• Tidak ada hasil yang ditemukan

Studi Deskriptif Mengenai Derajat Culture Shock Pada Mahasiswa Karo di Gereja "X" Kota Bandung.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Studi Deskriptif Mengenai Derajat Culture Shock Pada Mahasiswa Karo di Gereja "X" Kota Bandung."

Copied!
37
0
0

Teks penuh

(1)

Universitas Kristen Maranatha

ABSTRAK

Penelitian ini dilakukan untuk memperoleh gambaran mengenai derajat culture shock yang dialami oleh mahasiswa Karo di Gereja”X”, kota Bandung. Tujuan penelitian ini adalah memberikan gambaran yang lebih rinci mengenai persentase dari masing-masing derajat culture shock serta komponen, aspek, dan indikator culture shock yang paling dominan pada mahasiswa Karo di Gereja”X”, kota Bandung. Sampel penelitian ini adalah mahasiswa Karo di Gereja”X”, kota Bandung dan telah menetap di kota Bandung dalam jangka waktu maksimal satu setengah tahun. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian deskriptif. Pengumpulan data dilakukan dengan alat ukur berupa kuesioner derajat culture shock yang terdiri atas 38 item.

Berdasarkan hasil penelitian ini, dari 30 mahasiswa Karo di Gereja”X”, kota Bandung, 13 orang (43,3%) mahasiswa Karo mengalami culture shock dengan derajat yang sedang, 9 orang (30,0%) mahasiswa Karo mengalami culture shock dengan derajat yang lemah, dan 8 orang (26,7%) mahasiswa Karo mengalami culture shock dengan derajat yang kuat. Derajat culture shock yang paling tinggi persentasenya adalah derajat yang sedang. Dilihat dari komponen culture shock mahasiswa Karo telah mampu mengatasi masalah behavioral dan cognitive namun mereka kesulitan dalam mengatasi masalah affective.

(2)

ABSTRACT

This study was conducted to get an overview of the culture shock degree experienced by Karo students in the Church "X", Bandung city. The purpose of this study is to describe a more detailed percentage of culture shock's each degree as well as components, aspects and indicators of the most dominant culture shock in the Karo students in the Church "X". The sample is the Karo student in the Church "X" in the city of Bandung and have settled in the city in a maximum of one and a half years. The method used in this study is the descriptive research. The data was collected by measuring instrument in the form of a culture shock degree questionnaire consisting of 38 items.

Based on the results of this study, from 30 Karo students in the Church "X", 13 students (43.3%) experienced culture shock with moderate degrees, 9 students (30.0%) experienced culture shock with weak degree, and 8 students (26.7%) experienced culture shock with a strong degree. The highest percentages is the moderate degree. Seen from the culture shock component, Karo students have been able to cope with behavioral and cognitive issues, but they have a difficulties to cope with affective issues.

(3)

iv

Universitas Kristen Maranatha DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN

KATA PENGANTAR... i

DAFTAR ISI... v

DAFTAR TABEL... viii

DAFTAR BAGAN... x

DAFTAR LAMPIRAN... xi

BAB I PENDAHULUAN 1.1Latar Belakang Masalah...1

1.2 Identifikasi masalah... 12

1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian... 12

1.3.1 Maksud penelitian... 12

1.3.2 Tujuan penelitian ... 12

1.4 Kegunaan Penelitian... 12

1.4.1 Kegunaan Teoretis... 12

1.4.2 Kegunaan Praktis... 12

1.5 Kerangka Pikir... 13

(4)

v

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Culture Shock... 23

2.1.1 Definisi Culture Shock... 23

2.1.2 Simptom Culture Shock... 23

2.1.3 Komponen Culture Shock... 24

2.1.4 Tahap-tahap terjadinya Culture Shock... 27

2.1.5 Faktor- faktor yang mempengaruhi Culture Shock... 29

2.2 Sojourner... 30

2.2.1 Pengertian Sojourner... 30

2.2.2 Tipe Sojourner... 30

2.2.3 Kendala yang dihadapi mahasiswa sebagai sojourner... 26

2.3 Transisi dari Sekolah Menengah Atas Menuju Universitas... 31

2.4 Kebudayaan... 32

2.4.1 Definisi Kebudayaan... 32

2.4.2 Wujud Kebudayaan... 32

2.5 Akulturasi... 34

2.5.1 Defenisi Akulturasi... 34

2.5.2 Elemen Dasar Akulturasi... 34

2.5.3 Jenis-jenis Strategi Akulturasi... 35

2.5.4 U-Curved of Adjustment... 36

2.5.5 Faktor Eksternal yang Mempengaruhi Strategi Akulturasi... 37

(5)

vi

Universitas Kristen Maranatha

2.6 Budaya Karo... 40

2.6.1 Identitas Budaya Karo... 40

2.6.2 Sifat dan Watak Manusia Karo... 42

2.6.3 Sistem Kekerabatan di Masyarakat Karo... 46

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian... 48

3.2 Bagan Rancangan Penelitian... 48

3.3 Variabel Penelitian dan Definisi Operasional... 49

3.3.1 Variabel Penelitian... 49

3.3.2 Definisi Konseptual... 49

3.3.3 Definisi Operasional... 49

3.4 Alat ukur... 50

3.4.1 Jenis Alat Ukur... 50

3.4.2 Data Pribadi dan Data Sekunder... 55

3.4.2.1 Data Pribadi... 55

3.4.2.2 Data Sekunder... 56

3.4.3 Validitas dan Reliabilitas Alat Ukur... 56

3.4.3.1 Validitas Alat Ukur ... .56

3.4.3.2 Reliabilitas Alat Ukur... 57

3.5 Populasi dan Teknik Penarikan Sampel... 59

3.5.1 Populasi Sasaran... 59

(6)

vii

3.6 Teknik Analisis Data... 59

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Penelitian... 61

4.1.1 Gambaran Responden... 60

4.1.2 Hasil Pengolahan Data... 64

4.1.2.1 Derajat Culture Shock ... 64

4.1.2.2 Gambaran Hasil Penelitian pada Aspek-Aspek Culture Shock... 66

4.1.2.3 Tabulasi Silang Antara Derajat Culture Shock Dengan Aspek Culture Shock... 70

4.2 Pembahasan... 77

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan... 88

5.2 Saran... 89

DAFTAR PUSTAKA... 90

(7)

viii

Universitas Kristen Maranatha DAFTAR TABEL

Tabel 3.1 Rincian Alat Ukur... 51

Tabel 3.2 Bobot Penilaian... 54

Tabel 4.1 Gambaran Responden berdasarkan Jenis Kelamin... 61

Tabel 4.2 Gambaran Responden berdasarkan Usia... 61

Tabel 4.3 Gambaran Responden berdasarkan Daerah Asal... 62

Tabel 4.4 Gambaran Responden berdasarkan Lama Tinggal di Daerah Asal.... 62

Tabel 4.5 Gambaran Responden berdasarkan Lama Tinggal di Kota Bandung..62

Tabel 4.6 Gambaran Responden berdasarkan Universitas... 63

Tabel 4.7 Gambaran Responden berdasarkan Fakultas... 64

Tabel 4.8 Presentase Derajat Culture Shock... 64

Tabel 4.9 Komponen Affective... 65

Tabel 4.10 Komponen Behavioral... 65

Tabel 4.11 Komponen Cognitive... 66

Tabel 4.12 Gambaran Responden Berdasarkan Aspek Ketegangan Karena Adanya Usaha Untuk Beradaptasi Secara Psikis... 66

Tabel 4.13 Gambaran Responden Berdasarkan Aspek Perasaan Kehilangan dan Kekurangan Keluarga dan Teman... 67

(8)

ix

Tabel 4.15 Gambaran Responden Berdasarkan Aspek Tertolak atau Menolak

Terhadap Masyarakat dari Budaya yang Baru... 68

Tabel 4.16 Gambaran Responden Berdasarkan Aspek Kebingungan akan Peran,

Harapan terhadap Peran tersebut, Nilai yang Dianut, Perasaan dan

Identitas Diri... 68

Tabel 4.17 Gambaran Responden Berdasarkan Aspek Tidak Memahami Adanya

Perbedaan Bahasa, Kebiasaan, Nilai/Norma, dan Sopan Santun..69

Tabel 4.18 Tabulasi Silang antara Derajat Culture Shock dengan Aspek

KeteganganFisik karena Adanya Usaha untuk Beradaptasi Secara

Psikis... 70

Tabel 4.19 Tabulasi Silang antara Derajat Culture Shock dengan Aspek Perasaan

Kehilangan dan Kekurangan terhadap Keluarga dan Teman... 71

Tabel 4.20 Tabulasi Silang antara Derajat Culture Shock dengan Aspek Perasaan

Tidak berdaya karena Tidak Mampu Menyesuaikan Diri dengan

Lingkungan di Kota Bandung... 72

Tabel 4.21 Tabulasi Silang antara Derajat Culture Shock dengan Aspek Tertolak

atau Menolak terhadap Masyarakat dari Budaya yang Baru.... 74

Tabel 4.22 Tabulasi Silang Antara Derajat Culture Shock dengan Aspek

Kebingungan akan Peran, Harapan terhadap Peran Tersebut, Nilai

yang Dianut, Perasaan dan Identitas Diri... 75

Tabel 4.23 Tabulasi Silang antara Derajat Culture Shock dengan Aspek Tidak

Memahami Adanya Perbedaan Bahasa, Kebiasaan, Nilai/Norma, dan

(9)

x

Universitas Kristen Maranatha DAFTAR BAGAN

Bagan 1.1. Kerangka Pikir...17

Bagan 2.1. U-Curve of Adjustment...30

(10)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran A Sejarah Budaya Karo

Lampiran B Kuesioner Penelitian

Lampiran C Kisi-kisi Alat Ukur

(11)

1

Universitas Kristen Maranatha BAB I

PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang Masalah

Indonesia adalah negara yang terdiri dari berbagai suku, yang setiap

sukunya mempunyai karakteristik yang berbeda. Perbedaan yang dimaksud antara

lain dalam hal kebiasaan, gaya hidup, adat istiadat, dan keyakinan. Perbedaan

karakteristik tersebut menjadi hal yang menarik untuk dipelajari.

Perbedaan itu dapat dilihat diantaranya ketika seorang siswa lulusan

Sekolah Menengah Atas (SMA) melanjutkan pendidikannya ke jenjang yang lebih

tinggi, yaitu Perguruan Tinggi. Perguruan tinggi merupakan salah satu tujuan bagi

lulusan SMA yang ingin melanjutkan pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi.

Mereka yang ingin kuliah akan menjadi calon mahasiswa di universitas yang

sesuai dengan kriteria yang mereka inginkan. Salah satu pulau yang menjadi

tujuan calon mahasiswa untuk melanjutkan pendidikan setelah SMA adalah pulau

Jawa.

Pulau Jawa dinilai lebih maju daripada daerah lainnya. Salah satu kota

di Pulau Jawa adalah kota Bandung. Kota Bandung dikenal sebagai kota yang

maju dan berkembang. Kota ini juga menjadi sasaran orang yang berasal dari

berbagai pulau untuk melanjutkan pendidikannya. Hal ini ditandai dengan

berkembangnya pembangunan di daerah Pulau Jawa di bidang pendidikan yang

(12)

2

daya tarik bagi calon mahasiswa untuk melanjutkan pendidikan di pulau Jawa,

baik calon mahasiswa yang berasal dari dalam maupun luar Pulau Jawa (sumber :

Babesajabu,5 January 2010).

Salah satu suku yang dimaksud adalah suku Batak Karo. Suku Batak

Karo merupakan salah satu suku Batak. Suku Karo memiliki adat istiadat, moral,

hukum, kekeluargaan yang erat antar sesama suku. Suku Karo adalah suku asli

yang mendiami Dataran Tinggi Karo, Sumatera Utara, Indonesia. Nama suku ini

dijadikan salah satu nama kabupaten di salah satu wilayah yang mereka diami

(dataran tinggi Karo), yaitu Kabupaten Karo. Suku ini juga memiliki bahasa

sendiri yang disebut Bahasa Karo (sumber : Barus, 23July, 2012).Pada umumnya,

masyarakat Karo beragama Kristen Protestan, dan memiliki tempat ibadah yang

diberi nama Gereja “X”.

Gereja “X” adalah sebuah Gereja yang berdiri di Tanah Karo,

Sumatera Utara dan melayani masyarakat Karo. Gereja “X” adalah gereja Kristen

Protestan yang beraliran Calvinis. Salah satu cabang dari Gereja “X” yang

terdapat di pulau Jawa berada di kota Bandung yang beralamat di Jl.L. Gereja “X”

merupakan Klasis Jakarta-Bandung. Pada umumnya calon mahasiswa Karo yang

melanjutkan pendidikannya di kota Bandung akan melakukan ibadah di tempat

ini. Hal ini dikarenakan mereka juga beribadah di gereja ini di daerah asalnya.

Pada saat mahasiswa baru yang bersuku Karo datang ke kota Bandung maka

mahasiswa tersebut akan berinteraksi dengan budaya kota Bandung. Dalam proses

masuknya seseorang ke dalam budaya baru, orang tersebut akan melakukan

(13)

3

Universitas Kristen Maranatha saling bertukar perbedaan budaya, yang timbul dari keberlanjutan perjumpaan

pertama, terjadi perubahan pola asli kebudayaan dari kedua kelompok tersebut

(Redfield, dkk dalam Berry, John.W, dkk, Cross-Cultural Psychology : research

and application.). Apabila seseorang bisa menjalani proses akulturasi atau dapat menerima perbedaan ketika berada di lingkungan baru maka ia dapat mencegah

culture shock.

Culture Shock dalam buku The Psychology of Culture Shock adalah gambaran dari sesuatu yang negatif dan menimbulkan aksi yang dirasakan oleh

individu ketika berpindah ke lingkungan yang baru dan berbeda dengan

lingkungan asalnya (Oberg, 1960). Jadi, culture shock adalah gambaran dari

sesuatu yang negatif dan menimbulkan aksi yang dirasakan oleh mahasiswa baru

yang bersuku Karo ketika tinggal di kota Bandung dan berbeda dengan daerah

asalnya sehingga menghambat mahasiswa tersebut dalam berinteraksi dengan

budaya di kota Bandung.

Reaksi yang diberikan terhadap lingkungan budaya baru berupa

bagaimana individu merasakan, bertingkah laku, berpikir, dan menerima pengaruh

kebudayaan baru yang menerimanya. Culture shock memiliki tiga komponen.

Komponen culture shock tersebut adalah affective, behavioral, dan cognitive.

Komponen ini menjelaskan bagaimana orang merasakan, bertingkahlaku, berpikir,

dan mengerti ketika menyikapi perubahan budaya baru.

Umumnya, culture shock dialami oleh pendatang selama enam bulan

sampai satu setengah tahun sejak kedatangannya. Pada saat survey, mahasiswa

(14)

4

setengah tahun (delapan belas bulan). Hal-hal yang menimbulkan culture shock

adalah perbedaan makanan, pengaturan waktu, serta pergaulan dan cara berbicara,

lamanya kontak budaya, frekuensi kontak budaya, dukungan sosial, identitas

budaya, dan tahapan (J.P. Spradley and M. Phillips, 1972 dalam Ward, Bochner,

Furnham, 2001:74). Ciri-ciri culture shock adalah perasaan sedih (merasa sedih

dan terasingkan saat individu sedang berada di tengah-tengah orang banyak),

kesepian, sulit tidur, adanya masalah kesehatan (mulai merasa kurang sehat

sehingga dapat menimbulkan beberapa penyakit, seperti flu, pilek, demam, diare),

keinginan untuk beristirahat terlalu banyak atau terlalu sedikit, perubahan

temperamen, merasa tidak berdaya, depresi dan tidak percaya diri (tidak bisa

mengikuti pola hidup di budaya yang baru sehingga individu menjadi malas

bergaul dan memilih diam saja karena merasa tidak percaya diri), perasaan malas

melakukan kontak dengan orang lain, kehilangan identitas diri, ketidakmampuan

dalam memecahkan masalah, mengikuti segala perubahan dalam budaya baru, dan

merasa tidak aman. (Oberg dalam Ward, Bachner, Furnham, 2001:80).

Sebelum melakukan survey, beberapa mahasiswa Karo di Gereja “X”

terlihat bingung dalam menentukan makanan ketika berada di kota Bandung. Hal

ini dilihat ketika mahasiswa Karo bingung dalam memilih menu makanan yang

ada di Bandung karena makanannya berbeda dengan daerah asalnya. Beberapa

mahasiswa Karo memilih makanan yang hampir sama dengan menu makanan

yang ada di daerah asalnya dan pada umumnya memilih menu makanan dengan

rasa yang pedas, misalnya arsik. Selain itu, ada juga mahasiswa Karo yang

(15)

5

Universitas Kristen Maranatha alasan mahasiswa Karo memasak di kosan adalah untuk menghemat uang bulanan

dan mahasiswa Karo lebih menyukai masakan yang biasa dibuatnya di daerah

asalnya. Mahasiswa Karo tersebut kurang menyukai makanan di kota Bandung.

Di samping masalah makanan, beberapa mahasiswa Karo lebih akrab dengan

teman sesuku dibandingkan teman yang berbeda suku ketika berada di kota

Bandung. Hal ini karena mahasiswa Karo memiliki suku yang sama sehingga

mempermudah mereka dalam bercerita dan bercanda.

Peneliti telah melakukan survey kepada 10 orang mahasiswa Karo di

Gereja “X” pada tanggal 8 – 11 September 2012. Survey dilakukan dengan cara

menyebarkan kuesioner dan wawancara. Survey yang dilakukan kepada

mahasiswa Karo di Gereja “X” adalah mahasiswa Karo yang berasal dari kota

yang berbeda (misalnya kota Jakarta, Medan, Bengkulu, Kabanjahe) dan

universitas yang berbeda (misalnya Unpad, Maranatha). Mahasiswa yang berasal

dari pulau Jawa akan memiliki culture shock yang berbeda dengan mahasiswa

yang berasal dari pulau Sumatera. Hal ini karena mahasiswa Karo yang tinggal di

pulau Jawa pernah liburan ke kota Bandung sehingga mengurangi derajat culture

shocknya karena telah terbiasa dengan budaya kota Bandung. Setiap mahasiswa Karo yang berasal dari universitas yang berbeda ini memiliki unit kegiatan yang

diberi nama IMKA (Ikatan Mahasiswa Karo). Unit kegiatan ini adalah tempat

berkumpulnya mahasiswa Karo untuk membentuk suatu keluarga di daerah

perantauan dan mempelajari lebih dalam mengenai budaya Karo. Beberapa

mahasiswa Karo aktif dalam unit kegiatan IMKA di kampusnya karena mereka

(16)

6

berkumpulnya dekat dengan daerah tempat tinggal mereka di kota Bandung.

Mahasiswa Karo ada juga yang pasif dengan unit kegiatan ini karena tempat

berkumpulnya jauh dengan daerah tempat tinggalnya di kota Bandung. Jatinangor

dijadikan tempat berkumpulnya mahasiswa Karo sedangkan daerah tempat

tinggalnya berada di daerah Dipatiukur. Selain di kampus, tempat berkumpulnya

mahasiswa Karo adalah di Gereja “X” yang disebut dengan PERMATA (Persadan

Man Anak Gerejanta). PERMATA berbeda dengan IMKA karena PERMATA

bukanlah suatu organisasi budaya tetapi organisasi gereja yang menjadi sarana

untuk mencapai visi gereja itu sendiri. Adapun bentuk kegiatan yang dilakukan

adalah ekskul landek (belajar tarian Karo), penggunaan musik Karo di gereja,

gendang guro-guro aron, seminar budaya.

Hasil survey awal yang telah dilakukan adalah sebagai berikut. Alasan

mahasiswa Karo memilih kota Bandung untuk melanjutkan pendidikan adalah

sebanyak 50% (5 orang) mahasiswa Karo di Gereja “X” ingin melanjutkan

pendidikannya di kota Bandung karena menurut mereka kota Bandung memiliki

universitas yang berkualitas dan mereka ingin mendapatkan kualitas pendidikan

yang lebih baik. Sebanyak 40% (4 orang) mahasiswa Karo di Gereja “X” ingin

melanjutkan pendidikannya di kota Bandung karena menurut mereka kota

Bandung memiliki suasana yang mendukung dalam hal belajar dan ingin

memperluas wawasan di luar kota asal mereka. Sebanyak 10% (1 orang)

mahasiswa Karo di Gereja “X” melanjutkan pendidikan di kota Bandung karena

(17)

7

Universitas Kristen Maranatha Saat berada di kota Bandung, 50% (5 orang) mahasiswa Karo di Gereja

“X” tidak merasa cemas ketika berada di kota Bandung karena mereka memiliki

banyak saudara dan kenalan yang tinggal di kota Bandung dan atau telah terbiasa

hidup mandiri sejak menempuh SMA. Sebanyak 50% (5 orang) mahasiswa Karo

di Gereja “X” merasa cemas ketika berada di kota Bandung karena tidak memiliki

saudara yang tinggal di kota Bandung dan banyak terjadi kriminal seperti

pencopetan di daerah tempat tinggalnya di kota Bandung. Mereka juga merasa

cemas selama di kota Bandung karena mereka belum mengetahui situasi kota

Bandung dan cemas dalam mengatur keuangan, misalnya uang bulanan yang

diberikan orangtua habis sebelum waktunya. Hal ini menjelaskan mahasiswa Karo

yang belum terbiasa mandiri di daerah asalnya ketika datang ke kota Bandung

akan merasa cemas. Fenomena di atas menjelaskan komponen affective yaitu

aspek ketegangan mahasiswa Karo karena adanya usaha untuk beradaptasi secara

psikis.

Ketika mahasiswa merantau ke kota Bandung untuk melanjutkan

pendidikan, 60% (6 orang) mahasiswa Karo di Gereja “X” mereka telah terbiasa

hidup mandiri (jauh atau tidak tinggal bersama keluarganya) sejak menempuh

pendidikan di SMA sehingga tidak merasa sedih ketika berada jauh dari

orangtuanya. Sebanyak 40% (4 orang) mahasiswa Karo di Gereja “X” merasa

sedih ketika berada jauh dari orangtuanya dan merasa kesepian. Meskipun mereka

merasa sedih, mereka tahu bahwa mereka harus belajar mandiri untuk

(18)

8

Selama di kota Bandung, 60% (6 orang) mahasiswa Karo di Gereja “X”

sering melakukan komunikasi dengan orangtuanya melalui telepon atau SMS.

Mereka melakukan komunikasi dengan orangtuanya sebanyak dua kali dalam

seminggu dan ada juga mahasiswa yang berkomunikasi dengan orangtuanya

setiap hari. Sebanyak 40% (4 orang) mahasiswa Karo di Gereja “X” jarang

melakukan komunikasi dengan orangtuanya. Hal ini karena mereka telah terbiasa

tidak tinggal dengan orangtuanya. Pada saat mahasiswa Karo datang ke kota

Bandung untuk melanjutkan pendidikannya, mereka terpisah dengan orangtuanya

yang berada di daerah asalnya. Fenomena di atas menjelaskan komponen affective

yaitu aspek perasaan kehilangan mahasiswa Karo terhadap keluarga.

Sebanyak 60% (6 orang) mahasiswa Karo di Gereja “X” menganggap

teman sesuku maupun yang berbeda suku membuat mereka nyaman. Mereka tidak

memiliki kriteria khusus dalam berteman. Menurut mereka, perbedaan suku itu

sangat menyenangkan. Sebanyak 40% (4 orang) mahasiswa Karo di Gereja “X”

merasa bahwa mereka lebih nyaman dengan teman sesuku karena mempermudah

dalam bercerita. Hal ini karena mereka memiliki budaya, tutur kata yang sama,

dan berasal dari suku yang sama. Fenomena di atas menjelaskan komponen

behavioral yaitu aspek penolakan terhadap orang-orang di lingkungan baru dan aspek tidak menerima adanya perbedaan peran, harapan, terhadap peran tersebut,

nilai yang dianut, perasaan, dan identitas diri.

Sebanyak 70% (7 orang) mahasiswa Karo di Gereja “X” kesulitan dalam

memahami dan mengerti bahasa Sunda selama di kota Bandung. Hal ini membuat

(19)

9

Universitas Kristen Maranatha Banyak hal yang membedakan antara suku Karo dengan suku Sunda. Salah satu

perbedaan yang paling mencolok adalah dalam hal berkomunikasi. Biasanya

masyarakat Karo dalam berbicara menggunakan intonasi yang cukup tinggi jika

dibandingkan dengan suku Sunda. Ada beberapa kata dalam bahasa Karo yang

memiliki arti yang sangat jauh berbeda jika diartikan ke dalam bahasa Sunda.

Misalnya, kata motor dalam bahasa Karo berarti kendaraan roda empat atau

mobil, kereta dalam bahasa Karo berarti sepeda motor. Kata lain yang sangat

mencolok adalah kata “bujur”. Dalam bahasa Karo diartikan sebagai ucapan

terima kasih, sedangkan dalam bahasa Sunda diartikan sebagai kata yang kasar

yaitu bagian belakang tubuh manusia.

Selain masalah bahasa, sebanyak 30% (3 orang) mahasiswa Karo di

Gereja “X” kesulitan dalam hal makanan karena menurut mereka, makanan di

kota Bandung berbeda dengan daerah asal mereka. Mahasiswa Karo di Gereja

“X” mengetahui bahwa makanan di kota Bandung yang bermacam-macam dan

kebanyakan makanan yang disajikan terasa manis sehingga mengurangi nafsu

makan mereka. Pada awalnya, mahasiswa Karo tersebut tidak menyukai makanan

di kota Bandung. Mereka merindukan masakan dari daerah asal mereka yang cita

rasanya berbeda dengan masakan yang ada di kota Bandung. Biasanya, makanan

yang dibuat oleh suku Karo memiliki rasa yang lebih pedas. Namun seiring

berjalannya waktu, mereka mulai beradaptasi dengan makanan itu. Fenomena ini

menjelaskan komponen cognitive yaitu aspek ketidakpahaman mahasiswa Karo

terhadap adanya perbedaan bahasa, kebiasaan, nilai / norma, dan sopan santun di

(20)

10

Di samping kesulitan dalam hal makanan dan bahasa, mahasiswa Karo di

Gereja “X” juga mengalami sulit tidur. Sebanyak 60% (6 orang) mahasiswa Karo

di Gereja “X” mengalami sulit tidur karena cuaca di daerah asalnya berbeda

dengan di kota Bandung. Selain cuaca yang berbeda dengan daerah asalnya, hal

ini juga dipengaruhi oleh tugas-tugas perkuliahan yang harus diselesaikan bahkan

mengerjakannya hingga subuh. Sebanyak 40% (4 orang) mahasiswa Karo di

Gereja “X” tidak mengalami sulit tidur karena mereka terbiasa dengan cuaca

dingin. Fenomena di atas menjelaskan komponen affective yaitu aspek perasaan

mahasiswa Karo yang menganggap dirinya tidak berdaya karena tidak mampu

menyesuaikan diri dengan lingkungan di kota Bandung.

Selain itu, sebanyak 50% (5 orang) mahasiswa Karo di Gereja “X”

menganggap bahwa nilai-nilai kekeluargaan di daerah asalnya lebih tinggi

dibandingkan dengan budaya di kota Bandung. sebanyak 50% (5 orang)

mahasiswa Karo di Gereja “X” lainnya menganggap bahwa baik di daerah asalnya

dan di kota Bandung, sama-sama menjunjung nilai kekeluargaan. Fenomena ini

menjelaskan komponen behavioral yaitu kebingungan akan peran, harapan

terhadap peran, nilai yang dianut, perasaan dan identitas diri

Jika dikaitkan dengan komponen culture shock, masalah yang dialami oleh

mahasiswa Karo adalah masalah affective yaitu ketegangan karena adanya usaha

untuk beadaptasi secara psikis. Hal ini ditunjukkan dengan adanya perbedaan

cuaca juga membuat mahasiswa Karo menjadi sulit tidur dengan cuaca di

Bandung. Hal ini karena cuaca daerah asal mereka berbeda dengan daerah

(21)

11

Universitas Kristen Maranatha dalam pemahaman mereka mengenai perbedaan bahasa, kebiasaan, nilai / norma,

dan sopan santun. Beberapa mahasiswa mengatakan bahwa mereka merasa

kesulitan karena sulitnya bergaul dengan teman-temannya yang berasal dari

budaya yang berbeda dengan dirinya, misalnya bahasa. Mereka kesulitan dalam

memahami bahasa budaya setempat yaitu bahasa Sunda. Selain itu, mahasiswa

Karo juga memiliki masalah behavioral dimana mahasiswa Karo di Gereja “X”

tampaknya lebih banyak mengalami hambatan ketika berelasi dengan mahasiswa

yang berasal dari kota Bandung. Sebagian mahasiswa Karo tersebut lebih nyaman

berelasi dengan teman yang berasal dari satu daerah asalnya.

Semua fenomena di atas merupakan aspek-aspek dari culture shock yaitu

ketegangan karena adanya usaha untuk beradaptasi secara psikis, perasaan

kehilangan dan kekurangan keluarga dan teman, merasa tidak berdaya karena

tidak mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan di kota Bandung, perasaan

tertolak atau menolak mahasiswa Karo terhadap masyarakat dari budaya yang

baru tersebut, kebingungan mahasiswa Karo akan peran, harapan terhadap peran

tersebut, nilai yang dianut, perasaan dan identitas diri dan ketidakpahaman

terhadap adanya perbedaan bahasa, kebiasaan, nilai / norma, dan sopan santun.

Oleh karena adanya mahasiswa yang mengalami culture maka peneliti tertarik

untuk meneliti tentang derajat culture shock pada mahasiswa suku Karo di Gereja

(22)

12

1.2Identifikasi Masalah

Dari penelitian ini ingin diketahui derajat Culture Shock pada

mahasiswa Karo di gereja “X”, Bandung.

1.3Maksud dan Tujuan Penelitian

1.3.1. Maksud penelitian

Memperoleh data mengenai derajat Culture Shock pada mahasiswa

Karo di gereja “X”, kota Bandung.

1.3.2 Tujuan penelitian

Untuk mengetahui gambaran spesifik mengenai derajat Culture Shock

yang dialami oleh mahasiswa Karo di gereja “X”, kota Bandung dilihat dari

komponen, aspek dan indikator.

1.4Kegunaan Penelitian

1.4.1 Kegunaan Teoritis

- Memberikan masukan bagi Ilmu Psikologi Lintas Budaya mengenai

Culture Shock khususnya pada mahasiswa Karo.

- Memberikan masukan pada peneliti lain yang berminat melakukan

penelitian Culture Shock pada mahasiswa Karo.

1.4.2 Kegunaan Praktis

- Memberi masukan bagi gereja “X”, khususnya dalam kegiatan

(23)

13

Universitas Kristen Maranatha dengan cara melakukan PA (Pendalaman Alkitab) kepada mahasiswa

baru yang berasal dari luar daerah dalam mencegah terjadinya

Culture Shock.

- Memberikan arahan dalam acara penerimaan anggota baru di gereja

atau unit kegiatan gereja, misalnya Permata (kumpulan pemuda

pemudi di gereja “X”).

1.5Kerangka Pikir

Transisi dari sekolah menengah atas ke universitas dapat melibatkan

hal-hal yang positif, pelajar mungkin lebih merasa dewasa, lebih banyak pelajaran

yang dapat dipilih, lebih banyak waktu untuk dihabiskan bersama kelompok

sebaya, lebih banyak kesempatan untuk mengeksplorasi gaya hidup dan

nilai-nilai, menikmati kemandirian yang lebih luas dari pengawasan orang tua, dan

tertantang secara intelektual oleh tugas akademik. Namun demikian, mahasiswa

baru tampaknya lebih banyak mengalami tekanan dan depresi. Ketakutan akan

kegagalan dalam sebuah dunia yang berorientasi pada kesuksesan seringkali

menjadi alasan untuk stress dan depresi (Belle & Paul, 1989: Upcraft & Gardner,

1989).

Banyak lulusan SMA yang melanjutkan pendidikannya ke jenjang yang

lebih tinggi, yaitu perguruan tinggi. Mereka yang melanjutkan pendidikannya

akan mencari universitas yang mereka inginkan dan bahkan berusaha untuk kuliah

di luar daerah asal mereka. Perkembangan pendidikan di Pulau Jawa yang

(24)

14

mahasiswa yang berasal dari luar daerah untuk melanjutkan pendidikannya di

Pulau Jawa. Pulau Jawa dinilai lebih maju daripada daerah lainnya, misalnya kota

Bandung. Kota Bandung menjadi sasaran orang yang berasal dari berbagai pulau

untuk melanjutkan pendidikannya karena pendidikan yang memiliki universitas

berkualitas, baik negeri maupun swasta sehingga menjadi daya tarik bagi calon

mahasiswa untuk melanjutkan pendidikan di pulau Jawa (sumber : Babesajabu,5

January 2010). Hal ini ditandainya dengan sarana dan prasarana yang lengkap.

Misalnya, universitas swasta yang ada di Bandung (contohnya, Universitas

Maranatha) yang memiliki sarana dalam perkuliahan yang lengkap seperti

perpustakaan yang lengkap dan lingkungan yang mendukung mahasiswa untuk

belajar dimana banyak pohon dan tanaman lainnya ditanam dan dirawat sehingga

suasana kampus menjadi rindang. Selain itu, disekeliling kampus ini juga terdapat

tempat fotocopy, tempat makan, dan toko alat-alat tulis dan kebutuhan kampus

yang dibutuhkan mahasiswa dalam perkuliahan.

Universitas menjadi salah satu tempat bertemunya berbagai macam suku

dan agama. Salah satu suku yang dimaksud adalah suku Batak Karo. Suku Batak

Karo merupakan salah satu suku Batak. Suku ini memiliki adat istiadat, moral,

hukum, kekeluargaan yang erat antar sesama suku (sumber : Barus, 23July, 2012).

Hal ini dapat dilihat dari unit kegiatan tempat berkumpulnya mahasiswa Karo di

kampus yang disebut dengan IMKA (Ikatan Mahasiswa Karo). Pada umumnya,

mahasiswa Karo yang senior akan mendata mahasiswa baru yang bersuku Karo

dengan melihat marga atau beru yang ada di papan pengumuman kelulusan

(25)

15

Universitas Kristen Maranatha kampus (daerah perantauan) dimana mahasiswanya berasal dari kota yang

berbeda.

Selain kampus memiliki tempat untuk berkumpulnya individu yang

bersuku Karo, Gereja “X” juga tempat perkumpulan masyarakat Karo. Gereja “X”

adalah tempat beribadah masyarakat Karo yang pertama kalinya berdiri di Tanah

Karo, Sumatera Utara dan melayani masyarakat Karo. (sumber : J.Andika

Syahputra Meliala, 26 Mei 2010). Gereja ini juga terdapat di kota Bandung.

Gereja ini menjadi tempat beribadah bagi mahasiswa Karo ketika berada di kota

Bandung.

Mahasiswa baru yang bersuku Karo yang berada di kota Bandung adalah

sojourner, yaitu individu yang tinggal sementara waktu dengan tujuan untuk menempuh pendidikan di kota Bandung dalam periode tertentu. Budaya Sunda

adalah budaya mainstream di kota Bandung. Dengan adanya kedua budaya

tersebut, maka terjadilah kontak yang disebut sebagai kontak multikultural. Hal

tersebut menunjukkan adanya proses akulturasi dimana seseorang bisa melewati

masa transisi budaya dengan baik atau tidak (Ward Bochner, Furnham

(2001:5,21)). Menurut Bochner, Furnham (2001:5,21), kontak dengan budaya

baru terjadi ketika seseorang dari suatu daerah mengunjungi daerah lain dengan

berbagai tujuan, misalnya belajar. Oleh karena itu, adanya perpindahan dari

daerah asal ke kota Bandung akan memunculkan kontak antar dua budaya atau

lebih di lingkungan yang baru. Budaya Karo berbeda dengan budaya Sunda,

sehingga hal ini memungkinkan mahasiswa mengalami culture shock. Culture

(26)

16

sesuatu yang negatif dan menimbulkan aksi yang dirasakan oleh individu ketika

berpindah ke lingkungan yang baru dan berbeda dengan lingkungan asalnya

(Oberg, 1960). Budaya Karo berbeda dengan budaya setempat sehingga dengan

adanya reaksi dari individu yang berasal dari budaya Karo terhadap budaya

setempat akan menimbulkan culture shock.

Culture shock terdiri dari tiga komponen. Komponen tersebut adalah affective, behaviour, dan cognitive. Komponen ini menjelaskan bahwa bagaimana orang merasakan, bertingkahlaku, berpikir, dan mengerti ketika menyikapi

perubahan budaya baru (Oberg, 1960). Menurut Bochner, Furnham, 2001,

terdapat 4 strategi akulturasi yang mungkin dilakukan oleh mahasiswa Karo

dalam menghadapi culture shock. Pertama, mahasiswa Karo berespon terhadap

budaya baru dengan tetap memegang teguh budaya yang telah dimiliki di tempat

asalnya. Kedua, mahasiswa Karo sepenuhnya terbuka dan menerima budaya yang

baru dengan cara melakukan asimilasi, identifikasi secara total, dan menyatu

dengan budaya yang baru. Ketiga, mahasiswa Karo akan memadukan

komponen-komponen yang terbaik, baik dari budaya asal maupun budaya baru, dan

kemudian memadukan kedua budaya tersebut. Keempat, mahasiswa Karo

memilih untuk bersikap statis karena mengalami kebimbangan dalam menghadapi

budaya baru, tidak melakukan asimilasi, bukan berarti tidak menerima budaya

baru.

Seseorang yang mengalami Culture Shock menunjukkan beberapa

(27)

17

Universitas Kristen Maranatha masalah, tidak percaya diri (Oberg dalam Ward Bochner, Furnham, 2001:80).

Dalam Culture Shock terdapat tiga komponen, yaitu : cognitive, affective, dan

behavioral. Komponen cognitive menjelaskan bahwa bagaimana mahasiswa Karo memahami orang lain, institusi, peristiwa yang terjadi di lingkungan yang baru

mereka kenal. Komponen ini memiliki aspek tidak menerima adanya perbedaan

peran, harapan terhadap peran tersebut, nilai yang dianut, perasaan, dan identitas

diri. Komponen affective menjelaskan bagaimana keadaan emosi yang muncul

ketika mahasiswa Karo memasuki budaya Sunda, misalnya bingung, kurang

nyaman, atau curiga. Adapun aspek dari komponen culture shock adalah adanya

perasaan tegang karena adanya usaha untuk beradaptasi secara psikis, merasa

kehilangan keluarga dan teman, merasa dirinya tidak berdaya karena tidak mampu

menyesuaikan diri dengan lingkungan di Bandung. Komponen behavioral

menjelaskan bagaimana kemampuan sosial mahasiswa Karo dalam menyesuaikan

diri dengan aturan yang berlaku, relasi sosial, komunikasi untuk berinteraksi di

Bandung. Komponen ini memiliki aspek tidak memahami adanya perbedaan

bahasa, kebiasaan, nilai / norma, dan sopan santun dan aspek penolakan terhadap

orang-orang di lingkungan Bandung, (Oberg dalam Ward, Bochner, Furnham,

2001:48,270-272).

Faktor-faktor yang mempengaruhi munculnya culture shock adalah

perbedaan makanan, pengaturan waktu, serta pergaulan dan cara berbicara,

lamanya kontak budaya, frekuensi kontak budaya, dukungan sosial, identitas

budaya, dan tahapan (J.P. Spradley and M. Phillips, 1972 dalam Ward, dkk,

(28)

18

mengatur pola makanannya setelah berada di budaya setempat, bagaimana mereka

mengekspresikan perilakunya ketika berada di budaya yang berbeda dengan

daerah asalnya, bagaimana cara mereka bergaul dan melakukan komunikasi

dengan individu yang memiliki budaya yang berbeda dengan daerah asalnya. Pada

saat berada di kota Bandung, mahasiswa Karo akan melakukan kontak dengan

budaya setempat. Hal yang mempengaruhi mahasiswa Karo ketika melakukan

kontak dengan budaya setempat adalah lamanya mahasiswa tersebut tinggal,

lamanya kontak dengan budaya setempat, frekuensi kontak sosial, dan dukungan

sosial. Selain itu, dan tahapan emosi culture shock yang dialami oleh

masing-masing individu ketika berada di kota Bandung. Jadi, semakin besar perbedaan

antara budaya Karo dengan budaya setempat, maka akan semakin sulit bagi

mahasiswa Karo untuk melakukan penyesuaian diri. Faktor-faktor tersebut dapat

menimbulkan culture shock pada mahasiswa baru yang berasal dari daerah asal

dan berada dalam lingkungan yang baru.

Culture shock memiliki derajat yang kuat, sedang, dan lemah. Mahasiswa Karo yang mengalami culture shock akan memiliki derajat yang berbeda-beda.

Mahasiswa Karo yang mengalami culture shock yang kuat adalah mahasiswa

yang mengalami gejala culture shock dan tidak mampu mengatasinya sehingga

tidak dapat menyesuaikan diri dengan budaya setempat. Mahasiswa Karo yang

mengalami derajat culture shock yang sedang adalah mahasiswa Karo yang

mengalami gejala culture shock dan masih mampu mengatasi culture shock yang

dialaminya serta masih mampu beradaptasi dengan budaya setempat. Mahasiswa

(29)

19

Universitas Kristen Maranatha yang mengalami gejala culture shock tidak terlalu banyak atau signifikan dan

tidak merasa gejala tersebut menjadi masalah yang berarti namun dapat

menyesuaikan diri dengan budaya baru dan dapat menerima perbedaan budaya itu.

Mahasiswa Karo yang memiliki banyak perbedaan dengan daerah yang

dikunjunginya akan menghambat orang tersebut dalam mencapai keberhasilan

(30)

20

Bagan 1.1. Kerangka Pikir Mahasiswa Karo di

Gereja “X”, Bandung

Komponen : A. Affective

- Ketegangan karena adanya usaha untuk beradaptasi secara psikis.

- Perasaan kehilangan dan kekurangan mahasiswa Karo terhadap keluarga dan teman.

- Perasaan tidak berdaya karena tidak mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan di kota Bandung.

B. Behavioral

- Perasaan tertolak atau menolak terhadap masyarakat dari budaya yang baru.

- Kebingungan akan peran, harapan terhadap peran, nilai yang dianut, perasaan dan identitas diri.

C. Cognitive

- Tidak memahami adanya perbedaan bahasa, kebiasaan, nilai / norma, dan sopan santun.

Faktor :

- Lamanya kontak budaya

- Frekuensi kontak sosial

- Makanan

- Pengaturan waktu

- Dukungan sosial

- Identitas Budaya

- Pergaulan dan cara berbicara

- Tahapan (honeymoon, crisis, recovery, dan adjustment)

Kuat

Lemah Culture Shock

Kontak dengan

(31)

21

Universitas Kristen Maranatha

1.6Asumsi

- Mahasiswa Karo di Gereja “X” di kota Bandung berasal dari luar

kota Bandung dan berasal dari universitas yang berbeda pula.

- Mahasiswa Karo di Gereja “X” di kota Bandung akan melakukan

kontak dengan budaya lain.

- Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi Culture Shock yang dialami

mahasiswa Karo ketika memasuki lingkungan yang berbeda dengan

budaya yang dimilikinya adalah lamanya kontak budaya, frekuensi

kontak sosial, makanan, pengaturan waktu, dukungan sosial, identitas

budaya, pergaulan dan cara berbicara, serta tahapan.

- Pada saat melakukan interaksi dengan budaya setempat, mahasiswa

baru yang bersuku Karo akan mengalami Culture Shock yang muncul

pada komponen (affective, behavioral, dan cognitive) dan

aspek-aspeknya (ketegangan karena adanya usaha untuk beradaptasi secara

psikis, perasaan kehilangan dan kekurangan keluarga dan teman,

merasa tidak berdaya karena tidak mampu menyesuaikan diri dengan

lingkungan di kota Bandung, perasaan tertolak atau menolak terhadap

masyarakat dari budaya yang baru tersebut, kebingungan akan peran,

harapan terhadap peran tersebut, nilai yang dianut, perasaan dan

identitas diri dan ketidakpahaman terhadap adanya perbedaan bahasa,

(32)

22

- Culture Shock yang dialami oleh mahasiswa Karo di Gereja “X” akan memiliki derajat culture shock yang berbeda-beda, yaitu kuat, sedang,

(33)

88

Universitas Kristen Maranatha BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh melalui pengolahan data

mengenai derajat culture shock pada mahasiswa Karo di Gereja “X” kota

Bandung, maka dapat disimpulkan bahwa :

1. Dari 30 orang mahasiswa Karo di Gereja “X” kota Bandung, sebagian

besar mahasiswa Karo mengalami culture shock dengan derajat yang

sedang.

2. Jika dilihat dari komponen culture shock, mahasiswa Karo di Gereja “X”

kota Bandung mulai mampu mengatasi masalah behavioral yaitu

beradaptasi dengan lingkungan Bandung dan masalah cognitive yaitu

mengetahui perbedaan antara budaya asal dengan budaya di kota Bandung.

Namun, mahasiswa Karo mengalami masalah dalam komponen affective

dimana terdapat hal-hal tertentu, seperti masalah makanan dan bahasa. Hal

ini terjadi karena mahasiswa Karo belum terbiasa dengan masakan di kota

Bandung. Mahasiswa Karo lebih menyukai masakan yang pedas. Selain

itu, mahasiswa Karo merasa sulit mempelajari bahasa mayoritas, seperti

bahasa Sunda karena mereka lebih sering berkomunikasi dengan teman

sesukunya dan jarang berkomunikasi dengan temannya yang berbeda suku

(34)

89

5.2 Saran

Dari hasil penelitian yang diperoleh, maka terdapat beberapa saran yang

diberikan oleh peneliti, yaitu :

a. Saran Teoretis

Bagi peneliti lain yang ingin melanjutkan penelitian ini, disarankan untuk :

1. Melakukan penelitian yang lebih fokus pada budaya, lingkungan

kampus atau fakultas mahasiswa Karo.

2. Melakukan penelitian mengenai culture shock pada mahasiswa yang

berasal dari daerah tertentu atau suku tertentu agar tidak menimbulkan

bias bagi yang membaca. Misalnya : meneliti mahasiswa Karo yang

langsung dari Sumatera dan melihat budaya orangtuanya juga karena

mempengaruhi culture shock yang dialami oleh mahasiswa.

3. Memeriksa kembali aspek, faktor-faktor, dan tahap-tahap yang

mempengaruhi terjadinya culture shock yang dialami oleh mahasiswa.

4. Dalam membuat tabulasi silang, perlu memperhatikan tabel yang

dibuat agar mempermudah bagi pembaca untuk membaca penelitian

yang telah dibuat.

b. Saran Praktis

1. Pengurus Gereja “X” dapat menggunakan hasil penelitian ini sebagai

informasi untuk dapat menentukan program konseling (bimbingan,

pelatihan) yang tepat bagi mahasiswa Karo yang mengalami culture

(35)

90

Universitas Kristen Maranatha 2. Mahasiswa Karo di Gereja “X” dapat menggunakan penelitian ini

sebagai informasi untuk lebih mengenali gejala culture shock yang

dialami dengan cara membaca simptom-simptom dan alternatif untuk

mengurangi culture shock sehingga dapat membantu mereka dalam

(36)

DAFTAR PUSTAKA

Berry, John.W, dkk.1992. Cross-Cultural Psychology : research and application. United State of America : Cambridge University Press.

Furnham, A & Bochner, S. 1986. Culture Shock : Psychological reaction to unfamiliar environments. London and New York : Menthuen & Co.

Ginting, Perdana. 1989. Masyarakat Karo Dewasa Ini : Hasil Rumusan SarasehanBudaya Karo1989.

Freidenberg, Lisa. 1995. Psychological Testing : Desaign, Analysis and Use. USA : Allyn & Bacon.

Koentjaraningrat. 2002. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta : Rineka Cipta.

Santrock, John W. 2002. Life-Span Development : Perkembangan Masa Hidup Edisi 5 Jilid 2. Jakarta : Erlangga.

Sugiyono, Prof.DR. 2005. Statistik untuk Penelitian. Bandung : Alfabeta.

Tarigan, Sarjani. 2009. Lentera Kehidupan Orang Karo dalam Berbudaya. Medan.

(37)

91

Universitas Kristen Maranatha DAFTAR RUJUKAN

Angran, J.15 Oktober 2012. Culture Shock : Shock Karena Bertemu Budaya yang Berbeda. (Online). (http://jurnaljane.blogspot.com/2011/12/culture-shock-shock-karena-bertemu.html, diakses 15 Oktober 2012).

Grace Oktracia, Tamara. 2011. Studi Deskriptif Mengenai Culture Shock pada Mahasiswa Semester I yang Berasal Dari Luar Pulau Jawa Barat di Universitas “X” Bandung. Skripsi. Bandung : Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha.

http://id.wikipedia.org/wiki/Kota_Bandung, diakses pada tanggal 15 Oktober 2012.

http://id.wikipedia.org/wiki/tanah Karo, diakses pada tanggal15 Oktober 2012

http://karo-medan.blogspot.com, diakses pada tanggal 15 Oktober 2012

http://kitamedia.blogspot.com, diakses pada tanggal 16 Oktober 2012

http://www.karoweb.or.id/suku-karo/, diakses 15 pada tanggal Oktober 2012

Pedoman Penulisan Skripsi (Agustus 2007). Bandung: Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha.

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan penjelasan diatas sampel penelitian ini diambil di Desa Batukandik Kecamatan Nusa Penida Kabupaten Klungkung dilihat dari banyaknya penduduk miskin, faktor yang

Berdasarkan hasil penelitian dan analisis yang telah dilakukan pada bengkel Champion Motor sebaiknya menggunakan pengendalian persediaan dengan metode

Oleh karena itu, sangat penting dibangun sebuah sistem pengambilan keputusan yang terkomputerisasi yang dapat memudahkan dalam memilih karyawan yang sesuai

Dalam penelitian ini wawancara dilakukan terhadap beberapa orang informan, yaitu Ketua Pedagang Pasar Inpres I, Pedagang yang terlibat aktif dalam konflik dengan

3) Pengembangan Strategi Pembelajaran dengan Berpendekatan/PAKEM/Pendekatan Saintifik. a) Mengadakan workshop tentang pendekatan PAKEM. b) Mengadakan diskusi tentang

apabila terjadi sesuatu ketidakselarasan dalam suatu organisasi oleh seorang karyawan, maka lebih baik mendiskusikannya dibandingkan memberi surat pringatan Biaya yang

UNIVERSITAS ATMA JAYA YOGYAKARTA Fakultas Teknik Program Studi Teknik Sipil Laboratorium Penyelidikan

pokoknya menyatakan telah adanya Berita Acara Rapat Pleno Panitia Pengawas Pemilihan Umum Kabupaten Mukomuko Nomor 116/BAWASLU-PROV.BE-07/XII/2015 tanggal 18 Desember 2015,