• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

F. Penelitian tentang Thalassaemia

Penelitian mengenai thalassaemia telah banyak dilakukan. Hanya saja, penelitian yang berfokus pada pengalaman psikologis dari individu dengan

thalassaemia mayor masih jarang dilakukan, terutama pengalaman psikologis selama menjalani proses berobat. Berbagai penelitian yang peneliti temui terkait

kondisi psikologis justru lebih mengedepankan faktor-faktor di luar diri individu

seperti keluarga dan caregiver serta keterkaitan antara individu dengan penyakit dan lingkungan (Prasomsuk, et al., 2006; Widiyati, et al., 2011; Ammad, et al., 2014; Ishfaq, et al., 2014; Anum & Dasti, 2015;). Penelitian-penelitian ini

cenderung memaparkan berbagai pengalaman dan tekanan yang dialami oleh

orangtua dengan adanya thalassaemia yang dimiliki oleh anak mereka.

Pengalaman dan dinamika psikologis anak thalassaemia sebagai individu yang mengalami langsung dan merasakan dampak dari sakit justru tidak mendapatkan

sorotan yang cukup. Hal ini penting untuk disadari mengingat dengan melihat dari

sudut pandang orangtua, berbagai cara pandang, pengalaman dan perasaan

individu dengan thalassaemia sebagai seseorang yang memiliki sakit justru dikesampingkan dan hilang dari sorotan.

Menjadi seorang penyandang thalassaemia mayor tentu saja berpengaruh terhadap berbagai aspek kehidupan, terutama aspek psikososial. Berbagai terapi

thalassaemia mayor tidak melakukan aktivitas sesuai kehendak mereka, juga mampu berinteraksi sebagaimana orang pada umumnya. Aspek psikososial

seringkali menjadi fokus yang dominan ditemukan dalam penelitian-penelitian

mengenai thalassaemia. Hal-hal ini meliputi aspek psikososial individu yang berkaitan dengan relasi interpersonalnya (Mussalam, Cappellini, & Taher, 2008),

adanya beban dan bentuk reaksi psikososial yang dirasakan (Mulyani & Fahrudin,

2011), dan juga mengenai beban psikososial dan kebutuhan akan dukungan

psikososial. Sebagai ilustrasi, penelitian Khurana, Katyal, & Marwaha (2006)

membahas mengenai beban psikososial pada individu dengan thalassaemia. Mayoritas penderita thalassaemia tidak puas dengan citra tubuh (body image).

Para penderita mengungkapkan bahwa mereka takut akan adanya penolakan dan

ejekan dari teman sebaya karena penampilan fisik mereka. Selain itu adapula

hambatan yang dialami karena penderita thalassaemia diharapkan tidak melakukan kegiatan yang menguras energi, karena akan berakibat pada kondisi

fisik mereka. Adapun penelitian yang dilakukan oleh Gharaibeh, Amarneha, &

Zamzam (2009) menunjukkan bahwa beban yang dirasakan oleh penderita

thalassemia mempengaruhi berbagai aspek dalam kehidupan mereka seperti

edukasi, cuti sekolah, kemampuan dalam hal olahraga, perasaan berbeda dari

rekan sebaya dan saudara, interaksi sosial, penyesuaian keluarga, kecemasan,

isolasi, dan stigmatisasi. Tidak hanya pasien, beban psikososial juga dirasakan

pula pada keluarga penderita. Thalassaemia menjadi peristiwa stress yang

dihadapi orangtua dan mereka tidak menggunakan mekanisme koping yang

psikososial sangat penting untuk membantu tekanan emosional yang dirasakan

oleh oleh penderita dan keluarga penderita. (Khurana, et al., 2006; Gharaibeh, et

al., 2009; Wahab, et.al, 2011; Indanah, et al., 2012). Penelitian-penelitian yang

telah dipaparkan cukup berperan dalam menghadirkan informasi mengenai

kondisi individu dengan thalassaemia khususnya berkenaan dengan aspek psikososial. Namun demikian, ada kelemahan yang begitu mendasar, khususnya

pada penelitian-penelitian yang menyuguhkan informasi dari sudut pandang

pasien thalassaemia. Bila dilihat secara seksama bisa tampak bahwa penelitian- penelitian tersebut kurang memberikan penjelasan secara lebih mendetail

mengenai kondisi individu (seperti pada Mussalam, Cappellini, & Taher, 2008)

dan secara umum hanya menunjukkan bentuk dan jenis respons atas masalah atau

penggolongan atas respons tanpa menghadirkan penjelasan yang cukup mengenai

mengapa dan bagaimana hal tersebut dapat muncul (dalam Khurana, Katyal, &

Marwaha, 2006; Gharaibeh, et al., 2009; Mulyani & Fahrudin, 2011; Wahab, et.al,

2011; Indanah, et al., 2012). Kelemahan ini mendasari kurangnya pemahaman

yang dapat diraih mengenai dinamika psikologis invidu thalassaemia secara lebih mendalam berdasar pengalaman riil mereka.

Penelitian lain dilakukan oleh Pramita (2008) mengenai harapan pada

remaja penyandang thalassaemia mayor. Dari hasil penelitian ditemukan adanya

harapan yang tinggi pada para remaja penyandang thalassaemia mayor. Dari empat informan yang berpartisipasi dalam penelitian, keempat informan memiliki

karakteristik optimisme, self-esteem, dan afek positif berupa semangat dan antusiasme dalam mencapai tujuan. Penelitian lain juga mengemukakan hal yang

sama yakni para penderita thalassemia memiliki pandangan yang positif tentang

masa depan mereka. Mereka berekspektasi telah memiliki pekerjaan dan tujuan

karir, menjalani hubungan pernikahan, melakukan hubungan seksual dan menjadi

orangtua suatu hari nanti. (Bush, et al., 1998). Penelitian Pramita (2008) dan

Bush, et.al (1998) setidaknya memiliki dua keunggulan yang patut diapresiasi.

Pertama, dengan menggali hal-hal berkaitan dengan harapan serta orientasi masa

depan individu thalassaemia, secara tidak langsung, para peneliti menunjukkan cara pandang atas individu thalassaemia secara positif. Para peneliti melihat individu dengan thalassaemia sebagai seseorang yang sedang berjuang atas hidupnya serta masih memiliki harapan dan juga masa depan. Kedua, dengan

mengambil sikap seperti di atas hasil dari penelitian mereka juga memungkinkan

refleksi publik awam maupun caregiver. Khususnya kesadaran dan pemahaman terhadap berbagai impian yang ingin diraih individu dengan thalassaemia dan

bagaimana mereka melihat dirinya di masa depan.

Selain persoalan mengenai harapan, penelitian lain yang dilakukan oleh

Lestari (2013) menyuguhkan informasi lain mengenai pengalaman psikologis

individu dengan thalassaemia dalam menghadapi sakitnya serta interaksinya dengan anggota keluarga yang merawatnya. Dari penelitian yang dilakukan ini

reaksi lingkungan sekitar dan keluarga menjadi hal penting yang mendasari

pemahaman terhadap kondisi diri. Penekanan yang berbeda yang diberikan ialah

adanya spritualitas menjadi titik penting bagi pemaknaan atas kondisi sakit serta

turut serta dalam pembentukan perilaku. Penelitian Lestari (2013) merupakan

pengalaman psikologis individu thalassaemia secara begitu mendetail dan komprehensif dibandingkan penelitian lainnya. Hanya saja, usaha eksplorasi yang

mendetail tersebut memiliki kelemahan terkait pembahasan yang dilakukan.

Dalam penelitian tersebut, hasil yang cukup menyeluruh tidak diiringi fokus

utama pembahasan yang cukup jelas. Di sisi lain, meskipun penelitian ini

memberikan pemaparan mengenai pengalaman psikologis, ada penekanan utama

yang diarahkan kepada interaksi individu thalassaemia dengan lingkungannya. Hal ini memiliki implikasi kurangnya porsi pembahasan mengenai dinamika

psikologis individu thalassaemia itu sendiri terkait pengalaman sakitnya.

46

Dokumen terkait