• Tidak ada hasil yang ditemukan

Mengharmoniskan Hubungan Syiah dan Sunni

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Mengharmoniskan Hubungan Syiah dan Sunni"

Copied!
206
0
0

Teks penuh

(1)

Dakwah Peka Kultur ala Aipon Asso:

Potret Keberislaman Pegunungan Tengah

Papua

Abu Muslim

Pencarian Otentisitas Diri Komunitas Muallaf

di Kabupaten Sorong Papua Barat

Munawir Haris

Pandangan Pimpinan Gereja tentang

Pengaturan Organisasi Gereja

di Provinsi Jawa Barat

Reslawaty

Penanganan Potensi Konflik Keagamaan

di Cigugur Kabupaten Kuningan

Ahsanul Khalikin

V

o

lu

m

e 1

3,

N

o

m

o

r 3

, S

ep

te

m

b

er

- D

es

em

b

er

2

01

MEMELIHARA TRADISI

MERAJUT KERUKUNAN

Halaman 202

Merawat Tradisi Membangun Harmoni:

Tinjauan Sosiologis Tradisi Haul dan Sedekah

Bumi di Gresik

Mustolehudin

Membagi Dunia: Cara Pengelolaan Modal

Sosial Pura di Denpasar

I Nyoman Yoga Segara

Eksistensi Jemaat Ahmadiyah

di Kelurahan Kenanga Kecamatan Cipondoh

Kota Tangerang

Nuhrison M Nuh

Layanan dan Kerukunan Agama di Perbatasan

Negara: Studi Kasus di Distrik Sota Merauke

Muhammad Murtadlo

Nomor 3

Volume 13

Jakarta

September-Desember 2014

Akreditasi LIPI Nomor : 408/AU2/P2MI-LIPF/04/2012

(2)
(3)

ISSN 1412-663X

HARMONI

Jurnal Multikultural & Multireligius

(4)

HARMONI

Jurnal Multikultural & Multireligius Volume 13, Nomor 2, Mei - Agustus 2014

PEMBINA:

Kepala Badan Litbang & Diklat Kementerian Agama RI PENGARAH:

Sekretaris Badan Litbang & Diklat Kementerian Agama RI PENANGGUNG JAWAB:

Kepala Puslitbang Kehidupan Keagamaan MITRA BESTARI:

1. Jessica Soedirgo (University of Toronto)

2. Abdul Aziz (Badan Litbang dan Diklat Kemenag) 3. Hisanori Kato (Butsuryo College of Osaka)

4. Hery Harjono (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) 5. M. Hisyam (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) 6. Koeswinarno (Balai Litbang Agama Semarang) PEMIMPIN REDAKSI:

Abdul Jamil SEKRETARIS REDAKSI:

Fakhruddin DEWAN REDAKSI:

1. Nuhrison M. Nuh 2. Bashori A. Hakim 3. Ibnu Hasan Muchtar 4. Kustini

5. Haidlor Ali Ahmad 6. Zainuddin Daulay 7. I Nyoman Yoga Segara 8. M. Adlin Sila

SIRKULASI & KEUANGAN:

Lastriyah & Rahmah Nur Fitriani SEKRETARIAT:

Agus Mulyono, Slamet Firdaus, Muchtar & Fathan Kamal REDAKSI & TATA USAHA:

Puslitbang Kehidupan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI, Jl. MH Thamrin No 6 Jakarta Telp. 021-3920425/Fax. 021-3920421

Email : harmonijurnal@gmail.com SETTING & LAYOUT

I Nyoman Suwardika COVER

Mundzir Fadli PENERBIT:

(5)

ISSN 1412-663X

HARMONI

Jurnal Multikultural & Multireligius Volume 13, Nomor 2, Mei - Agustus 2014

Pengantar Redaksi

Pimpinan Redaksi ___5

Dakwah Peka Kultur ala Aipon Asso: Potret Keberislaman Pegunungan Tengah Papua

Abu Muslim___ 7

Merawat Tradisi Membangun Harmoni: Tinjauan Sosiologis Tradisi Haul dan Sedekah Bumi di Gresik

Mustolehudin___22

Pencarian Otentisitas Diri Komunitas Muallaf di Kabupaten Sorong Papua Barat

Munawir Haris___36

“Membagi Dunia“: Cara Pengelolaan Modal Sosial Pura di Denpasar

I Nyoman Yoga Segara___53

Pandangan Pimpinan Gereja tentang Pengaturan Organisasi Gereja di Provinsi Jawa Barat

Reslawaty ___67

Agama Baha’i Problematika Pelayanan Hak-hak Sipil

Kustini & Syaiful Arif ___84

Layanan dan Kerukunan Agama di Perbatasan Negara: Studi Kasus di Distrik Sota Merauke

Muhammad Murtadlo ___99

Eksistensi Jemaat Ahmadiyah di Kelurahan Kenanga Kecamatan Cipondoh Kota Tangerang

Nuhrison M Nuh___113

Mengharmoniskan Hubungan Syiah dan Sunni: Perspektif Ushul Fikih

Ahmad Ali MD___126

(6)

Penanganan Potensi Konlik Keagamaan di Cigugur Kabupaten Kuningan

Ahsanul Khalikin ___138

Isu-isu Kunci Ujaran Kebencian (Hate Speech): Implikasinya terhadap Gerakan Sosial Membangun Toleransi

Mohammad Iqbal Ahnaf & Suhadi ___153

Relasi Agama dan Negara: Telaah Historis dan Perkembangannya

Muhammad Anang Firdaus___165

Telaah Pustaka

Mengelola Konlik Keagamaan

Haris Burhani ___175

Lembar Abstrak ___180 Indeks Penulis ___ 192

Ucapan Terima Kasih ___199

Pedoman Penulisan ___200

HARMONI

Jurnal Multikultural & Multireligius
(7)

5 Pengantar redaksi

P

engantar

r

edaksi

Memelihara Tradisi

Merajut Kerukunan

Dua diksi, yakni tradisi dan kerukunan menjadi gejala social budaya cukup mendasar dalam membangun keragaman di Indonesia. Meski terkesan klasik dan mengulang, tradisi dan kerukunan memang tidak akan pernah habis dikupas. Terutama jika dikaitkan dengan keberagamaan di Indonesia. Mengacu pada Max Weber, Cliford Geertz lelah menawarkan pandangan mengenai kekuatan sosial yang dihadirkan dari seseorang berkharisma, seperti kyai, pendeta, pemimpin adat, pemimpin partai, atau pemimpin-pemimpin formal lainnya. Ide dari orang berkharisma selalu diwujudkan dalam sistem-sistem struktural, yang kemudian disebut sebagai ideologi. Dari kekuatan struktur mempunyai efek sosial pada individu-individu, sehingga seseorang diharuskan memuja, merayakan, mempertahankan dan menjalankan perintah individu yang berkharisma dalam sebuah struktur. Individu masuk ke dalam kekuatan struktur yang terus diperjuangkan, karena diyakini kebenarannya. Geertz menyebutnya sebagai the struggle for real, yakni keyakinan individu bahwa struktur yang dianutya mengandung kebenaran (Geertz, 1972; 322-325).

Geertz meyakini juga bahwa the struggle for real yang sebenarnya justru bukan ada di parlemen atau juga di lembaga presidium, melainkan ada dan ditanam di tengah-tengah struktur masyarakat. Di sinilah kemudian makna

the struggle for real dalam pandangan Geertz terinspirasi dari konsep sosiolog klasik Emile Durkheim, yakni kesadaran kolektif atau collectice consciousness. Sebelumnya, Durkheim melihat bahwa keimanan dan interaksi dalam masyarakat bukanlah hasil dari konstruksi individu, melainkan ia terbentuk dari hasil

kesadaran kolektif yang cukup kuat dalam masyarakat. Kesadaran kolektif yang kuat ini dihasilkan dari fenomena sosial atau gejala yang sifatnya berulang-ulang bahkan telah terjadi sebelum individu dilahirkan. Dengan begitu saja, atau bahkan tanpa perlawanan, individu dibawa pada kekuatan struktur sosial. Individu dipandang sama sekali tidak mempunyai tindakan untuk menginovasi atau merekayasa kekuatan struktur sedikitpun. Kesadaran kolektif menjadi parameter untuk melihat siapa individu yang berbeda dan individu yang melawan dalam masyarakat, sehingga semakin lama, kesadaran kolektif menghasilkan dan membentuk suatu fakta sosial (social fact) (Durkheim, 1938; 55-58).

(8)

Kesimpulan dari fakta sosial dalam pandangan Durkheim, digagas dengan nuansa lain oleh Geertz, yang menyebutnya sebagai consensus gnetium, yakni sebuah kesepakatan antar manusia, di mana ada beberapa hal yang dianggap nyata, benar, menarik dan akhirnya disetujui. Relasi nyata dari konsensus ini adalah lahirnya agama, perkawinan dan komunitas yang menjadi milik bersama dari manusia-manusia yang menyepakatinya (Geertz, 1992; 47-48). Kesepakatan menjadi sebuah mekanisme kontrol yang kemudian dibakukan dalam struktur-struktur yang ada pada masyarakat.

Mengapa ini penting? Ya, karena di sanalah tradisi kemudian dilestarikan, dikembangkan, dan senantiasa menjadi nilai yang diyakini kebenarannya. Ini tentu saja sangat relevan dengan tema HARMONI edisi kali ini, di mana dua hal, tradisi dan kerukunan kemudian menjadi padu dalam satu tatanan tertentu, yakni nilai keindonesiaan. Itu sebabnya, naskah diawali dengan “Dakwah Peka Kultur Ala Aipon Asso”, yang menarasikan tokoh Papua asli memeluk dan menyebarkan Islam melalui nilai lokal. Kemudian, “Merawat Tradisi Membangun Harmoni” yang menyoal sedekah bumi di daerah Gresik sebagai ikon kerukunan. Masih tentang nilai dan tradisi, tema “Pencarian Otentisitasdiri Komunitas Muallaf di Kabupaten Sorong Papua Barat” menjadi bukti bagaimana nilai lokal mampu menjawab persoalan-persoalan keagamaan. Dunia rumah ibadah yakni “Membagi Dunia: Cara Pengelolaan Modal Sosial Pura di Denpasar” dan

“Pandangan Pimpinan Gereja tentang Pengaturan Organisasi Gereja di Provinsi Jawa Barat”, merupakan dinamika lain dari khasanah peradaban Hindu Bali dan konigurasi persoalan kekristenan di Indonesia. Keduanya menjadi cermin kehidupan beragama yang beragam dalam sebuah institusi lokal.

Di bagian lain, persoalan pelayanan keagamaan, tercermin dalam naskah “Agama Baha’i dan Problematika Pelayanan Hak-Hak Sipil dan Layanan”; “Layanan dan Kerukunan Agama di Perbatasan Negara”; “Eksistensi Jemaat Ahmadiyah di Kelurahan Kenanga, Kecamatan Cipondoh, Kota Tangerang”, serta “Mengharmoniskan Hubungan Syiah dan Sunni: Perspektif Ishul Fikih”. Bagaimanapun kehadiran negara menjadi penting, bahkan nyaris tak terhindarkan ketika warga negara sebagai umat beragama menghadapi persoalan. Inilah yang kemudian disajikan dalam makalah “Penanganan Potensi Konlik Keagamaan di Cigugur, Kabupaaten Kuningan”. Dua makalah terakhir, yang menjadi kunci penutup sekaligus menegaskan betapa merajut kerukunan menjadi penting adalah “Isu-Isu Kunci Ujaran Kebencian (Hate Speech): Implikasi terhadap Gerakan Sosial MembangunToleransi” dan “Relasi Agama dan Negara: Telaah Historis dan Perkembanagnnya”.

Serangkaian naskah tersebut sekaligus menjadi bukti analisis Geertz yang diilhami oleh Durkheim dengan

collectice consciousness, tersusun dalaam seperangkat gagasan tentang tradisi dan kerukunan. Selamat membaca.

Daftar Pustaka

Durkheim, Emile. The Rules of Sociological Method. The Free Press, 1938.

Geertz, Cliford. “Aterword: The Politics of Meaning” dalam Holt, Claire (Ed), Culture and Politics in Indonesia. Cornel University Press, 1972.

(9)

7 dakwah Peka kulturalaaiPon asso: Potret keberislaman Pegunungan tanah PaPua

P

enelitian

Dakwah Peka Kultur ala Aipon Asso:

Potret Keberislaman Pegunungan Tengah Papua

Abu Muslim

Peneliti Balai Litbang Agama Makassar Email: abumuslim.litbang@gmail.com

Diterima redaksi tanggal 26 Agustus 2014, diseleksi 4 November 2014, dan direvisi 8 Desember 2014

Abstract

This is a biographical study of Islamic religious leaders. It utilizes a descriptive qualitative approach. This paper reviews religious patterns in Papua by focusing on the characteristics and role of religious leaders in society. Speciically, this study focuses on the biography of religious igure and Islamic ighter: Aipon Asso. He was a very industrious Chieftain in terms of spreading Islam in Papua, speciically in the village of Walesi, located in Jayawijaya regency. Although he did not have many educational qualiications, he was a key igure in the ight against the OPM. His religion was central to his ight. Through his political activities, Aipon Asso became a role model for citizens. As a Muslim, he became a patron and example for the people to embrace Islam. In short, the pattern of islamization in this case was top down. Simply put, people’s religious belief in Walesi was strongly inluenced by the decisions of their leaders in selecting and struggling for his religious beliefs.

Keywords: Walesi, Aipon Asso, Islam and

Papua

Abstrak

Penelitian ini adalah penelitian biograi tokoh agama Islam dengan pendekatan kualitatif deskriptif. Riset ini menghendaki penelusuran riwayat hidup tokoh agama Islam di Papua dengan mereview pola keagamaan yang diemban dengan menitikberatkan pada karakteristik dan peran tokoh agama tersebut dalam masyarakat. Penelitian dilakukan di Papua dengan menfokuskan penulisan biograi seorang Tokoh Agama/Pejuang Islam Papua bernama Aipon Asso seorang Kepala Suku yang sangat getol memperjuangkan Islam di tanah Papua, tepatnya di Desa Walesi Kabupaten Jayawijaya yang meskipun tidak mempunyai kesempatan menempuh pendidikan mumpuni adalah sosok pejuang yang dalam penerimaan keislamannya ditempuh dengan terlebih dahulu berperang melawan OPM. Aipon Asso menjadi panutan bagi warganya sehingga pernyataan keislamannya menjadi patron bagi rakyatnya untuk turut serta menganut Islam. Hal ini mencerminkan pola keberislaman top down, di mana anutan keagamaan masyarakat (Walesi) sangat dipengaruhi oleh keputusan pimpinannya (Kepala Suku Besar) dalam memilih dan memperjuangkan keyakinan beragama.

(10)

Pendahuluan

Membincangkan tokoh agama terkait deinisinya yang mencakup kriteria apa saja yang dimiliki seseorang sehingga dia berhak menyandang gelar sebagai tokoh agama (baca: ulama), menjadi sebuah diskusi yang sejak dahulu telah mewarnai khazanah keberagamaan Islam. Di satu sisi, kriteria keulamaan bisa menjadi sangat ketat ketika disyaratkan bahwa ulama haruslah mereka yang memiliki ilmu agama yang mumpuni disertai dengan keistimewaan-keistimewaan khusus mengenai pola dan corak keberagamaan Islam yang dimiliki seorang tokoh sehingga dia menjadi panutan dalam masyarakat mayoritas Islam. Di sisi lain, kondisi alam dan geograis serta pola sosial kebudayaan masyarakat bisa jadi membuat kriteria yang sangat ketat itu menjadi longgar, terlebih ketika Islam di wilayah itu adalah minoritas.

Beberapa literatur menyebutkan bahwa ulama itu haruslah mereka yang menguasai kitab kuning, memiliki pendidikan keagaamaan yang mumpuni dan berkesinambungan, ilmu agamanya sangat tinggi, memiliki keistimewaan/ karamah, mampu mentransmisikan ilmunya kepada masyarakat, serta mendapat pengakuan di masyarakat (As’ad, Muhammad dkk, 2011; Santing, Waspada, 2010: xiii; Glase, Cryil, 2002: 417). Deinisi tersebut seolah-olah mengisyaratkan, bahwa mereka yang luput dari kriteria tersebut tidaklah/ belum berhak menyandang predikat ulama/tokoh agama Islam. Mungkin, ketika kriteria itu diberlakukan di Jawa, Sulawesi dan daerah lainnya di Indonesia di mana Islam telah berurat berakar dengan masyarakatnya melalui tradisi pesantren dan kajian-kajian Islam menggunakan literatur berbahasa Arab, maka kemungkinan penerimaannya menjadi lumrah.

Akan tetapi, jika bergeser sedikit ke Timur Indonesia, khususnya di Papua, terlebih lagi di daerah pegunungan di mana masyarakatnya masih banyak yang sangat asing dengan formalisasi pendidikan. Jangankan membaca dan menguasai literatur-literatur berbahasa Arab, untuk bisa membaca dan menulis dalam bahasa Indonesia saja mereka masih dalam tahapan adaptasi penguatan sumber daya manusia. Sehingga, menerapkan kriteria keulamaan yang super ketat itu di Papua, menjadi sesuatu yang akan berujung pada pendeinisian yang kontra produktif. Terlebih ketika sasaran ketokohan itu menghendaki penelusuran tokoh agama Islam asli Papua yang sudah meninggal dan masih memiliki kerabat sebagai persambungan informasi (atau mereka yang hidup di kisaran abad ke-19 - 20). Namun ketika tetap dipaksakan, maka praktis tidak akan ditemukan orang asli Papua yang sepanjang hidupnya memenuhi kriteria yang dimaksud.

(11)

9 dakwah Peka kulturalaaiPon asso: Potret keberislaman Pegunungan tanah PaPua

Sebuah gagasan membangun keindonesiaan dan kepapuaan yang berkeadilan oleh tim peneliti LIPI menyebutkan bahwa salah satu sebab terpenting ketidakberdayaan struktural dan budaya orang asli Papua secara politik, ekonomi dan budaya adalah ketidakmampuan mereka untuk bersaing dengan pihak luar disebabkan oleh kualitas sumber daya manusia yang mengakibatkan lemahnya tingkat partisipasi orang asli Papua dalam pendidikan modern (S. Widjojo, Muridan, 2009: 73-74). Hal ini setidaknya menjadi cermin, betapa pendidikan (baik pendidikan umum dan pendidikan agama), masih menjadi problem yang harus terlebih dahulu dipecahkan. Terkait dengan hal ini, penguatan sintesis terkait pentingnya penguatan pendidikan Islam dapat dilihat dari pernyataan seorang Muallaf H. Ismail Yenu, Kepala Suku Besar Yapen-Waropen Manokwari yang menyebutkan bahwa kendala terbesar bagi orang Papua untuk masuk Islam adalah karena mereka tidak dapat membaca al-Quran dan mereka tidak tahu apa itu al-Quran. Padahal beliau sangat menyadari dan meyakini bahwa sesungguhnya agama Islam telah datang di tanah Papua jauh sebelum agama Kristen. Bahkan disebutkan bahwa yang mengantar misionaris dari Jerman ke Pulau Mansinam Manokwari adalah muballigh dari Kesultanan Islam Tidore sekitar 1855. Tetapi karena kitab-kitabnya serba berbahasa Arab, banyak penduduk yang tidak paham (Ali Athwa, 2004: 118). Hal ini mengisyaratkan bahwa, dalam konteks Papua, pemahaman dan pendalaman kitab-kitab kuning berbahasa Arab, bukanlah menjadi prasyarat utama dakwah Islam, bahkan justru menjadi sebuah kelemahan dalam berdakwah, ketika memaksakan penguasaan dan pengajaran kitab kuning bagi masyarakat Papua, khususnya di pegunungan.

Penelitian tentang biograi adalah salah satu fokus penelitian yang menjadi

titik perhatian khazanah keagamaan berorientasi pada data sejarah dan perjalanan hidup seorang tokoh. Balai Litbang Agama Makassar, sebelumnya telah melakukan penelitian terkait Biograi Ulama dan Karya Tulisnya di Kawasan Timur Indonesia pada tahun 2011 yang menitikberatkan pada inventarisasi hasil karya tulis ulama yang memiliki pengaruh lokal pada wilayah geograis tertentu di beberapa daerah di Kawasan Timur Indonesia (Abu Muslim, 2011). Hasil penelitian menunjukkan orientasi ulama melahirkan ide dalam wujud karya tulis masih belum maksimal, meskipun di setiap lokasi penelitian dapat ditemukan ulama yang telah menunjukkan eksistensi menulisnya, tetapi hal tersebut tidaklah dapat mewakili orientasi semangat menulis bagi ulama-ulama. Penelitian tersebut kemudian merekomendasikan untuk memfasilitasi para ulama dalam membangkitkan semangat menuangkan ide dan cara pandang mereka dalam memahami agama Islam dalam tulisan-tulisan. Penelitian tahap berikutnya dilanjutkan dengan penelusuran dan penulisan biograi ulama perempuan. Penelitian tersebut juga menghendaki penelusuran lebih jauh mengenai orientasi peran dan fungsi ulama yang tidak hanya mewakili kaum lelaki dalam hal ini ulama yang berjenis kelamin perempuan tanpa harus terjebak dalam bias jender yang diasumsikan mempunyai kiprah yang sama dengan para ulama laki-laki. (Abu Muslim, 2012).

(12)

dan perannya dalam keberlangsungan dakwah keagamaan di Kawasan Timur Indonesia. Pengungkapan rekam jejak para tokoh ulama tidak menutup kemungkinan akan membawa kita pada pengungkapan jaringan ulama Indonesia Timur sebagai bagian yang tidak terpisahkan dalam proses penyebaran agama Islam Nusantara. Sebagai permasalahan pokok, penelitian ini menghendaki penelusuran riwayat hidup tokoh agama dengan me-review pola-pola keagamaan yang diemban dengan menitikberatkan pada fungsi dan peran ulama tersebut yang sekaligus menjadi panutan keberagamaan masyarakat.

Metode Penelitian

Penelusuran peran dan eksistensi tokoh agama Islam dilakukan dengan me-review latar belakang keluarganya, pendidikannya, transfer ilmunya sampai kepada oriesntasi ketokohannya dalam masyarakat. Pengumpulan data dilakukan antara lain dengan terlebih dahulu menginventarisasi tokoh agama yang memungkinkan djadikan sebagai objek penelitian, di samping mempertimbangkan informan pendukung yang dapat memberikan data-data signiikan dalam penulisan biograi tokoh yang dimaksud serta melakukan studi awal tentang kondisi keagamaan pada lokasi yang telah ditetapkan, untuk selanjutnya dipilih satu ulama yang menjadi fokus penulisan biograinya.

Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif deskriptif biograi tokoh agama Islam. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan wawancara mendalam pada berbagai informan, tokoh masyarakat, tokoh agama, Majelis Ulama Indonesia setempat dengan tekhnik snowball; pengamatan (observasi) terhadap lingkungan tempat ulama tersebut eksis, peran yang dilakoni, dan kegiatan lainnya yang relevan; serta

studi dokumen dan pustaka. Kemudian dilakukan analisis terhadap data-data yang diperoleh dari informan dan pengamatan serta berbagai literatur dengan memisahkan pendapat informan dan pendapat peneliti.

Penelitian dilakukan di Provinsi Papua dengan memilih secara purposive

seorang tokoh agama Islam (yang telah meninggal dunia) berdasarkan saran dan rekomendasi dari tokoh agama yang masih hidup serta arahan dari stakeholder

setempat seperti MUI Papua, Kanwil Kementerian Agama Papua, Majelis Muslim Papua serta para pimpinan ormas Islam setempat. Dari beberapa masukan tersebut, dengan berbagai pertimbangan maka diputuskan untuk memilih HM. Aipon Asso untuk selanjutnya ditulis dalam sebuah rangkaian biograi hidup, serta perannya dalam masyarakat.

Tokoh-Tokoh Pelopor Islam Papua

Berdasarkan penelusuran nama-nama tokoh agama Islam di Papua yang memiliki peran dan karakteristik yang telah mendapat pengakuan dari masyarakat setempat serta stakeholder di Papua. Berikut ini adalah nama-nama tokoh agama Islam di Propinsi Papua yang telah meninggal dunia, di mana di masa hidupnya mereka mepunyai kiprah keagamaan yang mumpuni di daerahnya masing-masing serta berjuang dalam rangka dakwah keagamaan Islam dan menjadi panutan bagi masyarakat muslim setempat. Informasinya diperoleh dari Kanwil Kementerian Agama Propinsi Papua, MUI Propinsi Papua serta pemuka agama Islam Papua yang masih hidup, tokoh tersebut antara lain:

(13)

11 dakwah Peka kulturalaaiPon asso: Potret keberislaman Pegunungan tanah PaPua

Aipon Asso Memeluk Islam pada tahun 1977 karena menilai Islam itu baik, suka menolong dan ramah. Pengislamannya bersamaan dengan merebaknya isu bahwa pasukan OPM akan menghabisi penduduk desa Walesi yang masuk Islam. Aipon Asso kemudian memimpin pasukannya menyerbu kelompok OPM yang terletak sekitar 20 km dari kampung Walesi. Melalui peperangan yang hebat, Aipon Asso akhirnya memenangkan peperangan dengan gemilang. Setelah itu, ia kemudian mengajak kepada semua rakyatnya untuk memeluk Islam. Keislaman penduduk Walesi kemudian diikuti oleh suku-suku di desa lain setelah mendengar kabar kemenangan pasukan Aipon Asso terhadap OPM. Di antara perannya yang juga menonjol adalah keberhasilannya dalam menciptakan kerukunan antarumat beragama berbasis multikulturalisme. Ketika beliau wafat, di seluruh pelosok Wamena dikibarkan bendera setengah tiang sebagai tanda berkabung. Pemakamannya dihadiri oleh hampir seluruh pemuka agama di Papua serta para pejabat pemerintahan di Papua yang datang dari berbagai pelosok.

2. Abdurrahman Revana: tokoh penganjur agama Islam di Propinsi Papua yang namanya kini diabadikan sebagai nama perguruan tinggi Islam negeri di Papua, yakni STAIN Abdurrahman Revana.

3. Tengku Bujang Selamet: melakukan dakwah dan tabligh yang membawa ajaran Muhammadiyah untuk pertama kalinya di tanah Papua, tepatnya di Merauke. Beliau mempelopori pelaksanaan shalat Idul Fitri di lapangan terbuka yang ketika itu dilaksanakan berbeda dengan ketetapan pemerintah, berdasarkan hasil hisab pada tahun 1926.

4. Ibrahim Bauw: Raja Rumbati yang mendirikan Muhammadiyah atas bimbingan Daeng Umar (pegawai pelabuhan asal Makassar) pada tahun 1930.

5. Ismail Bauw: tokoh Islam yang merupakan pelopor dan perintis sekaligus ketua pertama organisasi Muhammadiyah di Abepura dengan status cabang pada tahun 1966.

6. Syamsuddin Ponto: tokoh perintis pendirian Yayasan Pendidikan Islam (YAPIS) Papua pada tanggal 15 Desember 1968 M. Dalam kepemimpinannya selama 3 periode, YAPIS berkembang pesat. Namanya kini diabadikan sebagai nama auditorium pertemuan di YAPIS.

7. Sudjadi Notomiseno: pelopor

pendirian Yayasan Pondok Karya Pembangunan (YPKP) Bumi Cenderawasih 20 Desember 1975. Sebelumnya beliau adalah petugas sukarelawan guru Trikora yang datang ke Papua pada tahun 1963, selanjutnya membentuk taman pengajian yang merupakan cikal bakal terbentuknya Lembaga Pondok Pesantren Modern YPKP. (M. Wanggai, Tony Victor, 2009).

8. H. Sofyan Wanggai: tokoh Nahdatul Ulama, sekaligus orang tua dari Dr. Toni Victor M. Wanggai (Ketua Umum Pengurus Wilayah NU Propinsi Papua).

(14)

Dari beberapa nama yang telah disebutkan di atas, dipilih salah satu nama sebagai representasi tokoh agama Islam yang mempunyai latar belakang serta kiprah yang merepresentasikan perannya dalam masyarakat setempat. Tokoh yang dimaksud adalah HM. Aipon Asso di Walesi, Jayawjaya.

Pemilihan Aipon Asso didasarkan pada beberapa hal, antara lain Aipon Asso adalah putra asli Papua (orang asli Papua menurut deinisi resmi UU Otonomi Khusus pasal 1 huruf (t) menyatakan: “Orang Asli Papua adalah orang yang berasal dari rumpun ras Melanesia yang terdiri dari suku-suku asli di Provinsi Papua dan/atau orang yang diterima dan diakui sebagai orang asli Papua oleh masyarakat adat Papua”.

Dalam wacana populer, yang dimaksud dengan Melanesia adalah mereka yang memiliki ciri-ciri berkulit hitam dan berambut keriting. Bagi orang asli Papua asal pegunungan (seperti Aipon Asso), kriteria ini dapat diterapkan dengan mudah (Lihat, S. Widjojo, Muridan, 2009: 55).

Aipon Asso adalah seorang muallaf yang sebelumnya sangat membenci Islam selanjutnya berbalik memperjuangkan Islam dengan sangat gigih. Aipon Asso memutuskan untuk menganut Islam setelah melalui perang, dan yang tidak kalah pentingnya adalah kedudukannya sebagai Kepala Suku Besar yang selanjutnya memutuskan untuk berislam diikuti oleh masyarakatnya, mencerminkan sebuah pola Islamisasi top down. Selain itu, ketokohan Aipon Asso di Papua juga sangat dikenal, karena kegigihan dan memperjuangkan Islam di Walesi Jayawjaya. Ketersambungan informasi melalui kerabat dan para sahabatnya yang sangat mengenal beliau juga menjadi pertimbangan pemilihannya.

Islam Pertama di Pegunungan Walesi

Walesi adalah sebuah perkampungan yang terletak di lereng gunung Jayawjaya, jaraknya sekitar + 8 km dari kota Wamena ibukota Kabupaten Jayawjaya, Provinsi Papua. Kisah Islam di Walesi dimulai dari seorang bernama Merasugun Asso, ketika itu tahun 1975 masih berusia 30 tahun. Sebagaimana lazimnya kehidupan di gunung, menjual kayu bakar adalah sebuah profesi yang rutin dilakukan demi memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, profesi ini terbilang cukup merakyat mengingat kayu-kayu kering dengan mudah diperoleh di Walesi yang memang merupakan daerah hutan dan gunung. Merasugun Asso setiap paginya berangkat ke Wamena dengan berjalan kaki untuk berjualan kayu bakar. Ketika itu, masyarakat Walesi, sebagaimana halnya Merasugun Asso masih belum tersentuh modernitas, sehingga dia berangkat menuju Wamena tanpa alas kaki, tidak berpakaian dan hanya mengenakan koteka (semacam pakaian lelaki Papua terbuat dari buah labu yang dikeringkan berfungsi menutupi aurat kelaki-lakiannya saja) (Depdiknas RI, 2008: 738).

(15)

13 dakwah Peka kulturalaaiPon asso: Potret keberislaman Pegunungan tanah PaPua

Abu Yamin pun setuju dengan barter itu, sebab Merasugun Asso menolak untuk dibayar dengan uang. Namun, karena waktu shalat zhuhur telah tiba, Haji Abu Yamin kemudian meminta jin kepada Merasugun Asso, agar kiranya bersedia untuk menunggu sejenak sebab hendak melaksanakan shalat.

Selanjutnya, Haji Abu Yamin bersegera mengambil wudhu, kemudian dilanjutkannya dengan shalat zhuhur. Ternyata, diam-diam Merasugun Asso memperhatikan dengan detail apa yang dilakukan oleh Haji Abu Yamin sembari terheran-heran karena melihat proses pengambilan wudhu dan gerakan-gerakan shalat yang tentu saja memberikan kesan yang berbeda bagi seorang Merasugun Asso, karena seumur-umur, baru kali ini dia melihat seseorang dengan sangat tenang melakukan ritual-ritual mengangkat tangan, ruku dan sujud secara berulang-ulang.

Hari-hari berikutnya, Haji Abu Yamin telah menjadi langganan kayu bakar milik Merasugun Asso, sehingga kebutuhan kayu bakar Haji Abu Yamin tidak bisa dipisahkan dari peran seorang Merasugun Asso yang setia membawakannya langsung. Saking

seringnya Merasugun Asso datang ke rumah Haji Abu Yamin. Sehingga dia juga semakin intens melihat gerakan-gerakan shalat yang diperagakan Haji Abu Yamin. Pada akhirnya, ketertarikan diikuti dengan rasa penasaran yang tinggi, membuat Merasugun Asso menyatakan keinginannya untuk melakukan hal serupa. Haji Abu Yamin kemudian memberikan kopiah, sarung dan pakaian kepada Merasugun Asso. Selanjutnya, pada tanggal 2 Juni 1975 Merasugun Asso menyatakan syahadat dibimbing oleh Haji Abu Yamin. Keberislaman Merasugun Asso selanjutnya diikuti oleh Firdaus Asso, Muhammad Ali Asso dan Firdaus Yeleget. Perkembangan Islam di Walesi, selanjutnya akan lebih

banyak menonjolkan ketokohan dan peran seorang yang bernama Aipon Asso, Kepala Suku Besar di Walesi, yang masuk Islam karena terinspirasi dari kebaikan yang diperlihatkan oleh Merasugun Asso dan kawan-kawan. “Saya tertarik masuk Islam karena Islam itu baik!”. Begitu kata Aipon Asso.

Tentang Aipon Asso

Aipon Asso lahir di Walesi, pada sekitar tahun 1939 M (terkait akurasi tanggal kelahiran Aipon Asso, setelah dikonirmasi kebeberapa orang kerabatnya, tidak ada yang bisa memberikan data akurat tentang penanggalan yang pasti, tahun 1939 diperoleh setelah menkonversikan tahun wafatnya yakni 2009 dan diasumsikan oleh kerabatanya bahwa ketika itu Aipon Asso wafat pada usia 70 tahun. (Wawancara dengan Wawan Asso). Nama kecilnya Kokmeke yang dalam bahasa setempat bermakna kok: besar dan meke:

menjadi. Oleh kedua orang tuanya beliau diharapkan menjadi sorang kokmeke:

menjadi orang besar. Begitulah, dalam setiap nama selalu terkandung doa dan harapan yang melekat pada sang anak. Doa dan harapan itu terkabul seiring dengan perkembangan usianya, kokmeke

kemudian menjelma menjadi seorang Kepala Suku Besar di Desa Walesi, Wamena, Kabupaten Jayawjaya.

(16)

dari bahasa setempat yang selanjutnya menjadi nama suku yang berasal dari kata Wam: babi dan Ena: kampung. Jadi Wamena adalah kampung babi. Wamena juga diartikan sebagai wa berarti babi dan

mena berarti jinak. Jadi Wamena adalah babi jinak (Wikipedia Ensiklopedia Bebas. Diakses Agustus 2013. Wamena Jayawjaya (http://id.wikipedia.org/wiki/Wamena,_

Jayawjaya)). Selain itu, Aipon Asso juga mewarisi kemampuan para tetua adat untuk dapat memilih dan memilah kulit bia yang berkualitas, sebagai salah satu alat tukar yang harganya sangat tinggi tergantung kualitasnya.

Aipon Asso memiliki tujuh orang istri yang berasal dari marga Yalipele dan Wetapo. Ketujuh istrinya berturut-turut adalah Yahuklaik Yalipele, Sapaleke Yelipele, Wasakaluk Yelipele, Heyeken Pale Wetapo, Yona Wetapo, Wamsalekma Yelipele, Awulal Yelipele. Dari ketujuh istrinya, Aipon Asso dikarunia tiga orang anak, yakni Adam Asso dan Neleisa Asso dari istri pertamanya Yahuklaik Yelipele, dan Lina Asso dari Istri keduanya Sapaleke Yelipele.

Dibalik ketegasan dan karakternya yang pemberani, Aipon Asso dalam kehidupan sehari-harinya termasuk orang yang ramah dalam bergaul dan bersahaja dalam setiap aktiitasnya. Kerahaman dan keluwesan yang dimilikinya ditopang dengan penyaluran bakat bermusiknya bersama dengan anak-anak muda Walesi.

“Aipon Asso itu sering nongkrong bersama kami sambil main gitar dan bernyanyi bersama di sela waktunya, sembari bergaul dengan ramah dan penuh dengan rasa humor yang tinggi, beliau seringkali menyusupkan

petuah-petuah bjak dalam candaannya.

Tapi bagi kami, hal itu sangatlah bermanfaat untuk mengarahkan kami menjadi lebih baik”.

Begitu yang disampaikan oleh Imron Asso, putra asli Walesi sekaligus ponakan Aipon Asso ketika menuturkan tentang keramahan pak Asso.

Awalnya Sangat Membenci Islam

Sebagaimana telah dikisahkan sebelumnya, bahwa Islam di Walesi diprakarsai oleh Merasugun Asso dan tiga orang kawannya, selanjutnya diikuti oleh Kepala Suku Besar Walesi Aipon Asso. Akan tetapi, pernyataan keberislaman Aipon Asso ternyata juga memiliki cerita-cerita tersendiri tentang kapan dan bagaimana sehingga kepala suku akhirnya memutuskan untuk bersyahadat.

(17)

15 dakwah Peka kulturalaaiPon asso: Potret keberislaman Pegunungan tanah PaPua

jika Islam berkembang, maka babi akan dimusnahkan, sebab dalam Islam, babi itu diharamkan.

Alasan kedua, yakni adanya kekhawatiran jika nantinya, masyarakat Walesi menganut agama Islam, maka akan menghilangkan agama-agama nenek moyang sebelumnya seperti GKI, Katolik dan Pantai Kosta. Dua alasan itulah yang membuat Aipon Asso sang Kepala Suku merasa wajib memerangi Islam karena eksistensi dan perkembangan Islam di Walesi akan sangat mengganggu hak-hak adat rakyatnya. Hal ini kemudian membentuk sebuah kompromi sosial atau sistem religi yang menjadi salah satu unsur point penting dalam perjuangan Aipon Asso selanjutnya yang kemudian menjelma menjadi sebuah sistem religiusitas antara ketokohannya dengan naluri keberagamaannya. Sistem religi ini muncul dari sebuah emosi religi, yaitu getaran spiritual atau batin manusia. Emosi ini akan mendorong semua tindakan budaya spiritual yang kadang -kadang bersifat sakral. Emosi ini akan terkait dengan sistem keya kinan (baca: agama) (Endraswara, Suwardi, th.).

Hidayah Itu datang Setelah Perang!

“Jika mencintai sesuatu, cintailah sekadarnya saja. Karena boleh jadi itu tidak baik bagimu dan Jika membenci sesuatu, bencilah sekadarnya saja Karena boleh jadi itu lebih baik bagimu.” Pesan-pesan bijak yang disadur dari al-Quran itu (Q.S. 2: 216), ternyata kena telak terhadap Aipon Asso. Tuhan mengirimkan hidayah kepada beliau melalui sosok Merasugun Asso. Kebaikan perangai dan keramahan sikap yang ditunjukkan oleh Merasugun Asso, membuat kebencian yang mendarah daging dalam diri Aipon Asso berbalik menjadi kecintaan yang sangat luar biasa. Pikiran-pikiran tentang kekhawatirannya terhadap Islam termasuk wajah Islam yang kejam sama sekali tidak dilihatnya dalam

diri Merasugun Asso dan kawan-kawan. Justru yang tampak adalah kebaikan. Merasugun Asso dan kawan-kawan, sangat gemar menolong warga Walesi dalam setiap aktiitas dan hajatannya. Keramahan yang ditunjukkan membuat hati Aipon Asso menjadi luluh, kemudian timbul ketertarikan dalam dirinya untuk mempelajari Islam lebih lanjut.

(18)

semakin membuncah, karena ancaman-ancaman itu, mengantarkan Aipon Asso dan pasukannya kepada semangat juang yang berlipat-lipat. Setelah melalui peperangan selama berminggu-minggu, Aipon Asso dan pasukannya berhasil memenangkan peperangan, dan pulang ke Walesi dengan kepala tegak.

Sesampainya di Walesi, Aipon Asso semakin mantap untuk mempelajari Islam. Bahkan, bercermin dari peristiwa yang terjadi sebelumnya, serta rasa empati yang sangat tinggi terhadap pola kehidupan Islami, membuat Aipon Asso memutuskan untuk menganut agama Islam. Aipon Asso bersyahadat pada hari Kamis, 26 Mei 1978 melalui bimbingan seorang penyuluh agama Islam di Wamena bernama Drs. Syekh Matdoan. Keputusan yang diambil oleh Aipon Asso sang Kepala Suku menginspirasi rakyatnya untuk mengikuti jejak pimpinannya untuk menganut agama Islam. Sekitar + 600 orang warganya yang berdomisili di lereng bukit dan hutan-hutan turun gunung untuk menyatakan syahadat sebagaimana yang dilakukan oleh Sang Kepala Suku. Sikap keberislaman seperti ini, menggambarkan corak Islamisasi “Top Down” di mana ketika pimpinan/ raja/kepala suku sudah menganut Islam, maka akan diikuti oleh rakyatnya. Hal ini membawa kita pada kisah yang terjadi beberapa abad yang lalu di semananjung Jawa, Sulawesi dan Maluku, yang dalam konteks Papua pegunungan, baru dapat diwujudkan di abad 20.

“Mengajak Berkebun”: Pola Dakwah Sadar Ruang

Hal pertama yang dilakukan oleh Aipon Asso setelah bersyahadat bersama rakyatnya adalah mengumpulkan masyarakat Walesi untuk membicarakan kebjakan keberlanjutan hajat hidup warga setelah perang. Pertemuan yang dilakukan bersama seluruh warga selanjutnya mengambil keputusan untuk

mengajak seluruh masyarakat untuk menanam ubi bersama-sama di tanah adat. Kenapa berkebun?, ternyata hal tersebut sudah dipikirkan secara matang oleh Aipon Asso dalam menanamkan nilai-nilai dasar Islam kepada warganya. Sebab dengan berkebun, membuat masyarakat Walesi menjadi mandiri, dan kemandirian itu manurut Aipon Asso adalah pintu gerbang menuju kesejahteraan masyarakat. Hal ini dilakukan mengingat Walesi secara geograis berada pada zona ekologi pegunungan tinggi, di mana sistem mata pencaharian utama adalah berkebun dan beternak (Yonathan Lekitoo, Handro, 2012: 15).

(19)

17 dakwah Peka kulturalaaiPon asso: Potret keberislaman Pegunungan tanah PaPua

satu di antaranya adalah arti peting agama”

(Douglas, Mary Douglas, dan Pritchard, Edward Evans, 1980).

Kabar tentang citra dan wibawa Aipon Asso dan masyarakatnya serta keberislaman yang dilakukan setelah sebelumnya melalui perang, menjadi berita utama setiap pembicaraan tidak hanya di Walesi dan Wamena, tetapi juga di Papua. Ketokohan Aipon Asso dengan cepat menyebar ke seantero Papua. Puncaknya terjadi tahun 1989, ketika Aipon Asso bersama dengan Sofyan Wanggai dipanggil untuk menunaikan ibadah Haji oleh Menteri Agama. Tentu saja, bagi Aipon Asso, hal ini adalah bagian daripada proses penyempurnaan agamanya.

Sepulangnya dari menunaikan ibadah Haji, Aipon Asso kembali melakukan terobosan aktual terkait pola dakwah ala H. Aipon Asso, dengan lagi-lagi mengumpulkan warganya di sebuah lapangan yang luas, dan menceritakan kisah perjalanan spiritualnya selama di Tanah Suci. Hal ini tentu saja semakin membuat warga menjadi sangat antusias dalam berislam. Pertemuan yang dilakukan itu, tidak hanya melibatkan warga Walesi saja, tetapi Aipon Asso juga mengundang para kepala suku tentangganya. Pada kesempatan itu, lagi-lagi ajakan berkebun diserukan, tapi kali ini juga melibatkan suku-suku tetangganya untuk membangun kemandirian bersama sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari kesejahteraan hidup.

Persoalan Babi yang Dilematis: Antara Adat dan Agama!

Ada satu hal yang menjadi ‘pekerjaan rumah’ bagi Aipon Asso terkait bagaimana dia mendakwahkan Islam di Desa Walesi, yakni kultur dan adat masyarakat setempat yang sudah sangat tergantung kepada babi dalam setiap

aktiitas sosial yang telah berlangsung turun temurun. Sebagai seorang Kepala Suku Besar, dan seorang penganut Islam, tentu saja membawa Aipon Asso pada sebuah problem yang sangat pelik, di satu sisi beliau harus menjadi panutan keberagamaan Islam bagi para warga Walesi yang keberislamannya masih seumur jagung, di sisi lain beliau harus menjunjung tinggi hak-hak adat, sebagai seorang pimpinan. Sebenarnya, Aipon Asso mempunyai hak prerogatif untuk mengeluarkan kebijakan-kebijakan strategis mengenai hal ini, termasuk menfatwakan pengharaman babi, tapi hal tersebut tidak dilakukannya sebab beliau sangat menghargai dan menghormati masyarakat Walesi, terutama para sesepuh adat dan petuah-petuah di wilayah kekuasaannya.

(20)

rakyat Walesi, babi masih tetap eksis, tetapi hanya diperuntukkan bagi orang-orang tua, sementara anak-anak dan generasi muda tidak lagi mengkonsumsi babi. Sebagai gantinya, Aipon Asso memprakarsai ternak sapi dan kambing sebagai gantinya.

Hal lain yang juga dilakukan oleh Aipon Asso dalam menanamkan nilai-nilai dan ajaran agama Islam kepada warganya adalah dengan mengupayakan pola hidup bersih bagi di Walesi. Jika sebelumya masyarakat Walesi tidak mau memakai baju dan celana, karena peran dari Aipon Asso, masyarakat Walesi selanjutnya melakukan adaptasi terhadap pakaian-pakaian yang layak.

“Kita sekarang pakai koteka, dalam Islam lebih sempurna jika kita memakai Baju dan celana. Segala yang kotor kita tinggalkan, menuju kepada pola hidup sehat dan mengedepankan kebersihan”. Begitu pernyataan Aipon Asso, yang sekaligus menjadi inspirasi bagi warganya.

Ternyata inovasi yang dilakukan oleh Aipon Asso tidak berhenti sampai di situ saja, akan tetapi secara perlahan-lahan melakukan penyesuaian-penyesuaian antara adat dan agama (sinkretisme). Jika sebelumnya, dalam setiap prosesi kematian warga Walesi, jasad kemudian dibakar setelah melalui tahapan-tahapan ritual keadatan. Aipon Asso, menganjurkan bahwa jika ada seseorang meninggal dunia, maka sebaiknya dilakukan pemakaman, dengan memberikan pemahaman kepada masyarakat bahwa manusia itu berasal dari tanah, dan sepantasnyalah dikembalikan ke asalnya jika telah berpulang. Kebjakan ini ditopang dengan pengwakafan tanah milik Aipon Asso sebagai tempat pemakaman Muslim di Walesi yang terletak di Bukit Wetugi. Selain melakukan inovasi dalam hal prosesi kematian, Aipon Asso juga mengeluarkan kebjakan di bidang perkawinan dengan membolehkan

warga yang berasal dari suku bagian utara menikah dengan warga asal suku bagian selatan. Hal ini sebelumnya dilarang oleh adat, tapi Aipon Asso, malah menganjurkannya. Ini dilakukan agar pemerataan keberagamaan dan kesejahteraan masyarakat antar suku dapat terjalin. Selain itu, jika dahulu warga dari suku yang berjauhan seringkali terlibat peperangan, maka jika terdapat pertalian kekerabatan, maka hal tersebut dapat dihindarkan. “Pembaruan terhadap sesuatu bukan berarti anda menghilangkan dan mendirikan sesuatu yang baru untuk menggantikannya. Pembaruan agama harus dari dalam dengan alat-alatnya yang syar’i melalui para penganutnya dan ulamanya, bukan dengan cara merongrongnya, bukan dengan menindas penganutnya, bukan pula dengan memasukkan unsur-unsur asing ke dalamnya dan memaksakannya dengan kekerasan” (Qordhowi, Yusuf, 2001).

(21)

pancaran-19 dakwah Peka kulturalaaiPon asso: Potret keberislaman Pegunungan tanah PaPua

pancaran faktual dan pada akhirnya perasaan dan motivasi ini akan terlihat sebagai suatu realitas yang unik” (Daniel L. Pals, 2012: 343), meskipun Aipon Asso belum pernah membaca apalagi memahami konsep tersebut, tetapi, dengan hidayah dan keluhuran budi pekertinya serta kesungguhan dalam memperjuangkan agama, sesungguhnya Aipon Asso sudah memahami itu semua tanpa pernah bersentuhan dengan teori-teori itu.

Apa Kata Mereka tentang Aipon Asso?

Jamaluddin Iribaram, Kepala Sub Bagian Tata Usaha Kanwil Kementerian Agama Provinsi Papua: “Aipon Asso adalah seorang pejuang Islam. Bisa dikatakan beliau itu adalah potret orang Papua pegunungan yang memiliki kecerdasan spiritual yang diperoleh dari alam. Kedudukannya sebagai kepala suku besar juga menambah wibawanya dalam masyarakat, khususnya di Walesi. Aipon Asso dalam berdakwah, sangat berhati-hati, sehingga sedapat mungkin tidak menyinggung hak-hak adat masyarakat setempat yang telah dilestarikan sejak lama. Beliau memiliki penguasaan metode dakwah yang disesuaikan dengan konteks masyarakat yang dihadapinya, seolah-olah itu diperolehnya dari sebuah pembelajaran setingkat perguruan tinggi, padahal saya tahu bahwa beliau itu tidak pernah sekolah. Tapi itulah serangkaian keistimewaan seorang Aipon Asso mengiringi hidayah yang diperolehnya sehingga memutuskan untuk menganut Islam.”

Wawan Asso. Kasi Penamas Kanwil Kementerian Agama Provinsi Papua, Kerabat Aipon Asso: “Beliau itu orang cerdas, meski tidak bisa menulis dan membaca. Setiap perkataan yang dia bicarakan harus ada wujudnya dalam keseharian, dalam arti, beliau adalah sosok yang konsisten di mana perkataannya selalu berbanding lurus dengan implementasinya. Dari sudut

pandang kekerabatan, saya mengenal pribadi beliau yang sangat luar biasa, di mana penanaman nilai-nilai kebaikan dalam kehidupan keluarganya menjadi suatu hal yang selalu ditanamkannya. Baginya, sangatlah penting untuk kami para kerabatnya memahami hal tersebut, sebab kelak nanti yang akan meneruskan perjuangannya adalah kami para ahli warisnya. Aipon Asso adalah juga seorang pribadi yang humoris dan senang bergaul dengan anak muda, sekaligus menyalurkan bakat bermusiknya di tengah-tengah kecenderungan para generasi walesi memainkan gitar, dan beliau tidak sungkan untuk bergabung bersama kami. Terkait dengan ketegasannya, satu hal yang tidak pernah saya lupakan adalah kegigihannya untuk memperjuangkan pendidikan bagi kami-kami anak-anak Walesi.”

(22)

Dr. Toni Victor M. Wanggai, Ketua Umum Pengurus Wilayah Nahdatul Ulama Provinsi Papua. “HM. Aipon Asso adalah sosok pejuang Islam yang tangguh, beliau berperang dulu baru masuk Islam. Kemudian diikuti oleh rakyatnya di Walesi. Sosok seperti itu mencerminkan sebuah kisah sejarah keberislaman heroik di tanah Papua. Hal ini menjadi sangat menarik sebab ketokohan seorang Kepala Suku rupanya menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari eksistensi agama di salah satu daerah pegunungan di Papua, di mana keteraturan dan keberagamaan menjadi sesuatu yang menarik untuk diperbincangkan.”

Zubair Daeng Hussein, Ketua Umum Majelis Ulama Provinsi Papua: “Bagi saya H. Aipon Asso telah menorehkan sejarah keberislaman yang sangat hebat di Papua, ketokohannya mampu membawa masyarakat ikut menganut Islam. Beliau adalah manifestasi tokoh Islam lokal Papua yang sangat berkarakter, dia adalah panutan! Perjuangannya luar biasa.”

Reza Al Hamid, Tokoh Muda Muslim Papua: “HM. Aipon Asso adalah orang yang sangat hebat! Saya salut dengan perjuangannya. Beliau

sangat berwibawa, juga sosok pembawa perubahan.”

Penutup

Aipon Asso adalah seorang tokoh agama Islam Papua yang sangat berpengaruh dan memiliki sensitiitas keberagamaan yang peka zaman. Sebagai seorang pemimpin adat dan pemimpin agama di Walesi, Aipon Asso berhasil memadukan sistem agama dan budaya setempat dengan sangat bjaksana. Pola dakwah yang diterapkan mencerminkan ketinggian budi pekerti dan pemahaman yang mendalam terkait aspek mana yang harus disentuh dalam hal pemberian pemahaman keagamaan Islam. Para tokoh agama, tokoh masyarakat dan stakeholder sangat mengapresiasi perjuangan yang dilakukan oleh Aipon Asso, sehingga bagi mereka sosok Aipon Asso adalah pahlawan. Ketokohan dan nilai kejuangan dalam mempertahankan eksistensi agama Islam di sebuah wilayah geograis pegunungan seperti Papua, kiranya dapat memberikan warna dan khazanah baru terkait pendefenisian tokoh agama Islam yang tidak mengesampingkan unsur-unsur kelokalan yang berlaku dalam masyarakat.

Daftar Pustaka

As’ad, Muhammad dkk. Buah Pena Sang Ulama. Jakarta: Indobis, 2011.

Athwa, Ali. Islam Atau Kristenkah Agama Orang Irian? Surabaya: Pustaka Dai, 2004. Departemen Pendidikan Nasional RI. Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi IV. Jakarta:

Gramedia Pustaka Utama, 2008.

Douglas, Mary Douglas, dan Edward Evans-Pritchard. Modern Masters Series. New York: Viking Press, 1980.

(23)

21 dakwah Peka kulturalaaiPon asso: Potret keberislaman Pegunungan tanah PaPua

L. Pals, Daniel. Seven Theories of Religion (Tujuh Teori Agama Paling Komprehensif). Jogjakarta: IRCiSoD, 2012.

Muslim, Abu. Memoar Abdullah Said dalam Goresan Penanya. Makassar: Balai Penelitian dan Pengembangan Agama, 2011.

. Ulama Perempuan di Bonde Polewali Mandar (Study Biograi Annangguru Hudaidah). Makassar: Balai Penelitian dan Pengembangan Agama, 2012.

M. Wanggai, Toni Victor. Rekonstruksi Sejarah Umat Islam di Tanah Papua. Jakarta: Badan Litbang dan Diklat Departemen Agama RI, 2009.

Qordhowi, Yusuf. Kebudayaan Mam Eksklusif atau Inklusif. Solo: Era Intermedia, 2001. Santing, Waspada (ed). Ulama Perintis; Biograi Mini Ulama Sulsel. Makassar: Pustaka Az

Zikra, 2010.

S. Widjojo, Muridan (ed). Papua Road Map (Negotiating the Past, improving the Present and Securing the Future). Bekasi: Serpico, 2009.

Wikipedia Ensiklopedia Bebas. Diakses Agustus 2013. Wamena Jayawjaya (htp:// id.wikipedia.org/wiki/Wamena,_Jayawjaya), 2013.

(24)

Merawat Tradisi Membangun Harmoni: Tinjauan

Sosiologis Tradisi Haul dan Sedekah Bumi di Gresik

Mustolehudin

Peneliti Balai Litbang Agama Semarang Email : tole_dilla@yahoo.co.id

Diterima redaksi tanggal 17 Oktober 2014, diseleksi 4 November 2014, dan direvisi 8 Desember 2014

Abstract

There are interesting patterns in Gresik’s religious social history in Gresik. Due to the existence and inheritance of Hindu-Buddhist beliefs prior to the process of Islamization undertaken by the Wali Songo, Islam in Gresik has its own unique color. The Hindu-Buddhist traditions were maintained and developed, including the tradition of Sedekah Bumi. This study seeks to understand how the social construction of the Sedekah Bumi tradition has shaped religious harmony in Gresik. Using qualitative data from in-depth interviews, observation, and an investigation of the literature, this article inds that the Sedekah Bumi tradition has become one of the ways to cultivate social cohesiveness in the community. This study also inds that the Sekedah Bumi tradition practiced by the those in the coastal areas tend to have an Islamic character. In contrast, the practices in the Southtend to have a Kejawen Islamic character.

Keywords: Local Tradition, Haul and Earth

Alms, Gresik.

Abstrak

Sejarah sosial keagamaan di Gresik memiliki corak yang menarik untuk diamati. Proses islamisasi yang dilakukan para wali memberi warna tersendiri terhadap budaya sebelumnya yang merupakan peninggalan kepercayaan Hindu-Buddha. Tradisi yang tumbuh dan berkembang sampai saat ini adalah haul dan sedekah bumi. Rumusan masalah yang dibahas dalam penelitian ini adalah bagaimana konstruksi sosial tradisi haul dan sedekah bumi membentuk kerukunan umat beragama di Kabupaten Gresik. Penelitian kualitatif dengan teknik wawancara mendalam, observasi, dan penelusuran literatur menemukan bahwa tradisi haul dan sedekah bumi menjadi salah satu media perekat sosial bagi masyarakat. Tradisi haul yang dilakukan sebagian besar masyarakat wilayah pesisir Gresik cenderung bercorak keislaman. Sedangkan tradisi sedekah bumi yang sebagian besar dipraktikkan masyarakat Gresik bagian selatan, cenderung bercirikan Islam kejawen.

Kata Kunci : Tradisi Lokal, Haul, Sedekah Bumi, Gresik.

Pendahuluan

Berdasarkan pemetaan yang dilakukan Majelis Ulama Indonesia Kabupaten Gresik tahun 2009, tradisi sosial keagamaan di daerah tersebut tumbuh dan berkembang dengan baik. Hal tersebut terjadi karena adanya dukungan konkret dari pemerintah Kabupaten Gresik. Dukungan tersebut

dapat diketahui dari pawai budaya yang diselenggarakan masyarakat Gresik mendapat dukungan dari pemerintah setempat.

(25)

23 merawat tradisi membangunharmoni: tinjauan sosiologis tradisi hauldan sedekah bumidi gresik

mampu bertahan. Selain berfungsi sebagai sarana bentuk kebaktian kepada Tuhan, tradisi ini juga berfungsi sebagai perekat sosial bagi pelaku tradisi (masyarakat) setempat.

Awal mulanya tradisi haul dicetuskan oleh Sunan Prapen. Tradisi yang tumbuh dan berkembang sejak masa Sunan Prapen itu, oleh masyarakat Gresik dilestarikan hingga sekarang. Tradisi tersebut dilakukan untuk memberi penghormatan kepada para leluhur dan para wali, atas jerih payah mereka melakukan perubahan sosial keagamaan di Gresik.

Tradisi yang dirawat oleh masyarakat Gresik tersebut, di satu sisi merupakan kekayaan budaya Jawa yang tidak ternilai, dan sisi lain budaya lokal tersebut memiliki potensi untuk membangun kerukunan di tengah-tengah masyarakat. Tradisi masyarakat pesisir sebagian besar adalah berbasis pada pesantren. Secara historis hal ini dapat diketahui dari penyebaran agama Islam yang dilakukan oleh para wali. Para wali dalam melakukan dakwah kebanyakan dengan menggunakan budaya lokal. Tradisi haul dan sedekah bumi sejak dicetuskan Sunan Prapen mengalami perkembangan dan pergeseran. Pada masyarakat Gresik bagian utara ciri keislaman begitu menonjol dalam menjaga tradisi, sebaliknya pada wilayah Gresik bagian selatan aspek-aspek Islam kejawen masih kental dalam tradisi tersebut.

Penelitian tentang budaya lokal (local wisdom) telah banyak dilakukan oleh para ahli dalam perspektif yang berbeda-beda. Akan tetapi, penelitian yang memfokuskan pada aspek tradisi keislaman dan tradisi Islam kejawen belum banyak dilakukan. Penelitian yang dilakukan (Nur Syam, 2005: vi, Mat Solikhin, 2013: 259; Ismail, 2013: 157), menunjukkan bahwa budaya lokal yang terdapat di pesisiran dan pedalaman di Jawa memiliki fungsi strategis sebagai

alat perekat kerukunan. Fokus penelitian ini secara spesiik mengkaji tentang tradisi haul dan sedekah bumi di Kabupaten Gresik. Masalah yang diangkat dalam penelitian ini adalah: bagaimana proses konstruksi sosial tradisi haul dan sedekah bumi membentuk kerukunan umat beragama di Kabupaten Gresik?

Manfaat yang dapat diperoleh dari penelitian ini adalah secara teoritik, dapat menambah kajian tentang kerukunan antarumat beragama yang bersumber dari budaya lokal. Adapun secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan bagi pemerintah pusat dan daerah, terutama bagi pimpinan di lingkungan Kementerian Agama dalam merumuskan kebjakan dalam bidang kerukunan beragama.

Kerangka Teori

(26)

Durkheim dalam Turner (2013: 1158) mengemukakan bahwa budaya merupakan bentuk ritual kolektif dan merupakan emosi bersama yang bertujuan menuju kepada yang sakral. Mengenai hal ini Geertz (2013: xii) menjelaskan bahwa kebudayaan merupakan suatu sistem sosial. Sebagai kajian antropologis, agama tidak bisa diartikan sama saja dengan pengakuan formal tentang hubungan manusia dengan konsep tentang sesuatu yang disucikan.

Berbeda dengan Geertz, Ricklefs (2013: 101) mengungkapkan bahwa kebudayaan seperti budaya Islam tidaklah murni, melainkan telah bercampur dengan kebudayaan Arab, India, Persia, Sumatera, dan Jawa demikian seterusnya sesuai dengan di mana budaya itu disemaikan. Ini berarti bahwa kebudayaan Islam bersifat “kebudayaan rakyat”, bukan “kebudayaan keraton”, dan bahwa kebudayaan itu pada umumnya selalu mengenai hidup keagamaan, hidup kemasyarakatan, dan hidup kenegaraan.

Berhubungan dengan budaya keagamaan yang hidup pada masyarakat Jawa terutama budaya Islam, sejatinya telah terjadi akulturasi dengan budaya sebelumnya yakni budaya Hindu-Buddha. Tradisi lokal suatu masyarakat seperti juga budaya Jawa, dapat dipastikan memiliki hubungan dengan dunia magi yang berintikan pada mistisisme. Kepercayaan kepada dunia magi (mistik) seperti djelaskan Tylor dalam (Daniel L Pals, 2001: 38) menyebutkan bahwa magi didasarkan pada hubungan ide-ide, suatu kecenderungan yang “terletak pada fundasi sebenarnya dari akal manusia.” Tylor memberi contoh tentang kehidupan orang-orang primitif, mereka percaya meskipun dalam jarak yang jauh, mereka dapat melukai atau mengobati orang lain hanya dengan berbuat melalui kuku jari, seikat rambut, sepotong pakaian, atau apa pun yang memiliki hubungan dengan orang yang menjadi obyeknya.

Dalam hal ini, berkaitan dengan tradisi haul atau sedekah bumi yang dilakukan masyarakat Jawa, khususnya masyarakat Gresik bahwa penghormatan berupa doa-doa, ziarah kubur (nyekar) kepada para wali dan leluhur akan sampai kepada mereka.

Masyarakat Jawa dalam melakukan ritual magis akan berhubungan dengan selametan. Selametan menurut Geertz, (1983: 13-14) merupakan upacara keagamaan yang melambangkan kepada kesatuan mistis dan sosial. Selametan dalam masyarakat Jawa dilakukan untuk memenuhi hajat manusia yang dikuduskan. Upacara selametan dilakukan untuk memperingati kelahiran, kematian, sihir, kematian, pindah rumah, mimpi buruk, panen, ganti nama, sakit, memohon kepada arwah penjaga desa, bersih desa, khitanan dan lain-lain selalu diawali dengan selametan. Selametan adalah pengungkapan ringkas beberapa nilai-nilai utama Jawa yang saling berhubungan dan saling memperkuat (Newberry, 2013 : 62).

Metode Penelitian

(27)

25 merawat tradisi membangunharmoni: tinjauan sosiologis tradisi hauldan sedekah bumidi gresik

wawancara secara mendalam (3-depth interview) dilakukan terhadap tokoh-tokoh agama, dan masyarakat umum di Gresik. Sedangkan telaah dokumentasi dipergunakan untuk mendukung hasil observasi dan wawancara, terutama terkait dengan sejarah dan data-data kependudukan Kota Gresik.

Analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis deskriptif. Tujuan analisis ini untuk membuat suatu gambaran atau lukisan secara sistematis, faktual dan akurat, mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan antara fenomena yang diselidiki. Data-data yang diperoleh kemudian dipaparkan dan dianalisis dengan teknik deskriptif, yang merupakan suatu alur kegiatan yang meliputi: reduksi data, penyajian data, dan menarik kesimpulan (Moleong, 2000: 36). Analisis kualitatif pada umumnya tidak digunakan sebagai alat mencari data dalam arti frekuensi akan tetapi digunakan untuk menganalisis prores sosial yang berlangsung dan makna dari fakta-fakta yang tampak dipermukaan itu. Dengan demikian analisis kualitatif digunakan untuk memahami sebuah proses dan fakta dan bukan sekedar untuk menjelaskan fakta tersebut (Bungin, 2010: 144).

Setting Sosial Keagamaan Kota Gresik

Menurut Babad Gresik, pada akhir pemerintahan Kerajaan Majapahit dengan Raja Prabu Brawjaya, sekitar tahun 1361 M terdapat serombongan keturunan bangsa Arab berjumlah 40 orang yang dipimpin oleh Maulana Mahfur dan Maulana Ibrahim berlayar dan singgah di pantai Jawa Timur. Oleh mereka pesisir ini dinamakan “Gerwarasi” yang berarti letak tempatku beristirahat (Soekarman, 1990: 1). Terdapat beberapa versi tentang asal mula nama Gresik. Frasa tersebut terambil dari candra sengkala “…Hana ta kawulaningong saking Gresik warigaluh

ahutang saktei rong laksa..”. yang berarti menunjukkan tahun 1387 M. Kemudian bangsa Cina yang mendarat di kota ini pada abad 15 M menyebutnya dengan nama “T se T”sun (kampong kotor) dan berganti dengan “T sin T”sun (Gresik Kota Baru). Gresik dikenal pula dengan sebutan Tandes, selanjutnya orang Portugis memberi nama “Agace”, bangsa Belanda menyebut Grisse, dalam Serat Centhini disebut “Giri-Isa’. Sementara itu kata lain dari Gresik berasal dari “ Qarr-syaik yang mempunyai arti (tancapkan sesuatu). Kata lain yang menunjukkan daerah ini disepadankan dengan kata Giri-Nata (raja bukit), Gerwarase menurut J.A.B Wisselius, dan Giri-Gisik (tanah pesisir) (Mustakim, 2010: 2-4).

(28)

keagamaan, ekonomi, dan politik masyarakat Gresik dalam era penyebaran agama Islam (Zainuddin, 2010: 18).

Penduduk Kota Gresik selain dihuni oleh masyarakat pribumi asli, juga dihuni etnis lain yang hidup secara berkelompok. Etnis Arab bermukim di kampung Gapuro dan Pulopancikan (sebelah selatan alun-alun Gresik), etnis Cina di kampung Pecinan (sebelah timur alon-alon), etnis Eropa bermukim di sebelah Utara alun-alun, sedangkan etnis Madura menyebar di sekitar pantai dekat pelabuhan (Zainuddin, 2010: 14).

Secara geograis wilayah ini di sebelah Utara berbatasan dengan laut Jawa, kemudian sebelah Timur berbatasan dengan selat Madura, sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Sidoarjo, Kabupaten Mojokerto dan Kota Surabaya. Sedangkan sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Lamongan (BPS Gresik 2013).

Jumlah penduduk di kota ini mengalami perkembangan dari masa ke masa. Pada tahun 1850 seperti djelaskan Hageman dalam Zainuddin jumlah penduduk berkisar antara 20.000 jiwa. Pada abad 21 perkembangan penduduk mengalami peningkatan yang cukup signiikan. Sensus yang dilakukan Badan Pusat Statistik Kabupaten Gresik tahun 2013 jumlah penduduk kota ini adalah 1.307.995 jiwa. Berdasarkan jenis kelamin jumlah penduduk laki-laki berjumlah 658.786 jiwa dan jumlah penduduk 649.209 jiwa. Sedangkan jumlah penduduk berdasarkan pemeluk agama adalah 1.140.275 jiwa beragama Islam, 9.487 beragama Kristen, 3.942 beragama Katolik, 2.124 beragama Hindu, dan 405 beragama Buddha (BPS Gresik 2013).

Kondisi sosial budaya di Gresik cukup menarik untuk dikaji. Di wilayah ini terdapat berbagai macam tradisi yang masih dilestarikan oleh masyarakat Gresik. Haul dan sedekah bumi termasuk

tradisi yang masih hidup berkembang sampai sekarang. Tradisi haul hampir di semua wilayah Gresik melaksanakan dengan berbagai keunikan masing-masing kecamatan. Sedangkan tradisi sedekah bumi eksis dilaksanakan di Desa Setro Kecamatan Menganti.

Praktik Tradisi Haul dari Masa ke Masa

Praktik tradisi haul yang dilakukan masyarakat di Gresik, telah mengalami pergeseran atau perubahan dari waktu ke waktu. Jika dirunut ke belakang, tradisi ini telah ada pada masa akhir pemerintahan Sunan Prapen yaitu sekitar tahun 1590 M. Beliau menjabat sebagai raja pada dari tahun 1548 sampai 1605 M. Menurut Mustakim (2010) pada waktu itu Sunan Prapen membangun cungkup makam Sunan Giri. Hal ini dilakukan untuk menghormati Sunan Giri atau Raden Paku. Sebagai cucu Sunan Giri, Sunan Prapen memberi penghormatan kepada kakeknya dengan cara membangun makam beliau. Dalam masa pembangunan makam tersebut dimungkinkan Sunan Prapen melakukan perubahan dalam tata cara penghormatan kepada kakeknya. Dari praktik penghormatan kepada Sunan Giri inilah, tradisi penghormatan ke makam wali berkembang dari masa ke masa.

(29)

27 merawat tradisi membangunharmoni: tinjauan sosiologis tradisi hauldan sedekah bumidi gresik

adalah untuk membangkitkan semangat ibadah. Ketiga, untuk membangkitkan semangat perjuangan dan kerukunan (Wawancara dengan Mukhtar Jamil, 10 Maret 2014)

Tradisi kekuasaan rohani yang dibangun oleh Sunan Prapen, selanjutnya diteruskan oleh salah seorang muridnya yang berasal dari Lamongan yakni Ki Sindujoyo yang menetap di Gresik. Menurut penuturan warga terdapat dua makam Ki Sindujoyo yang satu berada di samping kanan luar makam Sunan Prapen dan yang satu terdapat di Desa Lumpur Gresik.

Terkait dengan tradisi haul di Lumpur Gresik, jika dirunut maka tradisi ini telah dilakukan sekitar tahun 1548 M atau berumur kurang lebih 424 tahun. Setiap tahunnya tradisi ini dilakukan untuk memberi penghormatan kepada para wali khususnya dan para ulama, kyai, dan tokoh agama yang mempunyai pengaruh. Upacara ritual yang dilakukan oleh masyarakat Lumpur khususnya dan Gresik pada umumnya, didahului dengan mengadakan ziarah (nyekar) ke makam Sunan Giri, Sunan Prapen dan sunan-sunan lain serta tidak lupa pula ziarah (nyekar) ke makam Ki Sindujoyo.

Dalam perkembangannya tradisi haul di Kelurahan Lumpur mengalami pasang surut dan pergeseran. Menurut keterangan (Wawancara dengan Arsyad, 17 Maret 2014) pada sekitar sebelum tahun 1965 tradisi haul dinamakan Wayang Bumi atau disebut juga Sedekah Bumi. Wayang Bumi seperti djelaskan Luhung, mitologi ini ada karena Buyut Poleng. Buyut Poleng berasal dari ular-ular yang menjelma menjadi manusia yang datang menemui seseorang dan menyuruh penduduk mengadakan Wayang Bumi dengan maksud mengenang Sindujoyo. Tradisi ini diadakan dengan menyerahkan hasil tangkapan ikan kepada panitia Wayang Bumi. Prosesi Wayang Bumi diawali dengan menyembelih sapi di Balai

Gedhe, kemudian melekan (tidak tidur di malam hari) di Balai Gedhe, wayangan, bandungan, tandaan tiga hari tiga malam, dan mecah endhas. Karena dalam tradisi ini terdapat kegiatan yang mengandung unsur maksiat yaitu minum-minuman keras, maka para ulama pada waktu itu berusaha untuk meluruskan tradisi Wayang Bumi (Dukut 2004: 320-322).

Menurut penuturan Mustakim, mantan kepala desa yang menjabat di Desa Lumpur sejak 1988 hingga 2001 menjelaskan tentang kondisi masyarakat Lumpur sebagai berikut:

“Dahulu masyarakat Desa Lumpur sering melakukan kegiatan yang berbau maksiat. Contohnya suka minum-minuman keras. Tradisi negatif ini puncaknya pada perayaan Wayang Bumi atau Sedekah Bumi. Sejak tahun 1965 secara berangsur-angsur melalui Kyai Nur dan Kyai Sahlan masyarakat disadarkan akan bahaya minuman keras, dan dikenalkan dengan ajaran Islam. Saya sebagai kepala desa pada saat itu melakukan perubahan dengan bahasa agama. Oleh karena itu Wayang Bumi yang tadinya penuh dengan perbuatan maksiat oleh Kyai Nur dan Kyai Sahlan dalam tradisi itu diselipi dengan nilai-nilai ajaran Islam, seperti ziarah, tahlil, Khotmil Quran dan manaqiban.”

Seperti djelaskan Agus Suwarno tokoh desa masyarakat Lumpur, tradisi haul dilakukan oleh semua masyarakat. Masyarakat secara suka rela bergotong royong untuk mengadakan tradisi ini dengan menyumbangkan hasil tangkapan ikan yang dikelola oleh LKMD Desa Lumpur. Mengenai upacara tradisi ini, tata cara ritual haul djelaskan sebagai berikut:

(30)

dengan berjalan kaki dan pada saat sekarang menggunakan kendaraan, pernah suatu saat kendaraan bak terbuka yang digunakan hingga mencapai 100 kendaraan lebih. Berikutnya, pada malam harinya diadakan pembacaan wacan Sindujoyo yaitu macapat untuk mengenang sejarah Sindujoyo yang dibaca dengan macapatan oleh Bapak Nur Ngaidi. Pada hari berikutnya diadakan mujahadah dengan membaca surah yasin dan tahlil, kadang dengan khataman al-Quran 30 juz yang dibaca seharian, malamnya diadakan pembacaan Manaqib Syaikh Abdul Qadir al-Jailani dan terkadang diisi pengajian. Pernah suatu saat mengundang H. Rhoma Irama dan Gus Mus (Mustofa Bisri) untuk mengisi pengajian di acara khaul tersebut.”

Selain kegiatan di atas, terkadang juga ditampilkan pula hadrah atau kasidah, kemudian pencak macam untuk menyemarakkan tradisi ini. Berbagai acara tradisi haul di atas, yang dilaksanakan oleh semua warga masyarakat Kelurahan Lumpur sesungguhnya mempunyai tujuan yang sangat baik dan mulia. Dari segi upacara keagamaan dapat meningkatkan semangat untuk beribadah kepada Allah dan menjauhi atau mengurangi hal-hal yang berbau maksiat.

Kepercayaan kepada yang ghaib sesungguhnya dalam ajaran Islam diperbolehkan, tetapi jika percaya kepada animisme dengan mengkultuskan tokoh tertentu dalam ajaran Islam tidak diperbolehkan. Tradisi haul yang dilaksanakan secara rutin setiap tahun oleh masyarakat Kelurahan Lumpur dalam pandangan Geertz (1985: 32), bahwa komunitas masyarakat Kelurahan Lumpur telah melakukan solidaritas sosial.

Penghormatan kepada roh leluhur oleh Frazer dalam Pals (2011:

28) diasosiasikan dengan teori agama (kepercayaan atau magi) dan Tylor menganggap sebagai praktek animisme. Sistem kepercayaan agama masyarakat Kelurahan Lumpur yang memiliki kepercayaan terhadap roh suci (wali) atau dayang desa dapat dikatakan sebagai perwujudan penghormatan kepada para wali yang telah menancapkan fondamen dasar keimanan mereka kepada Yang Maha Kuasa. Perubahan sosial dari masa ke masa di Gresik tidak terlepas dari peran para wali yang telah berjasa dalam bidang agama, ekonomi (melalui jalur dagang), politik (dibangunnya Kerajaan Giri Kedaton), dan budaya-budaya yang lekat dengan kondisi sosio masyarakat Gresik.

Melalui praktek tradisi haul sesungguhnya masyarakat Desa Lumpur telah melakukan perubahan sosial untuk kemajuan masyarakatnya. Nilai kerukunan yang terdapat dalam tradisi ini dapat digambarkan dengan terjadinya komunikasi antar anggota masyarakat. Melalui ziarah wali (nyekar) kepada tokoh atau dan yang desa, semua elemen masyarakat terlibat, baik anak-anak, remaja, maupun orang tua secara aktif mengikuti tradisi ziarah yang merupakan peninggalan warisan budaya masa lalu yaitu sejak masa kerajaan Giri Kedaton yang dipimpin oleh Sunan Prapen. Sunan Prapen berusaha untuk mengembalikan wibawa pemerintah kerajaan saat itu dengan mengadakan haul untuk memperingati Prabu Satmata atau dikenal dengan Sunan Giri atau Raden Paku.

Demikian pula dalam upacara pembacaan kitab suci, mendoakan arwah dengan membaca surah yasin, tahlil, Khotmil Quran (bi al-Ghoib dan

(31)

29 merawat tradisi membangunharmoni: tinjauan sosiologis tradisi hauldan sedekah bumidi gresik

cenderung kurang beradab, pada masa sekarang dengan tradisi keagamaan yang sangat kental semakin harmonis dalam membangun hubungan dengan sesama anggota masyarakatnya.

Praktik Hidup Rukun dalam Tradisi Sedekah Bumi

Seperti halnya tradisi haul di Kelurahan Lumpur Gresik, tradisi Sedekah Bumi yang dilakukan warga Desa Setro-Menganti diselenggarakan sebagai wujud syukur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa atas hasil panen yang mereka terima. Sejarah diselenggarakannya sedekah bumi tidak diketahui secara pasti, kapan tradisi mulai dirayakan. Menurut keterangan (Saifur Rahman, 13 Maret 2014) hampir semua desa di Kecamatan Menganti melaksanakan tradisi Sedekah Bumi. Hanya saja pelaksanaan Sedekah Bumi di Desa Setro memiliki kekhasan yang tidak dimiliki desa lain.

Secara geograi Desa Setro letaknya cukup strategis karena merupakan daerah perbatasan dengan Kota Surabaya. Batas desa ini di sebelah utara berbatasan dengan Desa Pengalangan, sebelah Selatan berbatasan dengan Desa Randegansari, sebelah Barat berbatasan dengan Desa Sidowungu dan sebelah Timur berbatasan dengan Desa Laban. Luas wilayah desa ini adalah 328,325 Ha yang terbagi 64,200 Ha untuk pemukiman penduduk, 145,258 Ha untuk lahan pertanian, 90,340 Ha berupa tegalan, dan 28,527 lain-lain. (Proil Desa Setro).

Sebagai desa budaya, Desa Setro memiliki visi misi yang cukup visioner yakni ”Mewujudkan masyarakat bersatu membangun desa, kuat berkeyakinan beragama, sejahtera, aman dan tentram serta melestarikan kearifan budaya lokal.” Sedangkan misi desa ini adalah sebagai berikut: 1). Mewujudkan masyarakat yang beriman, bertaqwa dan berakhlaqul

karima; 2). Meningkatkan peran serta dan pemberdayaan masyarakat; 3). Mewujudkan pemerintah yang baik dan berwibawa; 4). Mewujudkan kondisi desa yang aman, tertib, tentram dan damai; 5). Mewujudkan kondisi desa yang bebas dari polusi sampah; 6). Meningkatkan pembangunan ekonomi desa dengan titik berat ekonomi kerakyatan; 7). Meningkatkan pembangunan sarana dan prasarana desa; 8). Meingkatkan kualitas pelayanan public; 9). Meningkatkan dan melestarikan nilai-nilai seni dan budaya; 10). Melaksanakan kegiatan “selamatan desa/sedekah bumi sebagai warisan nenek moyang masyarakat desa (Sumber: Proil Desa Setro).

Sebagaimana telah djelaskan dalam visi dan misi Desa Setro, desa ini memiliki semangat yang kuat untuk melestarikan tradisi budaya lokal. Tradisi Sedekah Bumi telah dilaksanakan secara turun temurun oleh masyarakat Desa Setro. Menurut keterangan sesepuh Desa Setro (Wawancara dengan Ahmad Junaidi, 12 Maret 2014) bahwa tradisi Sedekah Bumi telah dilakukan ratusan tahun yang lalu sejak jaman penjajahan Belanda atau sekitar awal abad 19. Hal ini pun dikuatkan keterangan mantan kepala Desa Setro (Wawancara dengan Bambang Suprayitno, 14 Maret 2014) yang menjabat selama 14 tahun. Menurutnya, tradisi sedekah bumi sejak lurah yang pertama pada tahun 1939 tradisi ini telah dilaksanakan dan dilestarikan sampai saat ini.

(32)

desa, ruwahan desa, dan bersih desa. Tujuan dari pelaksanaan Sedekah Bumi adalah untuk memohon keselamatan desa dari segala malapetaka (Wawancara dengan Suhanandi, 13 Maret 2014)

Lebih lanjut Ahmad Junaidi dan Suhanandi menjelaskan, dahulu kala di desa ini mengalami pagebluk, terjadi kemarau yang sangat panjang dan warga desa tidak dapat menanam padi maupun tanaman lainnya. Pada suatu ketika sekelompok penggembala kambing (cah angon) memohon kepada Tuhan agar diturunkan hujan. Ternyata doa anak-anak penggembala tadi dikabulkan oleh Tuhan dan turun hujan dengan lebat. Seketika itu anak-anak penggembala kambing (cah angon) tadi berjingkrak-jingkrak sangat gembira. Mereka bermain-main air, hujan-hujanan, dan saling berpasangan membentuk permainan gulat. Mereka saling banting-membanting, berangkulan, dan diringi tawa ceria menyambut datangnya hujan. Maka sejak saat itu penduduk Desa Setro mengadakan tegal desa (selamatan desa) untuk merayakan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa. Sejak saat itu pula tradisi

gulat okol diabadikan untuk melengkapi tradisi Sedekah Bumi.

Sebelum tradisi S

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian merekomendasikan beberapa hal yaitu: (1) Direktur Jenderal Pemasyarakatan dan Direktur Jenderal Peraturan Perundang-Undangan agar segera membuat

Penegakan hukum pidana secara total ini tidak mungkin dilakukan sebab para penegak hukum dibatasi secara ketat oleh hukum acara pidana yang antara

Tak hanya TazkiyaSejati, lembaga-lembaga pendidikan Islam komersial yang masanya pendek tidak menyediakan bimbingan spiritual yang penuh meskipun memperkenalkan jalan untuk

PERANAN WARMAN DALAM GERAKAN KOMANDO JIHAD (1976-1981).. Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu |

penulis merumuskan masalah penelitian sebagai berikut; Bagaimanakah Implementasi Sistem Informasi Administrasi Kependudukan di Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kabupaten

Komponen Persepsi peran memiliki tiga dimensi: 1. akurasi Peran , Akurasi peran merujuk pada tingkat dimana persepsi tenaga kerja terhadap rekan kerjanya dapat memenuhi

Dalam hal adanya fiksi hukum, yang menyatakan semua keputusan pejabat tata usaha negara adalah berdasarkan undang-undang, maka untuk persyaratan pembayaran pendahuluan tersebut

Studi ini dimaksudkan untuk menjawab permasalahan : yaitu apakah dengan metode jigsaw dapat meningkatkan Hasil Belajar Pendidikan Agama Islam materi Kitab-Kitab Allah pada