoleh kesimpulan bahwa dengan diterapkan pendekatan konstruktivistik model cooperative learning terjadi peningkatan interaksi sosial siswa kelas VII A di SMPN 18 Malang.
Berdasarkan kesimpulan yang diperoleh dalam penelitian tindakan kelas dengan menerapkan pendekatan konstruktivistik model cooperative learning, maka diajukan beberapa saran yang perlu dipertimbangkan sebagai berikut: 1) bagi konselor yang tertarik menerapkan model cooperative
learning seyogyanya
ketersediaan waktu untuk berdiskusi, serta memberikan pengalaman belajar yang bervariasi untuk pemilihan metode dan media yang digunakan dan 2) untuk mempermudah siswa dalam mengkonstruksikan pengetahuan, sebaiknya memberikan pengalaman belajar atau penyajian fenomena. DAFTAR PUSTAKA
Isjoni. 2010. Pembelajaran Kooperatif. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Kemmis, S., & McTaggart, R. (1988). The action research planner (3rd ed.). Victoria, Australia: Deakin University Press.
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2006 tentang Standar Isi Pendidikan, Jakarta: Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah.
Santrock, J.W. 2008. Psikologi Pendidikan. Jakarta: Prenada Media Group
Sugiyono, 2006. Statistika Untuk Penelitian Cetakan Ketujuh. Bandung: CV. Alfabeta