• Tidak ada hasil yang ditemukan

Studi Deskriptif Mengenai Organizational Citizenship Behavior (OCB) Pada Perawat Pelaksana Ruang Rawat Inap Rumah Sakit "X" di Kota Lampung.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Studi Deskriptif Mengenai Organizational Citizenship Behavior (OCB) Pada Perawat Pelaksana Ruang Rawat Inap Rumah Sakit "X" di Kota Lampung."

Copied!
52
0
0

Teks penuh

(1)

Universitas Kristen Maranatha

Sakit “X” di Kota Lampung”. Tujuannya adalah mengetahui gambaran OCB pada perawat pelaksana ruang rawat inap Rumah Sakit “X” melalui kelima dimensi OCB serta kaitannya dengan faktor-faktor yang memengaruhinya. Rancangan penelitian yang digunakan adalah metode deskriptif dengan teknik survei. Sampel yang memenuhi karakteristik penelitian ini berjumlah 30 orang.

Alat ukur yang digunakan adalah kuesioner yang dimodifikasi dari alat ukur OCB yang dibuat oleh Podsakoff, Mackenzie, Moorman, dan Fetter pada tahun 1990. Berdasarkan uji validitas dengan menggunakan rumus Rank Spearman dan reliabilitas dengan menggunakan rumus Alpha Cronbach, diperoleh 50 item valid, dengan validitas berkisar antara 0.335-0.726 dan reliabilitas 0.891 yang berarti alat ukur yang digunakan memiliki reliabilitas tinggi.

Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa setengah dari responden memiliki tingkat OCB tinggi, dan setengah responden lainnya memiliki tingkat OCB rendah. Hal ini menunjukkan bahwa setengah dari perawat pelaksana ruang rawat inap Rumah Sakit “X” sudah menampilkan perilaku extra role, melebihi apa yang sudah dicantumkan dalam uraian tugas, dan setengah perawat lainnya masih terfokus melakukan tugas sesuai dengan yang tercantum pada uraian tugas dan belum menampilkan perilaku extra role.

Saran yang diajukan untuk penelitian selanjutnya adalah melakukan penelitian lebih dalam lagi mengenai korelasi antara OCB dengan personality. Bagi manajemen Rumah Sakit “X” disarankan memanfaatkan informasi dari penelitian ini untuk mengembangkan training yang dapat meningkatkan perilaku OCB pada perawat pelaksana ruang rawat inap Rumah Sakit “X”.

(2)

viii

Universitas Kristen Maranatha

hospital in Lampung. The aim is to investigate the OCB description of Nurse-in-Chief of Inpatient Care Unit through 5 dimensions of OCB including its influential factors. The study design is descriptive method using survey technique. The sample is 30 people.

The instrument used is an adopted questionnaire of OCB instrument by Podsakoff, Mackenzie, Moorman, and Fetter in 1990. Based on Rank Spearman’s test validity and Alpha Cronbach’s test reliability formulas, the writer discovered 50 invalid items, with validity ranging from 0.335-0.726 and reliability around 0.891, meaning that the instrument used has high reliability.

Based on the analysis, the writer concluded that half of the respondents possessed a high OCB level and the rest of the respondents possessed a low OCB level. It shows that half of Nurse-in-Chief of Inpatient Care Unit in “X” hospital has already performed extra role, working beyond the job description and half of them have not performed extra role meaning that they still follow the duty written in the job description.

The suggestion, for the next study, is to deeper investigate the correlation between OCB and personality. Another suggestion, for the management of “X” hospital, is to use the information from this study in order to develop training program to increase OCB behaviour of Nurse-in-Chief of Inpatient Care Unit in “X” hospital.

(3)

ix

Universitas Kristen Maranatha

LEMBAR PENGESAHAN

PERNYATAAN ORISINALITAS LAPORAN PENELITIAN

PERNYATAAN PUBLIKASI LAPORAN PENELITIAN

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR TABEL... xi

DAFTAR GAMBAR ... xii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1Latar Belakang Masalah ... 1

1.2Identifikasi Masalah ... 12

1.3Maksud dan Tujuan Penelitian ... 13

1.3.1 Maksud Penelitian ... 13

1.3.2 Tujuan Penelitian ... 13

1.4Kegunaan Penelitian ... 13

1.4.1 Kegunaan Teoretis ... 13

(4)

x

Universitas Kristen Maranatha

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 34

2.1 Organizational Citizenship Behavior (OCB) ... 34

2.1.1 Pengertian OCB ... 34

2.1.2 Defisini Perilaku Intra-Role dan Extra Role... 36

2.1.3 Dimensi-dimensi OCB.. ... 36

2.1.4 Faktor yang Memengaruhi OCB ... 38

2.1.5 Pengaruh OCB terhadap Evaluasi-Penilaian Unjuk Kerja ... 64

2.1.6 Manfaat OCB terhadap Perusahaan ... 67

2.2 Perawat ... 71

2.2.1 Definisi Perawat ... 71

2.2.2 Perawat Pelaksana di Ruang Rawat ... 72

BAB III METODOLOGI PENELITIAN ... 77

3.1 Rancangan Penelitian ... 77

3.2 Bagan Prosedur Penelitian ... 77

3.3 Variabel Penelitian dan Definisi Operasional ... 78

3.3.1 Variabel Penelitian ... 78

3.3.2 Definisi Operasional ... 78

3.4 Alat Ukur ... 80

(5)

xi

Universitas Kristen Maranatha

3.4.5 Validitas dan Reliabilitas Alat Ukur ... 84

3.4.5.1 Validitas Alat Ukur ... 84

3.4.5.2 Reliabilitas Alat Ukur ... 85

3.5 Populasi dan Teknik Penarikan Sampel ... 86

3.5.1 Populasi Sararan ... 86

3.5.2 Karakteristik Sampel ... 86

3.5.3 Teknik Penarikan Sampel ... 86

3.6 Teknik Analisis Data... 87

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN... 88

4.1 Gambaran Responden ... 88

4.1.1 Gambaran Responden Berdasarkan Jenis Kelamin ... 88

4.1.2 Gambaran Responden Berdasarkan Usia ... 89

4.1.3 Gambaran Responden Berdasarkan Pendidikan Terakhir ... 89

4.1.4 Gambaran Responden Berdasarkan Status Marital... 90

4.1.5 Gambaran Responden Berdasarkan Masa Kerja... 90

4.1.6 Gambaran Responden Berdasarkan Ruang Dinas ... 91

4.2 Gambaran Hasil Penelitian ... 91

(6)

xii

Universitas Kristen Maranatha

Conscientiousness ... 94

4.2.4 Tabulasi Silang Antara Tingkat OCB dengan Tingkat Dimensi Sportmanship... 95

4.2.5 Tabulasi Silang Antara Tingkat OCB dengan Tingkat Dimensi Courtesy ... 96

4.2.6 Tabulasi Silang Antara Tingkat OCB dengan Tingkat Dimensi Civic Virtue ... 97

4.3 Pembahasan... 98

BAB V SIMPULAN DAN SARAN ... 119

5.1 Simpulan ... 119

5.2 Saran ... 120

5.2.1 Saran Teoretis ... 121

5.2.2 Saran Praktis ... 122

DAFTAR PUSTAKA ... 126

DAFTAR RUJUKAN... 127

(7)

xiii

Universitas Kristen Maranatha

Tabel 3.2 Sistem Penilaian Alat Ukur ... 82

Tabel 4.1.1 Gambaran Responden Berdasarkan Jenis Kelamin ... 88

Tabel 4.1.2 Gambaran Responden Berdasarkan Usia ... 89

Tabel 4.1.3 Gambaran Responden Berdasarkan Pendidikan Terakhir ... 89

Tabel 4.1.4 Gambaran Responden Berdasarkan Status Marital ... 90

Tabel 4.1.5 Gambaran Responden Berdasarkan Masa Kerja ... 90

Tabel 4.1.6 Gambaran Responden Berdasarkan Ruang Dinas ... 91

Tabel 4.2.1 Tingkat OCB pada Perawat Pelaksana Ruang Rawat Inap Rumah Sakit “X” ... 91

Tabel 4.2.2 Tabulasi Silang Antara Tingkat OCB dengan Tingkat Dimensi Altruism ... 92

Tabel 4.2.3 Tabulasi Silang Antara Tingkat OCB dengan Tingkat Dimensi Conscientiousness ... 94

Tabel 4.2.4 Tabulasi Silang Antara Tingkat OCB dengan Tingkat Dimensi Sportmanship... 95

Tabel 4.2.5 Tabulasi Silang Antara Tingkat OCB dengan Tingkat Dimensi Courtesy ... 96

(8)

xiv

Universitas Kristen Maranatha

(9)

xv

Universitas Kristen Maranatha

Lampiran A. Letter of Concent dan Alat Ukur (Kisi-kisi, Identitas, Data Utama dan

Data Penunjang)

Lampiran B. Uji Validitas Alat Ukur dan Item Valid

Lampiran C. Uji Reliabilitas Alat Ukur

Lampiran D. Hasil Penelitian

Lampiran E. Frekuensi, Tabulasi Silang Data Utama – Data Penunjang

Lampiran F. Gambaran Rumah Sakit dan Responden

(10)

Universitas Kristen Maranatha 1

1.1 Latar Belakang Masalah

Kesehatan adalah salah satu unsur kesejahteraan manusia yang harus

diwujudkan. Pelayanan kesehatan merupakan hak setiap orang yang dijamin

dalam Undang-Undang Dasar 1945 yang harus diwujudkan dengan upaya

peningkatan derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya

(Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit). Upaya

untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat diwujudkan dengan

didirikannya Rumah Sakit. Adanya pelayanan Rumah Sakit lebih memotivasi

masyarakat untuk meningkatkan kesadaran, kemauan dan kemampuan hidup

sehat. Setelah kesadaran itu terwujud, maka derajat kesehatan masyarakat pun

akan meningkat.

Pelayanan Rumah Sakit mencakup pelayanan kesehatan dan pelayanan

administrasi. Pelayanan administrasi meliputi pendaftaran pasien, pencatatan

rekam medik pasien dan pembayaran. Pelayanan kesehatan itu sendiri meliputi

pelayanan medik, pelayanan penunjang medik, rehabilitasi medik dan pelayanan

asuhan keperawatan. Pelayanan tersebut dilaksanakan melalui unit gawat darurat,

unit rawat jalan dan unit rawat inap. Agar dapat menghasilkan pelayanan Rumah

Sakit yang optimal, diperlukan pengaturan sedemikian rupa sehingga Rumah

Sakit mampu memanfaatkan sumber daya yang dimiliki dengan berdaya guna dan

(11)

Universitas Kristen Maranatha

yang profesional baik di bidang teknis medis maupun administrasi kesehatan.

(http://www.scribd.com/doc/58009718/17/Definisi-Rumah-Sakit).

Dalam rangka mewujudkan derajat kesehatan yang optimal bagi

masyarakat, sebuah Rumah Sakit Umum Swasta di Kabupaten Pringsewu,

Provinsi Lampung yang bernama Rumah Sakit “X” dibangun dan

dioperasionalisasikan. Rumah Sakit “X” adalah Rumah Sakit Umum Swasta yang

mulai beroperasi pada tanggal 5 Agustus 2008. Latar belakang berdirinya Rumah

Sakit “X” adalah adanya keprihatinan dari beberapa Dokter dan Paramedis di

Pringsewu dan sekitarnya karena belum terdapatnya Rumah Sakit di Pringsewu

yang terolah secara profesional. (Profil Rumah Sakit “X”, 2012).

Direktur Operasional Rumah Sakit “X” mengatakan bahwa sebagai salah

satu Rumah Sakit yang berupaya meningkatkan derajat kesehatan masyarakat di

Pringsewu dan sekitarnya secara optimal, Rumah Sakit “X” memiliki visi

“Menjadi Rumah Sakit yang profesional dalam memberikan pelayanan kesehatan

yang bermutu dan terjangkau di Provinsi Lampung”. Rumah Sakit “X” juga

memiliki misi “Memberikan pelayanan kesehatan prima secara komprehensif,

serta melaksanakan pekerjaan dalam tim yang profesional dengan mendahulukan

keselamatan pasien”. (Profil Rumah Sakit “X”, 2012).

Sebagai Rumah Sakit yang baru lima tahun berdiri, Rumah Sakit “X”

memiliki perkembangan yang cukup pesat dibandingkan dengan Rumah Sakit lain

yang ada di kabupaten Pringsewu dan sekitarnya. Rumah Sakit “X” memiliki

fasilitas medik yang lebih lengkap dibandingkan Rumah Sakit lain yang terdapat

(12)

Universitas Kristen Maranatha

yang diprioritaskan demi kenyamanan pasien dan tarif yang dibebankan untuk

mendapatkan layanan kesehatan pun tidak semahal Rumah Sakit lain yang ada di

sekitarnya. Direktur Operasional Rumah Sakit “X” mengungkapkan bahwa

kelebihan-kelebihan Rumah Sakit “X” membuat semakin banyak masyarakat

yang memercayakan layanan kesehatan kepada Rumah Sakit “X”. Hal ini ditinjau

dari jumlah tempat tidur terisi atau Bed Occupation Rate (BOR) yang terus

meningkat dari tahun ke tahun. Selain itu, Direktur Operasional Rumah Sakit “X”

juga menyatakan bahwa berdasarkan hasil evaluasi yang diperoleh dari angket

yang diisi oleh pasien dan keluarga pasien, Rumah Sakit “X” dianggap sudah

mampu memberikan pelayanan kesehatan secara profesional.

Semakin banyaknya masyarakat yang memercayakan layanan kesehatan

pada Rumah Sakit “X” tentu tidak lepas dari peran tenaga kesehatan dan non

kesehatan yang bekerja di Rumah Sakit “X”. Tenaga kesehatan meliputi dokter,

baik dokter umum maupun dokter spesialis, perawat, bidan, apoteker, analis,

petugas radiologi, petugas laboratorium, petugas rehabilitasi medis dan petugas

kesehatan lingkungan (sanitasi). Selain itu, terdapat tenaga non kesehatan yang

bertugas untuk memberikan pelayanan pada pasien tetapi pelayanannya tidak

bersifat medis. Tenaga non kesehatan meliputi petugas administrasi, resepsionis,

supir ambulance, satpam, cleaning service, dan tenaga lain yang memberikan

pelayanan non medis. Semua tenaga kesehatan dan non kesehatan ikut serta dalam

memberikan layanan pada pasien sesuai dengan tuntutan pekerjaan dan kebutuhan

(13)

Universitas Kristen Maranatha

Di antara semua tenaga yang bekerja di Rumah Sakit, perawat merupakan

salah satu komponen penting dan strategis dalam pelaksanaan layanan kesehatan.

Perawat berada di garis depan bagi keberhasilan suatu Rumah Sakit. Perawat juga

merupakan faktor penentu bagi mutu pelayanan dan citra Rumah Sakit. (Depkes,

1998). Pelayanan keperawatan merupakan bagian integral dari sistem pelayanan

kesehatan Rumah Sakit, sehingga mutu pelayanan kesehatan Rumah Sakit juga

ditentukan oleh mutu pelayanan keperawatan. (Depkes, 1999). Perawat

memberikan asuhan keperawatan kepada pasien sesuai dengan kebutuhan pasien.

Perawat di Rumah Sakit “X” memiliki struktur organisasi tersendiri yang

dibawahi oleh Direktur dan Direktur Operasional. Kepala Bidang Keperawatan

membawahi langsung 10 Kepala Ruangan (Karu) yang diberi tanggungjawab dan

wewenang untuk mengatur dan mengendalikan kegiatan pelayanan keperawatan

di Instalasi rawat. Karu berada di 10 ruangan berbeda, yaitu IGD, VK (ruang

tindakan untuk bersalin, keguguran, atau kuret), OK/Bedah (ruang tindakan

operasi), Perinatal (ruang perawatan bayi berusia di bawah 1 bulan yang sedang

sakit atau bayi yang baru lahir), HCU (ruangan untuk merawat pasien-pasien

kritis), VIP A, VIP B, Utama, Ekonomi Atas, dan Ekonomi Bawah. Tiap Karu

membawahi koordinator jaga di ruang rawat inap (VIP A, VIB B, Utama,

Ekonomi Atas, Ekonomi Bawah) dan ruang perinatal. Koordinator jaga bertugas

untuk membagi jadwal jaga dan jumlah pasien yang menjadi tanggung jawab tiap

perawat pelaksana per shift. Koordinator jaga membawahi perawat pelaksana di

(14)

Universitas Kristen Maranatha

rawat inap. Perawat pelaksana ini lah yang terjun langsung dalam melayani semua

kebutuhan pasien (Struktur Organisasi Keperawatan Rumah Sakit “X”).

Ruangan VIP A, VIP B, Utama, Ekonomi Atas dan Ekonomi Bawah

adalah ruang rawat inap untuk pasien dari segala jenis penyakit (namun bukan

pasien yang dalam kondisi kritis) yang memiliki 97 tempat tidur. Semua pasien

diberikan pelayanan keperawatan oleh perawat pelaksana di ruang rawat inap

selama 24 jam. Perawat pelaksana di kelima ruang rawat inap ini memiliki uraian

tugas yang sama. Perawat pelaksana di ruangan lain seperti Perinatal, ICU, VK

dan OK memiliki uraian tugas yang berbeda dengan perawat pelaksana di kelima

ruang rawat inap karena menangani tindakan untuk pasien yang berbeda pula.

Perawat pelaksana ruang rawat inap memiliki beberapa uraian tugas

penting, yaitu menyiapkan peralatan keperawatan atau medis di ruang rawat untuk

kelancaran pelayanan kepada pasien serta memelihara peralatan medis agar selalu

siap pakai. Perawat juga dituntut untuk melakukan pengkajian dan menentukan

diagnosa keperawatan sesuai dengan kemampuannya dengan cara mengobservasi

keadaan pasien (tanda vital, kesadaran, keadaan mental dan keluhan utama) dan

selanjutnya melakukan tindakan yang tepat berdasarkan hasil observasi tersebut

sesuai batas kemampuannya serta melaksanakan anamnesis. Anamnesis adalah

proses tanya jawab dengan pasien maupun dengan keluarganya untuk menggali

informasi mengenai keluhan yang dirasakan pasien dan mendokumentasikannya

dalam rekam medik. Perawat juga wajib melaksanakan tugas pagi/shift pagi

(pukul 08.00-14.00), tugas sore/shift sore (14.00-20.00), tugas malam

(15)

Universitas Kristen Maranatha

diadakan oleh Karu di tiap ruang rawat. Perawat pelaksana ruang rawat inap juga

wajib melaksanakan sistem pencatatan dan pelaporan asuhan keperawatan yang

tepat dan benar sesuai standar (Uraian Tugas Pengelola Pelayanan Keperawatan

Rumah Sakit “X”, 2008).

Menurut Kepala Bidang Keperawatan, seluruh uraian tugas yang

dicantumkan telah dilakukan oleh seluruh perawat pelaksana ruang rawat inap

dengan cukup optimal. Meskipun demikian, Kepala Bidang Keperawatan Rumah

Sakit “X” menjelaskan bahwa masih terdapat beberapa masalah yang sering

terjadi di Rumah Sakit, terutama yang berkaitan dengan kinerja keperawatan.

Rumah Sakit “X” memiliki 49 Perawat pelaksana ruang rawat inap yang

menempati 5 ruang rawat inap. Terdapat 5 orang Karu dan 5 orang koordinator

jaga yang tersebar di 5 ruang rawat. Akan tetapi, berdasarkan hasil perhitungan

kebutuhan tenaga keperawatan dari Departemen Kesehatan tahun 2005, Rumah

Sakit “X” masih membutuhkan minimal 16 perawat pelaksana (24,7%). Jadi,

standar kebutuhan tenaga ruang rawat inap Rumah Sakit “X” adalah 65 perawat

pelaksana.

Kurangnya tenaga perawat pelaksana membuat 3 dari 5 perawat yang

diwawancarai oleh peneliti merasa kebutuhan pasien menjadi kurang dapat

terlayani secara optimal. Pada bulan Januari-Agustus 2012, jumlah tempat tidur

terisi (Bed Occupation Rate/BOR) mencapai 80% dan hal tersebut membuat 3 dari

5 perawat pelaksana yang diwawancarai peneliti merasa kewalahan, apalagi jika

pada saat itu dalam satu ruang rawat inap hanya terdapat 2 hingga 3 perawat yang

(16)

Universitas Kristen Maranatha

membuat 60% perawat mengeluh, terlebih jika terdapat pasien yang tidak sabar

dan minta dilayani secara cepat, sedangkan perawat pelaksana pada saat yang

sama harus melayani pasien lainnya. Keluhan tersebut berdampak pada kualitas

pelayanan keperawatan yang diberikan pada pasien maupun keluarga pasien.

Terdapat 31% pasien maupun keluarga pasien yang mengatakan bahwa perawat

pelaksana kurang ramah dalam memberikan layanan keperawatan (Evaluasi

Triwulan I Pelaksanaan Program Kepuasan Pasien di Rumah Sakit “X”, 2012).

Kepala Bidang Keperawatan pun memutuskan untuk mencari jalan keluar

agar keluhan dari pasien dan keluarga pasien mengenai layanan keperawatan

dapat berkurang. Untuk mengantisipasi kurangnya tenaga keperawatan dan

ditambah adanya perawat yang cuti, perawat dari ruangan lain atau shift lain

membantu melayani kebutuhan pasien. Pergantian perawat ini disebut dengan

rotasi secara insidentil dan tidak ada tambahan gaji. Perawat pelaksana juga

memiliki hak untuk menolak mengikuti rotasi insidenti dan tidak akan

mendapatkan sanksi atas penolakan tersebut.

Peneliti mewawancarai 5 perawat pelaksana ruang rawat inap terkait

adanya rotasi insidentil. Sebanyak 5 dari 5 perawat pelaksana ruang rawat inap

yang diwawancarai peneliti menyatakan kesediaannya secara sukarela untuk

bertugas di ruangan yang kekurangan tenaga perawat agar pasien tetap dapat

dilayani dengan baik. Para perawat juga mengatakan mereka bersedia membantu

pasien yang bukan menjadi tanggungjawabnya karena adanya empati terhadap

(17)

Universitas Kristen Maranatha

menyadari bahwa suatu saat nanti mereka juga pasti akan membutuhkan bantuan

rekan kerjanya.

Perawat pelaksana ruang rawat inap memiliki tugas yang lebih beragam

dan kompleks dibandingkan perawat yang berada di ruangan lain. Oleh karena itu,

di tengah padat dan beratnya tugas perawat pelaksana di ruang rawat inap, apalagi

dengan masih kurangnya tenaga perawat pelaksana di Rumah Sakit “X”, maka

tidaklah berlebihan apabila dikatakan bahwa untuk dapat melaksanakan tugasnya

dengan baik dan lebih optimal, perawat pelaksana di ruang rawat inap tidak hanya

melakukan pekerjaan sesuai dengan uraian tugas yang telah ditetapkan.

Diperlukan tindakan lebih dari SOP (Standard Operational Procedure)

Keperawatan untuk dapat mewujudkan visi dan misi Rumah Sakit “X” dengan

lebih baik dan lebih cepat. Hal inilah yang dinamakan Organizational Citizenship

Behavior (selanjutnya disingkat OCB dalam penulisan ini). OCB adalah perilaku

individu yang dilakukan atas kehendaknya sendiri meskipun tidak tercantum

dalam uraian tugas, dan tidak berkaitan secara langsung atau eksplisit dengan

sistem reward, yang pada aggregatnya dapat meningkatkan berfungsinya

organisasi secara efektif dan efisien (Organ, 2006).

Menurut Podsakoff dkk. (1990), OCB mengandung lima dimensi perilaku,

yang didasari oleh konsep Organ (1988), altruism, conscientiousness,

sportmanship, courtesy, dan civic virtue. Altruism adalah perilaku menolong

orang lain dalam menghadapi masalah yang terkait dengan organisasi yang

dilakukan atas kemauannya sendiri. Conscientiousness adalah perilaku karyawan

(18)

Universitas Kristen Maranatha

persyaratan minimal dari aturan organisasi dalam hal kehadiran, kepatuhan pada

peraturan dan tata tertib, serta memanfaatkan waktu luang. Sportmanship adalah

kesediaan karyawan untuk menoleransi kondisi-kondisi yang kurang ideal tanpa

mengeluh, berkecil hati karena sesuatu yang benar-benar terjadi atau sesuatu yang

menyakitkan dalam bayangannya, dan tidak membesar-besarkan masalah kecil.

Courtesy adalah perilaku karyawan yang dilakukan atas kemauannya sendiri

bertujuan untuk mencegah terjadinya masalah kerja dengan karyawan lain. Civic

virtue adalah perilaku karyawan yang memperlihatkan keterlibatan dan

kepeduliannya secara bertanggung jawab terhadap kelangsungan hidup

perusahaan.

Peneliti melakukan wawancara pada 5 orang perawat pelaksana ruang

rawat inap dari 5 ruangan yang berbeda. Berdasarkan hasil wawancara,

didapatkan fakta bahwa sebanyak 100% perawat pelaksana tidak keberatan untuk

melayani semua pasien meskipun pasien-pasien tersebut bukan tanggung jawab

mereka. Kesediaan tersebut membuat beban pekerjaan perawat lain yang sedang

sibuk terasa lebih ringan dan kebutuhan pasien dapat tetap dilayani dengan baik

meskipun jumlah tenaga keperawatan masih terbatas. Sebanyak 100% perawat

juga menyatakan inisiatifnya untuk membantu keluarga pasien yang terlihat

kesulitan menggunakan fasilitas Rumah Sakit tanpa diminta terlebih dahulu

sehingga membuat pasien dan keluarganya merasa lebih nyaman (altruism).

Peneliti bertanya pada 5 perawat pelaksana dari 5 ruang rawat inap

mengenai hal apa saja yang dilakukan perawat saat memiliki waktu senggang.

(19)

Universitas Kristen Maranatha

seperti memotong kassa, menulis status pasien yang belum lengkap dan mengecek

obat tanpa diminta oleh Karu. Sebanyak 20% perawat mengungkapkan tetap

mematuhi peraturan Rumah Sakit “X” meskipun tidak selalu diawasi oleh Karu

(concientiousness).

Menurut Kepala Bidang Keperawatan, masih terdapat perawat yang

mengeluhkan beberapa fasilitas yang belum terdapat di Rumah Sakit “X”.

Sebanyak 20% perawat mengeluhkan minimnya jumlah monitor untuk bekerja

Akan tetapi, para perawat pelaksana memilih untuk tidak terus

membesar-besarkan keluhan tersebut karena memahami bahwa Rumah Sakit “X” belum

terlalu lama berdiri sehingga membutuhkan waktu untuk melengkapi sarana dan

prasarana yang ada (sportmanship).

Kepala Bidang Keperawatan mengatakan bahwa salah satu hal penting

yang mendukung terciptanya pelayanan keperawatan yang optimal adalah

terciptanya suasana saling mendukung dan empati antar perawat. Sebanyak 100%

perawat pelaksana berusaha untuk saling memahami situasi, kondisi, dan

karakteristik rekan kerja satu dengan yang lain, meningkatkan komunikasi agar

tidak terjadi kesalahpahaman, dan membangun rasa kekeluargaan dengan sesama

rekan kerja agar dapat membina hubungan yang baik. Para perawat menyadari

bahwa hubungan yang baik dengan rekan kerja dapat memererat kerja sama antar

perawat dalam melayani seluruh pasien dengan keterbatasan tenaga keperawatan

yang ada (courtesy).

Rumah Sakit “X” baru lima tahun berdiri, oleh karena itu supaya

(20)

Universitas Kristen Maranatha

manajemen Rumah Sakit membutuhkan masukan dari perawat-perawat untuk

kemajuan Rumah Sakit. Untuk itu, diadakan pertemuan rutin antara Karu dengan

perawat pelaksana untuk mengevaluasi asuhan keperawatan yang sudah dilakukan

dan mendiskusikan apa yang harus dilakukan untuk meningkatkan asuhan

keperawatan. Sebanyak 60% perawat pelaksana mengatakan bahwa mereka

mencoba untuk terlibat aktif dalam pertemuan rutin dengan Karu dengan memberi

masukan yang berguna untuk Rumah Sakit, diantaranya mengusulkan

penambahan alat yang dirasa masih kurang, menyampaikan keluhan pasien agar

dapat ditindaklanjuti bersama dan mengingatkan perawat pelaksana lain untuk

tidak datang terlambat (civic virtue).

Perawat pelaksana ruang rawat inap memiliki beragam uraian tugas yang

harus dilakukan. Selain itu, perawat pelaksana ruang rawat inap juga memiliki

frekuensi hubungan yang lebih intensif dengan pasien karena perawat melakukan

kontak selama 24 jam dengan pasien dari berbagai rentang usia, penyakit yang

diderita, beragam status sosial ekonomi, dan beragam kompleksitas fungsi tubuh.

Para perawat pelaksana ruang rawat inap juga harus terus memantau

perkembangan setiap pasien rawat inap yang ada. Selain melayani pasien rawat

inap, para perawat pelaksana juga melayani berbagai kebutuhan keluarga pasien

yang tak jarang mengeluarkan berbagai komentar mengenai pelayanan

keperawatan di Rumah Sakit “X”. Kompleksitas tugas tersebut membuat perawat

pelaksana ruang rawat inap membutuhkan dan mempunyai kesempatan lebih

(21)

Universitas Kristen Maranatha

Fenomena mengenai OCB sangat menarik untuk diteliti karena tidak

semua pekerja dapat memunculkan perilaku OCB. Perawat yang melakukan OCB

dapat memberikan pelayanan yang optimal pada pasien beserta keluarga pasien

meskipun jumlah perawat terbatas, menolong Kepala Bidang Keperawatan untuk

tidak menghabiskan waktu terlalu banyak berurusan dengan keluhan-keluhan

kecil perawat, meningkatkan produktifitas rekan kerja lain dengan bantuan

sukarela yang diberikan, meningkatkan kualitas pelayanan keperawatan Rumah

Sakit sehingga citra Rumah Sakit menjadi semakin baik dan banyak hal positif

lainnya.

Berdasarkan fakta dan beberapa data di lapangan yang didapat, peneliti

tertarik untuk mengadakan penelitian terhadap perilaku OCB seperti apa yang

terdapat pada perawat pelaksana ruang rawat inap Rumah Sakit “X” berdasarkan

kelima dimensi yang sudah disebutkan. Diharapkan dengan mengetahui gambaran

tinggi rendahnya OCB pada perawat pelaksana ruang rawat inap, dapat diketahui

pula faktor-faktor apa saja yang perlu dikembangkan agar perawat pelaksana

ruang rawat inap dapat lebih termotivasi untuk memunculkan perilaku OCB.

1.2 Identifikasi Masalah

Dari penelitian ini ingin diketahui bagaimana Organizational Citizenship

Behavior (OCB) pada perawat pelaksana ruang rawat inap Rumah Sakit “X” di

(22)

Universitas Kristen Maranatha

1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian

1.3.1 Maksud Penelitian

Maksud dari penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran mengenai

Organizational Citizenship Behavior (OCB) pada perawat pelaksana ruang rawat

inap Rumah Sakit “X” Kota Lampung.

1.3.2 Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk memeroleh gambaran

Organizational Citizenship Behavior (OCB) pada perawat pelaksana ruang rawat

inap Rumah Sakit “X” Kota Lampung melalui dimensi-dimensi OCB yang

dimunculkan yaitu altruism, conscientiousness, sportmanship, courtesy, dan civic

virtue serta kaitannya dengan faktor-faktor yang memengaruhinya.

1.4 Kegunaan Penelitian

1.4.1 Kegunaan Teoritis

1. Memberikan informasi tambahan mengenai Organizational

Citizenship Behavior (OCB) dalam penerapan ilmu Psikologi

khususnya dalam ilmu Psikologi Industri dan Organisasi.

2. Memberikan masukan bagi peneliti lain yang tertarik untuk meneliti

topik serupa dan dapat mendorong dikembangkannya penelitian yang

(23)

Universitas Kristen Maranatha

1.4.2 Kegunaan Praktis

1. Memberikan informasi kepada Manajemen Rumah Sakit “X”

mengenai gambaran OCB yang ditampilkan perawat pelaksana ruang

rawat inap agar dapat dijadikan bahan evaluasi mengenai OCB sesuai

dengan kebutuhan perawat dan harapan Rumah Sakit “X”.

2. Berdasarkan masukan dari poin pertama, manajemen Rumah Sakit X”

dapat mengadakan pelatihan yang dapat memfasilitasi peningkatan

OCB sesuai dengan kebutuhan yang dimiliki perawat pelaksana ruang

rawat inap Rumah Sakit “X”

3. Berdasarkan masukan dari poin pertama, manajemen Rumah Sakit “X”

dapat mengembangkan berbagai faktor eksternal yang dapat

memotivasi ditampilkannya OCB, misalnya memodifikasi iklim kerja

di Rumah Sakit “X” agar dapat mendorong perawat pelaksana ruang

rawat inap menampilkan OCB dalam derajat yang tinggi.

1.5 Kerangka Pikir

Rumah Sakit “X” merupakan rumah sakit umum yang dimiliki oleh swasta

dan saat ini merupakan Rumah Sakit terbesar di Kabupaten Pringsewu, Lampung.

Rumah Sakit “X” memiliki visi “Menjadi Rumah Sakit yang profesional dalam

memberikan pelayanan kesehatan yang bermutu dan terjangkau di Propinsi

Lampung”. Selain visi tersebut, Rumah Sakit “X” juga memiliki misi

(24)

Universitas Kristen Maranatha

melaksanakan pekerjaan dalam tim yang profesional dengan mendahulukan

keselamatan pasien”. (Profil Rumah Sakit “X”, 2012).

Berdasarkan visi dan misi di atas, harapan Rumah Sakit “X” untuk dapat

memberikan pelayanan kesehatan pada pasien secara optimal dan profesional

tidak lepas dari kontribusi sumber daya manusia sebagai penyangga

keberlangsungan Rumah Sakit “X”. Salah satu SDM yang turut memberikan andil

bagi efektifitas Rumah Sakit adalah perawat pelaksana ruang rawat inap, di mana

perawat-perawat tersebut diberi wewenang untuk melaksanakan asuhan

keperawatan di ruang rawat. Perawat pelaksana ruang rawat inap memiliki kontak

24 jam dengan pasien rawat inap dan dituntut untuk mengetahui kondisi dan

kemajuan tiap pasien yang menjadi tanggung jawabnya.

Perawat pelaksana di ruang rawat inap memiliki uraian tugas keperawatan

yang sudah ditetapkan oleh Manajemen Rumah Sakit “X”, yang disesuaikan

dengan standar Departemen Kesehatan RI. Uraian tugas keperawatan tersebut

dicantumkan secara eksplisit dan wajib dilakukan oleh perawat pelaksana demi

terciptanya pelayanan keperawatan secara optimal. Meskipun demikian, agar

dapat menjalankan perannya sebagai perawat pelaksana secara lebih efektif dan

efisien di tengah kompleksitas pekerjaan dan kurangnya tenaga keperawatan,

perawat pelaksana diharapkan untuk berbuat lebih dari yang diuraikan dalam

uraian tugas keperawatan. Perilaku tersebut tidak tertulis secara formal untuk

dilakukan dan tidak menghasilkan insentif tambahan, namun dapat membuat

Rumah Sakit berjalan lebih efektif dan efisien. Perilaku tersebut merupakan

(25)

Universitas Kristen Maranatha

atas kemauan individu sendiri meskipun tidak tercantum dalam uraian tugas, dan

tidak berkaitan secara langsung atau eksplisit dengan sistem reward, yang pada

aggregatnya dapat meningkatkan berfungsinya organisasi secara efektif dan

efisien (Organ, 2006).

Dalam teori OCB, perilaku OCB berdampak pada efektifitas organisasi.

Perawat pelaksana ruang rawat inap yang bekerja dengan sepenuh hati dan tetap

ramah meskipun sedang banyak pekerjaan akan dapat berempati terhadap apa

yang dirasakan pasien sehingga pasien merasa diperhatikan dan didengarkan

keinginannya. Perawat yang mampu bekerja sama (kompak) dengan rekan kerja

lainnya, terutama dengan rekan kerja 1 shift dan 1 ruangan rawat inap akan

memerlancar pekerjaan sesama perawat sehingga antar perawat dapat saling

memberikan bantuan. Perawat yang bersedia untuk bekerja lebih dari jam

dinasnya dan bersedia membantu tugas perawat lain yang bukan menjadi tugasnya

akan mendapatkan apresiasi dari sesama perawat karena meringankan beban kerja

perawat lain. OCB membantu meningkatkan produktivitas perawat dalam

menjalankan pekerjaannya yang kompleks, membantu mengefisienkan

penggunaan sumber daya Rumah Sakit untuk tujuan-tujuan produktif, dan

menciptakan koordinasi serta hubungan yang baik dengan rekan kerja lain, pasien,

dan keluarga pasien.

OCB mengandung lima dimensi perilaku, yaitu altruism,

conscientiousness, sportmanship, courtesy, dan civic virtue (Podsakoff dkk, dalam

Organ, 2006). Altruism adalah perilaku menolong perawat pelaksana ruang rawat

(26)

Universitas Kristen Maranatha

kepaksaan dan kewajiban. Perilaku ini bertujuan untuk membantu rekan kerja,

dalam hal ini dalah perawat pelaksana ruang rawat inap lain yang nampak

mengalami kesulitan untuk melakukan asuhan keperawatan, dan dapat juga

membantu pasien dan keluarga pasien yang tampak sedang menghadapi masalah

terkait dengan penggunaan fasilitas Rumah Sakit “X”. Sebagai contoh, perawat

memiliki inisiatif untuk membantu perawat pelaksana ruang rawat inap lain yang

sedang memiliki banyak pekerjaan. Perawat juga tidak segan untuk menggantikan

perawat pelaksana ruang rawat inap lain yang sedang berhalangan hadir baik

karena sakit maupun ada keperluan lain untuk menjaga pasien. Perawat yang

memiliki altruism rendah kurang memiliki inisiatif untuk membantu perawat lain

yang mengalami kesulitan dalam melaksanakan pekerjaannya dan cenderung

membiarkan pasien dan keluarga yang mengalami kesulitan dalam menggunakan

fasilitas Rumah Sakit “X”, sebelum diminta bantuannya terlebih dahulu.

Conscientiousness adalah perilaku perawat pelaksana ruang rawat inap

Rumah Sakit “X” yang didasarkan atas kemauannya sendiri untuk mengerjakan

hal-hal yang melampaui persyaratan minimal Rumah Sakit, dalam hal kehadiran,

kepatuhan pada peraturan serta memanfaatkan waktu luang. Sebagai contoh,

perawat pelaksana memiliki inisiatif untuk datang satu jam sebelum jam dinas

untuk membaca laporan dan menyiapkan obat di farmasi sambil menunggu jam

dinas. Perawat juga mengisi waktu luang dengan kegiatan produktif, misalnya

memotong kassa, menulis rekam medik yang belum lengkap, dan mengecek obat.

Perawat juag tetap menulis rekam medik selengkap mungkin meskipun tidak

(27)

Universitas Kristen Maranatha

cenderung datang terlambat saat bekerja, pulang saat jam dinas berakhir meskipun

masih banyak kegiatan keperawatan di bangsal dan memanfaatkan waktu

luangnya dengan hal yang kurang produktif, misalnya lebih memilih menonton

TV di sela-sela jam dinas daripada menyiapkan peralatan medis yang dibutuhkan.

Sportmanship adalah kesediaan perawat pelaksana ruang rawat inap

Rumah Sakit “X” yang dilakukan atas kehendak sendiri untuk bertoleransi pada

kondisi-kondisi kerja yang kurang ideal (meliputi sarana dan prasarana, iklim

kerja serta sumber daya manusia yang belum memadai) tanpa mengeluh, berkecil

hati, marah dan merasa sakit hati karena sesuatu yang benar-benar terjadi atau

sesuatu yang menyakitkan dalam bayangannya, dan membesar-besarkan masalah

kecil. Sebagai contoh, perawat tidak membesar-besarkan keluhan sepele mengenai

kurangnya peralatan medis yang dibutuhkan dan mencari cara untuk menyiasati

kurangnya peralatan medis tersebut sehingga masalah yang ada tidak menjadi

semakin kompleks. Sportmanship dalam derajat tinggi akan membuat perawat

tetap dapat memberikan pelayanan yang baik untuk pasien dan tidak

melampiaskan keluhan maupun kekesalan yang dirasakannya pada pasien.

Perawat yang memiliki sportmanship yang rendah akan sering

membesar-besarkan keluhan kecil yang dihadapinya dan kesulitan-kesulitan yang ada dalam

pekerjaannya. Keluhan-keluhan tersebut dapat menghambat perawat untuk

menjalankan asuhan keperawatan secara optimal karena sebagian besar waktunya

dihabiskan untuk mengeluhkan hal-hal kecil.

Courtesy adalah perilaku perawat pelaksana ruang rawat inap Rumah Sakit

(28)

Universitas Kristen Maranatha

terjadinya masalah dan konflik dengan rekan kerja, khususnya dengan perawat

pelaksana ruang rawat inap lain. Sebagai contoh, para perawat selalu menjunjung

tinggi kesopanan dan menghormati hak-hak perawat pelaksana ruang rawat inap

lain serta berusaha membina komunikasi yang baik dengan sesama perawat

pelaksana ruang rawat inap agar terhindar dari konflik internal. Jika ada masalah,

mereka juga membicarakannya secara baik-baik agar terhindar dari

kesalahpahaman. Perawat yang memiliki courtesy yang rendah cenderung kurang

menghormati hak-hak rekan kerja lain serta mengabaikan masukan dari rekan

kerja saat mengambil keputusan dalam hal pekerjaan sehingga memicu timbulnya

konflik.

Civic virtue adalah perilaku perawat pelaksana ruang rawat inap Rumah

Sakit “X” yang memerlihatkan keterlibatan dan kepeduliannya secara

bertanggung jawab terhadap kelangsungan hidup Rumah Sakit “X”, yang

dilakukan atas kehendaknya sendiri. Sebagai contoh, dalam pertemuan berkala

yang dilakukan oleh Karu, perawat terlibat aktif dalam memberi masukan yang

berguna untuk Rumah Sakit. Para perawat juga saling memberikan umpan balik

terhadap sesama perawat agar tidak melakukan kesalahan dalam pekerjaannya.

Perawat yang memiliki civic virtue yang rendah tidak terlalu peduli dengan

perubahan-perubahan yang ada di Rumah Sakit dan bersikap acuh tak acuh

dengan hal-hal apa saja yang dapat membuat Rumah Sakit bertambah maju.

Munculnya perilaku OCB dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal.

Faktor internal yang memengaruhi OCB adalah karakteristik individu.

(29)

Universitas Kristen Maranatha

motivasi dasar yang dapat tercermin dalam sikap kerja perawat pelaksana ruang

rawat inap dalam Rumah Sakit “X”. Morale menggabungkan aspek-aspek sikap

kerja, yaitu leader consideration, fairness, satisfaction dan affective commitment.

Leader consideration merupakan pertimbangan dari pemimpin terhadap kinerja

seseorang. Apabila pemimpin dapat memberikan reward pada perawat secara

tepat dan objektif, maka akan timbul perasaan telah diperlakukan adil (fairness),

dan akhirnya akan menimbulkan kepuasan baik pada pekerjaan maupun atasannya

(satisfaction). Timbulnya kepuasan kerja akan membuat perawat pelaksana ruang

rawat inap memiliki affective commitment. Affective commitment mengarah pada

keterikatan emosional, identifikasi, dan juga keterlibatan seseorang terhadap

organisasi (Allen & Meyer, 1997).

Perawat pelaksana ruang rawat inap yang memiliki affective commitment

tinggi mempunyai rasa memiliki terhadap Rumah Sakit. Perawat akan

menunjukkan kepeduliannya terhadap kelangsungan hidup Rumah Sakit (Meyer

& Allen, 1997). Perawat juga akan berusaha menjalankan tugas-tugas maupun

mendukung kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan karena mereka memiliki

ketertarikan emosional terhadap Rumah Sakit. Apabila seorang perawat memiliki

morale yang positif terhadap pekerjaannya, maka perawat akan terus melakukan

sesuatu yang dapat memajukan Rumah Sakit tempatnya bekerja sehingga

kemungkinan untuk memunculkan perilaku OCB akan semakin besar (Organ,

2006).

Personality masuk ke dalam karakteristik individu. Di dalam personality

(30)

Universitas Kristen Maranatha

Costa (1987, dalam Organ 2006). Faktor-faktor tersebut di antaranya adalah

openness to experience. Perawat dengan trait openness menonjol memiliki rasa

ingin tahu akan hal-hal baru yang membuatnya cepat tanggap terhadap

lingkungannya. Perawat tersebut akan dapat bersikap lebih terbuka terhadap

perubahan-perubahan yang terjadi di Rumah Sakit. Perawat juga tidak akan segan

mencari tahu apa saja yang harus dilakukan maupun diperbaiki untuk

meningkatkan mutu asuhan keperawatan. Hal tersebut menunjukkan adanya rasa

tanggung jawab dan kepedulian terhadap kelangsungan hidup perusahaan.

Faktor selanjutnya adalah conscientiousness. Conscientiousness mengarah

kepada sifat dapat diandalkan, terencana, disiplin diri, dan ketekunan. Perawat

pelaksana ruang rawat inap yang memiliki conscientiousness tinggi akan berusaha

mematuhi peraturan yang ada dan datang bekerja tepat waktu. Perawat yang

memiliki trait conscientiousness berpotensi menampilkan civic virtue. Perawat

yang memiliki conscientiousness rendah cenderung melakukan pelanggaran

terhadap peraturan yang ada.

Faktor dari personality berikutnya adalah extraversion. Extraversion

mengarah pada perilaku perawat yang responsif terhadap lingkungan.

Extraversion dapat terlihat pada perawat pelaksana ruang rawat inap yang

memberikan bantuan tanpa dimintai tolong terlebih dahulu. Faktor selanjutnya

adalah agreeableness. Agreeableness berupa kepribadian seseorang yang

bersahabat, disenangi oleh orang lain, dan juga mudah menjalin relasi yang hangat

dengan orang lain. Seorang perawat pelaksana yang memiliki agreeableness

(31)

Universitas Kristen Maranatha

pasien. Perawat akan memberikan pertolongan pada rekan kerja dan juga pasien.

Trait agreeableness yang menonjol dapat menimbulkan munculnya dimensi

altruism, sportmanship dan courtesy. Perawat yang memiliki agreeableness

rendah cenderung menunggu orang lain meminta bantuannya terlebih dahulu.

Faktor terakhir dari personality adalah emotional stability. Emotional

stability mengacu pada neuroticism, yaitu sebuah kecenderungan pengalaman

emosional yang negatif, misalnya kecemasan, kemarahan, dan perasaan bersalah.

Jika skor neuroticism rendah, maka kondisi emosional perawat pelaksana dapat

dikatakan cukup stabil dan tidak rentan terhadap stres. Perawat pelaksana ruang

rawat inap yang memiliki kecemasan tinggi dan rentan terhadap stres akan lebih

banyak menghabiskan waktu untuk menghadapi masalahnya sendiri sehingga sulit

untuk menunjukkan perilaku OCB (Organ, 2006).

Selain faktor internal, OCB juga dipengaruhi oleh faktor eksternal. Faktor

eksternal itu antara lain karakteristik tugas, karakteristik kelompok, karakteristik

organisasi, dan karakteristik pemimpin. Karakteristik tugas meliputi task

autonomy, task identity, task variety (routinization), task significance, task

interdependence, task feedback, intrinsically satisfying tasks, dan goal

interdependence. Menurut Hackarman & Lawler (1971, dalam Organ 2006), task

autonomy merupakan kondisi suatu pekerjaan dimana pekerjaan tersebut

dimungkinkan untuk dijadwalkan dan diatur sendiri oleh perawat pelaksana ruang

rawat inap Rumah Sakit “X”, sesuai dengan tingkat kepentingannya. Apabila

tugas tersebut dimungkinkan untuk diatur oleh perawat, maka perawat dapat

(32)

Universitas Kristen Maranatha

menentukan prosedur-prosedur yang akan dilakukan dalam menjalankan

pekerjaannya. Task autonomy dapat meningkatkan rasa memiliki terhadap Rumah

Sakit dan tanggungjawab terhadap pekerjaan sehingga dapat meningkatkan

kesediaan perawat untuk melakukan apapun (termasuk OCB) untuk

menyelesaikan tugas. Perawat yang memiliki kebebasan dalam mengatur

pekerjaannya dapat merasa puas terhadap pekerjaannya sehingga memungkinkan

munculnya dimensi altruism dan civic virtue.

Task identity merupakan penilaian perawat pelaksana ruang rawat inap

mengenai pekerjaannya, menyangkut penyelesaian tugas secara menyeluruh dan

identifikasi terhadap suatu tugas mulai dari proses awal hingga hasil yang

terprediksi sebelumnya. Tugas yang dipaparkan secara jelas dari awal hingga

akhir akan membuat perawat pelaksana makin dapat memahami cara

menyelesaikan tugas tersebut secara keseluruhan, dan menstimulasi perawat

pelaksana untuk mengerahkan energinya dalam mengerjakan pekerjaannya,

termasuk memunculkan OCB. Task variety (routinization) merupakan nilai

pekerjaan yang menyangkut variasi dari aktivitas kerja dan melibatkan beberapa

kemampuan dari perawat. Pekerjaan yang tidak rutin dan monoton cenderung

membuat perawat untuk tidak jenuh dalam bekerja dan memotivasi perawat untuk

terus mengembangkan kemampuan mereka dalam bekerja. Hal tersebut dapat

menambah rasa berarti perawat terhadap pekerjaannya sehingga kesempatan

untuk menampilkan OCB semakin tinggi.

Task significance merupakan nilai dari suatu pekerjaan yang mempunyai

(33)

Universitas Kristen Maranatha

luar organisasi, dalam arti sejauh mana pengaruh suatu pekerjaan terhadap

kehidupan atau pekerjaan orang lain (Griffin, 1982, dalam Organ 2006:109).

Apabila perawat pelaksana menghayati bahwa pekerjaan mereka sangat krusial,

yaitu menyejahterakan kesehatan banyak masyarakat, maka perawat akan

mengeluarkan usaha lebih untuk melaksanakan pekerjaannya supaya dapat terus

memberikan layanan keperawatan secara optimal, termasuk menampilkan OCB.

Task identity, task variety (routinization) dan task significance dapat

memengaruhi OCB dengan meningkatkan persepsi dari perawat dalam memaknai

tugasnya. Suatu tugas yang tinggi dalam variasi, identitas dan signifikansi akan

dipersepsi lebih bernilai dan berarti daripada tugas yang rutin dan rendah

signifikansi dan identitasnya. Adanya persepsi tersebut membuat individu, dalam

hal ini perawat, akan merasa lebih puas dan termotivasi untuk mengerahkan

energi dan usaha yang dapat diwujudkan dalam perilaku OCB.

Task feedback merupakan aktivitas kerja dimana perawat diberi informasi

secara obyektif, langsung dan jelas mengenai efektifitas performance kerjanya.

Task feedback yang diberikan secara jelas akan memberikan pengaruh yang besar

terhadap kinerja perawat sehingga perawat pelaksana memiliki self evaluation

untuk memperbaiki prestasi kerjanya di masa yang akan datang, meningkatkan

kepuasan kerja serta menimbulkan adanya motivasi intrinsik untuk bekerja lebih

baik. Efek dari task feedback akan lebih terasa bagi perawat yang memiliki

komitmen untuk menuntaskan pekerjaannya. Derajat kejelasan dan diperolehnya

informasi secara langsung mengenai seberapa efektif unjuk kerja perawat

(34)

Universitas Kristen Maranatha

task merupakan karakteristik suatu pekerjaan dimana perawat pelaksana

merasakan adanya kepuasan secara intrinsik saat melaksanakan aktivitas

pekerjaan daripada hasil dari pekerjaannya. Kepuasan yang diperoleh dari

kegiatan pelaksanaan tugas ini akan lebih termotivasi perawat pelaksana ruang

rawat inap untuk lebih terlibat pada pekerjaannya. Perawat akan terdorong

mengeluarkan usaha yang lebih keras demi terlaksananya tugas tersebut. Usaha

yang dimunculkan bisa dalam bentuk OCB.

Task interdependence merupakan keterkaitan antara tugas yang

memerlukan pertukaran informasi, peralatan dan dukungan dari rekan-rekan

pengurus yang lain agar pekerjaan perawat dapat terlaksana. Dukungan-dukungan

tersebut akan meningkatkan norma sosial dalam hal kerja sama, memunculkan

perilaku membantu dan sensitivitas terhadap kebutuhan orang lain. Goal

interdependence merupakan tingkatan dimana anggota kelompok percaya bahwa

mereka telah memberikan atau menyediakan tujuan kelompok dengan melakukan

umpan balik dalam kelompok. (Van Der Vegt, Van de Vliert, & Ooterhof, 2003:

717, dalam Organ 2006). Perawat pelaksana ruang rawat inap yang saling

memberikan umpan balik terhadap kinerja rekan perawat lainnya dan memberikan

dukungan terhadap perawat lainnya akan membuat perawat memiliki rasa

tanggung jawab sosial dan cohesiveness kelompok meningkat. Peluang

munculnya perilaku OCB pun akan semakin besar.

Faktor eksternal kedua setelah karakteristik tugas yang dapat

memengaruhi munculnya OCB adalah karakteristik kelompok. Menurut Organ

(35)

Universitas Kristen Maranatha

group cohesiveness, team member exchange, group potency, dan perceived team

support. Group cohesiveness merupakan keterikatan antara satu anggota dengan

anggota lain dan ketertarikan untuk menjadi bagian dari kelompok tersebut.

(Organ, 2006). Seorang perawat yang memiliki keterikatan yang kuat dengan

perawat lain akan membuat pekerjaannya dapat terlaksana dengan baik dan

memiliki keinginan untuk saling membantu, menampilkan sportmanship dan

sikap loyal terhadap perawat lainnya. Perawat yang memiliki keeratan dengan

kelompok kerjanya akan merasakan adanya kepuasan, setidaknya dengan rekan

sejawat mereka dan akan memiliki kepercayaan lebih pada rekan kerjanya.

Afinitas kelompok kerja yang tinggi akan membuat perawat tidak segan untuk

mengerahkan usaha lebih dalam membantu pekerjaan rekan-rekannya, yang dapat

dimunculkan melalui OCB.

Karakteristik kelompok yang kedua adalah Team Member Exchange

(TMX). TMX merupakan kualitas relasi yang sifatnya timbal balik, yang dapat

menumbuhkan rasa saling percaya antar anggota kelompok, komitmen terhadap

kelompok dan juga group cohesiveness. Pada kelompok dengan TMX rendah,

kaitan timbal balik antara perawat yang satu dengan yang lain hanya seperlunya,

sekadar untuk penyelesaian tugas saja. Pada kelompok yang memiliki TMX tinggi,

para anggota kelompok (dalam hal ini adalah para perawat) tidak segan untuk

membantu rekan kerjanya menyelesaikan tugas-tugas keperawatan serta fleksibel

ketika ada rekan kerja yang meminta tukar shift. Adanya TMX meningkatkan

kekuatan norma yang ada dalam kelompok yang memfasilitasi timbulnya

(36)

Universitas Kristen Maranatha

Karakteristik kelompok yang ketiga adalah group potency. Group potency

merupakan collective belief dari perawat bahwa kelompoknya dapat menjadi

efektif. Collective belief tersebut ditunjukkan secara bersama-sama sehingga

tercipta suasana bahu-membahu antar anggota kelompok saat bekerja dalam satu

tim. Apabila perawat percaya bahwa keberadaannya dapat menyebabkan

tercapainya tujuan bersama, maka hal tersebut akan membuat perawat bersedia

berbuat lebih dari apa yang diharuskan oleh perannya. Adanya potensi kelompok

ini membuat perawat akan saling membantu perawat yang lain dalam melakukan

pekerjaan yang berat. Mereka akan saling mendukung satu sama lain ketika

sesama perawat sedang berada dalam situasi sulit.

Karakteristik kelompok yang terakhir adalah perceived team support.

Perceived team support merupakan keyakinan perawat bahwa kelompoknya

menghargai kontribusi, memberikan dukungan dan peduli terhadap

kesejahteraannya. Perawat pelaksana yang diberikan dukungan oleh kelompoknya

dalam menjalankan pekerjaannya akan semakin terdorong untuk mengembangkan

kemampuannya. Adanya dukungan dari rekan kerja akan meningkatkan

kecenderungan perawat untuk menampilkan perilaku serupa pada rekan kerja lain,

yang dapat muncul melalui OCB.

Karakteristik organisasi juga akan memengaruhi OCB seseorang.

Karakteristik organisasi yang pertama adalah organizational formalization and

inflexibility. Organisasi (dalam hal ini adalah Rumah Sakit) yang sangat

menekankan pentingnya peraturan dan prosedur secara kaku serta tidak fleksibel

(37)

Universitas Kristen Maranatha

hanya terus dituntut untuk fokus pada intra-role behavior. Perawat yang terlalu

dituntut untuk mencapai standar asuhan keperawatan dapat menutup kemungkinan

adanya inisiatif untuk membantu rekan kerja karena setiap perawat sudah

memiliki tugas dan tanggung jawab masing-masing yang diatur secara ketat.

Perawat juga dapat kurang mengambil inisiatif untuk mengimplementasikan

prosedur baru dalam bekerja yang mungkin saja dapat membuat cara kerjanya

menjadi lebih baik. Akan tetapi, apabila Rumah Sakit menekankan dukungan di

antara para perawat dan tidak hanya menuntut dilaksanakannya tugas dan

tanggung jawab masing-masing perawat, maka rasa saling percaya dan perilaku

saling menolong dapat timbul pada sesama perawat (Berlian, 2009). Meskipun

demikian, organisasi yang menekankan formalisasi dan infleksibilitas tinggi dapat

pula memicu timbulnya OCB pada perawat yang memiliki affective commitment

dan kepercayaan pada pemimpin yang tinggi.

Karakteristik organisasi yang kedua adalah perceived organizational

support, yaitu persepsi perawat pelaksana ruang rawat inap mengenai seberapa

besar dukungan yang diterima perawat dari Rumah Sakit. Persepsi ini akan

menimbulkan tindakan balasan dari perawat berupa kepedulian pada

kesejahteraan Rumah Sakit. Dukungan dari Rumah Sakit dapat memengaruhi

OCB dengan meningkatkan kewajiban perawat, keinginan untuk saling memberi

dengan Rumah Sakit, memenuhi kebutuhan sosioemosional perawat, menetapkan

social identity bahwa mereka diterima sebagai bagian dari Rumah Sakit, dan

(38)

Universitas Kristen Maranatha

Karakteristik organisasi ketiga adalah distance between the employee and

others in the organization, yang meliputi jarak struktural (jarak yang ditentukan

oleh struktur fisik, misalnya jarak fisik ruang kerja antara atasan dan bawahan

yang menyebabkan kurang intensifnya komunikasi antara atasan dengan

bawahan), psikologis (adanya efek psikologis baik yang aktual maupun yang

dipersepsi mengenai perbedaan dalam hal demografis, budaya dan nilai antara

atasan dengan bawahan) dan fungsional (tingkat kedekatan dan kualitas relasi

antara atasan dengan bawahan) antara perawat dan rekan kerja lainnya dalam

Rumah Sakit. Ketiga jenis jarak ini akan memengaruhi motivasi, kemampuan dan

kesempatan memunculkan OCB. Perawat yang dekat dengan atasannya akan

mempunyai kesempatan dan motivasi lebih untuk menampilkan OCB. Semakin

erat hubungan perawat pelaksana dengan rekan kerja lainnya (terutama atasan),

semakin besar dukungan dan bantuan yang dapat dilakukan perawat pada rekan

kerjanya.

Karakteristik organisasi terakhir yang memengaruhi OCB adalah

organizational constraints atau hambatan-hambatan dari organisasi. Maksud dari

hambatan organisasi adalah suatu keadaan yang membuat perawat menjadi lebih

sulit untuk menampilkan unjuk kerjanya. Hambatan tersebut dapat berupa

kurangnya peralatan, pengadaan/perlengkapan, dukungan keuangan, kurangnya

bantuan dari rekan kerja lain, waktu, pelatihan dan sebagainya. Hambatan yang

sama dapat menimbulkan reaksi perawat yang berbeda. Perawat yang memiliki

(39)

Universitas Kristen Maranatha

hanya pada in-role behavior saja saat dihadapkan pada hambatan, begitu pula

sebaliknya.

Karakteristik pemimpin juga akan memengaruhi OCB pada Perawat

pelaksana ruang rawat inap Rumah Sakit “X”. Pemimpin yang mengutamakan

tugas akan lebih mementingkan teknis kerja, tugas dan berorientasi pada hasil

kerja. Sedangkan pemimpin yang mempunyai hubungan yang berkualitas tinggi

dengan anggotanya, seperti mengembangkan mutual trust, support dan loyality,

akan memotivasi perawat untuk membangun relasi yang berkualitas tinggi juga

dengan rekan-rekan kerjanya (Organ, 2006). Keteladanan dari pemimpin akan

menginspirasi pengikutnya untuk menjadi seperti dirinya, karena sudah menjadi

sifat dasar manusia untuk meniru serta membalas perlakuan dari orang lain,

sehingga perilaku tersebut dapat berpeluang meningkatkan OCB (Organ, 2006).

Para perawat pelaksana ruang rawat inap di Rumah Sakit “X” terdiri dari

beragam kepribadian atau beragam variasi faktor internal. Saat bekerja di Rumah

Sakit pun berbagai faktor eksternal akan memengaruhi perawat pelaksana untuk

menampilkan OCB dalam kelima dimensinya dengan tingkat yang bervariasi.

Faktor-faktor tersebut akan berinteraksi dan memunculkan kelima dimensi OCB

dalam tingkat yang bervariasi, yaitu altruism, conscientiousness, sportmanship,

(40)

Universitas Kristen Maranatha

Berbagai penjelasan sebelumnya digambarkan dalam bagan kerangka pikir

berikut :

Bagan 1.1 Kerangka Pikir

1.6 Asumsi Penelitian

Organizational Citizenship Behavior yang dimiliki perawat pelaksana ruang

rawat inap Rumah Sakit “X” terdiri dari 5 dimensi, yaitu altruism,

conscientiousness, sportmanship, courtesy, dan civic virtue. 1. Job Description

Perawat pelaksana

ruang rawat inap Rumah Sakit “X”

2. Visi dan Misi Rumah

Sakit “X”

Faktor eksternal :

1. Karakteristik tugas

2. Karakteristik kelompok

3. Karakteristik organisasi

4. Karakteristik pemimpin

Perawat pelaksana

ruang rawat inap Rumah Sakit “X” di Lampung Organizational Citizenship Behavior (OCB) Dimensi OCB Altruism Conscientiousness Sportmanship Courtesy

Civic Virtue

Tinggi

Rendah

Faktor internal :

Karakteristik individu

(41)

Universitas Kristen Maranatha Setiap perawat pelaksana ruang rawat inap Rumah Sakit “X” memiliki OCB,

tetapi OCB dalam diri setiap perawat pelaksana ruang rawat inap Rumah

Sakit “X” berbeda-beda dalam setiap dimensinya.

Bila OCB perawat pelaksana ruang rawat inap Rumah Sakit “X” tinggi, maka

saat bekerja perawat akan memiliki sikap membantu rekan kerja, pasien dan

keluarga pasien, berinisiatif untuk mengerjakan hal-hal melampaui

persyaratan minimal Rumah Sakit dalam hal kehadiran, kepatuhan pada

peraturan dan memanfaatkan waktu luang, tidak mengeluhkan hal-hal kecil

berkaitan dengan kondisi kerja yang kurang ideal, menghindari terjadinya

konflik dengan rekan kerja, dan terlibat serta peduli terhadap kelangsungan

hidup Rumah Sakit sehingga hal-hal tersebut berdampak terhadap efektivitas

dan efisiensi Rumah Sakit.

Bila OCB perawat pelaksana ruang rawat inap Rumah Sakit “X” rendah,

maka saat bekerja perawat akan menampilkan perilaku kurang memiliki

inisiatif untuk membantu rekan kerja, pasien dan keluarga pasien secara

sukarela, kurang memiliki inisiatif untuk mengerjakan hal-hal melampaui

persyaratan minimal Rumah Sakit dalam hal kehadiran, kepatuhan pada

peraturan dan memanfaatkan waktu luang, mengeluhkan hal-hal kecil

berkaitan dengan kondisi kerja yang kurang ideal, terlibat dalam konflik

dengan rekan kerja dan kurang peduli serta terlibat terhadap kelangsungan

hidup Rumah Sakit, sehingga kinerja Rumah Sakit tidak akan memiliki nilai

(42)

Universitas Kristen Maranatha • Faktor internal yang ada dalam diri perawat pelaksana ruang rawat inap

Rumah Sakit “X” yang memengaruhi munculnya OCB adalah karakteristik

individu (morale dan personality).

• Persepsi terhadap faktor eksternal, yaitu karakteristik individu, karakteristik

tugas, karakteristik kelompok, karakteristik organisasi, dan karakteristik

pemimpin akan memengaruhi faktor internal yang dimiliki perawat pelaksana

ruang rawat inap Rumah Sakit “X”, dan memengaruhi tingkat OCB yang

ditampilkan dalam setiap dimensinya.

Organizational Citizenship Behavior (OCB) dibutuhkan oleh perawat

pelaksana ruang rawat inap Rumah Sakit “X” agar dapat meningkatkan

(43)

Universitas Kristen Maranatha 119

5.1 Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan pada bab sebelumnya, dapat

ditarik suatu simpulan mengenai OCB perawat pelaksana ruang rawat inap Rumah

Sakit “X” di Lampung sebagai berikut :

1. Setengah dari perawat pelaksana ruang rawat inap Rumah Sakit “X”

memiliki tingkat OCB yang rendah, dan setengah perawat pelaksana

ruang rawat inap sisanya memiliki tingkat OCB yang tinggi.

2. Perawat pelaksana ruang rawat inap Rumah Sakit “X” yang memiliki

tingkat OCB rendah mayoritas memiliki tingkat dimensi altruism,

conscientiousness, sportmanship, courtesy dan civic virtue yang

rendah pula.

3. Perawat pelaksana ruang rawat inap Rumah Sakit “X” yang memiliki

tingkat OCB tinggi mayoritas memiliki tingkat dimensi altruism,

conscientiousness, sportmanship dan courtesy yang tinggi, serta

seluruhnya memiliki tingkat civic virtue yang tinggi pula.

4. Dimensi OCB yang ditampilkan perawat pelaksana ruang rawat inap

Rumah Sakit “X” dalam derajat paling tinggi adalah civic virtue.

Faktor internal yang nampak memiliki kaitan paling signifikan dengan

(44)

Universitas Kristen Maranatha

5. Faktor internal yang memiliki keterkaitan paling signifikan dengan

tingkat OCB yang ditampilkan perawat pelaksana ruang rawat inap

Rumah Sakit “X” di Lampung adalah personality, terutama trait

extraversion. Perawat dengan trait extraversion menonjol memiliki

tingkat OCB yang rendah.

6. Faktor eksternal yang memiliki keterkaitan paling signifikan dengan

tingkat OCB yang ditampilkan perawat pelaksana ruang rawat inap

Rumah Sakit “X” di Lampung adalah Leader Reward and Punishment

Behavior. Seluruh perawat pelaksana ruang rawat inap yang

memersepsi tidak terdapatnya kesempatan yang sama untuk

mendapatkan promosi jabatan memiliki tingkat OCB yang rendah.

7. Karakteristik responden yang nampak memiliki kaitan paling

signifikan dengan tinggi rendahnya tingkat OCB yang ditampilkan

perawat pelaksana ruang rawat inap Rumah Sakit “X” di Lampung

adalah ruang dinas tempat perawat pelaksana bekerja.

5.2 Saran

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan terhadap perawat pelaksana

ruang rawat inap Rumah Sakit “X” di Lampung, maka beberapa saran yang dapat

(45)

Universitas Kristen Maranatha

5.2.1 Saran Teoritis

1. Peneliti selanjutnya disarankan untuk melakukan penelitian lebih

dalam lagi mengenai korelasi antara OCB dengan personality, dengan

menggunakan kuesioner Big Five.

2. Bagi peneliti lain yang ingin melihat keterkaitan maupun pengaruh

faktor-faktor eksternal secara lebih presisi terhadap tingkat OCB yang

ditampilkan disarankan untuk menggunakan kuesioner mengenai

faktor-faktor eksternal dengan lebih spesifik, dikaitkan dengan

karakteristik responden.

3. Peneliti yang ingin melanjutkan penelitian dengan variabel yang sama

sebaiknya meninjau kembali pembuatan kuesioner data utama serta

data penunjang supaya benar-benar sesuai dengan karakteristik

responden, agar kuesioner yang dipakai lebih presisi untuk mengukur

tingkat OCB beserta faktor-faktor yang memengaruhinya.

4. Bagi peneliti yang ingin melanjutkan penelitian dengan variabel yang

sama dan responden dengan jabatan yang sama sebaiknya

mengutamakan homogenitas sampel dengan mencari responden yang

memiliki tuntutan kerja dan situasi kerja yang serupa agar dapat lebih

jelas dalam menggambarkan tingkat OCB dan kaitannya dengan

(46)

Universitas Kristen Maranatha

5.2.2 Saran Praktis

1. Untuk mendapatkan perawat yang mampu memunculkan tingkat OCB

dalam derajat tinggi, HRD Rumah Sakit “X” disarankan untuk untuk

menyeleksi perawat pelaksana dengan memertimbangkan karakteristik

kepribadian yang dapat menunjang munculnya OCB.

2. Untuk meningkatkan kerja sama antar tim perawat, manajemen Rumah

Sakit “X” disarankan untuk mengadakan pelatihan team work supaya

perawat pelaksana memahami pentingnya bekerja sama secara tim

dalam memberikan pelayanan optimal kepada pasien dengan jumlah

perawat pelaksana yang terbatas dan perlengkapan medis yang masih

harus dilengkapi lagi. Kerja sama antar tim perawat diharapkan dapat

meningkatkan kohesivitas antar perawat sehingga perawat lebih

menunjukkan inisiatif untuk saling membantu ketika perawat lain

membutuhkan bantuan, menghindari konflik yang tidak perlu dengan

rekan kerja lain sehingga pekerjaan tidak terganggu serta tidak mudah

mengeluhkan iklim kerja yang kurang ideal karena mendapatkan

banyak dukungan dari tim kerja saat dihadapkan pada situasi kerja

yang tidak menyenangkan.

3. Untuk meningkatkan keoptimalan dalam bekerja sebagai perawat

sesuai uraian tugas, bahkan di luar uraian tugas, manajemen Rumah

Sakit “X” disarankan untuk mengadakan pelatihan profesionalisme.

Pelatihan tersebut ditujukan agar perawat pelaksana dapat lebih

(47)

Universitas Kristen Maranatha

dapat melayani pasien dengan lebih profesional. Pelayanan yang

profesional tersebut dapat ditunjukkan melalui pengendalian emosi

dalam melayani pasien yang rewel dan banyak mengeluarkan

komplain, mampu meningkatkan empati terhadap pasien dan keluarga

pasien, mampu memilah antara masalah pribadi dengan pekerjaan

sehingga tidak mencampuradukkan masalah-masalah tersebut dan

membuat waktu dinas tidak banyak tersita untuk membicarakan hal-hal

di luar pekerjaan, tidak mudah mengeluhkan hal-hal sepele, dan

mampu meningkatkan toleransi terhadap iklim kerja yang kurang

ideal.

4. Disarankan bagi manajemen Rumah Sakit “X” untuk terus

meng-upgrade sarana dan prasarana Rumah Sakit “X” agar menunjang

kelancaran perawat pelaksana dalam menjalankan tugasnya. Sarana

dan prasarana yang memadai dapat memertahankan perawat yang

berkualitas.

5. Penampilan OCB dapat ditingkatkan bila pemimpin dapat berfungsi

sebagai mentor yang baik, oleh karena itu disarankan agar pimpinan

dari semua bagian di Rumah Sakit, khususnya Kepala Bidang

Keperawatan dan Karu untuk mengikuti pelatihan mengenai

leadership. Pelatihan tersebut bertujuan agar memiliki Kepala Bidang

Keperawatan dan Karu memiliki pengetahuan mengenai sikap apa saja

yang harus dikembangkan agar dapat menjadi pemimpin yang mampu

(48)

Universitas Kristen Maranatha

lebih optimal, bahkan melebihi harapan Rumah Sakit dan dapat terus

mengembangkan sikap objektif kepada perawat serta perilaku

kepemimpinan lain yang dapat merangsang berkembangnya OCB pada

perawat pelaksana.

6. Disarankan bagi Kepala Bidang Keperawatan dan Karu untuk

memberikan pemahaman pada perawat pelaksana mengenai

pentingnya memiliki sikap disiplin dalam bekerja, lebih peka terhadap

kebutuhan pasien dan rekan kerja, serta menunjukkan kesediaan secara

sukarela untuk membantu rekan kerja lain dan juga pasien beserta

keluarganya, tidak hanya dipandang sebagai suatu kewajiban.

Pemahaman tersebut dapat disampaikan setiap briefing sebelum jam

dinas dimulai.

7. Disarankan bagi manajemen Rumah Sakit “X” untuk terus

meningkatkan kepuasan kerja perawat pelaksana ruang rawat inap

dengan memberikan penghargaan atas kontribusi perawat pelaksana

selama bekerja di Rumah Sakit “X”. Penghargaan tersebut dapat

berupa pemilihan karyawan terbaik dalam jangka waktu tertentu

disertai reward yang sesuai. Hal tersebut dapat lebih meningkatkan

motivasi para perawat untuk memberikan pelayanan terbaik kepada

pasien dan keluarga pasien dan meminimalisir persepsi perawat

mengenai ketidakobjektifan atasan dalam memerlakukan perawat.

(49)

Universitas Kristen Maranatha

“X” dapat terus ditingkatkan dan memerbesar peluang munculnya

(50)

Universitas Kristen Maranatha

126

di Rumah Sakit. Cetakan Kedua. Jakarta : Depkes RI.Dirj

Referensi

Dokumen terkait

Proses mediasi di pengadilan baik yang mencapai kesepakatan maupun yang tidak mencapai kesepakatan (gagal), mediator harus tetap memberitahukan kepada hakim dalam masa

Jalan Raya, Jalan Lingkungan, termasuk perawatannya (22001) Kecil.. 2.a Bidang Pekerjaan Sub

Metode insiden kritis membuat satu catatan tentang contoh-contoh yang luar biasa baik atau tidak diinginkan dari perilaku yang berhubungan dengan kerja seorang karyawan

Di dalam penulisan ilmiah ini, penulis membuat suatu program menggunakan Visual Basic 6.0 untuk memudahkan perhitungan dari metode Northwest Corner ini yang diharapkan dapat

Pada akhirnya program aplikasi modul interactive fisika dasar 3 ini akan diaplikasikan pada web universitas gunadarma untuk mempermudah dalam melaksanakan kegiatan belajar

Kesimpulan dari hasil penelitian mengenai Partisipasi Politik Penyandang Disabilitas di Kota Semarang pada Pemilihan Walikota dan Wakil Walikota Semarang 2015

Notaris Notaris merupakan pejabat umum yang harus di lindungi dan dijaga harkat serta martabatnya. Hal imi didasarkan pada kewenangan notaris Yang diatur pada

Menurut Kasmir (2011:31), “Pengertian pelayanan yang baik adalah kemampuan perusahaan dalam memberikan pelayanan yang dapat memberikan kepuasan kepada pelanggan dengan standar