• Tidak ada hasil yang ditemukan

RIVIU FLUKTUASI HARGA TELUR DAN DAGING AYAM RAS DI TENGAH SURPLUS PRODUKSI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "RIVIU FLUKTUASI HARGA TELUR DAN DAGING AYAM RAS DI TENGAH SURPLUS PRODUKSI"

Copied!
64
0
0

Teks penuh

(1)

LAPORAN AKHIR ANJAK 2018

RIVIU FLUKTUASI HARGA TELUR DAN DAGING AYAM RAS DI TENGAH SURPLUS PRODUKSI

Nyak Ilham Saptana

Eni Sutristiani Lestari

PUSAT SOSIAL EKONOMI DAN KEBIJAKAN PERTANIAN SEKRETARIAT JENDERAL

KEMENTERIAN PERTANIAN

2018

(2)

i

KATA PENGANTAR

Dalam kondisi normal, tidak mungkin terjadi kenaikan harga telur dan daging ayam ras saat produksinya surplus. Kasus harga naik pada saat produksi naik bisa saja terjadi, tapi sifatnya situasional, seperti menjelang lebaran. Produksi terus naik tapi karena permintaan naik lebih besar dan adanya suasana lebaran maka hargapun menjadi naik. Bisa juga terjadi, jumlah ayam tetap atau bahkan naik, tapi karena ada penyakit yang menyebabkan produktivitas turun sehingga produksi agregat turun.

Kondisi terakhir ini bisa ditafsirkan seakan-akan ada surplus produksi, karena penggunaan DOC dan pakan tetap atau naik, tetapi harga naik karena pasokan di pasar eceran produk yang dihasilkan tidak mencukupi kebutuhan.

Untuk membuktikan apa yang terjadi sebenarnya, Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian melakukan Kajian Analisis Kebijakan dengan judul: “Reviu Fluktuasi Harga Telur dan Daging Ayam Ras di Tengah Surplus”. Kajian ini diharapkan dapat memberikan informasi tentang perilaku harga dan produksi telur dan daging ayam ras dalam kondisi normal dan adanya guncangan disebabkan hal-hal di luar kebiasaan. Selain itu, dilakukan juga analisis dari sisi permintaan. Apakah ada momen-momen situasional dan insidentil yang menyebabkan naiknya permintaan.

Pihak Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian Bogor mengucapkan terima kasih kepada para pihak yang membantu memberikan data dan informasi.

Diharapkan hasil kajian ini dapat digunakan sebagai bahan rekomendasi kebijakan baik dalam kegiatan tahun berjalan dan tahun yang akan datang. Disadari sepenuhnya bahwa hasil kajian ini masih jauh dari sempurna, namun demikian diharapkan dapat memberikan manfaat kepada pengambil kebijakan, peneliti, dan akademisi.

Bogor, 3 Desember 2018 Kepala Pusat

Dr. Ir. Abdul Basit, MS NIP.19610929 198603 1 003

(3)

ii

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ………..………... I

DAFTAR ISI ………. ii

DAFTAR TABEL ……….. iv

DAFTAR GAMBAR ……….……….... v

I PENDAHULUAN ………. 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Tujuan ... 2

1.3. Keluaran yang Diharapkan... 2

1.4. Perkiraan Manfaat dan Dampak yang Diharapkan... 2

II METODOLOGI ... 3

2.1. Kerangka Pemikiran ... 3

2.2. Lokasi dan Responden ... 3

2.3. Data dan Sumber Data ... 5

2.4. Data dan Metode Analisis ... 6

2.4.1. Jenis dan Sumber Data ... 6

2.4.2. Metode Analisis... 6

III HASIL DAN PEMBAHASAN ... 8

3.1. Fluktuasi Harga Telur dan Daging Ayam...…..………. 8

3.1.1. Fluktuasi Harga Telur 2014-2018... 8

3.1.2. Fluktuasi Harga Telur 2018...………... 10

3.1.3. Disparitas Harga Telur Produsen dan Konsumen... 13

3.1.4. Fluktuasi Harga Ternak dan Daging Ayam 2014-2018.... 14

3.1.5. Fluktuasi Harga Ternak dan Daging Ayam 2018... 16

3.1.6. Disparitas Harga Ayam di Tingkat Produsen dan Harga Karkas di Tingkat Konsumen... 19

3.2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Harga Telur dan Daging Ayam... 20

3.2.1. Perilaku Produksi... 20

3.2.2. Kenaikan Harga Input... 25

(4)

iii

3.2.3. Struktur Industri dan Rantai Pasok... 37

3.2.4. Permintaan 48 40 IV KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN ... 54

4.1. Kesimpulan ... 54

4.2. Implikasi Kebijakan ... 56

DAFTAR PUSTAKA ... 57

(5)

iv

DAFTAR TABEL

Nomor Teks Hal

1. Biaya produksi, harga pakan dan harga DOC dinegara ASEAN (US$).. 34 2. Perkembangan penampilan produksi broiler semenjak 1975-2013... 35

(6)

v

DAFTAR GAMBAR

Nomor Teks Hal

1. Perkembangan harga telur lingkup nasional pada tingkat produsen dan konsumen, tahun 2014 – 2018... 8 2. Fluktuasi harga produsen telur ayam bulanan lingkup nasional,

2014-2018... 9 3. Perkembangan rata-rata harga telur mingguan di tingkat produsen

dan konsumen nasional Januari - Juli 2018... 10 4. Perkembangan rata-rata harga telur mingguan di tingkat produsen

pada beberapa sentra produsen, Jan- Juli 2018... 11 5. Perkembangan rata-rata harga eceran telur ayam ras di DKI Jakarta

dan sentra produksi, Januari- Agustus 2018... 12 6. Disparitas harga telur ayam ras di tingkat konsumen dan produsen

secara nasional, 2014-2018... 14 7 Perkembangan harga ternak dan daging ayam lingkup nasional di

tingkat produsen (Rp/KgBH) dan konsumen (Rp/KgBK), 2014 – 2018... 15 8 Fluktuasi harga produsen ternak ayam (Rp/KgBH) bulanan lingkup

nasional 2014-2018... 16 9 Perkembangan rata-rata harga ayam (Rp/KgBH) dan daging ayam

(Rp/KgBK) di tingkat produsen dan konsumen lingkup nasional, Januari – Juli 2018... 17 10 Perkembangan rata-rata harga daging ayam (Rp/KgBH) mingguan di

tingkat sentra produsen sekitar Jabodetabek, Jan- Juli 2018... 18 11 Perkembangan rata-rata harga eceran daging ayam di DKI Jakarta

dan sentra produksi, Januari-Juli 2018... 18 12 Disparitas harga ternak dan daging ayam ras pedaging di tingkat

konsumen dan produsen secara nasional, 2014-2018... 20 13 Rantai pasok broiler dan daging ayam dari peternak hingga

konsumen di Kabupaten Cianjur Jawa Barat... 43 14 Rantai pasok dan daging ayam dari peternak hingga konsumen di

Kabupaten Blitar, Jawa Timur... 44 15 Distribusi Keluarga Penerima Manfaat Program Bantuan Pangan Non

Tunai di Indonesia, 2017... 50

(7)

1 I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Telur dan daging ayam ras merupakan bahan pangan berkualitas gizi tinggi dan realtif mudah diakses masyarakat dari sisi ketersediaan dan keterjangkauan harga.

Masyarakat berpenghasilan rendah sekali pun memperoleh akses pangan lebih mudah untuk pemenuhan protein yang berasal dari daging ayam dan telur (Arifin 2016).

Kemudahan akses itu disebabkan pesatnya perkembangan industri perunggasan yang cenderung menyebar mendekati konsumen (Ilham et al 2017).

Kemapanan industri perunggasan tersebut, bukan berarati tidak ada gejolak yang terjadi. Krisis moneter 1997-1998 dan kasus kejadian luar biasa flu burung 2004- 2005 menyebabkan gejolak besar pada industri perunggasan nasional. Selain itu, sudah menjadi tipikal harga produk telur dan ayam ras cenderung fluktuatif.

Menurut Nuryati dan Nur (2012), dari sisi permintaan faktor-faktor yang mempengaruhi fluktuasi harga telur ayam adalah hari-hari besar keagamaan dan budaya masyarakat. Pada sisi penawaran faktor-faktor yang mempengaruhi adalah harga pakan, harga DOC, penjualan ayam tua (afkir) dan iklim/cuaca. Periode kenaikan harga telur ayam sering terjadi menjelang bulan puasa dengan rata-rata kenaikan mencapai 6,7% dan lebaran sekitar 1,7%. Waktu-waktu terjadi penurunan harga telur ayam adalah 2-3 bulan setelah Lebaran. Fluktuasi harga telur ayam tertinggi terjadi di kota Banda Aceh, Pontianak, Manado, Kendari dan Maluku Utara dengan koefisien variasi lebih 9%. Harga telur ayam di Pulau Jawa, Kalimantan, Kupang, Mataram, Denpasar, Ambon, Palu dan sebagian Sumatera relatif stabil.

Problem perunggasan hingga awal tahun 2000 relatif rawan terhadap berbagai goncangan besar dan berjangka terlalu pendek. Jika sebelum krisis ekonomi 1998 selisih harga akibat guncangan hanya berkisar Rp100/kg dalam kisaran waktu 3 bulan.

Setelah krisis ekonomi, kondisinya semakin tidak stabil, guncangan besar dapat menyebabkan selisih harga Rp500-Rp1.000 per kg dalam jangka waktu hanya 2-3 minggu. Pada kondisi kesulitan keuangan, masyarakat pembeli mensubstitusi protein

(8)

2 di luar ayam yang memiliki harga murah, kelengkapan komponen protein tak kalah, dan baik bahkan dengan rasa cukup baik (Kurniawan et al. 2000).

Kondisi fluktuasi dan kenaikan harga telur dan daging ayam terjadi kembali pada pertengahan tahun 2018. Bahkan diduga kondisi kenaikan harga tersebut terjadi pada saat produksi telur dan daging ayam ras meningkat. Berdasarkan latar belakang di atas, permasalahan yang harus dijawab dalam kajian ini adalah: (i) seberapa besar terjadi fluktuasi dan kenaikan harga telur dan daging ayam ras; (ii) faktor-faktor apa saja yang mendorong terjadinya kenaikan dan fluktuasi harga.

1.2. Tujuan

Berdasarkan permasalahan yang ada, secara umum penelitian ini bertujuan untuk menghasilkan rekomendasi kebijakan pengendalian harga daging dan telur ayam ras. Secara khusus tujuan penelitian ini adalah:

1. Menganalisis fluktuasi harga daging dan telur ayam ras.

2. Mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi fluktuasi harga daging dan telur ayam ras.

1.3. Keluaran yang Diharapkan

Luaran yang ingin dicapai dari kegiatan penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Informasi fluktuasi harga daging dan telur ayam ras.

2. Informasi tentang faktor-faktor yang mempengaruhi fluktuasi harga daging dan telur ayam ras.

3. Rekomendasi kebijakan pengendalian harga daging dan telur ayam ras.

1.4. Perkiraan Manfaat dan Dampak yang Diharapkan.

Manfaat luaran kegiatan ini bagi Kementerian Pertanian khususnya Direktorat Jenderal Peternakan adalah untuk menjadi bahan rumusan kebijakan dalam mengantispasi fluktuasi harga musiman daging dan telur ayam ras terutama menjelang dan saat HBKN. Untuk Kementerian/Lembaga terkait yang melakukan BPNT dalam bentuk daging dan telur ayam ras, diharapkan dapat mensinkronkan bentuk bantuan dengan perilaku produksi, permintaan dan harga daging dan terlur ayam ras.

(9)

3 II. METODOLOGI PENELITIAN

2.1. Kerangka Pemikiran

Secara fundamental, biaya produksi mempengaruhi pembentukan harga produk.

Naik dan turunnya biaya produksi berdampak terhadap naik turunnya harga produk yang dihasilkan. Pada kasus ayam ras, input yang signifikan mempengaruhi biaya produksi adalah pakan kemudian diikuti dengan bibit atau DOC.

Faktor lain yang menyebabkan fluktuasi harga adalah adanya pergeseran baik meningkat maupun menurun permintaan dan penawaran terhadap produk.

Meningkatnya pendapatan dapat menyebabkan meningkatnya permintaan terhadap daging dan telur ayam sehingga dalam kondisi pasokan stabil harganya akan meningkat. Demikian juga sebaliknya jika terjadi penurunan pendapatan.

Hasil kajian Saptana et al. (2016) menunjukkan bahwa perkembangan harga bulanan menunjukkan keterkaitan yang tinggi dengan hari-hari besar keagamaan, terutama hari raya lebaran. Saat satu bulan sebelum Bulan Puasa, harga merambat naik hingga mencapai 10-20 %, kemudian pada bulan puasa sedikit mengalami penurunan, dan kemudian melonjak lagi pada seminggu sebelum lebaran hingga mencapai 20-30 %, dan selanjutnya mengalami penurunan harga pasca Hari Raya Lebaran. Sementara itu, pada hari-hari raya keagamaan lainnya, seperti Natal dan Tahun Baru serta Imlek, biasanya harga produk unggas mengalami peningkatan secara terbatas dan bersifat sangat temporal, kurang lebih 5-10 %.

Pendapatan masyarakat berpengaruh signifikan terhadap jumlah permintaan telur ayam ras (Hastang et al 2011). Harga daging ayam broiler, harga daging ayam buras, harga telur ayam broiler dan pendapatan perkapita secara bersama-sama mempengaruhi permintaan daging ayam broiler di Kota Medan, sedangkan secara parsial hanya pendapatan perkapita yang mempengaruhi permintaan daging ayam broiler di Kota Medan (Mawaddah et al.2013).Menurut Daryanto dan Saptana (2009) faktor-faktor yang mendorong permintaan pada produk hasil ternak unggas yang terpenting adalah jumlah penduduk dan pertumbuhannya, tingkat pendapatan, fenomena urbanisasi dan segmentasi pasar, serta preferensi konsumen.

(10)

4 Fenomena urbanisasi dari desa ke kota dan meningkatnya pendapatan golongan menengah atas yang sebagian besar di kota, maka permintaan produk daging ayam dan telur cenderung lebih tinggi di kota jika dibandingkan di desa. Prereferensi konsumen Indonesia yang lebih menyukai daging ayam (white meat) dibandingkan daging merah, seperti sapi dan babi (red meat) berdampak meningkatkan permintaan terhadap daging ayam.

Pada sisi penawaran, dampak kenaikan harga input seperti pakan dan DOC dapat menyebabkan produsen merugi dan bermuara pada kebangkrutan sehingga berhenti berproduksi. Jika hal ini terjadi dalam jumlah tertentu maka pasokan daging dan telur ayam akan menurun sehingga harga menjadi naik. Menurut Arifin (2016), industri perunggasan nasional menghadapi tantangan baru yang kompleks, mulai dari kelangkaan jagung sebagai sumber pakan utama, harga pakan yang sangat tinggi, harga bibit ayam (DOC= day old chick) yang berfluktuasi, ketersediaan sarana produksi dan terbaru adalah semakin menurunnya modal sosial atau rasa saling percaya di antara pelaku industri.

Sebaliknya, perkiraan kenaikan permintaan pada waktu-waktu tertentu seperti hari besar keagaaman nasional (HKBN) merangsang pelaku usaha baru untuk berproduksi. Jika kondisi ini hanya mampu mengisi kenaikan permintaan maka secara teoritis tidak akan naik, namun secara psikis bisa terjadi harga tetap naik. Berdasarkan pemikiran di atas, dapat dilakukan identifikasi faktor-faktor apa sajakah yang menyebabkan kenaikan harga, utamanya pada telur dan daging ayam ras.

Selain faktor permintaan dan penawaran, harga suatu komoditas juga dipengaruhi oleh struktur pasar. Menurut Fitriani et al. (2014), sistem integrasi pada industri perunggasan tidak mencapai efisisiensi tinggi disebabkan oleh beberapa faktor:

(a) Terjadi integrasi yang bersifat semu, dimana perusahaan perunggasan sebagai integrator membentuk semacam anak-anak perusahaan atau cabang usahadengan manajemen secara terpisah; (b) Bahan baku pakan ternak unggas tergantung impor yang harganya terus menerus mengalami peningkatan, karena persaingan (food, feed, bio-fuel dan fiber) terlebih pada situasai rupiah mengalami depresiasi; (c) Struktur pasar yang cenderung oligopolistik pada pasar input dan oligopsonistik pada pasar

(11)

5 output, menyebabkan peternak membayar input produksi lebih mahal dari seharusnya dan menerima harga jual output lebih rendah dari seharusnya; dan (d) Terjadi fenomena excess profit bagi pelaku usaha tertentu dan marginal profit bagi peternak mandiri.

Struktur pasar industri perunggasan berada pada posisi struktur pasar oligopolistik (Saptana et al 2002; Fitriani 2006). Saptana et al. (2016) mengungkapkan bahwa struktur industri perunggasan berada pada struktur pasar oligopoli terpimpin, hal ini direfleksikan oleh jika perusahaan peternakan pemimpin melakukan perubahan harga maka cenderung diikuti oleh perusahaan pengikutnya. Hasil kajian Fitriani et al (2014) menyimpulkan bahwa terdapat hubungan yang kuat antara struktur, perilaku, dan kinerja industri broiler di Indonesia, di mana tingkat integrasi memiliki hubungan yang positif dan signifikan terhadap konsentrasi pasar.

2.2. Ruang Lingkup Kegiatan

Komoditas daging ayam ras dalam kajian ini dikhususkan pada ayam ras pedaging (broiler) tidak termasuk daging yang dihasilkan dari ayam ras petelur (male- layer). Telur ayam ras dalam kajian ini adalah telur yang diproduksi oleh ayam petelur (layer). Data dan informasi yang digunakan mencakup data harga nasional dan beberapa sentra produksi dan konsumsi. Perilaku produksi dikumpulkan dari informan kunci pada sentra produksi. Perilaku konsumsi dilihat dari berbagai tingkat sumber pendapatan konsumen dan konsumen di wilayah desa dan kota. Kegiatan ini juga menggunakan informasi dari kementerian/lembaga terkait BPNT menggunakan produk daging dan terlu ayam baik dari aspek volume dan waktu pemberian bantuan.

2.3. Lokasi Penelitian dan Responden

Lokasi kajian ditetapkan pada daerah sentra produksi ayam broiler di Jawa Barat dan sentra produksi telur ayam ras di Jawa Timur, serta instansi terkait dan pengambil kebijakan di Jakarta.Pada daerah tersebut dicari informasi terkait produksi dan harga telur dan daging ayam ras yang naik terus saat setelah Idul Fitri hingga Idul Adha tahun 2018. Responden instansi yang digunakan pada kajian ini adalah: Staf pada:

Direktorat PPHP Peternakan Ditjen PKH Kementan, Kementerian Sosial, Dinas

(12)

6 Ketahanan Pangan, Kelautan dan Pertanian, Dinas yang membidangi fungsi peternakan dan kesehatan hewan Kabupaten Cianjur dan Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Kabupaten Malang. Responden lingkup pengusaha dan pedagang yang digunakan dalam kajian ini adalah: Pengusaha Mandiri ayam ras petelur di Cianjur, Sukabumi;

Peternak dan asosiasi ayam ras petelur di Blitar; Pengusaha skala menengah dan berperan sebagai inti untuk wilayah Bandung, Cianjur dan Sukabumi; Perusahaan Kemitraan skala besar di Bandung; Poultry Shop di Kota Malang; Peternak skala menengah dan berperan sebagai inti di Kabupaten Malang; dan pedagang telur di Pasar Wonokromo Surabaya. Pada umumnya, peternak skala menengah merangkap sebagai pedagang.

2.4. Data dan Metode Analisis 2.4.1. Jenis dan Sumber Data

Penelitian ini menggunakan data dan informasi primer dan sekunder. Data primer dikumpulkan melalui wawancara kepada informan kunci pengambil kebijakan di pusat dan daerah;perusahaandan/atau poultry shop (PS) yang terlibat sebagai inti peternak ayam ras skala menengah dan kecil;pedagang/distributor ternak, daging, dan telur ayam ras serta asosiasi terkait. Data dan informasi primer dikumpulkan dengan menggunakan instrumen panduan wawancara dan FGD. Data sekunder dikumpulkan melalui berbagai dokumen dari Direktorat PPHP Peternakan Kementan, BPS, Direktorat Jenderal Penanganan Fakir Miskin-Kemensos dan Dinas Ketahanan Pangan, Kelautan dan Pertanian DKI Jakarta.

2.4.2. Metode Analisis

Untuk menjawab tujuan pertama, yaitu: “ Menganalisis fluktuasi harga daging dan telur ayam ras” digunakan data harga daging dan telur ayam ras bulanan selama kurun waktu lima tahun. Data diperoleh dari Direktorat PPH Peternakan Ditjen PKH.

Berdasarkan data tersebut dilakukan analisis fluktuasi harga per periode waktu.

Pembedaan tahun ini untuk melihat pengaruh HBKN (Hari Besar Keagamaan Nasional) terhadap fluktuasi harga. Fluktuasi harga diproksi dengan koefisien variasi. Semakin besar nilai CV menunjukkan fluktuasi yang semakin tinggi. Koefisien variasi dihitung

(13)

7 dengan cara membagi nilai standar deviasi dengan nilai rata-rata, dengan formula sebagai berikut:

X

CV = SDx 100%

Untuk menjawab tujuan kedua, yaitu: “Mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi fluktuasi harga daging dan telur ayam ras”. Kegiatan yang dilakukan mencakup:

(i) Mempelajari prilaku produksi telur dan daging ayam ras musiman.

(ii) Mempelajari kenaikan harga pakan dan DOC.

(iii) Meriviu rantai pasok dan struktur industri, termasuk pasokan daging dan telur dari perusahaan pembibit (breeder).

(iv) Mempelajari tingkat konsumsi dan partisipasi konsumen dikaitkan juga dengan adanya program BPNT yang menggunakan telur dan daging ayam ras.

Data dan informasi yang diperoleh disajikan secara deskriptif dan didukung dengan teknik grafik.

(14)

8 III. HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1. Fluktuasi Harga Telur dan Daging Ayam

Tren harga tahunan dan tren harga bulanan disajikan untuk mempelajari apakah kenaikan harga disebabkan hal-hal yang berulang atau ada faktor lain sebagai penyebabnya.

3.1.1. Fluktuasi Harga Telur 2014-2018

Selama periode lima tahun terakhir, harga telur ayam ras di tingkat produsen dan konsumen trennya terus meningkat (Gambar 1). Adanya marjin antara harga konsumen dan produsen menyebabkan intersep grafik harga konsumen lebih besar dari harga produsen, sedangkan tren yang dapat dilihat dari slope grafik, kenaikan harga produsen lebih besar dari harga produsen. Sementara itu, fluktuasi harga telur di tingkat produsen lebih besar (10,6) dibandingkan harga telur di tingkat konsumen (7,1). Pasokan telur dari berbagai sentra produsen, menyebabkan volume telur di pasar retail menjadi lebih besar, sehingga harganya relatif stabil.

Gambar 1.Perkembangan harga telur lingkup nasional pada tingkat produsen dan konsumen, tahun 2014 – 2018

y = 78,694x + 14621 R² = 0,5169 y = 70,611x + 20320

R² = 0,5273

0 5000 10000 15000 20000 25000 30000

1 4 7 10 1 4 7 10 1 4 7 10 1 4 7 10 1 4 7

2014 2015 2016 2017 2018

Prod; CV=10.6 Kons; CV=7.1

(15)

9 Berdasarkan Gambar 1, tipikal harga telur dari waktu ke waktu terlihat fluktuatif dan trennya terus naik. Jika dikaji lebih dalam dengan melihat harga bulanan pada setiap tahun hasilnya dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2. Fluktuasi harga produsen telur ayam bulanan lingkup nasional, 2014-2018

Pemilahan tahun per tahun menunjukkan bahwa rata-rata harga telur tahun 2018 lebih tinggi yaitu Rp19.724/kg dibandingkan tahun sebelumnya dengan kisaran Rp15.131 – 17.479 per kg. Fluktuasi harga telur 2018 juga lebih tinggi yaitu 8,18 dibandingkan tahun sebelumnya yang berkisar 4,81 – 7,20.

Waktu HBKN puasa dan lebaran selama lima tahun terakhir adalah: puasa – lebaran 2018, 15 Mei-Juni; puasa – lebaran 2017, 5 Mei-Jun; puasa – lebaran 2016, 24 April-Mei; puasa – lebaran 2015, 13 April– Mei; dan puasa – lebaran 2014, 2 April – Mei. Dapat dilihat bahwa menjelang puasa kenaikan harga mulai terjadi dan cenderung

16246 15131 18111

16900 18139

16039 19036

17479 22148

19724

12000 14000 16000 18000 20000 22000 24000

2014; CV=7.07 2015;CV=4.81 2016; CV=7.20 2017; CV=5.03 2018-8; CV=8.18

(16)

10 berlanjut hingga setelah lebaran. Pada saat Natal dan Tahun Baru harga telur juga menaik.

3.1.2. Fluktuasi Harga Telur 2018

Berbeda pada data perkembangan harga telur ayam lima tahun terakhir dimana fluktuasi harga produsen lebih tinggi dari harga konsumen. Pada tahun 2018, fluktuasi harga telur ayam pada tingkat konsumen lebih tinggi dari harga produsen (Gambar 3).

Hal ini dapat terjadi, akibat adanya kenaikan harga konsumen bahan pangan lain berdampak terhadap harga telur di tingkat konsumen.

Gambar 3. Perkembangan rata-rata harga telur mingguan di tingkat produsen dan konsumen nasional Januari - Juli 2018

Sentra utama telur ayam nasional adalah di Jawa Timur, khususnya Blitar.

Kemudian diikuti oleh Jawa Tengah, Jawa Barat, Sumatera Utara, Sulawesi Selatan dan Sumatera Barat. Gambar 4. memperlihatkan perkembangan harga telur pada beberapa daerah sentra produsen. Harga telur di tingkat produsen Jawa Barat lebih tinggi

19655

18793

20968

20478

22100 24757

23362 24042

23665

25738

2,69

0,76 0,24

2,04

1,32 0,54

3,66 3,17

1,00

0,83

1,92

2,1

0,46

4,96

0 1 2 3 4 5 6

10000 12000 14000 16000 18000 20000 22000 24000 26000 28000

Jan Peb Mar Apr Mei Jun Jul

Rp/KG %

Axis Title

Harga (Rp/Kg) Prod Harga (Rp/Kg) Kons CV Prod CV Kons

(17)

11 dibandingkan di Jawa Timur, Sumatera Barat dan Sulawesi Selatan. Jawa Barat selain sebagai sentra produsen, juga sentra konsumen serta berdekatan dengan kawasan sentra konsumen utama nasional yaitu Jabodetabek, mempengaruhi harga konsumen tingkat nasional. Harga yang terbentuk di Jabodetabek menjadi rujukan bagi pedagang telur di Jawa Timur dan sentra produsen lain.

Gambar 4. Perkembangan rata-rata harga telur mingguan di tingkat produsen pada beberapa sentra produsen, Jan- Juli 2018

Sebagai sentra telur ayam ras utama, Harga telur eceran di Jawa Timur lebih murah dibandingkan daerah lain. Hal ini menyebabkan, banyak telur asal Jawa Timur diperdagangkan ke luar daerah, terutama DKI. Daya tahan telur yang relatif lama (15 hari) dan harga telur yang tinggi di Jawa Barat, mendorong harga telur eceran di DKI Jakarta sehingga lebih tinggi dibandingkan daerah sentra lainnya (Gambar 5). Bahkan telur dari Sumatera Barat diperdagangkan dengan tujuan akhir ke Jabodetabek (Ilham et al. 2017).

22170

19600 19000 20000

22600 24275

21000 27600

27500

20625

17200

21175

17700

22560 21900

14000 16000 18000 20000 22000 24000 26000 28000 30000

1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 5 1 2 4 1 2 3

Jan Peb Maret April Mei Jun Juli

Rp/Kg

Harga Telur (Rp/Kg) Sumbar-Prod Harga Telur (Rp/Kg) Jabar-prod Harga Telur (Rp/Kg) Jatim-Prod Harga Telur (Rp/Kg) Sulsel-Prod

(18)

12 Gambar 5 Perkembangan rata-rata harga eceran telurayam ras di DKI Jakarta dan

sentra produksi, Januari- Agustus 2018

Gambar 5 menunjukkan pada Agustus 2018, harga telur mulai turun. Saat kajian ini dilakukan penurunan tersebut terjadi hingga September 2019. Harga telur ayam pada September 2018 hingga mencapai Rp 15.400 – 17.000,-/kg ditingkat peternak di Jawa Timur dan di Jawa Barat Rp 16.400-18.000,-/kg, sedangkan di tingkat pengecer Surabaya Rp 18.000- 19.000,-/kg dan di tingkat pengecer Bandung Rp 20.000-21.000,- /kg antara lain disebabkan.

Ada dugaan produksi telur agregat mengalami kenaikan. Tapi fakta menunjukkan produksi peternakan rakyat tidak meningkat karena banyak kandang ayam yang tidak penuh sebab tidak bisa melakukan peremajaan. Pada sisi lain diduga kandang close house (CH) dan semi close house naik signifikan. Mereka adalah peternak klas menengah ke atas serta Pengusaha PMDN dan PMA yang melakukan budi daya dengan kandang CH dan SCH.

26981

20090 19000,0

20000,0 21000,0 22000,0 23000,0 24000,0 25000,0 26000,0 27000,0 28000,0

Jan Peb Maret April Mei Juni Juli Agust

DKI Jkt Jabar Jatim Sumbar Sulsel

(19)

13 Banyak kandang skala kecil yang tidak terisi karena pada sat ini (Agustus- September 2018), peternakan skala kecil melakukan afkir dini terhadap ayam petelurnya dan chick in tertunda. Peternakan rakyat hanya memiliki stok pakan sekitar 1-2 minggu dengan KA 17%-19% sehingga tidak tahan lama disimpan. Usaha ayam ras petelur skala kecil dengan efisiensi rendah, tidak tahan terhadap tekanan harga input yang tinggi dan daya beli konsumen yang rendah.

Sementara itu, pada skala menengah dan besar dengan modal besar dan memiliki stok pakan (jagung) 2-4 bulan tidak mungkin melakukan perubahan jadwal produksi, artinya usaha terus berjalan.Kalaupun harga jagung tinggi mereka melakukan penggantian sebagian jagung dengan gandum. Pada usaha skala menengah dan besar penggunaan kandang CH dan SCH efisiensi cukup baik, tidak banyak pakan terbuang karena pemberiannya menggunakan mesin, sedangkan yang memberikan pakan secara manual pakan yang terbuang 1%-3%. Tenaga kerja CH dan SCH lebih murah dimana 10.000 ekor cukup 1 orang tenaga, sedangkan pada kandang open house butuh 3-4 orang tenaga kerja.

Terlibatnya skala menengah dan besar menyebabkan populasi ayam petelur bergeser dari usaha kecil ke usaha menengah besar. Populasi bisa tetap atau naik tetapi pengusaha menjadi sedikit dan dilakukan skala menengah dan besar.

3.1.3. Disparitas Harga Telur Produsen dan Konsumen

Disparitas harga adalah perbedaan harga beli konsumen dengan harga jual produsen. Komponen disparitas harga merupakan keuntungan dan biaya pemasaran.

Gambar 6 menunjukkan disparitas harga telur di tingkat nasional. Kasus 2018, saat harga di tingkat produsen tertinggi dibandingkan empat tahun sebelumnya. Saat ini, persentase disparistas harga konsumen produsen mencapai nilai terendah yaitu rata- rata 22%. Bandingkan rata-rata tahun 2014, 2015, 2016 dan 2017 masing-masing 33%, 31%, 46% dan 30%. Artinya, agar telur laku terjual, pedagang terpaksa memperkecil keuntungannya. Kenaikan harga pangan menyebabkan daya beli menurun. Jika keuntungan tidak diturunkan maka permintaan terhadap telur akan menurun dan sebagai barang cepat busuk tidak mungkin melakukan tunda penjualan.

(20)

14 Gambar 6. Disparitas harga telur ayam ras di tingkat konsumen dan produsen secara

nasional, 2014-2018.

3.1.4. Fluktuasi Harga Ternak dan Daging Ayam 2014-2018

Sama seperti harga telur ayam ras, harga ternak dan daging ayam ras periode lima tahun terakhir baik dii tingkat produsen dan konsumen trennya terus meningkat (Gambar 7). Besarnya perbedaan intersep kedua harga produk tersebut, selain disebabkan oleh marjin pemasaran juga adanya perubahan bentuk. Harga produsen masih berupa harga ayam hidup, sedangkan harga konsumen sudah berupa harga karkas.

Kenaikan harga keduanya dapat dilihat dari slope grafik. Laju kenaikan harga konsumen lebih tinggi dibandingkan harga produsen dengan slope masing-masing 78,36 untuk harga konsumen dan 60,04 untuk harga produsen. Fluktuasi harga ternak di tingkat produsen sedikit lebih besar (7,9) dibandingkan harga karkas di tingkat konsumen (7,3). Pasokan telur dari berbagai sentra produsen, menyebabkan volume karkas ayam ras di pasar retail menjadi lebih banyak dan harganya relatif stabil.

0 10 20 30 40 50 60

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12

%

Bulan

2014 2015 2016 2017 2018

(21)

15 Gambar 7.Perkembangan harga ternak dan daging ayam lingkup nasional di tingkat

produsen (Rp/KgBH) dan konsumen (Rp/KgBK), 2014 – 2018

Jika dikaji lebih dalam dengan melihat harga bulanan pada setiap tahun hasilnya dapat dilihat pada Gambar 8. Sejak 2014 – 2018 rata-rata harga ayam terus naik, kecuali tahun 2016 sedikit menurun dan naik kembali 2017 hingga 2018. Perilaku harga ternak ayam ini sama dengan perilaku harga telur. Sebaliknya, fluktuasi harga ternak ayam lebih kecil pada tahun 2017 dan 2018 dibandingkan tahun sebelumnya.

Hampir sama dengan harga telur ayam, kenaikan harga terjadi pada waktu HBKN puasa dan lebaran selama lima tahun terakhir adalah: puasa – lebaran 2018, 15 Mei-Juni; puasa – lebaran 2017, 5 Mei-Jun; puasa – lebaran 2016, 24 April-Mei; puasa – lebaran 2015, 13 April– Mei; dan puasa – lebaran 2014, 2 April – Mei. Dapat dilihat bahwa menjelang puasa kenaikan harga mulai terjadi dan cenderung berlanjut hingga setelah lebaran. Pada saat Natal dan Tahun Baru harga telur juga menaik, tetapi masih di bawah harga tertinggi yang pernah terjadi sebelumnya.

y = 60,041x + 16093 R² = 0,3224 y = 78,355x + 28527

R² = 0,3237

0 5000 10000 15000 20000 25000 30000 35000 40000

1 3 5 7 9 11 1 3 5 7 9 11 1 3 5 7 9 11 1 3 5 7 9 11 1 3 5 7

2014 2015 2016 2017 2018

Rp/Kg

Prod; CV=7.9 Kons; CV=7.3

(22)

16 Gambar 8.Fluktuasi harga produsen ternak ayam (Rp/KgBH) bulanan lingkup nasional

2014-2018

3.1.5. Fluktuasi Harga Ternak dan Daging Ayam2018

Berbeda pada data perkembangan harga ternak dan daging ayam lima tahun terakhir dimana fluktuasi harga produsen sedikit lebih tinggi dari harga konsumen.

Pada tahun 2018, fluktuasi harga ayam bulanan jauh lebih tinggi dari pada harga daging ayam pada tingkat konsumen (Gambar 9). Nilai CV mingguan untuk harga ayam berkisar 0,7 – 4,7, sedangkan nilai CV mingguan untuk harga daging ayam berkisar 1,3 – 2,7. Pola ini menunjukkan perilaku pasar retail dengan volume barang dan pelaku pasar menjadi lebih banyak, sehingga harga cenderung bersaing dan stabil.

19242

16582 20736

17621 19458

17381 19243

18018 21714

20226

13000 14000 15000 16000 17000 18000 19000 20000 21000 22000 23000

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 Rataan

Rp/KgBH

2014; CV=8.38 2015; CV=8.92 2016; CV=8.58 2017;CV=5.12 2018; CV-6.82

(23)

17 Gambar 9. Perkembangan rata-rata harga ayam (Rp/KgBH) dan daging ayam (Rp/KgBK) di tingkat produsen dan konsumen lingkup nasional,Januari – Juli 2018

Daerah produsen ayam ras pedaging tersebar di daera Jawa, Sumatera dan Kalimantan, dengan sentra utama daerah Jawa Barat. Perkembangan harga ayam ras pedaging di daerah sentra yang dekat kawasan pasar utama Jabodetabek dapat dilihat pada Gambar 10. Perkembangan harga ayam ras pedaging hingga Bulan Juli 2018 cenderung naik, terutama saat puasa dan lebaran sekitar bulan Mei dan Juni.

Tersebarnya sentra produksi dan sebagian besar ayam perdagangan masih dalam bentuk ayam hidup, secara spasial pola distribusi ayam tidak sejauh pola distribusi telur. Telur dapat bertahan kualitasnya pada kondisi suhu kamar sekitar 15 hari. Ayam hidup tidak demikian, distribusi yang membutuhkan waktu tempuh lama berisiko menaikkan angka kematian ayam.

Dukungan infrastruktur jalan tol, memungkinkan ayam hidup dari Lampung dan Jateng masuk ke DKI Jakarta. Disamping itu, sebagian konsumen Jabodetabek sudah terbiasa mengkonsumsi daging ayam beku. Dua kondisi itu, meningkatkan pasokan

21278

18494

20552 21361 22095

31526 31238

34772 36667 37361

4,7

3,1

2,6

0,7

3,5

2,3

3,6

2.5

1.8 1.8

1.3

2.2 2.6

2.7

0 0,5 1 1,5 2 2,5 3 3,5 4 4,5 5

0 5000 10000 15000 20000 25000 30000 35000 40000

Jan Peb Mar Apr Mei Jun Jul

Harga Prod (Rp/KgBH) Harga Kons (Rp/KgBK) CV Prod CV Kons

(24)

18 ternak dan daging ayam ke DKI, sehingga harga eceran daging ayam di DKI lebih murah dari harga ayam di Lampung, Jawa Barat dan Banten (Gambar 11).

Gambar 10. Perkembangan rata-rata harga daging ayam (Rp/KgBH) mingguan di tingkat sentra produsen sekitar Jabodetabek, Jan- Juli 2018

Gambar 11. Perkembangan rata-rata harga eceran daging ayam di DKI Jakarta dan sentra produksi, Januari-Juli 2018

22500

21500 26400

25750

18300 21900

24850

23000

24042 25750

24656 28667

25200 28375

13000 15000 17000 19000 21000 23000 25000 27000 29000 31000

1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 5 1 2 4 1 2 3

Jan Peb Maret April Mei Jun Juli

Rp/KgBH Jabar Rp/KgBH Banten Rp/KgBH Jateng Rp/KgBH Lampung

31000

39318

28000,0 30000,0 32000,0 34000,0 36000,0 38000,0 40000,0

Jan Peb Maret April Mei Juni Juli Agust

DKI Jkt Jabar Lampung Jateng Banten

(25)

19 Harga daging ayam ras pada bulan Juli, Agustus dan September sudah menurun.

Diduga hal itu dilakukan pengusaha skala besar dengan cara mengatur volume yang dijual ke pasar hingga harga terus naik mencapai puncak. Saat harga puncak tersebut, semua produk dijual dan akhirnya terjadi kelebihan pasokan kemudian harga turun.

Dalam hal ini perusahaan besar telah menikmati harga puncak yang terjadi. Dengan perkataan lain, penurunan harga tersebut disebabkan pasokan perusahaan besar ke pasar meningkat. Perusahaan integrator sedang melakukan ekspansi budidaya melalui kandang close house budidaya sendiri dan kemitraan usaha. Dugaan lain adalah, perusahaan besar (integrator) melakukan penundaan memproses ayam hidup ke RPH yang selama ini besarnya sekitar 20%-30% dialihkan menjual ayam hidup ke pasar.

3.1.6. Disparitas Harga Ayam di Tingkat Produsen dan Harga Karkas di Tingkat Konsumen

Semakin harga jual daging ayam meningkat, disparitas harga semakin mengecil.

Pada tahun 2018 saat rata-rata harga ayam tinggi, rata-rata disparitasnya sebesar 67%. Sementara itu, pada tahun 2014, 2015, 2016 dan 2017 masing-masing besarnya 76%, 71%, 81% dan 70%. Produsen dan pedagang menurunkan marjin yang diterima saat harga meningkat dengan tujuan konsumen tetap membeli. Jika tidak demikian, permintaan konsumen menurun dan omset penjualan pedagang menjadi lebih jauh menurun. Gambar 12. menunjukkan disparitas harga ayam dan harga daging ayam di tingkat nasional.

Disparitas harga antara di peternak/pedagang pengepul di daerah sentra produksi dengan harga pedagang grosir/pengecer di tujuan pasar utama dalam kondisi wajar, hal tersebut disebabkan faktor dinamika permintaan. Namun jika disparitas terlalu besar bisa disebabkan permainan pedagang agen dan grosir di tujuan pasar utama dengan tujuan menimbulkan panic saler, sehingga terjadi perang harga dalam penjualan broiler dan telur. Panic saler bisa juga tercipta dengan isue-isue masuknya broiler telur dari luar Jawa, seperti Lampung, Medan dan Padang. Gambar 12 menunjukkan disaparitas yang wajar dan stabil dibanding waktu-waktu sebelumnya.

(26)

20 Gambar 12.Disparitas harga ternak dan daging ayam ras pedaging di tingkat

konsumen dan produsen secara nasional, 2014-2018.

3.2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Harga Telur dan Daging Ayam

Jika diasumsikan permintaan tetap, maka harga telur dipengaruhi oleh pasokan telur dan daging ayam ke pasar. Selama ini, dan selalu berulang, pasokan telur dan daging ayam pada waktu-waktu tertentu tidak hanya dari kegiatan budidaya, tetapi juga dari kegiatan breeding farm.

3.2.1. Perilaku Produksi a. Telur Ayam Ras

Ketika usaha breeding farmayam ras bekembang pesat terjadi kelebihan penawaran DOC dari usaha penetasan. Adanya kebijakan atau shock, yang menyebabkan jumlah atau permintaan DOC menurun, produksi telur tetas untuk DOC ayam ras menjadi berlebihan. Agar perusahaan breeding farm tidak merugi, telur tetas (HE- Hatchery Egg) yang berlebihan dijual ke pasar becek dalam untuk telur konsumsi.

Karena HE merupakan telur tertunas, agar dapat dikonsumsi harus segera dijual untuk menghindari pertumbuhan embrio. Untuk mendorong penjualan cepat maka harga jual

25 35 45 55 65 75 85 95 105

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12

%

Bulan

2014 2015 2016 2017 2018

(27)

21 diturunkan.Akibatnya harga telur di pasar dan peternak petelur mengalami kerugian(Ilham et al. 2017).

Secara rutin tiap tahunan perilaku permintaan telur mulai naik sejak 30 hari sebelum masuk bulan puasa. Naiknya permintaan tersebut digunakan untuk memenuhi kebutuhan bahan baku kue lebaran dan frekuensi pesta yang meningkat. Kemudian pada awal puasa menurun ke kondisi normal.

Pada sisi penawaran, umumnya peternak broiler sejak H-1 sampai H+7 lebaran tidak melakukan chick-in. Hal ini diantisipasi breeding farm dengan mengurangi menetaskan telur tetas sejak H-21 selama delapan hari.Agar jangan rugi maka breeder memasukkan telur ke pasar, sedangkan permintaan tetap dan cenderung sedikit turun.Akibatnya harga telur konsumsi menurun tajam dan setelah telur tetas habis terjual dalam tempo 5-7 hari, harga stabil kembali kemudian naik sedikit menjelang lebaran akibat naiknya permintaan dan stabil kembali pasca lebaran. Namun, akibat banyak peternak yang afkir induk secara dini menjelang lebaran, pasokan sebulan setelah lebaran turun, sedangkan kebutuhan kembali normal, sehingga harga naik kembali.

Pada kondisi tidak normal, dimana ada serangan penyakit, kondisi pasokan semakin me nurun. Menurut peternak dan pengusaha ayam ras petelur, sejak September 2017 hingga Juli 2018 produksi telur ayam mengalami penurunan. Di Kecamatan Tumpang Kabupaten Malang, puncak serangan penyakit pada ayam broiler terjadi pada September 2017 dan pada ayam layer pada bulan Nopember 2017.

Faktor utama yang menyebabkannya adalah serangan penyakit. Kasus ini dikenal dengan istilah Egg Drop Syndrom. Kasus ini berkembang pada kondisi cuaca tertentu, dimana kelembaban, temperatur dan cahaya berada pada kondisi tertentu.

Waktunya biasanya selama masa pancaroba dari musim hujan ke musim kemarau atau dari musim kemarau ke musim hujan, sehingga dalam setahun terjadi dua kali serangan.Waktu serangan hingga mereda bisa mencapai 3 bulan.Menurut dugaan kasus ini disebabkan keberadaan AI strain baru yang berkesinambungan dengan pola serangan yang on-off.Ada juga yang menduga disebabkan ND ganas, e-choli varian baru.Dampak serangan penyakit ini menyebabkan produksi telur menurun dari 85%-

(28)

22 90% menjadi 40%. Penyakit ini menyerang sistem reproduksi ayam.Layer yang muda populasi yang pulih bisa 80%, sedangkan yang tua cenderung semua rusak dan produksi telur anjlok turun.

Menurut pihak pengusaha ayam petelur, keberadaan penyakit ini dirasakan, namun belum ada pernyataan resmi tentangkeberadaannya dari pihak berwenang.

Padahal, bahan-bahan untuk pemeriksaan laboratorium sudah diambil namun belum ada solusi. Pihak pengusaha ayam petelur, berusaha mencegah serangan penyakit dengan membeli vaksin kepada produsen obat yang tersedia di pasar. Upaya vaksinasi harus juga diikuti dengan menjaga kualitas pakan dan pemberian vitamin pada ayam.

Pada kondisi terbaik pemulihan bisa meningkatkan produksi dari 40% menjadi 60%- 70%.Ternak yang tidak dapat pulih kembali produksinya kemudian diafkir, sehingga terjadi afkir dini yang menyebabkan pasokan telur ke pasar menurun.

Selain penurunan produksi karena serangan penyakit, adanya keputusan pengusaha dan peternak ayam petelur melakukan afkir dini. Keputusan ini dilakukan, antara lain disebabkan oleh:

1. Tingginya permintaan terhadap daging ayam menjelang lebaran, mendorong naiknya harga ternak dan daging ayam. Kondisi ini menyebabkan peternak dan pengusaha ayam ras petelur melakukan keputusan menjual induk ayam ras petelur atau melakukan afkir dini. Efek berikutnya, saat pasca lebaran produksi telur turun dan mendrong kenaikan harga telur ayam ras.

2. Kenaikan harga jagung menyebabkan harga pakan naik. Pada kondisi ini peternak dan pengusaha melakukan perhitungan-perhitungan.Jika usaha dilanjutkan prediksinya akan mengalami kerugian. Kenaikan harga jagung, disebabkan oleh ketersediaannya kurang. Kurangnya panen jagung bisa disebabkan musim kering yang panjang seperti terjadi 2018. Jika membeli dari luar daerah, harganya sampai di lokasi usaha menjadi lebih mahal. Selain ketersediaan kurang, impor jagung ditutup, pengguna jagung mengganti dengan mengimpor gandum. Tingginya permintaan terhadap gandum menyebabkan harganya juga meningkat.

Sejak pelarangan penggunaan AGP (antibiotic growth promoters) mulai Januari 2018, terjadi penurunan produksi telur. Pelarangan AGP harusnya diikuti dengan pola

(29)

23 pemeliharaan yang berubah juga dari pola AGP ke non AGP. Artinya GFP (Good Farming Practice) juga harus diubah dan diikuti oleh peternak. Saat ini hal itu masih belum diubah oleh peternak dan belum ada SOP/GFP yang diterbitkan sebagai panduan.Salah satu pengusaha ayam petelur herbal di Sukabumi sudah sejak lama tidak menggunakan AGP. Pencabutan AGP tanpa mengurangi densitas kandang akan mempengaruhi produksi. Oleh sebab itu pencabutan AGP harus menurunkan densitas kandang.

Kandang yang padat menimbulkan amonia yang melemahkan kondisi ayam sehingga diperlukan AGP. Jika amonia di dalam kandang sudah berkurang pencabutan AGP tidak akan berpengaruh besar terhadap produksi.

Pihak pabrik pakan sudah tidak menggunakan AGP sejak awal tahun 2018, dampaknya dirasakan hingga ke peternak. Antisipasi yang dilakukan adalah melakukan peningkatan biosecurity dengan cara menambah pemberian vitamin dan feed supplement. Pada tingkat perusahaan besar dilakukan perubahan formula pakan dengan meningkatkan daya tahan tubuh terbak yang dilakukan oleh feedmill. Formula baru ini menyebabkan biaya produksi pakan naik dan bermuara pada naiknya harga pakan. Untuk mencapai standar normal, pencabutan AGP menyebabkan jadwal panen umumnya mundur 2 hari, sehingga biaya naik akibat pemberian pakan dan nilai IP turun.

b. Ternak dan Daging Ayam Ras

Sama seperti pada telur, pihak breeding farm pada saat melakukan afkir ayam induk (GPS dan PS) yang sudah tidak produktif menjual ayam afkir ke pasar. Akibatnya harga ayam di pasar akan turun dan merugikan peternak lokal dan rantai pasok menjadi tidak efisien (Ilham et al. 2017). Kondisi seperti ini hampir rutin terjadi, hendaknya dapat dikendalikan dan diawasi oleh pemerintah, karena tidak sesuai dengan peraturan yang ada.

Selain perilaku musiman tersebut, pola produksi bisa berubah karena adanya serangan penyakit pada ayam. Sejak september 2017 hingga Juli 2018 produksi daging ayam mengalami penurunan. Di Kecamatan Tumpang Kabupaten Malang, puncak serangan penyakit pada ayam broiler terjadi pada September 2017. Sebelum kasus ini,

(30)

24 IBH sudah pernah menyerang unggas tetapi tidak seberat saat terakhir ini. Saat ini juga masih ada, tapi serangannya tidak besar, karena peternak sudah berupaya mencegahnya dengan memberikan vitamin dan vaksin. Ini berarti ada tambahan biaya untuk obat dan vaksin.

Kasus di Malang Jawa Timur serta Bandung, Cianjur dan Sukabumi Jawa Barat, faktor utama yang menyebabkan penurunan produksi tersebut adalah adanya serangan penyakit IBH (H9N2) yang disebabkan oleh virus. Selain itu ada juga serangan penyakit CRD, E. Colli, Gumboro, dan ND. Dampaknya meningkatkan mortalitas dan pertumbuhan ayam sehingga performance menurun

Penurunan produksi akibat IBH dari kondisi normal berat badan 2 kg/ekor menjadi 1,2 – 1,6 kg/ekor per siklus. Kematian yang ditimbulkan mencapai 10%-20%

dari kondisi normal <5%. Saat terjadi penurunan produksi pada berat ayam 2 Kg/ekor rata-rata IP 190-200, sedangkan pada kondisi normal yaitu dari awal tahun 2018 sampai saat ini mencapai IP 220 dengan berat badan 2 Kg/ekor. Pada berat hidup 2 Kg saat kondisi jelek FCR 1,9 sedangkan kondisi normal 1,7.IP pada usaha yang menggunakan kandang open house turun dari 320 menjadi 280, sedangkan ada close house turun dari 400 menjadi 360. Kondisi ini terjadi sejak awal 2018 sampai saat ini (Oktober 2018) dan kondisi itu semakn memburuk karena dicabutnya AGP dari formula pakan.

Produksi yang turun tersebut menyebabkan pasokan ke pasar berkurang.Berkurangnya pasokan menyebabkan harga naik, selain itu produsen juga menaikkan harga karena berupaya mengurangi kerugian akibat penurunan produksi.

Selain disebabkan penyakit, penurunan produksi tersebut dipicu juga oleh pelarangan penggunaan AGP. Adanya pelarangan AGP, untuk mencapai berat yang sama diperlukan perpanjangan masa produksi 4 hari yaitu dari 32 hari menjadi 36 hari untuk mencapai berat 2 Kg. Artinya setidaknya terjadi kenaikan biaya pakan dan biaya harian lainnya.Saat ini tidak ada pengganti AGP, peternak mengantisipasi dengan menaikkan dosis vitamin dan meningkatkan sanitasi dan sterilisasi kandang dengan baik.

(31)

25 Mulai Juli 2018 produksi ayam broiler kembali naik hingga posisi 80% sehingga pasokan ke pasar meningkat, akibatnya harga mengalami penurunan. Turunnya harga yang diterima peternak di Kecamatan Tumpang mencapai Rp12.800/KgBH. Sementara pada sisi lain harga DOC dan pakan mengalami kenaikan. Dua hal ini menyebabkan peternak mengalami kerugian.

Meningkatnya produksi saat ini ada kemungkinan disebabkan keterlibatan integrator melakukan budidaya dan menjualnya ke pasar.Hal itu dapat dilakukan dengan melakukan penundaan memproses ayam hidup ke RPH yang selama ini besarnya sekitar 20%-30% dialihkan menjual ayam hidup ke pasar.

3.2.2. Kenaikan Harga Input a. Pakan

Komponen pakan merupakan komponen terbesar pada struktur biaya produksi pada usaha ternak ayam, baik pada ayam ras petelur maupun pedaging. Pada ayam ras petelur komponen pakan mencapai 70% dan pada ayam ras pedaging mencapai 60-70% dari total biaya produksi usahaternak. Harga pakan ternak pada periode Juli- Oktober 2018 meningkat sekitar Rp 500-1.000,-/kg, yaitu dari Rp 6.500-7.000,-/kg menjadi Rp 7.000-8.000,-/kg. Penyebab utamanya adalah kenaikan harga jagung.

Harga jagung kering pipil di Jawa Timur pada kondisi normal sebesar Rp 4.000,- /kg, paling tinggi Rp 4.500,-/kg. Sudah dalam waktu 4 bulan harga jagung berkisar antara Rp 4.000-5,000,-/kg. Bahkan pada akhir September 2018 harga jagung mencapai Rp 4.800-5.000,-/kg dan bahkan di beberapa daerah sentra produksi harga jagung giling telah mencapai Rp 5.100-5.200,-/kg. Sementara itu, harga jagung yang dibayarkan peternak di Kabupaten Cianjur, Sukabumi dan Bandung Jawa Barat telah mencapai Rp 5.200-5.400,-/kg.

Assosiasi peternak ayam ras petelur di Blitar Jawa Timur dan di Cianjur Jawa Barat meragukan statemen tentang Indonesia telah surplus jagung. Jika diasumsikan kebutuhan hanya 20 juta ton, sedangkan produksi jagung domestik 30,5 juta ton atau dengan kata lain ada surplus sebesar 10,5 juta ton. Jika terjadi surplus jagung

(32)

26 seharusnya tidak akan mengalami lonjakan harga yang tajam. Selanjutnya dikemukakan jika ada surplus besar maka pemerintah melalui Bulog diharapkan dapat melakukan operasi pasar jagung ke daerah sentra produksi peternakan terutama ke peternak-peternak mandiri.

Menurut pendapat assosiasi peternak baik di Jawa Timur maupun Jawa Barat bahwa produksi jagung domestik mengandung aflatoksin, jika tidak dilakukan penanganan pasca panen dengan baik. Jagung produksi di pasar domestik memiliki kadar air 15-18%, sedangkan alfa toksin terjadi jika kadar air 19-20%. Produksi jagung Jawa Timur dan Jawa Barat dapat dikatakan aman alfatoksin. Kandungan aflatoksin tinggi terjadi pada saat panen pada MH, karena pengeringan terhambat. Kebijakan yang dipandang tepat untuk mencukupi kebutuhan jagung adalah melakukan impor saat musim paceklik jagung (juli-Desember) dan menghentikan impor jagung pada saat musim panen raya, sehingga pada satu sisi membantu petani jagung dan pada sisi lain membantu industri peternakan secara keseluruhan.

Peternak ayam ras petelur (layer) dan pedaging (broiler) juga mengeluhkan hingga kini belum ada kebijakan subsidi untuk peternak ayam, baik subsidi DOC, pakan atau jagung, serta obat-obatan, vaksin, feed suplemen. Program yang ada adalah bantuan obat dan vaksin jika terjadi wabah penyakit. Kebijakan yang ada malahan bersifat menghambat usaha peternak, seperti larangan impor jagung dan larangan penggunaan AGP (Antibiotic Growth Promoters). Akibat larangan impor jagung menyebabkan pabrik pakan skala besar menyerap sebagian besar jagung lokal dan melakukan stok untuk keberlangsungan pabrik pakannya. Pabrik pakan juga mengganti sebagian kebutuhan jagungnya dengan melakukan impor gandum.

Kondisi ini menyebabkan peternak mandiri, peternak plasma, dan pabrik pakan dirugikan yang ditunjukkan oleh: (a) harga jagung meningkat tajam dari 3.500-3.600,- /kg menjadi Rp 4.700-4.800/kg, bahkan di beberapa daerah sentra produksi peternakan mencapai hingga di atas Rp 5.000/kg (Rp 4.800-5.200/kg di Jawa Timur dan Rp 5.000-5.400,-/kg di Jawa Barat); (b) kenaikan harga jagung ini menyebabkan kenaikan harga pakan ayam jadi (final feed) sekitar Rp 500-1.000/kg, yang berimplikasi

(33)

27 menyebabkan biaya produksi pakan meningkat sebesar 7%-15%; (d) HPP telur telah mencapai Rp 19.600,-/kg dan HPP ayam sudah mencapai Rp 17.800/kg bobot hidup.

Menurut Peraturan Menteri Perdagangan No 58 Tahun 2018, harga acuan jagung tingkat pabrik ditetapkan Rp 4.000,-/kg, namun harga jagung dengan kadar air 15% di gudang pabrik di sentra produksi pakan, seperti Jawa Timur umumnya telah meningkat jauh di atas Rp 4.000,-/kg dan pada September 2018 telah mencapai Rp 4.500-5.000/kg, bahkan di beberapa lokasi di Jawa Timur telah menyentuh harga Rp 5.200/kg. Kondisi tersebut telah merugikan usaha ternak mandiri karena harga jagung dan pakan meningkat.

Pada bulan Mei 2018 pewakilan assosiasi peternak ayam menghadap Ditjen Tanaman Pangan, Kementerian Pertanian. Disampaikan kepada pihak assosiasi peternak ayam akan dipertemukan dengan kelompok tani/gapoktan jagung yang ada di Gorontalo dan Bolaang Mangondo, serta dari daerah sentra produksi lainnya dan telah dibuatkan WA group, namun gagal dalam melakukan transaksi jagung yang disebabkan masalah ketersediaan dan harga yang telah melonjak tinggi. Selanjutnya asosiasi peternak ayam telah menyampaikan permasalahan yang dihadapi ke Bank Indonesia (BI) untuk menghadirkan pelaku usaha dari Sulawesi Utara, namun hingga kini juga belum dapat terealisasikan.

Larangan impor jagung menyebabkan peternak sangat sulit, karena pada satu sisi dihadapkan harga DOC dan pakan yang meningkat, sedangkan pada sisi lain harga produk berfluktuasi tajam. Diharapkan pemerintah membuka keran impor jagung terutama pada musim paceklik (Juli-Desember 2018). Berdasarkan informasi di lapangan di daerah-daerah sentra produksi jagung di Jawa Timur (Tuban dan Lamongan), NTB, dan NTT, sebagian besar produksi jagung di daerah-daerah sentra produksi telah dikuasai pedagang besar untuk pabrik pakan besar yang ada di Indonesia. Kalau ada pelaku usaha lain membeli jagung maka harga beli akan dinaikkan tinggi, sehingga pelaku usaha seperti peternak mandiri kesulitan mendapatkan jagung sekalipun di daerah sentra produksi. Integrator menciptakan struktur pasar oligopsonistik pada pasar jagung dan oligopolistik di pasar pakan. hat.

(34)

28 Berdasarkan informasi dari Paguyuban Sinar Dunia Unggas (SDU) yang beranggotakan 60 peternak dengan skala usaha 5.000-10.000 ekor/peternak, peternak ayam ras petelur (layer) dan ayam ras pedaging (broiler) menghadapi masalah yang berat. Pada satu sisi harga DOC dan pakan naik, sedangkan performa produksi baik telur maupun broiler tinggi (85%) menyebabkan harga jual produk turun sehingga menyebabkan peternak mengalami kerugian.

Fluktuasi harga telur dan daging ayam sangat terkait dengan fluktuasi produksi.

Jika ditelusuri hal ini sangat terkait dengan fluktuasi harga pakan dan bahan baku pakan utama, seperti jagung, bungkil kedelai, tepung ikan, tepung tulang, dan dedak/bekatul. Penurunan produksi terjadi ditengah kenaikan harga sarana produksi utama, yaitu pakan dan jagung. Kondisi tersebut selanjutnya berdampak terhadap tingginya harga telur dan daging ayam pada bulan Juli-Agustus 2018 yang melonjak hingga mencapai Rp 27.000-29.000/kg untuk telur dan Rp 37.000-39.000/kg untuk daging ayam di pasar eceran.

Pengalihan impor jagung ke impor gandum tidak memecahkan permasalah pada industri perunggasan, bahkan memicu timbulnya permasalahan baru. Beberapa dampak negatif pengalihan impor jagung ke gandum: (a) pada awalnya harga gandum jauh lebih murah hanya sebesar Rp 4000-4500,-/kg, karena permintaan tinggi maka harga gandum juga terus meningkat hingga mencapai Rp 4.800-5.000,-/kg atau mendekati harga jagung; (b) hasil kajian empiris di lapang penggantian sebagian jagung dengan sebagian gandumg pada formula pakan ternak berdampak menurunkan produksi telur sekitar 5-10%, meskipun ada yang mengatakan dampak tersebut bersifat sementara dan ada yang mengatakan bersifat permanen; (c) Kualitas telur menurun, warna kuning telur menjadi lebih pucat, kandungan karoten atau beta karoten menurun karena pada jagung mengandung beta karoten, xantofil dan triptofan, sehingga mempengaruhi kualitas dan harga jual telur terutama untuk tujuan di Super Market/Hyper Market.

Depresiasi nilai tukar rupiah terhadap dollar jelas berpengaruh terhadap kenaikan harga pakan ternak, karena diperkirakan 50% bahan baku masih impor.

Komponen jagung atau jagung campur gandum (50%), bungkil kedelai (20%), bekatul

(35)

29 (15%), tepung ikan dan tepung tulang (10%), dan bahan lain-lain (premix, vitamin, mineral) sekitar (5%).Kenaikan harga bahan baku pakan impor, seperti gandum (25- 30%), tepung daging dan tulang (Meat Born Meal), bungkil kedelai (Soybean Meal), tepung ikan (fish meal), dan premix menyebabkan kenaikan harga pakan ternak ayam, secara agregat sekitar 30-40% impor, sedangkan bahan baku pakan yang tidak diimpor adalah jagung, dedak dan calsium. Bandingkan harga jagung domestik yang melonjak hingga Rp 5.200-5.400,-/kg bandingkan dengan harga di pasar dunia Rp 2.167-3.000,- /kg. Komponen bahan baku impor untuk broiler lebih tinggi (50-60%) dibandingkan layer (40-50%). Penggunaan gandum sebagai bahan pengganti sebagian jagung pada awalnya sekitar satu minggu berdampak menurunkan produksi sekitar 10%, setelah itu produksi stabil kembali. Namun pengurangan komponen jagung menyebabkan warna kuning telur lebih pucat.

Komponen jagung domestik lebih bagus dibandingkan jagung impor. Pada tingkat harga yang sama peternak lebih memilih jagung lokal dengan beberapa alasan:

(1) jagung lokal merupakan panen baru, sehingga kualitas masih bagus; (2) jagung lokal jauh lebih kuning; (3) Penggunaan jagung lokal dapat membantu petani domestik.

Adanya kelangkaan jagung beberapa perusahaan peternakan dan perusahaan pakan ternak menyiasati dengan mengimpor CGM (Corn Gluten Meal). Keunggulan CGM ini adalah kandungan aflatoxin lebih rendah. Ada produk lain yang dapat digunakan sebagai bahan pakan yaitu DDGS (Destilers Dried Grains With Solubes) adalah produk ikutan dari penggilingan kering dan industri etanol setelah etanol dan CO2 dihilangkan.

DDGS merupakan sumber protein, lemak, fosfor, energi yang baik untuk sapi perah dan sekarang digunakan juga untuk pakan ternak unggas.

Diperkirakan dalam waktu beberapa bulan ke depan ketersediaan jagung makin langka karena terjadinya kemarau panjang. Kementerian pertanian harus mengantisipasi dengan memberikan bantuan benih jagung hibrida yang berkualitas.

Dampak kemarau panjang akan menyebabkan panen jagung mundur maka disarankan Pemerintah membuka kran impor jagung pada musim paceklik akibat kemarau panjang. Agar tidak merugikan petani jagung impor dilakukan dalam jumlah

(36)

30 terbatas untuk memenuhi kekurangan produksi domestik dan dilakukan pada saat musim paceklik.

Pemerintah akhirnya membuka keran impor jagung untuk memenuhi kebutuhan pakan ternak. Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan di Kantor Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian pada Jumat 2 November 2018 mengatakan kebijakan tersebut ditempuh untuk menekan harga jual jagung yang mengalami lonjak harga di pasar. Impor jagung tersebut dialokasikan untuk peternak kecil. Skemanya Bulog yang akan melakukan impor. Secara terpisah, Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian menambahkan kebutuhan impor jagung berkisar 50 ribu hingga 100 ribu ton sampai akhir tahun ini.

Jagung impor itu hanya untuk peternak mandiri dan akan dijual sesuai harga acuan yang ditetapkan Kementerian Perdagangan dalam Peraturan Menteri Perdagangan No.

58 Tahun 2018 tentang Penetapan Harga Acuan di Petani dan Harga Acuan Penjualan di Konsumen sebesar Rp 4.000,-/kg.

Kemampuan melakukan ekspor produk telur dan daging ayam di beberapa negara produsen dan eksportir utama, seperti Amerika Serikat, Brasil dan China, Thailand juga didukung oleh penyediaan produksi jagung yang tinggi dan stabil.

Bahkan negara-negara tersebut sudah melakukan pengembangan industri perunggasan dari hulu hingga hilir melalui perusahaan-perusahaan multinasional yang sebagian besar telah melakukan integrasi secara vertikal. Sebagai ilustrasi Brasil berhasil meningkatkan ekspor produk unggasnya dari waktu ke waktu, hanya mengalami sedikit penurunan pada kondisi krisis finansial global yang dibarengi dengan krisis pangan pada tahun 2008. Pasca krisis finansial global, pada periode 2009-2012 berlanjut periode 2010-2018 maka kinerja ekspor produk unggas asal Brasil meningkat lagi, meskipun mengalami pelandaian dalam peningkatan ekspor (Butland, 2012).

Gonjang-ganjing harga pakan ternak di pasar domestik disebabkan antara lain disebabkan: (a) larangan impor jagung dengan asumsi produksi jagung mengalami surplus, secara empiris di lapangan produksi jagung domestik tidak mampu mencukupi kebutuhan pasar domestik menyebabkan harga jagung melonjak dari Rp 4.600-4.800,-

(37)

31 /kg menjadi Rp 5.200-5.400,-/kg bahkan beberapa lokasi menembus harga Rp 5.800,- /kg mendorong harga pakan ternak terus meningkat; (b) Biaya produksi usahaternak layer dan broiler meningkat menyebabkan pasokan broiler dan telur menurun yang akhirnya menyebabkan harga telur dan broiler meningkat tajam (Juli-Agustus 2018);

(c) Pada saat lonjakan harga terjadi, tingkat harga telur mencapai Rp 19.000-23.000,- /kg dan harga broiler hidup mencapai Rp 21.500-23.500,-/kg puncak atau dengan rata- rata harga broiler Rp 22.000,-/kg broiler hidup.

b. DOC

Pada struktur pasar input yang cenderung berada pada struktur pasar oligopolistik maka harga DOC dan pakan sangat ditentukan oleh perusahaan integrator.

Biaya pokok memproduksi DOC berkisar antara Rp 5.000-6.000,-/ekor dan dilaporkan Rp 6.000,-/ekor, sehingga harga jual di peternak sebesar Rp 7.000,-/kg. Secara umum performa DOC dan pakan dari perusahaan integrator cukup bagus dan stabil. Namun sering juga mengalami penurunan performa baik di tingkat breeding farm maupun dalam distribusi DOC. Penurunan performa DOC dan pakan terjadi jika jelang puasa dan lebaran atau saat permintaan sangat besar, sehingga DOC yang diproduksi tidak semua masuk standar SNI. Meskipun ada SNI tetapi di pabrik, perlu dilengkapi SNI saat distribusi dan hingga sampai dengan kandang, sehingga pabrik memiliki tanggung jawab yang tinggi saat distribusi ke kandang-kandang peternak. Kenaikan harga DOC dan pakan seringkali dimanfaatkan pedagang hasil ternak untuk menekan harga beli telur dan broiler ke peternak, meskipun harga penjualannya di pasar masih tetap stabil, sehingga terjadi panic saler (panik penjual), sehingga pedagang terjadi persaingan tidak sehat dalam menjual hasil telur dan broiler.

Produksi telur berkurang menyebabkan harga telur naik, pada saat harga telur naik untuk mendapatkan DOC kualitas SNI sulit di dapat, akhirnya peternak mandiri menggunakan DOC dengan bobot dan keseragaman dibawah SNI dengan mendapat bonus agar bobot per box yang biasanya hanya isi 102 ekor menjadi 104 hingga 105 ekor. Pentingnya pengawasan DOC yang memenuhi standar SNI, baik di tingkat breeder farm, poultry shop/perusahaan inti, dan ditingkat peternak.

Gambar

Gambar 1.Perkembangan harga telur lingkup nasional  pada tingkat produsen dan  konsumen, tahun 2014 – 2018  y = 78,694x + 14621R² = 0,5169y = 70,611x + 20320R² = 0,5273050001000015000200002500030000 1 4 7 10 1 4 7 10 1 4 7 10 1 4 7 10 1 4 72014201520162017
Gambar 2. Fluktuasi harga produsen telur ayam bulanan lingkup nasional,   2014-2018
Gambar 3. Perkembangan rata-rata harga telur mingguan di tingkat produsen dan  konsumen nasional Januari - Juli 2018
Gambar 4. Perkembangan rata-rata harga telur mingguan di tingkat produsen pada  beberapa sentra produsen,  Jan- Juli 2018
+6

Referensi

Dokumen terkait

The authors present empirical data about the high school years to help assess the rela- tive importance of such factors as academic ability, level of parental income and

Observasi dilakukan bersamaan dengan pelaksanaan pada setiap pertemuan di siklus I, yaitu pertemuan 1, dan 2. Observasi untuk mengamati guru dan siswa. Hasil observasi

Direktur/Direktris perusahaan yang diundang selaku peserta lelang dapat diwakilkan dan apabila tidak menghadiri undangan tanpa alasan yang jelas sampai pada batas waktu yang telah

• SHU setelah dikurangi dana cadangan, dibagikan kepada anggota sebanding jasa usaha yang dilakukan oleh masing-masing anggota dengan koperasi, serta digunakan

Sedangkan pada skenario ke-3, simulasi yang dilakukan pada dasarnya serupa dengan skenario ke-2 hanya saja pada skenario ke-3 ini digunakan hidrograf banjir kawasan

Kemampuan sains anak usia 5-6 tahun di TK Al-Munawarah Kecamatan Merbau Kabupaten Kepulauan Meranti sebelum menggunakan metode problem solving berada pada kategori

Menyadari akan berbagai kekurangan yang ada penulis, maka untuk meningkatkan profesionalisme yang penulis rasakan masih kurang, selama tahun 2013 / 2014 ini

Berdasarkan hasil penelitian maka dapat di simpulkan bahwa Kepatuhan Akseptor KB Pil Dalam Mengkonsumsi Pil KB di Desa Kembangsari Kecamatan Jatibanteng Situbondo adalah