ANALISIS POTENSI KEBANGKRUTAN PADA PERUSAHAAN TRANSPORTASI DI INDONESIA MENGGUNAKAN MODEL ALTMAN Z- SCORE MODIFIKASI SPRINGATE DAN ZMIJEWSKI
YANG TERDAFTAR DI BURSA EFEK INDONESIA TAHUN 2014-2019
Ramdan Pauzi1, Arni Surwanti2 Department Management Faculty Economics and Business Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
Bantul, Indonesia, 65144
Email: [email protected]1, [email protected]2
ABSTRAK
This study aims to determine the condition of companies in the transportation industry which are listed on the Indonesia Stock Exchange in 2014-2019. The potential prediction models used in this study are the Altman Z-score, Springate and Zmijewski. In addition, this study also aims to determine which variables affect the bankruptcy prediction results of the three prediction models used. Data collection techniques in research are documentation / archive techniques published by the company on the IDX (Indonesia Stock Exchange).
The data used is secondary data from the sample companies' financial statements. The sampling technique used purposive sampling, there were 22 companies that met the sampling criteria. The statistical analysis used is logistic regression, in which the independent variable is a variable from each bankruptcy prediction model, the dependent variable is a dummy variable, where 0 is for companies that have the potential to go bankrupt and 1 for companies that are healthy or not bankrupt.
The results showed that based on the modified Altman Z-Score there were 65 sample companies in the potentially bankrupt category and 39 companies in the healthy category. The variables that influence the outcome of the Altman Z-Score bankruptcy are retained earnings to total assets and market value of equity to book value of debt.
Meanwhile, net working capital to total assets and earnings before interest and tax to total assets have no effect on the outcome of bankruptcy. With the Springate model, there were 115 companies in the potentially bankrupt category and 17 companies in the healthy category. The variables of net working capital to total assets, net profit before tax to current liabilities and sales to total assets affect the prediction results of bankruptcy. Zmijewski's model shows 111 companies in the healthy category and 21 companies in the bankrupt category. Return on assets and debt to asset ratio variables affect the prediction results of bankruptcy.
Meanwhile, the current ratio has no effect on the results of bankruptcy predictions.
Keywords: Bankruptcy, Modified Altman Z-Score, Springate, Zmijewski
PENDAHULUAN
Dalam menunjang keunggulan daya saing suatu perekonomian, sektor transportasi merupakan salah satu sarana terpenting. Transportasi sendiri memiliki fungsi sebagai layanan mobilitas orang, barang dan jasa, serta mempunyai peran sebagai pendukung pembangunan disektor lainnya. Dalam pembangunan nasional, transportasi merupakan bagian yang sangat penting untuk
diperhatikan. Ketersediaan sarana dan prasarana yang mencukupi, serta tumbuhnya industri transportasi yang efisien dan berdaya saing tinggi pada setiap sektor perhubungan baik darat, laut maupun udara, akan menentukan kecepatan pertumbuhan ekonomi Indonesia dalam menghadapi persaingan global yang semakin ketat dan berat. Oleh karena itu, transportasi menjadi bagian yang tidak bisa dipisahkan dihampir semua aspek kehidupan masyarakat.
Sistem transportasi tidak dapat berjalan dengan efisien jika tidak didukung dengan kebijkan pemerintah yang dapat mendorong perkembangan ekonomi Kearah yang lebih baik. Hal ini terhadi Ketika tahun 2008 dimana harga minyak dunia naik diatas US$90/barel ini memberikan dampak terhadap kenaikan biaya operasional perusahaan sehingga memaksa perusahaan menaikan tarif layananya. Disamping itu, kondisi pasar menjadi lesu dikarenakan naiknya sejumlah barang-barang kebutuhan masyrakat telah mempengaruhi terhadap penggunaan trnasportasi. Kondisi seperti ini apabila pemerintah tidak bergerak cepat dalam mengambil kebijakan, maka bukan tidak mungkin menimbulkan ketidak percayaaan investor terhadap industri transportasi.
Dalam industri transportasi sendiri, beberapa tahun terkahir memiliki beberapa masalah yang dapat menggangu industri tersebut. Seperti pada perusahaan trnasportasi udara yang mendapat tekanan dari kebijakan pemerintah tentang peraturan tarif penerbangan baru yang disebut LCC (Low Cost Carrier) atau harga tiket pesawat berbiaya rendah yang berpotensi menurunkan pendapatan perusahaan, lalu pada perusahaan trnasportasi darat yang mulai tergusurnya perusahaan transportasi konvensional oleh perushaan trnasportasi online, dan perusahaan trnasportasi laut berpotensi mengalami kerugian akibat berlebihnya supply dan menurunnya permintaan, serta tingginya biaya operasional. Berdasarkan beberapa masalah tersebut, membuat potnesi perusahaan-perusahaan transportasi mengalami kebangkrutan.
Kebagkrutan sendiri diartikan jika perusahaan tidak lagi mampu mendapatkan laba positif dan jumlah hutang terhadap aset lebih besar (Hanafi, 2017:638).
Kebangkrutan sendiri dapat dideteksi dengan menganalisis laporan keuangan. Analisis laporan keuangan bertujuan untuk mengetahui prospek perusahaan dan risiko perusahaan (Subramanyam, 2017:4). Dengan melakukan analisis laporan keuangan didaptakan informasi yang akan terjadi dimasa yang akan datang, termasuk kebangkrutan.
Dalam prediksi kebangkrutan sendiri secara garis berasr dibagi menjadi dua kelompok, yang pertama, analisis regresi, analisis kolerasi, dan analisis diskriminan, yang kedua adalah analisis teknik komputasi seperti, decision tree, trait recognition, artificial neural network, dan support vector machine (Gamayuni, 2009). Beberapa
peneliti membandingkan kinerja dari kedua kelompok tersebut sehingga didapat model prediksi kebangkrutan terbaik.
Berdasarkan masalah pada perusahaan trnasportasi diatas, penulis tertarik untuk mengalukan penelitian potensi kebangkrutan pada industri transportasi di Indonesia. Selain itu penulis juga bertujuan untuk mencari variabel apa saja yang memiliki pengaruh secara signifikan terhadap hasil prediksi kebangkruatna yang digunakan. Pada penelitian- penelitian sebelumnya hanya menghitung apakah perusahaan berpotensi bangkrut atau tidak, tetapi dalam penelitian ini mencoba untuk mengetahui variabel apa saja yang memiliki pengaruh signifikan terhadap hasil prediksi kebangkrutan. Dalam penelitian ini model prediksi potensi kebangkruan yang digunakan adalah Altman Z-Score Modifikasi, Springate, dan Zmijewski. Dengan demikian penulis memilih judul penelitian “ANALISIS POTENSI
KEBANGKRUTAN PADA PERUSAHAAN
TRANSPORTASI DI INDONESIA MENGGUNAKAN MODEL ALTMAN Z- SCORE MODIFIKASI, SPRINGATE DAN ZMIJEWSKI YANG TERDAFTAR DI BURSA EFEK INDONESIA”.
RUMUSAN MASALAH
1) Apakah model Altman Z-Score, Springate, dan Zmijewski memberikan prediksi yang sama dalam menilai potensi kebangkrutan pada industri transportasi pada periode 2014-2019
2) Variabel-variabel apa saja yang mempengaruhi tingkat kebangkrutan perusahaan transportasi di Indonesia berdasarkan model Altman Z-Score?
3) Variabel-variabel apa saja yang mempengaruhi tingkat kebangkrutan perusahaan transportasi di Indonesia berdasarkan model Springate?
4) Variabel-variabel apa saja yang mempengaruhi tingkat kebangkrutan perusahaan transportasi di Indonesia berdasarkan model Zmijewski?
KAJIAN LITERATUR
Kebangkrutan sendiri secara umum diawali dengan perusahaan yang mengalami masalah dalam keuanganya, terutama masalah likuditas yang sangat kronis, yang mana hal tersebut membuat perusahaan kesulitan dalam menjalankan kegiatan operasional sehari-harinya atau keadaan tersebut dapat disebut konfisi financial distress. Tahap terakhir dari kondisi financial distress adalah kebangkrutan, hal tersebut terjadi karena manajemen gagal menanggulangi permasalahan yang terjadi. (Alim, 2017). Sedangkan menurut Adnan dalam Melanie (2007) kebangkrutkan didefinisikan sebagai suatu kegagalan persuahaan dalam membayar kewajiban-kewajibannya, dikarenakan perusahaan tidak mampu lagi membayar kewajiban-kewajibannya, karena perusahaan mengalami kekurangan dan ketidak cukupan dana untuk menjalankan operasi perusahaan, sehingga tujuan perusahaan dalam menghasilkan laba tidak dapat diraih. Dalam Undang- Undang 37 Tahun 2004, kebangkrutan atau kepailitan perusahaan adalah sebuah kondisi dimana suatu entitas bisnis dinyatakan bangkrut oleh keputusan pengadilan, dimana entitas terkait memiliki dua kreditor atau lebih namun tidak mampu melunasi kewajibanya, paling tidak satu kewajiban yang sudah jatuh tempo dan bisa ditagih (Sjahdeini, 2009).
Kebangkrutan berkaitan erat dan identik dengan kegagalan perushaan dalam menjalankan operasinya dalam
tujuan menghasilkan laba. Menurut Martin eta al dikutip oleh Adnan (2000) definisi dari kegagalan dapat didefinisikan dalam beberapa arti:
1) Kegagalan ekonomi (economic failure)
Arti kegagalan dalam ekonomi biasanya didefinisikan bahwa perusahaan kehilangan uang atau pendapatan perushaan tidak dapat menutupi biaya yang dikeluarkan, ini berarti tingkat laba yang didapatkan lebih kecil dari pada biaya modal atau nilai sekarang dari arus kas perusahaan lebih kecil dari kewajiban.
Atau juga tingkat pendapatan dari biaya historis dari investasinya lebih kecil dari pada biaya modalnya.
2) Kegagalan keuangan (financial failure)
Kegagalan keuangan dapat diartikan sebagai insolvensi yang membedakan antara dasar arus kas dan dasar saham. Insolvensi dalam dasar arus kas sendiri memiliki dua bentuk:
a. Insolvensi teknis
Perushaan dianggap gagal jika perusahaan tidak bisa memenuhi kewajiban pada saat jatuh tempo.
Insolvensi juga dapat terjadi jika arus kas tidak cukup untuk memenuhi pembayaran bunga atau pembayaran pokok pada tanggal tertentu.
b. Pengertian insolvensi dalam kebangkrutan
Dalam pengertian kebangkrutan didefinisikan dalam ukuran sebagai kekayaan bersih negatif dalam neraca atau nilai sekarang dari arus kas lebih kecil dari kewajiban.
Dalam pengertian kebangkrutan didefinisikan dalam ukuran sebagai kekayaan bersih negatif dalam neraca atau nilai sekarang dari arus kas lebih kecil dari kewajiban.
Kebangkrutan dapat dicegah dan diminimalisir dengan menggunakan data-data akuntansi pada laporan keuangan sehingga dapat memperoleh peringatan lebih awal. Semakin awal tanda-tanda kebangkrutan diidentifikasi, semakin mudah pihak manajemen dalam mengevaluasi perusahaan sebelum terjadinya kebangkrutan (Hanafi & Halim, 1995).
Pihak kreditor dan investor dapat melakukan persiapan sebelum sesuatu yang buruk terjadi pada perusahaan.
Dalam dewasa ini banyak sekali model penelitian yang sering digunakan dalam analisis kebangkrutan, hal tersebut tidak terlepas dari para peneliti yang terus mengembangkan model prediksi kebangkrutan, termasuk Model Discriminant Analysis. Hair et al. (Gamayuni, 2009) menyatakan Model Discriminant Analysis (MDA) adalah teknik statistik yang digunakan untuk memprediksi kebangkrutan dan menjelaskan hubungan variabel yang memiliki pengaruh kuat terhadap kategori dimana objek itu berada, yang dimana dependennya adalah sesuatu yang pasti (nominal atau nonmetrik) dan variabel independentnya metrik. Terdapat beberapa model Multiple Discriminant Analysis (MDA), seperti Model Altman’s Z-Score oleh Edward Altman (1968), Springate model oleh Gordon L.V Springate (1978), Datastream’s model oleh Marais (1979), Fulmer model (1984), dan Ca-score (1987). Berikut beberapa model Multiple Discriminant Analysis (MDA):
1) Model Altman Z-Score Modifikasi
Model kebangkrutan Altman Z-Score merupakan yang paling populer dalam memprediksi potensi kebangkruan perusahaan. Pada awal penelitiannya Edward Altman menggunakan sampel 35 peruahaan bangkrtu dan 35 perusahaan tidak bangkrut. Dalam penelitian ini Altman menggunakan 22 rasio keuangan yang diharapkan bisa digunakan dalam memprediksi
kebangkrutan. Dari 22 rasio keuangan tersebut dikelompokan menjadi liquidity, leverage, solvency dan activity, sehingga dari pengelompokan tesebut dapat dievaluasi (Anjum & Siddiqui, 2012). Pada tahun-tahun berikutnya Edward Altman terus mengembangkan Altman Z-Score menjadi Altman Z- Score, Altman Z-Score Revisis, Altman Z-Score Modifikasi. Hal tesebut bertujuan supaya mendapatkan formula atau rumus yang memiliki kesesuaian dengan karakteristik industri atau perusahaan. Ada pun formula dari Altman Z-Score Modifikasi adalah sebagai berikut:
Z-Score = 6.56X1 + 3.26X2 + 6.72X3 + 1.05X4 Dimana:
X1= Working capital/total asset X2= Retained earnings/total asset X3= EBIT/total asset
X4= Market value of equity/book value of debt 2) Model Springate
Gorodon LV Springate pada tahun 1978 mengembangkan model prediksi kebangkrutan, dalam formulasinya springate menggunakan metode yang sama dengan Altman yaitu Multiple Discriminant Analysis (MDA). Pada awal penelitianya Springate memilih rasio keuangan popular yang dapat digunakan dalam menganalisis potensi kebangkrutan perusahaan.
Jumlah rasio yang digunakan 19 rasio. Namun, setelah pengujian Springate akhirnya memilih empat rasio yang digunakan sebagai rasio terbaik dalam menentukan perusahaan sehat atau berpotensi bangkrut. Uji Springate menunjukan 92,5% tingkat akurasi dari 40 perusahaan yang digunakan sebagai sampel (Husein & Pambekti, 2015). Maka rumus yang digunakan sebagai berikut:
S-Score = 1,03X1+3,07X2+0,66X3+0,4X4 Dimana:
X1= Working capital/total asset X2= EBIT/total asset
X3= Net profit before taxes/current liability X4= Sales/total asset
3) Model Zmijewski
Zmijewski (1984) menggunakan rasio keuangan untuk menganalisis dan mengukur performa dari leverage dan likuiditas dari sebuah perusahaan. Dalam analisis tersebut Zmijewski menggunakan teknik probit pada 40 perusahaan bangkrut dan 800 perusahaan tidak bangkrut untuk membangun model prediksi kebangkrutan (Avenhuis, 2013). Kemudian model ini dikembankan dengan menggunakan rasio ROA, Leverage, dan likuiditas (Husein & Pambekti, 2015).
Sehingga model ini memiliki tiga rasio keuangan yang dianggap terbaik dalam memprediksi kebangkrutan perusahaan. Berikut rumus yang digunakan dalam model Zmijewski:
X-Score = -4,3-4,5X1+5,7X2+0,004X3 Dimana:
X1= ROA (Return On Asset) X2= Leverage (Debt Ratio) X3= Liquidity (Current Ratio) Signaling Theory
Dalam signaling theory mendorong pihak manajemen untuk memberikan informasi melalui laproan
keuangan dan laporan tahunan bagi pihak-pihak eksternal terutama investor dan kreditor. Dorongan perusahaan memberikan informasi dikarenakan terdapat asimetris informasi bagi pihak manajemen dan pihak eksternal, hal intu tentu jelas pihak manajemen lebih memiliki banyak informasi dari pada investor. kurangnya informasi bagi pihak luar khususnya investor membuat mereka bersifat defensive dengan memberikan harga saham yang rendah bagi perusahaan. sehingga dalam hal ini perusahaan dapat menyakinkan investor dan menyakinkannya dengan mengurangi asimetri informasi, yaitu dengan cara memberikan signal bagi investor (Kumaidi & Asandimitra, 2017).
Pada saat informasi dikeluarkan oleh perusahaan, diharapkan semua pelaku pasar mendapatkan informasi, yang selanjutnya akan dianalisis dan interprestasikan apakah informasi yang dikelurakan merupakan good news (kabar baik) atau bad news (kabar buruk). Jika informasi yang keluar merupakan good news maka hal tersebut akan meningkatkan volume perdagangan saham di Bursa, dikarenakan banyak investor yang tertarik dengan prospek perusahaan yang akan datang (Hanafi, 2017).
Agency Theory
Agency Theory dalam sebuah perusahaan adalah dimana adanya konflik antara agency (manager) dengan pemegang saham (principle), untuk itu maka pemegang saham membutuhkan pengawasan dalam perusahaan untuk menghindari penyimpangan tujuan perusahaan dalam memberikan kesejahteraan bagi pemegang saham. Menurut Jensen dan Mackling dalam Suhadak (2019), masalah keagenan muncul karena perbedaan kepentingan dan informasi asimetris antara pemegang saham dan manajemen. Asimetris informasi menciptakan masalah bahaya secara moral ketika manager memiliki inisatif untuk mengejar keuntungan pribadi dengan mengorbankan penetingan pemegang saham. Asimetris informasi juga menciptakan masalah ketika investor kurang mengetahui informasi secara pasti tentang nilai ekonomi dari perusahaan, sehingga investor meminta premi lebih tinggi karena menanggung risiko agensi, yang secara langsung meningkatkan biaya modal perusahaan.
Konsep ini mencul ketika kepengurusan terpisah dari pemiliknya. Perusahaan merupakan organisasi yang didalamnya terdiri dari berbagai partisipan dalam berkontribusi dalam bentuk modal, keahlian, tenaga kerja dalam rangka memaksimukan keuntungan jangka panjang.
Partisipan agency dan principle menyebabkan timbulnya permasalahan yang dapat menyebabkan tujuan perusahaan tidak dapat tercapai secara maksimum dikarenakan ada perbedaan kepentingan diantara keduanya.
Penelitian yang dilakukan Widiyawati et al. (2015) pada perusahaan Property Real Estate yang terdaftar pada Bursa Efek Indonesia, yang menguji pengaruh rasio Altman modifikasi pada kebangkrutan. Memberikan hasil bahwa:
(1) working capital/total asset tidak berpengaruh pada prediksi kebangkrutan; (2) retained earnings/total asset tidak berpengaruh pada prediksi kebangkrutan; (3) earnings before interest/total asset memiliki pengaruh terhadap prediksi kebangkrutan; (4) market value of equity/book value of debt tidak berpengaruh terhadap prediksi kebangkrutan; (5) secara simultan rasio Altman Modifikasi berpengaruh terhadap prediksi kebangkrutan. Rasio Altman Modifikasi terbukti secara bersama-sama dapat digunakan untuk memprediksi kebangkrutan.
Penelitian yang dilakukan Odibi et al. (2015) pada perusahaan manufaktur di Malayasia dengan menggunakan model Altman Z-score, serta menguji pengaruh rasio profitabilitas, rasio leverage, rasio solvabilitas, rasio likuiditas, dan rasio aktivitas pada 34 perusahaan gagal dan 34 perusahaan tidak gagal, yang dipasangkan berdasarkan ukuran dan industri. Perusahaan yang dianalisis menggunakan analisis deskriptif untuk menunjukan pebedaan antara perusahaan gagal dan tidak gagal, yang menunjukan perbedaan signifikan antara dua set perusahaan. Hasil dari analisis kolerasi menunjukan bahwa variabel independen WC/TA (X1), RE/TA(X2), EBIT/TA (X3), MVE/TL (X4), dan S/TA (X5) memiliki hubungan yang signifikan terhadap variabel dependen (Z Score) dalam menentukan kegagalan perusahaan. Demikian pula, analisis regresi dilakukan dalam penelitian ini menunjukan akurasi Z-score antara 85%-90% yang sejalan dengan temuan pada studi sebelumnya.
Ben (2015) melakukan penelitian pada perusahaan property dan Real Estate yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) pada priode 2011-203 dengan menggunakan metode Springate. Dimana tujuan penelitian ini untuk mengetahui rasio keuangan mana yang paling memepengaruhi dalam analisis prediksi kebangkrutan.
Sampel yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan 27 perusahaan. Berdasarkan hasil analisis, terdapat 8 perusahaan yang masuk dalam kategori tidak berpotensi bangkrut, 9 perusahaan masuk dalam potensi bangkrut, 5 perusahaan mengalami perubahan kategori dari kategori berpotensi bangkrut masuk dalam kategori tidak bangkrut, 5 perusahaan lagi mengalami perubaha kategori dari kondisi tidak bangkrut menjadi kondisi bangkrut. Hasil penelitian tersebut menunjukan bahwa rasio working capital to total asset menjadi rasio yang paling berpenaruh dalam memprediki kebangkrutan
Dari ketiga model tersebut nantinya akan digunakan untuk memprediksi potensi kebangkrutan pada industri trnasportasi, yang selanjutnya dilakukkan pengujian variabel dari masing- masing model untuk mengetahui variabel apa aja yang berpengaruh terhadap hasil prediksi kebangkrutan. Berikut Hipotesis dalam penelitian ini sebagai berikut:
H1 : Perusahaan pada industri transportasi pada periode 2014-2019 berada pada potensi kebangkrutan
H2 : Variabel Altman Z-Score Modifikasi berpengaruh terhadap hasil kebangkrutan H3 : Variabel Springate berpengaruh terhadap hasil
prediksi kebangkrutan
H4 : Variabel Zmijewski berpengaruh terhadap hasil presikdi kebangkrutan
METODE PENELITIAN
Objek dalam penelitian ini merupakan industri trnasportasi di Bursa Efek Indonesia pada periode 2014- 2019, dengan jumlah populasi sebanyak 42 perusahaan.
sampel penelitian diambil dari populasi dengan menggunakan teknik purposive sampling, yang dimana perusahaan-perusahaan yang akan dijadikan sampel harus memenuhi kriteria-kriteria sebagai berikut:
1) Perusahaan Transportasi yang sudah go-public dan telah listed di Bursa Efek Indonesia pada periode 2014 atau sebelumnya
2) Perusahaan Transportasi mempublikasikan laporan keuangan pada periode 2014-2019.
3) Perusahaan yang memiliki data yang lenagkap, sesuai dengan yang dibutuhkan dalam penelitian.
4) Perusahaan Transportasi yang memiliki laporan keuangan yang sudah diaudit pada peropde 2014- 2019.
Data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data sekunder, dengan metode pengumpulan data berupa metode dokumen/arsip. Dokumen/Arsip berupa laporan keuangan tahunan, Annual Report, dan ringkasan performa saham yang diperoleh dari Indonesian Stock Exchange (IDX). Selain itu data-data lain diperoleh dari studi kepustakaan yaitu dengan buku-buku, hasil penelitian terdahulu, dan dokumen penting lainnya yang masih relevan dengan penelitian.
Definsi Operasional dan Perngukuran Variabel a. Variabel Dependen
Variabel dependen dalam penelitian ini adalah potensi kebangkrtuan perusahaan dengan menggunakan variabel dummy, dimana 0 untuk perusahaan yang dikategorikan bangkrut, 1 untuk perusahaan yang tidak bangkrut. Variabel dummy merupakan variabel yang kualitatif yang kemudian ditrnasformasikan menjadi kuantitatif dengan bentuk skala nominal (Ghozali, 2018).
b. Variabel Independen
Variabel independen dalam penelitian ini menggunakan rasio keuangan dari perusahaan di indsuri trnasportasi, berdasarkan model Altman Z-Score, Springate, dan Zmijewski.
Altman Z-Score Modifikasi
Rumus model Altman Z-score Modifikasi sebagai berikut:
Z-Score = 6.56X1 + 3.26X2 + 6.72X3 + 1.05X4 Dimana:
Working capital to total asset (X1)
Menurut Subramanyam dan Wild (Dalam Widiyawati et al, 2015), rasio ini mengukur kemampuan perusahaan dalam memenuhi kewajiban jangka pendeknya. Working capital (modal kerja) adalah selisih aset lancar dikurngin hutang lancar, modal kerja sangat penting dalam mengkur likuiditas. Rumus untuk mencari variabel X1 sebagai berikut:
X1 =𝑀𝑜𝑑𝑎𝑙 𝐾𝑒𝑟𝑗𝑎
𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 𝐴𝑠𝑠𝑒𝑡 =𝐴𝑠𝑠𝑒𝑡 𝑙𝑎𝑛𝑐𝑎𝑟 − 𝐻𝑢𝑡𝑎𝑛𝑔 𝑙𝑎𝑛𝑐𝑎𝑟 𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 𝐴𝑠𝑒𝑡
Retained earnings/total asset (X2)
Rasio ini mengukur kemampuan perusahaan untuk menghasilkan laba ditahan dari total aset perusahaan. Laba ditahan (Retained earnings) adalah laba yang berasal dari hasil operasi perusahaan yang tidak dibagikan kepada para pemegang saham dalam bentuk dividen. Rumus untuk mencari Variabel X2 sebagai berikut:
X2 =𝐿𝑎𝑏𝑎 𝑑𝑖𝑡𝑎ℎ𝑎𝑛 𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 𝐴𝑠𝑠𝑒𝑡
Earning Before Interest and Tax /total asset (X3)
Menurut Darsono dan Ashari (Dalam Widiyawati et al., 2015), rasio ini mengukur kemampuan perusahaan dalam menghasilkan laba sebelum bunga dan pajak dari seluruh aset yang dimiliki perusahaan. Berikut rumus untuk mencari nilai variabel X3:
X3 =𝐿𝑎𝑏𝑎 𝑆𝑒𝑏𝑒𝑙𝑢𝑚 𝐵𝑢𝑛𝑔𝑎 𝑑𝑎𝑛 𝑃𝑎𝑗𝑎𝑘 𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 𝐴𝑠𝑠𝑒𝑡
Market value of equity/book value of debt (X4)
Menurut Endri (Dalam Widiya et al., 2009), rasio ini mengukur kemampuan perusahaan untuk memenuhi kewajiban jangka panjangnya dari nilai pasar modal sendiri.
Nilai pasar adalah jumlah saham yang beredar dikali harga saham. Berikut rumus dalam mencari nilai variabel X4:
X4 =𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑆𝑎ℎ𝑎𝑚 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑏𝑒𝑟𝑒𝑑𝑎𝑟 × 𝐻𝑎𝑟𝑔𝑎 𝑆𝑎ℎ𝑎𝑚 𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 𝐻𝑢𝑡𝑎𝑛𝑔
Nilai cut-off pada pengukuran model Altman Z-score Modifikasi adalah:
1) Z<1,10 diartikan sebagai perusahaan berpotensi mengalami kebangkrutan
2) 1,10<Z<2,60 maka perusahaan dalam keadaan grey area atau kondisi perusahaan tidak menentu
3) Z>2,60 maka dapat dikatakan perusahaan dalam keadaan sehat
Springate Model
Dengan rumus matematis sebagai berikut:
S-Score= 1,03X1+3,07X2+0,66X3+0,4X4 Dimana:
Working capital to total asset (X1)
Menurut Peter dan Yoseph dalam Ben et al.(2015), rasio ini mengukur kemampuan perusahaan dalam memenuhi kewajiban jangka pendeknya, jika rasio ini semakin kecil atau bahkan negatif, berarti perusahaan mengalami kesulitan dalam likuiditasnnya. Rumus untuk mencari variabel X1 sebagai berikut:
X1 =𝑀𝑜𝑑𝑎𝑙 𝐾𝑒𝑟𝑗𝑎
𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 𝐴𝑠𝑠𝑒𝑡 =𝐴𝑠𝑠𝑒𝑡 𝑙𝑎𝑛𝑐𝑎𝑟 − 𝐻𝑢𝑡𝑎𝑛𝑔 𝑙𝑎𝑛𝑐𝑎𝑟 𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 𝐴𝑠𝑒𝑡
Earnings Before Interest and Tax to Total Asset (X2) Menurut Peter dan Yoseph dalam Ben et al.(2015), Rasio ini mengukur kemampuan perusahaan dalam menghasilkan laba sebelum bunga dan pajak dari seluruh aset yang dimiliki perusahaan. Berikut rumus untuk mencari nilai variabel X2:
X2 =𝐿𝑎𝑏𝑎 𝑆𝑒𝑏𝑒𝑙𝑢𝑚 𝐵𝑢𝑛𝑔𝑎 𝑑𝑎𝑛 𝑃𝑎𝑗𝑎𝑘 𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 𝐴𝑠𝑠𝑒𝑡
Net profit before tax to current liability (X3)
Menurut Peter dan Yoseph dalam Ben et al (2015), Rasio ini digunakan untuk mengukur kemampuan perusahaan dalam memenuhi hutang jangka pendeknya menggunakan laba sebelum pajak. Tujuan net profit before tax to current liability adalah agar pihak manajemen mengetahui berapa laba setelah dikurangi bunga dapat memenuhi hutang lancarnya. Cara menghitungnya dengan cara sebagai berikut:
X3 = 𝐿𝑎𝑏𝑎 𝑆𝑒𝑏𝑒𝑙𝑢𝑚 𝑃𝑎𝑗𝑎𝑘 𝐻𝑢𝑡𝑎𝑛𝑔 𝐽𝑎𝑛𝑔𝑘𝑎 𝑃𝑒𝑛𝑑𝑒𝑘 Sales to Total Asset (X4)
Rasio ini mengukur tingkat keberhasilan perusahaan dalam menggunakan seluruh asetnya untuk menciptakan penjualan yang optimal dan mengukur tingkat efisiensi perusahaan dalam menggunakan seluruh asetnya. Semakin tinggi rasio ini berarti perusahaan semakin efektif dalam menggunkan asetnya (Hanafi dan Halim 1995:78). Rumus untuk mencari nilai variabel X5 adalah:
X4 =𝑃𝑒𝑛𝑗𝑢𝑎𝑙𝑎𝑛 𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 𝐴𝑠𝑒𝑡
Dengan model Springate’s perusahaan berpotensi mengalami kebangkrutan jika skor yang dihasilkan kurang dari 0,862. Namun jika skor yang dihasilkan lebih atau sama dengan 0,862 maka dikatakan sehat.
Zmijewski Model
Berikut rumus matematisnya:
X-Score = -4,3-4,5X1+5,7X2+0,004X3 Dimana:
Return On Asset (X1)
Rasio ini mengukur perbandingan antara laba bersih pada tahun berjalan terhadap total aset. Semakin tinggi nilai rasio ini menunjukan bahwa perusahaan sangat baik dalam mengelola seluruh asetnya untuk mengndapatkan keuntungan (Hanafi dan Halim 1995:80). Berikut rumus untuk mencari nilai variabel X1:
X1 =𝐿𝑎𝑏𝑎 𝑆𝑒𝑡𝑒𝑙𝑎ℎ 𝐵𝑢𝑛𝑔𝑎 𝑑𝑎𝑛 𝑃𝑎𝑗𝑎𝑘 𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 𝐴𝑠𝑒𝑡
Debt Ratio (X2)
Rasio ini merupakan perbandingan antara total kewajiban dengan total aset. Digunakan dalam mengukur seberapa besar seluruh aset dibiayai oleh hutang. Rasio ini juga mengukur bagaimana kemampuan perusahaan dalam memenuhi kewajiban jangka panjangannya, Semakin rendah tinggi rasio ini semakin tinggi risiko kebangkrutan perusahaan (Hanafi dan Halim 1995:79). Berikut rumus untuk mencari nilai X2:
X2 =𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 𝐻𝑢𝑡𝑎𝑛𝑔 𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 𝐴𝑠𝑒𝑡 Current Ratio (X3)
Rasio ini mengukur tingkat likuiditas perusahaan atau mengukur seberapa besar hutang lancarnya dijamin oleh aset lancarnya, jika nilai yang dihasilkan kurang dari 1 berarti aset lancarnya tidak mampu menjamin setiap hutang lancarnya (Hanafi dan Halim 1995:75). Berikut rumus untuk mencari nilai X3:
X3 = 𝐴𝑠𝑒𝑡 𝐿𝑎𝑛𝑐𝑎𝑟 𝐻𝑢𝑡𝑎𝑛𝑔 𝐿𝑎𝑛𝑐𝑎𝑟
Dengan model Zmijewski perusahaan berpotensi akan mengalami kebangkrutan jika nilai X > 0, dan jika nilai X < 0 menunjukan perusahaan dalam keadaan sehat.
Teknik Analisis Data
Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis regresi logstik, yang bertujuan untuk menggmabarkan hubungan antara variabel independent dengan variabel dependen, yang dimana variabel dependen tesebut kategorik atau non-parametik (Ghozali, 2018). Variabel dependen berupa hasil dari perhitungan model prediksi kebangkrutan Altman Z-Score, Springate, dan Zmijewski. Dalam pengolahan data dalam penelitian ini menggunakan program software IBM SPSS versi 25. Persamaan Regresi Logistik Berdasarkan masing- masing model prediksi kebangkrutan.
Altman Z-Score Modifikasi
Logit (Y)=log {(Y/(1-Y))} : Probabilitas
perusahaan bangkrut
α
: konstantaX1 : Net working capital to
total asset
X2 : Retained earning to
total asset
X3 : EBIT to total asset
X4 : MVE to BVD
Springate Model
Keterangan:
Logit (Y)=log {(Y/(1-Y))} : Probabilitas
perusahaan bangkrut
α
: konstantaX1 : Net working capital to
total asset
X2 : Net profit before tax to
current liabilities
X3 : Sales to total asset
Zmojewski Model
Keterangan:
Logit (Y)=log {(Y/(1-Y))} : Probabilitas
perusahaan bangkrut
α : konstanta
X1 : Return On Asset
X2 : Debt to Asset Ratio
X3 : Current Ratio
HASIL DAN PEMBAHASAN
Berdasarkan hasil perhitungan dan analisis statistik, perusahaan-perusahaan memiliki tingkat potensi kebangkrutan yang berbeda dari setiap model. Pada model Altman Z-Score, pada periode 2014-2019 sebanyak 65 perusahaan masuk dalam kategori berpotensi bangkrut, 28 perusahaan dalam kondisi grey area, dan 39 perusahaan dalam kategori sehat. Sedangkan pada model Springate pada periode 2014-2019, perusahaan yang masuk pada kategori berpotensi bangkrut sebanyak 115 perusahaan dan 17 perusahaan masuk kategori sehat. Dan yang terakhir, hasil model Zmijewski pada periode 2014-2019 menumjukan, sebanyak 111 perusahaan masuk dalam kategori sehat dan 21 perusahaan masuk pada kategori berpotensi bangkrut.
Pada tabel diatas menunjukan bahwa bahwa setiap model prediksi kebangkrtuan memiliki hasil yang berbeda.
Perbedaan yang sangat kontras terjadi antara model Zmijewski, dimana sebagian besar sampel perusahaan dalam kondisi sehat. Hal ini berbeda dengan hasil perhitungan model Altman Z-Score Modifikasi dan Springate yang dimana sebagian perusahaan dalam kondisi berpotensi bangkrut. Berdasarkan hasil tersebut menunjukan bahwa H1 tidak diterima.
Pengaruh Model Altman Z-Score Terhadap Hasil Prediksi Kebangkrutan
Dalam penelitian ini model Altman Z-Score Modifikasi hanya memasukan sampel perusahaan sehat dan bangkrut yang digunakan dalam penelitian, hal tersebut guna kesamaan dalam analisis statistik pada setiap model prediksi kebangkrutan, sehingga mendapatkan hasil penelitian yang baik.
Berdasarkan tabel diatas, dapat dilihat mengenai informasi variabel-variabel independen mana saja yang mempengaruhi variabel dependen. Dasar pengambilan keputusan diatas adalah jika nilai p<0,05 atau nilai sig. lebih kecil dari pada pada alpha. Maka hal tersebut menunjukan adanya penagruh secara parsial variabel independen terhadap variabel dependen. Variabel yang memberikan penaruh secara parsial dari hasil output SPSS diatas adalah sebagai berikut:
Net Working Capital To Total Asset (X1) tidak berpengaruh terhadap prediksi kebangkrutan.
Variabel X1 (Net working capital to total asset) pada tabel menunjukan nilai signifikansi 0,730 dengan tingkat signifikansi yang digunakan 0,05 berarti nilai 0,730
> 0,05 ini menunjukan bahwa Ha ditolak. Sehingga hasil dari penelitian menunjukan bahwa net working capital to total asset tidak berpengaruh terhadap hasil prediksi kebangkrutan.
Tidak berpengaruh net working capital to total asset terhadap prediksi kebangkrutan dikarenakan rasio net working capital to total asset bukan penentu perusahaan tidak dapat membayar hutang lancarnya, bisa jadi perusahaan membayar hutangnya menggunakan aset tetapnya. Sehingga net working capital to total asset bukan penentu kebangkrutan perusahaan. Hal tersebut dapat dilihat dari adanya perusahaan dalam kondisi sehat berdasarkan perhitungan model Altman Z-Score tetapi memiliki rasio yang kecil atau bahkan negatif, sehingga membuat tidak adanya pengaruh rasio net working capital to total asset terhadap hasil prediksi kebangkrutan Altman Z-Score. Tidak adanya pengaruh net working capital to total asset sesuai dengan penelitianya Widiyawati et al
𝐿𝑜𝑔𝑖𝑡 𝑌 = 𝑙𝑜𝑔
Y1 − Y = α + β1X1 + β2X2 + β3X3 … β4X4
𝐿𝑜𝑔𝑖𝑡 𝑌 = 𝑙𝑜𝑔 Y
1 − Y = α + β1X1 + β2X2 + β3X3
𝐿𝑜𝑔𝑖𝑡 𝑌 = 𝑙𝑜𝑔
Y1 − Y = α + β1X1 + β2X2 + β3X3
Tabel 1 Perusahaan Sehat dan Bangkrut Altman Z-Score Springate Zmijewski Sehat Bangkrut Sehat Bangkrut Sehat Bangkrut
39 65 17 115 111 21
30% 49% 13% 87% 84% 16%
Sumber: Data diolah penulis (2021)
Tabel 2 Uji Parsial Altman Z-Score
B S.E. Wald df Sig.
Step 1a
Net working capital to total asset 1,452 4,212 ,119 1 ,730 Retained earnings to total asset 7,116 2,428 8,588 1 ,003 Earning before interest and tax to
total asset
-2,654 8,645 ,094 1 ,759
Market value of equity to book value of debt
3,445 1,402 6,039 1 ,014
Constant -4,677 1,551 9,086 1 ,003
Sumber: Data diolah penulis (2021)
(2015). Namun, peneltian ini berlawanan dengan hasil penelitianya Odibi et al (2015), dimana hasil penelitianya menunjukan bahwa net working capital to total asset memiliki pengaruh secara signifikan terhadap perusahaan tidak bangkrut dan memiliki pengaruh terhadap perusahaan bangkrut.
Net working capital adalah keseluruhan aktiva lancar yang tersedia setelah dikurangi hutang lancarnya, yang dimana working capital digunakan dalam kegiatan operasional sehari-hari, besarnya working capital dapat ditentukan oleh jenis dan aktivitas perusahaan. Menurut Altman dalam Batchelor (2018) rasio net working capital to total asset sendiri merupakan ukuran efisiensi dan kesehatan keuangan jangka pendek. Rasio net working capital to total asset mengukur aset lancar bersih terhadap aset keseluruhan. Perusahaan dengan rasio yang rendah kemungkinan besar mengalami kerugian operasi yang mengurangi akun working capital menurun relatif terhadap total aset.
Retained earning to total asset (X2) berpengaruh terhadap prediksi kebangkrutan
Retained earning to total asset atau variabel X2 pada tabel 12 menunjukan nilai signifikansi 0,003 dengan tingkat signifikansi yang digunakan 0,05. Ini berarti nilai 0,003 < 0,05 maka dengan ini Ha diterima, artinya dalam penelitian ini menunjukan bahwa retained earning to total asset berpengaruh terhadap hasil prediksi kebangkrutan.
Hasil penelitian ini sesuai dengan yang dilakukan oleh Odibi et al. (2015) yang menunjukan hasil bahwa retained earnings to total asset memiliki hubungan yang positif kuat terhadap perusahaan bangkrut, dan memiliki hubungan yang positif lemah terhadap perusahaan yang tidak bangkkrut.
Adanya pengaruh rasio retained earning to total asset dalam penelitian ini dikarenakan retained earning ini berasal dari laba bersih perusahaan yang tidak dibagikan kepada pemegang saham dalam bentuk dividen. Maka, jika perusahaan dengan kondisi keuangan tidak baik atau dengan kata lain tidak mampu menghasilkan laba bersih positif, retained earning akan menurun. Namun, dalam kondisi keuangan perusahaan yang baik retained earning cenderung stabil atau bahkan naik. Hal ini dapat dilihat dari tinggi rendahnya laba bersih perusahaan, Sehingga, besarnya laba ditahan dipengaruhi oleh laba bersih perusahaan. Artinya semakin rendah rasio ini menunjukan bahwa perusahaan mengalami tahap awal financial distress, jika kondisi ini terus berlanjut bukan tidak mungkin membawa perusahaan pada kebangkrutan.
Earning before interest and tax to total asset (X3) tidak berpengaruh terhadap hasil prediksi kebangkrutan
Berdasarkan tabel diatas, earning before interest and tax to total asset atau variabel X3 menunjukan nilai signifikansi 0,759 atau lebih besar dari 0,05 (0,759>0,05).
Maka Ha ditolak, artinya dalam penelitian ini menunjukan bahwa earning before interest and tax to total asset tidak berpengaruh terhadap prediski potenis kebangkrutan.
Tidak adanya pengaruh dari earning before interest and tax to total asset terhadap hasil kebangkrutan dimungkinkan earning before interest and tax merupakan laba akuntansi, sehingga meskipun dalam laporan keuangan tercatat positif, tetapi bukan jaminan perusahaan mampu menghasilakan kas. karena adanya risiko piutang tidak tertagih atau tidak terealisasi. Dengan kata lain perusahaan transportasi dalam menghasilkan laba sebelum pajak dan
bunga masih tergolong baik secara akuntansi. Rasio earning before interest and tax to total asset dapat menunjukan bahwa jika rasio ini tinggi maka pihak manajemen mampu mengelola aset perusahaan dengan baik, sehingga perusahaan mengasilkan laba sebelum bunga dan pajak yang tinggi. Hasil penelitian ini berlawanan dengan hasil penelitian yang dilakukan Odibi et al. (2015), bahwa earnings before interest and tax to total asset memiliki berpengaruh kuat positif bagi perusahaan tidak bangkrut, dan memiliki pengaruh kuat positif bagi perusahaan bangkrut.
Market value of equity to book value of debt (X4) berpengaruh terhadap prediksi kebangkrutan
Variabel X4 (Market value of equity to book value of debt) pada tabel 12 menunjukan nilai signifikan sebesar 0,014 dengan tingkat signifikan yang digunakan 0,05 artinya 0,014 < 0,05 ini menunjukan bahwa Ha diterima. Sehingga hasil penelitian ini terbukti bawah Market value of equity to book value of debt berpengaruh terhadap hasil prediksi potensi kebangkrutan.
Adanya pengaruh tesebut dikarenakan rasio Market value of equity to book value of debt terhadap prediksi kebangkrutan dalam penelitian ini dikarenakan nilai pasar modal atau Market value of equity memiliki kecenderungan berfluktuasi setiap tahunnya. Sementara nilai buku hutang atau Book value of debt cenderung konstan. Market value of equity yang berfluktuasi bisa disebabkan karena harga pasar saham perusahaan trnasportasi naik, hal tersebut karena investor merespon bahwa dalam kondisi perusahaan yang baik, banyak investor yang tertarik untuk membeli saham perusahaan, sedangkan jika perusahaan dalam kondisi kurang baik, harga saham akan mengalami penurunan sehingga banyak investor yang melepas saham perusahaan yang mengakibatkan nilai pasar saham tersebtu menjadi turun.
Selain dari peningkatan harga saham, tingginya nilai market value of equity dikarenakan perusahaan lebih memilih sumber pendanaan dari pasar modal berupa right issue atau menambah jumlah lembar saham yang beredar kepada publik. Hasil ini sesuai dengan Penelitian yang dilakukan Odibi et al. (2015) yang menunjukan bahwa market value of equity to book value of debt memiliki hubungan moderat positif untuk perusahaan bangkrut, dan memiliki hubungan positif sangat kuat terhadap perusahaan tidak bangkerut.
Varibael Altman Z-Score secara simultan berpengaruh terhadap hasil prediksi kebangkrutan
Secara keseluruhan rasio yang digunakan Altman Z-Score modifikasi dapat memprediksi financial distress yang dialami perusahaan hingga perusahaan tersebut mengalami kebangkrutan. Rasio pertama yaitu net working capital to total asset, dimana rasio ini sebagai indikator tingkat likuiditas perusahaan, semakin kecil atau bahkan negatif menunjukan bahwa perusahaan berpotensi
Tabel 3 Uji Simultan Altman Z-Score
Chi-square df sig
Step 1 Step 110,178 4 ,000
Block 110,178 4 ,000
Model 110,178 4 ,000
Sumber: Data diolah penulis (2021)
mengalami kebangkrutan yang semakin meningkat. Rasio yang kedua yaitu retained earning to total asset, yang menunjukan kemampuan perusahaan dalam menghasilkan laba ditahan, laba ditahan dihasilkan dari laba berih perusahaan setelah dikurangi pajak dan dividen. Laba ditahan ini dapat digunakan perusahaan dianataranya untuk membayar hutang, membiayai operasional perusahaa, melakukan invetasi, dan sebagai modal cadangan. Rasio ketiga adalah earning before interest and tax to total asset, yang menunjukan kemampuan perusahaan dalam menghasilkan laba sebelum pajak dan bunga dengan seluruh totoal asetnya, yang dimana semakin besar rasio ini menunjukan bahwa kemampuan perusahaan dalam menggunakan asetnya secara efisien dan efektif. Rasio keempat market value of equity to book value of debt, yang dimana rasio ini menunjukan kemampuan perusahaan untuk menjamin hutang-hutangnya dengan dengan modal sendiri.
Berdasarkan pengujian variabel independen terhadap variabel dependen secara parsial diatas, dimana X1 (Net working capital to total asset) tidak berpengaruh terhadap hasil prediksi kebangkrutan, X2 (Retained earing to total asset) berpengaruh terhadap hasil prediksi kebangkrutan, X3 (Earning before interest and tax to total asset) tidak berpengaruh terhadap hasil prediksi kebangkrutan, dan X4 (Market value of equity to book value of debt) berpengaruh terhadap hasil prediksi kebangkrutan.
Maka dalam penelitian ini H2 tidak diterima.
Pengaruh Model Springate Terhadap Hasil Prediksi Kebangkrutan
Pada model Springate, saat melakukan analisis statistik terdapat multikolerasi antara variable independent X1 (Net working capital to total asset) dengan X2 (Earning before interest and tax to total asset). Sehingga penulis memutuskan menghilangkan variable X2 dari analisis statistik, dan memutuskan X1 yang digunakan dalam analisis statistik.
Net working capital to total asset berpengaruh terhadap hasil prediksi kebangkrutan
Pada tabel diatas variable X1 (net working capital to total asset) menunjukan nilai signifikan 0,038 dengan tingkat signifikan yang digunakan adalah 0,05, itu berarti nilai 0,038 < 0,05 ini menunjukan bahwa Ha diterima, sehingga hasil dari hasil penelitian terbukti bahwa net working capital to total asset berpengaruh terhadap hasil prediksi potensi kebangkrutan.
Rasio net working capital to total asset memiliki pengaruh terhadap hasil prediksi kebangkrutan, disebabkan oleh net working capital to total asset pada perusahaan trnasportasi setiap tahunya memiliki rasio yang relatif rendah atau bahkan negatif selama priode pengamatan.
Sehingga hasil tersebut memiliki linieritas dengan kondisi perusahaan yang dihitung berdasarkan model Springate, yang dimana perusahaan transportasi sebagian besar berada dalam potensi kebangkrutan. Hasil penelitian ini sesuai
dengan penelitian yang dilakukan oleh Ben et al. (2015) menunjukan bahwa working capital to total asset memiliki pengaruh yang signifikan terhadap prediksi kebangkrutan.
Net working capital membandingkan aset lancar dengan kewajiban lancar, dan berfungsi sebagai cadangan likuid yang tersedia untuk memenuhi kontinjensi dan ketidakpastian. Saldo working capital yang tinggi diwajibkan jika perusahaan tidak dapat meminjam dalam waktu singkat. Rasio tersebut menunjukkan solvabilitas jangka pendek suatu bisnis dan dalam menentukan apakah perusahaan dapat membayar kewajiban lancarnya saat jatuh tempo (Poongavanam & Babu, 2012). Selain itu working capital juga digunakan oleh perusahaan sebagai kegiatan operasional perusahaan sehari-hari. Sehingga net working capital yang rendah atau bahkan negatif menunjukan bahawa perusahaan dalam keadaan kesulitan dalam kegiatan operasionalnya.
Hal tersebut berbeda dengan hasil dari model Altman Z-Score Modifikasi yang menunjukan bahwa net working capital to total asset tidak berpengaruh pada hasil prediksi kebangkrutan dikarenakan rasio selama priode pengamatan tidak memiliki linieritas dengan kondisi perusahaan yang dihitung berdasarkan model Altman Z- Score Modifikasi, yang dimana mesikpun perusahaan dalam keadaan sehat berdasarkan perhitungan Altman Z- Score Modifikasi, bisa saja rasio tersebut sangatlah rendah atau bahkan negatif. Selain itu juga perbedaan hasil ini juga bisa disebabkan oleh perbedaan penggunaan nilai cut off dan koefisen pada model Altman Z-Score modifikasi dan Springate.
Net profit before tax to current liabilities berpengaruh terhadap hasil prediksi kebangkrutan
Dapat dilihat pada tabel diatas nilai signifikan dari Net profit before tax to current liabilities 0,001 dengan nilai signifikan yang digunakan adalah 0,05 itu berarti 0,001 <
0,05 artinya Ha diterima. Maka dalam penelitian ini Net profit before tax to current liabilities berpengaruh terhadap hasil prediksi potensi kebangkrutan.
Adanya pengaruh dari (Net profit before tax to current liabilities) terhadap prediksi
kebangkrutan dikarenakan net profit before tax to current liabilities memiliki linieritas dengan hasil prediksi kebangkrutan model Springate, dimana rata-rata net profit before tax to current liabilities 0,0548, yang artinya laba sebelum pajak dapat menuntup hutang lancarnya hanya 5,48%. Hal tersebut menunjukan rata-rata perusahaan transportasi tidak mampu menutup hutang lancarnya dengan laba sebelum pajak. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian Ben et al. (2015) menunjukan hasil bahwa Net profit before tax to current liabilities berpengaruh positif terhadap hasil prediksi kebangkrutan.
Rasio net profit before tax to current liabilities mengukur bagaimana perusahaan dapat menutupi seluruh hutang lancarnya menggunakan laba sebelum pajak. Semakin tinggi rasio ini menunjukan bahwa perusahaan mampu menutupi hutang lancarnya menggunakan laba sebelum pajak. Namun sebaliknya jika rasio ini rendah atau bahkan negatif maka perusahaan tidak mampu menutupi hutang lancarnya dengan laba sebelum pajak. Hal tersebut jika terjadi dalam waktu yang cukup panjang bisa membawa perusahaan pada financial distress dan mengalami kebangkrutan.
Tabel 4 Uji Parsial Springate
B S.E. Wald df Sig.
Step 1a
Net working capital to total asset
16,177 7,791 4,311 1 ,038
Net profit before tax to total asset
7,272 2,204 10,891 1 ,001
Sales to total asset 11,450 4,290 7,123 1 ,008
Constant -11,307 3,700 9,341 1 ,002
Sumber : Data diolah penulis (2021)
Sales to total asset tidak berpengaruh terhadap hasil prediksi kebangkrutan
Berdasarkan pada tabel 4 X4 (Sales to total asset) memiliki nilai signifikansi 0,008 dengan tingkat signifikansi 0,05 berarti 0,008<0,05, ini berarti Ha diterima.
Artinya Sales to total asset berpengaruh terhadap hasil prediksi kebangkrutan.
Berpengaruhnya sales to total asset dikarenakan pada obejek penelitian, perusahaan transportasi dapat menghasilakan penjualan yang tergolong tinggi. Hal terserbut dapat dilihat dari nilai maximum sebesar 4,78 dan minimum 0,00 dengan rata-rata 0,4867. Itu berarti sales to total asset sebagai indikator keberhasilan perusahaan dalam menjalankan bisnisnya, atau bisa diartikan jika perusahaan menghasilkan penjualan yang kecil atau bahkan negatif, perusahaan kurang berhasil dalam menjual produk barang atau jasanya, sehingga penjualan yang relatif kecil atau negatif terhadap total aset yang dimiliki mengindikasikan gagal menjalankan bisnisnya. Perusahaan pada industri ini selalu mencatatakan penjualan yang cenderung tinggi.
Tingginya penjualan bukan berarti perusahaan mampu mengasilkan aliran kas masuk, penjualan tersebut juga berasal dari penjualan kredit yang memungkinkan tidak tertagihnya piutang, sehingga tidak dapat menghasilkan laba bersih. Selain itu penjualan yang tinggi juga bisa dibarengi dengan biaya yang tinggi sehingga perusahaan tidak dapat mengasilkan laba bersih yang tinggi. Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian Ben et al.
(2015) menunjukan bahwa sales to total asset memiliki pengaruh terhadap hasil prediksi kebangkrutan.
Sales to total asset sendiri merupakan rasio yang digunakan untuk mengukur kemampuan perusahaan menghasilkan penjualan berdasarkan seluruh aset yang dimilikinya. Semakin tinggi rasio ini meunjukan bahwa perusahaan secara efektif menggunakan seluruh asetnya (Hanafi, 2017:40). Rasio ini kurang bergitu penting untuk perusahaan jasa yang relatif memiliki aset tetap yang kecil.
Namun perusahaan yang digunakan dalam penelitian ini merupakan perusahaan jasa transportasi yang berarti walapun bergerak dalam bidang jasa namun memiliki aset tetap yang tinggi. Sehingga rasio ini sangat penting untuk diperhatikan oleh perusahaan.
Variabel Springate secara simultan berpengaruh terhadap hasil prediksi kebangkrutan
Pada tabel 4.15 diatas merupakan hasil uji Omnibus Test of Model Coefficients, dimana pada tabel tersebut menunjukan bahwa nilai Chi-square sebesar 81,421 dengan degree of freedom= 3 dan tingkat signifikansi 0,000 atau lebih kecil dari 0,05, maka dari nilai tersebut Ha diterima yang artinya seluruh variabel independen secara keseluruhan atau simultan berpengaruh terhadap hasil prediksi kebangkrutan Springate.
Secara keseluruhan rasio yang digunakan pada model Springate dapat memprediksi financial distress yang dialami perusahaan hingga perusahaan tersebut mengalami kebangkrutan. Rasio pertama yaitu net working capital to
total asset, dimana rasio ini sebagai indikator tingkat likuiditas perusahaan, semakin kecil atau bahkan negatif menunjukan bahwa perusahaan berpotensi mengalami kebangkrutan yang semakin meningkat. Rasio yang kedua yaitu net profit before tax to current liabilities, yang menunjukan kemampuan perusahaan dalam menutupi hutang lancaranya berdasarkan dari laba sebelum pajak, artinya jika perusahaan mendapatkan laba positif sebelum pajak maka perusahaan tersebut mampu melunasi kewajiban jangka pendeknya atau kewajiban lancarnya, sehingga mengurangi perusahaan dalam kebangkrutan.
Rasio ketiga adalah sales to total asset, yang menunjukan kemampuan perusahaan dalam menggunakan seluruh asetnya untuk menciptakan penjualan. Rasio ini mengukur seberapa besar perusahaan dalam menggunakan asetnya secara efisen untuk menciptakan penjualan, semakin tinggi rasio ini menunjukan bahwa peruahaan dapat menggunakan seluruh asetnya secara efisien. Berdasarkan pengujian variabel independent terhadap variabel dependen secara parsial, diamana X1 (Net working capital to total asset) berpengaruh terhadap hasil prediksi kebangkrutan, X2 (Net profit before tax to current liabilities) berpengaruh terhadap hasil prediksi kebangkrutan, dan X3 (Sales to total asset) berpengaruh terhadap hasil prediksi kebangkrutan. Maka H3 tidak diterima. Tidak diterimanya H3 dikarenkana pada model Springate sendiri memiliki empat variabel, namun dikarenakan memiliki multikolerasi maka variabel earning before interest and tax to total asset dikeluarkan dalam uji regresi logistik.
Variabel Model Zmijewski Berpengaruh Terhadap Hasil Perdiksi Kebangkrutan
Return on asset berpenagruh terhadap hasil prediksi kebangkrutan
Variabel X1 (Return On Asset) pada tabel 32 diatas menunjukan nilai signifikan sebesar 0,011 dengan tingkat signifikan yang digunakan pada penelitian ini adalah 0,05, maka 0,011 < 0,05. Maka berdasarkan nilai tersebut Ha diterima. Jadi berdasarkan penelitian ini X (Return On Asset) berpengaruh terhadap prediksi kebangkrutan Zmijewski.
Adanya pengaruh dari variabel X1 (Return on asset) pada hasil prediksi disebabkan karena laba bersih pada perusahaan dapat digunakan dalam mendanai kembali kegiatan perusahaan, selain itu laba bersih juga akan disimpan dalam bentuk kas sebagai laba ditahan yang dapat digunakan untuk memenuhi kewajiban lancarnya (hutang lancar). perusahaan yang sehat memiliki laba bersih setelah pajak yang positif, yang dimana berdasarkan perhitungan Zmijewski ini sebanyak 111 perusahan dari 132 perusahaan dalam keadaan sehat dengan rata-rata return on asset sebesar 0,127. Namun penelitian Sagala (2015) menunjukan bahwa return on asset tidak berpengaruh terhadap financial distress.
Return on asset merupakan laba setelah bunga dan pajak yang dibagi oleh seluruh aset perusahaan. Rasio ini Tabel 4 Uji Simultan Springate
Chi-square df sig
Step 1 Step 81,421 3 ,000
Block 81,421 3 ,000
Model 81,421 3 ,000
Sumber: Data diolah penulis (2021)
Tabel 6 Uji Parsial Zmijewski
B S.E. Wald df Sig.
Step 1a
Return on asset 34,672 13,700 6,405 1 ,011 Debt to asset ratio -33,000 11,365 8,432 1 ,004
Current ratio -,661 1,012 ,426 1 ,514
Constant 25,908 8,347 9,634 1 ,002
Sumber: Data diolah penulis (2021)
mengukur bagaimana kemampuan perusahaan dalam mengelola dan menggunakan aset untuk mendapatkan laba bersih secara efisien (Hanafi & Halim, 2016). Mengingat dalam penelitian ini merupakan perusahaan transportasi yang dimana memiliki asset tetap yang sangat besar dan biaya investasi yang juga besar maka laba bersih terhadap total aset akan relatif kecil. nilai maksimum return on asset pada industri ini adalah 2,19, nilai minimum 0,66 dengan rata-rata 0,0127.
Debt to asset ratio berpengaruh terhadap hasil prediksi kebangkrutan
Berdasarkan pada tabel diatas variabel X2 (Debt to Asset Ratio) memiliki nilai signifikan sebesar 0,004, dengan tingkat signifikansi yang digunaka dalam penelitian ini adalah sebesar 0,05. Maka 0,004 < 0,05 yang artinya Ha diterima. Maka berdasarkan penelitian ini X2 (Debt to Asset Ratio) berpengaruh terhadap hasil prediksi kebangkrutan Zmijewski.
Terdapatnya pengaruh dari debt to asset ratio terhadap hasil prediksi kebangkrutan dikarenakan penggunaan hutang dalam pendanaan perusahaan atau stuktur modal tergolong dalam batas wajar, dimana rata-rata perusahaan sampel dalam penelitian ini memiliki nilai 0,6733 atau dengan kata lain, rata-rata perusahaan menggunakan hutang sebagai sumber pendaan sebanyak 67,33% dari seluruh asset yang dimiliki. Hal tersebut linier dengan hasil prediksi potensi kebangkrutan Zmijewski, yang dimana hasil perhitungan sebanyak 111 perusahaan (84% dari totoal sampel) dalam kategori sehat. Sehingga menghasilkan pengaruh debt to asset ratio terhadap hasil prediksi kebangkrutan. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan Sagala (2015) dimana leverage (Debt Ratio) berpengaruh secara signifikan terhadap prediksi financial distress.
Menurut Hanafi (2017:41) debt to asset ratio yang tinggi akan meningkatakan perusahaan dalam memperoleh profitabilitas. Hal tersebut terjadi dikarenakan perusahaan hanya membayar bunga hutang yang sifatnya tetap. Namun disisi lain penggunaan hutang yang tinggi dapat mengingkatkan risiko perusahaan akan tidak terbayarnya bunga hutang dan hutang pokoknya jika penjualan perusahaan sedang turun. Maka dapat disimpulkan bahwa debt to asset ratio memiliki trade off, dimana debt to asset ratio dapat meningkatkan profitabilitas namun disis lain memiliki risiko yang tinggi.
Current Ratio tidak berpengaruh terhadap hasil prediksi kebangkrutan Zmijewski
Berdasarkan tabel 4.21 diatas menunjukan bahwa nilai signifikan dari variabel X3 (Current Ratio) sebesar 0,514 dengan tingkat signifikasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebesar 0,05 maka 0,514 > 0,05, itu artinya Ha ditolak. Sehingga berdasarkan hasil penelitian ini menunjukan bahwa Current Ratio tidak berpengaruh terhadap hasil prediksi kebangkrutan Zmijewski.
Tidak adanya pengaruh dari current ratio terhadap hasil prediksi kebangkrutan, dimungkinkan perusahaan dalam memenuhi hutang lancarnya tidak hanya menggunakan aset lancarnya, tetapi juga menggunakan aset tetap. Hal itu dikarenakan current ratio hanya memenuhi kewajiban hutang lancarnya. Jadi current ratio ini bukan penentu perusahaan akan mengalami kebangkrutan. Selain itu dikarenakan berfluktuasinya current ratio pada periode pengamatan penelitian, sehingga tidak ada pengaruh
terhadap hasil prediksi kebangkrutan. Penelitian Sagala (2015) menunjukan bahwa Liquidity (Current Ratio) tidak berpengaruh terhadap financial distress.
Current liabilities adalah rasio yang mengukur kemampuan likuidtas suatu perusahaan. Menurut Hanafi &
Halim (2016) rasio ini digunakan untuk melihat aset lancar perusahaan relatif terhadap utang lancarnya. Meskipun rasio ini bukan mencakup solvabilitas (utang jangka panjang), namun jika rasio ini rendah, dalam jangka panjang maka akan mempengaruhi solvabilitas perusahaan. Tidak adanya pengaruh current liabilities terhadap prediksi kebangkrutan dimungkinkan perusahaan transportasi di Indonesia kurang memperhatikan tingkat likuiditas perusahaannya.
Variabel Zmijewski secara simultan berpengaruh terhadap hasil prediksi kebangkrutan
Pada tabel diatas menunjukan nilai Chi-square sebesar 98,141 dengan degree of freedom= 3 dan tingkat signifikansi 0,000 yang artinya lebih kecil dari 0,05 yang digunakan sebagai nilai signifikansi (0,00<0,05). Maka berdasarkan nilai signifikan tersebut Ha diterima. Hal tersebut menunjukan bahwa variabel rasio pada model Zmijewski secara bersama-sama berpengaruh terhadap hasil prediksi kebangkrutan.
Rasio Zmijewski secara keseluruhan dapat digunakan untuk memprediksi perusahaan yang berpotensi mengalami kebangkrutan. Rasio yang pertama adalah return on asset yang digunakan sebagai pengukur kemampuan perusahaan dalam menghasilkan laba bersih berdasarkan seluruh aset yang dimilikinya, semakin besar rasio ini menunjukan bahwa perusahaan dapat menggunakan seluruh asetnya secara efisien dan efektif dalam menghasilkan keuntungan bagi perusahaan. Rasio yang kedua debt of asset ratio yang menunjukan seberapa banyak pendanaan yang bersumber dari hutang, atau dengan kata lain proporsi hutang terhadap aset perusahaan.
Semakin tinggi rasio ini menunjukan bahwa perusahaan dalam pendanaanya menggunakan banyak hutang, hal tesebut membuat tingkat risiko mengalami kebangkrutan semakin tinggi. Rasio yang ketiga yaitu current liabilities, rasio ini menunjukan seberapa besar hutang lancarnya dijamin oleh aset lancarnya. Semaikn tinggi rasio ini menunjukan bahwa perusahaan mampu untuk membayar hutang lancarnya, sehingga risiko kebangkrutan semakin kecil.
Berdasarkan pengujian variabel independent terhadap variabel dependen secara parsial, dimana X1 (Return on asset) berpenagruh terhadap hasil prediksi kebangkrutan, X2 (Debt to asset ratio) berpengaruh terhadap hasil prediksi kebangkrutan, dan X3 (Current ratio) tidak berpengaruh terhadap hasil prediksi kebangkrutan Zmijewski. Maka dalam penelitian ini H4 tidak diterima.
KESIMPULAN DAN SARAN
Berdasarkan pada hasil dan pembahasan diatas maka dapat disumpulkan bahwa berdasarkan masing- masing model prediksi kebangkrutan memiliki hasil yang
berbeda, dimana berdasarkan model Altman Z-Score Modifikasi dan model Springate sebagian besar perusahaan dalam kondisi berpotensi bangkrut. Sedangkan berdasarkan model Zmijewski mayoritas sampel perusahaan dalam kondisi sehat. Pada model Altman Z-Score Modifikasi variabel yang berpengaruh terhadap hasil prediksi kebangkrutan adalah variabel X2 (retained earning to total asset) dan X4 (Market value of equity to book value of debt).
Sedangkan X1 (Net working capital to total asset) dan X3 (Earning before interest and tax to total asset) tidak berpengaruh. Variable yang memiliki pengaruh pada hasil model Springate adalah X1 (Net working capital to total asset), X2 (Net profit before tax to current liabilities), dan X3 (sales to total asset). Sedangkan pada model Zmijewski variabel yang berpengaruh X1 (Return On Asset) dan X2 (Debt to asset ratio) berpengaruh terhadap hasil prediksi kebangkrutan. Variabel X3 (Current ratio) tidak berpengaruh terhadap hasil prediksi kebangkrutan. Jadi, kesimpulannya bahwa Hipotesis (H1, H2, H3, dan H4) yang disusun dalam penelitian ini semuanya tidak diterima.
Saran untuk penelitian selanjutnya mencoba untuk menggunakan alat analisis stastik regresi linier berganda dengan variable dependent berupa nilai dari hasil prediksi kebangkrutan atau bukan variable dummy, menambah periode waktu, dan dilakukan pada industri lain.
REFERENSI
(2017). In K. R. Subramanyam, Analisis Informasi Keuangan (p. 4). Jakarta: Salemba Empat.
Adnan, M. A. (2000). Analisis Tingkat Kesehatan Perusahaan.
Alim, A. F. (2017). Analisis Prediksi Kebangkrutan dengan Model Altman Z- Score Pada Perusahaan Makanan dan Minuman yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia Analisis Prediksi Kebangkrutan Dengan Model Altman Z- Score Pada Perusahaan Makanan dan Minuman yang Terdaftar di Bursa.
Skripsi.
Altman , E. I. (1968). Financial Ratio, Discriminant Analysis And The Prediction Of Corporate Bankcruptcy. The Journal Of Finance, 5(1), 1-8.
Anjum, S., & Siddiqui. (2012). Business Bankruptcy Prediction Models: A Significant Study of the Altman’s Z-Score Model. SSRN Electronic Journal, 3(1), 212-219.
Avenhuis, J. O. (2013). Testing The generalizability of The Bankruptcy Prediction Models of Altman , Ohlson and Zmijewski for Dutch listed and large non-listed. Journal of Business Administration, 38-39.
Batchelor, T. (2018). Corporate Bankcruptcy: Testing the Efficacy of the Altman Z-Score. International Research Journal of Applied Finance, IX, 404- 415.
Ben, D. A., AR, M. D., & Topowijono. (2015). Analisis Metode Springate (S-Score) Sebagai Alat Untuk Memprediksi Kebangkrutan Perusahaan (Studi Pada Perusahaan Property dan Real Estate Yang
Listing DI Bursa Efek Indonesia Pada Tahun 2011-2013). Jurnal Administrasi Bisnis S1, 21(1), 1-9.
Gamayuni , R. R. (2009). Berbagai Model Prediksi Kebangkrutan. Jurnal Akuntansi dan Keuangan.
Ghozali, I. (2018). In I. Ghozali, Aplikasi Analisis Multivariate Dengan Program SPSS IBM SPSS 25 (p. 19). Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponergoro.
Hanafi, M. M. (2017). Manajemen Keuangan. Yogyakarta:
BPFE Yogyakarta.
Hanafi, M. M., & Halim, A. (2016). Analisis Informasi Keuangan. Yogyakarta: UPP STIM YKPN.
Husein, M. F., & Pambekti, G. T. (2015). Precision of the model of Altman, Springate, Zmijewski, and Grover for predicting the financial distress.
Journal of Economic, Business & Accuntancy Ventura,, 3(17), 450.
Kumaidi, R. K., & Asandimitra, N. (2017). Pengaruh ROA, ROE, DER, Dan LDR Terhadap Harga Saham Sektor Perbankan BEI Periode 2011-2016 (Dengan Penggolongan Kapitalisasi Kecil Dan Kapitalisasi Besar). Jurnal Ilmu Manajemen, 5(3).
Melanie, I. (2007). Analisis Z-Score Dalam Memprediksi Kebangkrutan Studi Empiris Pada Perusahaan Farmasi, Food dan Beverages yang terdafar di Bursa Efek Jakarta 2001-2004. Skripsi.
Odibi, I. B. (2015). Bankruptcy Prediction Using Altman Z-Score Model: a Case of Public Listed Manufactuirng Companies in Malayasia.
Inernational Journal of Accounting & Business Management(4), 60-64.
Poongavanam, & Babu, S. (2012). A Study on Measuring the Financial Health of Bhel (Ranipet) Using Z Score Model. Journal of Commerce and Accounting Research, 1(4), 60-64.
Sagala, L. (2015). Pengaruh Rasio Keuangan dalam Memprediksi Potensi Kebangkrutan pada Perusahaan Customer Goods yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia. Jurnal Manajemen dan Bisnis, 15(No. 1), p-ISSN 1412-0593.
Sjahdeini, S. R. (2009). Hukum Kepailitan Memahami Undang-Undang NO. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.
Suhadak, K. (2019). Stock returns and financial performance as mediation variables in the influence of good corporate governance on corporate value. Corporate Governance
(Bingley), 19(6), 1289-1309. doi:10.1108/CG-10- 2018-0308
Widiyawati, A. T., Utomo, S. W., & Nik, A. (2015).
Analisis Rasio Altman Z-Score Modifikasi Pada Prediksi Kebangkrutan Perusahaan Property Dan
Real Estate Yang Terdaftar DI BEI. Jurnal Akuntansi dan Pendidikan, 4(2), 112.