• Tidak ada hasil yang ditemukan

PEMANTAPAN PERAN BAHASA DAERAH 1

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "PEMANTAPAN PERAN BAHASA DAERAH 1"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

DALAM MEMPERKUKUH KETAHANAN BUDAYA BANGSA

Abstract

The Javanese and many kind of the regional languages in Indonesia are now forgotten mostly by the inhabitants in towns. The problem are caused by the using

of Indonesian in educating the children in many famillies. By repairing the elementary schools curriculum in teaching the regional languages as the national

and character building, we are sure that the Javanese and all the regional languages will be the only language in familly and region.

Kata-kata Kunci:

bahasa daerah, sakaguru budaya bangsa, usia kritis. perombakan kurikulum, pendidikan tiga bahasa

Kunardi Hardjoprawiro

Jurusan Sastra Indonesia FSSR Universitas Sebelas Maret

1. Pengantar

Masyarakat Indonesia yang multietnis dan sekaligus mulitibudaya seharusnya menyadari bahwa pelestarian budaya merupakan tantangan utama terutama dalam memasuki era globalisasi sekarang ini. Mengapa demikian? Karena tanpa upaya melestarikannya, dapat dibayangkan musnahnya budaya daerah, temasuk bahasa daerah, berangsur-angsur dalam waktu yang tidak lama.

Abdul Wahab (2002: 9--12), dalam hubungannya dengan pemeliharaan bahasa daerah, melihat kenyataan bahwa pemilik dan pemakai bahasa daerah tidak menampilkan sikap positif terhadap bahasa daerahnya sendiri. Hal berikutnya, kata pakar ilmu bahasa Universitas Negeri Malang ini, yang menandai ketidakmampuan menghormati dan memiliki bahasa daerah tercermin pada minimnya perhatian Pemerintah baik pusat maupun daerah terhadap bahasa daerah.

Berdasarkan sinyalemen itu, penulis melontarkan pertanyaan-pertanyaan berikut. Akankah hal-hal itu berlangsung terus dan tidak mungkin diatasi lagi? Tidak adakah upaya mengubah sikap Pemerintah dan pemakai bahasa daerah dalam hubungannya dengan serangan yang gencar dari pemakaian bahasa Indonesia dan bahasa Inggris? Tidak adakah upaya-upaya Pemerintah untuk menempatkan bahasa daerah sebagai pelajaran utama yang harus diberikan di

(2)

beberapa kelas Sekolah Dasar (SD)? Tidak adakah semacam cara untuk lebih menggalakkan kegiatan berbahasa daerah dalam peristiwa-peristiwa kedaerahan?

Makalah ini membahas masalah-masalah itu untuk memperoleh jalan keluar dari berbagai hal. Antara lain menyangkut sikap pemilik bahasa daerah untuk tidak perlu lagi menggunakan bahasa daerahnya dengan alasan bahasa Indonesia sudah dikuasai oleh segenap lapisan masyarakat. Sehubungan dengan merosotnya penggunaan bahasa daerah itu, perlu diperoleh informasi terutama dari Kandepdiknas tindakan apa yang dapat dilakukan untuk “memaksa” rakyat menggunakan bahasa daerah di dalam keluarga.

Tentu saja sebagai bahan pembahasan di dalam makalah ini penulis lebih banyak mengarahkan sorotannya pada bahasa Jawa. Dasar pegangannya ialah bahasa daerah ini merupakan bahasa daerah yang besar jumlah penuturnya yang ternyata berada pada situasi yang tidak menguntungkan. Diharapkan dengan sorotan ini bahasa-bahasa daerah lainnya pun ikut terimbas untuk mendapat perhatian.

2. Kebijaksanaan Pemerintah

Menurut pengakuan mantan Kepala Kandepdiknas Kotamadia Surakarta, Drs. H. Prodjosoeminto, S.H., M.M. kepada penulis beberapa waktu yang lalu, pelajaran Bahasa Jawa di SD hanya sebagai materi muatan lokal (mulok). Kedudukannya rupanya sama halnya dengan pelajaran Kesenian. Jika keadaannya yang demikian ini dibiarkan saja, pelajaran Bahasa Jawa dan tentunya juga bahasa-bahasa daerah pada umumnya tidak akan terangkat kedudukannya sebagai bahasa daerah yang harus dipertahankan hidupnya sebagai sakaguru budaya bangsa. Keadaannya diperparah lagi karena banyak keluarga Jawa yang tidak menggunakan lagi bahasa Jawa sebagai bahasa keluarga.

(3)

Di dalam buku Program Pengajaran Bahasa Jawa Sekolah Dasar (PPBSD) yang diterbitkan oleh Bidang Pendidikan Dasar Kanwil Depdikbud Propinsi Jawa Tengah (1994) terdapat tiga tujuan pengajaran bahasa Jawa (masing-masing untuk kelas IV, V, dan VI) yang memiliki napas yang sama. Ketiga tujuan itu ialah: (a) siswa mampu mengemukakan perasaan dan gagasan untuk berbagai keperluan dalam berbagai situasi dengan tata cara dan sopan santun, (b) siswa mampu mengemukakan gagasan dan pengalaman yang sama dengan cara yang berbeda-beda, dan (c) siswa mampu berbicara untuk berbagai kesempatan (berbicara, memberi sambutan, berpidato) dengan cara sopan santun untuk berbagai keperluan.

Ketiga tujuan di atas menyangkut masalah kemampuan siswa mengutarakan gagasan, baik secara lisan maupun tertulis. Untuk menggiring siswa ke arah itu, siswa sudah dibekali sarana-sarananya, yaitu kosa kata yang didapat mereka dari pelajaran membaca, membaca buku, dan dari pelajaran kosa kata itu sendiri.

Akan tetapi, penguasaan kosa kata saja tidak cukup untuk menjadikan siswa mampu berbahasa Jawa. Hal penting yang perlu dikuasai juga oleh siswa ialah kemampuan ber-unggah-ungguh atau menggunakan ‘tingkat-tingkat tutur’ (speech levels), yakni memakai ragam-ragam ngoko ‘biasa’, krama ‘halus’, dan krama inggil ‘halus sekali’.

Pengajaran tingkat-tingkat tutur ini penting sekali dilakukan mengingat anak-anak Jawa zaman sekarang kurang sekali penguasaannya akan ketiga ragam itu. Di samping penggunaan ragam-ragam baur (campur kode) dan bentuk-bentuk baur, tidak jarang mereka menghormati dirinya sendiri dengan menggunakan ragam krama inggil yang tidak pada tempatnya seperti penggunaan kata sare ‘tidur’ (mestinya tilem) pada kalimat Kula boten saget sare ‘Saya tidak dapat tidur’.

(4)

sehingga di dalam percakapan mereka mengetahui kapan harus berbahasa ngoko dan kapan pula harus berbahasa krama dan krama inggil. Selanjutnya, unggah-ungguh ini erat kaitannya dengan sopan santun anak, artinya jika anak pandai menggunakan tingkat-tingkat tutur, dapat dipastikan bahwa kesopanannya di dalam pergaulan terjaga dengan baik (Hardjoprawiro, “Budaya ‘Pakewuh’ Tak Menunjang Pemasyarakatan Bahasa Indonesia Baku”, Kompas, 28 Oktober 1993: 4).

Sayangnya, kebanyakan orangtua Jawa zaman sekarang lebih suka mendidik anaknya menggunakan bahasa Indonesia. Ini tampak di kota-kota besar di Jawa, yang kehidupan sehari-harinya lebih banyak diwarnai penggunaan bahasa Indonesia. Nasionalisme memang segera terbentuk pada pribadi sang anak. Akan tetapi, dengan perikeadaan demikian mereka sebenarnya kehilangan momen penting untuk membiasakan sopan santun lewat pembiasaan ber-unggah-ungguh.

Anda boleh tidak sependapat dengan penulis karena Anda lebih mengutamakan pendidikan kebangsaan sejak usia dini tersebut. Akan tetapi, harus diingat bahwa pendidikan budi pekerti dan sopan santun lebih baik diutamakan terlebih dahulu. Bahasa nasional dan bahkan bahasa asing sekalipun akan dapat diberikan pada tataran berikutnya. Bukankah hipotesis usia kritis (critical age hypothesis) menunjukkan bahwa anak-anak usia antara 1 dan 11 tahun (permulaan pubertas) mempunyai penguasaan bahasa secara native, artinya mereka mampu belajar dan menguasai bahasa-bahasa asing dengan aksen-aksen seperti penutur asli bahasa yang dipelajarinya? (Hardjoprawiro, “Belajar Bahasa dalam Usia Kritis”, Kompas, 5 November 1997: 5).

(5)

pengungkapan mana yang sesuai dengan tingkat-tingkat tutur bahasa Jawa dan mana yang tidak.

Di dalam penelitian penulis mengenai bahasa Jawa ragam tulis baik di Surabaya (Membeludaknya Jumlah Kata-kata Jawindo: Dibendung atau Dibiarkan? 1984) maupun di Surakarta (Beberapa Penyimpangan dalam Pemakaian Bahasa Jawa di Surakarta, 1986) terdapat kenyataan betapa membeludaknya pemakaian bentuk-bentuk baur seperti: ngajarna (mestinya mulang), diprakosa (mestinya dirodhapeksa), ngingatna (mestinya ngelingake), dikerjakna (mestinya digarap/ditandangi), dan banyak lagi yang lain yang menimbulkan kesan bahwa generasi sekarang lebih suka menyerap kosa kata bahasa nasional daripada menggunakan kosa kata bahasa Jawa. Jalan pintas memang lebih cepat sampainya.

Bentuk-bentuk baur demikian, yakni gabungan bahasa Jawa dan bahasa Indonesia, memang sulit dibendung. Kecenderungan untuk berbahasa praktis biasanya mewarnai pembicaraan dengan aneka bentuk baur, yang jelas bukan bentuk bahasa Jawa baku.

Para pendidiklah yang menjadi ujung tombak dalam hal ini. Berbekalkan PPBJSD dan buku-buku pelajaran serta niat dan kemauan yang teguh sebagai senjatanya, mereka harus berada di garis paling depan untuk membina siswa-siswanya mencapai kesadaran yang tinggi untuk memahami bentuk-bentuk dan ragam-ragam baku dalam bahasa Jawa. Suasana tradisional kedaerahan yang menyajikan dialog-dialog dalam upacara perhelatan, misalnya, dan juga tontonan wayang kulit, wayang orang, dan ketoprak diharapkan mampu menarik minat generasi muda sekarang untuk melestarikan penggunaan bahasa Jawa ragam baku lengkap dengan ketepatan unggah-ungguh-nya.

Jika PPBJSD yang ada sekarang ini belum memiliki arah yang jelas, kekurangannya terletak pada minimnya butir-butir yang membawa siswa mampu menguasai tingkat-tingkat tutur itu. Seharusnya sejak dibicarakannya materi kosa kata guru harus sudah mengarahkan visinya yang paling dalam pada pembiasaan memahami ragam-ragam bahasa Jawa.

(6)

3. Pemantapan Peran Bahasa Daerah

Situasi penggunaan bahasa di tanah air yang lebih mengutamakan bahasa Indonesia daripada bahasa daerah rupanya juga menarik perhatian Menteri Pariwisata, Seni, dan Budaya, I Gde Ardika, pada kesempatan kehadirannya di Surakarta untuk membuka diskusi panel bertema “Peranan Bahasa/Sastra Daerah dalam Apresiasi Budaya” di Sasana Ondrowino Keraton Kasunanan Surakarta. Surat kabar Jawa Pos di dalam beritanya berjudul “Bahasa Daerah Tersisih” mengungkapkan pendapat Menteri sebagai berikut. “Generasi muda di beberapa daerah kita cenderung menggunakan bahasa Indonesia daripada bahasa daerah dalam berkomunikasi. Keadaan ini dikhawartirkan akan melemahkan posisi bahasa daerah.”

Ardika menegaskan seharusnya yang terjadi adalah bagaimana membuat bahasa daerah bisa memberi kontribusi penguasaan dan pengayaan bagi bahasa Indonesia. Selanjutnya, diharapkannya agar bahasa Indonesia menggali kosa kata yang ada dalam bahasa daerah dan mengangkatnya untuk memperkaya kosa kata bahasa Indonesia. Dengan demikian, rasa memiliki bahasa Indonesia akan semakin dirasakan oleh masyarakat bangsa seluruhnya. Demikian Menteri Ardika (“Radar Solo”dalam Jawa Pos, Rabu, 30 Juli 2003: 1, 6).

Apa yang “diteriakkan” oleh Menparsenibud perihal tersisihnya bahasa daerah itu diharapkan didengar dan ditanggapi oleh Pemerintah terutama Mendiknas dan Direktur-direktur Jenderalnya. Perubahan kurikulum yang menempatkan bahasa daerah pada posisinya yang utama yang wajib dipelajari di samping bahasa Indonesia dan bahasa Inggris seharusnya segera direalisasi. Pertemuan para pakar di bidang pendidikan, termasuk pendidikan bahasa, ilmu bahasa, dan kebudayaan perlu dilakukan sebagai upaya awal menuju ke pembahasan untuk mewujudkan kurikulum baru yang menempatkan bahasa daerah sebagai bahasa keluarga dan bahasa masyarakat daerah.

(7)

bahasa apa saja (Goodluck, 1993). Anak-anak SD yang berada pada rentang usia kritis ini dapat memanfaatkan peluang untuk menggunakan bahasa-bahasa seperti penutur asli (native speaker)-nya. Tentang hal ini Prof. Soenjono menjelaskan kepada penulis dan kawan-kawan (1996) bahwa mereka dapat menguasai bahasa yang dipelajarinya secara native, arrtinya anak mampu belajar dan menguasai bahasa asing dengan aksen-aksen persis seperti penutur asli bahasa yang dipelajarinya itu.

Menurut Soenjono, di dalam penjelasannya itu, selama masa usia kritis ini anak mempunyai kemampuan yang prima dalam mempelajari bahasa-bahasa. Oleh karena itu, dianjurkannya agar anak diberi peluang memanfaatkan otaknya yang cemerlang itu untuk mempelajari bahasa-bahasa karena akan datang saatnya kemampuan itu menurun pada usia 12.0, yang disebutnya lateralisasi, saat bagian-bagian otak, baik otak kiri maupun otak kanan, sudah memiliki dan menjalankan fungsinya masing-masing (Hardjoprawiro, 1998: 5—11).

Pengajaran bahasa Jawa dapat memanfaatkan peluang ini untuk meningkatkan kemampuan wicara, terutama dalam kaitannya dengan praktik ber-unggah-ungguh. Kemampuan membaca dan menulis dengan penerapan penggunaan kalimat efektif merupakan peningkatan selanjutnya.

Yang menjadi masalah adalah pemahaman kepada orangtua perihal sangat mangkusnya usia kritis itu bagi pembelajaran bahasa-bahasa. Hipotesis Lenneberg tadi sertidak-tidaknya akan membuka mata kesadaran para pendidik (guru dan otangtua) untuk memanfaatkan masa indah dalam kehidupan anak yang hanya sekali itu untuk mengisinya dengan berbagai keterampilan berbahasa dan tentunya juga keterampilan-keterampilan lainnya

(8)

penguasaan bahasa Inggris kongres mengaitkannya pula dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang harus dipelajari oleh generasi sekarang lewat kemampuannya berbahasa Inggris

Dengan upaya para pakar baik dalam bidang pendidikan.maupun dalam bidang kebahasaan, hal-hal yang menjadikan bahasa daerah tersisih akan bisa diatasi. Tentu saja di samping hal-hal yang positif di atas, perlu ada kesadaran setiap orangtua untuk mendidik anaknya dengan menggunakan bahasa daerah atau bahasa ibunya. Pembiasaan untuk menguasai bahasa ibu tidak akan mempersulit anak untuk juga mempelajari bahasa Indonesia dan bahasa Inggris di sekolah. Dengan kenyataan itu, ketiga bahasa akan dapat dikuasai anak secara dini. Kecintaan dan kebiasaan menggunakan ketiga bahasa itu menurut situasi dan kondisinya akan menunjang mereka untuk gemar membaca (lihat Hardjoprawiro, 1998) dan mempelajari bahasa-bahasa asing lainnya. Yang perlu ditargetkan ialah timbulnya sikap bahasa (language attitude) yang positif terhadap bahasa daerahnya, bahasa nasionalnya, dan bahasa-bahasa asing yang dipelajarinya. Berdasarkan hal-hal di atas, ketiga bahasa itu dapat diberikan di semua kelas SD. Akan tetapi, yang harus diingat ialah pembagian porsi dan wilayah penggunaannya masing-masing. Di dalam suasana rumah tangga/keluarga dan masyarakat kedaerahan bahasa daerahlah yang harus digunakan. Di dalam suasana resmi bahasa Indonesialah yang harus dipakai. Sementara itu, di dalam suasana internasional bahasa Inggrislah yang layak digunakan sebagai alat komunikasi. Apabila kegemaran akan bahasa-bahasa sudah begitu rupa menjiwai siswa, di sekolah-sekolah sesudah SD pun masih dapat dihidupkan pelajaran bahasa daerah. Tujuannya semata-mata adalah untuk memelihara kelestarian hidupnya bahasa daerah itu. Oleh karena itu, wujud pelajaran adalah praktik berbahasa daerah. Latihan wicara dan menulis wajib diutamakan. Yang pertama mengarahkan siswa pada kemampuan berbicara dan berpidato, sedangkan yang kedua mengarahkan dan mempersiapkan siswa untuk menjadi penulis-penulis buku dan menjadi wartawan-wartawan media bahasa daerah.

(9)

Dengan demikian, tradisi-tradisi semacam rembug desa dan sarasehan akan dapat digalakkan. Kesenian tradisional akan lebih digemari karena bahasanya.dipahami. Suasana kedaerahan akan lebih dirasakan jika sesekali diselenggarakan berbagai perlombaan seni gerak, lagu daerah, dan pidato. Di samping untuk mengakrabkan warga, lomba-lomba demikian dimaksudkan untuk mengembangkan kemampuan berbahasa daerah agar bahasa mereka ini tetap lestari.

Penguasaan bahasa daerah akan lebih dapat dikembangkan lagi manakala sarana penerbitan sudah disiapkan. Salah satu wadah pengembangan yang perlu diadakan ialah taman bacaan yang menyediakan buku-buku bacaan dalam bahasa daerah. Yang penting juga diadakan ialah penerbitan surat kabar baik harian maupun berkala. Penerbitan ini diharapkan dapat memberi peluang kepada warga untuk menyalurkan kemampuan mengutarakan pendapatnya di dalam tulisan. Upaya-upaya di atas tiada lain tujuannya ialah untuk menjadikan warga masyarakat daerah lebih mencintai bahasa daerahnya. Kecintaan akan bahasa daerahnya menjadikan mereka lebih mencintai seni dan budaya mereka. Akan tetapi, yang harus selalu diingat ialah bahwa sebagai warga Negara Kesatuan Republik Indonesia mereka harus tetap menjunjung tinggi bahasa Indonesia sebagai bahasa kesatuan dan bahasa persatuan. Mereka harus pula menyadari kapan saatnya harus berbahasa daerah dan kapan pula saatnya harus menggunakan bahasa nasional bahasa Indonesia.

4. Simpulan

Uraian di atas dapat disimpulkan sebagai berikut.

a. Keengganan menggunakan bahasa daerah akan dapat dihilangkan apabila setiap orangtua lebih menghargai bahasa daerah daripada bahasa Indonesia di dalam lingkup dan suasana kedaerahan. Hal ini dapat ditunjukkan dengan cara mendidik anak-anak mereka dengan menggunakan bahasa daerah.

(10)

momen-momen penting yang berkaitan dengan pendidikan anak melalui penggunaan bahasa daerahnya. Bahasa Indonesia dan bahasa-bahasa lainnuya akan dapat dipelajari di luar rumah karena anak di dalam usia kritis mempunyai kemampuan prima dalam mempelajari bahasa-bahasa dan keterampilan-keterampilan lainnya.

c. Untuk mengembalikan citra bahasa daerah sebagai bahasa utama di SD, Pemerintah harus segera merombak kurikulum yang menempatkan bahasa daerah sebagai bahasa utama yang harus dipelajari di SD. Kerja sama antara pakar-pakar pendidikan, linguistik, dan kebudayaan dapat mengantarkan upaya untuk melakukan perombakan tersebut.

d. Praktik berbahasa daerah harus banyak dilakukan. Untuk itu, perlu diselenggarakan berbagai lomba seni, gerak, lagu, dan pidato dalam bahasa daerah. Dalam hal ini peristiwa-peristiwa kedaerahan bisa diwujudkan dalam bentuk pentas seni yang mengutamakan pemakaian bahasa daerah.

e. Penguasaan bahasa daerah yang lebih lanjut dapat diwujudkan berupa kewajiban setiap siswa untuk membaca buku di taman bacaan dan pada waktunya nanti membuat tulisan-tulisan di surat kabar berbahasa daerah.

DAFTAR PUSTAKA

Bidang Pendidikan Dasar Kantor Wilayah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1994. Program Pengajaran Bahasa Jawa Sekolah Dasar. Semarang.

Goodluck, Helen. 1993. Vocabulary Acquisition: A Linguistic Introduction. Oxford UK & Cambridge USA: Blackwell.

Hardjoprawiro, Kunardi. 1984. “Meningkatnya Jumlah Kata-kata Jawindo: Dibendung atau Dibiarkan?” makalah di dalam Kumpulan Makalah I. Denpasar, Bali: Konferensi Nasional Masyarakat Linguistik Indonesia IV

(11)

__________.1993. “Budaya ‘Pakewuh’ Tak Menunjang Pemasyarakatan Bahasa Indonesia Baku”, Harian Kompas, 26 Oktober 1993. Jakarta.

__________. 1997. “Belajar Bahasa dalam Usia Kritis”, Harian Kompas, 5 Novembeer 1997. Jakarta.

__________. 1998. “Memanfaatkan Usia Kritis untuk Meningkatkan Kegemaran Membaca Anak-anak Sekolah Dasar” di dalam majalah ilmiah Haluan Sastra dan Budaya No. 33 Th. XVII Maret 1998. Surakarta: Fakultas Sastra Universitas Sebelas Maret.

Irf. 2003. “Bahasa Daerah Tersisih” berita di “Radar Solo” Jawa Pos, 30 Juli 2003. Surabaya.

Referensi

Dokumen terkait

Hambatan yang dihadapi oleh pemerintah kelurahan Cemorokandang dalam pelaksanaan penilaian kinerja pelayanan publik adalah lemahnya kontrol masyarakat terhadap pegawai,

DISKRESI DALAM PELAKSANAAN PROGRAM BANTUAN SISWA MISKIN SEKOLAH DASAR (BSM-SD) (STUDI KASUS DI SEKOLAH DASAR NEGERI SEBANEN II KALISAT KABUPATEN JEMBER); Aulia

adalah salah satu bentuk satuan pendidikan formal yang menyelenggarakan pendidikan umum dengan kekhasan agama Islam pada jenjang pendidikan dasar sebagai

Organisasi-organisasi ini juga harus menginformasikan kepada Pihak Pengumpul (Depositary Government) mengenai segala perubahan yang relevan pada tingkat kewenangan

Pada bab ini akan dijelaskan proses analisis data serta pembahasannya Pada bagian pertama adalah langkah-langkah dalam menjelaskan persiapan dari penelitian, bagian kedua

Halaman beranda tim teknis BPMPTSP dan Disperindag terdapat beberapa menu yaitu menu registrasi yang di dalamnya ada data pemohon, untuk tampilan menu ini sama dengan menu yang

Atas kehendak-Nya penulis dapat meenyelesaikan skripsi dengan judul “ Perbedaan Pengaruh Latihan Interval Aerob dan Interval Anaerob Terhadap Peningkatan Kecepatan

Departemen pendidikan Lithuania yang telah mengimplementasikan pendidikan antikorupsi di negaranya sejak 2005 mengatakan bahwa tugas utama dari pendidikan anti