HUBUNGAN RELASI RAHANG DENGAN POSTUR KEPALA PADA ANAK
USIA TUMBUH KEMBANG DI RSGM USU
SKRIPSI
Diajukan untuk memenuhi tugas dan melengkapi syarat memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Gigi
KRISTANTO NIM : 160600191
FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN 2020
Tahun 2020
Kristanto
Hubungan Relasi Rahang dengan Postur Kepala pada Anak Usia Tumbuh Kembang di RSGM USU
x + 54 halaman
Postur kepala merupakan aspek yang diperhatikan dan dipertimbangkan dalam bidang ilmu ortodonti. Perawatan ortodonti tidak hanya bertujuan untuk memperbaiki posisi gigi geligi tetapi juga untuk mencegah dan memperbaiki relasi rahang yang dapat mempengaruhi postur kepala. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui ada atau tidaknya hubungan yang signifikan antara relasi rahang dengan postur kepala pada anak usia tumbuh kembang di RSGM USU sehingga dapat menjadi pertimbangan dokter gigi dalam melakukan diagnosis dan rencana perawatan terutama di bidang ortodonti. Desain penelitian ini adalah cross sectional dengan sampel penelitian sebanyak 72 sampel berupa radiografi sefalometri data pasien RSGM USU. Metode pengambilan sampel yang digunakan adalah metode purposive sampling. Dilakukan tracing pada radiografi sefalometri untuk menentukan relasi rahang (ANB) dan postur kepala (NSL/CVT) melalui analisis program komputer dan sampel dikelompokkan menjadi relasi rahang Kelas I,II, dan III dan postur kepala normal dan extended. Pengolahan data dilakukan dengan program statistik secara komputerisasi. Hasil penelitian menunjukkan proporsi postur kepala pada subjek dengan relasi rahang Kelas I sebesar 17 (70,8%) normal, 7 (29,2%) extended, pada relasi rahang Kelas II sebesar 12 (50%) normal, 12 (50%) extended, sedangkan pada relasi rahang Kelas III sebesar 20 (83,3%) normal dan 4 (16,7%) extended. Hasil uji parametrik chi-square menunjukkan adanya hubungan yang antara relasi rahang dengan postur kepala (p<0,05), sedangkan tidak ada hubungan yang signifikan antara usia dengan postur kepala (p>0,05).
Daftar Rujukan: 29 (1997-2016)
Skripsi ini telah disetujui untuk dipertahankan di hadapan tim penguji skripsi penelitian
Medan, 24 Maret 2020
Pembimbing TandaTangan
Aditya Rachmawati, drg., Sp.Ort.(K) ...
NIP: 19840301 200912 2 003
Skripsi ini telah dipertahankan di hadapan tim penguji pada tanggal 24 Maret 2020
TIM PENGUJI
KETUA : Aditya Rachmawati, drg., Sp.Ort.(K) ANGGOTA : 1. Muslim Yusuf, drg., Sp.Ort.(K)
2. Teguh Aryo Nugroho, drg., Sp.Ort., MDSc
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan yang Maha Esa yang telah melimpahkan berkat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Gigi.
Dalam penulisan skripsi ini penulis mendapat bimbingan, bantuan dan dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada :
1. Dr. Trelia Boel, drg., M.Kes., Sp. RKG(K) selaku Dekan Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara.
2. Siti Bahirrah, drg., Sp.Ort (K)., selaku Ketua Departemen Ortodonsia Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara.
3. Aditya Rachmawati, drg., Sp.Ort (K), sebagai pembimbing, koordinator skripsi yang telah meluangkan banyak waktu, tenaga, motivasi, dan kesabaran untuk membimbing, diskusi, dan memberi saran sehingga skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik.
4. Ami Angela Harahap, drg., Sp.KGA., MSc, selaku dosen pembimbing akademik atas motivasi dan bantuannya kepada penulis selama masa pendidikan di Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara.
5. Muslim Yusuf, drg., Sp.Ort (K), sebagai penguji ujian skripsi di Departemen Ortodonsia Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara.
6. Teguh Aryo Nugroho, drg., Sp.Ort., MDSc , sebagai penguji ujian skripsi di Departemen Ortodonsia Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara
7. Seluruh staf pengajar FKG USU terutama staf pengajar dan pegawai di Departemen Ortodonsia FKG USU atas bantuan yang diberikan kepada penulis.
8. Teman-teman Pacuers (Reinaldo, Jasver, Handoyo, Iyan, Felycia, Lili, Febby, dan Imelda) yang mendukung, menemani dan kesabarannya selama penulisan skripsi ini.
terutama untuk Novi, Dinda dan Maryam.
10. Celine Yinnie yang selalu memberikan semangat, motivasi dan bantuan pada penulis.
11. Kepada teman-teman angkatan 2016, senior, dan adik-adik yang namanya tidak dapat disebutkan satu per satu disini, terimakasih atas semangat yang diberikan.
Tidak lupa penulis ucapkan terimakasih yang teristimewa kepada orang tua tercinta yakni Hanra dan Ong Mei Tin atas segala kasih sayang, doa dan dukungannya yang tiada henti.
Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan di dalam penulisan skripsi ini dan penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun untuk menghasilkan karya yang lebih baik lagi di kemudian hari.
Akhir kata penulis mengharapkan semoga hasil karya atau skripsi ini dapat memberikan sumbangan pikiran yang berguna bagi pengembangan disiplin ilmu di Fakultas Kedokteran Gigi khususnya Departemen Ortodonti.
Medan, 24 Maret 2020 Penulis
( Kristanto ) NIM : 160600191
HALAMAN JUDUL ...
HALAMAN PERSETUJUAN ...
HALAMAN TIM PENGUJI ...
KATA PENGANTAR ... iv
DAFTAR ISI ... vi
DAFTAR TABEL ... vii
DAFTAR GAMBAR ... ix
DAFTAR LAMPIRAN ... x
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1
1.2 Rumusan Masalah ... 3
1.3 Tujuan Penelitian ... 4
1.4 Hipotesis Penelitian ... 4
1.5 Manfaat Penelitian ... 4
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Maloklusi dan Malrelasi ... 6
2.2 Klasifikasi Maloklusi dan Malrelasi ... 6
2.2.1 Klasifikasi Maloklusi ... 6
2.2.2 Klasifikasi Malrelasi ... 10
2.3 Etiologi Maloklusi ... 11
2.3.1 Faktor Umum ... 11
2.3.2 Faktor Lokal ... 12
2.4 Radiografi Sefalometri ... 14
2.4.1 Kegunaan Radiografi Sefalometri ... 14
2.4.2 Tipe Sefalometri ... 15
2.4.3 Anatomi Landmark Sefalometri Jaringan Keras ... 15
2.5 Analisis Sefalometri ... 17
2.6 Postur Tubuh ... 18
2.6.1 Diagnosis Postur Tubuh ... 18
2.7 Postur Kepala ... 20
2.7.1 Diagnosis dan Analisis Postur Kepala ... 20
2.8 Pertumbuhan dan Perkembangan Kraniofasial ... 22
2.8.1 Maksila ... 23
2.8.2 Mandibula ... 24
2.9 Maturasi Vertebra Servikalis ... 25
2.10 Hubungan Relasi Rahang dengan Postur Kepala... 27
BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Desain Penelitian ... 30
3.2 Tempat dan Waktu Penelitian ... 30
3.3 Populasi Penelitian ... 30
3.4 Sampel Penelitian... 30
3.4.1 Kriteria Inklusi ... 30
3.4.2 Kriteria Eksklusi ... 31
3.4.3 Besar Sampel ... 31
3.5 Variabel Penelitian ... 32
3.5.1 Variabel Bebas ... 32
3.5.2 Variabel Tergantung ... 32
3.5.3 Variabel Terkendali ... 32
3.6 Definisi Operasional ... 32
3.7 Sarana Penelitian ... 34
3.7.1 Alat ... 34
3.7.2 Bahan ... 34
3.8 Prosedur Penelitian ... 35
3.9 Pengolahan Data dan Analisis Data ... 38
3.9.1 Pengolahan Data ... 38
3.9.2 Analisis Data ... 38
BAB 4 HASIL PENELITIAN ... 39
BAB 5 PEMBAHASAN ... 41
BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan ... 43
6.2 Saran ... 43
DAFTAR PUSTAKA ... 44 LAMPIRAN ...
Tabel Halaman 1. Titik dan garis referensi pengukuran postur kepala ... 21 2. Sudut pada pengukuran postur kepala... 21 3. Hasil uji chi-square hubungan relasi rahang terhadap postur kepala ... 39 4. Hasil uji chi-square perbedaan umur terhadap postur kepala ... 40
Gambar Halaman
1. Maloklusi Kelas I Angle ... 7
2. Maloklusi Kelas II Angle... 8
3. Maloklusi Kelas II Divisi 1 Angle ... 8
4. Maloklusi Kelas II Divisi 2 Angle ... 9
5. Maloklusi Kelas III Angle ... 9
6. Malrelasi Kelas I Salzmann ... 10
7. Malrelasi Kelas II Salzmann ... 11
8 Malrelasi Kelas III Salzmann ... 11
9. Sefalometri frontal dan lateral ... 15
10. Titik – titik sefalometri pada jaringan keras ... 17
11. Relasi rahang berdasarkan analisis Steiner ... 18
12. Titik dan garis referensi untuk pengukuran postur kepala ... 22
13. Arah pertumbuhan maksila dan mandibula ... 25
14. Tahap maturasi tulang vertebra servikalis menurut Bacceti (2005) ... 26
15. Alat dan bahan ... 35
16. Tracing foto sefalometri dan penentuan titik S, N, A, B, Cv2tg, dan Cv4ip ... 36
17. Hasil kertas tracing yang telah disimpan dalam format gambar ... 36
18. Penarikan garis ANB, NSL dan CVT menggunakan aplikasi CorelDraw X7 program ‘pen tool’ ... 36
19. Perhitungan sudut ANB menggunakan aplikasi CorelDraw X7 program ‘Angular Dimension Tool’ ... 37
20. Perhitungan sudut NSL/CVT menggunakan aplikasi CorelDraw X7 program ‘Angular Dimension Tool’ ... 38
Lampiran Halaman
1. Daftar Riwayat Hidup ... 47 2. Surat Ethical Clearance... 48 3. Hasil pengukuran Relasi Rahang Dan Postur Kepala... 49 4. Karakteristik Umum Sampel Menurut Relasi Rahang, Postur Kepala
dan Usia Pada Pasien Tumbuh Kembang Di RSGM USU ... 51 5. Hasil Uji Parametrik Chi-square Relasi Rahang Dengan Postur Kepala
Pada Anak Usia Tumbuh Kembang Di RSGM USU ... 53
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Salah satu masalah penting dalam bidang kesehatan gigi, khususnya dalam bidang kedokteran gigi ortodonti di Indonesia adalah maloklusi.1 Oklusi adalah susunan gigi dalam lengkung teratur dan terdapat hubungan yang harmonis antara gigi rahang atas dan gigi rahang bawah.2 Maloklusi merupakan keadaan yang menyimpang dari oklusi normal meliputi ketidakteraturan gigi geligi dalam lengkung rahang seperti gigi berjejal, protrusif, maupun malposisi. Relasi rahang merupakan hubungan rahang atas dan rahang bawah terhadap tulang kranial. Apabila terjadi ketidakharmonisan antar rahang ataupun pertumbuhan dan perkembangan rahang dapat disebut sebagai malrelasi. Derajat maloklusi dan malrelasi setiap individu berbeda-beda dari rendah ke tinggi yang menggambarkan variasi biologis individu.1,3,4
Menurut World Health Organization (WHO) tahun 2008, prevalensi maloklusi di Indonesia sangat tinggi mencapai 80% dari jumlah penduduk serta menjadikan masalah kesehatan gigi dan mulut ketiga setelah karies dan penyakit periodontal.5 Tingginya angka kejadian maloklusi menunjukkan tingkat kesadaran masyarakat terhadap kebersihan dan perawatan gigi dan mulut serta kebiasaan buruk masih rendah sehingga hal ini seharusnya menjadi perhatian besar bagi dokter gigi dalam melakukan pencegahan dan penangulangannya.5,6
Maloklusi bukan suatu penyakit tetapi apabila tidak dikoreksi dapat menimbulkan gangguan mulai dari fungsi rahang, tampilan wajah yang buruk, risiko karies dan penyakit periodontal, sampai dengan gangguan sendi temporomandibula.1,3,4 Malrelasi dapat menimbulkan gangguan pengunyahan, penelanan, berbicara, dan keserasian wajah, yang berakibat pada gangguan fisik maupun mental.5,7 Terjadinya maloklusi dipengaruhi oleh faktor keturunan yang
diwariskan oleh orang tua dan faktor lingkungan seperti kebiasaan buruk dan pola makan. Pada umumnya kedua faktor tersebut bermanifestasi sebagai ketidakseimbangan tumbuh kembang struktur dentofasial dan kraniofasial. Pengaruh dari faktor tersebut dapat menyebabkan maloklusi dan malrelasi secara langsung atau tidak langsung.2,3,8
Sistem stomatognatik, komponen utama dari tubuh bagian kepala, memiliki peran penting dalam hubungan dengan postur tubuh terutama pada postur kepala.
Perubahan postur tubuh dapat memengaruhi perkembangan dan pertumbuhan kraniofasial. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa ada hubungan spasial antar rahang yang dapat memengaruhi otot-otot wajah dan memengaruhi adaptasi postur tubuh.9 Pada berbagai penelitian sefalometri radiografi ditemukan bahwa postur kepala terhadap leher atau cervical column mempunyai suatu korelasi dengan morfologi kraniofasial. Perubahan postur kepala juga diketahui berpengaruh terhadap gigi dan juga arah pertumbuhan rahang khususnya mandibula.5,9 Solow dan Tallgren berpendapat bahwa individu dengan postur kepala normal mempunyai ciri-ciri tinggi wajah anterior kecil, tinggi wajah posterior besar, dimensi kraniofasial anteroposterior besar, inklinasi mandibula kecil, prognati mandibula, sudut basis kranial kecil, dan ruang nasofaring yang besar. Sementara postur kepala extended diasosiasikan dengan tinggi wajah anterior besar, tinggi wajah posterior kecil, dimensi kraniofasial anteroposterior kecil, inklinasi mandibula terhadap basis kranii anterior besar, retrognati mandibula, sudut basis kranial besar, dan ruang nasofaring kecil..10
Pada tahap pertumbuhan dan perkembangan, banyak anak memiliki kebiasaan tertentu dalam berperilaku. Kebiasaan tersebut biasanya timbul sebagai suatu cara untuk mengurangi rasa tidak nyaman dalam melakukan kegiatan sehari hari mulai dari cara berdiri, duduk dan berjalan. Beberapa kebiasaan buruk yang dilakukan dalam waktu yang lama dapat menimbulkan dampak pada postur tubuh dan wajah.
Pada penderita maloklusi Kelas II dan III seringkali ditemukan memiliki kebiasaan buruk dengan menggerakkan mandibula ke arah depan ataupun belakang sebagai usaha untuk mengurangi overjet.10 Menurut Grade dkk., sendi temporomandibular
merupakan penghubung antara mandibula dan kranial yang terdiri dari berbagai otot dan ligamen. Otot dan ligamen akan bergerak dan berkontraksi apabila terjadi pergerakan dari tulang mandibula. Kebiasaan menggerakkan mandibula dengan waktu yang lama dapat menyebabkan keparahan maloklusi, spasme otot, dan perubahan postur kepala.10
Rocabado dkk., melaporkan bahwa terdapat hubungan kuat antara postur kepala dengan maloklusi.11 Hasil yang sama juga diperoleh Capruso dkk., yang menunjukkan postur kepala extended memiliki hubungan erat dengan relasi skeletal Kelas II dan hiperdivergensi.11 D’Attilio dkk., menemukan bahwa bagian bawah spinal column lebih lurus pada pasien relasi rahang Kelas I dan Kelas II. Mereka menyatakan bahwa ukuran dan posisi mandibula adalah dua faktor yang sangat berkaitan dengan postur servikal. Berdasarkan hasil penelitian, postur kepala menjadi salah satu faktor yang sangat perlu dipertimbangkan dalam suatu diagnosa ortodontik.11,12
Dilatarbelakangi hal tersebut, peneliti berkeinginan untuk mengetahui hubungan yang terdapat pada anak usia tumbuh kembang dengan relasi rahang Kelas I, II, dan III dengan karakteristik postur kepala. Hal tersebut dapat membantu meninjau kembali kemungkinan pasien dengan relasi rahang Kelas I, II dan III sebagai salah satu etiologi perubahan postur kepala terutama pada usia tumbuh kembang.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dijelaskan, maka dapat dirumuskan masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana distribusi frekuensi postur kepala pada anak usia tumbuh kembang dengan relasi rahang Kelas I?
2. Bagaimana distribusi frekuensi postur kepala pada anak usia tumbuh kembang dengan relasi rahang Kelas II?
3. Bagaimana distribusi frekuensi postur kepala pada anak usia tumbuh kembang dengan relasi rahang Kelas III?
4. Apakah terdapat hubungan postur kepala pada anak usia tumbuh kembang dengan relasi rahang Kelas I, II dan III?
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan pelaksanaan penelitian ini adalah :
1. Untuk mengetahui distribusi frekuensi postur kepala pada anak usia tumbuh kembang dengan relasi rahang Kelas I.
2. Untuk mengetahui distribusi frekuensi postur kepala pada anak usia tumbuh kembang dengan relasi rahang Kelas II.
3. Untuk mengetahui distribusi frekuensi postur kepala pada anak usia tumbuh kembang dengan relasi rahang Kelas III.
4. Untuk mengetahui apakah ada hubungan relasi rahang Kelas I, II dan III dengan postur kepala pada anak usia tumbuh kembang.
1.4 Hipotesis Penelitian
Terdapat hubungan antara relasi rahang dengan postur kepala pada anak usia tumbuh kembang di RSGM USU
1.5 Manfaat Penelitian 1.5.1 Manfaat Teoritis
1. Bagi klinisi, penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai hubungan antara relasi rahang dengan postur kepala pada anak usia tumbuh kembang.
2. Bagi institusi pendidikan, penelitian ini diharapkan dapat menambah data penelitian dan bahan acuan untuk penelitian lebih lanjut.
1.5.2 Manfaat Praktis
1. Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi ortodontis untuk menentukan diagnosis postur kepala pasien pada pemeriksaan sefalometri.
2. Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi ortodontis untuk memberikan edukasi pada pasien tumbuh kembang untuk mencegah terjadinya maloklusi di kemudian hari.
3. Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi ortodontis untuk memberikan edukasi pada pasien usia tumbuh kembang dengan postur kepala extended untuk menghilangkan kebiasaannya agar maloklusi tidak bertambah parah.
4. Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi ortodontis untuk menentukan rencana perawatan dan prognosis perawatan maloklusi.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Maloklusi dan Malrelasi
Maloklusi adalah penyimpangan oklusi yang ditandai dengan ketidakseimbangan ukuran dan posisi gigi yang dapat mengganggu fungsi dan estetis wajah. Maloklusi bukan merupakan suatu penyakit tetapi dapat berdampak pada kualitas hidup melalui pengaruh pengunyahan, penelanan, berbicara, dan meningkatkan kerentanan terhadap karies gigi, penyakit periodontal dan penyakit TMJ. Malrelasi merupakan ketidakharmonisan pertumbuhan dan perkembangan antar rahang yang dapat menimbulkan gangguan pengunyahan, penelanan, berbicara, dan keserasian wajah, yang berakibat pada gangguan fisik maupun mental.1,3,5,7
2.2 Klasifikasi Maloklusi dan Malrelasi
Klasifikasi ini dibagi berdasarkan persamaan yang dimiliki berbagai macam maloklusi sehingga bisa digabungkan kedalam satu kelompok.13 Klasifikasi maloklusi ini memiliki beberapa keuntungan, diantaranya:13
1. Membantu dalam hal diagnosis dan rencana perawatan yang tepat.
2. Membantu dalam visualisasi dan pengertian masalah yang berhubungan dengan maloklusi.
3. Membantu dalam mengkomunikasikan masalah.
4. Mudah membandingkan berbagai macam maloklusi.
2.2.1 Klasifikasi Maloklusi
Klasifikasi maloklusi diperoleh dari banyak peneliti berdasarkan penelitian yang dilakukan dan penemuan yang relevan.13 Secara terminologi, maloklusi dibagi kedalam 3 macam, yaitu:13,14
1. Maloklusi intra-lengkung atau malposisi individual gigi yang satu dengan gigi yang lain dalam lengkung yang sama.
2. Maloklusi inter-lengkung terjadi pada sekelompok gigi antara satu lengkung dengan lengkung lainnya.
3. Hubungan abnormal skeletal yang disebabkan karena kerusakan permanen struktur skeletal. Kerusakan bentuk dan posisi kedua rahang.
Edward Angle pada tahun 1899 mengklasifikasikan maloklusi berdasarkan mesio-distal gigi, lengkung gigi dan rahang. Menurut Angle, molar satu permanen adalah kunci oklusi sehingga molar atas dan molar bawah memiliki relasi yang mana cusp mesiobukal molar atas kontak dengan groove bukal molar bawah. Angle membagi kedalam tiga kategori, yaitu: 13-16
1. Maloklusi Kelas I
Rahang bawah terletak pada relasi mesiodistal yang normal terhadap rahang atas. Posisi cusp mesiobukal molar satu rahang atas beroklusi dengan groove bukal molar satu permanen rahang bawah (Gambar 1)., Maloklusi Kelas I menggambarkan hubungan skeletal yang normal dan fungsi otot yang normal. Walaupun maloklusi Kelas I Angle memiliki hubungan molar yang normal tetapi garis oklusinya kurang tepat dikarenakan malposisi gigi, rotasi gigi, proklinasi, gigitan terbuka anterior, crowding, spacing dan lain sebagainya.
Gambar 1. Maloklusi Kelas I Angle16 2. Maloklusi Kelas II
Cusp mesiobukal molar satu permanen rahang atas beroklusi lebih ke mesial dari groove mesiobukal molar satu permanen rahang bawah atau sebaliknya groove bukal molar satu permanen rahang bawah beroklusi lebih ke distal terhadap cusp mesiobukal molar satu permanen rahang atas (Gambar 2).
Gambar 2. Maloklusi Kelas II Angle16
Angle membagi maloklusi Kelas II menjadi dua divisi berdasarkan sudut labiolingual gigi insisivus rahang atas. Pembagiannya yaitu sebagai berikut:
a. Kelas II divisi 1
Hubungan molar Kelas II tetapi gigi insisivus rahang atas labioversi.Maloklusi ini memiliki karakteristik proklinasi insisivus rahang atas yang proklinasi sehingga memperbesar overjet (Gambar 3). Pada maloklusi ini juga menunjukkan adanya aktivitas otot yang abnormal. Bibir atas biasanya hipotonik, pendek dan inkompeten dan bibir bawah berkontak dengan bagian palatal gigi rahang atas merupakan salah satu gambaran Kelas II divisi 1 yang disebut sebagai “lip trap”.
Gambar 3. Maloklusi Kelas II divisi 1 Angle15
b. Kelas II divisi 2
Maloklusi Kelas II divisi 2 memiliki hubungan molar Kelas II dengan karakteristik maloklusi ini adalah adanya inklinasi lingual atau linguoversi gigi insisivus sentralis rahang atas dan insisivus lateral rahang atas yang lebih ke labial ataupun mesial (Gambar 4). Pasien akan menunjukkan overbite anterior yang berlebih (deep overbite). Bibir biasanya kompeten dengan garis bibir biasanya lebih tinggi daripada normal (high lip line), bibir bawah menutupi insisivus atas lebih dari setengah insisivus atas.
Gambar 4. Maloklusi Kelas II divisi 2 Angle15 3. Maloklusi Kelas III
Cusp mesiobukal molar satu permanen rahang atas beroklusi lebih ke distal terhadap groove mesiobukal molar satu permanen rahang bawah atau sebaliknya groove bukal molar satu permanen rahang bawah beroklusi lebih ke mesial terhadap cusp mesiobukal molar satu permanen rahang atas (Gambar 5). Selain itu, jika molar satu permanen rahang bawah memiliki posisi lebih ke anterior daripada molar satu permanen rahang atas juga disebut sebagai maloklusi Kelas III.Maloklusi ini dapat disebabkan adanya maksila yang kecil dan sempit sedangkan mandibula dalam batas normal.
Gambar 5. Maloklusi Kelas III Angle16
Maloklusi Kelas III dapat diklasifikasikan dalam true Class III dan pseudo Class III.
a. True Class III
Maloklusi Kelas III skeletal yang berasal dari genetik dapat terjadi akibat beberapa hal berikut:
1. Ukuran mandibula yang berlebih.
2. Maksila yang lebih kecil dari ukuran normal.
3. Kombinasi penyebab-penyebab di atas.
Insisivus rahang bawah memiliki inklinasi lebih ke lingual. Pasien dengan maloklusi ini dapat menunjukkan overjet normal, relasi insisivus edge to edge ataupun crossbite anterior.
b. Pseudo Class III
Maloklusi ini dihasilkan dari pergerakan ke depan mandibula ketika penutupan rahang sehingga disebut juga maloklusi Kelas III ‘postural’ atau ‘habitual’.
Mandibula pada maloklusi ini bergerak pada anterior fossa glenoid akibat kontak prematur dari gigi. Maloklusi ini merupakan maloklusi Kelas III tetapi dengan relasi skeletal Kelas I dan bukan merupakan maloklusi Kelas III sesungguhnya. Kelainan gigitan silang anterior yang ada merupakan kelainan dental.
2.2.2. Klasifikasi Malrelasi
Salzmann pada tahun 1950 mengklasifikasikan malrelasi dengan membaginya menjadi tiga Kelas: 17
Kelas I skeletal murni berasal dari gigi dengan tulang wajah dan rahang yang harmoni antara satu sama lain dan dengan seluruh kepala. Profil wajah pada Kelas ini adalah ortognatik atau lurus. (Gambar 6)
Gambar 6. Malrelasi Kelas I Salzmann17
Kelas II skeletal ditandai dengan retrusi mandibula, protrusi mandibula, atau kombinasi keduanya. Pada pasien dengan maloklusi skeletal Kelas II ditandai dengan profil cembung. (Gambar 7)
Gambar 7. Malrelasi Kelas II Salzmann17
Kelas III skeletal terjadi disebabkan adanya defisiensi pertumbuhan maksila, pertumbuhan mandibula yang berlebihan, atau kombinasi keduanya. Hal ini ditandai dengan posisi mandibula yang lebih ke depan dalam kaitannya dengan maksila dan mempunyai profil cekung. (Gambar 8)
Gambar 8. Malrelasi Kelas III Salzmann17
2.3 Etiologi Maloklusi
Graber membagi faktor etiologi maloklusi menjadi faktor umum dan dan faktor lokal. Hal-hal di bawah ini adalah faktor etiologi maloklusi menurut Grabber: 18,19
2.3.1 Faktor Umum 1. Herediter
Materi gen yang diturunkan dari orangtua dapat memengaruhi sistem neuromuskular, strukur tulang, gigi dan jaringan lunak.
2. Kongenital
Kelainan kongenital adalah semua malformasi yang terlihat saat kelahiran, seperti mikrognasia, oligodonsia, anodonsia, celah bibir dan palatum.
3. Lingkungan
Lingkungan prenatal yang dapat menyebabkan maloklusi adalah trauma, makanan saat kehamilan, German measles, metabolisme saat kehamilan, sedangkan lingkungan postnatal adalah trauma saat kelahiran, cerebral palsy, dan trauma TMJ.
4. Predisposisi penyakit metabolik
Kondisi yang perlu diperhatikan pada penyakit metabolik adalah ketidakseimbangan endokrin, gangguan metabolik dan penyakit infeksi.
5. Defisiensi nutrisi
Ketidakseimbangan nutrisi pada ibu hamil dapat mengakibatkan kelainan pada anak seperti kretinisme, celah palatum dan bibir. Ketidakseimbangan nutrisi pada masa tumbuh kembang dapat mengakibatkan erupsi gigi terlambat, atrofi odontoblast, lengkung maksila yang sempit, dan kalsifikasi gigi yang buruk.
6. Kebiasaan buruk dan kelainan fungsional
Kebiasaan buruk dan kelainan fungsional yang dapat menyebabkan maloklusi adalah kebiasaan menghisap ibu jari, menjulurkan lidah, menggigit bibir dan kuku, kebiasaan menelan yang abnormal, dan bruksism.
7. Postur
Postur yang abnormal akan menyebabkan maloklusi secara tidak langsung. Postur abnormal akan menghasilkan tekanan yang abnormal dan ketidakseimbangan otot yang akan meningkatkan resiko maloklusi.
8. Trauma dan kecelakaan
Trauma dan kecelakaan yang menyebabkan maloklusi terdiri dari trauma prenatal, trauma saat kelahiran dan trauma postnatal.
2.3.2 Faktor Lokal 1. Kelainan jumlah gigi
Jumlah gigi berlebih akan menyebabkan terjadinya crowding, sedangkan jumlah gigi yang kurang akan menyebabkan diastema di antara lengkung gigi.
2. Kelainan ukuran gigi
Kelainan ukuran gigi terdiri dari mikrodonsia dan makrodonsia. Mikrodonsia adalah kondisi gigi yang lebih kecil dari normal sedangkan makrodonsia adalah kondisi gigi yang lebih besar dari normal.
3. Kelainan bentuk gigi
Kelainan bentuk gigi termasuk fusi, geminasi, concrescence, dilaserasi, talon cusp dan dense in dente.
4. Kelainan frenulum labial
Frenulum labial yang tebal dan tinggi dapat menyebabkan diastema midline.
5. Kehilangan dini gigi sulung
Keadaan gigi sulung yang tanggal sebelum gigi penggantinya mendekati erupsi yang disebabkan oleh karies, trauma dan kondisi sistemik akan menimbulkan crowding, rotasi, impaksi bahkan mengubah hubungan molar permanen.
6. Retensi berkepanjangan gigi sulung
Retensi berkepanjangan gigi sulung dapat mengakibatkan erupsi gigi permanen menjadi crossbite.
7. Erupsi terlambat gigi permanen
Gigi yang erupsinya terlambat meningkatkan kecenderungan gigi lainnya untuk migrasi ke ruang yang kosong, sehingga gigi yang erupsinya terlambat akan impaksi.
8. Kelainan jalan erupsi gigi
Kelainan jalan erupsi gigi adalah keadaan gigi yang erupsi di tempat yang tidak seharusnya, dan gigi yang paling sering mengalaminya adalah gigi kaninus maksila.
9. Ankilosis
Ankilosis adalah kondisi akar gigi dan tulang alveolar yang bersatu tanpa keterlibatan membran periodontal.
10. Karies dental
Karies proksimal seringkali menyebabkan pengurangan panjang lengkung, karena gigi tetangga migrasi ke ruang yang tersedia.
2.4 Radiografi Sefalometri
Radiografi sefalometri adalah metode standar untuk mendapatkan gambaran radiografi tulang tengkorak yang bermanfaat untuk membuat rencana perawatan dan memeriksa perkembangan dari pasien yang sedang menjalani perawatan ortodonti.20
2.4.1 Kegunaan Radiografi Sefalometri
Sefalometri merupakan salah satu pilar dalam diagnosis ortodontik dan dalam penentuan rencana perawatan. Adapun kegunaan sefalometri dalam bidang ortodonti yaitu: 20,21
1. Studi pertumbuhan kraniofasial. Sefalometri telah membantu menyediakan informasi tentang beragam pola pertumbuhan, gambaran struktur kraniofasial yang baik, memprediksi pertumbuhan, dan memprediksi kemungkinan dampak dari rencana perawatan ortodontik.
2. Diagnosis kelainan kraniofasial. Sefalometri digunakan dalam mengidentifikasi, menentukan gambaran dan melihat kelainan dentokraniofasial.
Permasalahan utama dalam hal ini adalah perbedaan antara malrelasi skeletal dan dental.
3. Rencana Perawatan. Sefalometri digunakan untuk mendiagnosis dan memprediksi morfologi kraniofasial serta kemungkinan pertumbuhan di masa yang akan datang. Hal tersebut dilakukan dengan menyusun rencana perawatan yang baik dan benar.
4. Evaluasi Pasca Perawatan. Sefalometri yang diperoleh dari awal hingga akhir perawatan dapat digunakan dokter gigi spesialis ortodonti untuk mengevaluasi dan menilai perkembangan perawatan yang dilakukan serta dapat digunakan sebagai pedoman perubahan perawatan yang ingin dilakukan.
5. Studi kemungkinan relaps. Sefalometri membantu untuk mengidentifikasi penyebab relapse nya perawatan ortodonti dan stabilitas dari maloklusi yang telah dirawat.
2.4.2 Tipe Sefalometri
Ada 2 jenis sefalometri yang dapat diperoleh yaitu:20 1. Sefalometri Frontal
(Gambar 9A) menunjukkan gambaran tulang tengkorak kepala dari depan.
2. Sefalometri Lateral
(Gambar 9B) menunjukkan gambaran tulang tengkorak kepala dari samping (lateral). Sefalometri lateral ini diambil dengan posisi kepala berada pada jarak tertentu dari sumber sinar X.
Gambar 9. (A)Sefalometri Frontal, (B) Sefalometri Lateral30
2.4.3 Anatomi Landmark Sefalometri Jaringan Keras
Penentuan titik referensi dilakukan apabila proses tracing telah selesai dilakukan. Menentukan titik referensi merupakan tahap yang penting sebab kesalahan hasil analisis sefalometri dapat diakibatkan karena kesalahan dalam menentukan titik referensi yang tepat. Titik-titik tersebut antara lain (Gambar 10): 21
1. Sella ( S ) : titik pusat geometric dari fossa pituitary.
2. Nasion ( N ) : titik yang paling anterior dari sutura fronto nasalis atau sutura antara tulang frontal dan tulang nasal.
3. Orbitale ( Or ) : titik paling rendah dari dasar rongga mata yang terdepan.
4. Sub-spina ( A ): titik paling cekung di antara spina nasalis anterior dan prosthion, biasanya dekat apeks akar gigi insisivus sentralis maksila.
5. Supra-mental ( B ) : titik paling cekung di antara infra dental dan pogonion dan biasanya dekat apeks akar gigi insisivus sentralis mandibula.
6. Pogonion ( Pog ) : titik paling depan dari tulang dagu.
7. Gnathion ( Gn ) : titik di antara pogonion dan menton.
8. Menton ( Me ) : titik paling bawah atau inferior dari tulang dagu.
9. Articulare ( Ar ) : titik perpotongan antara batas posterior ramus dan batas inferior dari basis kranial posterior.
10. Gonion ( Go ) : titik bagi yang dibentuk oleh garis bagi dari sudut yang dibentuk oleh garis tangen ke posterior ramus dan batas bawah dari mandibula.
11. Porion ( Po ) : titik paling superior dari meatus acusticus externus.
12. Pterygomaxilary ( PTM ) : Kontur fissura pterygomaxilary yang dibentuk di anterior oleh tuberositas retromolar maksila dan di posterior oleh kurva anterior dari prosesus pterygoid dari tulang sphenoid.
13. Spina Nasalis Posterior ( PNS ) : Titik paling posterior dari palatum durum.
14. Anterior nasal spine ( ANS ) : Ujung anterior dari prosesus maksila pada batas bawah dari cavum nasal.
15. Basion ( Ba ) : Titik paling bawah dari foramen magnum.
16. Bolton : Titik paling tinggi pada kecekungan fosa di belakang kondil osipital.
Gambar 10. Titik – titik sefalometri pada jaringan keras21 2.5 Analisis Sefalometri
Relasi rahang adalah hubungan antara maksila dan mandibula yang bersifat skeletal dan dapat dilihat dengan mengukur sudut ANB. Sudut ANB merupakan selisih dari sudut SNA dan SNB.(Gambar 11) 22
Pada analisis ini, Steiner membagi relasi rahang menjadi tiga kelas, yaitu:
1. Kelas I Skeletal
Kelas I mempunyai nilai ANB normal 2° ± 2° (0° - 4°) dan profil wajah cembung. Nilai ANB yang normal juga dapat diperoleh bila keadaan kedua skeletal rahang mengalami prognati ataupun retrognati.
2. Kelas II Skeletal
Kelas II mempunyai nilai ANB lebih besar dari nilai normal (ANB > 4°) dan profil wajah cembung. Nilai ANB yang lebih besar ini dapat disebabkan oleh tiga hal, yaitu maksila yang mengalami prognati, mandibula yang mengalami retrognati dan kombinasi keduanya.
3. Kelas III Skeletal
Kelas III mempunyai nilai ANB lebih kecil dari nilai normal (ANB < 0°) dan profil wajah cekung. Nilai ANB yang lebih kecil ini dapat disebabkan oleh tiga hal, yaitu maksila yang mengalami retrognati, mandibula yang mengalami prognati, dan kombinasi keduanya.
Gambar 11. Relasi rahang berdasarkan analisis Steiner33
2.6 Postur Tubuh
Definisi dari postur tubuh sering menjadi perbincangan dalam berbagai penelitian sehingga sering sekali menjadi sebuah kesalahpahaman. Menurut Mc Gill, ia menyatakan bahwa postur tubuh adalah hubungan berbagai bagian tubuh yang berorientasi satu sama lain untuk memberikan stabilitas baik dalam posisi tegak.
Postur tubuh dinilai dari tiga bidang; sagital, koronal, dan transversal. Postur tubuh sangat berpengaruh pada anak usia tumbuh kembang namun menjadi salah satu permasalahan yang sering diabaikan. Bentuk postur tubuh yang buruk dapat menyebabkan perubahan struktur tulang dan merubah penampilan seseorang. Salah satu akibat dari postur tubuh yang buruk adalah postur kepala, yaitu struktur posisi kepala dalam hubungannya dengan bagian tubuh lainnya.23
2.6.1 Diagnosa Postur Tubuh
Penilaian postur tubuh harus dilakukan sejak dini dengan tujuan dalam mengidentifikasi kelainan dalam tubuh yang menyebabkan berbagai masalah muskuloskeletal. Berbagai metode penilaian postur mulai dari yang konvensional sampai yang dimodifikasi menjadi metode yang lebih baik. Namun setiap penilaian
selalu diawali dengan penilaian metode konvensional. Berikut adalah beberapa metode konvensional.23,24
1. Metode Observasi
Metode ini adalah metode yang paling umum digunakan untuk menilai postur secara klinis. Keuntungan dari metode ini adalah tidak memerlukan peralatan apapun.
Dengan metode ini data kuantitatif tidak dapat diperoleh dan segala perubahan postur minor tidak dapat terdeteksi.
2. Metode Plumbline
Metode ini merupakan evaluasi postur yang paling umum dilakukan karena biayanya rendah dan sangat sederhana. Postur dievaluasi sesuai dengan pedoman oleh Kendall, postur digambar dengan garis imajiner dalam bentuk penyelarasan garis tegak lurus yang ideal untuk pandangan samping dan belakang. Kerugian dari metode ini adalah tidak mampu menghasilkan data akurat
3. Metode Goniometri
Goniometer adalah alat yang digunakan pada praktik fisioterapi seperti mengukur range of motion (ROM) pada sendi. Namun alat ini dapat dipakai sebagai salah satu evaluasi postur. Pengukuran sudut postural dilakukan dengan mengukur sudut kemiringan leher (sudut craniovertebral) dan sudut rotasi kranial (kemiringan kepala sagital) dengan menggunakan goniometri manual. Metode ini dapat menghasilkan nilai yang lebih akurat akan tetapi metode ini memiliki reliabilitas antar operator yang buruk disebabkan oleh kesulitan operator dalam menjaga lengan goniometri sejajar dengan bidang horizontal
4. Metode Radiografi
Metode ini merupakan gold standard dalam penilaian postur tubuh. Metode ini mampu menghasilkan evaluasi postur yang optimal dan mampu mendeteksi perubahan postur mayor maupun minor. Namun metode ini memerlukan biaya yang tidak murah dan risiko paparan terhadap radiasi masih perlu dipertimbangkan.
2.7 Postur Kepala
Menurut Sollow dan Sonnesen, postur kepala natural adalah posisi standar kepala pada postur tegak ketika seseorang berdiri dengan pandangan lurus ke depan yang diukur menggunakan sudut di antara garis horizontal dan garis vertikal. Postur kepala disebut ideal apabila kepala tidak miring ke kiri atau kanan, depan atau belakang, dan tidak extended atau rotated. Menurut penelitian yang dilakukan Tankhiwale dkk., di India pada tahun 2018, postur kepala dapat diklasifikasikan dengan menggunakan sudut kranioservikal NSL/CVT. 23
Klasifikasi postur kepala menggunakan sudut kranioservikal NSL/CVT terbagi menjadi dua, yaitu:35
1. Normal/Flexed: Istilah postur kepala normal atau flexed menunjukkan posisi kepala yang tertekuk ke depan dan umumnya dikaitkan dengan kemiringan mundur dari kolom serviks. Apabila diukur menggunakan sudut kranioservikal NSL/CVT, postur kepala dianggap normal atau flexed ketika sudutnya kurang dari 106°.
2. Extended: Istilah postur kepala extended digunakan untuk menunjukkan posisi kepala yang naik sehubungan dengan kolom serviks atau true vertikal. Dengan demikian, hal ini dikaitkan dengan peningkatan sudut kranioservikal dan sudut kraniovertikal. Sudut kranioservikal NSL/CVT dari postur kepala yang diperpanjang lebih dari 106°.
2.7.1 Diagnosis dan Analisis Postur Kepala
Postur kepala dapat diukur menggunakan radiografi sefalometri. Sudut yang dapat digunakan untuk mengukur postur kepala adalah sudut kraniovertikal (NSL/Ver, NL/Ver), sudut kranioservikal (NSL/OPT, NSL/CVT, NL/OPT, NL/CVT) dan sudut kraniohorizontal (CVT/Hor, OPT/Hor). Titik, garis dan sudut referensi untuk pengukuran postur kepala dijelaskan pada Tabel 1, Tabel 2 dan Gambar 10.10,25
Tabel 1. Titik dan garis referensi pengukuran postur kepala10,22,25
Titik Referensi Definisi
S – Sella tursica N – Nasion
ANS – Anterior nasal spine
PNS – Posterior nasal spine
Cv2tg
Cv2ip
Cv4ip
Titik tengah dari sella tursica
Titik paling depan dari sutura frontonasal
Ujung spina nasal anterior yang terlihat pada x-ray
Ujung spina posterior pada tulang palatal di palatum keras
Titik tangen pada corpus vertebra servikal kedua paling posterior-superior
Titik pada corpus vertebra servikal kedua paling posterior-inferior
Titik pada corpus vertebra servikal keempat paling posterior-inferior
Garis Referensi NSL
NL
CVT
OPT
Dasar kranial (garis yang menghubungkan sella dan nasion)
Dataran palatal (garis yang menghubungkan ANS dan PNS)
Tangen vertebra servikal (tangen posterior ke prosesus odontoid melalui Cv4ip)
Tangen prosesus odontoid (tangen posterior ke prosesus odontoid melalui Cv2ip)
Tabel 2. Sudut pada pengukuran postur kepala10,22,25
Variabel Definisi
Sudut Kraniovertikal NSL/Ver
NL/Ver
Inklinasi dasar kranial anterior (downward opening angle antara garis NSL dan garis Ver)
Inklinasi garis palatal (downward opening angle antara
Sudut Kranioservikal NSL/OPT
NSL/CVT
NL/OPT
NL/CVT
Sudut Kraniohorizontal CVT/Hor
OPT/Hor
garis NL dan Ver)
Postur kranioservikal (downward opening angle antara garis NSL dan OPT)
Postur kranioservikal (downward opening angle antara garis NSL dan CVT)
Inklinasi dasar maksila pada kolom servikal (downward opening angle antara garis NL dan OPT)
Inklinasi dasar maksila pada kolom servikal (downward opening angle antara garis NL dan CVT)
Upward opening angle antara garis Horizontal dan CVT Upward opening angle antara garis Horizontal dan OPT
Gambar 12. Titik dan garis referensi untuk pengukuran postur kepala.25,27
2.8 Pertumbuhan dan Perkembangan Kraniofasial
Setiap manusia akan mengalami pertumbuhan dan perkembangan kraniofasial.
Meskipun bervariasi antar individu, tetapi kecepatan pertumbuhannya mengikuti suatu pola. Pertumbuhan tulang fasial (maksila dan mandibula) pada bayi, berlangsung dengan kecepatan yang cukup tinggi, melambat secara progresif selama
kanak-kanak, dan mencapai kecepatan minimal pada periode prapubertas. Laju pertumbuhan kemudian meningkat kembali selama pubertas dan menjadi lambat setelah maturitas. Penting untuk dapat membedakan standar variasi pertumbuhan normal dengan pertumbuhan ekstrem diluar batas pola normal yang disebut deviasi (abnormal). Waktu pertumbuhan setiap organ/ekstremitas fisik dari tubuh yang tidak selalu sama pada satuan waktu, hal ini dapat dipengaruhi genetik dan faktor lainnya.
Faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan antara lain nutrisi, penyakit sistemik/non sistemik, sosial ekonomi, kebiasaan buruk, trauma, dan kelenjar/endokrin/hormon.25
Proses pertumbuhan atau pembentukan tulang terbagi atas osifikasi intramembranus dan osifikasi endokondral, yaitu:25
1. Osifikasi endokondral adalah pembentukan tulang yang terjadi saat sel-sel kartilago berproliferasi dan hipertropi, sehingga mengakibatkan matriks kartilago disekitarnya terkalsifikasi. Sel tulang terus berdegenerasi dan tulang terosifikasi.
Kartilago yang tidak terosifikasi akan menjadi jembatan antara beberapa tulang yang disebut sikondrosis.
2. Osifikasi intramembranus adalah pembentukan tulang yang terjadi secara langsung dalam jaringan mesenkim. Jaringan mesenkim berdiferensiasi menjadi osteoblas, lalu osteoblas mensekresi matriks organik membentuk osteoid dan terkalsifikasi. Osteoid membentuk tulang spongeus dan berkondensasi menjadi periosteum. Proses ini banyak terjadi pada tulang pipih tengkorak.
Kraniofasial dibagi menjadi empat daerah pertumbuhan karena cara pertumbuhan masing-masing daerah tersebut berbeda antara satu dengan lainnya.
Keempat daerah tersebut adalah ruang kranium (cranial vault), basis kranium, maksila dan mandibula. 25
2.8.1 Maksila
Pada maksila tidak terdapat kartilago, oleh karena itu seluruh pertumbuhannya terjadi dengan osifikasi intramembranus. Pertumbuhan maksila terjadi melalui dua cara yaitu aposisi sutura-sutura yang menghubungkan maksila dengan kranium dan
remodeling di permukaan. Pada posterior dan superior maksila terdapat sutura-sutura yang memungkinkan pertumbuhan maksila kebawah dan depan. (Gambar 13 A) 25
Bjork dan Skieller (1977) melakukan penelitian menggunakan implan dan menyatakan bahwa pertumbuhan sutura sepanjang tulang-tulang zigomatik dan frontal dan pertumbuhan aposisi dari prosesus alveolar akan menambah tinggi maksila. Aposisi juga terdapat pada dasar orbita dengan resorbsi pada permukaan yang lebih rendah. Secara bersamaan, dasar hidung menurun oleh resoprsi sedangkan aposisi terjadi pada palatum durum. 25
2.8.2 Mandibula
Mandibula merupakan tulang kraniofasial yang sangat penting karena terlibat dalam fungsi-fungsi vital, antara lain pengunyahan, pemeliharaan jalan udara, berbicara dan ekspresi wajah. Mandibula adalah tulang pipih berbentuk U dengan mekanisme pertumbuhan melalui proses osifikasi endokondral dan osifikasi intramembranus.
Pada saat dilahirkan, kedua ramus mandibula yang berasal dari processus mandibularis belum bersatu dan masih terpisah oleh symphisis yang terdiri dari jaringan fibrokartilago dan jaringan pengikat. Ramus mandibula ini pada waktu lahir sangat pendek dan kondilus sama sekali belum berkembang. Pada usia 4-12 bulan symphisis mengalami pengapuran dan menjadi tulang. Pada tahun pertama dari kelahiran terjadi pertumbuhan aposisi aktif pada tepi bawah dan permukaan lateral dari mandibula dan kondilus mandibula. Kondilus terdiri atas kartilago hyalin yang ditutupi jaringan pengikat fibrous yang tebal dan padat. Mandibula pada kondilus tumbuh dengan 2 cara, pertama kartilago mengadakan pertumbuhan interostium dan diganti tulang selanjutnya pertumbuhan aposisi kartilago di bawah jaringan pengikat yang menutupinya, dari kartilago kemudian terjadi penulangan.
Pertumbuhan mandibula pada kondilus dan aposisi tepi posterior ramus menyebabkan mandibula bertambah panjang, sedangkan pertumbuhan kondilus bersama dengan pertumbuhan alveolus menyebabkan mandibula bertambah tinggi.
Aposisi pada permukaan menyebabkan mandibula bertambah tebal. Kemudian
mandibula akan terdorong ke depan dan ke bawah karena terfiksir dari artikulasi mandibularis (Gambar 13 B). 26
Gambar 13. (A)Arah pertumbuhan maksila (B)Arah pertumbuhan mandibula25,26
Pertumbuhan mandibula berlanjut pada tingkat yang relatif stabil sebelum masa pubertas. Laju pertumbuhan kemudian meningkat mencapai puncaknya pada masa pubertas, menurun lagi dan melambat sampai pertumbuhan selesai. Berdasarkan penelitian Riolo et al (1974) pada usia 7-16 tahun rata-rata pertambahan tinggi ramus sekitar 1-2 mm setiap tahunnya dan panjang mandibula bertambah sekitar 2-3 mm pertahun. Pada mandibula pertama sekali pertumbuhan lebar diselesaikan terlebih dahulu, kemudian pertumbuhan panjang, dan akhirnya pertumbuhan tinggi. Pada akhir tahapan itu pertumbuhan dikatakan lengkap. Rata-rata pertumbuhan mandibula selesai pada usia 17 tahun pada perempuan dan 2 tahun lebih lambat pada anak laki- laki, tetapi proses tersebut bisa lebih lama. 25
2.9 Maturasi Vertebra Servikalis
Maturasi vertebra servikalis telah banyak ditentukan oleh berbagai ahli seperti Hassel dan Farman (1995), Bacceti et al. (2002), dan Seedat dan Forsberg (2005) namun metode yang paling sering digunakan adalah metode dari Bacceti. Tahapan maturasi menurut Bacceti terdapat enam tahapan yaitu: 27-29
1. Tahap 1 (CS1): Tepi inferior dari C2,C3 dan C4 adalah datar. Corpus C3 dan C4 berbentuk trapesium. Puncak pertumbuhan mandibula rata-rata akan terjadi 2 tahun setelah tahap ini.
2. Tahap 2 (CS2): Kecekungan mulai terlihat pada tepi inferior dari C2. Corpus C3 dan C4 masi berbentuk trapesium. Puncak pertumbuhan mandibula rata-rata akan terjadi 1 tahun setelah tahap ini.
3. Tahap 3 (CS3): Kecekungan pada tepi inferior C2 dan C3 sudah terlihat.
Bentuk corpus dari dari C3 dan C4 adalah antara trapesium dan persegi panjang.
Puncak pertumbuhan mandibula akan terjadi selama setahun setelah tahap ini.
4. Tahap 4 (CS4): Kecekungan pada tepi inferior C2, C3 dan C4 sudah terlihat.
Corpus C3 dan C4 berbentuk persegi panjang horizontal. Puncak pertumbuhan mandibula telah terjadi antara 1 atau 2 tahun sebelum tahap ini.
5. Tahap 5 (CS5): Kecekungan pada tepi inferior C2-C4 masih tampak. Bentuk corpus dari salah satu C3 dan C4 sudah berbentuk persegi. Puncak pertumbuhan mandibula telah berakhir paling kurang 1 tahun sebelum tahap ini.
6. Tahap 6 (CS6): Kecekungan pada tepi inferior C2-C4 masih jelas. Bentuk corpus dari salah satu C3 dan C4 adalah persegi panjang vertikal dan yang lain berbentuk persegi. Puncak pertumbuhan mandibula telah berakhir paling kurang 2 tahun sebelum tahap ini.(Gambar 14)
Gambar 14. Tahap maturasi tulang vertebra servikalis menurut Bacceti (2005) 27
2.10 Hubungan Relasi Rahang dengan Postur Kepala
Menurut Grade dkk., postur kepala dan servikal dari tulang belakang adalah bagian dari unit biomekanik fungional, sistem kranioservikal mandibula. Sistem ini terdiri dari tiga struktur utama ; TMJ, tulang mandibula, dan kranioservikal. Ketiga struktur ini saling bergantung satu sama lain dan berhubungan dengan seluruh tubuh melalui otot dan ligamen. Perubahan postur kepala dapat mempengaruhi struktur mandibula dan juga sebaliknya pada individu dengan kebiasaan buruk dalam masalah maloklusi dapat memberi dampak pada perubahan postur kepala dan postur tubuh.10
Berdasarkan hasil tersebut, postur kepala menjadi salah satu faktor penting yang harus diperhatikan dalam perawatan ortodontik terutama pada pasien dengan maloklusi skeletal
2.11 Kerangka Teori
Panoramik Antero Posterior Sefalometri Diagnosis Ortodonti
Anamnesis Pemeriksaan Klinis Rekam Klinis
Fotografi Radiografi Model Studi
Ekstraoral Intraoral
Extended Normal / Flexed
Hubungan Relasi Rahang dengan Postur Kepala pada Anak Usia Tumbuh Kembang di RSGM FKG USU
Diagnosis Postural
Plumbline
Radiografi
Goniometri Dll Observasi
MRI CT Scan Sefalometri Dll
Dll
Relasi Rahang (ANB)
Konveksitas
Wajah Dll
Kraniovertikal
Kranioservikal (NSL/CVT)
Kraniohorizontal
Kelas I Kelas II Kelas III Rotasi Pertumbuhan
Analisis Dental Analisis Skeletal Analisis Jaringan Lunak
Analisis Postur Kepala
2.12 Kerangka Konsep
Variabel Tergantung Postur Kepala (Sudut Kranioservikal
NSL/CVT):
1. Postur kepala extended 2. Posture kepala normal Variabel Bebas
Relasi Rahang 1. Kelas I 2. Kelas II 3. Kelas III
Variabel Terkendali - Usia
- Periode tumbuh kembang - Posisi kepala natural
BAB 3
METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Desain Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan data penelitian yang diolah secara analitik, yaitu menganalisis hubungan relasi skeletal dengan postur kepala extended pada anak usia tumbuh kembang di RSGM USU. Desain penelitian ini adalah crosssectional yang merupakan studi untuk mengukur variabel secara bersamaan pada waktu tertentu.
3.2 Tempat dan Waktu Penelitian
Tempat penelitian dilakukan di Departemen Ortodonsia RSGM USU dan waktu penelitian dimulai sejak penyusunan proposal bulan Agustus 2019
3.3 Populasi Penelitian
Populasi dari penelitian ini adalah radiografi sefalometri dan rekam medis anak usia tumbuh kembang di RSGM USU yang berusia 8-15 tahun
3.4 Sampel Penelitian
Pada penelitian ini pengambilan sampel dilakukan dengan metode purposive sampling, yaitu sample dipilih berdasarkan kriteria inklusi dan eksklusi yang sudah ditentukan
3.4.1 Kriteria Inklusi
Kriteria inklusi penelitian ini sebagai berikut : 1. Berusia 8-15 tahun
2. Periode gigi bercampur
3. Radiografi sefalometri masih berkualitas baik
n = 𝑍∝√2𝑃(1−𝑃)+𝑍𝛽 √𝑃1(1−𝑃1)+𝑃2(1−𝑃2) 2 (P1−P2)2
n = 1.64√2.0,471(1−0,471)+0,84 √0,362(1−0,362)+0,58(1−0,58) 2 (0,362−0,58)2
3.4.2 Kriteria Eksklusi
Kriteria eksklusi penelitian ini sebagai berikut : 1. Memiliki riwayat perawatan ortodonti sebelumnya
2. Memiliki riwayat trauma kepala dan leher atau perawatan konstruksi wajah 3. Memiliki kebiasaan buruk oral
3.4.3 Besar Sampel
Rumus besar sampel yang digunakan adalah uji hipotesis beda 2 proporsi, yaitu:
Dimana :
n : Jumlah subjek
Zα : Tingkat kemaknaan yang ditetapkan oleh peneliti adalah 90% = 1,64 Zβ : Power yang ditetapkan oleh peneliti adalah 0,84
P1 : Perkiraan proporsi pada kelompok 1→ 36,2%12 P2 : Perkiraan proporsi pada kelompok 2 → 58%12 P : (P1+P2)/2 = (0,362+0,58)/2 = 0.471
sehingga:
n = 31,4062 ≈ 32 x 2 kelompok n = 64
Besar sampel minimum yang didapatkan melalui perhitungan rumus tersebut adalah sebanyak 64 sampel. Peneliti menambahkan 10% dari jumlah sampel untuk menghindari kekurangan sampel sehingga jumlah sampel yang akan dipakai untuk penelitian ini adalah sebesar 71 sampel. Sampel akan dibagi menjadi 3 kelompok dengan masing masing kelompok 24 sampel.
3.5 Variabel Penelitian
Variabel-variabel penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah:
3.5.1 Variabel Bebas
Variabel bebas pada penelitian ini adalah : 1. Relasi Rahang
3.5.2 Variabel Terikat
Variabel terikat pada penelitian ini adalah :
1. Postur kepala normal dan postur kepala extended : NSL/CVT
3.5.3 Variabel Terkendali
Variabel terkendali dalam penelitian ini adalah : 1. Usia 8-15 tahun
2. Periode tumbuh kembang 3. Posisi kepala natural
3.6 Definisi Operasional
Variabel Definisi Cara dan
Alat Ukur Kategori Skala Ukur Usia Tumbuh
Kembang
Pasien yang berusia 8- 15 tahun yang akan menjalani perawatan ortodonti di RSGM USU dan dipilih berdasarkan kriteria inklusi dan eksklusi
Rekam
Medis 8-15 tahun Interval
Relasi Rahang
-Sub-spina (A)
Hubungan posisi anteroposterior dari maksila terhadap posisi anteroposterior dari mandibula
Titik paling posterior dari bagian depan
Foto Sefalometri
dan Corel Draw
X7 Kelas I
(ANB2±2⁰)
-Nasion (N)
-Supra-mental (B)
tulang maksila
Titik paling posterior pada kurvatura diantara tulang frontal dan tulang nasal pada bidang midsagital Titik paling posterior dari batas anterior mandibula
Kelas II (ANB > 4⁰)
Kelas III (ANB < 0⁰)
Nominal
Postur Kepala
-Nasion (N)
-Sella (S)
-Cv2tg
-Cv4ip
-Nasion Sella Line (NSL)
-Cervical Vertebrae
Postur kepala yang dinilai melalui hasil pengukuran sudut kranioservikal
(NSL/CVT)
Titik paling posterior pada kurvatura diantara tulang frontal dan tulang nasal pada bidang midsagital Titik tengah dari outline fossa pituitary (sella turcica)
Titik persinggungan pada prosesus odontoid vertebra servikalis ke-2
Titik paling posterior inferior pada korpus vertebra servikalis ke- 4
Garis yang
menghubungkan sella dan nasion
Garis singgung posterior pada
Foto Sefalometri
dan Corel Draw
X7
Postur kepala normal:
NSL/CVT <
106º Postur kepala extended : NSL/CVT >
106º
Ordinal
Tangent (CVT)
prosesus odontoid yang melalui cv4ip Periode Gigi
Bercampur
Periode dimana gigi geligi sulung dan gigi geligi permanen bersamaan berada dalam rongga mulut Posisi Kepala
Natural (NHP)
Posisi kepala natural yang diperoleh dengan menginstruksikan subjek penelitian untuk melihat lurus ke depan pada titik yang setinggi mata di dinding di depannya
3.7 Sarana penelitian 3.7.1 Alat
Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah : 1. Tracing Box
2. Alat Tulis (pensil, spidol, penggaris, dan penghapus) 3. Gunting dan Selotip
4. Program Corel Draw X7 tahun 2016 5. Alat pemindai Brother MFC-J430W
3.7.2 Bahan
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah : 1. Kertas acetat tracing (0.003 inci)
2. Foto Sefalometri
(1)
(2) (3)(4) (5)
(6) (7)
Gambar 15. Alat dan Bahan
3.8 Prosedur Penelitian
1. Pengumpulan foto sefalometri dan rekam medis dilakukan berdasarkan kriteria inklusi dan eksklusi
2. Tracing foto sefalometri dilakukan dengan menggunakan kertas tracing dan pensil di atas pencahayaan tracing box. Penentuan garis referensi S (sella tursica), N (nasion), (A) sub-spina, supra-mental, titik referensi Cv2tg dan Cv4ip
Gambar 16. Tracing foto sefalometri dan penentuan titik S, N, A, B, Cv2tg, dan Cv4ip
3. Pemindaian kertas tracing dilakukan dengan alat pemindai Brother MFC- J430W dan disimpan dalam format gambar
Gambar 17. Hasil kertas tracing yang telah disimpan dalam format gambar 4. Gambar dibuka melalui program komputer CorelDraw X7. Gambar diorientasikan tegak lurus dengan ukuran kertas 20 cm x 30 cm. Penarikan garis dilakukan dengan program ‘pen tool’ dari titik N (nasion) ke A (sub-spina) dan dari titik N (nasion) ke B (supra-mental) untuk menghasilkan 2 buah garis yang membentuk sudut ANB, lalu penarikan garis dari titik S (sella tursica) ke titik N (nasion) untuk menghasilkan garis NSL, serta penarikan garis dari titik Cv2tg ke titik Cv4ip untuk menghasilkan garis CVT.
Gambar 18. Penarikan garis ANB, NSL dan CVT menggunakan aplikasi CorelDraw X7 program ‘pen tool’
5. Perhitungan sudut ANB melalui program ‘angular dimension tool’ dengan titik pusat sudut pertemuan titik N (nasion) ke A (sub-spina) dan B (supra-mental).
ANB dengan sudut 2±2⁰ akan menjadi sampel kelompok relasi rahang Kelas I, sudut
> 4⁰ akan menjadi sampel kelompok relasi rahang Kelas II dan sudut <0⁰ akan menjadi sampel kelompok relasi rahang Kelas III.
Gambar 19. Perhitungan sudut ANB menggunakan aplikasi CorelDraw X7 program ‘Angular Dimension Tool’
6. Perhitungan sudut NSL/CVT melalui program ‘angular dimension tool’
dengan titik pusat sudut adalah titik perpotongan dari perpanjangan garis NSL dan CVT. Sudut NSL/CVT yang sama dengan atau lebih dari 106º akan menjadi sampel kelompok postur kepala extended dan sudut NSL/CVT yang kurang dari 106º akan menjadi sampel kelompok postur kepala normal.
Gambar 20. Perhitungan sudut NSL/CVT menggunakan aplikasi CorelDraw X7 program ‘Angular Dimension Tool’
3.9 Pengolahan dan Analisis Data 3.9.1 Pengolahan Data
Pengolahan data dilakukan dengan program statistik secara komputerisasi.
3.9.2 Analisis Data
1. Perhitungan rerata sudut postur kepala pada subjek usia tumbuh kembang dengan relasi rahang Kelas I.
2. Perhitungan rerata sudut postur kepala pada subjek usia tumbuh kembang dengan relasi rahang Kelas II.
3. Perhitungan rerata sudut postur kepala pada subjek usia tumbuh kembang dengan relasi rahang Kelas III.
4. Analisis ada tidaknya hubungan postur kepala pada subjek usia tumbuh kembang dengan relasi rahang Kelas I, II dan III dengan uji parametrik Chi-square
BAB 4
HASIL PENELITIAN
Sampel penelitian berjumlah 72 sampel foto sefalometri lateral pasien RSGM USU yang terdiri dari relasi rahang Kelas I,II, dan III. Kelompok dengan relasi rahang Kelas I terdiri dari 24 foto sefalometri lateral, kelompok dengan relasi rahang Kelas II terdiri dari 24 foto sefalometri lateral dan kelompok relasi rahang Kelas III terdiri dari 24 foto sefalometri lateral. Sampel yang diambil telah memenuhi kriteria yang ditetapkan. Pada penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan relasi rahang dengan postur kepala pada anak usia tumbuh kembang
Pengujian kemaknaan hubungan relasi rahang dengan postur kepala menggunakan uji parametrik chi-square. Data hasil uji statistik yang diperoleh menunjukkan adanya hubungan yang signifikan antara relasi rahang dengan postur kepala (p= 0,044) (Tabel 3).
Tabel 3. Hasil uji chi-square hubungan relasi rahang terhadap postur kepala
Kelas
Postur Kepala
Total
P
Normal Extended
n % n % n %
Kelas I 17 70.8 7 29.2 24 100
0.044
Kelas II 12 50 12 50 24 100
Kelas III 20 83.3 4 16.7 24 100
Pada tabel 3 menunjukkan proporsi postur kepala pada sampel dengan relasi rahang didapatkan bahwa pada relasi rahang Kelas I sebesar 17 (70,8%) normal, 7 (29,2%) extended, pada relasi rahang Kelas II sebesar 12 (50%) normal, 12 (50%) extended, sedangkan pada relasi rahang Kelas III sebesar 20 (83,3%) normal dan 4 (16,7%) extended.
Pengujian kemaknaan hubungan usia dengan postur kepala menggunakan uji parametrik chi-square. Data hasil uji statistik yang diperoleh menunjukkan tidak ada hubungan yang signifikan antara usia dengan postur kepala (p= 0,121) (Tabel 4).
Tabel 4. Hasil uji chi-square perbedaan umur terhadap postur kepala
Umur
Postur Kepala
Total
P
Normal Extended
n % n % n %
8 6 60 4 40 10 100
0.121
9 19 70.4 8 29.6 27 100
10 11 52.4 10 47.6 21 100
11 9 100 0 0 9 100
12 3 100 0 0 3 100
13 1 50 1 50 2 100
Pada tabel 4 menunjukkan proporsi usia pada sampel dengan postur kepala didapatkan bahwa paling banyak sampel berusia 9 tahun berjumlah 27 sampel dengan postur kepala normal berjumlah 19 (70,4%) dan postur kepala extended berjumlah 8 (29,6%), diikuti sampel berusia 10 tahun berjumlah 21 sampel dengan postur kepala normal berjumlah 11 (52,4%) dan postur kepala extended berjumlah 10 (47,6%), sampel berusia 8 tahun berjumlah 10 sampel dengan postur kepala normal berjumlah 6 (60%) dan postur kepala extended berjumlah 4 (40%), sampel berusia 11 tahun berjumlah 9 sampel dengan postur kepala normal berjumlah 9 (100%), sampel berusia 12 tahun berjumlah 3 sampel dengan postur kepala normal berjumlah 3 (100%) , dan sampel berusia 13 tahun berjumlah 2 sampel dengan postur kepala normal berjumlah 1 (50%) sampel dan postur kepala extended berjumlah 1 (50%).
BAB 5
PEMBAHASAN
Postur kepala dapat dinilai dari 3 dimensi, kranioservikal, kraniohorizontal, kraniovertikal. Kranioservikal dapat dibagi menjadi postur kepala normal dan extended. Postur kepala merupakan aspek yang penting untuk dipertimbangkan dalam melakukan diagnosis dan rencana perawatan pasien di bidang ortodonti. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan relasi rahang dengan postur kepala pada anak usia tumbuh kembang di RSGM USU.
Tabel 3 menunjukkan proporsi postur kepala pada subjek dengan relasi rahang Kelas I sebesar 17 (70,8%) normal, 7 (29,2%) extended, pada relasi rahang Kelas II sebesar 12 (50%) normal, 12 (50%) extended, sedangkan pada relasi rahang Kelas III sebesar 20 (83,3%) normal dan 4 (16,7%) extended.
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan Rocabado et al dimana dari hasil penelitian tersebut proporsi postur kepala extended pada relasi rahang Kelas II lebih besar dibanding Kelas I. Hal ini disebabkan adanya kebiasaan buruk pada anak usia tumbuh kembang dimana puncak pertumbuhan dan perkembangan struktur kraniofasial terjadi dapat mempengaruhi relasi rahang diikuti dengan perubahan postur kranioservikal. Hasil penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian Capruso et al yang menyatakan sampel yang memiliki postur kepala extended memiliki hubungan signifikan pada relasi rahang Kelas II dan hiperdivergensi. Pada hasil penelitian ini menunjukkan proporsi postur kepala pada sampel dengan relasi rahang Kelas II sebesar 12 (50%) normal, 12 (50%) extended sehingga tidak ada perbedaan yang cukup signifikan antara postur kepala normal dengan extended. Hal ini dapat disebabkan oleh perbedaan jumlah sampel yang digunakan dan cara pengukuran yang berbeda dalam melakukan penelitian.
Hasil uji chi-square pada tabel 3 menunjukkan adanya hubungan yang signifikan antara relasi rahang dengan postur kepala. Hasil penelitian terebut sejalan