Universitas Kristen Maranatha
ABSTRAK
Penelitian ini dilakukan untuk memperoleh gambaran mengenai derajat culture shock yang dialami oleh mahasiswa Karo di Gereja”X”, kota Bandung. Tujuan penelitian ini adalah memberikan gambaran yang lebih rinci mengenai persentase dari masing-masing derajat culture shock serta komponen, aspek, dan indikator culture shock yang paling dominan pada mahasiswa Karo di Gereja”X”, kota Bandung. Sampel penelitian ini adalah mahasiswa Karo di Gereja”X”, kota Bandung dan telah menetap di kota Bandung dalam jangka waktu maksimal satu setengah tahun. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian deskriptif. Pengumpulan data dilakukan dengan alat ukur berupa kuesioner derajat culture shock yang terdiri atas 38 item.
Berdasarkan hasil penelitian ini, dari 30 mahasiswa Karo di Gereja”X”, kota Bandung, 13 orang (43,3%) mahasiswa Karo mengalami culture shock dengan derajat yang sedang, 9 orang (30,0%) mahasiswa Karo mengalami culture shock dengan derajat yang lemah, dan 8 orang (26,7%) mahasiswa Karo mengalami culture shock dengan derajat yang kuat. Derajat culture shock yang paling tinggi persentasenya adalah derajat yang sedang. Dilihat dari komponen culture shock mahasiswa Karo telah mampu mengatasi masalah behavioral dan cognitive namun mereka kesulitan dalam mengatasi masalah affective.
ABSTRACT
This study was conducted to get an overview of the culture shock degree experienced by Karo students in the Church "X", Bandung city. The purpose of this study is to describe a more detailed percentage of culture shock's each degree as well as components, aspects and indicators of the most dominant culture shock in the Karo students in the Church "X". The sample is the Karo student in the Church "X" in the city of Bandung and have settled in the city in a maximum of one and a half years. The method used in this study is the descriptive research. The data was collected by measuring instrument in the form of a culture shock degree questionnaire consisting of 38 items.
Based on the results of this study, from 30 Karo students in the Church "X", 13 students (43.3%) experienced culture shock with moderate degrees, 9 students (30.0%) experienced culture shock with weak degree, and 8 students (26.7%) experienced culture shock with a strong degree. The highest percentages is the moderate degree. Seen from the culture shock component, Karo students have been able to cope with behavioral and cognitive issues, but they have a difficulties to cope with affective issues.
iv
Universitas Kristen Maranatha DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN
KATA PENGANTAR... i
DAFTAR ISI... v
DAFTAR TABEL... viii
DAFTAR BAGAN... x
DAFTAR LAMPIRAN... xi
BAB I PENDAHULUAN 1.1Latar Belakang Masalah...1
1.2 Identifikasi masalah... 12
1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian... 12
1.3.1 Maksud penelitian... 12
1.3.2 Tujuan penelitian ... 12
1.4 Kegunaan Penelitian... 12
1.4.1 Kegunaan Teoretis... 12
1.4.2 Kegunaan Praktis... 12
1.5 Kerangka Pikir... 13
v
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Culture Shock... 23
2.1.1 Definisi Culture Shock... 23
2.1.2 Simptom Culture Shock... 23
2.1.3 Komponen Culture Shock... 24
2.1.4 Tahap-tahap terjadinya Culture Shock... 27
2.1.5 Faktor- faktor yang mempengaruhi Culture Shock... 29
2.2 Sojourner... 30
2.2.1 Pengertian Sojourner... 30
2.2.2 Tipe Sojourner... 30
2.2.3 Kendala yang dihadapi mahasiswa sebagai sojourner... 26
2.3 Transisi dari Sekolah Menengah Atas Menuju Universitas... 31
2.4 Kebudayaan... 32
2.4.1 Definisi Kebudayaan... 32
2.4.2 Wujud Kebudayaan... 32
2.5 Akulturasi... 34
2.5.1 Defenisi Akulturasi... 34
2.5.2 Elemen Dasar Akulturasi... 34
2.5.3 Jenis-jenis Strategi Akulturasi... 35
2.5.4 U-Curved of Adjustment... 36
2.5.5 Faktor Eksternal yang Mempengaruhi Strategi Akulturasi... 37
vi
Universitas Kristen Maranatha
2.6 Budaya Karo... 40
2.6.1 Identitas Budaya Karo... 40
2.6.2 Sifat dan Watak Manusia Karo... 42
2.6.3 Sistem Kekerabatan di Masyarakat Karo... 46
BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian... 48
3.2 Bagan Rancangan Penelitian... 48
3.3 Variabel Penelitian dan Definisi Operasional... 49
3.3.1 Variabel Penelitian... 49
3.3.2 Definisi Konseptual... 49
3.3.3 Definisi Operasional... 49
3.4 Alat ukur... 50
3.4.1 Jenis Alat Ukur... 50
3.4.2 Data Pribadi dan Data Sekunder... 55
3.4.2.1 Data Pribadi... 55
3.4.2.2 Data Sekunder... 56
3.4.3 Validitas dan Reliabilitas Alat Ukur... 56
3.4.3.1 Validitas Alat Ukur ... .56
3.4.3.2 Reliabilitas Alat Ukur... 57
3.5 Populasi dan Teknik Penarikan Sampel... 59
3.5.1 Populasi Sasaran... 59
vii
3.6 Teknik Analisis Data... 59
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Penelitian... 61
4.1.1 Gambaran Responden... 60
4.1.2 Hasil Pengolahan Data... 64
4.1.2.1 Derajat Culture Shock ... 64
4.1.2.2 Gambaran Hasil Penelitian pada Aspek-Aspek Culture Shock... 66
4.1.2.3 Tabulasi Silang Antara Derajat Culture Shock Dengan Aspek Culture Shock... 70
4.2 Pembahasan... 77
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan... 88
5.2 Saran... 89
DAFTAR PUSTAKA... 90
viii
Universitas Kristen Maranatha DAFTAR TABEL
Tabel 3.1 Rincian Alat Ukur... 51
Tabel 3.2 Bobot Penilaian... 54
Tabel 4.1 Gambaran Responden berdasarkan Jenis Kelamin... 61
Tabel 4.2 Gambaran Responden berdasarkan Usia... 61
Tabel 4.3 Gambaran Responden berdasarkan Daerah Asal... 62
Tabel 4.4 Gambaran Responden berdasarkan Lama Tinggal di Daerah Asal.... 62
Tabel 4.5 Gambaran Responden berdasarkan Lama Tinggal di Kota Bandung..62
Tabel 4.6 Gambaran Responden berdasarkan Universitas... 63
Tabel 4.7 Gambaran Responden berdasarkan Fakultas... 64
Tabel 4.8 Presentase Derajat Culture Shock... 64
Tabel 4.9 Komponen Affective... 65
Tabel 4.10 Komponen Behavioral... 65
Tabel 4.11 Komponen Cognitive... 66
Tabel 4.12 Gambaran Responden Berdasarkan Aspek Ketegangan Karena Adanya Usaha Untuk Beradaptasi Secara Psikis... 66
Tabel 4.13 Gambaran Responden Berdasarkan Aspek Perasaan Kehilangan dan Kekurangan Keluarga dan Teman... 67
ix
Tabel 4.15 Gambaran Responden Berdasarkan Aspek Tertolak atau Menolak
Terhadap Masyarakat dari Budaya yang Baru... 68
Tabel 4.16 Gambaran Responden Berdasarkan Aspek Kebingungan akan Peran,
Harapan terhadap Peran tersebut, Nilai yang Dianut, Perasaan dan
Identitas Diri... 68
Tabel 4.17 Gambaran Responden Berdasarkan Aspek Tidak Memahami Adanya
Perbedaan Bahasa, Kebiasaan, Nilai/Norma, dan Sopan Santun..69
Tabel 4.18 Tabulasi Silang antara Derajat Culture Shock dengan Aspek
KeteganganFisik karena Adanya Usaha untuk Beradaptasi Secara
Psikis... 70
Tabel 4.19 Tabulasi Silang antara Derajat Culture Shock dengan Aspek Perasaan
Kehilangan dan Kekurangan terhadap Keluarga dan Teman... 71
Tabel 4.20 Tabulasi Silang antara Derajat Culture Shock dengan Aspek Perasaan
Tidak berdaya karena Tidak Mampu Menyesuaikan Diri dengan
Lingkungan di Kota Bandung... 72
Tabel 4.21 Tabulasi Silang antara Derajat Culture Shock dengan Aspek Tertolak
atau Menolak terhadap Masyarakat dari Budaya yang Baru.... 74
Tabel 4.22 Tabulasi Silang Antara Derajat Culture Shock dengan Aspek
Kebingungan akan Peran, Harapan terhadap Peran Tersebut, Nilai
yang Dianut, Perasaan dan Identitas Diri... 75
Tabel 4.23 Tabulasi Silang antara Derajat Culture Shock dengan Aspek Tidak
Memahami Adanya Perbedaan Bahasa, Kebiasaan, Nilai/Norma, dan
x
Universitas Kristen Maranatha DAFTAR BAGAN
Bagan 1.1. Kerangka Pikir...17
Bagan 2.1. U-Curve of Adjustment...30
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran A Sejarah Budaya Karo
Lampiran B Kuesioner Penelitian
Lampiran C Kisi-kisi Alat Ukur
1
Universitas Kristen Maranatha BAB I
PENDAHULUAN
1.1Latar Belakang Masalah
Indonesia adalah negara yang terdiri dari berbagai suku, yang setiap
sukunya mempunyai karakteristik yang berbeda. Perbedaan yang dimaksud antara
lain dalam hal kebiasaan, gaya hidup, adat istiadat, dan keyakinan. Perbedaan
karakteristik tersebut menjadi hal yang menarik untuk dipelajari.
Perbedaan itu dapat dilihat diantaranya ketika seorang siswa lulusan
Sekolah Menengah Atas (SMA) melanjutkan pendidikannya ke jenjang yang lebih
tinggi, yaitu Perguruan Tinggi. Perguruan tinggi merupakan salah satu tujuan bagi
lulusan SMA yang ingin melanjutkan pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi.
Mereka yang ingin kuliah akan menjadi calon mahasiswa di universitas yang
sesuai dengan kriteria yang mereka inginkan. Salah satu pulau yang menjadi
tujuan calon mahasiswa untuk melanjutkan pendidikan setelah SMA adalah pulau
Jawa.
Pulau Jawa dinilai lebih maju daripada daerah lainnya. Salah satu kota
di Pulau Jawa adalah kota Bandung. Kota Bandung dikenal sebagai kota yang
maju dan berkembang. Kota ini juga menjadi sasaran orang yang berasal dari
berbagai pulau untuk melanjutkan pendidikannya. Hal ini ditandai dengan
berkembangnya pembangunan di daerah Pulau Jawa di bidang pendidikan yang
2
daya tarik bagi calon mahasiswa untuk melanjutkan pendidikan di pulau Jawa,
baik calon mahasiswa yang berasal dari dalam maupun luar Pulau Jawa (sumber :
Babesajabu,5 January 2010).
Salah satu suku yang dimaksud adalah suku Batak Karo. Suku Batak
Karo merupakan salah satu suku Batak. Suku Karo memiliki adat istiadat, moral,
hukum, kekeluargaan yang erat antar sesama suku. Suku Karo adalah suku asli
yang mendiami Dataran Tinggi Karo, Sumatera Utara, Indonesia. Nama suku ini
dijadikan salah satu nama kabupaten di salah satu wilayah yang mereka diami
(dataran tinggi Karo), yaitu Kabupaten Karo. Suku ini juga memiliki bahasa
sendiri yang disebut Bahasa Karo (sumber : Barus, 23July, 2012).Pada umumnya,
masyarakat Karo beragama Kristen Protestan, dan memiliki tempat ibadah yang
diberi nama Gereja “X”.
Gereja “X” adalah sebuah Gereja yang berdiri di Tanah Karo,
Sumatera Utara dan melayani masyarakat Karo. Gereja “X” adalah gereja Kristen
Protestan yang beraliran Calvinis. Salah satu cabang dari Gereja “X” yang
terdapat di pulau Jawa berada di kota Bandung yang beralamat di Jl.L. Gereja “X”
merupakan Klasis Jakarta-Bandung. Pada umumnya calon mahasiswa Karo yang
melanjutkan pendidikannya di kota Bandung akan melakukan ibadah di tempat
ini. Hal ini dikarenakan mereka juga beribadah di gereja ini di daerah asalnya.
Pada saat mahasiswa baru yang bersuku Karo datang ke kota Bandung maka
mahasiswa tersebut akan berinteraksi dengan budaya kota Bandung. Dalam proses
masuknya seseorang ke dalam budaya baru, orang tersebut akan melakukan
3
Universitas Kristen Maranatha saling bertukar perbedaan budaya, yang timbul dari keberlanjutan perjumpaan
pertama, terjadi perubahan pola asli kebudayaan dari kedua kelompok tersebut
(Redfield, dkk dalam Berry, John.W, dkk, Cross-Cultural Psychology : research
and application.). Apabila seseorang bisa menjalani proses akulturasi atau dapat menerima perbedaan ketika berada di lingkungan baru maka ia dapat mencegah
culture shock.
Culture Shock dalam buku The Psychology of Culture Shock adalah gambaran dari sesuatu yang negatif dan menimbulkan aksi yang dirasakan oleh
individu ketika berpindah ke lingkungan yang baru dan berbeda dengan
lingkungan asalnya (Oberg, 1960). Jadi, culture shock adalah gambaran dari
sesuatu yang negatif dan menimbulkan aksi yang dirasakan oleh mahasiswa baru
yang bersuku Karo ketika tinggal di kota Bandung dan berbeda dengan daerah
asalnya sehingga menghambat mahasiswa tersebut dalam berinteraksi dengan
budaya di kota Bandung.
Reaksi yang diberikan terhadap lingkungan budaya baru berupa
bagaimana individu merasakan, bertingkah laku, berpikir, dan menerima pengaruh
kebudayaan baru yang menerimanya. Culture shock memiliki tiga komponen.
Komponen culture shock tersebut adalah affective, behavioral, dan cognitive.
Komponen ini menjelaskan bagaimana orang merasakan, bertingkahlaku, berpikir,
dan mengerti ketika menyikapi perubahan budaya baru.
Umumnya, culture shock dialami oleh pendatang selama enam bulan
sampai satu setengah tahun sejak kedatangannya. Pada saat survey, mahasiswa
4
setengah tahun (delapan belas bulan). Hal-hal yang menimbulkan culture shock
adalah perbedaan makanan, pengaturan waktu, serta pergaulan dan cara berbicara,
lamanya kontak budaya, frekuensi kontak budaya, dukungan sosial, identitas
budaya, dan tahapan (J.P. Spradley and M. Phillips, 1972 dalam Ward, Bochner,
Furnham, 2001:74). Ciri-ciri culture shock adalah perasaan sedih (merasa sedih
dan terasingkan saat individu sedang berada di tengah-tengah orang banyak),
kesepian, sulit tidur, adanya masalah kesehatan (mulai merasa kurang sehat
sehingga dapat menimbulkan beberapa penyakit, seperti flu, pilek, demam, diare),
keinginan untuk beristirahat terlalu banyak atau terlalu sedikit, perubahan
temperamen, merasa tidak berdaya, depresi dan tidak percaya diri (tidak bisa
mengikuti pola hidup di budaya yang baru sehingga individu menjadi malas
bergaul dan memilih diam saja karena merasa tidak percaya diri), perasaan malas
melakukan kontak dengan orang lain, kehilangan identitas diri, ketidakmampuan
dalam memecahkan masalah, mengikuti segala perubahan dalam budaya baru, dan
merasa tidak aman. (Oberg dalam Ward, Bachner, Furnham, 2001:80).
Sebelum melakukan survey, beberapa mahasiswa Karo di Gereja “X”
terlihat bingung dalam menentukan makanan ketika berada di kota Bandung. Hal
ini dilihat ketika mahasiswa Karo bingung dalam memilih menu makanan yang
ada di Bandung karena makanannya berbeda dengan daerah asalnya. Beberapa
mahasiswa Karo memilih makanan yang hampir sama dengan menu makanan
yang ada di daerah asalnya dan pada umumnya memilih menu makanan dengan
rasa yang pedas, misalnya arsik. Selain itu, ada juga mahasiswa Karo yang
5
Universitas Kristen Maranatha alasan mahasiswa Karo memasak di kosan adalah untuk menghemat uang bulanan
dan mahasiswa Karo lebih menyukai masakan yang biasa dibuatnya di daerah
asalnya. Mahasiswa Karo tersebut kurang menyukai makanan di kota Bandung.
Di samping masalah makanan, beberapa mahasiswa Karo lebih akrab dengan
teman sesuku dibandingkan teman yang berbeda suku ketika berada di kota
Bandung. Hal ini karena mahasiswa Karo memiliki suku yang sama sehingga
mempermudah mereka dalam bercerita dan bercanda.
Peneliti telah melakukan survey kepada 10 orang mahasiswa Karo di
Gereja “X” pada tanggal 8 – 11 September 2012. Survey dilakukan dengan cara
menyebarkan kuesioner dan wawancara. Survey yang dilakukan kepada
mahasiswa Karo di Gereja “X” adalah mahasiswa Karo yang berasal dari kota
yang berbeda (misalnya kota Jakarta, Medan, Bengkulu, Kabanjahe) dan
universitas yang berbeda (misalnya Unpad, Maranatha). Mahasiswa yang berasal
dari pulau Jawa akan memiliki culture shock yang berbeda dengan mahasiswa
yang berasal dari pulau Sumatera. Hal ini karena mahasiswa Karo yang tinggal di
pulau Jawa pernah liburan ke kota Bandung sehingga mengurangi derajat culture
shocknya karena telah terbiasa dengan budaya kota Bandung. Setiap mahasiswa Karo yang berasal dari universitas yang berbeda ini memiliki unit kegiatan yang
diberi nama IMKA (Ikatan Mahasiswa Karo). Unit kegiatan ini adalah tempat
berkumpulnya mahasiswa Karo untuk membentuk suatu keluarga di daerah
perantauan dan mempelajari lebih dalam mengenai budaya Karo. Beberapa
mahasiswa Karo aktif dalam unit kegiatan IMKA di kampusnya karena mereka
6
berkumpulnya dekat dengan daerah tempat tinggal mereka di kota Bandung.
Mahasiswa Karo ada juga yang pasif dengan unit kegiatan ini karena tempat
berkumpulnya jauh dengan daerah tempat tinggalnya di kota Bandung. Jatinangor
dijadikan tempat berkumpulnya mahasiswa Karo sedangkan daerah tempat
tinggalnya berada di daerah Dipatiukur. Selain di kampus, tempat berkumpulnya
mahasiswa Karo adalah di Gereja “X” yang disebut dengan PERMATA (Persadan
Man Anak Gerejanta). PERMATA berbeda dengan IMKA karena PERMATA
bukanlah suatu organisasi budaya tetapi organisasi gereja yang menjadi sarana
untuk mencapai visi gereja itu sendiri. Adapun bentuk kegiatan yang dilakukan
adalah ekskul landek (belajar tarian Karo), penggunaan musik Karo di gereja,
gendang guro-guro aron, seminar budaya.
Hasil survey awal yang telah dilakukan adalah sebagai berikut. Alasan
mahasiswa Karo memilih kota Bandung untuk melanjutkan pendidikan adalah
sebanyak 50% (5 orang) mahasiswa Karo di Gereja “X” ingin melanjutkan
pendidikannya di kota Bandung karena menurut mereka kota Bandung memiliki
universitas yang berkualitas dan mereka ingin mendapatkan kualitas pendidikan
yang lebih baik. Sebanyak 40% (4 orang) mahasiswa Karo di Gereja “X” ingin
melanjutkan pendidikannya di kota Bandung karena menurut mereka kota
Bandung memiliki suasana yang mendukung dalam hal belajar dan ingin
memperluas wawasan di luar kota asal mereka. Sebanyak 10% (1 orang)
mahasiswa Karo di Gereja “X” melanjutkan pendidikan di kota Bandung karena
7
Universitas Kristen Maranatha Saat berada di kota Bandung, 50% (5 orang) mahasiswa Karo di Gereja
“X” tidak merasa cemas ketika berada di kota Bandung karena mereka memiliki
banyak saudara dan kenalan yang tinggal di kota Bandung dan atau telah terbiasa
hidup mandiri sejak menempuh SMA. Sebanyak 50% (5 orang) mahasiswa Karo
di Gereja “X” merasa cemas ketika berada di kota Bandung karena tidak memiliki
saudara yang tinggal di kota Bandung dan banyak terjadi kriminal seperti
pencopetan di daerah tempat tinggalnya di kota Bandung. Mereka juga merasa
cemas selama di kota Bandung karena mereka belum mengetahui situasi kota
Bandung dan cemas dalam mengatur keuangan, misalnya uang bulanan yang
diberikan orangtua habis sebelum waktunya. Hal ini menjelaskan mahasiswa Karo
yang belum terbiasa mandiri di daerah asalnya ketika datang ke kota Bandung
akan merasa cemas. Fenomena di atas menjelaskan komponen affective yaitu
aspek ketegangan mahasiswa Karo karena adanya usaha untuk beradaptasi secara
psikis.
Ketika mahasiswa merantau ke kota Bandung untuk melanjutkan
pendidikan, 60% (6 orang) mahasiswa Karo di Gereja “X” mereka telah terbiasa
hidup mandiri (jauh atau tidak tinggal bersama keluarganya) sejak menempuh
pendidikan di SMA sehingga tidak merasa sedih ketika berada jauh dari
orangtuanya. Sebanyak 40% (4 orang) mahasiswa Karo di Gereja “X” merasa
sedih ketika berada jauh dari orangtuanya dan merasa kesepian. Meskipun mereka
merasa sedih, mereka tahu bahwa mereka harus belajar mandiri untuk
8
Selama di kota Bandung, 60% (6 orang) mahasiswa Karo di Gereja “X”
sering melakukan komunikasi dengan orangtuanya melalui telepon atau SMS.
Mereka melakukan komunikasi dengan orangtuanya sebanyak dua kali dalam
seminggu dan ada juga mahasiswa yang berkomunikasi dengan orangtuanya
setiap hari. Sebanyak 40% (4 orang) mahasiswa Karo di Gereja “X” jarang
melakukan komunikasi dengan orangtuanya. Hal ini karena mereka telah terbiasa
tidak tinggal dengan orangtuanya. Pada saat mahasiswa Karo datang ke kota
Bandung untuk melanjutkan pendidikannya, mereka terpisah dengan orangtuanya
yang berada di daerah asalnya. Fenomena di atas menjelaskan komponen affective
yaitu aspek perasaan kehilangan mahasiswa Karo terhadap keluarga.
Sebanyak 60% (6 orang) mahasiswa Karo di Gereja “X” menganggap
teman sesuku maupun yang berbeda suku membuat mereka nyaman. Mereka tidak
memiliki kriteria khusus dalam berteman. Menurut mereka, perbedaan suku itu
sangat menyenangkan. Sebanyak 40% (4 orang) mahasiswa Karo di Gereja “X”
merasa bahwa mereka lebih nyaman dengan teman sesuku karena mempermudah
dalam bercerita. Hal ini karena mereka memiliki budaya, tutur kata yang sama,
dan berasal dari suku yang sama. Fenomena di atas menjelaskan komponen
behavioral yaitu aspek penolakan terhadap orang-orang di lingkungan baru dan aspek tidak menerima adanya perbedaan peran, harapan, terhadap peran tersebut,
nilai yang dianut, perasaan, dan identitas diri.
Sebanyak 70% (7 orang) mahasiswa Karo di Gereja “X” kesulitan dalam
memahami dan mengerti bahasa Sunda selama di kota Bandung. Hal ini membuat
9
Universitas Kristen Maranatha Banyak hal yang membedakan antara suku Karo dengan suku Sunda. Salah satu
perbedaan yang paling mencolok adalah dalam hal berkomunikasi. Biasanya
masyarakat Karo dalam berbicara menggunakan intonasi yang cukup tinggi jika
dibandingkan dengan suku Sunda. Ada beberapa kata dalam bahasa Karo yang
memiliki arti yang sangat jauh berbeda jika diartikan ke dalam bahasa Sunda.
Misalnya, kata motor dalam bahasa Karo berarti kendaraan roda empat atau
mobil, kereta dalam bahasa Karo berarti sepeda motor. Kata lain yang sangat
mencolok adalah kata “bujur”. Dalam bahasa Karo diartikan sebagai ucapan
terima kasih, sedangkan dalam bahasa Sunda diartikan sebagai kata yang kasar
yaitu bagian belakang tubuh manusia.
Selain masalah bahasa, sebanyak 30% (3 orang) mahasiswa Karo di
Gereja “X” kesulitan dalam hal makanan karena menurut mereka, makanan di
kota Bandung berbeda dengan daerah asal mereka. Mahasiswa Karo di Gereja
“X” mengetahui bahwa makanan di kota Bandung yang bermacam-macam dan
kebanyakan makanan yang disajikan terasa manis sehingga mengurangi nafsu
makan mereka. Pada awalnya, mahasiswa Karo tersebut tidak menyukai makanan
di kota Bandung. Mereka merindukan masakan dari daerah asal mereka yang cita
rasanya berbeda dengan masakan yang ada di kota Bandung. Biasanya, makanan
yang dibuat oleh suku Karo memiliki rasa yang lebih pedas. Namun seiring
berjalannya waktu, mereka mulai beradaptasi dengan makanan itu. Fenomena ini
menjelaskan komponen cognitive yaitu aspek ketidakpahaman mahasiswa Karo
terhadap adanya perbedaan bahasa, kebiasaan, nilai / norma, dan sopan santun di
10
Di samping kesulitan dalam hal makanan dan bahasa, mahasiswa Karo di
Gereja “X” juga mengalami sulit tidur. Sebanyak 60% (6 orang) mahasiswa Karo
di Gereja “X” mengalami sulit tidur karena cuaca di daerah asalnya berbeda
dengan di kota Bandung. Selain cuaca yang berbeda dengan daerah asalnya, hal
ini juga dipengaruhi oleh tugas-tugas perkuliahan yang harus diselesaikan bahkan
mengerjakannya hingga subuh. Sebanyak 40% (4 orang) mahasiswa Karo di
Gereja “X” tidak mengalami sulit tidur karena mereka terbiasa dengan cuaca
dingin. Fenomena di atas menjelaskan komponen affective yaitu aspek perasaan
mahasiswa Karo yang menganggap dirinya tidak berdaya karena tidak mampu
menyesuaikan diri dengan lingkungan di kota Bandung.
Selain itu, sebanyak 50% (5 orang) mahasiswa Karo di Gereja “X”
menganggap bahwa nilai-nilai kekeluargaan di daerah asalnya lebih tinggi
dibandingkan dengan budaya di kota Bandung. sebanyak 50% (5 orang)
mahasiswa Karo di Gereja “X” lainnya menganggap bahwa baik di daerah asalnya
dan di kota Bandung, sama-sama menjunjung nilai kekeluargaan. Fenomena ini
menjelaskan komponen behavioral yaitu kebingungan akan peran, harapan
terhadap peran, nilai yang dianut, perasaan dan identitas diri
Jika dikaitkan dengan komponen culture shock, masalah yang dialami oleh
mahasiswa Karo adalah masalah affective yaitu ketegangan karena adanya usaha
untuk beadaptasi secara psikis. Hal ini ditunjukkan dengan adanya perbedaan
cuaca juga membuat mahasiswa Karo menjadi sulit tidur dengan cuaca di
Bandung. Hal ini karena cuaca daerah asal mereka berbeda dengan daerah
11
Universitas Kristen Maranatha dalam pemahaman mereka mengenai perbedaan bahasa, kebiasaan, nilai / norma,
dan sopan santun. Beberapa mahasiswa mengatakan bahwa mereka merasa
kesulitan karena sulitnya bergaul dengan teman-temannya yang berasal dari
budaya yang berbeda dengan dirinya, misalnya bahasa. Mereka kesulitan dalam
memahami bahasa budaya setempat yaitu bahasa Sunda. Selain itu, mahasiswa
Karo juga memiliki masalah behavioral dimana mahasiswa Karo di Gereja “X”
tampaknya lebih banyak mengalami hambatan ketika berelasi dengan mahasiswa
yang berasal dari kota Bandung. Sebagian mahasiswa Karo tersebut lebih nyaman
berelasi dengan teman yang berasal dari satu daerah asalnya.
Semua fenomena di atas merupakan aspek-aspek dari culture shock yaitu
ketegangan karena adanya usaha untuk beradaptasi secara psikis, perasaan
kehilangan dan kekurangan keluarga dan teman, merasa tidak berdaya karena
tidak mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan di kota Bandung, perasaan
tertolak atau menolak mahasiswa Karo terhadap masyarakat dari budaya yang
baru tersebut, kebingungan mahasiswa Karo akan peran, harapan terhadap peran
tersebut, nilai yang dianut, perasaan dan identitas diri dan ketidakpahaman
terhadap adanya perbedaan bahasa, kebiasaan, nilai / norma, dan sopan santun.
Oleh karena adanya mahasiswa yang mengalami culture maka peneliti tertarik
untuk meneliti tentang derajat culture shock pada mahasiswa suku Karo di Gereja
12
1.2Identifikasi Masalah
Dari penelitian ini ingin diketahui derajat Culture Shock pada
mahasiswa Karo di gereja “X”, Bandung.
1.3Maksud dan Tujuan Penelitian
1.3.1. Maksud penelitian
Memperoleh data mengenai derajat Culture Shock pada mahasiswa
Karo di gereja “X”, kota Bandung.
1.3.2 Tujuan penelitian
Untuk mengetahui gambaran spesifik mengenai derajat Culture Shock
yang dialami oleh mahasiswa Karo di gereja “X”, kota Bandung dilihat dari
komponen, aspek dan indikator.
1.4Kegunaan Penelitian
1.4.1 Kegunaan Teoritis
- Memberikan masukan bagi Ilmu Psikologi Lintas Budaya mengenai
Culture Shock khususnya pada mahasiswa Karo.
- Memberikan masukan pada peneliti lain yang berminat melakukan
penelitian Culture Shock pada mahasiswa Karo.
1.4.2 Kegunaan Praktis
- Memberi masukan bagi gereja “X”, khususnya dalam kegiatan
13
Universitas Kristen Maranatha dengan cara melakukan PA (Pendalaman Alkitab) kepada mahasiswa
baru yang berasal dari luar daerah dalam mencegah terjadinya
Culture Shock.
- Memberikan arahan dalam acara penerimaan anggota baru di gereja
atau unit kegiatan gereja, misalnya Permata (kumpulan pemuda
pemudi di gereja “X”).
1.5Kerangka Pikir
Transisi dari sekolah menengah atas ke universitas dapat melibatkan
hal-hal yang positif, pelajar mungkin lebih merasa dewasa, lebih banyak pelajaran
yang dapat dipilih, lebih banyak waktu untuk dihabiskan bersama kelompok
sebaya, lebih banyak kesempatan untuk mengeksplorasi gaya hidup dan
nilai-nilai, menikmati kemandirian yang lebih luas dari pengawasan orang tua, dan
tertantang secara intelektual oleh tugas akademik. Namun demikian, mahasiswa
baru tampaknya lebih banyak mengalami tekanan dan depresi. Ketakutan akan
kegagalan dalam sebuah dunia yang berorientasi pada kesuksesan seringkali
menjadi alasan untuk stress dan depresi (Belle & Paul, 1989: Upcraft & Gardner,
1989).
Banyak lulusan SMA yang melanjutkan pendidikannya ke jenjang yang
lebih tinggi, yaitu perguruan tinggi. Mereka yang melanjutkan pendidikannya
akan mencari universitas yang mereka inginkan dan bahkan berusaha untuk kuliah
di luar daerah asal mereka. Perkembangan pendidikan di Pulau Jawa yang
14
mahasiswa yang berasal dari luar daerah untuk melanjutkan pendidikannya di
Pulau Jawa. Pulau Jawa dinilai lebih maju daripada daerah lainnya, misalnya kota
Bandung. Kota Bandung menjadi sasaran orang yang berasal dari berbagai pulau
untuk melanjutkan pendidikannya karena pendidikan yang memiliki universitas
berkualitas, baik negeri maupun swasta sehingga menjadi daya tarik bagi calon
mahasiswa untuk melanjutkan pendidikan di pulau Jawa (sumber : Babesajabu,5
January 2010). Hal ini ditandainya dengan sarana dan prasarana yang lengkap.
Misalnya, universitas swasta yang ada di Bandung (contohnya, Universitas
Maranatha) yang memiliki sarana dalam perkuliahan yang lengkap seperti
perpustakaan yang lengkap dan lingkungan yang mendukung mahasiswa untuk
belajar dimana banyak pohon dan tanaman lainnya ditanam dan dirawat sehingga
suasana kampus menjadi rindang. Selain itu, disekeliling kampus ini juga terdapat
tempat fotocopy, tempat makan, dan toko alat-alat tulis dan kebutuhan kampus
yang dibutuhkan mahasiswa dalam perkuliahan.
Universitas menjadi salah satu tempat bertemunya berbagai macam suku
dan agama. Salah satu suku yang dimaksud adalah suku Batak Karo. Suku Batak
Karo merupakan salah satu suku Batak. Suku ini memiliki adat istiadat, moral,
hukum, kekeluargaan yang erat antar sesama suku (sumber : Barus, 23July, 2012).
Hal ini dapat dilihat dari unit kegiatan tempat berkumpulnya mahasiswa Karo di
kampus yang disebut dengan IMKA (Ikatan Mahasiswa Karo). Pada umumnya,
mahasiswa Karo yang senior akan mendata mahasiswa baru yang bersuku Karo
dengan melihat marga atau beru yang ada di papan pengumuman kelulusan
15
Universitas Kristen Maranatha kampus (daerah perantauan) dimana mahasiswanya berasal dari kota yang
berbeda.
Selain kampus memiliki tempat untuk berkumpulnya individu yang
bersuku Karo, Gereja “X” juga tempat perkumpulan masyarakat Karo. Gereja “X”
adalah tempat beribadah masyarakat Karo yang pertama kalinya berdiri di Tanah
Karo, Sumatera Utara dan melayani masyarakat Karo. (sumber : J.Andika
Syahputra Meliala, 26 Mei 2010). Gereja ini juga terdapat di kota Bandung.
Gereja ini menjadi tempat beribadah bagi mahasiswa Karo ketika berada di kota
Bandung.
Mahasiswa baru yang bersuku Karo yang berada di kota Bandung adalah
sojourner, yaitu individu yang tinggal sementara waktu dengan tujuan untuk menempuh pendidikan di kota Bandung dalam periode tertentu. Budaya Sunda
adalah budaya mainstream di kota Bandung. Dengan adanya kedua budaya
tersebut, maka terjadilah kontak yang disebut sebagai kontak multikultural. Hal
tersebut menunjukkan adanya proses akulturasi dimana seseorang bisa melewati
masa transisi budaya dengan baik atau tidak (Ward Bochner, Furnham
(2001:5,21)). Menurut Bochner, Furnham (2001:5,21), kontak dengan budaya
baru terjadi ketika seseorang dari suatu daerah mengunjungi daerah lain dengan
berbagai tujuan, misalnya belajar. Oleh karena itu, adanya perpindahan dari
daerah asal ke kota Bandung akan memunculkan kontak antar dua budaya atau
lebih di lingkungan yang baru. Budaya Karo berbeda dengan budaya Sunda,
sehingga hal ini memungkinkan mahasiswa mengalami culture shock. Culture
16
sesuatu yang negatif dan menimbulkan aksi yang dirasakan oleh individu ketika
berpindah ke lingkungan yang baru dan berbeda dengan lingkungan asalnya
(Oberg, 1960). Budaya Karo berbeda dengan budaya setempat sehingga dengan
adanya reaksi dari individu yang berasal dari budaya Karo terhadap budaya
setempat akan menimbulkan culture shock.
Culture shock terdiri dari tiga komponen. Komponen tersebut adalah affective, behaviour, dan cognitive. Komponen ini menjelaskan bahwa bagaimana orang merasakan, bertingkahlaku, berpikir, dan mengerti ketika menyikapi
perubahan budaya baru (Oberg, 1960). Menurut Bochner, Furnham, 2001,
terdapat 4 strategi akulturasi yang mungkin dilakukan oleh mahasiswa Karo
dalam menghadapi culture shock. Pertama, mahasiswa Karo berespon terhadap
budaya baru dengan tetap memegang teguh budaya yang telah dimiliki di tempat
asalnya. Kedua, mahasiswa Karo sepenuhnya terbuka dan menerima budaya yang
baru dengan cara melakukan asimilasi, identifikasi secara total, dan menyatu
dengan budaya yang baru. Ketiga, mahasiswa Karo akan memadukan
komponen-komponen yang terbaik, baik dari budaya asal maupun budaya baru, dan
kemudian memadukan kedua budaya tersebut. Keempat, mahasiswa Karo
memilih untuk bersikap statis karena mengalami kebimbangan dalam menghadapi
budaya baru, tidak melakukan asimilasi, bukan berarti tidak menerima budaya
baru.
Seseorang yang mengalami Culture Shock menunjukkan beberapa
17
Universitas Kristen Maranatha masalah, tidak percaya diri (Oberg dalam Ward Bochner, Furnham, 2001:80).
Dalam Culture Shock terdapat tiga komponen, yaitu : cognitive, affective, dan
behavioral. Komponen cognitive menjelaskan bahwa bagaimana mahasiswa Karo memahami orang lain, institusi, peristiwa yang terjadi di lingkungan yang baru
mereka kenal. Komponen ini memiliki aspek tidak menerima adanya perbedaan
peran, harapan terhadap peran tersebut, nilai yang dianut, perasaan, dan identitas
diri. Komponen affective menjelaskan bagaimana keadaan emosi yang muncul
ketika mahasiswa Karo memasuki budaya Sunda, misalnya bingung, kurang
nyaman, atau curiga. Adapun aspek dari komponen culture shock adalah adanya
perasaan tegang karena adanya usaha untuk beradaptasi secara psikis, merasa
kehilangan keluarga dan teman, merasa dirinya tidak berdaya karena tidak mampu
menyesuaikan diri dengan lingkungan di Bandung. Komponen behavioral
menjelaskan bagaimana kemampuan sosial mahasiswa Karo dalam menyesuaikan
diri dengan aturan yang berlaku, relasi sosial, komunikasi untuk berinteraksi di
Bandung. Komponen ini memiliki aspek tidak memahami adanya perbedaan
bahasa, kebiasaan, nilai / norma, dan sopan santun dan aspek penolakan terhadap
orang-orang di lingkungan Bandung, (Oberg dalam Ward, Bochner, Furnham,
2001:48,270-272).
Faktor-faktor yang mempengaruhi munculnya culture shock adalah
perbedaan makanan, pengaturan waktu, serta pergaulan dan cara berbicara,
lamanya kontak budaya, frekuensi kontak budaya, dukungan sosial, identitas
budaya, dan tahapan (J.P. Spradley and M. Phillips, 1972 dalam Ward, dkk,
18
mengatur pola makanannya setelah berada di budaya setempat, bagaimana mereka
mengekspresikan perilakunya ketika berada di budaya yang berbeda dengan
daerah asalnya, bagaimana cara mereka bergaul dan melakukan komunikasi
dengan individu yang memiliki budaya yang berbeda dengan daerah asalnya. Pada
saat berada di kota Bandung, mahasiswa Karo akan melakukan kontak dengan
budaya setempat. Hal yang mempengaruhi mahasiswa Karo ketika melakukan
kontak dengan budaya setempat adalah lamanya mahasiswa tersebut tinggal,
lamanya kontak dengan budaya setempat, frekuensi kontak sosial, dan dukungan
sosial. Selain itu, dan tahapan emosi culture shock yang dialami oleh
masing-masing individu ketika berada di kota Bandung. Jadi, semakin besar perbedaan
antara budaya Karo dengan budaya setempat, maka akan semakin sulit bagi
mahasiswa Karo untuk melakukan penyesuaian diri. Faktor-faktor tersebut dapat
menimbulkan culture shock pada mahasiswa baru yang berasal dari daerah asal
dan berada dalam lingkungan yang baru.
Culture shock memiliki derajat yang kuat, sedang, dan lemah. Mahasiswa Karo yang mengalami culture shock akan memiliki derajat yang berbeda-beda.
Mahasiswa Karo yang mengalami culture shock yang kuat adalah mahasiswa
yang mengalami gejala culture shock dan tidak mampu mengatasinya sehingga
tidak dapat menyesuaikan diri dengan budaya setempat. Mahasiswa Karo yang
mengalami derajat culture shock yang sedang adalah mahasiswa Karo yang
mengalami gejala culture shock dan masih mampu mengatasi culture shock yang
dialaminya serta masih mampu beradaptasi dengan budaya setempat. Mahasiswa
19
Universitas Kristen Maranatha yang mengalami gejala culture shock tidak terlalu banyak atau signifikan dan
tidak merasa gejala tersebut menjadi masalah yang berarti namun dapat
menyesuaikan diri dengan budaya baru dan dapat menerima perbedaan budaya itu.
Mahasiswa Karo yang memiliki banyak perbedaan dengan daerah yang
dikunjunginya akan menghambat orang tersebut dalam mencapai keberhasilan
20
Bagan 1.1. Kerangka Pikir Mahasiswa Karo di
Gereja “X”, Bandung
Komponen : A. Affective
- Ketegangan karena adanya usaha untuk beradaptasi secara psikis.
- Perasaan kehilangan dan kekurangan mahasiswa Karo terhadap keluarga dan teman.
- Perasaan tidak berdaya karena tidak mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan di kota Bandung.
B. Behavioral
- Perasaan tertolak atau menolak terhadap masyarakat dari budaya yang baru.
- Kebingungan akan peran, harapan terhadap peran, nilai yang dianut, perasaan dan identitas diri.
C. Cognitive
- Tidak memahami adanya perbedaan bahasa, kebiasaan, nilai / norma, dan sopan santun.
Faktor :
- Lamanya kontak budaya
- Frekuensi kontak sosial
- Makanan
- Pengaturan waktu
- Dukungan sosial
- Identitas Budaya
- Pergaulan dan cara berbicara
- Tahapan (honeymoon, crisis, recovery, dan adjustment)
Kuat
Lemah Culture Shock
Kontak dengan
21
Universitas Kristen Maranatha
1.6Asumsi
- Mahasiswa Karo di Gereja “X” di kota Bandung berasal dari luar
kota Bandung dan berasal dari universitas yang berbeda pula.
- Mahasiswa Karo di Gereja “X” di kota Bandung akan melakukan
kontak dengan budaya lain.
- Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi Culture Shock yang dialami
mahasiswa Karo ketika memasuki lingkungan yang berbeda dengan
budaya yang dimilikinya adalah lamanya kontak budaya, frekuensi
kontak sosial, makanan, pengaturan waktu, dukungan sosial, identitas
budaya, pergaulan dan cara berbicara, serta tahapan.
- Pada saat melakukan interaksi dengan budaya setempat, mahasiswa
baru yang bersuku Karo akan mengalami Culture Shock yang muncul
pada komponen (affective, behavioral, dan cognitive) dan
aspek-aspeknya (ketegangan karena adanya usaha untuk beradaptasi secara
psikis, perasaan kehilangan dan kekurangan keluarga dan teman,
merasa tidak berdaya karena tidak mampu menyesuaikan diri dengan
lingkungan di kota Bandung, perasaan tertolak atau menolak terhadap
masyarakat dari budaya yang baru tersebut, kebingungan akan peran,
harapan terhadap peran tersebut, nilai yang dianut, perasaan dan
identitas diri dan ketidakpahaman terhadap adanya perbedaan bahasa,
22
- Culture Shock yang dialami oleh mahasiswa Karo di Gereja “X” akan memiliki derajat culture shock yang berbeda-beda, yaitu kuat, sedang,
88
Universitas Kristen Maranatha BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh melalui pengolahan data
mengenai derajat culture shock pada mahasiswa Karo di Gereja “X” kota
Bandung, maka dapat disimpulkan bahwa :
1. Dari 30 orang mahasiswa Karo di Gereja “X” kota Bandung, sebagian
besar mahasiswa Karo mengalami culture shock dengan derajat yang
sedang.
2. Jika dilihat dari komponen culture shock, mahasiswa Karo di Gereja “X”
kota Bandung mulai mampu mengatasi masalah behavioral yaitu
beradaptasi dengan lingkungan Bandung dan masalah cognitive yaitu
mengetahui perbedaan antara budaya asal dengan budaya di kota Bandung.
Namun, mahasiswa Karo mengalami masalah dalam komponen affective
dimana terdapat hal-hal tertentu, seperti masalah makanan dan bahasa. Hal
ini terjadi karena mahasiswa Karo belum terbiasa dengan masakan di kota
Bandung. Mahasiswa Karo lebih menyukai masakan yang pedas. Selain
itu, mahasiswa Karo merasa sulit mempelajari bahasa mayoritas, seperti
bahasa Sunda karena mereka lebih sering berkomunikasi dengan teman
sesukunya dan jarang berkomunikasi dengan temannya yang berbeda suku
89
5.2 Saran
Dari hasil penelitian yang diperoleh, maka terdapat beberapa saran yang
diberikan oleh peneliti, yaitu :
a. Saran Teoretis
Bagi peneliti lain yang ingin melanjutkan penelitian ini, disarankan untuk :
1. Melakukan penelitian yang lebih fokus pada budaya, lingkungan
kampus atau fakultas mahasiswa Karo.
2. Melakukan penelitian mengenai culture shock pada mahasiswa yang
berasal dari daerah tertentu atau suku tertentu agar tidak menimbulkan
bias bagi yang membaca. Misalnya : meneliti mahasiswa Karo yang
langsung dari Sumatera dan melihat budaya orangtuanya juga karena
mempengaruhi culture shock yang dialami oleh mahasiswa.
3. Memeriksa kembali aspek, faktor-faktor, dan tahap-tahap yang
mempengaruhi terjadinya culture shock yang dialami oleh mahasiswa.
4. Dalam membuat tabulasi silang, perlu memperhatikan tabel yang
dibuat agar mempermudah bagi pembaca untuk membaca penelitian
yang telah dibuat.
b. Saran Praktis
1. Pengurus Gereja “X” dapat menggunakan hasil penelitian ini sebagai
informasi untuk dapat menentukan program konseling (bimbingan,
pelatihan) yang tepat bagi mahasiswa Karo yang mengalami culture
90
Universitas Kristen Maranatha 2. Mahasiswa Karo di Gereja “X” dapat menggunakan penelitian ini
sebagai informasi untuk lebih mengenali gejala culture shock yang
dialami dengan cara membaca simptom-simptom dan alternatif untuk
mengurangi culture shock sehingga dapat membantu mereka dalam
DAFTAR PUSTAKA
Berry, John.W, dkk.1992. Cross-Cultural Psychology : research and application. United State of America : Cambridge University Press.
Furnham, A & Bochner, S. 1986. Culture Shock : Psychological reaction to unfamiliar environments. London and New York : Menthuen & Co.
Ginting, Perdana. 1989. Masyarakat Karo Dewasa Ini : Hasil Rumusan SarasehanBudaya Karo1989.
Freidenberg, Lisa. 1995. Psychological Testing : Desaign, Analysis and Use. USA : Allyn & Bacon.
Koentjaraningrat. 2002. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta : Rineka Cipta.
Santrock, John W. 2002. Life-Span Development : Perkembangan Masa Hidup Edisi 5 Jilid 2. Jakarta : Erlangga.
Sugiyono, Prof.DR. 2005. Statistik untuk Penelitian. Bandung : Alfabeta.
Tarigan, Sarjani. 2009. Lentera Kehidupan Orang Karo dalam Berbudaya. Medan.
91
Universitas Kristen Maranatha DAFTAR RUJUKAN
Angran, J.15 Oktober 2012. Culture Shock : Shock Karena Bertemu Budaya yang Berbeda. (Online). (http://jurnaljane.blogspot.com/2011/12/culture-shock-shock-karena-bertemu.html, diakses 15 Oktober 2012).
Grace Oktracia, Tamara. 2011. Studi Deskriptif Mengenai Culture Shock pada Mahasiswa Semester I yang Berasal Dari Luar Pulau Jawa Barat di Universitas “X” Bandung. Skripsi. Bandung : Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha.
http://id.wikipedia.org/wiki/Kota_Bandung, diakses pada tanggal 15 Oktober 2012.
http://id.wikipedia.org/wiki/tanah Karo, diakses pada tanggal15 Oktober 2012
http://karo-medan.blogspot.com, diakses pada tanggal 15 Oktober 2012
http://kitamedia.blogspot.com, diakses pada tanggal 16 Oktober 2012
http://www.karoweb.or.id/suku-karo/, diakses 15 pada tanggal Oktober 2012
Pedoman Penulisan Skripsi (Agustus 2007). Bandung: Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha.