FAKTOR RISIKO GANGGUAN FUNGSI PARU PADA TENAGA KERJA
INDUSTRI PENGOLAHAN KAYU DI DAERAH CARGO PERMAI,
KABUPATEN BADUNG, BALI
I Putu Fajar Sukmajaya1, I Made Muliarta2
1Program Studi Pendidikan Dokter
2Bagian Faal Fakultas Kedokteran Universitas Udayana
ABSTRAK
Gangguan fungsi paru merupakan masalah yang terjadi di negara maju dan negara berkembang. Gangguan fungsi paru dapat dibagi menjadi obstruktif dan restriktif, dimana paparan debu merupakan salah satu penyebab utamanya. Terdapat tiga faktor risiko pada tenaga kayu yang berhubungan terhadap gangguan fungsi paru, yaitu lama paparan, penggunaan alat perlindungan diri (APD), dan perilaku merokok. Penelitian ini bertujuan mengetahui hubungan antara faktor risiko terhadap gangguan fungsi paru yang terjadi pada tenaga kayu yang bekerja di industri pengolahan kayu di daerah Cargo Permai, Denpasar. Penelitian ini menggunakan metode analitik dengan desain cross sectional. Subjek penelitian adalah 21 tenaga kayu yang terdapat di daerah Cargo Permai, Denpasar. Pengukuran fungsi paru dilakukan dengan alat spirometer. Hasil penelitian menunjukkan terdapat hubungan bermakna antara lama paparan debu kayu dengan gangguan fungsi paru tipe obstruktif (p=0,003). Saran untuk industri pengolahan kayu adalah perlu diadakan pemeriksaan kesehatan berkala bagi tenaga kayu dan perlu diadakan penelitian dalam skala yang lebih besar untuk mengetahui hubungan antar faktor risiko dengan fungsi paru pada tenaga kayu.
RISK FACTORS FOR IMPAIRED LUNG FUNCTION IN WOOD
PROCESSING INDUSTRY WORKERS IN THE CARGO PERMAI,
BADUNG, BALI
ABSTRACT
Lung function impairment is a problem that occurs both in developed countries and in developing countries. Lung function impairment can be divided into obstructive and restrictive, where exposure to the dust is one of the main causes. Carpenter is a profession that is often exposed to dust, especially wood dust. There are three risk factors related to lung problems, ie long exposure, the use of personal protective equipment (PPE), and smoking behavior. The aim of this study to determine the relationship between a risk factor for lung function impairment that occurs in carpenters who work in the wood processing industry in the area Cargo Permai, Denpasar. This study uses an analytical method with cross sectional approach. Subjects were 21 carpenters worked in the Cargo area Permai, Denpasar. Measurement of lung function performed with a spirometer. The results showed that there was significant relationship between duration of exposure to wood dust in the presence of obstructive lung function (p=0.003). Suggestions for wood processing industry is the need to hold periodic health examinations for carpenters and research needs to be conducted on a larger scale to determine the relationship between lung function impairment risk factors with lung function in carpenters.
Keywords: wood dust, carpenters, lung function
PENDAHULUAN
Paru - paru adalah salah satu organ vital yang berfungsi sebagai tempat
pertukaran gas oksigen (O2) yang
digunakan sebagai bahan dasar
metabolisme dalam tubuh. Proses metabolisme akan menghasilkan energi dalam bentuk ATP dan karbon dioksida (CO2) sebagai zat
sisa hasil metabolisme. Jika terdapat
gangguan pada paru - paru,
metabolisme tubuh akan terganggu
dan secara langsung akan
menurunkan kualitas hidup
manusia.1
Gangguan fungsi paru tidak hanya terjadi di negara maju, melainkan
juga terjadi di negara berkembang dan negara miskin. Menurut WHO tahun 2005, tercatat ada 235 juta kasus asma di seluruh dunia yang termasuk dalam gangguan fungsi paru. Masyarakat Indonesia yang
masuk dalam kategori negara
masalah gangguan fungsi paru. Tercatat 90% kasus kematian di
dunia akibat Penyakit Paru
Obstruktif Kronis (PPOK) terjadi di
negara berkembang, termasuk
Indonesia.2
Gangguan fungsi paru umumnya
dapat dikelompokkan menjadi
gangguan paru obstruktif dan
gangguan paru restriktif. Gangguan paru obstruktif adalah terjadinya penyempitan diameter jalan napas
sehingga menyebabkan udara lebih sulit untuk dikeluarkan (ekspirasi).
Sedangkan gangguan paru restriktif
adalah terjadinya penurunan
kemampuan untuk memasukkan udara ke dalam paru (inspirasi) dan penurunan dari volume normal paru.1
Gangguan fungsi paru dapat
disebabkan oleh faktor dari dalam tubuh (intrinsik) dan faktor dari luar tubuh (ekstrinsik). Faktor dari dalam tubuh (intrinsik) adalah faktor - faktor yang mempengaruhi sistem pertahanan paru, usia, jenis kelamin dan status gizi. Status gizi dapat
diukur dengan Indeks Massa Tubuh (IMT). Faktor dari luar tubuh (ekstrinsik) adalah adanya paparan bahan iritan paru seperti gas, debu atau uap yang akan bereaksi dengan jaringan di sekitar paru dan akan menyebabkan fibrosis pada paru. Tingkat keparahan fungsi paru akibat paparan eksternal dapat ditentukan dengan melihat lamanya paparan terhadap bahan iritan.3
Faktor eksternal seperti paparan
debu adalah salah satu penyebab utama dari gangguan fungsi paru,
baik obstruktif maupun restriktif. Ketika partikel debu masuk ke dalam
saluran pernapasan, partikel
membentuk endapan dalam saluran pernapasan. Endapan ini akan
merangsang produksi mucus yang
merupakan respon pertahanan
saluran pernapasan terhadap benda asing. Masuknya benda asing secara
berlebihan akan menyebabkan
terjadinya obstruksi pada saluran
pernapasan dan menyebabkan
dan menghasilkan gangguan restriktif. 3
Gangguan fungsi paru dapat
dideteksi awal menggunakan alat spirometer. Terdapat dua hal yang bisa dinilai dengan spirometer yaitu 1) nilai FVC (forced vital capacity) yang menggambarkan udara yang
dikeluarkan paksa setelah
pemasukan udara maksimal; 2) nilai FEV1 (forced expiratory volume in one second) yang menggambarkan
jumlah udara yang dapat
dikeluarkan dalam satu detik
pertama. Dari kedua nilai tersebut dapat ditentukan gambaran fungsi paru seseorang.3
Debu kayu merupakan salah satu
faktor eksternal yang dapat
mengakibatkan gangguan fungsi paru. Debu kayu umumnya berasal dari beberapa proses mekanik seperti penyerutan, penghalusan dan penggergajian kayu. Debu kayu yang mengendap pada saluran pernapasan akan mengakibatkan penimbunan debu dalam paru paru
yang jika terus terjadi akan
menyebabkan kelainan fungsi paru. Nilai Ambang Batas dari debu kayu
yang dapat dihirup sebelum
menyebabkan gangguan kesehatan menurut Departemen Tenaga Kerja dalam Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja Nomor: SE 01/Men/1997 adalah 1 mg/m3.4
Industri pengolahan kayu
merupakan salah satu lahan kerja
yang mengharuskan pekerjanya
terpapar debu kayu dan memiliki
risiko untuk mengalami gangguan fungsi paru. Menurut Badan Resmi
Statistik Provinsi Bali No.
26/05/51/Th. IV, 1 Mei 2013 dalam
Pertumbuhan Produksi Industri
terjadi setelah terpapar debu kayu selama 5-6 tahun pada industri pengolahan kayu.4
Tingginya tingkat pertumbuhan
industri pengolahan kayu di Bali dan kenyataan bahwa debu kayu dapat mengakibatkan gangguan fungsi
paru membuat peneliti ingin
mengetahui faktor risiko paling berpengaruh terhadap gangguan fungsi paru pada tenaga kerja industri pengolahan kayu di daerah
Cargo Permai. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor
risiko paling berpengaruh terhadap gangguan fungsi paru pada tenaga kerja industri pengolahan kayu di daerah Cargo Permai.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan jenis
penelitian analitik dengan
pendekatan cross sectional.
Penelitian ini dilaksanakan pada industri pengolahan kayu di daerah Cargo Permai pada Februari 2014. Populasi penelitian yang dipakai adalah seluruh tenaga kerja industri pengolahan kayu di daerah Cargo
Permai. Sampel penelitian diambil dari keseluruhan populasi (total population study) yang memenuhi kriteria inklusi berupa pria berusia 17 – 60 tahun, bekerja sebagai tenaga kerja industri pengolahan kayu, bersedia menjadi subjek
penelitian dan melakukan
pemeriksaan spirometer dengan
persetujuan tertulis. Subjek dalam penelitian dieksklusi jika tenaga kerja tersebut memiliki gangguan paru sejak lahir, tidak bersedia
menjadi subjek dan melakukan
pemeriksaan spirometer serta
memiliki Indeks Massa Tubuh lebih dari 30.
Dalam penelitian ini digunakan
beberapa instrumen berupa
kuesioner untuk menentukan umur, lama paparan terhadap debu kayu dan kebiasaan merokok subjek penelitian. Tinggi badan subjek
penelitian ditentukan dengan
mengukur langsung dengan alat microtoise merk SECA. Berat badan
ditentukan dengan mengukur
fungsi paru subjek penelitian, digunakan alat spirometer AS500.
Data yang diperoleh akan dianalisis untuk mengetahui hubungan masing - masing faktor risiko terhadap gangguan fungsi paru. Analisis data
menggunakan Chi Square test
dengan program SPSS versi 16.0 dengan tingkat kemaknaan p<0,05.
HASIL PENELITIAN
Dari 21 subjek didapatkan bahwa 15
subjek memiliki lama kerja <5 tahun dan 6 subjek memiliki lama kerja >5
tahun. Berdasarkan penggunaan masker, didapatkan bahwa 13 subjek menggunakan APD, dan 8 subjek
tidak menggunakan APD.
Berdasarkan kebiasaan merokok,
didapatkan bahwa 15 subjek
memiliki kebiasaan merokok, dan 6 subjek tidak memiliki kebiasaan merokok.
Dari hasil pengukuran fungsi paru, didapatkan bahwa dari 21 subjek, 12 orang subjek memiliki gangguan fungsi paru, baik obstruktif atau restriktif atau mixed, dan 9 orang
subjek memiliki fungsi paru normal. Dari 12 orang subjek yang memiliki gangguan fungsi paru didapatkan bahwa 3 orang subjek memiliki gangguan obstruktif, 9 orang subjek memiliki gangguan restriktif dan tidak ada subjek yang memiliki gangguan mixed.
Data yang didapatkan kemudian dimasukkan ke dalam tabulasi
silang. Dari tabulasi silang
didapatkan bahwa dari 15 orang
subjek yang memiliki lama kerja <5 tahun, 6 orang respoden memiliki
fungsi paru yang terganggu dan 9 orang subjek memiliki fungsi paru normal, sedangkan 6 orang subjek yang memiliki lama kerja >5 tahun,
seluruhnya (6 orang subjek)
memiliki gangguan fungsi paru.
Dari 13 orang subjek yang
menggunakan masker, 6 orang subjek memiliki gangguan fungsi paru dan 7 orang subjek memiliki fungsi paru normal, sedangkan 8
orang subjek yang tidak
fungsi paru normal. Dari 15 orang subjek yang memiliki kebiasaan merokok, 7 orang subjek memiliki gangguan fungsi paru dan 8 orang subjek memiliki fungsi paru normal, sedangkan 8 orang subjek yang tidak memiliki kebiasaan merokok, 5 orang subjek memiliki gangguan fungsi paru dan 1 orang subjek memiliki fungsi paru normal.
Tabel 1. Gambaran fungsi paru berdasarkan
faktor risiko
Data kemudian dimasukkan ke dalam tabel tabulasi silang untuk mengetahui
hubungan masing masing faktor risiko terhadap gangguan obstruktif dan gangguan restriktif pada paru. Setelah itu data dianalisis menggunakan Chi
Square test untuk mendapatkan
hubungan masing masing faktor risiko dengan masing masing tipe gangguan fungsi paru.
Tabel 2. Gangguan fungsi paru tipe
obstruktif berdasarkan faktor risiko
Faktor Risiko Obstruktif Nilai p
ya tidak
Lama Paparan
<5 tahun 0 15 0,003
>5 tahun 3 3
Penggunaan APD
Menggunakan
APD
1 12 0,271
Tidak
Menggunakan
APD
2 6
Perilaku Merokok
Merokok 2 13 0,844
Tidak Merokok 1 5
Dari hasil Chi Square test
menggunakan tingkat kemaknaan p <0,05 didapatkan terdapat hubungan yang sangat signifikan antara lama paparan dengan terjadinya gangguan fungsi paru tipe obstruktif dengan
p=0,003. Sedangkan tidak
Kategori Fungsi Paru
Terganggu Normal
Obstruk
tif
Restrik
tif
Lama Paparan
<5 tahun 0 6 9
>5 tahun 3 3 0
Penggunaan APD
Mengguna
kan APD
1 5 7
Tidak
Mengguna
kan APD
2 4 2
Perilaku Merokok
Merokok 2 5 8
Tidak
Merokok
ditemukan adanya hubungan antara penggunaan APD dengan gangguan fungsi paru tipe obstruktif dengan p=0,271. Tidak ditemukan juga hubungan antara merokok dengan gangguan fungsi paru tipe obstruktif dengan p=0,844.
Tabel 3. Gangguan fungsi paru tipe
restriktif berdasarkan faktor risiko
Faktor Risiko Restriktif Nilai p
ya tidak
Lama Paparan
<5 tahun 6 9 0,676
>5 tahun 3 3
Penggunaan APD
Menggunakan
APD
5 8 0,604
Tidak
Menggunakan
APD
4 4
Perilaku Merokok
Merokok 5 10 0,163
Tidak Merokok 4 2
Dari hasil Chi Square test
menggunakan tingkat kemaknaan
p<0,05 tidak ditemukan adanya hubungan antara lama paparan
(p=0,676), penggunaan APD
(p=0,604) dan merokok (p=0,163)
dengan gangguan fungsi paru tipe restriktif.
PEMBAHASAN
Industri pengolahan kayu
merupakan lahan kerja yang
memiliki perkembangan pesat.
Industri ini sangat bergantung kepada pekerjanya untuk bisa terus berkembang. Akan tetapi, pekerja dari industri pengolahan kayu sangat rentan terpapar akan debu kayu. Debu kayu sendiri dapat dihasilkan
melalui proses pemotongan kayu dan proses pengamplasan kayu.
Debu kayu yang dihasilkan dapat memberikan dampak negatif kepada pekerja industri pengolahan kayu berupa gangguan terhadap fungsi paru.
Tidak semua pekerja industri
pengolahan kayu yang terpapar debu kayu akan mengalami gangguan fungsi paru. Terdapat berbagai faktor risiko yang mempengaruhi
fungsi paru pekerja industri
pengolahan kayu dan setiap pekerja terpapar faktor risiko yang berbeda,
industri pengolahan kayu akan mengalami gangguan fungsi paru.
Lama kerja, penggunaan alat
perlindungan diri (masker) dan
kebiasaan merokok merupakan
faktor risiko.
Faktor risiko pertama yang dianalisis adalah lama pekerjaan. Dari hasil uji
Chi Square didapatkan ada
perbedaan nilai %FEV1 yang
signifikan berdasarkan lama kerja dengan nilai p = 0,003. Dari hasil ini
dapat disimpulkan bahwa pekerja yang memiliki lama kerja > 5 tahun
memiliki nilai %FEV1 lebih kecil
dari pekerja dengan lama kerja < 5 tahun. Nilai %FEV1 yang lebih kecil
merupakan petunjuk adanya
gangguan obstruksi. Hasil ini sesuai dengan teori yang menyebutkan bahwa risiko terkena gangguan obstruksi pada paru-paru lebih tinggi pada pekerja yang bekerja dalam waktu yang lama di lingkungan dengan kadar debu tinggi. Hal ini disebabkan karena lama pekerja terkena paparan debu berbanding lurus dengan lama masa kerja pekerja.6
Dari analisis data mengenai lama pekerjaan dengan nilai %FVC pekerja industri pengolahan kayu
didapatkan bahwa tidak ada
perbedaan nilai %FVC yang
signifikan dengan nilai p = 0,676. Hasil ini sesuai dengan penelitian Lestari yang menyebutkan tidak ada
perbedaan nilai %FVC yang
signifikan berdasarkan lama kerja pada pekerja batu kapur Desa Jatijajar.7 Hal ini disebabkan karena
debu kayu merupakan debu non
fibrogenik. Debu non fibrogenik
adalah debu yang tidak
menimbulkan reaksi fibrosis
terhadap jaringan paru, sehingga
memiliki sedikit kemungkinan
menghasilkan gangguan restriktif pada paru yang ditunjukkan oleh nilai %FVC. Akan tetapi, dengan dosis besar semua debu akan bersifat
merangsang dan menghasilkan
reaksi yang relatif ringan. Reaksi yang ditimbulkan oleh debu non
fibrogenik cenderung berupa
Faktor risiko kedua yang dianalisis dalam penelitian ini adalah apakah
ada perbedaan nilai %FEV1 dan
%FVC pada pekerja industri
pengolahan kayu yang
menggunakan alat perlindungan diri (APD) atau tidak. Dari hasil uji Chi Square tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara nilai %FEV1
(nilai p=0,271) dan nilai %FVC (nilai p=0,604). Hasil ini berbanding
lurus dengan penelitian yang
dilakukan oleh Donald dkk yang
menyatakan tidak ada hubungan yang signifikan antara penggunaan
APD dengan fungsi paru tenaga kerja industri mebel. Meskipun hasil uji statistik mengatakan bahwa tidak ada perbedaan nilai fungsi paru yang signifikan antara pekerja yang menggunakan APD dan pekerja yang tidak menggunakan APD, penggunaan APD merupakan hal penting bagi para pekerja yang terpapar debu kayu. Penggunaan APD merupakan salah satu faktor protektif terhadap paparan debu kayu. Pemakaian APD berupa masker bertujuan sebagai upaya
untuk mengurangi masuknya
partikel debu ke dalam saluran pernapasan.8
Faktor risiko ketiga yang diujikan
dalam penelitian ini adalah
perbedaan nilai %FEV1 dan %FVC
pada pekerja industri pengolahan kayu yang memiliki kebiasaan
merokok dan tidak memiliki
kebiasaan merokok. Dari hasil uji
Chi Square didapatkan bahwa tidak
terdapat perbedaan nilai %FEV1
(nilai p= 0,844) dan %FVC (nilai p=
0,163). Hasil ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh
Donald dkk yang menyatakan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara kebiasaan merokok dengan fungsi paru tenaga kerja industri mebel.8 Namun, terdapat perbedaan
hasil dengan penelitian oleh
Yulaekah yang menyatakan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara kebiasaan merokok terhadap
gangguan fungsi paru pekerja
industri batu kapur.9 Perbedaan ini
disebabkan karena kebiasaan
jumlah rokok per hari, besarnya inhalasi asap rokok ke dalam paru dan bentuk tembakau yang berbeda
dalam rokok yang berbeda.
Kebiasaan merokok sendiri selain dapat mengurangi tingkat pertukaran oksigen dalam darah, juga menjadi faktor risiko potensial dari beberapa penyakit paru, khususnya kanker paru.6
SIMPULAN DAN SARAN
Berdasarkan hasil penelitian dapat
ditarik simpulan bahwa lama
pekerjaan memiliki hubungan yang
signifikan dengan gangguan fungsi paru obstruktif pada tenaga kayu di daerah Cargo Permai, akan tetapi tidak memiliki hubungan terhadap gangguan fungsi paru restriktif. Penggunaan APD dan perilaku merokok subjek tidak memiliki
hubungan terhadap terjadinya
gangguan fungsi paru baik obstruktif maupun restriktif.
Saran yang bisa diberikan adalah
perlu diadakan pemeriksaan
kesehatan berkala bagi tenaga kayu dan perlu diadakan penelitian dalam
skala yang lebih besar untuk mengetahui hubungan antar faktor risiko gangguan fungsi paru dengan fungsi paru pada tenaga kayu.
DAFTAR PUSTAKA
1. Guyton AC, Buku Ajar
Fisiologi Kedokteran. Alih
Bahasa dr. Irawati Setiawan, dr. LMA Ken Ariata Tengadi dan dr. Alex Santoso, Penerbit Buku
Kedokteran EGC, Jakarta,
2007.
2. Yulaekah. S, Paparan Debu
Terhirup dan Gangguan Fungsi Paru Pada Pekerja Industri Batu Kapur. Program Studi Magister
Kesehatan Lingkungan,
Program Pasca Sarjana
Universitas Diponegoro, 2007.
3. Perhimpunan Dokter Spesialis
Penyakit Dalam Indonesia.
Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. BAB 356 Obstruksi Saluran Pernapasan Akut. 2010; 3(5): 2216 –29.
4. Satria D, Dampak Paparan
Kesehatan Pekerja Mebel Sektor Informal di Sindang Galih Kelurahan Kahuripan
Kecamatan Tawang Kota
Tasikmalaya Tahun 2012,
Fakultas Kesehatan Universitas Siliwangi, 2013.
5. Badan Resmi Statistik Provinsi
Bali No. 26/05/51/Th. IV, 1 Mei 2013, Pertumbuhan Produksi Industri Manufaktur Provinsi Bali Triwulan I Tahun 2013. pp: 3. Diakses pada: 2 Maret 2014.
Tersedia pada: http://
www.bali.bps.go.id
6. Sylvia AP dan Lorraine MW,
Patofisiologi: Konsep Proses-Proses Penyakit. Alih Bahasa dr Bram U Pendit, dr Huriawati Hartanto dan dr Pita Wulansari,
Penerbit Buku Kedokteran
EGC, Jakarta, 2006.
7. Lestari DP, Hubungan Lama
Kerja Dengan Kapasitas Paru Pekerja Batu Kapur Desa
Jatijajar Kecamatan Ayah
Kabupaten Kebumen Tahun 2011. Program Studi Magister
Kesehatan Lingkungan,
Program Studi Diploma III Kesehatan Lingkungan, 2011.
8. Donald JW, Hubungan Antara
Lama Paparan dengan
Kapasitas Paru Tenaga Kerja Industri Mebel di CV. Sinar
Mandiri Kota Bitung, Fakultas
Kesehatan Masyarakat
Universitas Sam Ratulangi