1
ASPEK SOSIAL BUDAYA BALI DALAM KONTEKS STUDI LINGKUNGAN*
Oleh :
I Nyoman Dhana
Sebagaimana diketahui, lingkungan hidup kerap disebut dengan lingkungan saja. Menurut Peraturan Pemerintah No.51Tahun 1993 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) disebutkan bahwa
“lingkungan hidup merupakan kesatuan ruang dengan semua benda, daya dan keadaan, dan makhluk hidup termasuk di dalamnya manusia dan peri kehidupan dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lainnya.Mencermati pengertian ini tampaklah bahwa studi lingkungan, termasuk studi kelayakan seyogyanya memperhatikan manusia dan masyarakat di lokasi studi lingkungan yang bersangkutan.
Manusia merupakan makhluk sosial yang berbudaya, sehingga studi tentang manusia dan masyarakat kerap dilihat sebagai studi tentang aspek sosial budaya. Secara terminologi dikenal pengertian tentang aspek sosial budaya, satu di antaranya menurut Sanderson (2011). Sanderson (2011 : 59) mengemukakan bahwa sistem sosiokultural mengacu kepada sekumpulan orang yang menggunakan berbagai cara untuk beradaptasi dengan lingkungan mereka, yang
*Makalah dipresentasikan dalam Focus Group Discussion (FGD) Studi Kelayakan Rencana Bandar Udara Baru di Bali Utara, diselenggarakan oleh Kementerian Perhubungan Direktorat Jenderal perhubungan Udara, tanggal 29 Nopember 2018 di Bandung.
2
bertindak menurut bentuk-bentuk perilaku sosial yang sudah terpolakan, dan menciptakan kepercayaan dan nilai bersama yang dirancang untuk memberi makna bagi tindakan kolektif mereka. Tiga komponen pokok sistem sosiokultural adalah infrastruktur, struktur sosial, dan superstruktur ideologis, masing-masing terdiri atas bagian-bagiannya. Superstruktur ideologis meliputi cara-cara yang telah terpolakan, yang dengan cara tersebut para anggota masyarakat berpikir, melakukan konseptualisasi, menilai dan merasakan sesuatu. Struktur sosial pada dasarnya merupakan perilaku aktual manusia yang muncul dalam hubungan antarsesamanya maupun dalam hubungan mereka dengan lingkungan alam (biofisik).Infrastruktur material terdiri atas unsur-unsurnya : teknologi,ekonomi, ekologi, demografi (Sanderson, 2011 : 60). Teknologi terdiri lagi atas informasi, peralatan, dan teknik yang oleh manusia digunakan untuk beradaptasi terhadap lingkungan dalam arti luas.
Khusus dalam rangka studi lingkungan, biasanya aspek sosial budaya yang disoroti meliputi : dinamika sosial budaya, pranata sosial budaya, warisan budaya, persepsi masyarakat tentang kegiatan pembangunan. Dalam aspek sosial budaya masyarakat Bali dikenal suatu kearifan lokal, yaitu konsep Tri Hita Karana yang menekankan pentingnya keharmonisan hubungan manusia dengan Tuhan, sesama manusia, dan lingkungan alam. Konsep ini biasanya diacu dalam menyusun suatu peraturan dalam kehidupan bermasyarakat.
3
Berkenaan dengan konsep Tri Hita Karana dikenal adanya keputusan Parisada Pusat nomor 11/Kep/1/PHDI/1994 yang lazim disebut bhisama Parisadha. Bhisama ini menunjukkan bahwa radius kecucian pura berkaitan dengan status pura yang bersangkutan. Dalam konteks ini dikenal tiga macam status pura.
1. Pura berstatus sebagai pura Kahyangan Jagat, radius kesuciannya 5 kilometer.
Contohnya Pura Besakih, Pura Batur, Pura Lempuyang, Pura Goa Lawah, Pura Uluwatu, Pura Watukaru, Pura Andakasa.
2. Pura berstatus sebagai pura Dang Kahyangan, radius kesuciannya 2 kilometer.
Contohnya Pura Pulaki di Kabupaten Buleleng Bali Utara, Pura Tanah Lot, Pura Rambut Siwi.
3. Pura berstatus sebagai pura kahyangan desa atau Kahyangan Tiga, radius kesuciannya 1 kilometer. Setiap Desa Adat memiliki pura ini.
Satu konsep lainnya dalam kebudayaan Bali adalah konsep tentang tempat hulu dan hilir (luan-teben) (Mantra, 1993). Ini berkaitan dengan arah mata angin utara-selatan atau kaja kelod(Bagus, 1984). Kaja berarti arah ke pegunungan, sedangkan kelod berarti arah ke laut. Mengingat pegunungan ada di tengah pulau Bali, dan laut ada di sekeliling pulau Bali, maka kaja bagi masyarakat di Bali Utara berarti selatan, yakni arah ke pegunungan yang ada di sebelah selatannya.
Sementara, arah kelod berarti utara, yakni arah ke laut yang berada di utara Kabupaten Buleleng (Bali Utara). Sebaliknya bagi masyarakat Bali bagian selatan, kaja berarti utara, yakni arah ke pegunungan yang memang terletak di bagian utara Bali Selatan, sedangkan kelod berarti selatan, yaitu arah ke laut yang
4
memang berada di sebelah selatan Bali. Letak kaja dianggap suci sedangkan letak kelodprofan. Berdasarkan anggapan ini orang Bali menempatkan bangunan suci
di arah kaja, misalnya bangunan tempat ibadah seperti pura; dan menempatkan hal-hal yang dianggap profan di arah kelod, misalnya kandang ternak.
Dalam menelaah hubungan manusia dengan lingkungannya, maka pandangan manusia terhadap lingkungan tidak dapat diabaikan karena berdasarkan pandangannya itulah manusia berusaha memanfaatkan potensi lingkungan dengan melakukan berbagai kegiatan. Sehubungan dengan hal ini, Soemarwoto dalam tulisannya berjudul Lingkungan Hidup dan Pembangunan (1989) menunjukkan bahwa perilaku manusia dalam memanfaatkan lingkungan sangat ditentukan oleh citra lingkungan yang mereka miliki. Menurut Soemarwoto (1989 : 94) citra lingkungan adalah sebagai berikut.
“Citra lingkungan menggambarkan anggapan orang tentang struktur lingkungan, bagaimana lingkungan itu berfungsi, reaksinya terhadap tindakan orang serta hubungan manusia dengan lingkungannya. Citra lingkungan itu memberi petunjuk tentang apa yang boleh dilakukan dan apa yang tidak boleh dilakukan demi kebaikan orang itu”.
Berdasarkan pengertian tentang citra lingkungan ini, maka dapat dikatakan bahwa sikap dan perilaku manusia dalam mengelola lingkungannya tidak lepas dari pandangannya atau anggapannya tentang lingkungan yang bersangkutan. Jika lingkungannya dianggap mengandung potensi yang bermanfaat baginya, maka mereka akan berusaha memanfaatkan potensi tersebut untuk memenuhi kebutuhannya. Menurut Soemarwoto (1989 : 94), citra lingkungan yang dimiliki suatu masyarakat bisa bersumber pada pengetahuan yang mereka dapatkan dari hubungan mereka dengan lingkungan dan/atau bisa pula bersumber pada agama,
5
kepercayaan ataupun mistik. Citra lingkungan masyarakat Bali dalam arti sebagaimana dipaparkan di atas bersumber pada kearifan lokal mereka.
Sehubungan dengan ini, Atmadja (2010: 403) menegaskan bahwa citra lingkungan masyarakat Bali terkristalisasi pada ideologiTri Hita Karana. Ideologi ini mengidealkan hubungan harmonis antara manusia dan manusia pada tataran struktur sosial (pawongan), hubungan harmonis antara manusia dan lingkungan alam nyata/sekala(palemahan), dan keharmonisan hubungan antara manusia dan lingkungan alam tidak nyata/niskala (parhyangan).
Sebagaimana halnya masyarakat pada umumnya, masyarakat Bali juga memiliki pranata sosial, antara lain berupa Desa Dinas, Desa Adat, dan kelompok- kelompok sosial lainnya seperti kelompok pemuja leluhur disebut kelompok dadia, kelompok petani disebut subak, dan kelompok lain yang disebut sekaa.
Pranata sosial ini berfungsi menghimpun masyarakat menjadi para anggotanya sehingga keputusan mengenai berbagai hal termasuk keputusan untuk menerima dan/atau menolak berpartisipasi dalam suatu program pembangunan kerap dilakukan melalui fungsi pranata sosial seperti itu. Misalnya keputusan rapat.
Persepsi masyarakat juga penting diperhatikan mengingat bahwa berdasarkan persepsinyalah masyarakat akan menentukan sikap setuju atau tidak, serta perilaku ikut atau tidak ikut berpartisipasi dalam program pembangunan.
Sehubungan dengan itu, sikap dan perilaku warga masyarakat perlu diperhatikan guna menentukan langkah-langkah antisipatif terhadap kemungkinan munculnya hambatan dan gangguan terhadap pelaksanaan program pembangunan di tengah masyarakat. Hal ini penting, mengingat apa yang dikemukakan oleh Soemardjan
6
(1993 : 30-31), bahwa selama ini banyak program dan proyek pembangunan massal tidak sampai pada tujuannya, bahkan merugikan masyarakat yang bersangkutan karena pengetahuan yang benar tentang masyarakat yang akan tersangkut tidak dianggap perlu dalam perencanaan pembangunan. Sejalan dengan itu, maka sebagaimana dikemukakan oleh Soetrisno (2000 : xx) para penduduk desa umumnya tidak mau berpartisipasi dalam mengembangkan dan melestarikan proyek pembangunan pedesaan yang diusung pemerintah. Akibatnya banyak proyek pembangunan mubazir karena masyarakat tidak mau atau tidak diikutkan dalam proses perencanaannya, sehingga pemerintah pun dalam hal seperti itu mengalami kerugian milyaran rupiah.
Terjadinya pengabaian terhadap masyarakat dalam pembangunan seperti dipaparkan di atas karena banyak pembuat kebijaksanaan atau pelaksana pembangunan cenderung menganggap sikap dan perilaku masyarakat dan sistem sosiokulrural tradisionalnya bersifat menghambat bahkan merugikan pembangunan (Desai, 1983; Cernea, 1989; Dove, 1994). Anggapan seperti ini mungkin ada benarnya, namun sebagaimana dikemukakan oleh Cernea (1989 : 155), bahwa dalam rangka menyukseskan pembangunan maka memperkuat, mengubah dan mengembangkan sistem sosiokultural yang berfungsi membentuk dan mengendalikan sikap dan perilaku masyarakat tidak dapat diabaikan.
Berdasarkan paparan di atas, maka khusus terkait dengan rencana pembangunan Bandar Udara di Bali Utara pada kesempatan ini dapat diusulkan agar diperhatikan beberapa hal sebagai berikut.
7
1. Bhisama PHDI tentang radius kesucian pura, mengingat di sekitar lokasi rencana pembangunan Bandar Udara Bali Utara pasti ada pura.
2. Pranata masyarakat, seperti Desa Adat, Subak, dan kelompok- kelompok lain yang kemungkinan besar juga ada di sekitar lokasi rencana proyek.
3. Persepsi masyarakat sekitar lokasi proyek perlu dipahami dan ditindaklanjuti dengan cara strategis agar tidak timbul gangguan atau hambatan terhadap pelaksanaan proyek kelak.
4. Fasilitas pendidikan, rumah-rumah penduduk, sawah, ladang yang merupakan sumber penghidupan masyarakat setempat juga perlu diperhatikan jangan sampai terkena dampak yang tidak dapat dikelola.
8
Daftar Pustaka
Atmadja, Nengah Bawa. 2010. Ajeg Bali : Gerakan, Identitas Kultural, dan Globalisasi. Yogyakarta : LKiS.
Bagus, I Gusti Ngurah. 1984. “Kebudayaan Bali”. Dalam Koentjaraningrat (ed.), Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta :Penerbit Djambatan. Halaman 279-299.
Cernea, Michael. 1989. “Modernisasi dan Potensi Pembangunan Organisasi Petani Jelata Tradisional”. Dalam Mustofa O. Attir, Burkhart Halzner, dan Zdenek Suda (ed.) Sosiologi Modernisasi Telaah Kritis tentang Teori, Riset, dan Realitas (Hartono Hadikusumo, penerjemah). Yogyakarta : Lembaga Studi Pembangunan. Halaman 11-18.
Desai, A.R. 1993. “Sosiologi Pedesaan : Sebuah Pengantar Kepada penataan Kembali Pedesaan”. Dalam Lembaga studi Pembangunan (ed.), Hak dan Kebutuhan Desa. Jakarta : Lembaga Studi Pembangunan. Halaman 11-18.
Dove, Michael R. 1994. “Ketahanan Kebudayaan dan Kebudayaan Ketahanan”.
Dalam Paulus Florus dkk (ed.), Kebudayaan Dayak Akulturasi dan Transformasi. Jakarta : PT Gramedia Widiasarana. Halaman xxiii-xxix.
Mantra, Ida Bagus. 1993. Bali :Masalah Sosial Budaya dan Modernisasi.
Denpasar : Penerbit Upada Sastra.
Sanderson, Stephen. 2011. Sosiologi Makro Sebuah Pendekatan terhadap Realitas Sosial (Farid Widjidi dan S. Menno, penerjemah).
Jakarta : Rajawali Press.
Soemardjan, Selo. 1993. “Beberapa Pemikiran tentang Pembangunan”, dalam Masyarakat dan Manusia dalam Pembangunan : Pokok- PokokPikiran Selo Soemardjan (Desiree Zuraida dan Jufrina Rizal, penyunting). Jakarta : Pustaka Sinar Harapan.
Halaman 25-230.
Soetrisno, Loekman. 2000. “Pengantar” dalam James Scott, Senjatanya Orang- Orang yang Kalah (A Rahman Zainuddin, Sayogyo, Mien Joebhaar, penerjemah). Jakarta : Yayasan Obor Indonesia.
Halaman xvi-xxi.