• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

(keakuratan transkrip, hubungan antara rumusan masalah dan data, tingkat analisis

K. Pedoman wawancara

1. Untuk mengetahui pengetahuan dan pemahaman informan mengenai

thalassaemia

a.Sejak umur berapa didiagnosis menderita Thalassaemia Mayor?

b.Sejauh ini, apa yang kamu ketahui tentang penyakit Thalassaemia?

c.Perawatan seperti apa saja yang perlu dilakukan untuk menjaga kondisi

diri agar tetap sehat?

d.Sejauh ini, bagaimana usaha yang sudah (informan) lakukan untuk

menjaga kondisi diri?

2. Untuk mengeksplorasi tantangan yang dihadapi oleh informan dan respon

informan selama menjalani proses terapi

a.Sejauh ini, kendala (tantangan) seperti apa yang (informan) hadapi saat

menjalani terapi?

 Jika gak ada, maksudnya ga ada kendala gimana?  Jika iya, kendala apa?

b.Sejauh ini, pengaruh apa saja yang (informan) rasakan terkait penyakit

Thalassaemia? (secara fisik, sosial, psikologis)

c.Bagaimana upaya yang biasanya (informan) lakukan untuk mengatasi

kendala-kendala tersebut?

3. Untuk mengetahui cara pandang informan atas pengalaman hidup

a.Bagaimana perasaan saat memahami kondisi diri sebagai penderita

thalassaemia?

4. Untuk mengetahui cara pandang informan atas proses terapi

a.Selama ini (informan) sudah menjalani berbagai proses terapi, bagi

(informan) makna terapi itu apa?

b.Coba ceritakan pikiran dan perasaan yang dirasakan (biasanya muncul)

selama melakukan proses terapi hingga saat ini?

c.Menurutmu, kenapa perasaan-perasaan itu bisa muncul (terjadi)?

d.Selama ini menjalani terapi (minum obat, desferal, tranfusi) sebenarnya

untuk siapa? (apa yang membuatmu tetap bertahan untuk berobat hingga

saat ini) (diri sendiri atau orang lain)

e.Dengan apa yang sudah kamu ceritakan tadi, Kalau ada level 1-10, kira-

kira kamu menilai semangatmu menjalani terapi dimana sekarang?

Kenapa?

5. Untuk mengetahui alasan dan sikap informan terhadap keengganan dalam

menjalani terapi

a.Sejak kapan enggan berobat?

b.Menurut (informan) apa yang membuat itu terjadi?

c.Apa yang biasanya kamu lakukan jika mulai merasa enggan berobat?

d.Bisa ceritakan hal-hal apa sajakah yang kamu butuhkan dan mampu

mendorong (informan) berobat secara teratur?

e.Seandainya ada orang lain yang bisa membantumu, kira-kira hal apa yang

bisa orang lain lakukan untuk mendorongmu menjalani terapi (minum

6. Untuk mengetahui peran keluarga dan orang terdekat dalam konteks

menjalani hidup dengan thalassaemia

a. Bagaimana peran atau apa saja yang dilakukan oleh keluarga, terkait

kondisimu dengan penyakit thalassaemia? (Kedekatan dengan keluarga atau orang terdekat)

b. Adakah batasan-batasan tertentu yang kamu atau keluargamu berikan

untuk dirimu sendiri terkait penyakit thalassaemia? Apa yang kamu rasakan terkait hal itu (membantu atau justru menghambat)? Bagaimana

kamu menghadapinya (Respon)?

c. Ada orangtua, sahabat, keluarga, pacar, menurut (Informan), kehadiran

mereka seberapa besar dalam hidupmu sejauh ini?

d. Harapanmu, pengennya berapa besar mereka bisa hadir untukmu?

7. Untuk melihat gambaran informan terhadap diri dan masa depan

a. Adakah impian-impian yang ingin dicapai dalam hidup?

 Jika ga ada : Sama sekali ga ada? Ada sesuatu yang kamu inginkan dalam hidup?

 Seberapa penting impian (mimpi) ini untukmu?

 Punya bayangan dirimu 5 tahun mendatang kamu seperti apa? Kira-kira apa yang kamu capai?

b. Bagaimana informan melihat dirinya saat ini?

c. Kamu pernah membayangkan (mengalami) ada seorang sahabat yang juga

Kalau boleh tahu, bagaimana responmu saat mendengar hal tersebut?

perasaan, sikap, respon, tanggapan)

8. Pertanyaan penutup untuk mengetahui harapan informan terkait proses terapi

dan antisipasi atas hal-hal yang ingin informan sampaikan di luar pertanyaan

penelitian.

a. Kalau aku Aladin dan aku bisa mengabulkan tiga permintaanmu, selain

permintaan akan kesembuhan penyakit (karena mungkin di Negeri Aladin

juga belum bisa menyembuhkan), hal apa yang akan kamu minta terkait

penyakit mu atau proses terapi?

63

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

Bab ini akan menjelaskan mengenai pelaksanaan penelitian dan hasil dari

penelitian yang telah dilakukan. Selanjutnya dilakukan analisis terhadap data yang

telah didapatkan oleh peneliti. Pada bagian terakhir, kemudian akan dilakukan

pembahasan.

A. Persiapan Dan Pelaksanaan Penelitian

1. Persiapan dan perizinan

Dalam penelitian ini, peneliti melibatkan tiga orang remaja

thalassaemia mayor sebagai informan. Sebelum melakukan pengambilan data, peneliti meminta kesediaan informan dengan penandatanganan

informed consent untuk terlibat dalam penelitian. Dalam proses ini, informed consent dibacakan oleh peneliti. Peneliti menjelaskan setiap poin yang terjabarkan dalam lembar informed consent sehingga informan memahami semua proses dan konsekuenesi dari penelitian yang akan dilakukan. Selain

meminta kesediaan informan, peneliti juga meminta izin secara formal

kepada setiap orangtua dari informan.

Dalam proses persiapan penelitian, peneliti melakukan pendekatan

kepada informan untuk memperoleh informasi yang mendalam. Hal ini

dilakukan sehingga kepercayaan dan keterbukaan informan pada peneliti

dapat terwujud. Pendekatan yang dilakukan oleh peneliti bermula dari

dalam komunitas Perhimpunan Orangtua Penderita Thalassaemia Indonesia

(POPTI) di Kalimantan Barat serta komunikasi yang intens. Pada proses

pengambilan data, peneliti membebaskan informan untuk menentukan waktu

dan tempat pengambilan data. Peneliti juga mengawali pengambilan data

dengan memberi pemahaman kepada setiap informan mengenai tujuan dari

penelitian yang dilakukan. Selanjutnya, demi memberikan kenyamanan pada

informan sebelum menceritakan hal-hal mengenai dirinya saat wawancara,

peneliti selalu melakukan rapport awal. Rapport berupa pertanyaan sederhana mengenai kondisi informan saat itu, aktivitas yang dilakukan

informan sebelumnya, ataupun pertanyaan mengenai kegemaran yang disukai

dan lain sebagainya. Setelah rapport dirasa cukup, peneliti baru akan memulai proses wawancara.

Selama wawancara, peneliti menggunakan teknik wawancara semi

terstruktur yang lebih memberikan keleluasaan bagi peneliti untuk

menentukan alur wawancara yang nyaman bagi informan dan melakukan

probing. Selama proses wawancara berlangsung, setiap kali informan merasa sedih saat mengingat pengalaman tidak menyenangkan, peneliti akan

memberikan waktu jeda dan berusaha untuk menghadirkan ketenangan dan

juga penghiburan bagi informan. Atas izin dari para informan, peneliti

menggunakan alat perekam berupa ponsel untuk merekam proses wawancara.

Hasil rekaman suara tersebut kemudian akan di transkrip oleh peneliti

sehingga menghasilkan dokumentasi tertulis berupa verbatim dan kemudian

2. Pelaksanaan penelitian

Pelaksanaan penelitian dengan tiga informan dilakukan secara terpisah

sesuai dengan kesepakatan antara peneliti dan informan. Berikut ini

merupakan waktu dan tempat pelaksanaan penelitian :

Tabel 1 Pelaksanaan Penelitian No Keterangan Informan 1 (Dd) Informan 2 (Nn) Informan 3 (Fa) 1 Perizinan kepada orangtua dan pendekatan dengan Informan Sabtu, 4 Juni 2016 12.30-13.30 Rumah Dd Kamis, 9 Juni 2016 12.00-12.30 Rumah Nn Jumat, 10 Juni 2016 11.00-12.00 Rumah Fa 2 Wawancara Informan a.Minggu, 5 Juni 2016 15.00-16.30 Taman Universitas Tanjung Pura b. Senin, 13 Juni 2016 16.00-16.30 Rumah Dd c. Kamis, 16 Juni 2016 16.00-16.40 Restoran Sari Bento a. Minggu, 12 Juni 2016 12.30-13.45 Rumah Nn b. Selasa, 14 Juni 2016 15.30-17.30 Killiney Café a. Sabtu, 11 Juni 2016 15.30-17.45 Restoran Sari Bento b. Minggu, 12 Juni 2016 15.30-17.00 Taman Universitas Tanjung Pura

B. Informan Penelitian

1. Demografi Informan

No Keterangan Informan 1 Informan 2 Informan 3

1. Inisial Dd Nn Fa

2. Usia 18 tahun 19 tahun 19 tahun 3. Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan Perempuan

4. Urutan Kelahiran

Anak ke-3 dari tiga bersaudara Anak pertama dari dua bersaudara Anak pertama dari empat bersaudara 5. Pendidikan

Terakhir SMP SMA SMA 6. Pekerjaan Siswa Kasir Mahasiswa 7. Suku Tionghua-Jawa Tionghua Melayu 8. Agama Islam Kristen Islam

9. Usia Orangtua Ayah : 48 th Ayah : 49 th Ayah : 46 th Ibu : 44 th Ibu : 43 th Ibu : 43 th

10. Tingkat Pendidikan

Ayah: SMA Ayah : SD Ayah : SMA

Ibu: SPG Ibu : SD Ibu : Pascasarjana 11. Pekerjaan Ayah: Wiraswasta Ayah: Wiraswasta Ayah : Wiraswasta Ibu : Ibu rumah tangga Ibu : Ibu rumah tangga Ibu : Pegawai Negeri

2. Latar Belakang Informan

Berikut ini adalah tabel yang berisi latar belakang informan mengenai

riwayat penyakit thalassaemia beserta cerita singkat mengenai kondisi informan dalam menjalani pengobatan

a) Informan 1 (Dd)

Dd (18) mulai mendapat diagnosis sebagai penderita thalassaemia sejak usia sembilan bulan. Sejak saat itu, ia mulai menjalani pengobatan sebagai

pasien thalassaemia mayor hingga kini. Adapun pengobatan yang dijalani olehnya yaitu tranfusi darah setiap tiga minggu hingga satu bulan sekali,

penyuntikan desferal, dan konsumsi obat ferriprox, asam folat, Vitamin C, dan Vitamin E. Dalam sebulan, ia membutuhkan tiga hingga empat kantong darah. Pada mulanya, Dd (18) menilai dirinya cukup rajin dalam

menjalani rutinitas pengobatan. Hanya saja, sejak dua tahun yang lalu, ia

mulai merasakan keengganan dalam menjalani pengobatan tersebut.

Penyuntikan desferal yang seharusnya rutin dilakukan setiap 5 kali

seminggu juga jarang dilakukan. Dalam sebulan terakhir, Dd (18) hanya

melakukan penyuntikan desferal sebanyak empat kali. Begitu pula dengan

konsumsi obat yang juga seringkali tidak dilakukan. Menurut orangtua

informan, hal ini dikarenakan sewaktu masih kanak-kanak (6-11 tahun),

Dd (18) masih penurut. Selain itu aktivitas terapi yang dilakukan Dd (18)

juga masih dipandu oleh orangtua. Sejauh ini, kondisi terburuk yang

dialami subjek berupa panas tinggi, badan terasa lemah dan lesu. Keluhan

khusus yang dirasakan bila Dd (18) tidak menjalani pengobatan yaitu

keluhan yang sering dialami selama membimbing anak dalam menjalani

pengobatan yaitu adanya ketidakmauan untuk melakukan penyuntikan

tranfusi, adanya penundaan jadwal tranfusi bila Dd (18) sakit, serta emosi

anak yang sulit dikontrol. Pengontrolan terhadap anak yang dilakukan oleh

orangtua terkait pengobatan yang harus dijalani berupa perhatian yang

lebih terkait kondisi fisik, jenis aktivitas yang dilakukan oleh anak serta

keteraturan dalam mengonsumsi obat dan konsultasi dokter.

b) Informan 2 (Nn)

Nn (20) mulai mendapat diagnosis sebagai penderita thalassaemia sejak usia kurang dari setahun. Sejak saat itu, ia mulai menjalani pengobatan

sebagai pasien thalassaemia mayor hingga kini. Adapun pengobatan yang dijalani oleh Nn (20) yaitu tranfusi darah setiap tiga minggu hingga

sebulan sekali, penyuntikan desferal, dan konsumsi obat ferriprox, asam folat, Vitamin C, dan Vitamin E. Dalam sebulan, ia membutuhkan empat hingga lima kantong darah. Pada mulanya, Nn (20) menilai dirinya cukup

sering dalam menjalani rutinitas pengobatan. Hanya saja, sejak lima tahun

yang lalu, ia mulai merasakan keengganan dalam menjalani pengobatan

tersebut. Penyuntikan desferal yang seharusnya rutin dilakukan setiap 5

kali seminggu juga jarang dilakukan. Begitu pula dengan konsumsi obat

yang juga seringkali tidak dilakukan karena malas dan lupa. Menurut

orangtua, hal ini dikarenakan sewaktu masih kanak-kanak (6-11 tahun),

Nn (20) masih penurut. Selain itu aktivitas pengobatan yang dilakukan Nn

dialami subjek berupa panas tinggi. Keluhan khusus yang dirasakan bila

Nn (20) tidak menjalani pengobatan yaitu meningginya kadar ferritin

dalam tubuh. Sedangkan menurut orangtua, keluhan yang sering dialami

selama membimbing anak dalam menjalani pengobatan yaitu adanya

ketidakmauan untuk melakukan penyuntikan tranfusi, adanya penundaan

jadwal tranfusi dan terapi kelasi, serta emosi anak yang sulit dikontrol.

Pengontrolan terhadap anak yang dilakukan oleh orangtua terkait

pengobatan yang harus dijalani berupa perhatian yang lebih terkait kondisi

fisik, pembatasan jenis aktivitas yang dilakukan oleh anak serta

keteraturan dalam mengonsumsi obat dan konsultasi dokter.

c) Informan 3 (Fa)

Fa (19) mulai mendapat diagnosis sebagai penderita thalassaemia sejak usia dibawah setahun. Sejak saat itu, Fa (19) mulai menjalani pengobatan

sebagai pasien thalassaemia mayor hingga kini. Adapun pengobatan yang dijalani oleh Fa (19) yaitu tranfusi darah setiap dua minggu hingga sebulan

sekali, penyuntikan desferal, dan konsumsi obat exjade, asam folat, Vitamin C, dan Vitamin E. Dalam sebulan, ia membutuhkan empat hingga lima kantong darah. Pada awalnya, menurut penilaian diri sendiri dan juga

orangtuanya, Fa (19) melihat dirinya sering dalam menjalani rutinitas

pengobatan. Hanya saja, sejak empat tahun yang lalu, ia mulai merasakan

keengganan dalam menjalani pengobatan tersebut. Penyuntikan desferal

yang seharusnya rutin dilakukan setiap 5 kali seminggu juga jarang

penyuntikan desferal. Begitu pula dengan konsumsi obat yang meskipun

cukup rutin dilakukan, Fa (19) masih seringkali perlu diingatkan terus

menerus oleh orangtua. Menurut orangtua, hal ini dikarenakan padatnya

aktivitas dan kebosanan yang dialami Fa (19) dalam proses pengobatan.

Sejauh ini, kondisi terburuk yang dialami reponden berupa demam tinggi

yang mempercepat penurunan haemoglobin (HB) dan juga kadar ferritin

yang tinggi dan tentunya memperburuk kondisi tubuh. Menurut orangtua,

keluhan yang sering dialami selama membimbing anak dalam menjalani

pengobatan yaitu adanya keengganan dari anak untuk menjalani

pengobatan atas dasar perasaan bosan serta kesibukan anak yang seringkali

terbentur dengan jadwal pengobatan. Pengontrolan terhadap anak yang

dilakukan oleh orangtua terkait pengobatan yang harus dijalani berupa

konsultasi dokter dan juga pengecekan laboratorium secara rutin mengenai kondisi tubuh anak.

C. Hasil Penelitian

Dari penelitian yang sudah dilakukan, peneliti memperoleh data hasil

wawancara dari setiap informan. Data-data ini kemudian dianalisis oleh peneliti

dengan melalui empat tahap yaitu reading and re-reading, initial noting, developing emergent themes, dan structurizing.

Tahap reading and re-reading dimulai setelah wawancara dengan tiga informan selesai dilakukan. Pada tahap ini, peneliti melakukan transkrip data

wawancara yang kemudian akan dibaca secara berulang kali oleh peneliti untuk

mendalami data. Setelah itu, peneliti melanjutkan dengan tahap initial noting,

yang berarti peneliti mencatat hal-hal bermakna dan membaginya menjadi unit

makna. Bila unit makna telah diperoleh, maka dilihat tema-tema apa saja yang

muncul. Tahap ini disebut dengan developing emergent themes. Setelah tahap tersebut, peneliti kemudian melanjutkan penggambaran secara naratif mengenai

tema-tema yang muncul pada setiap informan. Berikut ini ialah pemaparan secara

naratif setiap informan.

1. Informan Dd (18)

a. Kesadaran akan thalassaemia dan usaha menjaga kondisi fisik

Selama delapan belas tahun sudah, Dd (18) menjalani hidup sebagai

seorang penderita thalassaemia mayor. Ia didiagnosis menderita

thalassaemia mayor sejak usia sembilan bulan. Kelas 5 SD merupakan masa dimana ia mulai paham bahwa dirinya adalah seorang penderita

thalassaemia. Berbagai pengalaman dalam menjalani proses terapi yang harus ia lalui sejak kecil membuatnya sadar akan kondisi sakit yang

dimiliki. Pemahaman Dd (18) akan penyakit saat itu juga terbantu oleh

adanya informasi dari seminar thalassaemia dan penjelasan dari dokter mengenai penyakit tersebut.

Dd (18) memahami penyakit thalassaemia sebagai penyakit yang tidak bisa memproduksi sel darah merah dan merupakan suatu penyakit

genetis. Pemahaman akan thalassaemia dalam dirinya membuat Dd (18) juga menyadari bahwa penyakit tersebut memberikan dampak terhadap

kondisi fisiknya dan menuntut proses pengobatan tertentu. Tranfusi darah

dan konsumsi obat adalah proses terapi yang ia lakukan selama ini. Dd

(18) menjelaskan pula bahwa tranfusi darah adalah hal yang perlu

dilakukan untuk mengatasi kondisi kekurangan darah yang dialami oleh

para penderita thalassaemia. Pemahaman Dd (18) mengenai penyakit dan proses terapi juga diiringi dengan pemahaman akan konsekuensi yang

akan terjadi bila terapi medis tidak dilakukan. Menurut Dd (18), bila ia

belum melakukan tranfusi darah, maka ia akan mudah untuk terserang

penyakit, merasa lemah, tidak bertenaga, dan menjadi sulit untuk

beraktivitas. Penyakit thalassaemia membuat Dd (18) tidak mampu melakukan aktivitas fisik yang berlebihan seperti olahraga dan aktivitas

lainnya yang menguras tenaga. Kondisi ini yang membuat Dd (18) pada

akhirnya sulit bermain futsal- aktivitas yang sesungguhnya sangat ia

gemari sekaligus membuatnya tidak mampu meraih cita-citanya untuk

Dari sudut pandangnya, tujuan pengobatan dipahami sebagai usaha

untuk menjaga kondisi badan tetap sehat—yang coba diraih dengan memenuhi pengobatan-pengobatan yang telah ditentukan. Pemahaman

akan tujuan pengobatan ini sendiri merupakan konsekuensi logis dari

adanya pengetahuan yang dimiliki Dd (18) mengenai obat yang harus

dikonsumsi beserta tujuan dari obat tersebut, seperti Ferriprox, Exjade, Asam Folat, dan Vitamin E. Hal ini juga berkenaan dengan pemahaman Dd (18) atas perbedaan jenis pengobatan, sebagaimana yang ia tunjukkan

terkait pemahaman akan tujuan dari penyuntikan desferal dan kesadaran bahwa penyuntikan desferal lebih efektif membuang zat besi dibandingan terapi oral, yaitu Ferriprox.

b. Pengalaman proses terapi : berjuang hingga sekedar rutinitas

Saat menyadari dirinya sebagai seorang penderita thalassaemia, Dd (18) menyatakan dirinya tidak bersedih hati. Ia tidak sedih karena

menurutnya masih ada hal yang bisa ia perjuangkan dalam hidup, yaitu

kondisi tubuhnya sendiri. Cara pandang ini mendorong Dd (18) untuk

memaknai pengobatan sebagai upaya untuk menjaga kondisi tubuh. Proses

pengobatan adalah sebuah harapan untuk terus hidup. Dengan berobat, Dd

(18) dapat terus melanjutkan hidupnya.

Pandangan bahwa tranfusi dan proses terapi yang dijalani sebagai

suatu kewajiban, adalah suatu cara yang dilakukan Dd (18) untuk

membuat dirinya mau berobat dan tidak lagi merasa malas. Dd (18)

karena proses terapi yang dilakukannya selama ini. Namun, seiring dengan

berjalannya pengobatan yang terus menerus, semenjak SMP Dd (18) mulai

merasakan adanya kejenuhan. Pengobatan yang telah berlangsung sejak

usia kecil membuat Dd (18) menganggap proses terapi sebagai suatu hal

yang monoton. Dd (18) mengibaratkan proses pengobatan layaknya

aktivitas sehari-hari yang sudah seharusnya dilakukan seperti mandi dan

makan. Hal ini berkaitan pula dengan rentang proses pengobatan yang ia

jalani mulai usia 9 bulan hingga masuk ke usia remaja kini. Proses terapi

yang terus berulang inilah yang menimbulkan adanya pergeseran cara

pandang Dd (18) yang awalnya bertekad memperjuangkan badannya saat

usia SD menjadi bosan dan jenuh untuk menjalani proses terapi medis.

c. Rasa sakit dan ketidakleluasaan beraktivitas

Kejenuhan untuk menjalani proses pengobatan diiringi pula dengan

pengalaman-pengalaman negatif terkait terapi medis yang dirasakan Dd

(18). Ingatan mengenai rasa sakit atas penyuntikan merupakan memori

masa kecil yang paling diingat oleh Dd (18) selama proses terapi. Alergi

saat tranfusi yang menimbulkan bentol-bentol, demam dan rasa nyeri di

tulang belakang, rasa sakit serta tangan yang membengkak bila pembuluh

vena sulit di dapat saat mau disuntik adalah cerminan pengalaman negatif

yang dirasakan Dd (18).

Rasa sakit dan waktu yang cukup lama dalam proses penyuntikan

desferal membuat aktivitas Dd (18) untuk mengerjakan PR dan berjalan- jalan menjadi terganggu. Ketidaknyamanan lain muncul dari rasa sakit atas

penyuntikan desferal dan frekuensi penyuntikan yang berulang. Hal ini mendorong Dd (18) memiliki keinginan akan adanya perubahan prosedur

penyuntikan desferal seperti dulu. Menurut Dd (18), awalnya penyuntikan

desferal dilakukan dalam satu waktu (setelah tranfusi langsung desferal) sehingga proses penyuntikan hanya sekali saja, tidak seperti sekarang yang

harus disuntik berulang kali. Dd (18) menegaskan jika proses penyuntikan

desferal dilakukan seperti dulu lagi, ia bersedia untuk melakukan desferal.

Selain itu, bila penyuntikan desferal diganti dengan Exjade, yang dikonsumsi secara oral, Dd (18) menyatakan mungkin saja dirinya akan

lebih rajin berobat karena tidak akan merasakan sakit saat berobat.

Meskipun Dd (18) mengalami pengalaman-pengalaman negatif seperti

yang ia ceritakan, Dd (18) menganggap hal tersebut sudah menjadi risiko

pengobatan berdasar pengalamannya.

d. Kesadaran pribadi : usaha mengatasi keengganan terapi

Dd (18) menyadari bahwa alasannya untuk tidak berobat disebabkan

oleh dirinya sendiri yang tidak mau berusaha untuk minum obat.

Menurutnya, selain motivasi dari dirinya sendiri, tak ada hal lain yang bisa

menjadi pendorong dirinya untuk berobat karena orang lain hanya

berperan sebagai orang yang mengingatkan. Dari sudut pandang Dd (18),

semangat dan kesadaran diri ialah hal yang penting dalam mendorong

dirinya untuk minum obat. Hanya saja, Dd (18) mengakui bahwa

meskipun dirinya sadar akan kondisi tubuh yang harus diperjuangkan,

Kejenuhan yang Dd (18) rasakan selama menjalani proses terapi

mendorong adanya keengganan dalam menjalani proses terapi yang

seharusnya dilakukan. Perasaan enggan yang dirasakan oleh Dd (18) pada

akhirnya menjadi suatu bentuk pengabaian atas proses terapi. Dd (18)

menegaskan bahwa ia tahu ia perlu mengonsumsi obat, tetapi rasa malas

selalu menjadi penghalang untuknya.

Rasa malas adalah hal lain yang membuat Dd (18) enggan berobat.

Rasa malas menurut Dd (18) muncul dari situasi monoton yang

membuatnya merasa capek dan bosan untuk terus melakukan proses terapi.

Rasa malas telah menjadi perasaan dominan yang dirasakan selama

menjalani proses pengobatan. Keengganan untuk minum obat dan rasa

malas ini telah ia rasakan sejak SMP kelas 8, tepatnya sejak usia 15 atau

16 tahun karena tidak adanya perkembangan dari proses pengobatan.

Selain kemalasan untuk desferal¸ bentuk pengabaian atas kondisi diri lainnya yang dilakukan oleh Dd (18) adalah tetap mengkonsumsi

minuman bersoda hingga kekenyangan yang akhirnya menghambat

dirinya untuk minum obat. Persoalan kesadaran tersebut secara tidak

langsung menjadi dasar atas tindakan beresiko yang dilakukan oleh Dd

(18) terkait aktivitas kegemarannya. Aktivitas yang dijalani Dd (18) ia

pandang bukan yang melatarbelakangi kelalaiannya dalam minum obat.

Dd (18) menyatakan bahwa dia tidak akan merasa lelah jika melakukan

e. Sikap membohongi diri sebagai alasan enggan terapi

Penilaian atas semangat diri untuk menjalani proses terapi diletakkan

pada level lima dari sepuluh sebagai level maksimal. Menurut Dd (18),

penilaian ini menggambarkan bahwa dirinya tidak memiliki kesadaran

untuk harus tetap minum obat dan menjalani penyuntikan desferal. Sebagai alasan utama Dd (18) mengungkapkan usaha membohongi diri

Dokumen terkait