• Tidak ada hasil yang ditemukan

Representasi Makna Lesbianisme Dalam Pesan Novel Gerhana Kembar Karya Clara Ng

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Representasi Makna Lesbianisme Dalam Pesan Novel Gerhana Kembar Karya Clara Ng"

Copied!
23
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Paradigma Kajian

2.1.1 Paradigma Interpretif

Paradigma adalah pandangan seseorang terhadap dirinya dan lingkungannya

yang akan mempengaruhinya dalam berfikir (kognitif), bersikap (afektif), dan

bertingkah laku (konatif). Karenanya, paradigma sangat menentukan bagaimana

seseorang ahli memandang komunikasi yang menjadi objek ilmunya

(Vardiansyah,2008:27).

Interpretif merupakan perspektif teori dalam konstruktivisme. Bagi aliran

ini, positivisme keliru dan karenanya harus ditinggalkan dan diganti dengan

konstruktivisme. Interpretif antara lain menurunkan metodologi penelitian yang

dinamakan Grounded theory. Metodologi ini menurunkan kriteria bahwa: data

yang harus dikumpulkan dan dianalisis secara kualitatif, bukan kuantitatif seperti

yang dilakukan oleh positivisme; teori yang dikembangkan bersifat membumi,

kegiatan ilmu harus natural apa adanya dan menghindarkan penelitian yang diatur

sebelumnya, baik melalui desain penelitian kaku maupun situasi laboratoris; dan

karenanya penelitian bersifat parsitipatif daripada mengontrol sumber-sumber

informasi. (Vardiansyah, 2008:59). Teori interpretif lebih condong kepada

pemahaman khusus/lokal daripada penjelasan yang general. Teori interpretif

mengarahkan pemahaman kita kepada sebuah dunia yang dibangun secara sosial

melalui interaksi yang komunikatif, dan teori-teori ini bertujuan untuk

merefleksikan kompleksitas dunia sosial serta proses konstruksi sosial. (Ardianto,

(2)

Paradigma Interpretif memandang dunia sebagai sesuatu yang tidak tertata

dan terpola secara obyektif, sehingga diperlukan pendekatan khusus untuk

memahami setiap gejala yang muncul, paradigma ini dimulai dari suatu fenomena

yang selanjutnya di dalami untuk menghasilkan teori. Tujuannya ialah untuk

memahami makna atas pengalaman seseorang atau sekelompok orang dalam

suatu peristiwa pengalaman bukan kenyataan empirik yang bersifat obyektif,

melainkan pelajaran yang bisa dipetik dari peristiwa yang dilalui seseorang.

Kebenaran diperoleh lewat pemahaman secara holistik, dan tidak semata

tergantung pada data atau informasi yang teramati, melainkan pula mendasarkan

pada informasi yang tidak tampak dan digali secara rinci dan kebenaran bersifat

unik, dan tidak bisa berlaku secara umum dan diperoleh lewat proses induktif

(http://mudjiarahardjo.com/materi-kuliah/373-perkembangan-metodologi-

Penelitian-dari-positivistik-post-positivistik-interpretif-hingga-hermeneutika.html)

Inti dari ontologi interpretif adalah kepercayaan bahwa kita mengonstruksi

dunia kita secara sosial lewat interaksi komunikatif (yaitu tindakan untuk

mencapai pemahaman timbal balik). Darinya, keberadaan makna dibuat secara

intersubjektif seperti halnya seseorang membawa pemahaman subjektif pada

sebuah interaksi, dan pemahaman ini kemudian tumbuh dan berkembang serta

kadang kala tertata ulang melalui tindakan-tindakan komunikatif. (Ardianto, 2007:

141)

2.1.2 Bahasa Sebagai Praktik Kekuasaan dalam Kajian Komunikasi

Berpikir sebagai proses bekerjanya akal dalam menelaah sesuatu merupakan

ciri hakiki dari manusia, dan hasil bekerjanya akal ini tidak dapat diketahui oleh

(3)

pernyataan pikiran alam perasaan sebagai alat komunikasi. Jujun S. Suriasumantri

juga menyatakan bahwa manusia punya keunikan yang berbeda dengan makhluk

lainnya justru terletak pada kemampuan bahasanya bukan pada kemampuan

berfi8kirnya. Dengan kemampuan bahasa inilah manusia dapat berfikir secara

sistematik dan teratur. (Zamroni, 2009:152). Bahasa adalah kombinasi lambang

dalam suatu sistem sehingga membentuk makna yang digunakan kelompok

masyarakat tertentu. (Vardiansyah, 2004: 146)

Analisis wacana tidak dapat dipisahkan dari bahasa. Ada tiga pandangan

mengenai bahasa dalam analisis wacana. Pandangan pertama diwakili oleh kaum

Positivisme-empiris. Oleh penganut ini bahasa dilihat sebagai jembatan antara

manusia dengan objek diluar dirinya. Pengalaman-pengalaman manusia dianggap

dapat secara langsung diekspresikan melalui penggunaan bahasa tanpa ada kendali

atau distorsi. Kaitannya dengan analisis wacana adalah orang tidak perlu

mengetahui makna-makna yang subjektif atau nilai yang mendasari

pernyataannya, sebab yang penting adalah apakah pernyataan itu dilontarkan

secara benar menurut kaidah sintaksis dan semantik. Pandangan kedua disebut

sebagai konstruktivisme, dalam pandangan ini bahasa tidak lagi hanya dilihat

sebagai alat untuk memahami realitas objektif belaka dan yang dipisahkan dari

subjek sebagai penyampai pernyataan. Oleh karena itu analisis wacana

dimaksudkan sebagai suatu analisis untuk membongkar maksud-maksud dan

makna-makna tertentu. Wacana adalah suatu upaya pengungkapan maksud

tersembunyi dari sang subjek yang mengemukakan suatu pernyataan. Pandangan

ketiga disebut sebagai pandangan kritis, bahasa disini tidak dipahami sebagai

representasi yang berperan dalam membentuk subjek tertentu, tema-tema wacana

tertentu maupun strategi didalamnya. Oleh karena itu, analisis wacana dipakai

untuk membongkar kuasa yang ada dalam setiap proses bahasa: batasan-batasan

apa yang diperkenankan menjadi wacana, perspektif yang mesti dipakai topik apa

(4)

Dalam analisis wacana kritis, wacana disini tidak dipahamai semata sebagai

studi bahasa. Pada akhirnya, analisis wacana memang menggunakan bahasa

namun bahasa disini berbeda dengan studi bahasa dalam pengertian linguistik

tradisional. Bahasa dianalisis bukan menggambarkan semata dari aspek

kebahasaan, tetapi juga menghubungkan dengan konteks. Konteks disini berarti

bahasa dipakai untuk tujuan dan praktik tertentu, termasuk didalamnya praktik

kekuasaan. Menurut Fairclough dan Wodak, analisis wacana kritis melihat

wacana-pemakaian bahasa dalam tuturan dan tulisan sebagai bentuk dari praktik

sosial. Praktik wacana bisa jadi menampilkan efek ideologi: ia dapat

memproduksi dan mereproduksi hubungan kekuasaan yang tidak imbang antara

kelas sosial, laki-laki dan wanita, kelompok mayoritas dan minoritas melalui

mana perbedaan itu direpresentasikan dalam posisi sosial yang ditampilkan.

Analisis wacana melihat bahasa sebagai faktor penting, yakni bagaimana bahasa

digunakan untuk melihat ketimpangan kekuasaan dalam masyarakat terjadi.

Analisis wacana kritis menyelidiki bagaimana melalui bahasa kelompok sosial

yang ada saling bertarung dan mengajukan versinya masing-masing. (Eriyanto,

2001:7)

Analisis wacana kritis juga mempertimbangkan elemen kekuasaan dalam

analisisnya. Disini setiap wacana yang muncul dalam bentuk teks, percakapan

atau apapun itu tidak dipandang sebagai suatu yang alamiah, wajar dan netral

tetapi merupakan bentuk pertarungan kekuasaan. Konsep kekuasaan adalah salah

satu kunci hubungan antara wacana dengan masyarakat. Pemakai bahasa bukan

hanya pembicara, penulis, pendengar atau pembaca ia juga merupakan bagian dari

anggota kategori sosial tertentu. Hal ini mengimplikasikan bahwa analisis wacana

kritis tidak membatasi dirinya pada detil teks atau struktur wacana saja tetapi juga

menghubungkan dengan kekuatan dan kondisi sosial, politik, ekonomi dan budaya

(5)

apa yang disebut sebagai kontrol. Kontrol disini tidaklah selalu dalam bentuk fisik

dan langsung tetapi juga kontrol secara mental atau psikis (Eriyanto, 2001:11-12).

2.1.3 Interaksionisme Simbolik dalam Sistem Tanda Semiotika

George Herbert Mead adalah salah seorang Pelopor Konstruksi Sosial

didunia komunikasi. Dia pulalah yang pertama kali memperkenalkan konsep –

Interaksi-Simbolik, dimana pola pikir, konsep diri, dan komunitas sosial yang kita

miliki dibentuk melalui komunikasi. Interaksi simbolik itu sendiri memiliki

makna sebagai sebuah proses berkelanjutan baik berupa bahasa maupun tingkah

laku(nonverbal) sebagai antisipasi dari reaksi yang diberikan oleh orang lain.

Salah seorang murid Herbert, Herbert Blummer mengembangkan teori

sebelumnya dan menambahkan 3 prinsip dasar dari interaksi simbolik yang

berhubungan dengan pesan, bahasa, dan pola pikir dan mengarah pada

pembentukan konsep “diri” yang dimiliki individu serta pola sosialisasi

(pengenalan nilai dan norma) dalam masyarakat.

1. Pesan: Dasar Dari Realitas Sosial (Meaning: The Construction Of Social Reality)

Blummer berpendapat bahwa setiap individu berperilaku kepada masyarakat

atau objek berdasarkan apa yang mereka pahami secara mendasar mengenai

masyarakat atau objek tersebut (human act toward people or things on the basis of

the meaning they assign to those people or things). individu bertindak sesuai

dengan apa yang dia maknai di situasi/ moment tersebut. Dalam hal ini

interpretasi yang kita hasilkan mengenai seseorang ,situasi dan objek-lah yang

(6)

2. Bahasa: Sumber Dari Makna/Pesan (Language: The Source Of Meaning)

Teori kedua yang diangkat oleh blumer adalah “makna tumbuh melalui

interaksi sosial diantara individu”. Dengan kata lain, makna tersebut tidak

terbentuk dari satu pihak komunikasi, malainkan hasil dari negosiasi antar

individu dalam bahasa.

3. Berpikir Proses Pengambilan Peran Orang Lain. (Thinking: The Process Of Taking

The Role Of Other)

Teori ketiga yang diangkat Blummer ialah “interpretasi individu mengenai

symbol (nonverbal signs) dibentuk oleh pemikirannya sendiri .dalam hal ini,

konsep minding yaitu proses dialog dalam diri individu untuk memilah, “melatih”

dan mengantisipasi tindakan (verbal dan nonverbal) Yang akan dilakukan

sebelum memberikan respon terhadap individu lain atau situasi dan objek.

Blumer dalam teorinya yang ketiga menggambarkan manusia sebagai

individu yang memiliki kapasitas untuk “mengambil peran dari orang lain” yang

berarti proses dimana kita secara sadar menilai diri sendiri melalui pandangan

orang lain. Kita menciptakan sebuah standar yang harus dicapai oleh diri kita-

ksuksesan, kebahagiaan, dll- dan dalam tahap tertentu kita berusaha

membayangkan apa yang orang lain pikirkan jika melihat diri kita- sukseskah kita

dimata mereka? Bahagiakah kita?, normalkah? Dll-. Proses tersebut ikut

membentuk konsep mengenai diri individu.

E-Self: Bayangan Di Cermin (E-Self, Reflection In The Mirror)

Mead menegaskan bahwa konsep diri dibentuk oleh masyarakat sosial serta

merupakan hasil dari “Asimilasi Pandangan Kelompok Inti/ Significant Others”.

Dengan kata lain, “Self”/ diri individu tidak muncul dari lahir, melainkan hasil

(7)

dibesarkan secara positif oleh orang tuanya, selalu beri kata-kata positif bahwa ia

disayangi, dicintai, dll akan tumbuh menjadi individu positif yang memiliki

konsep diri yang baik pula. (Jurnal http://reviewkomunikasi.blogspot.com/)

Teori interaksionisme simbolik berorientasi pada prinsip bahwa orang-orang

yang merespon makna yang mereka bangun sejauh mereka berinteraksi satu sama

lain. setiap individu merupakan agen aktif dalam dunia sosial, yang tentu saja

dipengaruhi oleh budaya dan organisasi sosial, bahkan ia juga menjadi instrumen

penting dalam produksi budaya, masyarakat dan hubungan yang bermakna yang

mempengaruhi mereka. Mead dan pengikutnya menggunakan banyak konsep

untuk menyempurnakan cara lahirnya makna melalui interaksi dalam kelompok

sosial. Contohnya berbicara tentang simbol signifikan dengan makna yang sama,

aksi yang terkoordinasi adalah tidak mungkin. Konsep penting lainnya dalam

interaksionisme simbolik adalah orang lain yang signifikan yaitu orang yang

berpengaruh dalam kehidupan seseorang, lalu orang lain yang digeneralisasikan

yakni konsepnya tentang bagaimana orang lain merasakannya dan tata cara yang

dipakai yaitu pembentukan perilaku setelah perilaku orang lain. (Ardianto, 2007:

136). Fokus pengamatan teori-teori ini tidak terhadap struktur, tetapi tentang

bagaimana bahasa dipergunakan untuk membentuk struktur sosial serta

bagaimana bahasa dan simbol-simbol lainnya direproduksi, dipelihara, serta

diubah dalam penggunaanya. ( Bugin, 2008: 250)

Bagi Blumer Interaksionisme simbolik bertumpu pada tiga premis:

1. Manusia bertindak terhadap sesuatu berdasarkan makna-makna yang ada pada

sesuatu itu bagi mereka

2. Makna tersebut berasal dan “interaksi sosial seseorang dengan orang lain”

(8)

Blumer menyatakan bahwa bagi seseorang, makna dari sesuatu berasal dari

cara-cara orang lain bertindak terhadapnya dalam kaitannya dengan sesuatu.

Tindakan-tidakan yang mereka lakukan akan melahirkan batasan sesuatu bagi

orang lain. (Poloma,2000: 259)

Menurut Mead orang tak hanya menyadari orang lain tetapi juga mampu

menyadari dirinya sendiri. Dengan demikian orang tidak hanya berinteraksi

dengan orang lain, tetapi secara simbolis dia juga berinteraksi dengan dirinya

sendiri. Interaksi-simbolis dilakukan dengan menggunakan bahasa, sebagai

satu-satunya simbol terpenting dan melalui isyarat. Simbol bukan merupakan

fakta-fakta yang sudah jadi, simbol berada dalam proses yang kontinu. Dalam interaksi

orang belajar memahami simbol-simbol yang konvensional, dan dalam suatu

pertandingan mereka belajar menggunakannya sehingga mampu memahami

peranan aktor-aktor lainnya. (Poloma,2000: 257)

Teori dramatisme (Dramatism theory) dimana teori dramatisme ini

merupakan teori komunikasi yang dipengaruhi oleh interaksi simbolik, dan tokoh

yang menggemukakan teori ini adalah Kenneth Burke (1968). Teori ini

memfokuskan pada diri dalam suatu peristiwa yang ada dengan menggunakan

simbol komunikasi. Dramatisme memandang manusia sebagai tokoh yang sedang

memainkan peran mereka, dan proses komunikasi atau penggunaan pesan

dianggap sebagai perilaku yang pada akhirnya membentuk cerita tertentu

(Ardianto. 2007: 148).

Dari semua perspektif yang diterapkan dalam studi komunikasi manusia,

barangkali yang bersifat manusiawi adalah teori interaksionisme simbolik.

Perspektif ini menonjolkan keagungan dan nilai individu diatas nilai pengaruh

yang lainnya. Manusia di dalam dirinya memiliki esensi kebudayaan,

(9)

bentuk interaksi sosial itu dimulai dan berakhir dengan mempertimbangkan diri

manusia. Inilah karateristik utama dari seluruh perspektif ini (Ardianto, 2007: 40)

2.2 Kajian Pustaka

2.2.1 Semiotika

Secara etimologis, istilah semiotika berasal dari kata yunani Semeion yang

berarti tanda. Tanda itu sendiri didefinisikan sebagai suatu yang atas dasar

konvensi sosial yang terbangun sebelumnya dapat dianggap mewakili sesuatu

yang lain. secara terminologis, semiotika dapat didefinisikan sebagai ilmu yang

mempelajari sederetan luas objek-objek, peristiwa-peristiwa seluruh kebudayaan

sebagai tanda. Pada dasarnya, analisis semiotika merupakan sebuah ikhtiar untuk

merasakan sesuatu yang aneh, sesuatu yang perlu dipertanyakan lebih lanjut

ketika kita membaca teks atau narasi/wacana tertentu. (Wibowo, 2011:5)

Semiotika sebagai suatu model dari ilmu pengetahuan sosial memahami

dunia sebagai sistem hubungan yang memiliki unit dasar yang disebut dengan

“tanda”. Dengan demikian semiotik mempelajari hakikat tentang keberadaan

suatu tanda. Umberto eco menyebut tanda sebagai “kebohongan” dimana dalam

tanda ada sesuatu yang tersembunyi dibaliknya dan bukan merupakan tanda itu

sendiri. Menurut Saussure, persepsi dan pandangan kita tentang realitas,

dikonstuksikan oleh kata-kata dan tanda-tanda lain yang digunakan dalam konteks

sosial. (Sobur, 2004:67)

Pada dasarnya, analisis semiotika merupakan sebuah ikhtiar untuk

merasakan sesuatu yang aneh, sesuatu yang perlu dipertanyakan lebih lanjut

ketika kita membaca teks atau narasi/wacana tertentu. Analisisnya bersifat

(10)

tersembunyi dibalik sebuah teks. Tanda-tanda (sign) adalah basis atau dasar dari

seluruh komunikasi, kata pakar Littlejhon yang terkenal dengan bukunya:

“theories on Human Behaviour” (1996). Menurutnya, manusia dengan

perantaraan tanda-tanda dapat melakukan komunikasi dengan sesamanya dan

banyak hal yang bisa dikomunikasikan di dunia ini. Sedangkan menurut Umberto

Eco, kajian semiotika sampai sekarang membedakan dua jenis semiotika yaitu

semiotika komunikasi dan semiotika signifikasi. Dimana semiotika komunikasi

menekankan pada teori tentang produksi tanda yang salah satu diantaranya

mengasumsikan adanya enam faktor dalam komunikasi yaitu pengirim, penerima

kode atau sistem tanda, pesan, saluran komunikasi dan acuan yang dibicarakan.

Sedangkan semiotika signifikasi tidak mempersoalkan adanya tujuan

berkomunikasi, yang lebih diutamakan adalah segi pemahaman suatu tanda

sehingga proses kognisinya pada penerima tanda lebih diperhatikan ketimbang

prosesnya. (Wibowo, 2011: 6-7).

Pada dasarnya menelaah dengan pendekatan semiotika tidak lepas dari

peranan pembaca dalam proses komunikasi melalui karya sastra. Karena

sebagaimana diungkapkan Foulkes keseluruhan faktor dalam proses komunikasi

dan pemahamannya mempengaruhi dan ikut menentukan sikap pembaca.

(Fananie,2001:140)

Semiotika komunikasi merupakan ilmu yang mempelajari tanda. Charles

Sander Peirce menegaskan bahwa kita hanya bisa berfikir dengan sarana tanda.

Littlejhon mengatakan bahwa tanda adalah basis dari seluruh komunikasi,

komunikasi terjadi dengan perantara tanda-tanda. Kajian semiotika sampai

sekarang telah membedakan dua jenis semiotika, yakni semiotika komunikasi dan

semiotika signifikasi. Yang pertama menekankan pada teori tentang produksi

tanda yang salah satunya mengasumsikan adanya enam faktor dalam komunikasi,

(11)

memberikan tekanan pada teori tanda dan pemahamannya dalam suatu konteks

tertentu, pada jenis ini tidak dipersoalkan adanya tujuan komunikasi namun yang

diutamakan adalah segi pemahaman suatu tanda sehingga proses kognisinya pada

penerima tanda lebih diperhatikan daripada proses komunikasinya (Sobur, 2004:

15).

Menurut Saussure, persepsi dan pandangan kita tentang realitas,

dikonstruksikan oleh kata-kata dan tanda-tanda lain yang digunakan dalam

konteks sosial, yang berarti tanda membentuk persepsi manusia lebih dari sekedar

merefleksikan realitas yang ada. Semiotika membahas tentang keragaman bahasa

dari tiga perspektif: semantika, yakni study tentang makna; sintatika, yang

berurusan dengan kaidah dan struktur yang menghubungkan tanda-tanda satu

dengan yang lainnya; dan pragmatika yaitu analisis penggunaan dan akibat

permainan kata.

Menurut Pateda terdapat sembilan macam semiotika yang kita kenal yaitu:

1. Semiotika Analitik, yakni semiotik yang menganalisis sitem tanda. Peirce

menyatakan bahwa semiotik berobjekkan tanda menganalisisnya menjadi ide,

objek dan makna. Ide dapat dikatakan sebagai lambang, sedangkan makna

adalah beban yang terdapat dalam lambang yang mengacu kepada objek

tertentu.

2. Semiotika deskriptif, yakni semiotik yang memperhatikan sistem tanda yang

dapat kita alami sekarang, meskipun ada tanda yang sejak dahulu tetap seperti

yang disaksikan sekarang, misalnya langit yang mendung menandakan bahwa

hujan tidak lama lagi akan turun.

3. Semiotik Faunal, yakni semiotik yang khusus memperhatikan sistem tanda

yang dihasilkan oleh hewan, misalnya ayam yang sedang berkotek-kotek

(12)

4. Semiotik kultural, yakni semiotik yang khusus menelaah sistem tanda yang

berlaku dalam kebudayaan masyarakat tertentu

5. Semiotik naratif, yakni semiotik yang menelaah sistem tanda dalam narasi yang

berwujud Mitos dan cerita lisan ada diantaranya mempunyai nilai kultural

tinggi.

6. Semiotik natural, yakni semiotik yang khusus menelaah sistem tanda yang

dihasilkan oleh alam. Air sungai yang keruh menandakan di hulu telah turun

hujan, banjir atau tanah longsor memberi tanda bahwa manusia-manusia telah

merusak alam.

7. Semiotik normatif, yakni semiotk yang khusus menelaah sistem tanda yang

dibuat oleh manusia berwujud norma-norma misalnya rambu-rambu lalu lintas.

8. Semiotik sosial, khusus menelaah sistem tanda yang khusus menelaah sistem

tanda yang dihasilkan oleh manusia yang berwujud lambang, baik lambang

berwujud kata maupun lambang yang berwujud kata dalam satuan yang disebut

kalimat. Semiotika sosial menelaah sistem tanda yang terdapat dalam bahasa.

9. Semiotik struktural, yakni semiotik yang khusus menelaah sistem tanda yang

dimanifestikan melalui struktu bahasa. ( Zamroni, 2009:93)

Isi media pada hakikatnya adalah hasil konstruksi realitas dengan bahasa

sebagai perangkat dasarnya. Sedangkan bahasa bukan saja sebagai alat

merepresentasikan realitas, namun juga bisa menentukan relief seperti apa yang

diciptakan oleh bahasa tetang realitas tersebut. Akibatnya media massa

mempunyai peluang yang sangat besar untuk mempengaruhi makna dan

gambaran yang dihasilkan dari realitas yang dikonstruksikannya.

Jika kita berbicara mengenai perihal teks, apakah itu surat cinta, makalah,

iklan , cerpen, poster, komik, kartun, dan semua hal yang mungkin menjadi

“tanda” bisa dilihat dalam aktivitas penanda: yakni suatu proses signifikasi yang

(13)

Semiotika menaruh perhatian pada apa pun yang dapat dinyatakan sebagai

tanda. Sebuah tanda adalah semua hal yang dapat diambil sebagai penanda yang

mempunyai arti penting untuk menggantikan sesuatu yang lain. Sesuatu yang lain

tersebut tidak perlu harus ada, atau tanda itu secara nyata ada disuatu tempat pada

waktu tertentu. Dengan begitu semiotika pada prinsipnya adalah sebuah disiplin

yang mempelajari apa pun yang bisa digunakan untuk menyatakan sesuatu

kebohongan. Jika sesuatu tersebut tidak dapat digunakan untuk mengatakan

sesuatu kebohongan, sebaliknya tidak bisa digunakan untuk mengatakan

kebenaran. (Sobur, 2004:18)

2.2.1.1 Semiotika Roland Barthes

Roland Barthes dikenal sebagai salah seorang pemikir strukturalis yang

getol mempraktikkan model linguistik dan semioligi Saussaren. Ia juga intelektual

kritikus sastra Prancis yang ternama; eksponen penerapan strukturalisme dan

semiotika pada studi sastra, dan Ia dikenal sebagai tokoh yang memainkan peran

sentral dalam strukturalisme tahun 1960-an dan 70-an Ia berpendapat bahasa

adalah sebuah sistem tanda yang mencerminkan asumsi-asumsi dari suatu

masyarakat tertentu dalam waktu tertentu. (Sobur, 2004: 63)

Roland Barthes memberi pelajaran berharga tentang bagaimana

menganalisis tanda-tanda komunikasi yang ia sebut semiologi komunikasi, yaitu

mementingkan hubungan antara tanda dengan pengirim dan penerimanya. Dengan

begitu seorang Peneliti menganalisis setiap teks berdasarkan konteksnya,

referensinya dan dapat menggunakan penjelasan sintaksis (ketatabahasaan), dan

analisis semantik (makna tanda-tanda) dan teks tertulis. (Zamroni, 2009:92).

Di dalam buku Barthes yang terkenal, S/Z ia menggunakan lima kode untuk

(14)

1. Kode Hermeneutika atau kode teka-teki berkisar pada harapan pembaca untuk

mendapatkan “kebenaran” bagi pertanyaan yang muncul dalam teks.

2. Kode Semik atau kode konotatif banyak menawarkan banyak sisi. Dalam

proses pembacaan, pembaca menyusun tema suatu teks. Ia melihat bahwa

konotasi kata atau frase tertentu dalam teks dapat dikelompokkan dengan

konotasi kata atau frase yang mirip. Jika sejumlah konotasi melekat pada suatu

nama tertentu, kita dapat mengenali suatu tokoh dengan atribut tertentu.

3. Kode Simbolik merupakan aspek pengkodean fiksi yang paling khas bersifat

struktural, atau tepatnya menurut Barthes pascastruktural. Hal ini didasarkan

pada gagasan bahwa makna berasal dari beberapa oposisi biner atau

pembedaan-baik dalam taraf bunyi fonem dalam proses produksi wicara

maupun pada taraf oposisi psikoseksual yang melalui proses.

4. Kode Proaretik atau kode tindakan dianggapnya sebagai perlengkapan utama

teks yang dibaca orang; antara lain semua teks yang bersifat naratif.

5. Kode Gnomik atau kode kultural banyak jumlahnya. Kode ini merupakan acuan

teks ke benda-benda yang sudah diketahui dan dikodifikasi oleh budaya,

menurutnya realisme tradisional didefenisi oleh acuan ke apa yang telah

diketahui. ( Sobur, 2004: 65-66)

Barthes melontarkan konsep tentang konotasi dan denotasi sebagai kunci

dari analisisnya. Makna denotatif suatu kata adalah makna yang biasa kita

temukan dalam kamus, sedangkan makna konotatif adalah makna denotatif

ditambah dengan segala gambaran, ingatan dan perasaan yang ditimbulkan oleh

kata dari makna denotatif tersebut. Denotasi adalah hubungan yang digunakan di

dalam tingkat pertama sebuah kata secara bebas memegang peranan penting di

dalam ujaran. Makna denotatif bersifat langsung, yaitu makna khusus yang

terdapat dalam sebuah tanda, dan pada intinya dapat disebut sebagai gambaran

sebuah petanda. Makna konotasi adalah suatu jenis makna dimana stimulus dan

(15)

karena pembicara ingin menimbulkan perasaan setuju-tidak setuju, senang-tidak

senang dan sebagainya kepada pendengar; dipihak lain kata yang dipilih itu

memperlihatkan bahwa pembicaranya juga memendam perasaan yang sama. Pada

dasarnya, konotasi timbul disebabkan masalah hubungan sosial atau hubungan

interpersonal, yang mempertalikan kita dengan orang lain. karena itu bahasa

manusia tidak sekadar menyangkut masalah makna denotatif atau ideasional dan

sebagainya. (Sobur,2004:263,266)

Barthes mengabaikan dimensi dari bentuk dan substansi dan

mendefenisikan sebuah tanda sebagai sebuah sistem yang terdiri dari sebuah

ekspresi atau signifier dalam hubungannya dengan content (signified). Sebuah

tanda primer (primary sign system) dapat menjadi sebuah elemen dari sebuah

sistem tanda yang lebih lengkap dan memiliki makna yang berbeda ketimbang

semula. Dengan begitu primary sign adalah denotatif sedangkan secondary sign

adalah satu dari connotative semiotics. Konotasi menggambarkan interaksi yang

terjadi ketika tanda bertemu dengan perasaan atau emosi dari pembaca serta

nilai-nilai dari kebudayaanya. Konotasi memiliki makna yang subjektif atau paling

tidak intersubjektif. Dengan kata lain, denotasi adalah apa yang digambarkan

tanda terhadap sebuah objek, sedangkan makna konotasi adalah bagaimana cara

menggambarkannya. Konotasi bekerja dalam tingkat subjektif sehingga

kehadirannya tidak disadari. Pembaca mudah sekali membaca makna konotatif

sebagai fakta denotatif. Konsep konotatif inilah yang menjadi kunci penting dari

model semiotika Roland Barthes, model ini disebut sebagai model Signifikasi dua

tahap (two order signification). (Wibowo,2011: 16-17).

Lewat Model signifikasi dua tahap Barthes menjelaskan bahwa signifikasi

tahap pertama merupakan hubungan antara signifier ( ekspresi) dan signified

(content) di dalam sebuah tanda terhadap realitas external. Itu disebut Barthes

(16)

Salah satu area penting yang dirambah Barthes dalam studinya tentang pembaca

adalah peran pembaca (the reader). Konotasi walaupun merupakan sifat asli

tanda, membutuhkan keaktifan pembaca agar dapat berfungsi. Dalam konsep

Barthes konotatif tidak sekedar memiliki makna tambahan namun juga

mengandung kedua bagian tanda denotatif yang melandasi keberadaannya.

(Sobur,2004: 68-69).

Gambar Peta tanda Roland Barthes

Dari peta Roland Barthes diatas terlihat bahwa tanda konotatif (3) terdiri

atas penanda (1) dan petanda (2). Akan tetapi pada saat bersamaan, tanda

denotatif adalah juga penanda konotatif (4). Dengan kata lain, hal tersebut

merupakan unsur material: hanya jika kita mengenal tanda “singa”, barulah

konotasi seperti harga diri, kegarangan dan keberanian menjadi mungkin.

(Sobur,2004:69)

Dalam kerangka Barthes, konotasi identik dengan operasi ideologi, yang

disebutnya sebagai Mitos, dan berfungsi untuk mengungkapkan dan memberikan

pembenaran bagi nilai-nilai dominan yang berlaku pada suatu periode tertentu. Di

dalam Mitos juga terdapat pola tiga dimensi penanda, petanda dan tanda, namun

sebagai suatu sistem yang unik, Mitos dibangun oleh suatu rantai pemaknaan yang

telah ada sebelumnya atau dengan kata lain, Mitos adalah juga suatu sistem

4. CONNOTATIVE SIGNIFIER (Penanda Konotatif) 1. SIGNIFIER (Penanda) 2. SIGNIFIED (Petanda)

3. DENOTATIVE SIGN (Tanda Denotatif)

5. CONNOTATIVE SIGNIFIED (Petanda Konotatif)

(17)

pemaknaan tataran kedua. Di dalam Mitos pula sebuah petanda dapat memiliki

beberapa penanda (Sobur,2004:71).

2.2.1.2 Tanda

Tanda adalah representasi dari gejala yang memiliki sejumlah kriteria

seperti: nama (sebutan), peran, fungsi, tujuan, keinginan. Tanda berada dalam

seluruh kehidupan manusia, oleh karena itu tanda juga dapat berada dalam

kebudayaan manusia dan menjadi sistem tanda yang digunakannya sebagai

pengatur kehidupannya. Oleh karena itu tanda-tanda itu (yang berada pada sistem

tanda) sangatlah akrab bahkan melekat pada kehidupan manusia yang penuh

makna seperti teraktualisasi pada bahasa, religi, seni sejarah, ilmu pengetahuan.

(Sobur, 2004:124)

Ada beberapa cara untuk menggolongkan tanda-tanda, cara itu yakni: tanda

yang ditimbulkan oleh alam yang kemudian diketahui manusia melalui

pengalamannya; misalnya kalau langit sudang mendung menandakan akan turun

hujan, tanda yang ditimbulkan oleh binatang misalnya kalau anjing menyalak ada

kemungkinan tamu yang sudah memasuki pekarangan rumah. Dan yang terakhir

adalah tanda yang ditimbulkan oleh manusia dapat dibedakan atas verbal dan

non-verbal yang bersifat non-verbal adalah tanda-tanda yang digunakan sebagai alat

komunikasi yang dihasilkan oleh alat bicara sedangkan yang bersifat non-verbal

dapat berupa; (1) tanda yang menggunakan anggota badan, lalu diikuti dengan

lambang misalnya “mari”; (2) suara, misalnnya ssttt.. menyuruh orang diam; (3)

tanda yang diciptakan manusia untuk menghemat waktu, tenaga, dan menjaga

kerahasiaan misalnya rambu-rambu lalu lintas; (4) benda yang bermakna kultural

dan ritual, misalnya buah minang muda yang menandakan daging, gambir yang

(18)

Tanda merupakan cerminan dari realitas, yang dikonstruksikan lewat

kata-kata. Menurut Saussure persepsi dan pandangan kita tentang realitas,

dikonstruksikan oleh kata-kata dan tanda-tanda lain yang digunakan dalam

konteks sosial (Wibowo,2011:7). Saussure meletakkan tanda dalam konteks

komunikasi manusia dengan melakukan pemilahan antara apa yang disebut

signifier ( penanda) dan signified (petanda). Saussure menyebut signifier sebagai

bunyi atau coretan yang bermakna, sedangkan signified adalah gambaran mental

atau konsep sesuatu dari signifier. Hubungan antara keberadaan fisik tanda dan

konsep mental tersebut dinamakan signification. Pada dasarnya hubungan dari

kedua hal tersebut adalah produk dari kultura, dimana sifatnya hanya berdasarkan

konvensi, kesepakatan atau peraturan dari kultur pemakai bahasa tersebut.

Hubungan antara signified dan signifer dibagi kedalam tiga bagian yaitu:

1. Ikon adalah tanda yang memunculkan kembali benda atau realitas yang

ditandainya, misalnya foto atau peta.

2. Indeks adalah tanda yang kehadirannya menunjukkan adanya hubungan dengan

yang ditandai, misalnya asap adalah indeks dari api

3. Simbol adalah sebuah tanda dimana hubungan antara signifier dan signified

semata-mata adalah masalah konvensi, kesepakatan atau peraturan.

(Sobur,2004:125-126)

2.2.1.3 Mitos

Mitos adalah bagaimana kebudayaan menjelaskan atau memahami

beberapa aspek tentang realitas atau gejala alam. Mitos merupakan produk kelas

sosial yang sudah mempunyai suatu dominasi. Mitos primitif, misalnya mengenai

hidup dan mati, manusia dan dewa. Sedangkan Mitos masa kini misalnya

mengenai femininitas, maskulinitas, ilmu pengetahuan dan kesuksesan. (Wibowo,

(19)

Mitos adalah sutu wahana dimana suatu ideologi berwujud. Mitos dapat

berangkai menjadi mitologi yang memainkan peranan penting dalam

kesatuan-kesatuan budaya. Sedangkan Van Zoest (1991) menegaskan, siapa pun bisa

menemukan ideologi dalam teks dengan jalan meneliti konotasi-konotasi yang

terdapat di dalamnya. Dalam pandangan Umar Yunus, Mitos tidak dibentuk

melalui penyelidikan, tetapi melalui anggapan berdasarkan observasi kasar yang

digeneralisasikan oleh karenanya lebih banyak hidup di dalam masyarakat, sikap

kita terhadap sesuatu ditentukan dengan Mitos yang ada di dalam diri kita. Mitos

ini menyebabkan kita mempunyai prasangka tertentu terhadap suatu hal yang

dinyatakan dalam Mitos. ( Wibowo,2011:16-17). Menurut Barthes Mitos sebagai

bentuk simbol dalam komunikasi, Mitos bukan hanya diciptakan dalam bentuk

diskursus tertulis, melainkan sebagai produk sinema, fotografi, advertensi,

olahraga dan televisi. (Sobur,2004:208)

Mitos adalah suatu jenis tuturan sesuatu yang hampir mirip dengan

representasi kolektif di dalam sosiologi Durkheim. Barthes mengartikan Mitos

sebagai “cara berfikir kebudayaan terhadap sesuatu, sebuah cara

mengkonseptualisasikan atau memahami sesuatu hal. Barthes menyebut Mitos

sebagai rangkaian konsep yang saling berkaitan. Mitos adalah sistem komunikasi,

sebab ia membawakan pesan. Maka Mitos itu bukanlah objek. Mitos bukan pula

konsep atau gagasan, melainkan suatu cara signifikasi suatu bentuk. Mitos tidak

ditentukan oleh objek ataupun materi pesan yang disampaikan melainkan oleh

cara Mitos disampaikan. Mitos tidak hanya berupa pesan yang disampaikan dalam

bentuk verbal namun juga dalam berbagai bentuk lain atau campuran antara

bentuk verbal dan nonverbal. (Sobur,2004: 224).

Di dalam Mitos juga terdapat pola tiga dimensi penanda, petanda, dan tanda

namun sebagai suatu sistem yang unik, Mitos dibangun oleh suatu rantai

(20)

suatu sistem pemaknaan tataran kedua. Di dalam Mitos pula sebuah petanda

dapat memiliki beberapa penanda. (Sobur,2004:71)

2.2.2 Lesbianisme ( Sebutan Untuk Wanita Pecinta Sesama Jenis )

Homoseksual adalah istilah yang digunakan untuk mendeskripsikan

kecenderungan umum hubungan seks dengan orang lain yang berjenis kelamin

sama. Homoseksual dapat dijelaskan dalam beberapa dimensi termasuk

diantaranya adalah sikap untuk mengekspresikan hubungan seksual atau

kecenderungan erotis, kesadaran akan konsep diri homoseksual, atau kenyataan

hubungan seks dengan sesama jenisnya baik laki-laki maupun perempuan. Orang

yang menjalani perilaku Homoseksual ini berasal dari semua kelas sosial, tingkat

pendidikannya bervariasi, mewakili semua jenis pekerjaan dan profesi

mempunyai macam kepentingan dan kegemaran, dan mungkin sudah menikah

atau masih single. (Siahaan,2009:43)

Freud dalam analisisnya yang sekarang tidak lagi percaya , menganggap

Homoseksualitas sebagai penyakit yang disebabkan oleh gangguan perkembangan

seksual. Menurutnya anak normal akan melewati tahap psikoseksual hingga

dorongan seksualnya akhirnya dapat diarahkan secara dewasa pada objek cinta

yang tepat yang berjenis kelamin berbeda. Hampir semua anak berhasil melewati

suatu tahap dalam proses ini, dimana mereka mencintai alat kelamin sendiri, cinta

yang narsistik berfokus pada diri, tetapi beberapa anak tetap berfokus pada alat

kelaminnya sendiri dan menjadikannya sebagai objek cinta, hal inilah yang

akhirnya membuatnya menjadi homoseksual ( Friedman, 2008:193).

Fakta bahwa hubungan antara warisan genetis dan homoseksualitas yang

tidak jelas memberikan kemungkinan bahwa faktor-faktor lingkungan sering

(21)

pada predisposisi biologis yang lain, orientasi seksual biologis kemungkinan

berkembang atau menjadi dewasa dalam cara tertentu dan dalam konteks tertentu.

Ada juga kemungkinan bahwa hal-hal yang berhubungan dengan homoseksualitas

justru tidak ada hubungannya dengan genetis tetapi merupakan hasil dari

kondisioning atau pengalaman-pengalaman lain. (Friedman, 2008:194).

Homoseksual memiliki minat erotis pada anggota gender mereka sendiri, tetapi

identitas gender mereka (perasaan menjadi pria atau wanita) konsisten dengan

anatomi seks mereka. mereka tidak memiliki hasrat untuk menjadi anggota gender

yang berlawanan atau merasa jijik pada alat genital mereka. ( Nevid, 2002:75)

Istilah lesbianisme berasal dari nama Lesbos ( Pulau tempat pembuangan

napi perempuan di Yunani). Sappho (600SM) penyair besar yunani menjadikan

dirinya sebagai pemimpin kelompok perempuan napi yang mempunyai

keterkaitan ciri perasaan dan perilaku homoseks. Penelitian terhadap

homoseksualitas perempuan relatif kecil berhasil dibandingkan dengan

homoseksualitas laki-laki. Hal ini kemungkinan dikarenakan lesbianisme lebih

sulit dipelajari. Lesbianisme tidak banyak terlibat dalam subkebudayaan tersendiri

seperti halnya para homoseks. Subkebudayaan homoseksual adalah entitas

fungsional yang diorganisasikan untuk memberikan dukungan dan menyediakan

sarana hubungan sosial bagi para anggotanya. Para lesbian lebih terasing

dibandingkan para gay. Lesbian dapat menyembunyikan penyimpangan

seksualnya dibalik asumsi seksual terhadap perempuan dibandingkan dengan

laki-laki yang secara seksual lebih aktif dan agresif. (Siahaan, 2009:54)

Cara pengenalan akan lesbianisme adalah berbeda. Lesbian tidak mudah

diidentifikasi. Disamping itu opini terhadap lesbian hanya akan menjadi

kenyataan jika lesbian menunjukkan gaya yang unik dalam berpakaian dan

berhubungan. Hubungan jangka panjang yang dijalin antara para lesbian

(22)

kebutuhan untuk mencari pasangan lain. Lesbian lebih bersifat pribadi

dibandingkan para gay. Lesbian lebih cenderung biseksual dan tidak konsisten

dalam perilaku seksualnya dibandingkan para homoseks. Akan tetapi lesbian

menunjukkan kesamaan pilihan terhadap perilaku dan identitas yang sama dengan

homoseks. Sebagian lesbian menikah tapi orientasi seks utamanya pada

perempuan lain, lainnya menikah tapi biseks, sedangkan sisanya tidak menikah

dan tetap lesbian. (Siahaan, 2009:55). Pada umumnya, cinta Lesbianisme itu

sangat mendalam, dan lebih hebat daripada cinta heteroseksual, meskipun dalam

relasi yang dibangun tersebut sering tidak diperoleh kepuasan seksual yang wajar.

Ketertarikan pertama seorang perempuan kepada yang lain bukanlah secara

seksual, melainkan ketertarikan emosional atau kedekatan berdasarkan

kepentingan yang sama. Seorang perempuan yang menyadari ketertarikannya

pada perempuan yang lain akan mencoba menggunakan label lesbian untuk

melihat kecocokannya (Browning, 1987). Perempuan cenderung memberikan

warna emosi ke aspek-aspek fisik dalam ketertarikannya dengan perempuan lain.

Proses melabelkan diri ini terjadi dalam konteks pertemanan dengan perempuan

lain. Kedekatan hubungan personal yang mendasari pertemuan dengan seorang

lesbian berkembang sebelum atau selama kontak genital dan merupakan tahap

akhir dari hubungan afektif yang erat. (Siahaan, 2009:58).

Perbedaan utama antara gay dan lesbian adalah lesbian lebih cenderung

memandang dirinya tidak promiscuous (berpasangan seks dengan siapa saja)

dibandingkan dengan para gay. Persepsi diri ini ditunjukkan dalam perilaku

lesbian. Mereka tidak berganti-ganti pasangan seks dan cenderung mempunyai

pasangan tetap atau menikah dalam pengertian homoseksual dan mempunyai

hubungan emosional yang kuat dalam waktu yang panjang. Perbedaan tersebut

berakar pada peran perempuan dimana kepuasan seksual ditempatkan kedalam

(23)

keterlibatannya dalam arti ia tidak tertarik pada variasi pasangan dan praktik

seksual (Siahaan,2009:57-58).

2.4 Model Teoritik

ANALISIS SEMIOTIKA

MODEL BARTHES

NOVEL GERHANA KEMBAR KARYA CLARA NG

Gambar

Gambar Peta tanda Roland Barthes

Referensi

Dokumen terkait

38/PBJ-KEMENAG- GUMAS/VIII/2012 tanggal 28 Agustus 2012, maka dengan ini kami umumkan pemenang lelang untuk paketPekerjaun Pembangunan Pagar Depan Kantor Kementerian

[r]

Muna Mengumumkan Rencana Umum Pengadaan Baran&/jasa untuk rlaksanaan kegiatan tahun anggaran 2012, sepertitersebut dibawah ini :. rlo NAMA PEKERJAAN VOLUME

Berdasarkan Hasil Evaluasi Dokumen Penawaran yang tertuang dalam Berita Acara Hasil Pelelangan No. 66/PAN-PBJ-KEMENAG/VIII/2012 tanggal 28 Agustus 2012 dan Surat

1 Pos-pos yang tidak akan direklasifikasi ke laba rugi - a Keuntungan revaluasi aset tetap - b Pengukuran kembali atas program imbalan pasti - c Bagian

Pemberitahuan melalui SMS/media lain dari pihak sekolah (wali kelas) kepada orang tua atas pelanggaran awal yang dilakukan anak (jika ada) untuk diketahui dan diatasi oleh

[r]

Selain itu, upaya guru akidah akhlak dalam peningkatan keterampilan sosial siswa pun, akan lebih mudah untuk dilakukan, sebab guru tersebut menggunakan pendekatan yang