• Tidak ada hasil yang ditemukan

Masalah yang dialami penderita thalassaemia mayor

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

B. Tentang Thalassaemia

3. Masalah yang dialami penderita thalassaemia mayor

a. Masalah fisik

Kondisi penyakit thalassaemia sebagai sebuah penyakit yang diderita sejak umur kurang dari 1 tahun dan berlangsung seumur hidup

membuat para penderita thalassaemia mayor mengalami berbagai masalah. Salah satu masalah yang harus dihadapi berkaitan dengan

keadaan fisik mereka. Pada umumnya, penderita thalassaemia mayor

terlihat pucat dan kelelahan serta tidak memiliki kemampuan untuk

melakukan pekerjaan yang berat. Kondisi ini menyebabkan penderita

thalassaemia mayor tidak diperbolehkan untuk melakukan aktivitas fisik yang berlebihan (Vullo, et al., 1995). Penderita juga mengalami gangguan

tumbuh kembang dengan perawakan tubuh yang pendek, sedangkan anak

yang mendapatkan tranfusi darah secara teratur pertumbuhannya normal

dengan daya tahan tubuh yang lebih baik sehingga tidak mudah sakit

(Gandi, 2007).

Tranfusi darah yang diperlukan seumur hidup menyebabkan

kelebihan zat besi pada para penderitanya. Selain itu, para penderita yang

sudah sering mendapatkan transfusi kelebihan zat besi ini akan ditumpuk

di jaringan-jaringan tubuh. Penumpukan zat besi terjadi pada organ-organ

tubuh seperti jantung, hati, ginjal, limpa, sumsum tulang, dan kulit (Vullo,

et al., 1995; Pramita, 2008). Ketika banyak zat besi disimpan dalam

jantung, jantung jadi membesar dan terkadang berdetak tidak teratur.

Akhirnya, jika zat besi terus disimpan disana, jantung menjadi tidak

mampu memompa darah disekitarnya dengan cepat dan menyebabkan

kegagalan fungsi jantung. Oleh karena itu, pasien yang ditranfusi dengan

baik namun tidak sering menggunakan desferal biasanya meninggal pada

umur dua puluhan (Vullo, et al., 1995).

Selain itu, penumpukan zat besi di kulit juga dapat mengakibatkan

lengkap. Hal tersebut merupakan efek dari kelebihan zat besi pada sel

pigment di kulit. Masalah ini akan berkurang atau hilang semuanya setelah

penderita mulai menggunakan perawatan desferal secara teratur (Vullo, et

al., 1995).

Gangguan lain muncul pula pada organ hati dan limpa. Perut

penderita buncit akibat pembesaran hati dan limpa. Hati kadang membesar

dengan ukuran sedang hingga berat, kulit berwarna kuning. Masalah hati

disebabkan oleh virus yang ditularkan melalui tranfusi darah, dan oleh

kelebihan zat besi. Hepatitis C adalah infeksi paling utama yang dapat

menyebabkan masalah hati (Vullo, et al., 1995). Limpa berfungsi

menghancurkan sel darah merah yang sudah rusak. Pada penderita

thalassaemia mayor, sel darah merah yang rusak sangat berlebihan sehingga limpa perlu memproduksi sel darah merah yang lebih banyak.

Kondisi ini membuat kerja limpa menjadi sangat berat. Akibatnya limpa

semakin lama semakin membengkak (Gandi, 2007).

Selain efek pada limpa, masalah lain yang timbul pada penderita

thalassaemia mayor adalah pada sumsum tulang. Sumsum tulang pipih di muka sebagai pabrik sel darah merah akan berusaha memproduksi sel

darah merah sebanyak-banyaknya sebagai kompensasi dari kurangnya sel

darah merah dalam tubuh. Akibatnya sumsum tulang ini akan membesar

dan memberikan bentuk muka mongoloid yang merupakan wajah khas

thalassaemia mayor. Tulang dahi, belakang kepala, dan tulang pipi yang menonjol, sehingga batang hidung penderita tampak masuk kedalam dan

jarak antara kedua mata menjadi jauh serta pertumbuhan tulang rahang

atas berlebihan sehingga posisi gigi maju ke depan (Gandi, 2007).

Banyak penderita thalassaemia tidak berkembang normal pada masa pubertas. Hal ini dikarenakan kelebihan zat besi yang telah merusak

kelenjar endokrin yang mengontrol kematangan seksual, atau kelenjar

lainnya yaitu kelenjar sex itu sendiri (Vullo, et al., 1995). Sekitar 50-75%

penderita thalassaemia mayor mengalami pubertas terlambat akibat penimbunan besi dalam kelenjar endokrin. Pada anak perempuan,

payudara belum bertumbuh walaupun sudah mencapai usia 13 tahun,

waktu menstruasi juga terlambat bahkan sebagian penderita perempuan

tidak bisa menstruasi karena ovuriumnya terganggu. Pada anak laki-laki,

testis tidak tampak membesar walaupun sudah berusia 14 tahun. Untuk

mencegah timbulnya pubertas tersebut, maka penderita harus memperbaiki

gizinya, meningkatkan keadaan kesehatannya dengan pemberian tranfusi

darah serta terapi kelasi yang teratur sejak awal agar tercapai kematangan

seksual yang normal pada waktunya (Gandi, 2007).

b. Masalah psikologis

Selain berbagai dampak fisik dari adanya penyakit thalassaemia,

persoalan psikologis juga muncul pada penderita thalassaemia ini. Tubuh yang terlihat kerdil dan pucat karena kekurangan darah, bentuk wajah

mongoloid akibat kelainan pada tulang wajah dan juga kulit yang

menghitam akibat penumpukan zat besi dapat menyebabkan rendahnya

membuat mereka merasa berbeda dengan teman-teman yang lain (Vullo, et

al., 1995). Permasalahan yang berhubungan dengan sekolah turut menjadi

isu yang penting bagi penderita thalassaemia. Sebesar 70% penderita

thalassaemia mengalami kecemasan mengenai sekolahnya, terutama pada kegiatan akademik dan olah raga (Gharaibeh, et al., 2009). Terapi rutin

yang harus dilakukan serta kondisi fisik yang mudah lelah membuat

kegiatan sekolah dan berbagai aktivitas lain seringkali terhambat.

(Khurana, et al., 2006).

Peralihan pada masa remaja menuju dewasa memunculkan persepsi

baru pada penderita thalassaemia khususnya mengenai orientasi terhadap masa depan. Penelitian menemukan adanya persepsi dari individu dengan

thalassaemia bahwa mereka akan sulit mendapatkan pekerjaan yang mereka inginkan. Kesulitan yang dihadapi muncul karena terhambatnya

kondisi fisik serta terbatasnya kemampuan akademik. Persepsi inilah yang

memunculkan keinginan untuk menikah pada penderita menjadi kecil

karena masalah fisik dan kondisi keuangan mereka di masa yang akan

datang mereka pandang sebagai suatu kondisi yang memburuk (Khurana

et al., 2006; Fung, et al., 2008)

Thalassaemia mayor merupakan penyakit seumur hidup, penerimaan keluarga dan penderita terhadap diagnosis penyakit serta cara pengobatan

sangat mempengaruhi kelangsungan hidup penderita. Dukungan

psikologis dalam hal ini tentunya menjadi satu kebutuhan yang diperlukan

masalah emosi yang semakin meningkat pada setiap tahap perkembangan

kehidupan penderita. Penderita akan merasa bahwa mereka adalah orang

yang sangat berbeda, terbatas, atau terisolasi dari orang-orang di

sekitarnya. Penderita akan cepat mengalami depresi, diikuti perasaan

marah terhadap kenyataan yang terjadi dalam hidupnya (Pramita, 2008).

Di sepanjang usia kehidupannya, para penderita thalassaemia mayor

harus mendapatkan perawatan secara terus menerus. Kondisi ini

menghadirkan kebutuhan atas bantuan dari keluarga untuk perawatan

klinis secara rutin seperti tranfusi darah dan terapi kelasi. Penelitian terkait

hal ini mengilustrasikan perlakuan yang diberikan oleh keluarga pada para

penderita. Dalam penelitiannya, penderita thalassaemia mayor cenderung diperlakukan overprotektif, dimanjakan dan diberikan perhatian yang

berlebihan oleh kedua orangtua mereka (Prasomsuk et al., 2007).

Perlakuan yang diberikan oleh keluarga ini yang kemudian membuat para

individu dengan thalassaemia mayor mengalami proses pengembangan diri yang lebih lambat.

Berkenaan dengan hubungan dengan orang terdekat, muncul

berbagai penekanan dari penderita thalassaemia maupun keluarga bahwa masa remaja ialah periode yang sulit. Orientasi pemikiran yang bergeser

dan membuat remaja mulai berpikir dengan cara orang dewasa memegang

peranan mengenai hal ini. Sikap tidak patuh secara umum, termasuk dalam

proses terapi, kemudian dimungkinkan muncul karena tepat di masa ini

jawab ke tangan mereka. Munculnya perasaan menghadapi suatu kesulitan

juga nampak dalam hubungan pertemanan individu penderita

thalassaemia. Di masa remaja, individu umumnya akan memiliki

kecenderungan untuk menghabiskan waktunya tidak di rumah dan

memiliki penekanan untuk beraktivitas bersama dengan teman sebayanya.

Hal ini turut menjadi pendukung munculnya perasaan ingin menjadi

seperti teman sebaya mereka (Pramita, 2008). Selain itu, penemuan lain

menunjukkan bahwa penderita thalassaemia mayor kerap merasa tertekan maupun mudah marah. Tak hanya itu menunjukkan bahwa posisi tertekan

juga tampak dari kecenderungan para penderita thalassaema mayor juga sering memikirkan kematian serta kemungkinan bunuh diri pada tahun-

tahun terakhir. Kesejahteraan psikologis penderita akan terganggu karena

berada di antara kehidupan dan kematian (Ghanizadeh, 2007 dalam

Pramita, 2008).

C. Penyesuaian Individu Terhadap Penyakit Kronis

Dokumen terkait