• Tidak ada hasil yang ditemukan

FAKTOR RISIKO GANGGUAN FUNGSI PARU PADA TENAGA KERJA INDUSTRI PENGOLAHAN KAYU DI DAERAH CARGO PERMAI, KABUPATEN BADUNG, BALI.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "FAKTOR RISIKO GANGGUAN FUNGSI PARU PADA TENAGA KERJA INDUSTRI PENGOLAHAN KAYU DI DAERAH CARGO PERMAI, KABUPATEN BADUNG, BALI."

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

FAKTOR RISIKO GANGGUAN FUNGSI PARU PADA TENAGA KERJA

INDUSTRI PENGOLAHAN KAYU DI DAERAH CARGO PERMAI,

KABUPATEN BADUNG, BALI

I Putu Fajar Sukmajaya1, I Made Muliarta2

1Program Studi Pendidikan Dokter

2Bagian Faal Fakultas Kedokteran Universitas Udayana

ABSTRAK

Gangguan fungsi paru merupakan masalah yang terjadi di negara maju dan negara berkembang. Gangguan fungsi paru dapat dibagi menjadi obstruktif dan restriktif, dimana paparan debu merupakan salah satu penyebab utamanya. Terdapat tiga faktor risiko pada tenaga kayu yang berhubungan terhadap gangguan fungsi paru, yaitu lama paparan, penggunaan alat perlindungan diri (APD), dan perilaku merokok. Penelitian ini bertujuan mengetahui hubungan antara faktor risiko terhadap gangguan fungsi paru yang terjadi pada tenaga kayu yang bekerja di industri pengolahan kayu di daerah Cargo Permai, Denpasar. Penelitian ini menggunakan metode analitik dengan desain cross sectional. Subjek penelitian adalah 21 tenaga kayu yang terdapat di daerah Cargo Permai, Denpasar. Pengukuran fungsi paru dilakukan dengan alat spirometer. Hasil penelitian menunjukkan terdapat hubungan bermakna antara lama paparan debu kayu dengan gangguan fungsi paru tipe obstruktif (p=0,003). Saran untuk industri pengolahan kayu adalah perlu diadakan pemeriksaan kesehatan berkala bagi tenaga kayu dan perlu diadakan penelitian dalam skala yang lebih besar untuk mengetahui hubungan antar faktor risiko dengan fungsi paru pada tenaga kayu.

(2)

RISK FACTORS FOR IMPAIRED LUNG FUNCTION IN WOOD

PROCESSING INDUSTRY WORKERS IN THE CARGO PERMAI,

BADUNG, BALI

ABSTRACT

Lung function impairment is a problem that occurs both in developed countries and in developing countries. Lung function impairment can be divided into obstructive and restrictive, where exposure to the dust is one of the main causes. Carpenter is a profession that is often exposed to dust, especially wood dust. There are three risk factors related to lung problems, ie long exposure, the use of personal protective equipment (PPE), and smoking behavior. The aim of this study to determine the relationship between a risk factor for lung function impairment that occurs in carpenters who work in the wood processing industry in the area Cargo Permai, Denpasar. This study uses an analytical method with cross sectional approach. Subjects were 21 carpenters worked in the Cargo area Permai, Denpasar. Measurement of lung function performed with a spirometer. The results showed that there was significant relationship between duration of exposure to wood dust in the presence of obstructive lung function (p=0.003). Suggestions for wood processing industry is the need to hold periodic health examinations for carpenters and research needs to be conducted on a larger scale to determine the relationship between lung function impairment risk factors with lung function in carpenters.

Keywords: wood dust, carpenters, lung function

PENDAHULUAN

Paru - paru adalah salah satu organ vital yang berfungsi sebagai tempat

pertukaran gas oksigen (O2) yang

digunakan sebagai bahan dasar

metabolisme dalam tubuh. Proses metabolisme akan menghasilkan energi dalam bentuk ATP dan karbon dioksida (CO2) sebagai zat

sisa hasil metabolisme. Jika terdapat

gangguan pada paru - paru,

metabolisme tubuh akan terganggu

dan secara langsung akan

menurunkan kualitas hidup

manusia.1

Gangguan fungsi paru tidak hanya terjadi di negara maju, melainkan

juga terjadi di negara berkembang dan negara miskin. Menurut WHO tahun 2005, tercatat ada 235 juta kasus asma di seluruh dunia yang termasuk dalam gangguan fungsi paru. Masyarakat Indonesia yang

masuk dalam kategori negara

(3)

masalah gangguan fungsi paru. Tercatat 90% kasus kematian di

dunia akibat Penyakit Paru

Obstruktif Kronis (PPOK) terjadi di

negara berkembang, termasuk

Indonesia.2

Gangguan fungsi paru umumnya

dapat dikelompokkan menjadi

gangguan paru obstruktif dan

gangguan paru restriktif. Gangguan paru obstruktif adalah terjadinya penyempitan diameter jalan napas

sehingga menyebabkan udara lebih sulit untuk dikeluarkan (ekspirasi).

Sedangkan gangguan paru restriktif

adalah terjadinya penurunan

kemampuan untuk memasukkan udara ke dalam paru (inspirasi) dan penurunan dari volume normal paru.1

Gangguan fungsi paru dapat

disebabkan oleh faktor dari dalam tubuh (intrinsik) dan faktor dari luar tubuh (ekstrinsik). Faktor dari dalam tubuh (intrinsik) adalah faktor - faktor yang mempengaruhi sistem pertahanan paru, usia, jenis kelamin dan status gizi. Status gizi dapat

diukur dengan Indeks Massa Tubuh (IMT). Faktor dari luar tubuh (ekstrinsik) adalah adanya paparan bahan iritan paru seperti gas, debu atau uap yang akan bereaksi dengan jaringan di sekitar paru dan akan menyebabkan fibrosis pada paru. Tingkat keparahan fungsi paru akibat paparan eksternal dapat ditentukan dengan melihat lamanya paparan terhadap bahan iritan.3

Faktor eksternal seperti paparan

debu adalah salah satu penyebab utama dari gangguan fungsi paru,

baik obstruktif maupun restriktif. Ketika partikel debu masuk ke dalam

saluran pernapasan, partikel

membentuk endapan dalam saluran pernapasan. Endapan ini akan

merangsang produksi mucus yang

merupakan respon pertahanan

saluran pernapasan terhadap benda asing. Masuknya benda asing secara

berlebihan akan menyebabkan

terjadinya obstruksi pada saluran

pernapasan dan menyebabkan

(4)

dan menghasilkan gangguan restriktif. 3

Gangguan fungsi paru dapat

dideteksi awal menggunakan alat spirometer. Terdapat dua hal yang bisa dinilai dengan spirometer yaitu 1) nilai FVC (forced vital capacity) yang menggambarkan udara yang

dikeluarkan paksa setelah

pemasukan udara maksimal; 2) nilai FEV1 (forced expiratory volume in one second) yang menggambarkan

jumlah udara yang dapat

dikeluarkan dalam satu detik

pertama. Dari kedua nilai tersebut dapat ditentukan gambaran fungsi paru seseorang.3

Debu kayu merupakan salah satu

faktor eksternal yang dapat

mengakibatkan gangguan fungsi paru. Debu kayu umumnya berasal dari beberapa proses mekanik seperti penyerutan, penghalusan dan penggergajian kayu. Debu kayu yang mengendap pada saluran pernapasan akan mengakibatkan penimbunan debu dalam paru paru

yang jika terus terjadi akan

menyebabkan kelainan fungsi paru. Nilai Ambang Batas dari debu kayu

yang dapat dihirup sebelum

menyebabkan gangguan kesehatan menurut Departemen Tenaga Kerja dalam Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja Nomor: SE 01/Men/1997 adalah 1 mg/m3.4

Industri pengolahan kayu

merupakan salah satu lahan kerja

yang mengharuskan pekerjanya

terpapar debu kayu dan memiliki

risiko untuk mengalami gangguan fungsi paru. Menurut Badan Resmi

Statistik Provinsi Bali No.

26/05/51/Th. IV, 1 Mei 2013 dalam

Pertumbuhan Produksi Industri

(5)

terjadi setelah terpapar debu kayu selama 5-6 tahun pada industri pengolahan kayu.4

Tingginya tingkat pertumbuhan

industri pengolahan kayu di Bali dan kenyataan bahwa debu kayu dapat mengakibatkan gangguan fungsi

paru membuat peneliti ingin

mengetahui faktor risiko paling berpengaruh terhadap gangguan fungsi paru pada tenaga kerja industri pengolahan kayu di daerah

Cargo Permai. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor

risiko paling berpengaruh terhadap gangguan fungsi paru pada tenaga kerja industri pengolahan kayu di daerah Cargo Permai.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan jenis

penelitian analitik dengan

pendekatan cross sectional.

Penelitian ini dilaksanakan pada industri pengolahan kayu di daerah Cargo Permai pada Februari 2014. Populasi penelitian yang dipakai adalah seluruh tenaga kerja industri pengolahan kayu di daerah Cargo

Permai. Sampel penelitian diambil dari keseluruhan populasi (total population study) yang memenuhi kriteria inklusi berupa pria berusia 17 – 60 tahun, bekerja sebagai tenaga kerja industri pengolahan kayu, bersedia menjadi subjek

penelitian dan melakukan

pemeriksaan spirometer dengan

persetujuan tertulis. Subjek dalam penelitian dieksklusi jika tenaga kerja tersebut memiliki gangguan paru sejak lahir, tidak bersedia

menjadi subjek dan melakukan

pemeriksaan spirometer serta

memiliki Indeks Massa Tubuh lebih dari 30.

Dalam penelitian ini digunakan

beberapa instrumen berupa

kuesioner untuk menentukan umur, lama paparan terhadap debu kayu dan kebiasaan merokok subjek penelitian. Tinggi badan subjek

penelitian ditentukan dengan

mengukur langsung dengan alat microtoise merk SECA. Berat badan

ditentukan dengan mengukur

(6)

fungsi paru subjek penelitian, digunakan alat spirometer AS500.

Data yang diperoleh akan dianalisis untuk mengetahui hubungan masing - masing faktor risiko terhadap gangguan fungsi paru. Analisis data

menggunakan Chi Square test

dengan program SPSS versi 16.0 dengan tingkat kemaknaan p<0,05.

HASIL PENELITIAN

Dari 21 subjek didapatkan bahwa 15

subjek memiliki lama kerja <5 tahun dan 6 subjek memiliki lama kerja >5

tahun. Berdasarkan penggunaan masker, didapatkan bahwa 13 subjek menggunakan APD, dan 8 subjek

tidak menggunakan APD.

Berdasarkan kebiasaan merokok,

didapatkan bahwa 15 subjek

memiliki kebiasaan merokok, dan 6 subjek tidak memiliki kebiasaan merokok.

Dari hasil pengukuran fungsi paru, didapatkan bahwa dari 21 subjek, 12 orang subjek memiliki gangguan fungsi paru, baik obstruktif atau restriktif atau mixed, dan 9 orang

subjek memiliki fungsi paru normal. Dari 12 orang subjek yang memiliki gangguan fungsi paru didapatkan bahwa 3 orang subjek memiliki gangguan obstruktif, 9 orang subjek memiliki gangguan restriktif dan tidak ada subjek yang memiliki gangguan mixed.

Data yang didapatkan kemudian dimasukkan ke dalam tabulasi

silang. Dari tabulasi silang

didapatkan bahwa dari 15 orang

subjek yang memiliki lama kerja <5 tahun, 6 orang respoden memiliki

fungsi paru yang terganggu dan 9 orang subjek memiliki fungsi paru normal, sedangkan 6 orang subjek yang memiliki lama kerja >5 tahun,

seluruhnya (6 orang subjek)

memiliki gangguan fungsi paru.

Dari 13 orang subjek yang

menggunakan masker, 6 orang subjek memiliki gangguan fungsi paru dan 7 orang subjek memiliki fungsi paru normal, sedangkan 8

orang subjek yang tidak

(7)

fungsi paru normal. Dari 15 orang subjek yang memiliki kebiasaan merokok, 7 orang subjek memiliki gangguan fungsi paru dan 8 orang subjek memiliki fungsi paru normal, sedangkan 8 orang subjek yang tidak memiliki kebiasaan merokok, 5 orang subjek memiliki gangguan fungsi paru dan 1 orang subjek memiliki fungsi paru normal.

Tabel 1. Gambaran fungsi paru berdasarkan

faktor risiko

Data kemudian dimasukkan ke dalam tabel tabulasi silang untuk mengetahui

hubungan masing masing faktor risiko terhadap gangguan obstruktif dan gangguan restriktif pada paru. Setelah itu data dianalisis menggunakan Chi

Square test untuk mendapatkan

hubungan masing masing faktor risiko dengan masing masing tipe gangguan fungsi paru.

Tabel 2. Gangguan fungsi paru tipe

obstruktif berdasarkan faktor risiko

Faktor Risiko Obstruktif Nilai p

ya tidak

Lama Paparan

<5 tahun 0 15 0,003

>5 tahun 3 3

Penggunaan APD

Menggunakan

APD

1 12 0,271

Tidak

Menggunakan

APD

2 6

Perilaku Merokok

Merokok 2 13 0,844

Tidak Merokok 1 5

Dari hasil Chi Square test

menggunakan tingkat kemaknaan p <0,05 didapatkan terdapat hubungan yang sangat signifikan antara lama paparan dengan terjadinya gangguan fungsi paru tipe obstruktif dengan

p=0,003. Sedangkan tidak

Kategori Fungsi Paru

Terganggu Normal

Obstruk

tif

Restrik

tif

Lama Paparan

<5 tahun 0 6 9

>5 tahun 3 3 0

Penggunaan APD

Mengguna

kan APD

1 5 7

Tidak

Mengguna

kan APD

2 4 2

Perilaku Merokok

Merokok 2 5 8

Tidak

Merokok

(8)

ditemukan adanya hubungan antara penggunaan APD dengan gangguan fungsi paru tipe obstruktif dengan p=0,271. Tidak ditemukan juga hubungan antara merokok dengan gangguan fungsi paru tipe obstruktif dengan p=0,844.

Tabel 3. Gangguan fungsi paru tipe

restriktif berdasarkan faktor risiko

Faktor Risiko Restriktif Nilai p

ya tidak

Lama Paparan

<5 tahun 6 9 0,676

>5 tahun 3 3

Penggunaan APD

Menggunakan

APD

5 8 0,604

Tidak

Menggunakan

APD

4 4

Perilaku Merokok

Merokok 5 10 0,163

Tidak Merokok 4 2

Dari hasil Chi Square test

menggunakan tingkat kemaknaan

p<0,05 tidak ditemukan adanya hubungan antara lama paparan

(p=0,676), penggunaan APD

(p=0,604) dan merokok (p=0,163)

dengan gangguan fungsi paru tipe restriktif.

PEMBAHASAN

Industri pengolahan kayu

merupakan lahan kerja yang

memiliki perkembangan pesat.

Industri ini sangat bergantung kepada pekerjanya untuk bisa terus berkembang. Akan tetapi, pekerja dari industri pengolahan kayu sangat rentan terpapar akan debu kayu. Debu kayu sendiri dapat dihasilkan

melalui proses pemotongan kayu dan proses pengamplasan kayu.

Debu kayu yang dihasilkan dapat memberikan dampak negatif kepada pekerja industri pengolahan kayu berupa gangguan terhadap fungsi paru.

Tidak semua pekerja industri

pengolahan kayu yang terpapar debu kayu akan mengalami gangguan fungsi paru. Terdapat berbagai faktor risiko yang mempengaruhi

fungsi paru pekerja industri

pengolahan kayu dan setiap pekerja terpapar faktor risiko yang berbeda,

(9)

industri pengolahan kayu akan mengalami gangguan fungsi paru.

Lama kerja, penggunaan alat

perlindungan diri (masker) dan

kebiasaan merokok merupakan

faktor risiko.

Faktor risiko pertama yang dianalisis adalah lama pekerjaan. Dari hasil uji

Chi Square didapatkan ada

perbedaan nilai %FEV1 yang

signifikan berdasarkan lama kerja dengan nilai p = 0,003. Dari hasil ini

dapat disimpulkan bahwa pekerja yang memiliki lama kerja > 5 tahun

memiliki nilai %FEV1 lebih kecil

dari pekerja dengan lama kerja < 5 tahun. Nilai %FEV1 yang lebih kecil

merupakan petunjuk adanya

gangguan obstruksi. Hasil ini sesuai dengan teori yang menyebutkan bahwa risiko terkena gangguan obstruksi pada paru-paru lebih tinggi pada pekerja yang bekerja dalam waktu yang lama di lingkungan dengan kadar debu tinggi. Hal ini disebabkan karena lama pekerja terkena paparan debu berbanding lurus dengan lama masa kerja pekerja.6

Dari analisis data mengenai lama pekerjaan dengan nilai %FVC pekerja industri pengolahan kayu

didapatkan bahwa tidak ada

perbedaan nilai %FVC yang

signifikan dengan nilai p = 0,676. Hasil ini sesuai dengan penelitian Lestari yang menyebutkan tidak ada

perbedaan nilai %FVC yang

signifikan berdasarkan lama kerja pada pekerja batu kapur Desa Jatijajar.7 Hal ini disebabkan karena

debu kayu merupakan debu non

fibrogenik. Debu non fibrogenik

adalah debu yang tidak

menimbulkan reaksi fibrosis

terhadap jaringan paru, sehingga

memiliki sedikit kemungkinan

menghasilkan gangguan restriktif pada paru yang ditunjukkan oleh nilai %FVC. Akan tetapi, dengan dosis besar semua debu akan bersifat

merangsang dan menghasilkan

reaksi yang relatif ringan. Reaksi yang ditimbulkan oleh debu non

fibrogenik cenderung berupa

(10)

Faktor risiko kedua yang dianalisis dalam penelitian ini adalah apakah

ada perbedaan nilai %FEV1 dan

%FVC pada pekerja industri

pengolahan kayu yang

menggunakan alat perlindungan diri (APD) atau tidak. Dari hasil uji Chi Square tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara nilai %FEV1

(nilai p=0,271) dan nilai %FVC (nilai p=0,604). Hasil ini berbanding

lurus dengan penelitian yang

dilakukan oleh Donald dkk yang

menyatakan tidak ada hubungan yang signifikan antara penggunaan

APD dengan fungsi paru tenaga kerja industri mebel. Meskipun hasil uji statistik mengatakan bahwa tidak ada perbedaan nilai fungsi paru yang signifikan antara pekerja yang menggunakan APD dan pekerja yang tidak menggunakan APD, penggunaan APD merupakan hal penting bagi para pekerja yang terpapar debu kayu. Penggunaan APD merupakan salah satu faktor protektif terhadap paparan debu kayu. Pemakaian APD berupa masker bertujuan sebagai upaya

untuk mengurangi masuknya

partikel debu ke dalam saluran pernapasan.8

Faktor risiko ketiga yang diujikan

dalam penelitian ini adalah

perbedaan nilai %FEV1 dan %FVC

pada pekerja industri pengolahan kayu yang memiliki kebiasaan

merokok dan tidak memiliki

kebiasaan merokok. Dari hasil uji

Chi Square didapatkan bahwa tidak

terdapat perbedaan nilai %FEV1

(nilai p= 0,844) dan %FVC (nilai p=

0,163). Hasil ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh

Donald dkk yang menyatakan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara kebiasaan merokok dengan fungsi paru tenaga kerja industri mebel.8 Namun, terdapat perbedaan

hasil dengan penelitian oleh

Yulaekah yang menyatakan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara kebiasaan merokok terhadap

gangguan fungsi paru pekerja

industri batu kapur.9 Perbedaan ini

disebabkan karena kebiasaan

(11)

jumlah rokok per hari, besarnya inhalasi asap rokok ke dalam paru dan bentuk tembakau yang berbeda

dalam rokok yang berbeda.

Kebiasaan merokok sendiri selain dapat mengurangi tingkat pertukaran oksigen dalam darah, juga menjadi faktor risiko potensial dari beberapa penyakit paru, khususnya kanker paru.6

SIMPULAN DAN SARAN

Berdasarkan hasil penelitian dapat

ditarik simpulan bahwa lama

pekerjaan memiliki hubungan yang

signifikan dengan gangguan fungsi paru obstruktif pada tenaga kayu di daerah Cargo Permai, akan tetapi tidak memiliki hubungan terhadap gangguan fungsi paru restriktif. Penggunaan APD dan perilaku merokok subjek tidak memiliki

hubungan terhadap terjadinya

gangguan fungsi paru baik obstruktif maupun restriktif.

Saran yang bisa diberikan adalah

perlu diadakan pemeriksaan

kesehatan berkala bagi tenaga kayu dan perlu diadakan penelitian dalam

skala yang lebih besar untuk mengetahui hubungan antar faktor risiko gangguan fungsi paru dengan fungsi paru pada tenaga kayu.

DAFTAR PUSTAKA

1. Guyton AC, Buku Ajar

Fisiologi Kedokteran. Alih

Bahasa dr. Irawati Setiawan, dr. LMA Ken Ariata Tengadi dan dr. Alex Santoso, Penerbit Buku

Kedokteran EGC, Jakarta,

2007.

2. Yulaekah. S, Paparan Debu

Terhirup dan Gangguan Fungsi Paru Pada Pekerja Industri Batu Kapur. Program Studi Magister

Kesehatan Lingkungan,

Program Pasca Sarjana

Universitas Diponegoro, 2007.

3. Perhimpunan Dokter Spesialis

Penyakit Dalam Indonesia.

Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. BAB 356 Obstruksi Saluran Pernapasan Akut. 2010; 3(5): 2216 –29.

4. Satria D, Dampak Paparan

(12)

Kesehatan Pekerja Mebel Sektor Informal di Sindang Galih Kelurahan Kahuripan

Kecamatan Tawang Kota

Tasikmalaya Tahun 2012,

Fakultas Kesehatan Universitas Siliwangi, 2013.

5. Badan Resmi Statistik Provinsi

Bali No. 26/05/51/Th. IV, 1 Mei 2013, Pertumbuhan Produksi Industri Manufaktur Provinsi Bali Triwulan I Tahun 2013. pp: 3. Diakses pada: 2 Maret 2014.

Tersedia pada: http://

www.bali.bps.go.id

6. Sylvia AP dan Lorraine MW,

Patofisiologi: Konsep Proses-Proses Penyakit. Alih Bahasa dr Bram U Pendit, dr Huriawati Hartanto dan dr Pita Wulansari,

Penerbit Buku Kedokteran

EGC, Jakarta, 2006.

7. Lestari DP, Hubungan Lama

Kerja Dengan Kapasitas Paru Pekerja Batu Kapur Desa

Jatijajar Kecamatan Ayah

Kabupaten Kebumen Tahun 2011. Program Studi Magister

Kesehatan Lingkungan,

Program Studi Diploma III Kesehatan Lingkungan, 2011.

8. Donald JW, Hubungan Antara

Lama Paparan dengan

Kapasitas Paru Tenaga Kerja Industri Mebel di CV. Sinar

Mandiri Kota Bitung, Fakultas

Kesehatan Masyarakat

Universitas Sam Ratulangi

Gambar

Tabel 1. Gambaran fungsi paru berdasarkan
Tabel 3. Gangguan fungsi paru tipe

Referensi

Dokumen terkait

There are many classification methods such as maximum likelihood classifier (MLC), Supported Vector Machine (SVM) and decision tree which have been used in mapping crop

Begitupun dengan hasil yang didapatkan oleh peneliti bahwa selain faktor bahan baku, konsentrasi ragi serta waktu fermentasi, ketersediaan nutrisi dalam substrat juga perlu

Aplikasi penugasan yang baru ini merupakan aplikasi yang lebih inovatif daripada aplikasi komersial yang sudah ada dalam pemberian solusi penugasan yang optimal, terutama

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.... Televisi Sebagai Media

Pada hari ini Kamis tanggal Delapan bulan Nopember Tahun Dua Ribu Dua Belas , kami yang bertanda tangan dibawah ini Panitia Pengadaan Barang dan Jasa Dinas Bina Marga dan

[r]

Secara interaksi berat biji per tanaman dengan perlakuan konsentrasi kolkisin dan lama perendaman berpengaruh nyata terbaik pada K3P4 (konsentrasi kolkisin 0,1 persen

dari kesiapan siswa, keseriusan siswa, keaktifan siswa, dan antusias siswa menanggapi kelompok lain, 80% siswa berlaku positif. Berbeda dengan perilaku siswa kelas