• Tidak ada hasil yang ditemukan

MAKALAH PANCASILA Menuntas Kasus Pelangg

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "MAKALAH PANCASILA Menuntas Kasus Pelangg"

Copied!
22
0
0

Teks penuh

(1)

MENUNTAS KASUS PELANGGARAN HAK

ASASI MANUSIA DI INDONESIA DALAM

KONTEKS PANCASILA

Makalah ini Dibuat untuk memenuhi Tugas Mata Kuliah

Pancasila

Dosen Rehnalemken Ginting, S.H., M.H.

Disusun Oleh :

Ayu Ningrum Susanti

E0014057

FAKULTAS HUKUM

(2)

Kata Pengantar

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa, yang telah memberikan segala rahmat dan anugrah-Nya, tidak lupa shalawat serta salam kita ucapkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW, sehingga pada kesempatan ini penyusun mampu mengerjakan tugas yang diberikan tentang “ Menuntas Pelanggaran Hak Asasi Manusia Dalam Konteks Pancasila ” dengan sebaik-baiknya.

Di mana tugas ini dibuat atas perintah dari dosen mata kuliah Pancasila yaitu Bapak Rehnalemken Ginting S.H.,M.H. telah memberikan bimbingan kepada penyusun tentang Menuntas Pelanggaran Hak Asasi Manusia Dalam Konteks Pancasila.

Makalah ini memuat beberapa materi tentang penuntasan kasus HAM bila dinilai dari konteks Pancasila yang sekiranya penyusun ketahui, maka dari itu penyusun mohon maaf jika ada kekurangan yang sejatinya ini dibuat dari proses belajar sang penyusun. Sehingga penyusun sadar bahwa makalah ini tidak jauh dari segala bentuk kekurangan.

Terima kasih atas perhatiannya, semoga makalah ini bermanfaat untuk kita semua dalam mendukung proses belajar.

Surakarta, 11 Desember 2014

Penyusun,

Ayu Ningrum Susanti

(3)

Daftar Isi

Cover……….. Halaman Judul………..

Kata Pengantar………. i

Daftar Isi……… ii

Bab 1 (Pendahuluan) 1.1 Latar Belakang……… 1

1.2 Rumusan Masalah……….. 2

1.3 Tujuan Penyusunan……… 2

1.4 Manfaat Penyusunan……….. 3

1.5 Metode Yang Ditempuh………. 3

Bab 2 (Pembahasan) 2.1 Konseptualisasi dan Rekonstruksi HAM dalam konteks Pancasila……… 1

2.2 Hubungan HAM dalam Kehidupan Bermasyarakat……… 7

2.3 Peraturan Perundang-undangan yang Berkaitan dengan Masalah Pelanggaran HAM di Indonesia ………. 11

Bab 3 (Penutup) 3.1 Kesimpulan ……… 16

3.2 Saran………... 17

Daftar Pustaka……… .. 18

(4)

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Hak asasi manusia merupakan hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia, kodrati dan alami sebagai makhluk Tuhan Yang Mahakuasa. Oleh karena itu, wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang. Nilai-nilai persamaan, kebebasan, dan keadilan yang terkandung dalam HAM dapat mendorong terciptanya masyarakat egaliter yang menjadi ciri civil society. Oleh karena itu, penegakan HAM merupakan prasyarat dalam menciptakan masyarakat yang madani.

Kesadaran masyarakat internasional akan pentingnya perlindungan hak-hak asasi manusia (HAM) sangat meningkat dalam tempo lebih dari 18 tahun terakhir ini. Suatu arus perubahan global telah meninggalkan otokrasi-otokrasi politik dan mengisolasikan bagaikan para pelaut yang berada pada bagian bawah dari gelombang air pasang. Semenjak tahun 1989, sejumlah besar negara di berbagai belahan dunia dan benua, telah melaksanakan reformasi, dan bergerak ke arah kategori kemunculan dan kemunculan kembali demokrasi, dan memproklamirkan dukungan terhadap HAM internasional dengan tulus.

Berbagai perkembangan di dunia internasional dalam bidang HAM juga memiliki pengaruh yang signifikan di Indonesia. Pada saat-saat ini bangsa Indonesia sedang berada dalam masa transisi politik menuju demokrasi,. Salah satu hal yang harus dituntaskan dalam masa transisi politik tersebut adalah penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM yang terjadi di masa lalu, yaitu seperti pelanggaran HAM berat pada tahun 1998 dan kasus Munir serta kasus pelanggaran HAM lainnya.

1

(5)

HAM berat—secara tuntas, sebagai salah satu pasyarat pokok untuk melewati masa transisi dengan sukses, isu-isu HAM telah menjadi salah satu isu penting yang muncul dalam kosakata Indonesia.

Mengingat semakin pentingnya pemahaman tentang isu-isu HAM ini pada masa yang akan datang, terutama melaui mekanisme pendidikan dari tingkat Sekolah Dasar hingga Perguruan Tinggi dengan ditinjau melalui konteks sila-sila yang terkandung dalam Pancasila.

1.2 Rumusan Masalah

1. Bagaimana konseptualisasi dan rekonstruksi HAM ditinjau dari konteks Pancasila?

2. Bagaimana hubungan Hak Asasi Manusia dalam kehidupan masyarakat?

3. Apa saja peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan masalah pelanggaran HAM di Indonesia?

1.3 Tujuan Penyusunan

1. Menjelaskan tentang konseptualisasi dan rekonstruksi HAM ditinjau dari konteks Pancasila,

2. Memaparkan hubungan Hak Asasi Manusia dalam kehidupan masyarakat,

3. Membahas mengenai peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pelanggaran HAM di indonesia.

2

1.4 Manfaat Penyusunan

1. Memahami konseptualisasi dan rekonstruksi HAM ditinjau dari konteks Pancasila,

2. Mengerti hubungan Hak Asasi Manusia dalam kehidupan masyarakat, 3. Mengetahui peraturan perundang-undangan yang berkaitan tentang

(6)

1.5 Metode yang Ditempuh

 Melalui metode studi pustaka

Yaitu dengan bantuan dari berbagai macam referensi yang kita dapatkan melalui media bacaan (internet/ buku).

3

BAB 2

(7)

2.1 Konseptualisasi dan Rekonstruksi HAM dalam Konteks

Pancasila

Kasus tewasnya Munir yang hingga kini belum terungkap siapa pelaku utamanya adalah satu dari sekian buruknya potret perlindungan HAM bagi para pembela HAM di Indonesia. Kita bangga dengan hadirnya para pembela HAM. Kita mengapresiasikan kerja-kerja kemanusiaan terus ditorehkan sebagai upaya sadar membangun bangsa yang beradab. Pikiran picik dan simplistik atas karya-karya pmbela HAM merupakan pengingkaran terhadap kebenarann dan hati nurani. Inilah puncak dari pengkhianatan terhadap nilai-nilai kemanusiaan.

Oleh karena itu, dibutuhkan kesadaran jamak masyarakat Indonesia, terutama pemerintah, untuk menghormati dan melindungi hak dan tanggung jawab pembela HAM dalam kerja-kerja kemanusiaan. Kita, secara pribadi dan kelompok, berhak dan bertanggungjawab melindungi dan memajukan HAM. Mari kita lakukan kerja-kerja HAM itu dengan dasar kejujuran, keikhlasan, dan kebenaran.

Wacana HAM terus berkembang seiring dengan intensitas kesadaran manusia atas hak dan kewajiban yang dimilikinya. Begitu derasnya kemauan dan daya desak HAM, maka jika ada sebuah negara yang diidentifikasikan melanggar dan mengabaikan HAM, dengan sekejap mata di belahan bumi ini memberikan respons.

4

Terlebih beberapa negara yang dijuluki sebagai adi kuasa memberikan kritik, tudingan, bahkan kecaman keras seperti embargo dan sebagainya.

(8)

Hak Asasi Manusia merupakan hak kodrati yang melekat pada manusia. Hak asasi melambangkan kemanunggalan hidup manusia dengan dimensi instrinsiknya. Kelahiran dan kemunculan HAM adalah isu universal sekalipun dalam kurun waktu tertentu isu itu digelindingkan dalam konteks Pancasila. Yang jelas muatan dan pesan aktualnya merupakan representasi kehidupan jamak manusia.

2. HAM; Antara Wacana dan Realita

Bagi Indonesia, wacana HAM masuk dengan indah ke dalam benak-benak anak bangsa. Dalam konteks reformasi, pemikiran ke arah bentuk jaminan HAM yang lebih kokoh semakin mendapatkan momentumnya. Perubahan UUD 1945 adalah fakta sejarah sekaligus diyakini sebagai titik mulai bagi penguatan demokrasi Indonesia yang berbasis perlindungan HAM.

Begitupun dalam tataran realitas, kemajuan normativitas HAM belum berjalan dengan maksimal. Pelanggaran HAM masih terjadi secara masif. Eforia reformasi menyisakan problematika tersendiri.

HAM berubah menjadi “dua sisi dari sebuah mata pisau.” Pada satu sisi mengedepankan dimensi humanitas manusia, tetapi pada sisi yang lain HAM dipandang terlalu menakutkan bagi setiap orang keberanian politik masing-masing pimpinan negara untuk menghukum siapa saja, termasuk warga negaranyayang telah melanggar HAM yang ada. Untuk mengefektifkan harapan tersebut hubungan antarpimpinan negara dalam skala internasional ditingkatkan terus.

(9)

dengan memerhatikan dan berpatokan pada persamaan filosofi dasarnya, akan memperkuat rasa saling menghormati dan saling membantu untuk menegakkan HAM. Hal ini dapat mempercepat upaya meraih keadilan dan kemakmuran rakyat.

Namun, dalam perwujudannya banyak mengalami hambatan. Faktor perbedaan politik menjadi kendala utama, sehingga hak asasi adalah milik manusia/rakyat belum dapat terwujud dengan baik. Lebih-lebih bila demokrasi yang berarti dari rakyat, namun dalam praktik belum untuk rakyat, dapat “menjauhkan” cita-cita penghormatan HAM. 4.

HAM dalam konteks Pancasila

Pancasila seharusnya dijadikan sebagai prinsip pemberadaban manusia dan bangsa Indonesia. Masalah-masalah nasional yang menentukan jalannya sejarah bangsa Indonesia sepatutnya dipertanyakan dan direfleksikan dalam kerangka Pancasila, terutama sila kemanusiaan yang adil dan beradab. Berbagai tindakan dan perilaku yang sangat bertentangan dengan sila perikemanusiaan tidak sepatutnya mewarnai kebijakan dan perilaku aparatur negara dalam kehidupan publik.

6

Kekerasan, kemiskinan, ketidakadilan, dan kesenjangan hidup merupakan kenyataan yang sungguh bertentangan dengan rasa keadilan dan kemanusiaan, dan oleh karena itu harus dihapuskan dari perikehidupan bangsa.

(10)

kepada bangsa Indonesia untuk senantiasa berada di barisan terdepan dalam memuliakan hak-hak asasi manusia dalam kehidupaan nasional dan internasional dii tengahpusaran arus globalisasi yang mengandung potensi dehumanisasi.

2.2 Hubungan Hak Asasi Manusia dalam Kehidupan Manusia

1. Hubungan Sistem Hukum dan Sistem Politik dari Sudut

Pandang HAM

Hidup bermasyarakat bagi warganya berarti siap/mau mengikuti pola hubungan antarindividu dalam kelompok yang telah ada sebelumnya. Adanya pola tingkah laku sama yang dipertahankan dan dikembangkan terus oleh warganya, sehingga tercipta/terjalin interaksi sosial.

7

Dalam interaksi yang terjaga dengan baik akan terjalin semangat kerja sama yang baik pula. Ketika ada anggota masyarakat yang bertindak di luar pola yang telah diakui, tidak jarang mengakibatkan terjadinya konflik.

(11)

yang semakin modern dan kompleks, campur tangan hukum sangat diperlukan/dirasakan pentingnya. Dengan cara dan teknik tersebut, diharapkan penyelesaiaannya semakin proporsional, adil, dan rasional. Perkembangan pemikiran tersebut dilihat dariide dan pemikiran HAM merupakan rangkaian proses dan langkah-langkah untuk menghormati hak asasi manusia itu sendiri. Sebab, bermasyarakat jujur harus diakui adalah untuk kebahagiaan/kepuasaan bersama.

2. HAM dalam Transisi Politik Sentralisasi ke Sistem Politik

Demokratis

Bicara sistem politik pada intinya bicara pilihan sistem politik. Sistem politik diktator/otoriter/sentralistik/absolutisme atau sistem politik demokratis/populis/kerakyatan, walau dalam peraktik terdapat varian diantara kedua sistem tersebut. Dalam kedua sistem tersebut sistem politik mempunyai hubungan timbal balikdengan hukum serta berdampak langsung terhadap penegakan dan pengakuan terhadap HAM.

8

Dalam sistem politik diktator, hukum yang dihasilkan berwatak represif, mempertahankan status quo, mempertahankan kepentingan penguasa. Dalam sistem hukum yang berwatak represif/reaktif, dapat dipastikan hak-hak rakyat terabaikan, terutama HAM tidak pernah mendapat prioritas. Pemerintah diktator memiliki kekuasaan mutlak dan sentralistis, aparat dan pejabat negara dibawah kontrol/kendali penguasa. Dalam sistem tersebut, oposisi tidak diberi ruang gerak, dan kalau ada lebih sebagai aksesoris politik saja.

(12)

komunikasi serasi antara opini publik lewat wakil-wakilnya, juga media massa, agamawan, cendikiawan, dan LSM dengan pemerintah. Dengan demikian hukumnya ditandai dengan konsep impartiality, consistency, openness, predictability, dan stability. Semua warga negara mempunyai kedudukan yang sama di depan hukum. Ciri inilah yang disebut rule of law. Untuk tujuan tersebut, demokrasi dikatakan gagal kalau hanya menekankan pada prosedur melupakan substansi demokrasi. Substansi demokrasi yaitu mewujudkan kehendak rakyat, yang dibuktikan dari perjuangan wakil-wakilnya di DPR.

Penguasa/pemerintah di dalam menjalankan roda pemerintahannya lewat keputusan dan kebijaksanaan yang ditempuh, memiliki kekuasaan dan kewenangan, yang dipakai sebagai alat/sarana, baik dalam menjalankan tugas maupun menyelesaikan konflik yang ada. Sebenarnya, pilihan sistem politik diktator atau demokratis suatu negara tidak dapat dilepaskan dari politik hukum yang telah ditetapkan sebelumnya.

9

Politik hukum yang dituangkan di dalam undang-undang dasar suatu negara merupakan pedoman/dasar utama serta pilihan yang harus dilaksanakan oleh para pejabat negara.

Indonesia menentukan politik hukum sebagaimana tertuang di dalam Pembukaan UUD 1945, antara lain menciptakan masyarakat adil, makmur, bersatu , dan berdaulat yang harus diaplikasikan oleh para pejabat, politisi, birokrat dalam semua strata yang ada. Dengan demikian, politik selalu terkait dengan tujuan dari seluruh masyarakat dan bukan tujuan pribadi. Lagi pula politik menyangkut kegiatan berbagai kelompok, termasuk partai politik dan kegiatan orang per orang (individu).

(13)

misalnya, maka penyelewengan, penyalahgunaan kekuasaan politik yang ada, menjadi prioritas utama untuk diberantas, sehingga KKN dapat dikurangi secara bertahap.

Karena itulah, dalam masyarakat yang paternalistik sebagaimana peran para intelektual, budayawan, idealis, agamawan tetap diharapkan. Dengan demikian, perubahan politik memerlukan pula pemikiran kelompok-kelompok tersebut. Selain itu, salah satu kunci mempertahankan penegakan hukum dan stabilitas politik lebih lanjut, selain para pimpinan formal mampu memantapkan niat untuk mewujudkan politik hukum yang sudah ditetapkan, diikuti langkah konkret dengan mengangkat taraf hidup, kesejahteraan dan ketentraman semua anggota masyarakat, terutama lapisan bawah yang tidak/kurang beruntung.

10

Lebih-lebih kalau keterpurukan tersebut berbentuk kemiskinan kultural yang harus diperangi, dan tidak menambah jumlah kemiskinan struktural, hal ini sangat terkait dengan penegakan HAM.

Sehubungan dengan itu, seorang politikus hendaknya juga seorang negarawan yang mempunyai kemantapan wawasan yang luas dan selalu menghormati norma-norma hukum yang ada. Terciptanya kesadaran politik bersama-sama dengan kesadaran hukum sangat diharapkan dalam waktu yang relatif bersamaan. Kesadaran politik tinggi berarti kesadaran bernegara cukup tinggi, sehingga pada saatnya kesadaran hukumnya akan mengiringi pula.

(14)

akhirnya dapat meningkatkan rasa cinta tanah air, negara, dan kemanusiaan.

2.3 Peraturan Perundang-undangan yang Berkaitan dengan

Pelanggaran HAM di Indonesia

Usaha untuk melindungi hak asasi manusia atau HAM sudah diperdebatkan sejak waktu menyusun rancangan UUD 1945 di BPUPKI antara Sukarno-Supomo di satu pihak dan Hatta-Muh.Yamin di lain pihak. Menurut Sukarno-Supomo, negara yang hendak didirikan berdasar paham kekeluargaan, sedang HAM adalah buah dari paham individualisme, sehingga HAM tidak perlu dimasukkan ke dalam UUD. Tetapi menurut Hatta-Muh.Yamin, untuk menjaga agar negara yang hendak didirikan tidak menjadi negara kekuasaan, maka HAM perlu dimasukkan ke dalam UUD.

11

Terlepas dari penilaian hasil perdebatan tersebut, ketika rancangan UUD 1945 disahkan pada tanggal 18 Agustus 1945 oleh PPKI, di dalam Batang Tubuh dari UUD 1945, HAM hanya dimuat pada Pasal 27, Pasal 8, Pasal 29, Pasal 30, Pasal 31, dan Pasal 34 saja, sedang untuk pelaksanaan dari Pasal 28, Pasal 30 dan Pasal 31masih harus ditetapkan dengan undang-undang. HAM yang dimuat dalam UUD 1945 mendahului HAM seperti yang dimuat dalam Universal Declaration of Human Right atau Deklarasi Hak Asasi Manusia PBB, karena deklarasi tersebut baru tanggal 10 desember 1948 ditetapkan oleh Sidang Umum PBB di Paris.

Oleh karena itu, tidak pada tempatnya jika sampai dibandingkan kelengkapannya antara HAM yang dimuat di dalam Batang Tubuh dari UUD 1945 dengan HAM yang dimuat di dalam Deklarasi HAM-PBB. Tetapi pada waktu berlakunya Konstitusi RIS dan UUDS 1950, masing-masing adalah satu-satunya konstitusi atau UUD di seluruh dunia yang telah berhasil memasukkan HAM seperti yang dimuat di dalam Deklarasi HAM-PBB ke dalam Konstitusi atau UUD.

(15)

akan dimuat dalam UUD, tetapi keburu Konstituante dibubarkan dengan Dekrit Presiden RI/Panglima Tertinggi Angkatan Perang tanggal 5 Juli 1959 dan memberlakukan kembali UUD 1945. Setelah ditetapkan UUD 1945 berlaku kembali, baik jaman Orde Lama maupun Orde Baru, banyak sekali dikeluarkan peraturan perundang-undangan yang isisnya merupakan pelanggaran HAM.

12

Misalnya jaman Orde Lama telah dikeluarkan Penetapan Presiden Nomor 7 Tahun 1959 tentang Syarat-syarat dan Penyederhanaan Kepartaian dan Peraturan Presiden Nomor 13 Tahun 1960 tentang Pengakuan, Pengawasan, dan Pembubaran Partai-partai, sedang pada jaman Orde Baru telah dikeluarkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1975 tentang Partai Politik dan Golongan Karya yang kemudian diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1985.

Karena banyak sekali terjadi pelanggaran HAM, maka banyak sekali pula tekanan-tekanan, baik dari dalam negeri maupun dari luar negeri agar ada perlindungan HAM di Indonesia. Untuk menanggapi tekanan-tekanan tersebut, dengan Keputusan Presiden Nomor 50 Tahun 1993 telah dibentuk KOMNAS HAM yang kegiatannya antara lain adalah memantau dan menyelidiki pelaksanaan HAM serta memberikan pendapat, pertimbangan, dan saran kepada badan pemerintahan negara mengenai pelaksanaan HAM.

Setelah jaman Orde Baru diganti dengan jaman Orde Reformasi, MPR baru berhasil membuat ketetapan mengenai HAM, yaitu TAP MPR Nomor XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia yang naskahnya disusun sebagai berikut:

1. Pandangan dan sikap bangsa Indonesia terhadap HAM. 2. Piagam HAM.

(16)

maka pelaksanaan HAM dijamin, diatur, dan dituangkan dalam peraturan perundang-undangan. Atas dasar ketentuan yang terdapat di dalam Pasal 44 Piagam HAM tersebut, maka ditetapkan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.

Di dalam penjelasan umum Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 disebutkan antara lain:

13

a. Pengaturan mengenai HAM ditentukan dengan berpedoman pada Deklarasi HAM-PBB, Konvensi PBB tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita, Konvensi PBB terhadap Hak-hak Anak dan berbagai instrumen internasional lain yang mengatur mengenai HAM.

b. UU No.39 Tahun 1999 adalah merupakan payung dari seluruh peraturan perundang-undangan tentang HAM, sehingga pelanggaran, baik langsung ataupun tidak langsung atas HAM dikenakan sanksi pidana, perdata dan administrasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Oleh karena itu, sudah tepat jika Pasal 2 TAP MPR Nomor XVII/MPR?1998 menugaskan kepada Presiden RI dan DPR untuk meratifikasi berbagai instrumen PBB tentang HAM sepanjang tidak bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945.

Dengan adanya Penjelasan Umum UU No.39 Tahun 1999 maka akibatnya disamping semua peraturan perundang-undangan tentang atau berkaitan dengan HAM yang sudah ada harus disesuaikan atau ditafsirkan sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam UU No.39 Tahun 1999, juga semua peraturan perundang-undangan tentang atau berkaitan dengan HAM yang akan ditetapkan, harus berdasar dan tidak boleh bertentangan dengan UU No.39 Tahun 1999.

(17)

14

Jadi, untuk mengetahui ketentuan-ketentuan tentang HAM di Indonesia, tidak cukup hanya mengetahui ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam UU No.39 Tahun 1999 saja, tetapi juga harus mengetahui ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam TAP MPR Nomor XVII/MPR/1998 dan UUD 1945 dengan perubahannya, meskipun harus diakui terdapat adanya tumpang-tindih ketentuan. Misalnya, ketentuan yang terdapat dalam Pasal 10 Ayat (1) UU No.39 Tahun 1999 terdapat juga dalam 2 TAP MPR Nomor XVII/MPR/1998 dan Pasal 28b Ayat (1) UUD 1945.

Pasal 104 Ayat (1) UU No. 39 Tahun 1999 menentukan bahwa untuk mengadili pelanggaran HAM yang berat dibentuk Pengadilan HAM di lingkungan Peradilan Umum. Atas dasar ketentuan yang terdapat di dalam Pasal 104 Ayat (1) UU No.39 Tahun 1999 tersebut, ditetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1999 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia.

Ternyata Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1999 ini tidak mendapat persetujuan dari DPR untuk menjadi undang-undang dan sebagai gantinya ditetapkan undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia yang mulai berlaku pada tanggal 23 November 2000 dengan mencabut dan menyatakan tidak berlaku Peraturan Pemerintahan Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1999 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia.

(18)

15

BAB 3

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Dari uraian diatas dapat ditegaskan bahwa Hak Asasi Manusia merupakan hak kodrati yang melekat pada manusia. Hak asasi melambangkan kemanunggalan hidup manusia dengan dimensi instrinsiknya. Kelahiran dan kemunculan HAM adalah isu universal sekalipun dalam kurun waktu tertentu isu itu digelindingkan dalam konteks Pancasila. Yang jelas muatan dan pesan aktualnya merupakan representasi kehidupan jamak manusia.

Persoalan hak-hak asasi manusia (HAM) menjadi tantangan yang serius dalaam membuktikan komitmen kemanusiaan bangsa indonesia. Yang menjadi komitmen penegakan HAM tidak terbatas pada pemuliaan hak-hak sipil dan politik, melainkan juga pemenuhan hak ekonomi, sosial dan budaya. Para pendiri bangsa telah merumuskan apa yang disebut sebagai “tiga generasi HAM”, yang mengindikasikan bahwa kepedulian bangsa kita terhadap hak-hak asasi manusia sudah bergerak jauh ke depan.

Dengan adanya Penjelasan Umum UU No.39 Tahun 1999 maka akibatnya disamping semua peraturan perundang-undangan tentang atau berkaitan dengan HAM yang sudah ada harus disesuaikan atau ditafsirkan sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam UU No.39 Tahun 1999, juga semua peraturan perundang-undangan tentang atau berkaitan dengan HAM yang akan ditetapkan, harus berdasar dan tidak boleh bertentangan dengan UU No.39 Tahun 1999.

(19)

Pancasila seharusnya dijadikan sebagai prinsip pemberadaban manusia dan bangsa Indonesia. Masalah-masalah nasional yang menentukan jalannya sejarah bangsa Indonesia sepatutnya dipertanyakan dan direfleksikan dalam kerangka Pancasila, terutama sila kemanusiaan yang adil dan beradab. Berbagai tindakan dan perilaku yang sangat bertentangan dengan sila perikemanusiaan tidak sepatutnya mewarnai kebijakan dan perilaku aparatur negara dalam kehidupan publik, seperti halnya pelanggaran HAM berat yang terjadi di masa lalu.

Seorang politikus hendaknya juga seorang negarawan yang mempunyai kemantapan wawasan yang luas dan selalu menghormati norma-norma hukum yang ada. Terciptanya kesadaran politik bersama-sama dengan kesadaran hukum sangat diharapkan dalam waktu yang relatif bersamaan. Kesadaran politik tinggi berarti kesadaran bernegara cukup tinggi, sehingga pada saatnya kesadaran hukumnya akan mengiringi pula.Hal ini akan menunjang sistem politik yang sehat dan demokratis. Dari sinilah perlu dikembangkan pendidikan politik dan Pancasila dan seterusnya partisipasi politik bagi seluruh warga negaranya. Lewat pendidikan politik dan Pancasila yang objektif, terbuka, dan dialogis akan menciptakan/memantapkan kultur politik serta kepercayaan masyarakat terhadap sistem politik yang ada, dan pada akhirnya dapat meningkatkan rasa cinta tanah air, negara, dan kemanusiaan.

Penulis berharap semoga makalah ini dapat menjadi salah satu bahan untuk dapat menambah pengetahuan dalam hal penegakan Hak Asasi Manusia dan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. Dan juga penulis mengharapkan adanya sumbangsih kritik dan saran yang bersifat membangun guna penyusunan makalah berikutnya yang lebih sempurna lagi.

17

(20)

Effendi, A. Masyhur. Perkembangan Dimensi Hak Asasi Manusia (HAM): Proses Dinamika Penyusunan Hukum Hak Asasi Manusia (HAKHAM). Jakarta: Ghalia Indonesia, 2005.

Muhtaj, Majda El. Dimensi-dimensi HAM: Mengurai Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya. Jakarta: Rajawali Pers, 2008.

Wiyono, R. Pengadilan Hak Asasi Manusia di Indonesia. Jakarta: Kencana, 2006. Yudilatif. Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila.

Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2011.

(21)

KUTIPAN ARTIKEL TERKAIT ISU TERHANGAT

MENGENAI HAK ASASI MANUSIA

Koran Kompas, edisi Selasa, 2 Desember 2014

PRESIDEN TETAP BERKOMITMEN

Didesak, Pembatalan Pembebasan Pollycarpus

JAKARTA, KOMPAS- Presiden Joko Widodo masih berkomitmen

menuntas kasus-kasus pelanggaran HAM berat masa lalu, seperti janji

saat kampanye pemilihan presiden. Dalam waktu dekat, Menko

Polhukam, Menkumham, dan Jaksa Agung akan bertemu dan

membahas langkah pemerintahan.

Komitmen presiden dalam penuntasan kasus HAM diragukan publik setelah pemerintah menyetujui pembebasan bersyarat Pollycarpus, terpidana pembunuhan aktivis HAM Munir. Namun menurut Andi Wijayanto, Sekretaris Kabinet menegaskan bahwa komitmen masih dipegang. Segera akan ada koordinasi antara Menkumham, Jaksa Agung, dan Menko Polhukam untuk mempelajari yang bisa dilakukan dalam kasus pelanggaran HAM. Tapi, semua rekomendasi dari aktivis termasuk Komnas HAM sudah diterima dan akan menjadi pertimbangan. Untuk menyikapi usul ataupun rekomendasi itu, pemerintah perlu berhati-hati dnegan mempertimbangkan peraturan perundang-undangan....

Terkait pembebasan bersyarat Pollycarpus semua prosedur hukum sudah dilakukan. Secara prosedural Pollycarpus sudah bisa bebas bersyarat 2012. Tidak ada hal-hal legal yang bisa digunakan untuk menahan lebih lama.

(22)

Jadi guna menghormati prinsip-prinsip itu pemerintah tidak mencampuri yang sudah berlaku. Adapun Wakil Presiden Jusuf Kalla menyatakan, pemerintah berupaya menuntaskan kasus Munir. Namun, keputusan akhir terhadap kasus itu juga bergantung proses di pengadilan. Karena pemerintah tidak bisa mengintervensi pengadilan.

Terkait pembebasan bersyarat Pollycarpus yang dikritik karena dinilai tidak memenuhi rasa keadilan, itu bisa diuji apakah sesuai UU atau tidak. Seseorang juga berhak untuk menjalani hukuman sesuai UU. Jika UU membolehkan seseorang dibebaskan bersyarat, tetapi hak itu tidak diberikan, justru pemerintah bisa dinilai menlanggar hak asasi. Selain itu, pembebasan bersyarat Pollycarpus diberikan karena telah memenuhi persyaratan administrasi dan substantif.

Sejumlah pegiat masyarakat sipil juga terus mempertanyakan komitmen pemerintah terkait penuntasan kasus pelanggaran HAM masa lalu. LSM-LSM itu antara lain Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), Imparsial, Komite Aksi Solidaritas untuk Munir (Kasum), dan Konsorsium Reformasi Hukum Nasional. Wakil Koordinator Kontras Bidang Mobilisasi dan Jaringan Krisbianto mengatakan, mulai terlihat gejala pemerintahan Jokowi tidak serius menangani pelanggaran HAM. Sejak awal tidak ada agenda khusus pembahasan HAM di Rumah Transisi, padahal berkas-berkas kasus Munir sudah diserahkan ke Joko widodo, juga kasus pelanggaran HAM masa lalu.

Direktur Imparsial Al Araf menambahkan, pembebasan bersyarat ini kuat diindikasikan sebagai skandal politik, juga skandal ekonomi. Ada tangan-tangan politik yang bermain sejak lama untuk mempercepat pembebasan bersyarat Pollycarpus. Dalam pernyataan sikapnya, Kasum juga mendesak Presiden untuk segera memerintahkan pembatalan keputusan pembebasan bersyarat Pollycarpus dan memerintahkan Kepala polri untuk menghidupkan kembali Tim Munir untuk melakukan penyidikan terhadap kasus Munir.

Referensi

Dokumen terkait

2) Mengalihkan kewenangan penyidikan dan penuntutan dari Jaksa Agung kepada Komnas HAM dengan merevisi Undang-undang No 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan HAM

Dalam pasal 1 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM disebutkan bahwa “Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakekat dan keberadaan manusia sebagai makhluk

 Berdasarkan aspek Hak Asasi Manusia (HAM) kasus PENISTAAN Pancasila yang dilakukan oleh Zaskia Gotik, Zaskia berhak untuk membela diri dan

“Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan

Penegakan dan perlindungan terhadap hak asasi manusia (HAM) di Indonesia mencapai kemajuan ketika pada tanggal 6 November 2000 disahkannya

Menurut UU no 26 Tahun 2000 tentang pengadilan HAM, Pelanggaran HAM adalah setiap perbuatan seseorang atau kelompok orng termasuk aparat negara baik disengaja

Menurut UU no 26 Tahun 2000 tentang pengadilan HAM, Pelanggaran HAM adalah setiap perbuatan seseorang atau kelompok orng termasuk aparat negara baik disengaja atau

“untuk membentuk suatu pemerintahan Negara Indonesia melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan