BAB I PENDAHULUAN
1. 1. Latar Belakang
Perkembangan zaman yang semakin pesat mengakibatkan tuntutan
pemenuhan berbagai kebutuhan masyarakat menjadi semakin meningkat, terutama
kepada pemerintah. Keluhan masyarakat terhadap kurangnya kualitas pelayanan
merupakan salah satu indikator yang menunjukkan belum memadainya pelayanan
yang diberikan oleh aparatur pemerintah. Tuntutan dan kebutuhan masyarakat
tersebut merupakan tantangan bagi birokrasi untuk dapat memberikan pelayanan
yang terbaik serta untuk dapat melaksanakan fungsinya dengan baik. Untuk itu,
institusi birokrasi perlu menerapkan strategi peningkatan pelayanan yang tanggap
terhadap kebutuhan-kebutuhan masyarakat yang menghendaki kualitas pelayanan.
Terkait dalam usaha peningkatan kualitas kinerja dan pelayanan
pemerintah, pemanfaatan informasi merupakan salah satu elemen yang cukup
penting. Informasi merupakan hal yang tidak terpisahkan dalam kehidupan bisnis
dan organisasi, disamping sumber daya alam, modal dan manusia. Selain itu,
keterbatasan kapasitas manusia untuk mampu mengolah data dan informasi yang
begitu cepat berubah mendorong manusia untuk memanfaatkan secara optimal
teknologi dan sistem informasi yang pada zaman ini sudah menjadi bagian yang
tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia dan kegiatan sehari – hari
(Sukirno, 2004).
Penggunaan informasi dalam suatu organisasi berfungsi sebagai suatu
pertimbangan dalam pemecahan masalah dan pengambilan keputusan yang
kemudian diterapkan dalam bentuk pelayanan. Hal ini dikarenakan keterbatasan
kemampuan manusia dan tidak dapat memprediksi dampak dari suatu keputusan
ketidakpastian untuk mengurangi resiko, bukan menghilangkannya. Sesuai
perkembangan zaman yang begitu pesat, tata cara penanganan suatu informasi
mulai menggunakan alat-alat bantu yang canggih seperti komputer dan alat
pendukung lainnya, sehingga mempermudah proses penanganan informasi yang
digunakan dalam kegiatan pemerintahan.
Deli Serdang merupakan kabupaten dengan luas dan jumlah penduduk
yang cukup besar, terhitung memiliki luas 2.394 Km2, dan 1.791.431 populasi
dengan deskripsi yang dipaparkan dalam tabel di bawah ini;
Tabel 1: Jumlah Penduduk Deli Serdang Tahun 2013
No. Nama Wilayah
Jumlah Penduduk Jumlah Penduduk Laki-laki Perempuan
1 Gunung Meriah 1.460 1.466 2.926
2 Tanjung Morawa 117. 112 114.782 231.894
3 Sibolangit 11.289 11.233 22.522
4 Kutalimbaru 18.936 19.094 38.030
5 Pancur Batu 49.298 49.362 98.660
6 Namo Rambe 20.616 20.943 41.559
7 Biru-biru 19.869 19.513 39.382
8 STM Hilir 18.915 18.781 37.696
9 Bangun Purba 13.459 13.265 26.724
10 Galang 39.244 37.957 77.201
11 STM Hulu 7. 145 7. 141 14.286
12 Patumbak 50.219 48.573 98.792
13 Deli Tua 33.380 32.508 65.888
14 Sunggal 136.955 133.961 270.916
15 Hamparan Perak 87.965 83.807 171.772
16 Labuhan Deli 38.339 36.664 75.003
18 Batang Kuis 33.787 32.810 66.597
19 Lubuk Pakam 58. 153 59.240 117.393
20 Pagar Merbau 20.625 20. 192 40.817
21 Pantai Labu 25.730 24.627 50.357
22 Beringin 31.457 30.495 61.952
Total Jumlah 1.048.062 1.024.052 2.072. 114 Sumber: Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Deli Serdang
Dengan jumlah penduduk yang besar seperti ini serta luasnya wilayah hukum Deli
Serdang, maka dituntut adanya suatu data kependudukan yang baik pula, demi
kepentingan penyelenggaraan pelayanan publik yang menyentuh seluruh lapisan
masyarakat secara merata. Apabila terjadi ketimpangan yang nyata antara jumlah
penduduk yang besar dengan dukungan sumber daya manusia yang relatif rendah,
maka akan timbul permasalahan-permasalahan menyangkut kependudukan. Oleh
karena itu, pemerintah diharapkan dapat menyelenggarakan administrasi
kependudukan yang terorganisir dari pusat hingga ke daerah.
Data kependudukan yang akurat merupakan perihal yang sangat penting
dalam kehidupan masyarakat. Data kependudukan selalu bersentuhan dengan
setiap aktivitas kita diantaranya adalah saat pemilu legislatif, pemilu presiden,
pilkada, mengurus surat-surat kendaraan, mengurus surat-surat tanah, dan lain
sebagainya. KTP misalnya, dapat kita jadikan sebagai nomor unik untuk berbagai
keperluan, misalnya dalam mengurus pajak penghasilan, pajak kendaraan
bermotor, kepemilikan bangunan, dan lain sebagainya. Dengan mengintegrasikan
data secara nasional maka tidak akan terjadi seseorang yang memiliki KTP ganda.
Karena kita akan memiliki suatu tanda identitas yang dapat digunakan di seluruh
Indonesia.
Data kependudukan yang tidak akurat memang sering menuai masalah,
diantaranya adalah masalah DPT (Daftar Pemilih Tetap) yang saat ini menjadi
masalah yang cukup ramai di saat-saat pemilu seperti ini, seperti adanya pihak
terkait dengan data kependudukan, jika data kependudukan benar dan up to date
maka penetapan DPT tidak akan menuai masalah. Pemanfaatan teknologi
informasi dalam rangka menyusun sistem informasi kependudukan yang akurat
dan terpercaya perlu dioptimalkan. Jika kita membuat sebuah sistem informasi
yang terintegrasi maka akan memungkinkan kita melakukan pengolahan data
kependudukan secara cepat dan akurat.
Pada 2008 lalu, Pemilihan Gubernur Sumatera Utara (Pilgubsu) yang
digelar tanggal 16 April menuai banyak kritik terkait masalah DPT. Dalam
Pilkada tersebut, ada anak balita yang terdaftar sebagai pemilih, ditemukan di
kecamatan Deli Tua, termasuk Deli Serdang. Kemudian ada kasus pemilih
terdaftar yang telah meninggal, serta besarnya jumlah penduduk yang tidak
terdaftar sebagai pemilih, beberapa diantaranya adalah hampir 150 orang warga
Deli Serdang (www.waspada.co.id). KPU pada saat itu menyatakan bahwa hal
tersebut tidak sepenuhnya menjadi kesalahan mereka karena dalam penetapan
DPT, mereka hanya dapat mengolah data kependudukan yang diserahkan oleh
pemerintah daerah.
Pengalaman buruk mengenai DPT juga masih terjadi sampai pada saat ini.
Pada Pilgubsu Maret 2013 lalu masih juga ditemukan adanya warga yang
seharusnya memiliki hak untuk memilih tetapi tidak terdaftar sebagai pemilih dari
kabupaten-kabupaten (www.sumutinfo.com), perbedaan jumlah pemilih pilgubsu
dimana data dari BPS menyajikan sekitar 9 juta pemilih sedangkan data dari
pemerintah provinsi Sumatera Utara menunjukkan adanya 11 juta pemilih yang
memicu keraguan atas validitas DPT saat itu (http://harianandalas.com), masih
tercantumnya warga yang telah berpindah domisili dalam daftar pemilih di lokasi
asalnya, serta penetepan lokasi TPS yang tidak berbasis lingkungan terdekat
dengan lokasi warga sebagai pemilik hak suara.
Penetapan DPT dalam penyelenggaraan pemilihan kepala daerah diawali
dengan penyerahan Daftar Penduduk Potensial Pemilih Pilkada (DP-4) untuk
tersebut adalah pemerintah daerah melalui Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil
di tingkat kabupaten. Oleh karena itu, Disdukcapil memiliki peran yang sangat
besar dalam menentukan kemutakhiran hasil penetapan DPT untuk pemilihan
kepala daerah, baik di tingkat provinsi maupun kabupaten, melalui penyediaan
data kependudukan yang tepat, akurat, terintegritas, serta mudah untuk diakses.
Administrasi kependudukan berdasarkan pada Undang-Undang No. 23
Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan, pada hakikatnya berkewajiban
memberikan perlindungan dan pengakuan terhadap penentuan status pribadi dan
status hukum atas setiap peristiwa kependudukan dan peristiwa penting yang
dialami oleh penduduk indonesia yang berada di dalam dan/ atau di luar wilayah
Indonesia. Perlindungan tersebut berupa pelayanan publik melalui penerbitan
dokumen kependudukan seperti Nomor Induk Kependudukan (NIK), Kartu Tanda
Penduduk (KTP), Kartu Keluarga (KK), dan akta-akta catatan sipil, termasuk
Akta Kelahiran.
Upaya dalam menjaga ketepatan dan ketersediaan data-data tentang
penduduk yang lengkap, akurat, serta mudah diakses merupakan hal yang sangat
penting dalam penyelenggaraan pemerintahan. Demi pencapaian yang lebih baik
dalam usaha menciptakan tatanan administrasi di bidang kependudukan itu,
pemanfaatan teknologi dalam sistem informasi menjadi pilihan yang tidak dapat
ditawar-tawar. Oleh karena itu, dengan tujuan untuk peningkatan kualitas
penyelenggaraan administrasi kependudukan dalam melakukan pengumpulan,
pengolahan data penduduk yang berbasis teknologi informasi, Pemerintah Pusat
dalam hal ini telah menyiapkan suatu sistem yang diberi nama “Sistem Informasi
Administrasi Kependudukan (SIAK)“ yang secara hukum ditetapkan dalam
Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan Administrasi
Kependudukan.
Ditetapkannya Sistem Informasi Administrasi Kependudukan (SIAK)
sebagai suatu kebijakan yang dipersiapkan untuk meningkatan kualitas
langsung dapat menjamin tercapainya ekspektasi-ekspektasi yang sebelumnya
menjadi acuan dalam perencanaan penetapannya. Suatu kebijakan harus
dikonversi menjadi kegiatan operasional untuk mencapai tujuannya. Dengan kata
lain, tahap implementasi kebijakan Sistem Informasi Administrasi Kependudukan
(SIAK) pun memiliki peran yang begitu penting dalam menentukan tercapai atau
tidak nya peningkatan kualitas pelayanan publik yang diharapkan.
Berdasarkan pemaparan di atas, penulis merasa tertarik ingin meneliti
secara langsung bagaimana implementasi kebijakan Sistem Informasi
Administrasi Kependudukan (SIAK) di Deli Serdang secara langsung mengingat
pentingnya data kependudukan yang akurat dalam pelaksanaan program-program
pemerintah serta banyaknya masalah yang muncul akibat kekurangannya, dan
mengangkatnya ke dalam penelitian yang berjudul Implementasi Sistem Informasi
Administrasi Kependudukan di Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil
Kabupaten Deli Serdang.
1. 2. Perumusan Masalah
Agar penelitian dapat dilaksanakan dengan sebaik-baiknya maka penulis
harus merumuskan masalahnya sehingga jelas dari mana harus memulai, kemana
harus pergi, dan dengan apa ia melakukan penelitian (Arikunto, 1993:17). Dengan
demikian dapat disimpulkan bahwa pentingnya perumusan masalah adalah agar
diketahui arah jalam suatu penelitian.
Berdasarkan penjelasan diatas maka di dalam melakukan penelitian ini
1. 3. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini secara umum adalah untuk mengetahui
tentang proses Implementasi Sistem Informasi Administrasi Kependudukan
(SIAK) pada Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kabupaten Deli Serdang,
dan secara khusus tujuan penelitian ini adalah untuk menggambarkan
Implementasi Sistem Informasi Administrasi Kependudukan (SIAK) di Dinas
Kependudukan dan Catatan Sipil Kabupaten Deli Serdang.
1. 4. Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian merupakan hasil penelitian yang dilakukan. Manfaat
penelitian yang dimaksud dalam ini mencakup hal-hal sebagai berikut :
1. Bermanfaat mengembangkan kemampuan dalam penulisan karya ilmiah.
2. Bermanfaat menjadi kontribusi yang positif bagi kelanjutan implementasi
kebijakan Sistem Informasi Administrasi Kependudukan di masa-masa
yang akan datang.
3. Secara akademis, sebagai salah satu syarat dalam penyelesaian studi strata-1
di Depatemen Ilmu Administrasi Negara Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik Universitas Sumatera Utara.
1. 5. Kerangka Teori 1.5.1. Kebijakan Publik
Kebijakan (policy) diberi arti yang bermacam-macam oleh berbagai pakar.
Seperti Friedrick (dalam Winarno, 2002: 16) mendefenisikan kebijakan sebagai
suatu arah tindakan yang diusulkan oleh seseorang, kelompok atau pemerintah
dalam suatu lingkungan tertentu dengan menunjukkan hambatan-hambatan dan
dan mengatasi masalah dalam rangka mencapai suatu tujuan atau merealisasikan
suatu sasaran ataupun maksud tertentu.
Sedangkan menurut Anderson (dalam Nurcholis, 2007: 263) kebijakan
adalah suatu tindakan yang mempunyai tujuan yang dilakukan seseorang pelaku
atau sejumlah pelaku untuk memecahkan suatu masalah. Anderson
mengklasifikasikan kebijakan (policy) menjadi dua: subtantif dan prosedural.
Kebijakan subtantif yaitu apa yang harus dikerjakan, sedangkan kebijakan
prosedural yaitu siapa dan bagaimana kebijakan tersebut diselenggarakan.
Kebijakan publik, menurut Anderson yang mengutip pernyataan dari
Robert Eyestone (dalam Soenarko, 2003:42) adalah hubungan suatu lembaga
pemerintah terhadap lingkungannya.
Mustopadidjaja (dalam Nurcholis, 2007: 263), menjelaskan bahwa istilah
kebijakan lazim digunakan dalam kaitannya dengan tindakan atau kegiatan
pemerintah serta perilaku negara pada umumnya dan kebijakan tersebut
dituangkan dalam berbagai bentuk peraturan-peraturan.
Easton (dalam Tangkilisan, 2003A:2) memberikan pengertian kebijakan
publik sebagai pengalokasian nilai-nilai kekuasaan untuk seluruh masyarakat yang
keberadaannya mengikat. Sehingga cukup pemerintah yang dapat melakukan
sesuatu tindakan kepada masyarakat dan tindakan tersebut merupakan bentuk dari
sesuatu yang dipilih oleh pemerintah yang merupakan bentuk dari pengalokasian
nilai-nilai kepada masyarakat.
Chandler dan Plano (dalam Tangkilisan, 2003A:1) menyatakan bahwa
kebijakan publik adalah pemanfaatan yang strategis terhadap sumber daya yang
ada untuk memecahkan masalah-masalah publik atau pemerintah. Kebijakan
tersebut telah banyak membantu para pelaksana pada tingkat birokrasi pemerintah
maupun para politisi untuk memecahkan masalah-masalah publik. Kemudian
kebijakan publik akan disebut sebagai suatu bentuk intervensi yang dilakukan
beruntung dalam masyarakat agar mereka dapat hidup, dan ikut berpartisipasi
dalam pembangunan secara luas.
Dengan mempertimbangkan berbagai pendapat ahli yang telah dipaparkan
sebelumnya, penulis menyimpulkan bahwa kebijakan publik adalah segala bentuk
tindakan dan kegiatan yang ditetapkan oleh pemerintah sebagai bentuk
pengalokasian nilai-nilai kekuasaan, demi pencapaian suatu tujuan yang
berorientasi pada pemecahan masalah-masalah publik dan penyelenggaraan
pemerintahan yang baik, serta tertuang dalam bentuk aturan-aturan yang
berlandaskan hukum.
1.5.2. Implementasi Kebijakan Publik
1.5.2.1. Pengertian Implementasi Kebijakan Publik
Kata implementasi dalam Kamus Webster (dalam Wahab, 1991:50),
secara etimologi, diadopsi dari kata “to implement” yang berarti “to provide
means for carrying out; to give practical effect to”, yaitu menyajikan sarana untuk
melaksanakan sesuatu; menimbulkan dampak/ berakibat sesuatu.
Patton dan Sawicki (dalam Tangkilisan, 2003B:78) bahwa implementasi
berkaitan dengan berbagai kegiatan yang diarahkan untuk merealisasikan
program, dimana pada posisi ini eksekutif mengatur cara untuk mengorganisir,
menginterpretasikan dan menerapkan kebijakan yang telah diseleksi. Sehingga
dengan mengorganisir, seorang eksekutif mampu mengatur secara efektif dan
efisien sumber daya, unit-unit dan teknik yang dapat mendukung pelaksanaan
program, serta melakukan interpretasi terhadap perencanaan yang dibuat, dan
petunjuk yang dapat diikuti dengan mudah bagi realisasi program yang
dilaksanakan.
Implementasi kebijakan merupakan peristiwa yang berhubungan dengan
apa yang terjadi setelah suatu perundang-undangan ditetapkan dengan
dan dapat diukur. Dengan demikian tugas implementasi kebijakan sebagai suatu
penghubung yang memungkinkan tujuan-tujuan kebijakan mencapai hasil melalui
aktivitas atau kegiatan dari program pemerintah. (Tangkilisan, 2003B:9)
Pressman dan Wildavsky (dalam Syaukani, Gaffar dan Rasyid, 2002: 295),
merumuskan implementasi sebagai proses interaksi diantara perangkat tujuan dan
tindakan yang mampu untuk meraihnya, serta serangkaian aktifitas langsung yang
diarahkan untuk menjadikan program berjalan, dimana aktifitas tersebut
mencakup:
a. Organisasi (Organization): pembentukan atau penataan kembali sumber
daya, unit-unit serta metode untuk menjadikan program berjalan;
b. Interpretasi (Interpretation); menafsirkan agar program menjadi rencana
dan pengarahan yang tepat untuk dapat diterima dan dilaksanakan;
c. Penerapan (Application); ketentuan rutin dari pelayanan, pembayaran,
atau lainnya yang dapat disesuaikan dengan tujuan atau perlengkapan
program”.
Mazmanian dan Sabatier (dalam Wahab, 1991: 51), mengatakan bahwa
makna implementasi adalah apa yang senyatanya terjadi sesudah suatu program
dinyatakan berlaku atau dirumuskan merupakan fokus perhatian implementasi
kebijakan, yakni kejadian-kejadian dan kegiatan-kegiatan yang timbul sesudah
disahkannya usaha-usaha untuk mengadministrasikannya maupun untuk
menimbulkan akibat/dampak nyata pada masyarakat atau kejadian-kejadian.
Grindle (dalam Wahab, 1991: 45), berpendapat bahwa implementsi
kebijakan sesungguhnya bukanlah sekedar bersangkut paut dengan mekanisme
penjabaran keputusan-keputusan politik dalam prosedur-prosedur rutin lewat
saluran-saluran birokrasi, melainkan lebih dari itu, ia menyangkut masalah
konflik, keputusan dan siapa yang memperoleh apa dari suatu kebijakan. Oleh
sebab itu tidak terlalu salah jika dikatakan implementasi kebijakan merupakan
Dari berbagai pemaparan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa
implementasi kebijakan adalah suatu tahap yang berlangsung setelah suatu
kebijakan ditetapkan, di mana kebijakan dioperasionalisasikan dalam
kegiatan-kegiatan yang terencana dan terorganisir, untuk dapat mencapai standar dan
sasaran kebijakan, dengan memperhatikan lingkungan serta dampak di berbagai
bentuk kegiatannya, sebagai bahan dalam perbaikan perencanaan kebijakan publik
ke depannya.
1.5.2.2. Model Implementasi Kebijakan Publik
Dalam rangka mengimplementasikan kebijakan publik, dikenal beberapa
model implementasi kebijakan (Tangkilisan, 2003A:20), antara lain:
a. Model Gogin
Untuk mengimplementasikan kebijakan dengan model Gogin ini dapat
mengidentifikasikan variabel-variabel yang mempengaruhi tujuan-tujuan formal
pada keseluruhan implementasi, yakni: 1) bentuk dan isi kebijakan, termasuk
didalamnya kemampuan kebijakan untuk menstrukturkan proses implementasi, 2)
kemampuan organisasi dengan segala sumber daya berupa dana maupun insentif
lainnya yang akan mendukung implementasi secara efektif, dan 3) pengaruh
lingkungan dari masyarakat dapat berupa karakteristik, motivasi, kecenderungan
hubungan antara warga masyarakat, termasuk pola komunikasinya.
b. Model Grindle
Grindle menciptakan menciptakan model implementasi sebagai kaitan
antara tujuan kebijakan dan hasil-hasilnya, selanjutnya pada model ini hasil
kebijakan yang dicapai akan dipengaruhi oleh isi kebijakan yang terdiri dari:
1). Kepentingan-kepentingan yang dipengaruhi
3). Derajat perubahan yang diharapkan
4). Letak pengambilan keputusan
5). Pelaksanaan program
6). Sumber daya yang dilibatkan
Isi sebuah kebijakan akan menunjukkan posisi pengambilan keputusan oleh
sejumlah besar pengambilan keputusan, sebaliknya ada kebijakan tertentu yang
lainnya hanya ditentukan oleh sejumlah kecil unit pengambil kebijakan.
Pengaruh selanjutnya adalah konteks lingkungan yang terdiri dari:
1). Kekuasaan, kepentingan dan strategi aktor yang terlibat
2). Karakteristik lembaga penguasa
3). Kepatuhan dan daya tanggap
Karenanya setiap kebijakan perlu mempertimbangkan konteks atau lingkaran
dimana tindakan administrasi dilakukan. Intensitas keterlibatan para perencana,
politisi, pengusaha, kelompok sasaran dan para pelaksana kebijakan akan
bercampur baur mempengaruhi efektifitas implementasi.
c. Model Van Meter dan Van Horn
Model implementasi kebijakan ini dipengaruhi oleh 6 faktor, yaitu:
1). Standar kebijakan dan sasaran yang menjelaskan rincian tujuan keputusan
kebijakan secara menyeluruh
2). Sumber daya kebijakan berupa dana pendukung implementasi
3). Komunikasi inter organisasi dan kegiatan pengukuran digunakan oleh
pelaksana untuk memakai tujuan yang hendak dicapai
4). Karakteristik pelaksana, artinya karakteristik organisasi merupakan faktor
5). Kondisi sosial ekonomi dan politik yang dapat mempengaruhi hasil
kebijakan
6). Sikap pelaksanaan dalam memahami kebijakan yang akan ditetapkan
Van Meter dan Van Horn (dalam Samodra, Yuyun dan Agus, 1994: 19)
menegaskan bahwa pada dasarnya kinerja dari implementasi kebijakan adalah
penilaian atas tingkat ketercapaian standar dan sasaran kebijakan tersebut.
d. Model Edward III
Menurut George C. Edward III (dalam Subarsono 2005:90) ada empat
faktor yang berpengaruh terhadap keberhasilan atau kegagalan implementasi suatu
kebijakan, yaitu faktor komunikasi, sumber daya, struktur birokrasi, dan disposisi.
1) Struktur Birokrasi
Struktur organisasi yang bertugas mengimplementasikan kebijakan
memiliki pengaruh yang signifikan terhadap implementasi kebijakan. Salah satu
dari aspek struktur yang paling penting dari setiap organisasi adalah adanya
rincian tugas dan prosedur pelayanan yang telah disusun oleh organisasi. Rincian
tugas dan prosedur pelayanan menjadi pedoman bagi implementor dalam
bertindak. Selain itu struktur organisasi yang terlalu penjang akan cenderung
melemahkan pengawasan dan menimbulkan red-tape, yakni prosedur birokrasi
yang rumit dan kompleks. Dan pada akhirnya menyebabkan aktivitas organisasi
tidak fleksibel.
2) Komunikasi
Struktur organisasi yang bertugas mengimplementasikan kebijakan
memiliki pengaruh yang signifikan terhadap implementasi kebijakan. Salah satu
dari aspek struktur yang paling penting dari setiap organisasi adalah adanya
rincian tugas dan prosedur pelayanan yang telah disusun oleh organisasi. Rincian
tugas dan prosedur pelayanan menjadi pedoman bagi implementor dalam
melemahkan pengawasan dan menimbulkan red-tape, yakni prosedur birokrasi
yang rumit dan kompleks. Dan pada akhirnya menyebabkan aktivitas organisasi
tidak fleksibel.
Persyaratan pertama bagi implementasi kebijakan yang efektif adalah
bahwa mereka yang melaksanakan keputusan harus mengetahui apa yang harus
mereka lakukan. Keputusan-keputusan kebijakan dan perintah-perintah harus
diteruskan kepada personil yang tepat sebelum keputusan dan perintah-perintah
tersebut dapat diikuti. Tentu saja, komunikasi harus akurat dan harus dimengeti
dengan cermat. Secara umum Edwards membahas tiga indikator penting dalam
proses komunikasi kebijakan yakni:
1. Transmisi. Penyaluran komunikasi yang baik akan dapat
menghasilkan suatu implementasi yang baik pula. Seringkali terjadi
masalah dalam penyaluran komunikasi yaitu adanya salah pengertian
(miskomunikasi) yang disebabkan banyaknya tingkatan birokrasi
yang harus dilalui dalam proses komunikasi, sehingga apa yang
diharapkan terdirtorsi di tengah jalan.
2. Kejelasan. Komunikasi yang diterima oleh pelaksana kebijakan
(street-level-bureaucrats) harus jelas dan tidak membingungkan
atau tidak ambigu/mendua.
3. Konsistensi. Perintah yang diberikan dalam pelaksanaan suatu
komunikasi harus konsisten dan jelas untuk ditetapkan atau
dijalankan. Jika perintah yang diberikan sering berubah-ubah, maka
dapat menimbulkan kebingungan bagi pelaksana di lapangan.
3) Sumber Daya
Sumber daya adalah faktor paling penting dalam implementasi kebijakan
agar efektif. Sumber daya tersebut dapat berwujud sumber daya manusia, yakni
kompetensi implementor, dan sumber daya financial. Tanpa adanya sumber daya,
Menurut Edward III (dalam Tangkilisan, 2003B:66), sumberdaya
merupakan hal penting dalam implementasi kebijakan yang baik.
Indikator-indikator yang digunakan untuk melihat sejauh mana sumberdaya mempengaruhi
implementasi kebijakan terdiri dari:
1. Staf. Sumber daya utama dalam implementasi kebijakan adalah staf atau
pegawai (street-level bureaucrats). Kegagalan yang sering terjadi dalam
implementasi kebijakan, salah-satunya disebabkan oleh staf/pegawai yang
tidak cukup memadai, mencukupi, ataupun tidak kompeten dalam
bidangnya. Penambahan jumlah staf dan implementor saja tidak cukup
menyelesaikan persoalan implementasi kebijakan, tetapi diperlukan sebuah
kecukupan staf dengan keahlian dan kemampuan yang diperlukan
(kompeten dan kapabel) dalam mengimplementasikan kebijakan.
2. Informasi. Dalam implementasi kebijakan, informasi mempunyai dua
bentuk yaitu: pertama, informasi yang berhubungan dengan cara
melaksanakan kebijakan. Kedua, informasi mengenai data kepatuhan dari
para pelaksana terhadap peraturan dan regulasi pemerintah yang telah
ditetapkan.
3. Fasilitas. Fasilitas fisik merupakan faktor penting dalam implementasi
kebijakan. Implementor mungkin mempunyai staf yang mencukupi,
kapabel dan kompeten, tetapi tanpa adanya fasilitas pendukung (sarana
dan prasarana) maka implementasi kebijakan tersebut tidak akan berhasil.
4) Disposisi (Kecenderungan atau Tingkah Laku)
Disposisi adalah watak dan karakteristik yang dimiliki oleh implementor
seperti komitmen, kejujuran dan sifat demokratis. Apabila implementor memiliki
disposisi yang baik, maka dia akan dapat menjalankan kebijakan dengan baik
seperti apa yang diinginkan oleh pembuat kebijakan. Ketika implemetor memiliki
implementasi kebijakan juga menjadi tidak efektif. Faktor-faktor yang menjadi
perhatian Edward III (dalam Tangkilisan, 2003B:127) mengenai disposisi dalam
implementasi kebijakan terdiri dari:
1. Pengangkatan birokrasi. Sikap pelaksana akan menimbulkan
hambatan-hambatan yang nyata terhadap implementasi kebijakan bila personel yang
ada tidak melaksanakan kebijakan yang diinginkan oleh pejabat-pejabat
yang lebih atas. Karena itu, pengangkatan dan pemilihan personel
pelaksana kebijakan haruslah orang-orang yang memiliki dedikasi pada
kebijakan yang telah ditetapkan, lebih khusus lagi pada kepentingan warga
masyarakat.
2. Insentif merupakan salah-satu teknik yang disarankan untuk mengatasi
masalah sikap para pelaksana kebijakan dengan memanipulasi insentif.
Pada dasarnya orang bergerak berdasarkan kepentingan dirinya sendiri,
maka memanipulasi insentif oleh para pembuat kebijakan mempengaruhi
tindakan para pelaksana kebijakan. Dengan cara menambah keuntungan
atau biaya tertentu mungkin akan menjadi faktor pendorong yang
membuat para pelaksana menjalankan perintah dengan baik. Hal ini
dilakukan sebagai upaya memenuhi kepentingan pribadi atau organisasi.
1.5.3. Sistem Informasi 1.5.3.1Sistem
Secara sederhana suatu sistem dapat diartikan sebagai suatu kumpulan atau
himpunan dari unsur, komponen atau variabel-variabel yang terorganisasi, saling
berinteraksi saling tergantung satu sama lain dan terpadu (Kumorotomo, 1994:8).
Beberapa pendapat mengatakan hal yang sama bahwa suatu sistem adalah
Scott (dalam Anwar 2004:5) menyatakan bahwa sistem memiliki empat
ciri pokok, yakni; 1) sistem itu beroperasi dalam suatu lingkungan, 2) terdiri atas
unsur-unsur, 3) ditandai dengan hubungan yang saling ketergantungan, dan 4)
mempunyai satu fungsi atau tujuan yang sama.
Jadi, suatu sistem meliputi bagian-bagian atau subsistem-subsistem yang
berinteraksi secara harmonis untuk mencapai tujuan tertentu. Unsur-unsur yang
mewakili sistem secara umum adalah masukan (input), pengolahan (processing)
dan keluaran (output). Disamping itu, suatu sistem senantiasa tidak terlepas dari
lingkungan sekitarnya. Maka umpan balik (feed -back) dapat berasal dari output
tetapi dapat juga dari lingkungan sistem yang dimaksud. Organisasi dipandang
sebagai suatu sistem yang tentunya akan memiliki semua unsur ini.
1.5.3.2Informasi
Grudnitski (dalam Anwar, 2004:28) mengemukakan bahwa informasi
adalah data yang telah diletakkan dalam konteks yang lebih berarti dan berguna,
yang dapat dikomunikasikan pada penerima untuk digunakan dalam pembuatan
keputusan. Sedangkan Davis (dalam Anwar, 2004:28) mengartikan informasi
sebagai data yang telah diolah ke dalam suatu bentuk yang berguna bagi
penerimanya dan nyata atau berupa nilai yang dapat dipahami dalam keputusan
sekarang maupun masa depan.
Burch dan Grudnitski (dalam Kumorotomo, 1994, 11) menyebutkan
adanya tiga pilar utama yang menentukan kualitas informasi, yaitu: akurasi,
ketepatan waktu dan relevansi. Syarat-syarat tentang informasi yang lebih baik
yang lebih lengkap diuraikan oleh Parker (dalam Kumorotomo, 1994, 11). Berikut
ini adalah syarat-syarat yang dimaksud:
a. Ketersediaan
Syarat yang mendasar bagi suatu informasi adalah tersedianya informasi
itu sendiri. Informasi harus dapat diperoleh bagi orang yang hendak
b. Mudah dipahami
Informasi harus memudahkan pembuat keputusan, baik yang menyangkut
pekerjaan rutin maupun keputusan-keputusan yang bersifat strategis.
Informasi yang rumit dan berbelit-belit hanya akan membuat kurang
efektifnya keputusan manajemen.
c. Relevansi
Informasi yang diperlukan benar-benar relevan dengan permasalahan, misi
dan tujuan organisasi.
d. Bermanfaat
Sebagai konsekuensi dari syarat relevansi, informasi juga harus
bermanfaat bagi organisasi. Karena itu informasi juga harus dapat tersaji
ke dalam bentuk-bentuk yang memungkinkan pemanfaatan oleh organisasi
yang bersangkutan.
e. Ketepatan waktu
Informasi harus tersedia tepat pada waktunya. Terutama pada saat
organisasi membutuhkan informasi ketika menejer hendak membuat
keputusan-keputusan krusial.
f. Keandalan
Informasi harus diperoleh dari sumber-sumber yang dapat diandalkan
kebenarannya. Pengolah data atau pemberi informasi harus dapat
menjamin tingkat kepercayaan yang tinggi atas informasi yang
disajikannya.
g. Akurasi
Informasi bersih dari kesalahan dan kekeliruan. Ini juga berarti informasi
harus jelas secara akurat mencerminkan makna yang terkandung dari data
pendukungnya.
h. Konsisten
Informasi tidak boleh mengandung kontradiksi didalam penyajian karena
konsistensi merupakan syarat penting bagi dasar pengambilan keputusan.
Tampak bahwa ada berbagai macam syarat yang harus di penuhi bagi
penyedia informasi harus memperhitungkan segi-segi waktu penyajian, isi,
format maupun segi-segi lain dari informasi tersebut. Ini dapat di pahami
karena di dalam organisasi modern, kualitas informasi yang dipergunakan
dalam manajemen itulah yang akan menentukan efisiensi dan efektifitas
organisasi yang bersangkutan.
1.5.4. Administrasi Kependudukan
Administrasi Kependudukan adalah rangkaian kegiatan penataan dan
penertiban dalam penerbitan dokumen dan Data Kependudukan melalui
Pendaftaran Penduduk, Pencatatan Sipil, pengelolaan informasi Administrasi
Kependudukan serta pendayagunaan hasilnya untuk pelayanan publik dan
pembangunan sektor lain (UU No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi
Kependudukan).
Dengan demikian, administrasi kependudukan merupakan hal yang sangat
penting untuk dilaksanakan mulai dari satuan pemerintahan terkecil seperti desa/
kelurahan hingga pada skala nasional. Pengelolaan Administrasi kependudukan
memiliki fungsi strategis sebagai dukungan informasi tentang kependudukan bagi
pembuatan kebijakan dalam rangka pelayanan publik serta kepentingan warga
untuk mengakses informasi hasil administrasi kependudukan tersebut.
1.5.5. Sistem Informasi Administrasi Kependudukan (SIAK)
Sistem Informasi Administrasi Kependudukan (SIAK) adalah kebijakan
pemerintah yang ditetapkan dalam rangka peningkatan kualitas pelayanan
pemerintah terutama di bidang administrasi kependudukan. Informasi administrasi
kependudukan memiliki nilai strategis bagi penyelenggaraan pemerintahan,
pembangunan dan pelayanan kepada masyarakat, sehingga perlu pengelolaan
informasi administrasi kependudukan secara terkoordinasi dan berkesinambungan.
kependudukan, perlu menetapkan kebijakan dan sistem informasi administrasi
kependudukan secara nasional.
Sistem Informasi Administrasi Kependudukan adalah software
Pemerintahan yang berguna untuk menunjang kinerja Pemerintah dalam mendata
data-data kependudukan pada setiap tingkatan wilayah pemerintahan mulai dari
tingkatan yang tertinggi sampai tingkatan yang paling rendah. Di dalam Keppres
RI No. 88 Tahun 2004 dikemukakan bahwa Sistem Informasi Administrasi
Kependudukan adalah sistem informasi nasional yang memanfaatkan teknologi
informasi dan komunikasi untuk memfasilitasi pengelolaan informasi administrasi
kependudukan di setiap tingkatan wilayah administrasi pemerintahan (pasal 1 ayat
3). Adapun tujuan diselenggarkannya Sistem Informasi Administrasi
Kependudukan (SIAK) adalah sebagai berikut:
a.Peningkatan kualitas pelayanan kualitas penduduk dan pencatatan sipil
b.Penyediaan data untuk perencanaan pembangunan dan pemerintahan
c.Penyelenggaraan pertukaran data secara tersistem dalam rangka verifikasi
data individu dalam pelayanan publik
Penyelenggaraan pengumpulan dan pengolahan data kependudukan
dilaksanakan mulai dari tingkatan propinsi, kabupaten/kota, kecamatan atau
kelurahan. Dalam rangka penyelenggaraan pengumpulan dan pengolahan data
kependudukan tersebut maka dibangun fasilitas pada kabupaten/kota, kecamatan
atau kelurahan untuk melakukan pengumpulan, pengolahan dan pemutakhiran
data hasil pendaftaran penduduk dan pencatatan sipil untuk penerbitan dokumen
penduduk, serta penyajian informasi kependudukan.
1.5.6. Definisi Konsep
Konsep adalah suatu hasil pemaknaan dalam intelektual manusia yang
kedua empiris, dan bukan merupakan refleksi sempurna (mutlak) dunia empiris
bahkan konsep bukanlah dunia empiris itu sendiri.
Untuk memberikan batasan yang jelas tentang penelitian yang akan
dilakukan, maka penulis mendefenisikan konsep – konsep yang digunakan
sebagai berikut:
a. Implementasi kebijakan adalah penerapan dari keputusan yang telah dibuat
oleh pemerintah, yang diarahkan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan
dalam keputusan kebijakan sebelumnya dengan masyarakat sebagai objeknya.
Implementasi kebijakan dapat diamati dengan menggunakan faktor-faktor
sebagai berikut:
i. Struktur birokrasi pelaksana kebijakan, dengan melihat SOP
organisasi.
ii. Komunikasi dalam organisasi mencakup transmisi perintah,
kejelasan perintah, serta konsistensi perintah.
iii. Sumber daya, meliputi keadaan staf, informasi, serta fasilitas di
organisasi pelaksana kebijakan.
iv. Sikap pelaksana kebijakan, dengan melihat bagaimana pengangkatan
pegawai serta perihal insentif dalam organisasi pelaksana kebijakan.
b. Sistem Informasi Administrasi Kependudukan (SIAK) adalah kebijakan baru
pemerintah dalam bidang kependudukan dan ditujukan untuk memudahkan
pelayanan kepada masyarakat.
c. Implementasi Sistem Informasi Administrasi Kependudukan (SIAK)
merupakan tindakan yang diambil pemerintah untuk mencapai tujuan dalam
menata sistem administrasi kependudukan sehingga tercapai tertib
administrasi di bidang kependudukan dan juga membantu bagi petugas
dijajaran Pemerintah Daerah khususnya Dinas Kependudukan dan Catatan
1.5.7. Sistematika Penulisan Bab I : Pendahuluan
Bab ini memuat latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan
penelitian, manfaat penelitian, kerangka teori, defenisi konsep, dan
sistematika penulisan.
Bab II : Metode Penelitian
Bab ini memuat bentuk penelitian, lokasi penelitian, informan penelitian,
teknik pengumpulan data, dan teknik analisa data.
Bab III: Deskripsi Lokasi Penelitian
Bab ini menguraikan tentang gambaran atau karakteristik lokasi
penelitian.
Bab IV: Penyajian Data
Bab ini memuat hasil penelitian yang diperoleh dari lapangan dan
dokumentasi yang akan dianalisa, serta memuat pembahasan atau
interpretasi dari data-data yang disajikan pada bab sebelumnya.
Bab V : Analisa Data
Bab ini berisi analisa dari hasil di lapangan dan dokumentasi.
Bab VI: Penutup
Bab ini memuat kesimpulan dan saran atas hasil penelitian yang telah