BAB II TINJAUAN PUSTAKA
D. Keengganan dalam Proses Terapi
1. Keengganan proses terapi (Non-compliant Behaviour)
Individu dengan penyakit kronis akan menemui suatu “proses yang terus
berlanjut serta terus bergeser dimana individu akan mengalami suatu interaksi
dua arah antara dirinya dan dunianya” (Paterson, 2001 dalam Kralik, Telford,
& Koch, 2005). Lebih lanjut, melalui proses ini, individu akan merasakan
adanya pergeseran perspektif dan cara mereka memaknai segala
pengalamannya. Pergeseran ini bersifat dinamis, bisa berujung pada dua titik:
pentingnya menjalani dan mempertahankan hidup atau jenuh terhadap proses
berulang serta menyerah untuk berjuang. Pengalaman proses terapi yang terus
berulang menghadirkan kejenuhan dan perasaan tidak lagi ingin melakukan
terapi. Kejenuhan ini menjadi landasaan dari munculnya perasaan enggan
untuk menjalani satu-satunya cara bertahan hidup mereka dengan penyakit
kronis, yakni proses terapi.
Berbagai usaha tentunya telah dilakukan oleh para individu dengan penyakit
kronis untuk menyesuaikan diri dengan kondisi mereka yang baru, yakni
situasi kejenuhan yang dirasakan dan mengarahkannya pada pilihan untuk
tidak menjalani proses terapi. Secara konseptual, sikap yang ditunjukkan oleh
individu dengan penyakit kronis seringkali dilihat sebagai “non-compliance
behaviour” (NCB). Non-compliance behaviour dapat dimengerti sebagai
“sejauh mana perilaku seseorang memiliki ketepatan dengan nasihat medis”
(Sacket, 1976 dalam Kyngas, Hentinen, & Barlow, 1998). Kelebihan sudut
pandang ini, kepatuhan dan ketidakpatuhan dipandang sebagai sebuah usaha
aktif sekaligus proses perawatan yang bertanggung jawab, di mana pasien
bekerja untuk menjaga kesehatan mereka dengan bekerjasama dengan para ahli
kesehatan. Pasien disini bukan hanya mengikuti aturan yang ditata oleh ahli
kesehatan, melainkan menunjukkan komitmen aktif untuk peduli secara aktif
tentang kesehatannya (Hentinen, 1988 dalam Kyngas, et al., 1998). Hal ini
menjadi pembeda utama dengan konsep yang terkadang sering dipertukarkan
dengan istilah non-compliance behaviour, yakni non-adherence. NCB menghadirkan pergeseran dari sebuah pendekatan otoriter yang lebih
tradisional menjadi sebuah kemitraan kolaboratif antara pasien dan dokter yang
didasarkan pada tujuan yang saling menguntungkan sekaligus memberikan
pemahaman bersama terkait masalah dan solusi yang potensial. NCB
memunculkan sebuah model yang saat ini banyak digunakan yang disertai
pengambilan keputusan bersama, di mana dokter dan pasien, setelah diskusi,
bersepakat atas masalah mendasar yang dihadapi dan menawarkan jalan
menuju penanggulangan (Kleinsinger, 2010). Dengan perspektif ini, suatu
tidak serta merta dapat melimpahkan kesalahan pada individu yang dianggap
enggan. Penekanan ini dikarenakan adanya fokus pada keputusan bersama. Di
sisi lain, NCB menjadi penting untuk dilihat lebih lanjut karena merupakan
salah satu penyebab paling umum dari kegagalan pengobatan untuk kondisi
kronis, meskipun hal ini tidak secara luas atau secara konsisten diakui
(Kleinsinger, 2010). Menggunakan NCB sebagai bingkai melihat keengganan
ini menjadi penting karena kepatuhan yang buruk adalah penyebab utama
kegagalan pengobatan (Michaud, et al., 2007). Penelitian lain mengindikasikan
keengganan paling banyak terjadi di masa remaja. Masa remaja menjadi
periode kritis terhadap kepatuhan menjalani terapi karena adanya transisi
tanggung jawab atas proses terapi dari orangtua kepada dirinya sendiri (Pai &
Ostendorf, 2011; Kyngas, et al., 1998). Masalah ini sangat penting karena
selama periode kehidupan mereka, remaja membingkai cara mereka bersikap
terhadap pengobatan dan tindakan medis umum (Michaud, et al., 2007). Secara
implisit, ini mencerminkan adanya otonomi atas keputusan dalam menjalani
terapi yang dipegang oleh remaja berpenyakit kronis. Dengan menaruh
perhatian pada hal tersebut, bisa dilihat bahwa konsepsi tentang keputusan
bersama dalam NCB dapat merangkai fenomena keengganan yang terjadi pada
masa remaja secara komprehensif. Keengganan yang dirasakan oleh remaja
dengan penyakit kronis tidak semata dibebankan kepadanya, melainkan juga
terletak pada proses interaksi antara ahli kesehatan dengan remaja dalam proses
yang akan terjadi dalam situasi klinis tertentu, adalah langkah pertama untuk
mengatasi masalah ini.
2. Ketidakteraturan terapi pada penderita thalassaemia mayor
Rutinitas setiap individu thalassaemia mayor dalam menjalani proses terapi bergantung pada kondisi fisik masing-masing penderita (seperti: usia, berat
badan, kadar zat besi dan haemoglobin). Namun, setidaknya secara garis besar,
mengikuti paparan Gandi (2007), rutinitas proses pengobatan yang harus
mereka jalani dapat dijabarkan sebagai berikut.
1. Tranfusi Darah
Tranfusi darah dilakukan sesuai dengan kondisi fisik masing-masing
penderita Berdasarkan fungsinya, tranfusi darah ini dilakukan untuk
meningkatkan kadar haemoglobin dalam tubuh agar penderita dapat bertahan hidup. Secara umum, tranfusi darah ini dilakukan setiap satu
bulan sekali. Namun, bila kadar haemoglobin penderita kembali rendah, maka tranfusi darah perlu untuk dilakukan lagi. Untuk itu, adapula
pemberian tranfusi yang diberikan lebih dari satu kali setiap bulannya,
yakni setiap 2 sampai 5 minggu sekali seumur hidupnya untuk
mempertahankan kadar hemoglobin normal (lebih dari 12g/dl sampai
2. Terapi kelasi :
a. Terapi kelasi oral
Secara umum, terapi kelasi yang dilakukan secara oral terdiri dari dua
jenis yaitu ferriprox atau exjade. Dosis yang diberikan untuk setiap obatnya sangat bergantung pada kondisi fisik masing-masing
penderita. Pada umumnya, ferriprox diminum 3 kali sehari. Untuk
exjade, jenis inilebih praktis karena hanya diminum sekali sehari. b. Terapi kelasi desferal
Idealnya terapi kelasi jenis injeksi (suntikan desferal) diberikan lima hari dalam seminggu di sepanjang hidup penderita. Biasanya desferal
digunakan selama 8-12 jam setiap kali selama minimal 5 hari per
minggu.
Paparan di atas menunjukkan kondisi ideal yang setidaknya perlu dipenuhi
oleh individu dengan thalassaemia mayor untuk mencegah kondisi fisiknya memburuk. Dengan begitu, kita dapat membedakan individu yang secara umum
rajin atau kurang rajin menjalani proses pengobatan berdasarkan jumlah ideal
proses terapi yang seharusnya dilakukan oleh penderita dengan proses terapi yang