• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dengar kisah mereka pengalaman remaja Thalassaemia Mayor menjalani proses terapi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Dengar kisah mereka pengalaman remaja Thalassaemia Mayor menjalani proses terapi"

Copied!
302
0
0

Teks penuh

(1)

DENGAR KISAH MEREKA : PENGALAMAN REMAJA THALASSAEMIA MAYOR MENJALANI PROSES TERAPI

Skripsi

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

Disusun Oleh : Setiawati Tjandra

129114005

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS SANATA DHARMA

(2)

ii

HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING SKRIPSI

DENGAR KISAH MEREKA : PENGALAMAN REMAJA THALASSAEMIA MAYOR MENJALANI PROSES TERAPI

Disusun Oleh : Setiawati Tjandra NIM : 129114005

Telah disetujui oleh :

Dosen Pembimbing,

(3)

iii

HALAMAN PENGESAHAN SKRIPSI

DENGAR KISAH MEREKA : PENGALAMAN REMAJA THALASSAEMIA MAYOR MENJALANI PROSES TERAPI

Dipersiapkan dan ditulis oleh : Setiawati Tjandra NIM : 129114005

Telah dipertanggungjawabkan di depan Panitia Penguji pada tanggal 12 April 2017

dan dinyatakan telah memenuhi syarat

Susunan Panitia Penguji

Nama Penguji Tanda Tangan

Penguji 1 : Dr. YB. Cahya Widiyanto, M.Si. ____________ Penguji 2 : C. Siswa Widyatmoko, M. Psi ____________ Penguji 3 :Edward Theodorus, M.App.Psy ____________

Yogyakarta, Fakultas Psikologi

Universitas Sanata Dharma Dekan,

(4)

iv

PERSEMBAHAN

Teruntuk si bungsu, Bayu Michael Candra..

yang kehadiran dan celotehnya selalu dirindukan,

yang hingga saat ini masih berjuang dengan thalassaemia,

(5)

v

MOTTO

Menunggu dan bersabar,

bukan berarti tak berdaya,

bukan pula berarti pasrah,

ataupun tak bisa berbuat apa-apa.

Menunggu dan bersabar,

membuat kita berhenti sejenak,

untuk menyadari besarnya daya yang kita punya,

dan kembali berjuang melanjutkan perjalanan.

Menunggu dan bersabar,

Di setiap detiknya..

membuat kita belajar berjalan bersama dengan segala proses,

untuk berani berdamai dengan perasaan-perasaan,

untuk mendengarkan pesan yang sesungguhnya ingin disampaikan,

untuk sungguh mengerti kasih tak bersyarat,

untuk kembali jatuh dan kembali berdiri,

dan untuk akhirnya percaya,

(6)

vi

HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA

Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini tidak memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam kutipan dan daftar pustaka sebagaimana layaknya karya ilmiah.

Yogyakarta, 7 Maret 2017

Peneliti,

(7)

vii

DENGAR KISAH MEREKA : PENGALAMAN REMAJA THALASSAEMIA MAYOR MENJALANI PROSES TERAPI

Setiawati Tjandra

ABSTRAK

Thalassaemia mayor sebagai penyakit kronis yang diturunkan secara genetis menempatkan proses terapi sebagai satu-satunya cara untuk terus bertahan di sepanjang kehidupan. Hanya saja, proses terapi yang terus dijalani menghadirkan gelombang naik dan turun di dalam perjuangan para remaja thalassaemia mayor. Keputusan untuk terus berjuang atau menyerah menjalani proses terapi menjadi bentuk krisis di masa ini. Penelitian ini bertujuan untuk memberikan pemahaman tentang pengalaman psikologis remaja thalassaemia mayor dalam menjalani proses terapi serta gambaran dinamika psikologis mereka. Penelitian ini dilakukan terhadap tiga orang remaja thalassaemia mayor menggunakan wawancara semi-terstruktur dengan metode analisis IPA (Interpretative Phenomenological Analysis). IPA membantu peneliti untuk melakukan interpretasi atas makna personal informan terkait proses terapi serta merangkai pengalaman ini secara komprehensif. Penelitian ini menemukan bahwa sikap membohongi diri sendiri dan rasa malas akibat kejenuhan serta pengalaman negatif selama proses terapi menjadi alasan utama remaja thalassaemia mayor enggan berobat. Sebaliknya, ikatan emosional dengan ibu, kehadiran pasangan, dukungan keluarga dan sahabat menjadi hal yang mendorong remaja thalassaemia mayor untuk semangat berobat. Penemuan yang perlu digarisbawahi, demi mendorong remaja thalassaemia mayor untuk terus berobat, tujuan personal merupakan hal yang penting. Dukungan dari orangtua pada remaja thalassaemia mayor dengan menghadirkan kebebasan atas pilihan hidup dan kesempatan menghidupi minat mereka menjadi penting sebagai kekuatan mereka untuk terus berjuang mempertahankan hidup.

(8)

viii

HEAR THEIR STORIES : THE EXPERIENCE OF THALASSAEMIA MAJOR ADOLESCENT THROUGH MEDICAL TREATMENT PROCESS

Setiawati Tjandra

ABSTRACT

In terms of medical treatment, adolescent with thalassaemia major would faced ebb and flow in the ongoing therapy. Repeated exposure to medical regiment enact crisis which also convey the weighty decision about the path to their future life to their hands. In this study, the author explore the psychological experiences during palliative care on adolescent with thalassemia major. The semi-structured interviews are conducted with three adolescent with thalassemia major. Interpretative phenomenological analysis was used as primary analysis. The result shows repeated measure to medical regiment give rise to non-compliance with medication that have roots in three major things: the act of self-denial, boredom as the impact of fed up with therapy, and the negative experience during medical treatment. To the contrary, emotional relationship with mother, the presence of romantic relationship, along with family and peers suppport became the encouragement. Furthermore, the result also shows that the presence of personal purpose in life occupied an important place. As a way to corroborate this finding, the presence of opportunity from parents to choose freely the way of their life and to live in freedom to grab their interest became basic reason for their struggle to keep going with life.

(9)

ix

HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN

PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma : Nama : Setiawati Tjandra

NIM : 129114005

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul :

“DENGAR KISAH MEREKA : PENGALAMAN REMAJA THALASSAEMIA MAYOR MENJALANI PROSES TERAPI”

beserta perangkat yang diperlukan (bila ada). Dengan demikian saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan, mengalihkan dalam bentuk media lain, mengelolanya di internet atau media lainnya untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta ijin dari saya maupun memberikan royalti kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai peneliti.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenar-benarnya.

Dibuat di : Yogyakarta Pada tanggal : 7 Maret 2017

Yang menyatakan,

(10)

x

KATA PENGANTAR

Pengalaman pribadi sebagai seorang caregiver dan perjumpaan dengan para individu dengan thalassaemia menyadarkan peneliti akan arti sebuah perjuangan. Bermula dari kisah mereka tentang berbagai suka duka yang harus mereka alami di usia yang masih muda hingga mengamati perjuangan mereka yang terus berkembang bersama thalassaemia hingga kini, membuat peneliti terusik untuk menuliskan kisah mereka. Karya ini peneliti peruntukkan bagi para individu dengan thalassaemia sebagai sebuah bentuk empati dan dukungan kepada mereka.

Selama proses penelitian karya, peneliti mengucap syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas anugrah, kasih dan rahmat-Nya, peneliti diberi kesempatan untuk menyelesaikan skripsi berjudul “Dengar Kisah Mereka: Pengalaman Remaja Thalassaemia Mayor Menjalani Proses Terapi” sebagai syarat untuk memperolah gelar Sarjana Psikologi di Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. Penelitian karya ini juga tidak akan selesai tanpa dukungan, bimbingan dan bantuan dalam bentuk apapun dari banyak pihak. Oleh karena itu, peneliti ingin mengucapkan terimakasih kepada:

1. Bapak Dr. YB. Cahya Widiyanto, M.Si., selaku dosen pembimbing, yang tak berhenti untuk menantang peneliti bergerak lebih jauh dan selalu mempercayai peneliti untuk terus berkembang hingga peneliti kini lebih percaya diri. Terimakasih untuk perhatian, dukungan dan juga kepedulian atas apa yang peneliti perjuangkan dalam tulisan ini, yang seringkali memberi pencerahan sekaligus inspirasi bagi peneliti selama ini.

(11)

xi

3. Dosen dan karyawan Fakultas Psikologi, terimakasih karena sudah memberikan pengetahuan, pelajaran dan pengalaman berharga selama saya menempuh pendidikan di Universitas Sanata Dharma.

4. POPTI Kalimantan Barat, ketiga informan yang sangat peneliti cintai, dan juga teman-teman thalassaemia lainnya yang sudah mempercayai peneliti dan bersedia untuk berbagi pengalaman hidup dengan sangat terbuka. Terimakasih atas pengalaman dan juga dukungan kepada peneliti selama ini. Begitu banyak pelajaran berharga yang peneliti peroleh dan tak bisa peneliti ganti dengan apapun.

5. Kedua orangtua peneliti, rumah untuk selalu pulang, yang tak pernah bertanya kapan lulus dan mendukung peneliti secara penuh untuk mengejar apapun yang peneliti yakini dan selalu mengingatkan peneliti untuk tak pernah ragu memperjuangkan mimpi.

6. Dua adik laki-laki tampan di rumah, yang selalu memberi keceriaan dan semangat melalui gurauan untuk cepat lulus, yang membuat peneliti termotivasi untuk segera lulus.

7. Rifki A.P., seorang pendengar juga kawan menulis kisah. Terimakasih untuk kesabaran dan keteduhan dalam menemani di kondisi apapun. Terimakasih sudah mengajarkan untuk menulis dengan hati dan menjadi tangguh. Terimakasih untuk waktu yang diluangkan atas berbagai hal yang bahkan tak bisa peneliti tuliskan satu persatu. Terakhir, terimakasih karena selalu percaya dan tak pernah menyerah dalam mengingatkan “tiada perjuangan yang tak berharga”

8. Suster Dewi dan Mbak Thia, yang sudah peneliti anggap sebagai ibu kedua, yang selalu tau cara untuk memberikan kehangatan, dan menunjukkan pada peneliti sebuah kasih tanpa syarat, dan tempat untuk selalu pulang di saat peneliti jatuh dan menyerah.

(12)

xii

10.Seluruh teman-teman P2TKP, Grup Babi kesayangan, Menuju S.Psi, Mari Jajan, Begadang sampai sarjana, dan DPS Pak Cahyo serta teman-teman lain yang menemani perjalanan kuliah, terimakasih untuk semangat dan tawa yang tak pernah luput untuk diberikan.

11.Semua pihak yang tidak bisa saya sebutkan satu per satu, terimakasih atas bantuan dan dukungannya selama ini.

Keterbatasan, kekurangan dan kesalahan yang peneliti lakukan dalam menyusun tulisan ini tentu tak bisa dipungkiri. Kritik, saran ataupun usaha untuk memperdalam pemahaman akan topik yang diteliti merupakan hal yang berarti bagi peneliti. Semoga tulisan yang belum sempurna ini menyumbangkan pengetahuan yang dapat bermanfaat dan membantu orang lain. Terimakasih dan salam hangat.

Yogyakarta, 7 Maret 2017

(13)

xiii

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... ... i

HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING ... ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... ... iii

HALAMAN PERSEMBAHAN ... ... iv

HALAMAN MOTTO ... ... v

HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... ... vi

ABSTRAK ... ... vii

ABSTRACT ... ... viii

HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ... ... ix

KATA PENGANTAR ... ... x

DAFTAR ISI ... ... xiii

DAFTAR TABEL ... ... xvii

DAFTAR LAMPIRAN ... ... xviii

DAFTAR GAMBAR ... ... xix

BAB I PENDAHULUAN ... ... 1

A. Latar Belakang ... ... 1

B. Pertanyaan Penelitian ... ... 11

C. Tujuan Penelitian ... ... 12

D. Manfaat Penelitian ... ... 12

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... ... 14

A. Thalassaemia sebagai Penyakit Kronis ... ... 15

B. Tentang Thalassaemia ... ... 17

1. Definisi thalassaemia ... ... 17

2. Perawatan medis thalassaemia mayor ... ... 19

3. Masalah yang dialami penderita thalassaemia mayor ... ... 22

C. Penyesuaian Individu terhadap Penyakit Kronis ... ... 28

1. Reaksi awal ketika memiliki penyakit kronis ... ... 28

2. Pentingnya penyesuaian bagi penderita penyakit kronis ... ... 30

3. Denial dan keinginan menjadi orang normal ... ... 32

(14)

xiv

1. Non-Compliant Behaviour ... ...34

2. Ketidakteraturan terapi pada penderita thalassaemia mayor ...37

E. Pencarian Makna Hidup menurut Frankl...39

F. Penelitian tentang Thalassaemia ... ... 41

BAB III METODOLOGI PENELITIAN... ... 46

A. Strategi Penelitian ... ... 46

B. Keunggulan IPA dalam penyakit kronis ... ... 47

C. Refleksivitas Peneliti...50

D. Fokus Penelitian ... ... 52

E. Informan Penelitian ... ... 52

F. Saturasi Data ... ... 52

G. Metode Pengambilan Data ... ... 53

H. Prosedur Pengambilan Data ... ... 55

I. Metode Analisis Data ... ... 56

J. Kredibilitas Penelitian ... ... 58

K. Pedoman Wawancara ... ... 59

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... ... 63

A. Persiapan dan Pelaksanaan Penelitian ... ... 63

1. Persiapan dan perizinan... ... 63

2. Pelaksanaan penelitian ... ... 65

B. Informan Penelitian ... ... 66

1. Demografi informan ... ... 66

2. Latar Belakang Informan ... ... 67

C. Hasil Penelitian ... ... 71

1. Informan Dd (18) ... ... 71

a. Kesadaran akan thalassaemia dan usaha menjaga kondisi fisik ... 71

b. Pengalaman proses terapi : berjuang hingga sekedar rutinitas ... 73

c. Rasa sakit dan ketidakleluasaan beraktivitas ... ... 74

d. Kesadaran pribadi : usaha mengatasi keengganan terapi ... 75

e. Sikap membohongi diri sebagai alasan enggan terapi ... ... 77

(15)

xv

g. Keluarga: alasan untuk bertahan... ... 79

h. Batasan dan ketidaknyamanan diperlakukan seolah anak kecil ... 82

i. Pengabaian atas terapi dan rasa bersalah pada ibu ... ... 84

j. Pasangan: sumber keberartian hidup dan kedekatan emosional... 85

k. Menjadi seorang musisi dan harapan untuk dipercaya .... ... 86

l. Citra diri positif dan penerimaan teman sebaya ... ... 87

m. Thalassaemia ialah sahabat hidup dan gambaran kematian ... 88

2. Informan Nn (20) ... ... 89

a. Kesadaran dan pemahaman atas kondisi sakit ... ... 89

b. Keterbatasan meraih mimpi dan batasan orangtua ... ... 90

c. Perasaan tidak dimengerti dan arti kebebasan ... ... 92

d. Pengalaman terapi: kejenuhan, rasa sakit, dan ketidakleluasaan .... 93

e. Keinginan untuk sembuh: alasan untuk bertahan ... ... 94

f. Rasa malas dan aktivitas kerja sebagai penghambat ... ... 96

g. Keinginan menjadi orang pada umumnya ... ... 97

h. Ibu: pendorong proses terapi ... ... 98

i. Pentingnya keluarga, pasangan dan sahabat ... ... 99

j. Independensi dan pengalaman ditolak ... ... 101

k. Segala impian dan harapan ... ... 103

l. Thalassaemia hadiah dari Tuhan dan gambaran kematian ... 104

3. Informan Fa (19) ... ... 105

a. Pengetahuan dan pemahaman atas thalassaemia ... ... 105

b. Keterbatasan pencapaian angan-angan ... ... 107

c. Berobat: upaya bertahan hidup ... ... 108

d. Proses terapi: rasa sakit, kejenuhan hingga efek samping terapi .. 109

e. Rasa malas berobat dan ketidakberdayaan atas situasi .. ... 111

f. Rasa kesal dan keinginan menjadi normal ... ... 112

g. Harapan atas proses terapi ... ... 113

h. Kebutuhan akan pasangan dan relasi yang dekat ... ... 114

i. Batasan dan sikap terhadap batasan ... ... 115

(16)

xvi

k. Keluarga dan keinginan untuk terus bersama ... ... 117

l. Membanggakan ibu: alasan terus bertahan ... ... 119

m. Kekecewaan terhadap ayah hingga merasa tidak berarti ... 120

n. Thalassaemia serta keoptimisan untuk tetap hidup ... ... 121

o. Dilema: kuliah vs terapi dan perasaan tidak dipahami ahli medis 123 D. Analisis Data ... ... 126

1. Alasan Utama Keengganan Menjalani Terapi ... ... 126

a. Sikap membohongi diri ... ... 127

b. Rasa malas ... ... 130

2. Hal yang Mendorong Proses Terapi ... ... 133

a. Ikatan emosional dengan ibu ... ... 133

b. Kehadiran akan pasangan (relasi romantis) ... ... 136

c. Kehadiran keluarga dan sahabat ... ... 141

d. Alasan untuk tetap bertahan ... ... 146

E. Pembahasan ... ... 158

1. Alasan utama keengganan menjalani terapi ... ... 158

a. Sikap membohongi diri ... ... 158

b. Rasa malas ... ... 164

2. Hal yang Mendorong proses terapi ... ... 165

a. Ikatan emosional dengan ibu ... ... 165

b. Kehadiran akan pasangan (relasi romantis) ... ... 168

c. Kehadiran keluarga dan sahabat ... ... 170

d. Alasan untuk bertahan ... ... 172

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... ... 177

A. Kesimpulan ... ... 177

B. Saran ... ... 178

DAFTAR PUSTAKA ... ... 184

(17)

xvii

DAFTAR TABEL

(18)

xviii

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Lembar Persetujuan Informan 1 ... 193

Lampiran 2. Lembar Persetujuan Informan 2 ... 196

Lampiran 3. Lembar Persetujuan Informan 3 ... 197

Lampiran 4. Lembar Pernyataan Kesesuaian Hasil Informan 1 ... 198

Lampiran 5. Lembar Pernyataan Kesesuaian Hasil Informan 1 ... 199

Lampiran 6. Lembar Pernyataan Kesesuaian Hasil Informan 1 ... 200

Lampiran 7. Analisis Data Informan 1 ... 201

Lampiran 8. Cluster of Meaning Informan 1 ... 238

(19)

xix

DAFTAR GAMBAR

(20)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

“Aku udah lama malas berobat, hampir tiga tahunan. Bosan aja jalanin hidup yang gitu-gitu terus, suntik lagi, suntik lagi. Sakit. Merasa gitu-gitu aja hasilnya. Gak ada perubahan. Ini penyakit seumur hidup. Rasanya tuh percuma, ngapain juga minum obat. Kalau berobat terus, kan gak sembuh-sembuh juga” – Dd, 18

tahun “(sambil menangis) aku pengen jadi orang normal, yang hidup tanpa tranfusi, suntikan, tanpa obat, dsb. Seolah aku gak sakit. Itu aja. Itu yang buat aku ga mau berobat. Banyak hal yang gak bisa aku capai akhirnya. Apapun yang ingin aku lakukan, nari, dan banyak lagi. Gak kayak orang-orang lain kan. Belum lagi orangtua yang khawatir. Aku gak mau mereka khawatirin terus.” – Nn, 20 tahun

Pernahkah Anda bayangkan bila Anda harus berulang kali merasakan sakit karena suntikan dan selalu minum berbagai obat setiap hari, seumur hidup Anda? Bila Anda tahu bahwa diri anda tak akan pernah sembuh, meskipun berjuang sekalipun, apa yang anda rasakan? Lantas, apa yang anda bayangkan untuk dilakukan bila memang harus menjalani hidup begitu adanya?

Mencoba mendalami kehidupan individu thalassaemia mayor seperti yang tergambar di atas, penelitian ini berusaha untuk melukiskan berbagai pengalaman yang mereka rasakan di tengah perjuangan mereka. Posisi sebagai seorang caregiver yang telah menemani mereka dan seringkali mendengar keluh kesah mereka, khususnya selama proses terapi, mendorong peneliti untuk mencoba memahami berbagai hal yang mereka rasakan melalui penelitian ini.

(21)

ungkapkan hanya mewakili sebagian kecil dari berbagai pengalaman dan perasaan yang dialami oleh penderita thalassaemia mayor lainnya. Individu dengan thalassaemia mayor adalah orang-orang yang harus selalu berada di bawah bayang-bayang perawatan medis, sepanjang hidup mereka. Perawatan paliatif, merawat untuk meningkatkan kualitas hidup penderita dan tidak menyembuhkan, adalah hal yang akan selalu ditemui oleh para penderita thalassaemia seumur hidupnya (WHO, 2015). Seolah tak cukup, ketidakpastian akan kesembuhan juga disertai dengan beratnya proses terapi yang juga tak terelakkan.

(22)

menunjukkan reaksi psikososial dan pengalaman buruk, diantaranya ditandai dengan rasa malas, hilangnya nafsu makan, mengalami penurunan berat badan, sulit berkonsentrasi, susah tidur, mudah capek, gangguan mood, merasa tidak memiliki harapan dan munculnya pikiran-pikiran akan kematian atau bunuh diri. Reaksi psikososial ini mengakibatkan para penderita mengalami perasaan akan kecemasan dan ketakutan akan kematian, perubahan citra diri, dan tidak bisa meneruskan rencana hidupnya (Vullo, Modell, & Georganda, 1995; Mulyani & Fahrudin, 2014).

(23)

penderita thalassaemia mayor di Tanah Air terus mengalami peningkatan. Hingga tahun 2016, jumlah penderita saat ini sudah mencapai 7.238 orang. Meskipun demikian, angka tersebut hanya mencerminkan jumlah pasien yang terdata di rumah sakit-rumah sakit yang ada di Indonesia dan terus naik rata-rata sepuluh persen per tahun. Angka pasti keseluruhan penderita tentunya lebih besar (Widiyatno, 2016).

Thalassaemia mayor, salah satu jenis dari penyakit thalassaemia,

merupakan suatu kelainan darah serius yang diderita sejak lahir. Oleh karena sifatnya yang kronis, maka kelainan ini akan terus terbawa sepanjang kehidupan individu, artinya penyakit ini merupakan penyakit yang tidak dapat sembuh. Penderita thalassaemia mayor tidak dapat membentuk haemoglobin yang cukup dalam darah mereka sehingga memerlukan tranfusi darah seumur hidup secara teratur Penderita menjalani tranfusi darah sepanjang hidup karena satu-satunya pengobatan thalassaemia mayor adalah melalui pemberian tranfusi darah (Gandi, 2007).

(24)

hanya berupa tranfusi, perubahan fisik akan sulit dihindari dan dapat menyebabkan terjadinya gangguan fungsi beberapa organ tubuh. Ketika banyak zat besi disimpan dalam jantung, jantung jadi membesar dan terkadang berdetak tidak teratur. Akhirnya, jika zat besi terus disimpan di sana, jantung menjadi tidak mampu memompa darah di sekitarnya dengan cepat dan menyebabkan kegagalan fungsi jantung. Kondisi inilah yang menjadi penyebab utama kematian individu dengan thalassaemia mayor (Gandi, 2007).

Dengan kondisi yang telah dipaparkan sebelumnya usaha mencapai usia remaja merupakan suatu perjuangan yang cukup sulit bagi para penderita thalassaemia mayor. Apabila penderita thalassaemia mayor tidak dirawat dan tidak melakukan tranfusi darah sejak usia dini, maka hidup mereka biasanya hanya bertahan kurang dari lima tahun dan meninggal karena gagal jantung akibat anemia berat (Gandi, 2016). Begitu pula tanpa tranfusi yang memadai, penderita thalassaemia mayor akan meninggal pada dekade kedua (Mulyani & Fahrudin, 2014). Tidak hanya itu, tercatat sebesar 71% penderita meninggal pada umur belasan tahun. Hal ini dikarenakan oleh penyakit hati atau terutama kegagalan fungsi jantung akibat pengobatan yang hanya berupa tranfusi saja (Gandi, 2007).

(25)

Dua bentuk terapi kelasi yang umumnya digunakan adalah Desferrioxamine (Desferal) berupa penyuntikan dan Deferiprone (Ferriprox) serta Deferasirox

(Exjade) yang merupakan terapi kelasi alternatif berupa kapsul yang bisa diminum

(Gandi, 2007). Bila tranfusi dilakukan teratur dengan terapi kelasi, maka usia individu dengan thalassaemia mayor akan lebih dari dua puluh tahun dan bahkan mampu bertahan hingga usia tujuh puluh tahun bila tidak terjadi penimbunan zat besi di organ-organ tubuh atau komplikasi infeksi (Gandi, 2016). Di sini jelaslah bahwa terapi kelasi memang memegang peranan dalam meningkatkan kualitas hidup individu dengan thalassaemia mayor. Namun demikian, sebagaimana proses lain dalam pengobatan penyakit kronis, proses terapi ini tetap memiliki persoalan mendasar yang belum dapat dipecahkan.

Hasil dari pengobatan thalassaemia yang tidak bisa diketahui dan dirasakan dengan cepat menjadi persoalan mendasar yang dihadapi oleh para penyandang thalassaemia. Sedangkan secara nyata, tindakan pengobatan yang dilakukan para

individu dengan thalassaemia hanya bersifat paliatif. Perawatan jenis ini menjadi sistem pendukung untuk membantu pasien hidup seaktif mungkin hingga saatnya nanti dan bertujuan untuk mengurangi keparahan gejala penyakit, dan meningkatkan kualitas hidup pasien (WHO, 2015). Hal yang dapat digarisbawahi terkait hal ini ialah bahwa perawatan paliatif tidak mengarah pada usaha untuk menyembuhkan kondisi sakit, melainkan sebuah tindakan supportif untuk meningkatkan kualitas hidup pasien.

(26)

melakukan proses terapi. Sering timbul penolakan dari para penderita untuk melakukan proses terapi yang mengarah pada penurunan intensitas dalam menjalani proses pengobatan, terlebih pada usia remaja (Gandi, 2007; Vullo, et.al, 1995). Pengabaian akan pengobatan yang hadir dalam keengganan berobat dengan demikian menjadi suatu bentuk tindakan yang dapat mempercepat kematian sendiri. Pengabaian akan pengobatan ini kemudian menjadi penyebab utama yang mendasari fakta sebagian besar dari individu dengan thalassaemia mayor tidak mencapai usia produktif atau usia tua karena meninggal pada usia 19-30 tahun (Yuliani, 2004). Tak hanya itu, fakta menunjukkan individu dengan thalassaemia mayor yang ditranfusi dengan baik namun tidak sering menggunakan desferal biasanya akan meninggal pada usia kurang dari dua puluh tahun (Vullo, et. al., 1995). Dalam hal ini, terapi kelasi menjadi hal yang sangat vital untuk dilakukan demi mencegah terjadi kerusakan organ-organ utama tubuh yang akan mengakibatkan kematian dari penderita (Gandi, 2007).

Bila pengabaian akan proses terapi dapat mengakibatkan kematian pada individu dengan thalassaemia, maka keengganan yang dirasakan oleh para remaja thalassaemia mayor saat melakukan proses terapi menjadi suatu hal yang penting

untuk dilihat lebih jauh. Peneliti melihat penelitian yang berfokus pada pengalaman remaja thalassaemia mayor dalam menjalani proses terapi akan membantu untuk memahami pengalaman yang dirasakan para penyandang thalassaemia secara lebih utuh dan menyeluruh. Hal ini penting mengingat

(27)

serta keengganan yang kemudian mereka rasakan. Penekanan penelitian pada remaja thalassaemia mayor juga memiliki signifikansi dan urgensi yang kuat. Seperti apa yang sudah disampaikan sebelumnya, tercatat sebesar 71% penderita thalassaemia meninggal pada umur belasan tahun (Gandi, 2007). Bahkan, individu dengan thalassaemia mayor yang ditranfusi dengan baik namun tidak sering menggunakan desferal biasanya akan meninggal pada usia kurang dari dua puluh tahun (Vullo, et. al., 1995). Kondisi tersebut mengilustrasikan masa remaja ialah titik krusial bagi para individu dengan thalassaaemia mayor, sebuah proses yang akan dilalui untuk terus bertahan melanjutkan masa depan ataukah menuju hal yang tidak diharapkan untuk terjadi, seperti kematian. Penekanan atas kondisi ini kemudian perlu diperhatikan karena pada periode ini remaja thalassaemia mayor memegang peran penting dalam menentukan keputusan untuk tetap menjalani proses terapi atau sebaliknya melakukan pengabaian atasnya.

Mempunyai suatu penyakit kronis bukanlah suatu hal yang dapat dengan mudah diterima. Tak seorangpun suka merasa dirinya sakit, apalagi menerima dirinya harus menjalani pengobatan seumur hidup. Hal tersebut mengisyaratkan dinamika psikologis pada individu dengan thalassaemia memainkan peranan penting dalam proses pengobatan yang dilakukan penderita. Akan tetapi, seperti apa yang dikemukakan Jain, Bagul, dan Porwal (2013) sebagai latar belakang penelitian mereka mengenai problem psikososial dari remaja dengan thalassaemia, “telah banyak hal yang diteliti mengenai thalassaemia mayor tetapi

(28)

kosong yang sama berkaitan dengan tinjauan berbagai penelitian mengenai proses pengobatan individu thalassaemia.

Berbagai penelitian yang peneliti temui terkait kondisi psikologis lebih mengedepankan faktor-faktor di luar diri individu atau keterkaitan antara individu dengan penyakit dan lingkungan tanpa adanya eksplorasi yang lebih jauh pada pengalaman psikologis individu sebagai pembahasan utama. Aspek psikososial tampaknya menjadi primadona bagi para peneliti yang mencoba menggali perihal thalassaemia. Hal-hal ini meliputi aspek psikososial individu yang berkaitan

dengan relasi interpersonalnya (Mussalam, Cappellini, & Taher, 2008), adanya beban dan bentuk reaksi psikososial yang dirasakan (Mulyani & Fahrudin, 2011), maupun munculnya beban psikososial dan kebutuhan akan adanya dukungan sosial (Khurana, Katyal, & Marwaha, 2006; Gharaibeh, Amarneha, & Zamzam, 2009; Wahab, et al., 2011; Indanah, et al., 2013).

(29)

T., Ratanasiri, A., 2006; Ammad, Mubeen, Shah, Mansoor, 2011; Saldanha, 2013; Arbabisarjou, Karimzaei & Jamalzaei, 2014; Anum & Dasti, 2015).

Begitu pula penelitian yang berfokus pada individu dengan thalassaemia, penelitian terkait thalassaemia lebih mengarahkan pembahasan mengenai kerentanan psikologis maupun kualitas hidup penderita. Dalam paparan mengenai diri beberapa penelitian ini justru mengarahkan pembahasan mengenai diri yang terorientasikan ke luar diri seperti pembahasan mengenai pandangan akan masa depan ataupun pemilihan karir (Bush, Mandel, & Giardina, 1998; Fung, Low, Ha, & Lee, 2008). Selain itu, penelitian yang mengarahkan orientasi pembahasan ke dalam diri justru berkenaan dengan pertumbuhan dan fungsi kognitif (Subroto & Advani, 2003; Safitri, Ernawaty, & Karim, 2015; Raz, Koren, Dan, & Levin, 2016). Sedangkan paparan yang menyentuh dinamika psikologis secara umum berpusat pada kualitas hidup para penderita thalassaemia (Wahyuni, 2010 & Mariani, 2011). Sebagai pengecualian adalah penelitian Purnamaningsih (2014) yang menyuguhkan depresi yang dialami para penderita thalassaemia mayor dan faktor yang mempengaruhinya, Pramita (2008) yang memaparkan harapan pada remaja penyandang thalassaemia mayor, dan Lestari (2013) yang mendeskripsikan mengenai pengalaman psikologis individu dengan thalassaemia dalam menghadapi sakitnya serta interaksinya dengan anggota keluarga yang merawatnya.

(30)

proses terapi. Keengganan dalam menjalani proses pengobatan serta paparan mengenai alasan-alasan psikologis yang menyertai kondisi tersebut adalah wilayah yang minim dijamah oleh para peneliti. Fred Kleinsinger (2010) juga menawarkan pandangan bahwa adanya keengganan, apa yang disebutnya sebagai noncompliant behavior, dalam proses pengobatan individu dengan penyakit

kronis memainkan peranan penting dalam kegagalan penanganan. Oleh karena itu, pemahaman akan pengalaman psikologis remaja thalassaemia mayor selama menjalani proses terapi beserta alasan utama yang mendasari alasan keengganan yang mereka lakukan perlu untuk dilakukan. Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberi sudut pandang baru yang dapat membantu keluarga, profesional kesehatan, praktisi psikolog dan masyarakat umum untuk lebih memahami kondisi psikologis remaja thalassaemia mayor sekaligus sebagai pendorong bagi para individu dengan thalassaemia mayor untuk terus menjalani proses pengobatan melalui pehamanan atas kondisi diri yang semakin baik.

B. Pertanyaan Penelitian

Dalam penelitian ini, pertanyaan yang ingin diangkat oleh peneliti adalah “Bagaimana pengalaman dan dinamika psikologis para remaja thalassaemia

(31)

C. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah memberikan pemahaman tentang pengalaman psikologis remaja thalassaemia mayor dalam menjalani proses terapi serta gambaran dinamika psikologis mereka.

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoretis

Secara teoretis, penelitian ini bermanfaat untuk pengembangan bidang keilmuan psikologi klinis-kesehatan khususnya mengenai infomasi akan kondisi psikologis remaja thalassaemia mayor selama menjalani proses pengobatan. Dengan demikian, paparan akan alasan yang menjadi dasar keengganan dalam menjalani proses pengobatan juga memberikan sumbangan terhadap psikolog kesehatan dalam menghadapi klien dengan kondisi yang serupa. Diharapkan pula, penelitian ini dapat memberikan referensi bagi peneliti lain dengan topik yang berkaitan.

2. Manfaat Praktis

(32)

Adanya informasi mengenai gambaran kondisi psikologis ini diharapkan pula dapat memberikan pemahaman yang baik bagi keluarga juga para praktisi kesehatan. Pemahaman ini diharapkan dapat menjadi upaya dalam memberikan penanganan yang tepat dan menyeluruh terhadap remaja thalassaemia mayor. Keluarga dan praktisi kesehatan dapat mempertimbangkan kondisi psikologis remaja thalassaemia mayor dan tidak hanya berfokus pada terpenuhinya berbagai proses pengobatan semata. Dengan mengikutsertakan pertimbangan tersebut, keluarga dan praktisi kesehatan didorong untuk memikirkan alternatif pendekatan yang dapat membuat remaja thalassaemia mayor merasa nyaman dalam menjalani proses pengobatan.

Selain itu, penelitian ini juga dapat menyajikan pengalaman-pengalaman yang dapat digunakan sebagai refleksi bagi remaja thalassaemia mayor tentang apa yang dapat mereka lakukan dikemudian hari terkait kondisi

(33)

14

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Pada bagian ini, peneliti berupaya memberikan gambaran umum tentang thalassaemia sebagai penyakit kronis, dinamika awal yang dialami individu dalam

(34)

A. Thalassaemia sebagai Penyakit Kronis

Studi tentang penyakit kronis bukanlah suatu hal yang baru. Penyakit kronis itu sendiri merupakan istilah payung bagi beberapa penyakit dengan karakteristik yang serupa. Norman & Ruescher (2011) melihat penyakit kronis sebagai “suatu penyakit yang berlangsung selama waktu yang sangat lama, atau bahkan terkadang seumur hidup seseorang.” Penyakit kronis memiliki karakteritik yang

berbeda dari penyakit akut. Pada penderita penyakit akut, penderita mengalami suatu keadaan sakit, penderita mendapatkan pengobatan, dan kemudian pada akhirnya akan berujung pada kesembuhan atau kematian. Di lain sisi, model keadaan sakit yang dialami oleh penderita penyakit kronis sedikit berbeda. Seseorang mengalami suatu keadaan sakit dan mengetahui apa yang salah dalam dirinya, mendapatkan sebuah perawatan, namun dirinya akan tetap menderita penyakit tersebut dan berharap kondisinya tidak seburuk seperti halnya sebelum mendapat perawatan. Selain itu, penyakit kronis bersifat progresif dan akan semakin memburuk dari waktu ke waktu jika pengobatan yang seharusnya dijalani oleh penderita tidak dilakukan (Norman & Ruescher, 2011).

Mengacu paparan Conrad (1987, dalam Fyrand, 2003) penyakit kronis bisa terbagi menjadi tiga kategori: (1) lived with illnesses (2) mortal illnesses (3) at-risk illnesses. Pada kategori lived with illnesses, seseorang diharuskan beradaptasi

(35)

yang mengancam hidup seseorang. Kondisi ini tidak terpengaruh tahu atau tidaknya seseorang akan penyakit dan gejala yang ia hadapi, ia tetap beresiko menghadapi kematian. Contoh penyakit dalam kategori ini yaitu kanker, HIV/AIDS, dan penyakit kardiovaskuler. Kategori selanjutnya, yaitu at-risk illnesses merupakan kategori yang berbeda dari dua kategori sebelumnya. Kategori ini tidak berfokus pada ancaman yang timbul dari penyakit, akan tetapi menitikberatkan pada risiko yang menyertai penyakit, yakni terjadinya hal-hal yang kemudian menimbulkan risiko kematian akibat pengaruh lingkungan atau perilaku individu yang mempengaruhi penyakit. Penyakit yang tergolong dalam kategori ini yaitu hipertensi, dan penyakit yang berhubungan dengan hereditas seperti hemofilia dan thalassaemia.

(36)

B. Tentang Thalassaemia 1. Definisi thalassaemia

Thalassaemia adalah kelainan darah yang diturunkan atau diwariskan.

Penyakit ini merupakan salah satu kelainan genetik terbanyak di dunia, dan khususnya dialami pada orang-orang yang berasal dari daerah Laut Tengah hingga daerah sekitar khatulistiwa, Timur Tengah atau Asia (Subroto & Fajar, 2003; Chairunisya, 2007). Thalassaemia berasal dari bahasa latin “thalasanemia” yang berarti anemia yang terdapat di dekat laut (Rosu, 2006

dalam Pramita, 2008). Di masa lalu, sebelum penemuan mengenai penyakit ini mendunia, penyakit ini dikenal sebagai Anemia Mediterranean (Vullo, Modell, & Georganda, 1995). Di Indonesia, frekuensi gen thalassaemia diperkirakan sebesar tiga sampai delapan persen. Setidaknya, 200 ribu orang mempunyai thalassaemia trait (bawaan) dan terdapat lebih dari 3000 anak yang menderita penyakit thalassaemia (Gandi, 2007).

Berdasarkan tingkat keparahannya, Gandi (2007) memaparkan thalassaemia menjadi tiga jenis:

a. Thalassaemia trait (Thalassaemia bawaan). Orang dengan thalassaemia trait adalah seseorang yang sehat namun ia dapat

meneruskan gen thalassaemia kepada anak-anaknya. Thalassaemia trait disebut juga sebagai Thalassaemia minor. Thalassaemia minor ini

(37)

pengobatan ataupun tranfusi darah. Menurut perkiraan, di Indonesia ditemukan tidak kurang dari 200.000 orang thalassaemia trait

b. Thalassaemia mayor. Di Indonesia, penderita thalasaaemia mayor lebih sering ditemukan. Penyakit ini merupakan kelainan darah serius yang mungkin terjadi bila kedua orangtua mempunyai gen pembawa sifat thalassaemia. Individu dengan penyakit thalassaemia mayor telah

mewarisi gen tersebut sejak mereka dilahirkan (Northen California Comprehensive Thalassaemia Center, 2005). Anak-anak yang memiliki thalassaemia mayor tampak normal saat lahir, tetapi mulai menderita kekurangan darah pada usia antara 3 sampai 18 bulan. Penderita tidak dapat membentuk haemoglobin yang cukup dalam darah mereka. Oleh karena itu, dalam tulang sumsum mereka tidak dapat diproduksi sel-sel darah merah yang cukup. Mereka memerlukan tranfusi darah secara berkala seumur hidupnya. Apabila anak-anak dengan thalassaemia mayor tidak dirawat dan melakukan pengobatan, maka hidup mereka

biasanya hanya bertahan antara 1 sampai 8 tahun. Setiap tahun setidaknya 100.000 anak yang lahir di dunia menderita thalassaemia mayor. Di Indonesia tidak kurang dari 3000 anak kecil yang menderita

penyakit tersebut. Thalassaemia mayor sering disebut juga sebagai Homozygous Beta Thalassaemia.

(38)

dan thalassaemia minor. Anak-anak dengan thalassaemia intermedia mulai merasakan masalah dalam hidupnya sedikit lebih lama dibandingkan mereka yang mempunyai thalassaemia mayor. Kebanyakan dari mereka hidup normal sampai berumur 2 tahun lebih, dan sebagian dari mereka yang lebih ringan mungkin tidak mempunyai hasil diagnosa sampai mereka berumur sekitar 7 tahun, atau terkadang lebih tua lagi. Adakalanya, seseorang dengan thalassaemia intermedia yang sangat ringan ditemukan mempunyai thalassaemia hanya di kehidupan dewasanya, sebagai contoh ketika hamil, atau ketika mereka melakukan pemeriksaan medis untuk alasan yang lain. Penderita thalassaemia intermedia mungkin memerlukan tranfusi darah secara

berkala namun lebih jarang frekuensinya dibandingkan thalassaemia mayor dan umumnya dapat bertahan hidup sampai dewasa. Namun, ada

juga sebagian penderita thalassaemia intermedia yang juga dapat bertahan hidup tanpa harus melakukan tranfusi secara teratur.

2. Perawatan medis penderita thalassaemia mayor a. Tranfusi darah

(39)

kelainan organ tubuh seperti kelainan endokrin dan kegagalan jantung. Umumnya tranfusi dilakukan setiap 2 sampai 5 minggu sekali seumur hidupnya untuk mempertahankan kadar hemoglobin normal (lebih dari 12g/dl sampai 15g/dl) (Gandi, 2007).

b. Terapi kelasi

Terapi kelasi ialah salah satu cara untuk mengontrol total zat besi dalam tubuh sebagai dampak tranfusi darah. Menurut Gandi (2007), bila kadar zat besi dalam tubuh berlebihan (mencapai 20 gram), maka akan timbul gejala klinis keracunan zat besi. Akibatnya, terjadi gangguan fungsi beberapa organ tubuh yang dapat menyebabkan kematian pada umur belasan tahun karena penyakit hati atau terutama kegagalan fungsi jantung pada 71% penderita. Untuk mencegah terjadinya hal tersebut, maka penderita thalassaemia memerlukan obat kelasi besi atau pengikat zat besi agar dapat dikeluarkan dari jaringan tubuh. Pemberian obat kelasi besi secara teratur dapat meningkatkan kualitas hidup serta memperpanjang umur penderita thalassaemia. Menurut Gandi (2007), ada dua cara terapi kelasi yang umumnya digunakan penderita thalassaemia mayor :

(40)

selama kurang lebih 10 jam per hari (8-12 jam). Efek kelasi besi akan hilang tidak lama setelah infus DFO dihentikan. Idealnya obat ini diberikan lima hari dalam seminggu seumur hidup. Biasanya desferal digunakan selama 8-12 jam setiap kali selama minimal 5 hari per minggu.

2. Deferiprone (Ferriprox) dan Deferasirox (Exjade). Ferriprox dan exjade merupakan obat kelasi alternatif berupa kapsul yang bisa diminum. Ferriprox diminum 3 kali sehari. Obat ini diserap dengan cepat di saluran cerna dan dikeluarkan melalui urine. Exjade baru dipasarkan di Amerika pada November 2005. Obat ini lebih praktis karena hanya diminum sekali sehari, namun harganya lebih mahal dari obat ferriprox. Obat ini sebagian besar akan dikeluarkan melalui tinja dan sisanya melalui urine. Saat ini ferriprox dan exjade banyak digunakan oleh penderita thalassaemia yang kurang patuh menggunakan obat DFO.

c. Pengangkatan limpa

(41)

infeksi atau bahaya pendarahan. Pengangkatan limpa baru boleh dilakukan sesudah anak berumur lima tahun, karena sebelum usia lima tahun, resiko terjadinya infeksi yang berat cukup besar. Sesudah pengangkatan limpa, kebutuhan tranfusi darah biasanya berkurang sekitar 50 persen.

d. Cangkok sumsum tulang

Cangkok sumsum tulang ini dilakukan dengan mengganti jaringan sumsum tulang penderita dengan sumsum tulang donor. Dr. Indra B. Hutagalung Sp A., mengungkapkan bahwa di negara-negara maju, para ahli melakukan cangkok sumsum tulang bagi penderita Thalassaemia. Biasanya sumsum tulang donor yang cocok diambil dari orangtua, saudara kembar atau saudara kandung penderita. Di Indonesia, tindakan ini masih dalam taraf permulaan. Pencangkokan ini sebaiknya dilakukan sedini mungkin, yakni pada saat anak belum banyak mendapat tranfusi darah, hal ini untuk mengurangi kemungkinan terjadinya penolakan terhadap jaringan sumsum tulang donor. Biaya cangkok sumsum tulang di Singapora bisa mencapai 1 miliar rupiah (Chairunisya, 2007).

3. Masalah yang dialami penderita thalassaemia mayor a. Masalah fisik

(42)

keadaan fisik mereka. Pada umumnya, penderita thalassaemia mayor terlihat pucat dan kelelahan serta tidak memiliki kemampuan untuk melakukan pekerjaan yang berat. Kondisi ini menyebabkan penderita thalassaemia mayor tidak diperbolehkan untuk melakukan aktivitas fisik

yang berlebihan (Vullo, et al., 1995). Penderita juga mengalami gangguan tumbuh kembang dengan perawakan tubuh yang pendek, sedangkan anak yang mendapatkan tranfusi darah secara teratur pertumbuhannya normal dengan daya tahan tubuh yang lebih baik sehingga tidak mudah sakit (Gandi, 2007).

Tranfusi darah yang diperlukan seumur hidup menyebabkan kelebihan zat besi pada para penderitanya. Selain itu, para penderita yang sudah sering mendapatkan transfusi kelebihan zat besi ini akan ditumpuk di jaringan-jaringan tubuh. Penumpukan zat besi terjadi pada organ-organ tubuh seperti jantung, hati, ginjal, limpa, sumsum tulang, dan kulit (Vullo, et al., 1995; Pramita, 2008). Ketika banyak zat besi disimpan dalam jantung, jantung jadi membesar dan terkadang berdetak tidak teratur. Akhirnya, jika zat besi terus disimpan disana, jantung menjadi tidak mampu memompa darah disekitarnya dengan cepat dan menyebabkan kegagalan fungsi jantung. Oleh karena itu, pasien yang ditranfusi dengan baik namun tidak sering menggunakan desferal biasanya meninggal pada umur dua puluhan (Vullo, et al., 1995).

(43)

lengkap. Hal tersebut merupakan efek dari kelebihan zat besi pada sel pigment di kulit. Masalah ini akan berkurang atau hilang semuanya setelah penderita mulai menggunakan perawatan desferal secara teratur (Vullo, et al., 1995).

Gangguan lain muncul pula pada organ hati dan limpa. Perut penderita buncit akibat pembesaran hati dan limpa. Hati kadang membesar dengan ukuran sedang hingga berat, kulit berwarna kuning. Masalah hati disebabkan oleh virus yang ditularkan melalui tranfusi darah, dan oleh kelebihan zat besi. Hepatitis C adalah infeksi paling utama yang dapat menyebabkan masalah hati (Vullo, et al., 1995). Limpa berfungsi menghancurkan sel darah merah yang sudah rusak. Pada penderita thalassaemia mayor, sel darah merah yang rusak sangat berlebihan

sehingga limpa perlu memproduksi sel darah merah yang lebih banyak. Kondisi ini membuat kerja limpa menjadi sangat berat. Akibatnya limpa semakin lama semakin membengkak (Gandi, 2007).

Selain efek pada limpa, masalah lain yang timbul pada penderita thalassaemia mayor adalah pada sumsum tulang. Sumsum tulang pipih di

muka sebagai pabrik sel darah merah akan berusaha memproduksi sel darah merah sebanyak-banyaknya sebagai kompensasi dari kurangnya sel darah merah dalam tubuh. Akibatnya sumsum tulang ini akan membesar dan memberikan bentuk muka mongoloid yang merupakan wajah khas thalassaemia mayor. Tulang dahi, belakang kepala, dan tulang pipi yang

(44)

jarak antara kedua mata menjadi jauh serta pertumbuhan tulang rahang atas berlebihan sehingga posisi gigi maju ke depan (Gandi, 2007).

Banyak penderita thalassaemia tidak berkembang normal pada masa pubertas. Hal ini dikarenakan kelebihan zat besi yang telah merusak kelenjar endokrin yang mengontrol kematangan seksual, atau kelenjar lainnya yaitu kelenjar sex itu sendiri (Vullo, et al., 1995). Sekitar 50-75% penderita thalassaemia mayor mengalami pubertas terlambat akibat penimbunan besi dalam kelenjar endokrin. Pada anak perempuan, payudara belum bertumbuh walaupun sudah mencapai usia 13 tahun, waktu menstruasi juga terlambat bahkan sebagian penderita perempuan tidak bisa menstruasi karena ovuriumnya terganggu. Pada anak laki-laki, testis tidak tampak membesar walaupun sudah berusia 14 tahun. Untuk mencegah timbulnya pubertas tersebut, maka penderita harus memperbaiki gizinya, meningkatkan keadaan kesehatannya dengan pemberian tranfusi darah serta terapi kelasi yang teratur sejak awal agar tercapai kematangan seksual yang normal pada waktunya (Gandi, 2007).

b. Masalah psikologis

(45)

membuat mereka merasa berbeda dengan teman-teman yang lain (Vullo, et al., 1995). Permasalahan yang berhubungan dengan sekolah turut menjadi isu yang penting bagi penderita thalassaemia. Sebesar 70% penderita thalassaemia mengalami kecemasan mengenai sekolahnya, terutama pada

kegiatan akademik dan olah raga (Gharaibeh, et al., 2009). Terapi rutin yang harus dilakukan serta kondisi fisik yang mudah lelah membuat kegiatan sekolah dan berbagai aktivitas lain seringkali terhambat. (Khurana, et al., 2006).

Peralihan pada masa remaja menuju dewasa memunculkan persepsi baru pada penderita thalassaemia khususnya mengenai orientasi terhadap masa depan. Penelitian menemukan adanya persepsi dari individu dengan thalassaemia bahwa mereka akan sulit mendapatkan pekerjaan yang

mereka inginkan. Kesulitan yang dihadapi muncul karena terhambatnya kondisi fisik serta terbatasnya kemampuan akademik. Persepsi inilah yang memunculkan keinginan untuk menikah pada penderita menjadi kecil karena masalah fisik dan kondisi keuangan mereka di masa yang akan datang mereka pandang sebagai suatu kondisi yang memburuk (Khurana et al., 2006; Fung, et al., 2008)

Thalassaemia mayor merupakan penyakit seumur hidup, penerimaan

(46)

masalah emosi yang semakin meningkat pada setiap tahap perkembangan kehidupan penderita. Penderita akan merasa bahwa mereka adalah orang yang sangat berbeda, terbatas, atau terisolasi dari orang-orang di sekitarnya. Penderita akan cepat mengalami depresi, diikuti perasaan marah terhadap kenyataan yang terjadi dalam hidupnya (Pramita, 2008).

Di sepanjang usia kehidupannya, para penderita thalassaemia mayor harus mendapatkan perawatan secara terus menerus. Kondisi ini menghadirkan kebutuhan atas bantuan dari keluarga untuk perawatan klinis secara rutin seperti tranfusi darah dan terapi kelasi. Penelitian terkait hal ini mengilustrasikan perlakuan yang diberikan oleh keluarga pada para penderita. Dalam penelitiannya, penderita thalassaemia mayor cenderung diperlakukan overprotektif, dimanjakan dan diberikan perhatian yang berlebihan oleh kedua orangtua mereka (Prasomsuk et al., 2007). Perlakuan yang diberikan oleh keluarga ini yang kemudian membuat para individu dengan thalassaemia mayor mengalami proses pengembangan diri yang lebih lambat.

(47)

jawab ke tangan mereka. Munculnya perasaan menghadapi suatu kesulitan juga nampak dalam hubungan pertemanan individu penderita thalassaemia. Di masa remaja, individu umumnya akan memiliki kecenderungan untuk menghabiskan waktunya tidak di rumah dan memiliki penekanan untuk beraktivitas bersama dengan teman sebayanya. Hal ini turut menjadi pendukung munculnya perasaan ingin menjadi seperti teman sebaya mereka (Pramita, 2008). Selain itu, penemuan lain menunjukkan bahwa penderita thalassaemia mayor kerap merasa tertekan maupun mudah marah. Tak hanya itu menunjukkan bahwa posisi tertekan juga tampak dari kecenderungan para penderita thalassaema mayor juga sering memikirkan kematian serta kemungkinan bunuh diri pada tahun-tahun terakhir. Kesejahteraan psikologis penderita akan terganggu karena berada di antara kehidupan dan kematian (Ghanizadeh, 2007 dalam Pramita, 2008).

C. Penyesuaian Individu Terhadap Penyakit Kronis

1. Reaksi awal ketika memiliki penyakit kronis

(48)

saat atau bisa juga berlanjut selama berminggu-minggu. Hal ini tergantung pada tingkat tertentu dalam setiap krisis yang dialami oleh seseorang. Kondisi shock akan sangat terlihat ketika krisis datang. Biasanya, setelah beberapa waktu menggunakan strategi koping yang berfokus pada kondisi emosional, seperti penyangkalan, realitas mulai mengganggu: gejala tetap berlangsung atau semakin memburuk, adanya diagnosis tambahan yang menguatkan diagnosa sebelumnya, dan akhirnya menjadi suatu kepastian bahwa penyesuaian akan kondisi tersebut perlu dilakukan (Sarafino, 2011)

Seseorang dengan penyakit kronis memiliki kecenderungan untuk menghadapi realitas secepat mungkin hingga mereka mencapai suatu penyesuaian terhadap problem dan implikasi yang dihadapi. Hanya saja, tidak semua orang bereaksi seperti demikian: beberapa mungkin berlaku tenang, sedang yang lain mungkin menjadi tidak berdaya atas adanya kecemasan atau menjadi histeris (Silver & Wortman, 1980 dalam Sarafino, 2011).

(49)

dapat dengan segera menjadi maladaptif terhadap kondisi fisik dan kesejahteraan psikologis penderita (Suls & Fletcher, 1985; Roesch & Weiner, 2001 dalam Sarafino, 2011).

2. Pentingnya penyesuaian terhadap penyakit bagi penderita penyakit kronis Pengetahuan atas adanya penyakit kronis yang serius secara cepat mengubah cara mereka melihat diri dan kehidupannya, bahkan beberapa rencana yang telah mereka buat untuk waktu yang dekat ataupun jangka panjang mungkin menjadi sekedar harapan setelah adanya diagnosis. Hal ini dikarenakan mereka mungkin bisa lebih tidak berdaya, merasa buruk, kesakitan, ataupun merasa terancam atas kondisi yang dihadapi. Semakin besar suatu ancaman dipersepsi oleh penderita dalam berbagai kondisi-kondisi tersebut, semakin susah pula mereka akan dapat mengatasi kondisi yang mereka hadapi (Cohen & Lazarus, 1979; Moos, 1982 dalam Sarafino, 2011). Banyak orang dengan penyakit kronis akan memiliki kesadaran diri tentang masalah kesehatan mereka-dan bahkan melakukan stigma terhadap diri mereka-dan ingin menyembunyikannya dari orang lain (Sarafino, 2011).

(50)

mereka untuk membuat suatu perubahan besar dalam gaya hidup mereka dan tentunya memberikan kesulitan bagi individu tersebut (Sarafino, 2011).

Banyak aspek fisik dan sosial dari lingkungan kita yang dapat memengaruhi cara kita menyesuaikan diri dengan masalah kesehatan kronis (Moos, 1982 dalam Sarafino, 2011). Aspek fisik lingkungan rumah sakit, misalnya, menjadi hal yang sangat membosankan dan membatasi penderita. Kondisi ini dapat menekan semangat juang serta suasana hati individu. Aspek fisik lingkungan rumah yang penuh dengan dukungan dan perhatian, sebaliknya akan membantu penderita dalam melakukan penyesuaian atas kondisi diri.

(51)

support group dengan suatu problem kesehatan tertentu. Kelompok-kelompok

ini dapat memberikan informasi dan dukungan emosional.

Oleh karena itu, bila seseorang mampu mencapai suatu penyesuaian terhadap kondisi sakitnya, sebagai hasil dari suatu krisis yang dihadapi, maka ia akan mampu (1) menghadapi ketidakmampuan dan rasa sakit atas kondisi sakitnya, (2) mampu menghadapi kesulitan terkait bakat atau keahlian— mampu mengevaluasi rencana pendidikan dan karir, serta mencari pekerjaan baru (3) menerima perubahan atas kondisi tubuh, memiliki harga diri, dan meningkatkan kompetensi serta meraih prestasi (4) tidak mengalami kesulitan atas adanya kehilangan suatu aktivitas yang menyenangkan dan pencarian aktivitas yang baru serta perubahan dalam relasi sosial dengan keluarga, teman, ataupun pasangan (5) tidak lagi mengalami perasaan penolakan (denial), kecemasan, dan depresi (6) mampu mematuhi segala prosedur pengobatan yang perlu dijalani.

3. Denial dan keinginan menjadi orang pada umumnya

(52)

karena memberikan individu waktu untuk mengusahakan strategi koping lain dan memberikan motivasi pada individu bahwa ia bisa memperoleh pandangan lain tentang pengalaman yang ia alami.

Selain denial yang dipakai sebagai strategi koping, menjadi normal adalah isu lain yang tak asing lagi bagi individu dengan penyakit kronis. Beberapa penelitian menemukan gagasan “menjadi normal” atau

“melanjutkan hidup” adalah hal yang paling sering ditemukan dalam usaha

hidup bersama penyakit kronis (Gallo et al. 1992 dalam Taylor, 2008; Admi, 1996; Christian & D’Auria, 1997; Atkin & Ahmad, 2001; Kim & Kang,

2003). Bagi para individu dengan penyakit kronis, mereka seolah hidup dengan “kehidupan ganda”. Sourkes dalam penelitiannya menjelaskan

tentang kondisi yang dirasakan oleh individu dengan penyakit kronis, yaitu keinginan mereka untuk menjadi normal dalam kehidupan sehari-hari, dan pada saat yang sama, mereka harus hidup bersama dengan penyakit yang membuat mereka tampak “abnormal” dari penyakitnya (Sourkes, et al., 2005;

Sourkes, 2007).

(53)

terapi yang sebelumnya ia terima tanpa banyak kesulitan (Michaud, Suris & Viner, 2007). Demi menunjukkan dirinya yang normal, remaja dengan penyakit kronis mencoba untuk menghadapi berbagai keterbatasan yang diberikan oleh penyakit, yang terkadang mengarah pada sikap menolak proses terapi (Taylor, et al., 2008).

D. Keengganan dalam Proses Terapi

1. Keengganan proses terapi (Non-compliant Behaviour)

Individu dengan penyakit kronis akan menemui suatu “proses yang terus

berlanjut serta terus bergeser dimana individu akan mengalami suatu interaksi dua arah antara dirinya dan dunianya” (Paterson, 2001 dalam Kralik, Telford,

& Koch, 2005). Lebih lanjut, melalui proses ini, individu akan merasakan adanya pergeseran perspektif dan cara mereka memaknai segala pengalamannya. Pergeseran ini bersifat dinamis, bisa berujung pada dua titik: pentingnya menjalani dan mempertahankan hidup atau jenuh terhadap proses berulang serta menyerah untuk berjuang. Pengalaman proses terapi yang terus berulang menghadirkan kejenuhan dan perasaan tidak lagi ingin melakukan terapi. Kejenuhan ini menjadi landasaan dari munculnya perasaan enggan untuk menjalani satu-satunya cara bertahan hidup mereka dengan penyakit kronis, yakni proses terapi.

(54)

situasi kejenuhan yang dirasakan dan mengarahkannya pada pilihan untuk tidak menjalani proses terapi. Secara konseptual, sikap yang ditunjukkan oleh individu dengan penyakit kronis seringkali dilihat sebagai “non-compliance behaviour” (NCB). Non-compliance behaviour dapat dimengerti sebagai “sejauh mana perilaku seseorang memiliki ketepatan dengan nasihat medis”

(55)
(56)

yang akan terjadi dalam situasi klinis tertentu, adalah langkah pertama untuk mengatasi masalah ini.

2. Ketidakteraturan terapi pada penderita thalassaemia mayor

Rutinitas setiap individu thalassaemia mayor dalam menjalani proses terapi bergantung pada kondisi fisik masing-masing penderita (seperti: usia, berat badan, kadar zat besi dan haemoglobin). Namun, setidaknya secara garis besar, mengikuti paparan Gandi (2007), rutinitas proses pengobatan yang harus mereka jalani dapat dijabarkan sebagai berikut.

1. Tranfusi Darah

(57)

2. Terapi kelasi : a. Terapi kelasi oral

Secara umum, terapi kelasi yang dilakukan secara oral terdiri dari dua jenis yaitu ferriprox atau exjade. Dosis yang diberikan untuk setiap obatnya sangat bergantung pada kondisi fisik masing-masing penderita. Pada umumnya, ferriprox diminum 3 kali sehari. Untuk exjade, jenis ini lebih praktis karena hanya diminum sekali sehari.

b. Terapi kelasi desferal

Idealnya terapi kelasi jenis injeksi (suntikan desferal) diberikan lima hari dalam seminggu di sepanjang hidup penderita. Biasanya desferal digunakan selama 8-12 jam setiap kali selama minimal 5 hari per minggu.

(58)

E. Pencarian makna hidup menurut Frankl

Seseorang yang mencari rujukan mengenai pencarian makna hidup tentu tidak akan asing lagi dengan gagasan Viktor Frankl. Pendekatan Frankl menekankan pentingnya kemauan untuk menemukan arti, suatu sistem yang dinamakannya logotherapy. Pendekatan logotherapy secara umum berfokus pada motivasi individu untuk menemukan makna dalam hidupnya. Kata “logos” yang diambil dari bahasa Yunani bisa diterjemahkan sebagai kata “arti” (meaning). Kemudian logotherapy berbicara tentang arti dari eksistensi manusia dan kebutuhan manusia akan arti beserta teknik terapeutik untuk menemukan arti dalam suatu kehidupan (Schultz, 1991).

Frankl mengutip Nietzche yang pernah mengemukakan “dia yang memiliki

(59)

untuk memilih suatu sikap atau cara bereaksi terhadap takdir kita, kebebasan untuk memilih cara kita sendiri (Schultz, 1991).

Menurut Frankl (1972) setiap pengalaman adalah baru dan membutuhkan respon tersendiri. Seseorang yang sehat selalu memperjuangkan tujuan yang memberikan makna dari kehidupannya. Ia akan mampu untuk meningkatkan tegangan dan bukan mereduksi tegangan batinnya. Frankl menambahkan bahwa perjuangan dalam meningkatkan tegangan ini, secara terus-menurus akan menghasilkan kehidupan yang penuh semangat dan bahagia.

Tanpa adanya pemaknaan atas hidup, maka tidak ada alasan untuk tetap hidup. Frankl percaya bahwa dalam menghadapi situasi yang tidak dapat diubah sekalipun, bahkan sangat traumatis sekalipun, individu mampu bangkit atas dirinya sendiri karena tidak akan ada yang menghambat perkembangan diri individu, ketika individu tersebut memiliki kemauan untuk menemukan makna atau will to meaning (Frankl, 1972). Bagi Frankl, bukan makna hidup itu sendiri yang menjadi tujuan akhir, tetapi yang lebih penting adalah kemauan individu untuk selalu menemukan makna dalam hidupnya (Schultz, 1991).

(60)

yang satu dan momen berikutnya. Suatu kehidupan yang penuh arti ditentukan oleh kualitasnya, bukan oleh usia yang panjang.

F. Penelitian tentang Thalassaemia

Penelitian mengenai thalassaemia telah banyak dilakukan. Hanya saja, penelitian yang berfokus pada pengalaman psikologis dari individu dengan thalassaemia mayor masih jarang dilakukan, terutama pengalaman psikologis

selama menjalani proses berobat. Berbagai penelitian yang peneliti temui terkait kondisi psikologis justru lebih mengedepankan faktor-faktor di luar diri individu seperti keluarga dan caregiver serta keterkaitan antara individu dengan penyakit dan lingkungan (Prasomsuk, et al., 2006; Widiyati, et al., 2011; Ammad, et al., 2014; Ishfaq, et al., 2014; Anum & Dasti, 2015;). Penelitian-penelitian ini cenderung memaparkan berbagai pengalaman dan tekanan yang dialami oleh orangtua dengan adanya thalassaemia yang dimiliki oleh anak mereka. Pengalaman dan dinamika psikologis anak thalassaemia sebagai individu yang mengalami langsung dan merasakan dampak dari sakit justru tidak mendapatkan sorotan yang cukup. Hal ini penting untuk disadari mengingat dengan melihat dari sudut pandang orangtua, berbagai cara pandang, pengalaman dan perasaan individu dengan thalassaemia sebagai seseorang yang memiliki sakit justru dikesampingkan dan hilang dari sorotan.

(61)

thalassaemia mayor tidak melakukan aktivitas sesuai kehendak mereka, juga

(62)

psikososial sangat penting untuk membantu tekanan emosional yang dirasakan oleh oleh penderita dan keluarga penderita. (Khurana, et al., 2006; Gharaibeh, et al., 2009; Wahab, et.al, 2011; Indanah, et al., 2012). Penelitian-penelitian yang telah dipaparkan cukup berperan dalam menghadirkan informasi mengenai kondisi individu dengan thalassaemia khususnya berkenaan dengan aspek psikososial. Namun demikian, ada kelemahan yang begitu mendasar, khususnya pada penelitian-penelitian yang menyuguhkan informasi dari sudut pandang pasien thalassaemia. Bila dilihat secara seksama bisa tampak bahwa penelitian-penelitian tersebut kurang memberikan penjelasan secara lebih mendetail mengenai kondisi individu (seperti pada Mussalam, Cappellini, & Taher, 2008) dan secara umum hanya menunjukkan bentuk dan jenis respons atas masalah atau penggolongan atas respons tanpa menghadirkan penjelasan yang cukup mengenai mengapa dan bagaimana hal tersebut dapat muncul (dalam Khurana, Katyal, & Marwaha, 2006; Gharaibeh, et al., 2009; Mulyani & Fahrudin, 2011; Wahab, et.al, 2011; Indanah, et al., 2012). Kelemahan ini mendasari kurangnya pemahaman yang dapat diraih mengenai dinamika psikologis invidu thalassaemia secara lebih mendalam berdasar pengalaman riil mereka.

(63)

sama yakni para penderita thalassemia memiliki pandangan yang positif tentang masa depan mereka. Mereka berekspektasi telah memiliki pekerjaan dan tujuan karir, menjalani hubungan pernikahan, melakukan hubungan seksual dan menjadi orangtua suatu hari nanti. (Bush, et al., 1998). Penelitian Pramita (2008) dan Bush, et.al (1998) setidaknya memiliki dua keunggulan yang patut diapresiasi. Pertama, dengan menggali hal-hal berkaitan dengan harapan serta orientasi masa depan individu thalassaemia, secara tidak langsung, para peneliti menunjukkan cara pandang atas individu thalassaemia secara positif. Para peneliti melihat individu dengan thalassaemia sebagai seseorang yang sedang berjuang atas hidupnya serta masih memiliki harapan dan juga masa depan. Kedua, dengan mengambil sikap seperti di atas hasil dari penelitian mereka juga memungkinkan refleksi publik awam maupun caregiver. Khususnya kesadaran dan pemahaman terhadap berbagai impian yang ingin diraih individu dengan thalassaemia dan bagaimana mereka melihat dirinya di masa depan.

(64)

pengalaman psikologis individu thalassaemia secara begitu mendetail dan komprehensif dibandingkan penelitian lainnya. Hanya saja, usaha eksplorasi yang mendetail tersebut memiliki kelemahan terkait pembahasan yang dilakukan. Dalam penelitian tersebut, hasil yang cukup menyeluruh tidak diiringi fokus utama pembahasan yang cukup jelas. Di sisi lain, meskipun penelitian ini memberikan pemaparan mengenai pengalaman psikologis, ada penekanan utama yang diarahkan kepada interaksi individu thalassaemia dengan lingkungannya. Hal ini memiliki implikasi kurangnya porsi pembahasan mengenai dinamika psikologis individu thalassaemia itu sendiri terkait pengalaman sakitnya.

(65)

46

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A.Strategi Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengeksplorasi pengalaman yang dirasakan oleh remaja dengan thalassaemia mayor dalam menjalani proses pengobatan. Untuk mendapatkan gambaran dari masalah penelitian ini, diperlukan penggalian yang mendalam sehingga informasi mengenai pengalaman remaja dengan thalassaemia mayor dalam menjalani proses pengobatan dapat diperoleh secara lengkap dan menyeluruh. Hal tersebut dapat dicapai melalui desain penelitian kualitatif. Penelitian kualitatif bertujuan menggambarkan suatu permasalahan secara menyeluruh (Cresswell, 2014). Pendekatan kualitatif lebih memungkinkan peneliti untuk mempelajari isu-isu informan secara lebih mendalam dan juga dan diperolehnya informasi yang kaya dan mendetail tentang individu dan kasus yang diteliti (Patton, 2002). Oleh karena itu, dengan menggunakan pendekatan kualitatif, peneliti mengharapkan diperolehnya informasi bukan hanya pemahaman mendalam mengenai pikiran dan perasaan selama proses pengobatan saja, tetapi juga pandangan akan hal-hal yang mampu mendorong mereka berobat, alasan utama yang mempengaruhi keengganan dalam menjalani proses pengobatan serta makna pengobatan itu sendiri bagi remaja dengan thalassaemia mayor.

(66)

pendekatan fenomenologi interpretatif bertujuan untuk mengeksplorasi pandangan individu akan dunianya serta memahami perspektif pribadi tentang suatu pengalaman yang dialami, khususnya dalam penelitian ini mengenai pengalaman remaja thalassaemia mayor dalam menjalani proses pengobatan. Keunggulan pendekatan IPA dalam menguraikan pengalaman informantif individu inilah yang menjadi kekuatan peneliti untuk memahami secara lebih dekat pengalaman remaja dengan thalassaemia mayor saat menjalani proses pengobatan sekaligus menangkap gambaran proses mereka dalam menghadapi kondisi tersebut.

B.Keunggulan Interpretative Phenomenology Analysis (IPA) dalam penyakit kronis

Interpretative Phenomenology Analysis (IPA) bertujuan untuk menciptakan

Gambar

Tabel 2. Demografi informan ..............................................................................66
Tabel 1

Referensi

Dokumen terkait