ANALISIS PENURUNAN MUTU MINYAK GORENG SETELAH PEMAKAIAN BERULANG DENGAN SUHU YANG
BERBEDA
SKRIPSI
MUH. WELIS 1322060248
PROGRAM STUDI AGROINDUSTRI D-IV
JURUSAN TEKNOLOGI PENGOLAHAN HASIL PERIKANAN POLITEKNIK PERTANIAN NEGERI
PANGKAJENE DAN KEPULAUAN
2017
ii
iii
iv
SURAT PERNYATAAN KEASLIAN Yang bertanda tangan dibawah ini,
Nama Mahasiswa : Muh. Welis
Nim : 1322060248
Prodi : Agroindustri
Angkatan : XXVI
Perguruan Tinggi : Politeknik Pertanian Negeri Pangkep
Menyatakan dengan sebenarnya bahwa skripsi yang saya tulis ini dengan judul analisis “Penurunan Mutu Minyak Goreng Setelah Pemakaian Berulang Dengan Suhu Yang Berbeda” adalah benar merupakan hasil karya saya sendiri, bukan merupakan pengambil alih tulisan atau pemikiran orang lain.
Apabila dikemudian hari terbukti dan dapat dibuktikan bahwa skripsi ini hasil karya orang lain, saya bersedia menerima sanksi atas perbuatan tersebut.
Pangkep, 28 Juli 2017 Yang Menyatakan,
Muh. Welis
v
RINGKASAN
Muh. Welis, 1322060248. Analisis Penurunan Mutu Minyak Goreng Setelah Pemakaian Berulang Dengan Suhu Yang Berbeda dibawah bimbingan Tasir dan Ridwan Makkulawu.
Telah dilakukan penelitian mengenai analisis penurunan mutu minyak goreng setelah pemakaian berulang dengan suhu yang berbeda. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis kelayakan pakai minyak goreng dengan cara membandingkan dengan SNI tentang standar mutu minyak goreng pada tanpa penggorengan, penggorengan pertama, kedua, ketiga, dan penggorengan keempat dengan menggunakan bahan pangan tempe dengan perbandingan suhu antara 150
0C dan 160 0C. Parameter pengamatan pada peneletian ini adalah bilangan asam, bilangan peroksida, kadar air, dan nilai absorbansi warna. Hasil penelitian menunjukkan bilangan asam, bilangan peroksida, dan nilai absorbansi warna pada minyak semakin meningkat hingga penggorengan keempat. Persentase bilangan asam tanpa penggorengan, penggorengan pertama, kedua, ketiga dan keempat pada suhu 150 0C berturut-turut 0,2 Mg KOH/g, 0,52 Mg KOH/g, 0,77 Mg KOH/g, 1,06 Mg KOH/g, dan 1,63 Mg KOH/g, Sedangkan pada suhu 160 0C berturut- turut 0,43 Mg KOH/g, 0,55 Mg KOH/g 0,93 Mg KOH/g, 1,28 Mg KOH/g, 1,76 Mg KOH/g. Bilangan peroksida pada suhu 150 0 berturut-turut adalah 1,94 Mek O2/kg, 5,93 O2/kg, 10,05 Mek O2/kg, 15,75 Mek O2/kg dan 17,76 Mek O2/kg, Sedangkan pada suhu 160 0C berturut- turut 1,97 Mek O2/kg, 7,87 Mek O2/kg, 13,78 Mek O2/kg, 19,47 Mek O2/kg, 23,71 Mek O2/kg. Nilai Absorbansi warna pada suhu 150 0C berturut-turut adalah 0,16, 0,17, 0,19, 0,20, 0,24. Sedangkan pada suhu 160 0C berturut- turut 0,19, 0,23, 0,24, 0,34,0,35.
Untuk nilai kadar air pada minyak semakin menurun hingga penggorengan keempat. Persentase kadar air pada suhu 150 0C berturut-turut adalah 1,03 % b/b, 0,92 % b/b, 0,87 % b/b, 0,30 % b/b dan 0,06 % b/b. Sedangkan pada suhu 160 0C berturut-turut 23,71% b/b, 0,37% b/b, 0,32% b/b, 0,20% b/b, 0,18% b/b dan 0,05% b/b.
Kata Kunci : Penggorengan, Tempe, Bilangan Asam, Bilangan Peroksida, Nilai Absorbansi Warna, Dan Kadar Air.
vi ABSTRAK
Muh. Welis, 1322060248. Analysis of Reduced Quality of Cooking Oil After Repeated Use With Different Temperatures under the guidance of Ir. Tasir, M.Si and Dr. A. Ridwan Makkulawu, ST, MT.
A study has been conducted on the analysis of quality reduction of cooking oil after repeated use with different temperatures. This study aims to analyze the feasibility of using cooking oil by comparing with SNI about the standard of cooking oil quality without frying, first frying, second, third and fourth fryer by using tempeh food with temperature ratio between 150 0C and 160 0C. Observation parameters in this research are acid number, peroxide number, moisture content, and color absorbance value. The results showed the acid number, peroxide number, and the color absorbance value of the oil increased until the fourth frying. Percentage of acid number without frying pans, first frying, second, third and fourth at temperature 150 0C consecutive 0.2 Mg KOH / g, 0,52 Mg KOH / g, 0,77 Mg KOH / g, 1.06 Mg KOH / G, and 1.63 Mg KOH / g, whereas at a temperature of 160 0C 0.43 Mg KOH / g, 0.55 Mg KOH / g 0.93 Mg KOH / g, 1.28 Mg KOH / g , 1.76 Mg KOH / g. Peroxide numbers at a temperature of 150 0 are 1.94 Mek O2 / kg, 5.93 O2 / kg, 10.05 Mek O2 / kg, 15.75 Mek O2 / kg and 17.76 Mek O2 / kg, respectively At a temperature of 160 0C in a row 1.97 Mek O2 / kg, 7.87 Mek O2 / kg, 13.78 Mek O2 / kg, 19.47 Mek O2 / kg, 23.71 Mek O2 / kg. Color absorbance values at 150 0C were 0.16, 0.17, 0.19, 0.20, 0.24, respectively. While at a temperature of 160 0C successively 0.19, 0.23, 0.24, 0.34.0.35. For the value of moisture content in the oil decreases to the fourth frying pan. The percentage of moisture content at temperature of 150 0C is 1.03% w / w, 0.92% w / w, 0.87% w / w, 0.30% w / w and 0.06% w / w respectively . While at a temperature of 160 0C 23,71% w / w, 0.37% w / w, 0.32% w / w, 0.20% w / w, 0.18% w / w and 0, respectively, 05% w / w.
Keywords: Frying, Tempe, Acid Numbers, Peroxide Numbers, Color Absorbance Values, And Water Content.
vii
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat dan hidayah-nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Analisis Penurunan Mutu Minyak Goreng Setelah Pemakaian Berulang Dengan Suhu Yang Berbeda” sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar S.St (Sarjana Sains Terapan). Shalawat dan salam senantiasa tercurahkan kepada teladan kita Rasulullah Muhammad SAW.
Doa dan bakti penulis persembahkan kepada kedua orang tuaku ayahanda Kadir dan ibunda Kasma yang telah memberikan dukungan, semangat, bantuan materi maupun moril sehingga penulis dapat berdiri menghadapi setiap tantangan hidup didunia ini.
Sebuah karya sebenarnya sangat sulit tanpa bantuan orang lain, begitu pula dengan skripsi ini tidak dapat terselesaikan tanpa bimbingan dan sumbangsih pemikiran dari berbagai pihak. maka dari itu penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada Ir. Tasir, M.Si dan Dr. A. Ridwan Makkulawu, ST, M.Sc selaku pembimbing yang telah memberikan saran, kritikan, waktu, motivasi kepada penulis. Dan dengan kerendahan hati tidak lupa pula penulis mengucapkan terima kasih kepada :
1. Dr. Ir.Darmawan, M.P selaku Direktur Politeknik Pertanian Negeri Pangkep.
2. Ir. Nurlaeli fattah, M.Si selaku Ketua Jurusan Teknologi Pengolahan Hasil Perikanan.
3. Zulfitriany Dwi Mustaka, SP, MP selaku Ketua Program Studi Agroindustri.
4. Teknisi Jurusan Teknologi Pengolahan Hasil Perikanan dan Agroindustri yang telah membantu penulis dalam proses penelitian.
5. Serta teman-teman Mahasiswa Jurusan Teknologi Pengolahan Hasil Perikanan dan Agroindustri yang selalu membantu dan memberikan semangat selama proses penelitian sampai pada penyusunan skripsi.
viii
Penulis menyadari bahwa dalam skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, sehingga saran dan kritik yang sifatnya membangun sangat diharapkan demi kesempurnaan skripsi ini.
Akhirnya dengan segala kerendahan hati penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak terkhusus pada penulis itu sendiri.
Amin yaa rabbal alamin.
Pangkep, 07 Juli 2017
Penulis
ix DAFTAR ISI
Halaman HALAMAN JUDUL
HALAMAN PENGESAHAN ... ii
LEMBAR PERSETUJUAN PENGUJI ... iii
SURAT PERNYATAAN KEASLIAN ... iv
RINGKASAN ... v
ABSTRAK ... vi
KATA PENGANTAR ... vii
DAFTAR ISI ... ix
DAFTAR TABEL ... xi
DAFTAR GAMBAR ... xii
DAFTAR LAMPIRAN ... xiii
BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1
B. Rumusan Masalah ... 2
C. Tujuan Penelitiaan ... 2
D. Manfaat Penelitian ... 2
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA A. Minyak goreng ... 4
B. Minyak kelapa sawit ... 6
C. Sifat fisik dan kimia minyak goreng ... 9
D. Kerusakan minyak goreng ... 11
E. Perubahan mutu minyak goreng ... 14
F. Proses penggorengan ... 15
G. Tempe ... 18
BAB III. METODE PENELITIAN A. Waktu dan tempat ... 20
B. Alat dan bahan ... 20
C. Prosedur penelitian ... 20
x
D. Rancangan percobaan ... 20
E. Perlakuan ... 21
F. Parameter pengamatan ... 21
G. Pengolahan data ... 24
H. Diagram alir penelitian ... 25
BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Bilangan asam ... 26
B. Bilangan Peroksida ... 27
C. Kadar air ... 29
D. Nilai absorbansi warna ... 30
BAB V. PENUTUP A. Kesimpulan ... 32
B. Saran ... 32
DAFTAR PUSTAKA ... 34
LAMPIRAN ... 36
RIWAYAT HIDUP ... 50
xi
DAFTAR TABEL
No.Teks Halaman
Tabel 1 SNI 3741-2013 Standar mutu minyak goreng ... 5 Tabel 2 Komposisi trigliserida dalam minyak kelapa sawit ... 8 Tabel 3 Komposisi asam lemak minyak kelapa sawit ... 8 Tabel 4 Komposisi senyawa yang tidak tersabunkan dalam minyak sawit .. 9
xii
DAFTAR GAMBAR
Teks Halaman
Gambar 1 Molekul asam lemak menurut reaksi ... 6
Gambar 2 Struktur asam lemak ... 7
Gambar 3 Proses pembentukan asam lemak bebas ... 15
Gambar 4 Diagram alir penelitian ... 25
Gambar 5 Diagram perbandingan Bilangan asam ... 26
Gambar 6 Diagram perbandingan Bilangan peroksida ... 28
Gambar 7 Diagram perbandingan Kadar air ... 29
Gambar 8 Diagram perbandingan Nilai absorbansi warna ... 30
xiii
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman 1. Data Pengujian
a. Data pengujian bilangan asam ... 36
b. Data pengujian bilangan peroksida ... 36
c. Data pengujian kadar air ... 36
d. Data pengujian Nilai absorbansi warna ... 37
2. Hasil Olah data SPSS 16.0 a. Deskriptif bilangan asam ... 38
b. Hasil analisa ragam bilangan asam ... 38
c. Hasil Uji Tukey bilangan asam ... 39
d. Deskriptif bilangan peroksida ... 40
e. Hasil analisa ragam bilangan peroksida ... 40
f. Hasil Uji Tukey bilangan peroksida ... 41
g. Deskriptif kadar air ... 42
h. Hasil analisa ragam kadar air ... 42
i. Hasil Uji Tukey kadar air ... 43
j. Deskriptif nilai absorbansi warna ... 44
k. Hasil analisa ragam nilai absorbansi warna ... 44
l. Hasil Uji Tukey nilai absorbansi warna ... 45
3. Dokumentasi Penelitian ... 47
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang
Minyak merupakan sumber energi bagi manusia (9kal/g), wahana bagi vitamin larut lemak seperti vitamin A, D, E, dan K, meningkatkan citarasa dan kelezatan makanan dan memperlambat rasa lapar. Minyak penting dalam proses penggorengan bagi industri makanan gorengan. Apalagi menu makanan gorengan umumnya lebih disukai oleh sebagian besar masyarakat. Oleh karena itu kebutuhan akan minyak goreng terus meningkat dari tahun ketahun.
Minyak goreng adalah salah satu kebutuhan pokok masyarakat Indonesia dalam rangka pemenuhan kebutuhan sehari-hari. Masyarakat kita sangat majemuk dengan tingkat ekonomi yang berbeda-beda. Ada masyarakat yang menggunakan minyak goreng hanya untuk sekali pakai, namun ada juga masyarakat yang menggunakan minyak goreng berkali-kali.
Secara umum dikenal dua teknik menggoreng, yaitu menggoreng gangsa (pan frying/contact frying) dan deep frying. Teknik menggoreng gangsa (pan frying/contact frying) adalah bahan secara langsung bersentuhan dengan pemanas dan hanya dibatasi oleh selaput tipis minyak, sedangkan deep frying merupakan proses menggoreng yang memungkinkan bahan pangan terendam dalam minyak dan seluruh bagian permukaannya mendapat perlakuan panas yang sama.
Pada proses penggorengan, minyak goreng berfungsi sebagai medium penghantar panas, menambah rasa gurih, menambah nilai gizi dan kalori dalam bahan pangan. Minyak goreng yang dikonsumsi sangat erat kaitannya bagi kesehatan kita. Minyak yang berulang kali digunakan dapat menyebabkan penurunan mutu bahkan akan menimbulkan bahaya bagi kesehatan.
Penggunaan minyak goreng berulang kali akan mengakibatkan kerusakan minyak. Berbagai macam reaksi yang terjadi selama proses penggorengan seperti reaksi oksidasi, hidrolisis, polimerisasi, dan reaksi dengan logam dapat mengakibatkan minyak menjadi rusak. Kerusakan tersebut menyebabkan minyak menjadi berwarna kecoklatan, lebih kental,
2
berbusa, berasap, serta meninggalkan odor yang tidak disukai pada makanan hasil gorengan. Perubahan akibat pemanasan tersebut antara lain disebabkan oleh terbentuknya senyawa yang bersifat toksik dalam bentuk hidrokarbon, asam asam lemak hidroksi, epoksida, senyawa-senyawa siklik, dan senyawa senyawa poplimer (Ketaren, 2008).
Penggunaan minyak secara berulang akan mempengaruhi mutu minyak goreng. Penggunaan minyak yang tidak lagi bermutu baik akan menimbulkan berbagai macam penyakit, seperti penyakit jantung koroner dan lain-lain. Oleh karena itu minyak dengan pemakaian berulang perlu dianalisis untuk diketahui kualitasnya. Uji kualitas minyak dapat ditentukan dengan asam lemak bebas, bilangan peroksida dan kadar air, dan nilai absorbansi warna.
B. Rumusan Masalah
1. Berapa bilangan asam, bilangan peroksida, kadar air, dan nilai absorbansi warna pada minyak goreng yang telah digunakan untuk menggoreng 0 kali, 1 kali, 2 kali, 3 kali dan 4 kali pada penggorengan dengan suhu 150
0C dan suhu 160 0C ?
2. Apakah ada perbedaan peningkatan bilangan asam, bilangan peroksida, kadar air, dan nilai absorbansi warna pada suhu penggorengan 150 0C dan suhu 160 0C ?
3. Apakah bilangan asam, bilangan peroksida, kadar air, dan nilai absorbansi warna pada minyak goreng yang digunakan secara berulang sesuai dengan batas maksimal yang di tetapkan oleh SNI ?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganilisis bilangan asam, bilangan peroksida, kadar air, dan nilai absorbansi warna pada minyak goreng yang telah digunakan untuk menggoreng secara berulang serta membandingkan dengan batas maksimal yang ditetapkan oleh SNI.
D. Manfaat Penelitian
1. Sebagai informasi kepada masyarakat untuk membatasi dalam mengkomsumsi gorengan dengan minyak goreng yang pemakaiannya berulang kali.
3
2. Sebagai bahan pertimbangan bagi masyarakat untuk meminimalisir penggunaan minyak goreng berulang.
3. Menambah pengetahuan bagi penulis tentang kandungan asam lemak bebas, bilangan peroksida, kadar air, dan nilai absorbansi pada minyak goreng.
4. Sebagai informasi bagi peneliti yang ingin melakukan penelitian selanjutnya.
4 BAB II
TINJAUAN PUSTAKA A. Minyak Goreng
Minyak merupakan zat makanan yang penting untuk menjaga kesehatan tubuh manusia. Selain itu minyak juga merupakan sumber energi yang lebih efektif dibandingkan karbohidrat dan protein. Satu gram minyak dapat menghasilkan 9 kal, sedangkan karbohidrat dan protein hanya menghasilkan 4 kal/gram. Minyak, khususnya minyak nabati, mengandung asam-asam lemak esensial seperti asam linoleat, lenolenat, dan arakidonat yang dapat mencegah penyempitan pembuluh darah akibat penumpukan kolesterol. Minyak juga berfungsi sebagai sumber dan pelarut bagi vitamin- vitamin A, D, E dan K. (Ketaren, 2008).
Minyak merupakan campuran dari ester asam lemak dengan gliserol.
Jenis minyak umumnya dipakai untuk menggoreng adalah minyak nabati seperti minyak sawit, minyak kacang tanah, minyak wijen dan sebagainya.
Minyak goreng jenis ini mengandung sekitar 80% asam lemak tak jenuh jenis asam oleat dan linoleat, kecuali minyak kelapa (Sartika, 2009).
Minyak goreng adalah minyak atau lemak yang berasal dari pemurnian bagian tumbuhan, hewan, atau dibuat secara sintetik yang dimurnikan dan biasanya digunakan untuk menggoreng makanan. Minyak goreng kebanyakan diperoleh dari tumbuhan, seperti kelapa, serealia, kacang- kacangan, jagung, kedelai, dan kanola. (Wikipedia, 2017)
Minyak goreng adalah salah satu kebutuhan pokok masyarakat Indonesia dalam rangka pemenuhan kebutuhan sehari-hari. Minyak goreng berfungsi sebagai medium penghantar panas, menambah rasa gurih, menambah nilai gizi dari kalori dalam bahan pangan seperti minyak goreng dan margarin. Minyak goreng yang kita konsumsi sehari-hari sangat erat kaitannya dengan kesehatan kita (Sutiah, dkk., 2008).
Mutu minyak goreng ditentukan oleh titik asapnya, yaitu suhu pemanasan minyak sampai terbentuk akreolein yang tidak diinginkan dan dapat menimbulkan rasa gatal pada tenggorokan hidrasi gliserol akan
5
membentuk aldehida tidak jenuh atau akrelein tersebut. Makin tinggi titik asap, makin baik mutu minyak goreng itu. Titik asap suatu minyak goreng tergantung dari kadar gliserol bebas. Lemak yang telah digunakan untuk menggoreng titik asapnya akan turun, karena telah terjadi hidrolisis molekul lemak. Oleh karena itu untuk menekan terjadinya hidrolisis, pemanasan lemak atau minyak sebaiknya dilakukan pada suhu yang tidak terlalu tinggi dari seharusnya (Winarno, 2004).
Adapun standar mutu minyak goreng di Indonesia diatur dalam SNI 3741-2013, SNI ini merupakan revisi dari SNI 01-3741-2002, menetapkan bahwa standar mutu minyak goreng seperti pada tabel 1 berikut ini :
Tabel 1. Tabel SNI 3741-2013 tentang standar Mutu Minyak Goreng
KRITERIA UJI SATUAN SYARAT
Keadaan bau, warna dan rasa - Normal
Kadar air dan bahan menguap
% b/b Maks 0,15
Bilangan asam Mg KOH/g Maks 0,6
Bilangan peroksida Mek O2/kg Maks 10
Minyak pelikan - Negatif
Asam linolenat (C 18:3) dalam komposisi asam lemak minyak
% Maks 2
Cemaran Logam : - Kadmium (Cd) - Timbal (Pb) - Timah (Sn) - Merkuri (Hg)
- Cemaran Arsen (As)
Mg/Kg Mg/Kg Mg/Kg Mg/Kg Mg/Kg
Maks 0,2 Maks 0,1
Maks 40,0/250,0*
Maks 0,05 Maks 0,1 Catatan - Pengambilan contoh dalam bentuk kemasan di pabrik
- * dalam kemasan kaleng
Sumber : Standar Nasional Indonesia 3741-2013
6 B. Minyak Kelapa Sawit
Minyak kelapa sawit diperoleh dari pengolahan buah kelapa sawit (Elaeis guinensis jacq}. Secara garis besar buah kelapa sawit terdiri dari serabut buah (pericarp) dan inti (kernel). Serabut buah kelapa sawit terdiri dari tiga lapis yaitu lapisan luar atau kulit buah yang disebut pericarp, lapisan sebelah dalam disebut mesocarp atau pulp dan lapisan paling dalam disebut endocarp. Inti kelapa sawit terdiri dari lapisan kulit biji (testa), endosperm dan embrio.
Mesocarp mengandung kadar minyak rata-rata sebanyak 56%, inti (kernel) mengandung minyak sebesar 44%, dan endocarp tidak mengandung minyak.
(Nurhida, 2004)
Minyak kelapa sawit seperti umumnya minyak nabati lainnya adalah merupakan senyawa yang tidak larut dalam air, sedangkan komponen penyusunnya yang utama adalah trigliserida dan nontrigliserida. (Nurhida, 2004).
1. Trigliserida Pada Minyak Kelapa Sawit.
Seperti halnya lemak dan minyak lainnya, minyak kelapa sawit terdiri atas trigliserida yang merupakan ester dari gliserol dengan tiga molekul asam lemak menurut reaksi sebagai berikut :
O
CH2OH CH2 __ O __ C __ R1
O
CHOH + 3 RCOOH CH ___ O__C + R2 + 3 H2O O
CH2OH CH2 ___O___ C ___ R3
Gliserol Asam Lemak Trigliserida
Gambar 1 : Molekul asam lemak menurut reaksi
7
Bila R, = RZ = R3 atau ketiga asam lemak penyusunnya sama maka trigliserida ini disebut trigliserida sederhana, dan apabila salah satu atau lebih asam lemak penyusunnya tidak sama maka disebut trigliserida campuran.
Asam lemak merupakan rantai hidrokarbon yang setiap atom karbonnya mengikat satu atau dua atom hidrogen kecuali atom karbon terminal mengikat tiga atom hidrogen, sedangkan atom karbon terminal lainnya mengikat gugus karboksil. Asam lemak yang pada rantai hidrokarbonnya terdapat ikatan rangkap disebut asam lemak tidak jenuh, dan apabila tidak terdapat ikatan rangkap pada rantai hidrokarbonnya karbonnya disebut dengan asam lemak jenuh. Secara umum struktur asam lemak dapat diGambarkan sebagai berikut :
Makin jenuh molekul asam lemak dalam molekul trigliserida, maka semakin tinggi titik beku atau titik cair minyak tersebut .Sehingga pada suhu kamar biasanya berada pada fase padat. Sebaliknya semakin tidak jenuh asam lemak dalam molekul trigliserida maka makin rendah titik helm atau titik.cair minyak tersebut sehingga pada suhu kamar berada pada fase cair.
Minyak kelapa Sawit adalah lemak semi padat yang mempunyai komposisi yang tetap.
Berikut ini adalah tabel dari komposisi trigliserida dan tabel komposisi asam lemak dari minyak kelapa sawit.
8
Tabel 2. Komposisi Trigliserida Dalam Minyak Kelapa Sawit.
Trigliserida Jumlah (%)
Tripalmitin
Dipalmito – Stearine Oleo – Miristopalmitin Oleo – Dipalmitin Oleo- Palmitostearine Palmito – Diolein Stearo – Diolein Linoleo - Diolein
3 –5 1 – 3 0 – 5 21 – 43 10 – 11 32 – 48 0 – 6 3 – 12 Sumber : Ketaren , S . 1986.
Tabel 3. komposisi Asam Lemak Minyak Kelapa Sawit.
Asam Lemak Jumlah (%)
Asam Kaprilat Asam kaproat Asam Miristat Asam Palmitat Asam Stearat Asam Oleat Asam Laurat Asam Linoleat
- - 1,1 – 2,5
40 – 46 3,6 – 4,7
30 – 45 - 7 – 11 Sumber : Ketaren , S . 1986.
2. Senyawa Non Trigliserida Pada Minyak Kelapa Sawit.
Selain trigliserida masih terdapat senyawa non trigliserida dalam jumlah kecil. Yang termasuk senyawa non trigliserida ini antara lain : motibgliserida, diglisrida, fosfatida, karbohidrat, turunan karbonidrat., protein, beberapa mesin dan bahan-bahan berlendir atau getah (gum) serta zat-zat berwarna yang memberikan warna serta rasa dan bau yang tidak diinginkan. Dalam proses pemurnian dengan penambahan alkali (biasanya disebut dengan proses penyabunan) beberapa senyawa non trigliserida ini
9
dapat dihilangkan, kecuali beberapa senyawa yang disebut dengan senyawa yang tak tersabunkan seperti tercantum dalam tabel 3.
Tabel 4. Komposi Senyawa Yang Tak Tersabunkan Dalam Minyak Sawit.
Senyawa % ppm
Karotenoida α - Karotenoida β - Karotenoida ɣ - Karotenoida Likopene
Xantophyl Tokoperol α - tokoperol ɣ - tokoperol δ – tokoperol Σ + Ҕ + tokoperol Sterol
Kolesterol Kompesterol Stigmasterol β - sitosterol Phospatida Alkohol Total
Triterpenik alkohol Alifatik alkohol
36,2 54,4 3,3 3,8 2,2 35 35 10 20 4 21 21 63 80 26
500-700 500-800 Mendekati 300 Mendekati 800
Sumber : Jakobsberg. 1969
C. Sifat Fisik Dan Kimia Minyak Goreng
Parameter kualitas minyak meliputi sifat fisik dan sifat kimia. Sifat fisik minyak meliputi warna, bau, kelarutan, titik cair dan polimorphism, titik didih, titik pelunakan, slipping point, shot meltingpoint; bobot jenis, viskositas, indeks bias, titik kekeruhan (turbidity point), titik asap, titik nyala dan titik api.
10
Standar mutu adalah merupakan hal yang penting untuk menentukan minyak yang bermutu baik. (Sutiah, dkk., 2008).
Sifat fisik minyak meliputi Odor dan flavor, terdapat secara alami dalam minyak dan juga terjadi karena pembentukan asam-asam yang berantai sangat pendek. Kelarutan, minyak tidak larut dalam air kecuali minyak jarak (castor oil), dan minyak sedikit larut dalam alkohol, etil eter, karbon disulfide dan pelarut-pelarut halogen. Titik cair dan polymorphism, minyak tidak mencair dengan tepat pada suatu nilai temperatur tertentu. Polymorphism adalah keadaan dimana terdapat lebih dari satu bentuk kristal. Titik didih (boiling point), titik didih akan semakin meningkat dengan bertambah panjangnya rantai karbon asam lemak tersebut. Titik lunak (softening point), dimaksudkan untuk identifikasi minyak tersebut. Sliping point, digunakan untuk pengenalan minyak serta pengaruh kehadiran komponen-komponennya.
Shot melting point, yaitu temperatur pada saat terjadi tetesan pertama dari minyak atau lemak. Bobot jenis, biasanya ditentukan pada temperatur 25 0C, akan tetapi dalam hal ini dianggap pentig juga untuk diukur pada temperature 40 0C atau 60 0C. Titik asap, titik nyala dan titik api, dapat dilakukan apabila minyak dipanaskan. Merupakan kriteria mutu yang penting dalam hubungannya dengan minyak yang akan digunakan untuk menggoreng. Titik kekeruhan (turbidity point), ditetapkan dengan cara mendinginkan campuran minyak dengan pelarut lemak (Ketaren, 1986).
Warna minyak yang sudah lama digunakan sebagai indikator fisik dalam melihat kerusakan minyak. Namun, sebenarnya tidak tepat menggunakan warna sebagai indikator kerusakan minyak. Hal ini karena perubahan warna minyak goreng yang tidak diikuti dengan kenaikan jumlah senyawa hasil degradasi minyak hanya akan mempengaruhi warna produk dan tidak akan mempengaruhi rasa produk. Pengujian warna untuk menentukan kualitas minyak goreng dipengaruhi oleh batch dari minyak, jumlah dan tipe dari makanan yang digoreng, suhu dan tipe penggorengan, serta jarak estimasi visual dari digunakan warna yang tidak terlihat lampu (Blumethal 1996).
Warna minyak dapat ditentukan dengan menggunakan Lovibond tintometer
11
atau spektrofotometer. Penentuan dengan menggunakan Lovibond bersifat subjektif, sedangkan penentuan warna menggunakan spektrofotometer lebih bersifat objektif (Krishnamurthy dan Vernon, 1996). Penentuan warna dengan menggunakan spektrofotometer dengan minyak segar sebagai referensi (blanko). Kenaikan nilai absorbansi minyak memperlihatkan warna minyak semakin gelap yang disebabkan oleh adanya kenaikan senyawa-senyawa hasil degradasi minyak (Przybylski, 2000).
Sifat-sifat kimia minyak terdiri dari Reaksi hidrolisis mengubah minyak menjadi asam–asam lemak bebas dan gliserol. Reaksi hidrolisis dapat mengakibatkan kerusakan minyak terjadi karena terdapatnya sejumlah air dalam minyak tersebut. Reaksi oksidasi dapat berlangsung bila terjadi kontak antara sejumlah oksigen dengan minyak. Terjadinya reaksi oksidasi ini akan mengakibatkan bau tengik pada minyak. Reaksi hidrogenasi sebagai suatu proses industri bertujuan untuk menjenuhkan ikatan rangkap dari rantai karbon asam lemak pada minyak. Reaksi esterifikasi bertujuan untuk mengubah asam- asam lemak dari trigliserida dalam bentuk ester. Reaksi esterifikasi dapat dilakukan melalui reaksi kimia yang disebut interesterifikasi (Ketaren, 1987).
Reaksi kimia yang dapat terjadi pada minyak goreng selama penggorengan deep frying adalah hidrolisis, oksidasi dan polimerisasi yang menghasilkan komponen volatile dan non volatile. Komponen volatile akan menguap ke udara selama penggorengan dan sebagian lagi terserap kedalam makanan gorengan. Komponen volatile akan menyebabkan terjadinya perubahan secara fisik dan kimia pada minyak goreng dan makanan gorengan.
Komponen volatile inilah yang mempengaruhi kestabilan dan mutu, cita rasa dan tekstur makanan selama penyimpanan (Choe dan Min, 2007).
D. Kerusakan Minyak goreng
Kerusakan utama minyak adalah timbulnya bau dan rasa tengik, sedangkan kerusakan lain meliputi peningkatan kadar asam lemak bebas (FFA), bilangan iodium, angka peroksida, TBA, angka karbonil, timbulnya kekentalan minyak, terbentuknya busa dan adanya kotoran dari bumbu yang digunakan dan dari bahan yang digoreng. Semakin sering digunakan tingkat
12
kerusakan minyak akan semakin tinggi. Penggunaan minyak berkali-kali akan mengakibatkan minyak menjadi cepat berasap atau berbusa dan meningkatkan warna coklat atau flavor yang tidak disukai pada bahan makanan yang digoreng (Wijana dkk., 2005).
Proses pemanasan minyak pada suhu tinggi dengan adanya oksigenakan mengakibatkan rusaknya asam-asam lemak tak jenuh yang terdapat di dalam minyak, seperti asam oleat dan asam linoleat. Kerusakan minyak akibat pemanasan dapat diamati dari perubahan warna, kenaikan, kekentalan, peningkatan kandungan asam lemak bebas, kenaikan bilangan peroksida, dan kenaikan kandungan urea adduct forming esters. Selain itu, dapat pula dilihat terjadinya penurunan bilangan iod dan penurunan kandungan asam lemak tak jenuh (Febriansyah, 2007).
Ketengikan (rancidity) merupakan kerusakan atau perubahan bau dan flavor dalam lemak atau bahan pangan berlemak. Kemungkinan kerusakan atau ketengikan dalam lemak, dapat disebabkan oleh 4 faktor yaitu : absorpsi bau oleh lemak, aksi oleh enzim dalam jaringan bahan mengandung lemak, aksi mikroba dan oksidasi oleh oksigen udara, atau pun kombinasi dari dua atau lebih dari penyebab kerusakan tersebut di atas. Kerusakan-kerusakan tersebut dapat terjadi karena adanya perubahan perlakuan yang diberikan yang akan mengakibatkan timbulnya perubahan-perubahan kimia, contohnya adalah perlakuan panas (Ketaren, 2008).
Proses penggorengan yang menggunakan energi panas menimbulkan berbagai perubahan yang terjadi pada minyak dan menghasilkan komponen flavor. Perubahan sifat fisikokimia akibat pemanasan ini mengakibatkan terjadinya kerusakan pada minyak dan menurunkan mutu produk gorengnya.
Lebih jauh lagi penurunan kualitas minyak ini berhubungan dengan masalah keamanan produk goreng yang dihasilkan (Blumethal, 1996). Kadar asam lemak bebas merupakan penentuan dari jumlah rantai asam lemak hasil hidrolisis ikatan trigliserida yang belum didegradasi menjadi komponen tak tertitrasi atau mungkin dibentuk melalui proses oksidasi. Penentuan kadar asam lemak bebas pada minyak goreng digunakan metode titrasi asam basa
13
dengan menggunakan NaOH sebagai titran. Jumlah asam lemak di dalam minyakf dinyatakan dengan persen (Blumethal, 1996; Krishnamurthy dan Vernon, 1996).
Selama proses penggorengan, sejumlah besar minyak goreng di panaskan pada suhu tinggi dan bahan pangan terendam di dalamnya. Minyak goreng akan digunakan secara kontinu selama periode yang cukup panjang.
Suhu yang tinggi pada operasi penggorengan yang kontinu ini menghasilkan asam lemak bebas pada minyak goreng. Keberadaan asam lemak bebas dalam minyak goreng menyebabkan rasa yang tidak diinginkan pada produk akhir.
Peningkatan kandungan asam lemak bebas menyebabkan penurunan titik asap (Andarwulan, 1997).
Asam lemak yang tidak jenuh dalam minyak mampu menyerap sejumlah iod dan membentuk senyawa yang jenuh. Besarnya jumlah iod yang diserap menunjukkan banyaknya ikatan rangkap atau ikatan tidak jenuh.
Bilangan iod dinyatakan sebagai jumlah gram iod yang diserap oleh 100 gram minyak yang mana titik akhir titrasi dinyatakan dengan hilangnya warna biru dengan indikator amilum. Bilangan iod dapat menyatakan derajat ketidakjenuhan dari minyak dan dapat dipergunakan untuk menggolongkan jenis minyak pengering, setengah pengering dan minyak bukan pengering.
Minyak pengering adalah minyak yang mempunyai sifat dapat mengering jika terkena oksidasi dan berubah menjadi lapisan tebal, bersifat kental dan membentuk sejenis selaput jika dibiarkan di udara terbuka. Minyak pengering mempunyai bilangan iodin yang lebih dari 130. Minyak setengah pengering adalah minyak yang mempunyai daya mengering lebih lambat dan bilangan iodnya antara 100 sampai 130 (Ketaren, 2008).
Kerusakan lemak dapat terjadi karena oksidasi, baik secara oto- oksidasi (enzimatis) maupun secara non enzimatik. Pemeriksaan kerusakan lemak dapat dikerjakan dengan memeriksa kandungan peroksidanya atau jumlah monaldehida yang bisanya dinyatakan sebagai angka TBA (thiobarbituric acid) (Ketaren, 2008).
14 E. Perubahan Mutu Minyak Goreng
Mutu minyak goreng sangat dipengaruhi oleh komponen asam lemaknya karena asam lemak tersebut akan mempengaruhi sifat fisik, kimia, dan stabilitas minyak selama proses penggorengan. Menurut Stier (2003), trigliserida dari suatu minyak atau lemak mengandung sekitar 94-96 % asam lemak. Selain komponen asam lemaknya, stabilitas minyak goreng dipengaruhi pula derajat ketidakjenuhan asam lemaknya, penyebaran ikatan rangkap dari asam lemaknya, serta bahan-bahan yang dapat mempercepat atau memperlambat terjadinya proses kerusakan minyak goreng yang terdapat secara alami atau yang sengaja ditambahkan. Mutu minyak juga dapat ditentukan dari angka thiobarbituratnya.
Asam lemak bebas terbentuk karena terjadinya hidrolisa minyak menjadi asam-asamnya. Asam lemak bebas merupakan indikator kesegaran suatu minyak goreng, meskipun bukan menjadi satu-satunya indikator kerusakan. Air dapat menghidrolisa minyak menjadi gliserol dan asam lemak bebas. Proses ini dibantu oleh adanya asam, alkali, uap air, temperatur tinggi dan enzim. Kandungan asam lemak bebas minyak meningkat selama pemanasan, disebabkan peristiwa oksidasi dan hidrolisis. Pada proses ini terjadi pemutusan rantai triglesirida menjadi asam-asam lemak bebas dan gliserol (Anonim, 2009).
Asam lemak bebas dalam jumlah besar akan terikut dalam minyak dan akan menurunkan mutu minyak. Kenaikan kadar ALB disebabkan karena adanya reaksi hidrolisa pada minyak. Asam lemak bebas berfungsi untuk memecahkan lemak atau minyak menjadi asam lemak atau gliserol (Ketaren, 2008).
Bilangan Peroksida adalah nilai terpenting untuk menentukan derajat kerusakan pada minyak. Asam lemak tidak jenuh dapat mengikat oksigen pada ikatan rangkapnya sehingga membentuk peroksida (Ketaren, 1986).
15 O
CH2 ___ O ___ C___R CH2 OH
O O
CH ___ O ___ C ___ R + 3H2O CH ___ OH + 3R ___C
O
CH2 ___ O ___ C ___R CH2 ___OH
Gambar 3. Proses Pembentukan Asam Lemak bebas (Sumber: Ketaren, 2008)
Kadar air adalah sejumlah air yang terkandung didalam suatu benda, seperti tanah (yang disebut juga kelembaban tanah), bebatuan, bahan pertanian, dan sebagainya. Kadar air digunakan dalam bidang ilmiah dan teknik dan diekspreikan dalam rasio, dari 0 (kering total) hingga nilai jenuh dimana semua porsi terisi air. Nilainya bisa secara volumetrik atau gravimetrik (massa), basis basah maupun basis kering (Wikipedia 2017)
Berat sampel setelah konstan dapat diartikan yang terdapat dalam sampel telah menguap dan tersisa hanya padatan dan air benar- benar terikat kuat dalam sampel, setelah itu dilakukan perhitungan untuk mengetahui persen kadar air dalam bahan (Winarno, 2004).
Semakin banyak kandungan air dalam minyak maka minyak bergolong minyak yang tidak bermutu karena kandungan gizinya rendah. Nilai kadar air spesifik membantu memperoleh keakuratan data untuk menghitung kandungan asam lemak jenuhnya. (Anonim, 2017)
F. Proses Penggorengan
Penggorengan adalah salah satu cara pengolahan pangan yang mudah serta banyak diminati. Penggorengan dengan minyak atau lemak banyak
16
dipilih sebagai cara pengolahan karena mampu meningkatkan cita rasa dan tekstur bahan pangan yang spesifik, sehingga bahan pangan menjadi kenyal dan renyah. Penggorengan merupakan fenomena transpor yang terjadi secara simultan, yaitu transfer panas, transfer massa air, dan transfer (serapan) massa minyak. Saat proses penggorengan dilakukan, terjadi transfer panas dari minyak ke bahan pangan, penguapan massa air, dan penyerapan minyak oleh bahan pangan (Winarno 2004).
Menggoreng adalah suatu proses untuk memasak bahan pangan menggunakan lemak atau minyak panas pada suhu tinggi, penggorengan deep frying menyebabkan terjadinya perubahan kestabilan dan mutu, cita rasa, warana dan tekstur dari makanan gorengan serta kandungan zat gizi dari makanan (Choe dan Min, 2007).
Penggorengan dengan suhu tinggi sehingga makanan menjadi sangat matang memicu terjadinya reaksi browning (pencoklatan) dan akhirnya muncul senyawa amina-amina heterosiklis penyebab kanker. Selain itu penggorengan juga mengakibatkan penurunan kandungan zat-zat gizi karena rusak. Kesalahan teknik menggoreng juga bisa berdampak buruk lainnya.
Apabila minyak belum siap untuk menggoreng, kadang-kadang bahan makanan akan menyerap minyak lebih banyak. Penting diketahui bahwa meski sebagian zat gizi akan rusak selama penggorengan, makanan yang digoreng rasanya lebih gurih dan mengandung kalori lebih banyak. Cita rasa makanan gorengan ini sering lebih enak dibandingkan dengan makanan rebusan. Selama proses penggorengan minyak goreng mengalami berbagai reaksi kimia diantaranya reaksi hidrolis, oksidasi, isomerisasi dan polimerisasi. Reaksi kimia yang terjadi pada suhu dia atas 200 0C dapat menyebabkan terbentuknya polimer, molekul tak jenuh membentuk ikatan cincin (Anonim, 2009).
Terdapat 2 ( dua) cara proses menggoreng, yaitu menggoreng gangsa (pan frying/contact frying) dan deep frying. Selain itu, proses penggorengan dapat pula dibedakan berdasarkan kontinuitasnya menjadi small scale/food servicefrying yang bersifat bacth dengan kapasitas 5-25 kg minyak dan large
17
scale/industrial frying yang bersifat kontinu dengan kapasitas ≥ 500 kgminyak (Blumethal 1996).
Proses gangsa (pan frying) dapat menggunakan minyak dengan titik asap yang lebih rendah, karena suhu pemanasan umumnya lebih rendah dari suhu pemanasan pada system deep frying. Ciri khas dari proses gangsa ialah, bahan pangan yang digoreng tidak sampai terendam dalam minyak dan hanya dibatasi oleh selaput tipis minyak (Blumethal 1996).
Deep fat frying merupakan proses pemasakan dan pengeringan yang terjadi melalui kontak dengan minyak panas dan ini meliputi perpindahan panas dan dan massa secara simultan. Minyak mempunyai funsi ganda dalam penyiapan makanan, karena minyak berfungsi sebagai media transfer panar antara makanan dan penggorengan, dan minyak juga sebagai pemberi konstribusi terhadap tekstur dan cita rasa bahan gorengan. Kecepatan dan efesiensi proses penggorengan tergantung pada suhu dan kualitas minyak goreng . suhu minyak yang biasa dipergunakan adalah 150 OC- 190 OC (Moirera, 2004, Dunford, 2006 dalam jurnal Ratnaningsih, dkk. 2007)
Deep fat frying adalah proses menggoreng yang memungkinkan bahan pangan terendam dalam minyak dan seluruh bagian permukaannya mendapat perlakuan panas yang sama sehingga menghasilkan tekstur dan flavor produk yang diinginkan. Secara komersil, proses ini banyak sekali diaplikasikan terutama untuk skalaindustri dalam menghasilkan berbagai produk seperti kentang goreng, seafood, egg rolls, dan chicken patties. Proses penggorengan secara deep frying memungkinkan terjadinya panas pindah panas selama proses dari minyak panas ke dalam produk yang masih dingin.
Hal inilah yang menjadikan proses ini berlangsung secara cepat. Selain itu, menyatakan bahwa deep fat frying memiliki keuntungan seperti bahan pangan goreng memiliki rasa yang enak, bahan makanan akan dilapisi dengan permukaan yang renyah, warna yang disukai, adanya penyerapan minyak oleh produk goreng akan menimbulkan mouthfeel yang diinginkan, mudah untuk direkontruksi, dan bahan pangan akan terbebas dari mikroorganisme yang berbahaya (Blumethal 1996).
18
Proses deep fat frying biasanya berlangsung pada suhu tinggi dan dengan keberadaan udara serta air, minyak yang digunakan akan mengalami kerusakan secara fisik dan kimia. Hal ini akan mempengaruhi performa penggorengan minyak dan stabilitas dari produk hasil goreng. Pada proses penggorengan skala industri, pemakaian suhu proses disesuaikan dengan waktu berjalan konveyor produk selama melewati cairan panas (Sulieman et al., 2001).
H. Tempe
Menurut Sarwono (2000) tempe kedelai mengandung protein sekitar 19,5 %. Selain itu, tempe kedelai juga mengandung lemak sekitar 4 %, karbohidrat 9,4 %, vitamin B12 antara 3,9-5 mg per 100 g tempe. Adanya kandungan vitamin B12 pada tempe, dipandang sebagai sesuatu yang unik.
Vitamin B12 diduga berasal dari kapang yang tumbuh dalam tempe, tapi ada pula yang mengatakan berasal dari unsur lain. Menurut Curtis et all (1997) dalam Sarwono, vitamin B12 pada tempe diproduksi oleh sejenis bakteri yaitu Klabsiella pneumoniae. Bakteri itu sebetulnya merupakan mikroba kontaminasi. Vitamin B12 sangat berguna untuk membentuk sel-sel darah merah dalam tubuh sehingga dapat mencegah terjadinya anemia (kurang darah) dan tempe juga banyak mengandung mineral dan fosfor.
Bahan baku utama membuat tempe adalah kacang kedelai jenis kuning. Daya tahan tempe minim sekali, yaitu paling lama hanya dua hari.
Setelah itu membusuk. Namun, tempe yang membusuk masih dapat diolah menjadi sayuran atau campuran bumbu sayuran. Karena bahan baku tempe adalah kacang kedelai maka tempe mempunyai nilai gizi yang cukup tinggi.
Tempe yang baik ialah yang tidak banyak campuran-campurannya, misalkan ampas kedelai, onggok, dan sebagainya. Selain itu, tempe yang baik dibuat dari kacang kedelai yang tidak busuk dan tidak banyak batu-batu kecilnya, dan dipilah biji kedelai yang tua serta berkilat dan agak berminyak (Soedjono, 1995).
Komposisi tempe yang baik adalah sebagai berikut : a. Kadar air : ± 66 %
19 b. Kadar protein : ± 20 %
c. Abu : ±0,9 %
d. Karbohidrat : ± 3,9 % e. Lemak : ± 9,7 %
f. Warna : putih keabu-abuan g. Bau dan rasa : normal
h. Bahan tambahan : bahan pengikat ± 1 % zat warna negatif Sumber : (Soedjono, 1995).
Tempe memiliki khasiat terhadap kelangsungan kesehatan tubuh yaitu:
a. Tempe memiliki karakteristik sebagai makanan bayi yang baik. Selain pertumbuhan fisik, tempe juga berkhasiat menghindari diare akibat bakteri enteropatogenik.
b. Tempe mangandung antibiotik alami yang dapat melindungi usus dan memperbaiki sistem pencernaan yang menyebabkan diare pada anak balita.
c. Tempe dapat meningkatkan daya tahan tubuh dan dapat membuat awet muda karena mengandung senyawa zat isoflavin yang mempunyai daya proteksi terhadap sel hati dan mencegah penyakit jantung.
d. Tempe dapat melangsingkan tubuh karena dapat menghindari terjadinya penimbunan lemak dalam rongga perut, ginjal, dan dibawah kulit perut.
e. Tempe merupakan hasil Fermentasi kapang dan mikroorganisme lain yang tidak bersifat patogen terhadap keselamatan manusia.
20 BAB III
METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilaksanakan pada Mei - Juni 2017 di Laboraturium Kimia, Program Studi Agroindustri, Jurusan Teknologi Pengolahan Hasil Perikanan , Politeknik Pertanian Negeri Pangkep, Pangkep.
B. Alat dan Bahan
Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah pisau, talenan, panci, wajan, kompor, baskom, thermometer, gelas ukur, timbangan digital, timbangan analitik, soxhlet, gelas kimia, piring, pipet tetes, bulb, tabung reaksi, erlmenyer, penitran, desikator, kuvet,
Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Minyak goreng merk fitri, tempe, alkohol, aquades, KOH 0,1 N, larutan campuran eter, etanol, phenopthalin.
C. Prosedur Penelitian
Prosedur penelitian pada uji kualitas minyak pada makanan gorengan sebagai berikut :
1. Disiapkan bahan pangan yang akan digoreng berupa tempe.
2. Tempe kemudian dipotong- potong kecil.
3. Dimasukkan minyak goreng dalam wajan sebanyak 1800 ml dan kompor dinyalakan. Bahan pangan digoreng dengan suhu 150 0C dan 160 0C selama kurang lebih 5-6 menit kemudian bahan pangan diangkat dan ditiriskan.
4. Dilakukan proses penggorengan sebanyak 4 kali menggunakan minyak goreng yang sama dan dalam temperatur yang sama pula.
5. Setiap kali penggorengan diambil sampel minyak sekitar 100 ml dan di simpan dalam botol sampel.
D. Rancangan Percobaan
Rancangan percobaan pada penelitian ini menggunakan rancangan acak lengkap dua faktorial. Faktor tersebut adalah perbandingan suhu minyak goreng dan perlakuan penggorengan.
21
Faktor perlakuan suhu minyak goreng terdiri dari 2 taraf yaitu : A1 : Suhu 150 0C
A2 : Suhu 160 0C
Faktor perlakuan penggorengan terdiri dari 5 taraf yaitu : B1 : Tanpa penggorengan
B2 : Penggorengan 1 B3 : Penggorengan 2 B4 : Penggorengan 3 B5 : Penggorengan 4 E. Perlakuan
1. A1B1 = Suhu 150 OC tanpa penggorengan 2. A1B2 = Suhu 150 OC Penggorengan Pertama 3. A1B3 = Suhu 150 OC Penggorengan Kedua 4. A1B4 = Suhu 150 OC Penggorengan Ketiga 5. A1B5 = Suhu 150 OC Penggorengan Keempat 6. A2B1 = Suhu 160 OC Tanpa Penggorengan 7. A2B2 = Suhu 160 OC Penggorengan Pertama 8. A2B3 = Suhu 160 OC Penggorengan Kedua 9. A2B4 = Suhu 160 OC Penggorengan Ketiga 10. A2B5 = Suhu 160 OC Penggorengan Keempat F. Parameter Pengamatan
Parameter pengamatan dalam penelitian ini adalah bilangan asam, bilangan peroksida, kadar air dan nilai absorbansi warna.
1. Asam lemak Bebas
a. Kedalam minyak erlenmeyer 250 ml masukkan 1 gram minyak/contoh dan 25 ml larutan campuran eter : etanol 95 % (1:1) netral, kemudian campur sampai homogen, selanjutnya ditambahkan 3 tetes indikator fenolftalin.
b. Titrasi larutan diatas dengan larutan KOH 0,1 N sampai larutan berwarna merah muda.
22 Perhitungan :
56,11 x A x B x F Angka Asam =
C Ket :
A = ml larutan KOH 0,1 N yang diperlukan B = Normalitas larutan KOH
C = berat minyak yang dianalisa (gr)
F = Faktor koreksi normalitas larutan KOH 0,1 N
Angka asam x BM asam oleat x 100 Asam lemak bebas =
BM KOH x 1000 Angka Asam x 282, 27 x 1 = 56,11 x 10561,1 2
Angka Asam Asam lemak bebas =
2 2. Bilangan peroksida
a. Sebanyak kurang lebih 5 gram sampel minyak ditimbang secara seksama.
b. Dimasukkan kedalam erlenmeyer tutup bertutup 250 ml dan ditambah 30 ml larutan asam asetat- kloroform (3:2).
c. Larutan digoyangkan sampai bahan terlarut semua lalu ditambahkan 0,5 ml larutan jenuh Kl.
d. Larutan selanjutnya didiamkan selama 5 menit dengan kadangkala digoyangkan kemudian ditambahkan aquades sebanyak 30 ml.
e. Iodium yang dibebaskan dititrasi dengan larutan baku natrium tiosulfat (Na2S2O3) 0,1 N sampai warna kuning hampir hilang.
f. Lalu ditambah 0,5 ml larutan pati 1%, titrasi dilanjutkan sampai wrna biru tepat hilang.Dilakukan juga titrasi blanko drngan cara yang sama
23
(banyaknya volume larutan baku natrium tiosulfat untuk titrasi blanko tidak lebih dari 0,1 ml).
Rumus Angka peroksida
A x N x 1000 Miliekuivalen per 1000 gram =
G
0,5 x A x N x 1000 Milimol per 1000 gram =
G
(a – b) x N x 8 x 100 Miligram oksigen per 100 gram =
G Ket :
A = Jumlah ml larutan Na2S2O3 (natrium tiosulfat) N = Normalitas larutan Na2S2O3
G = Berat contoh minyak (gram)
a = Jumlah ml larutan natrium thiosulfat untuk titrasi contoh b = Jumlah ml larutan natrium thiosulfat untuk titrasi blanko 8 = Setengah dari berat atom oksigen.
3. Kadar Air Metode Gravimetri (Rujukan BSN (Badan Standarisasi Nasional. 2006. SNI -01-2354.2-2006) . Penentuan Kadar Air Pada Produk Perikanan. Jakarta Dewan Standarisasi Nasional).
a. Sebelum dilakukan pengujian, minyak diaduk dengan baik.
b. Timbang cawan porselin (A), catat dan nolkan timbangan
c. Masukkan contoh kedalam cawan porselin (A) kurang lebih 2 gram kemudian timbang (B).
d. Keringkan cawan yang telah diisi dengan contoh kedalam oven vakuum pada suhu 100 0c selama 5 jam
e. Dinginkan cawan porselin kedalam desikator dengan menggunakan alat penjepit selama kurang lebih 30 menit kemudian timbang (C).
Rumus Kadar Air
B – C x 100 Kadar Air =
B - A
24 Ket :
A = Berat Cawan
B = Berat Cawan + Berat Contoh C = Berat Contoh + Berat Kering 4. Warna (Sudarmadji, S dkk. 2007)
Warna minyak diukur dengan menggunakan spektrofotometer uv- vis. Sampel minyak dimasukkan ke dalam kuvet. Setelah itu, diukur absorbansinya pada panjang gelombang 470 nm dengan menggunakan sampel minyak awal sebagai blanko.
G. Pengolahan Data
Pengolahan data dilakukan pada aplikasi SPSS 16.0 dengan metode rancangan acak lengkap (RAL) pola faktorial dengan 3 kali ulangan. Di mana faktor pertama yaitu suhu minyak goreng dan faktor kedua yaitu perlakuan penggorengan.
25 D. Diagram alir penelitian
Gambar 4 : Diagram alir penelitian
Gambar 4 : Diagram alir penelitian Tempe
Tempe dipotong- potong kecil
Minyak goreng dimasukkan dalam wajan
Pengukuran suhu Minyak
Tempe digoreng + 6 Menit
Suhu 150 0C Suhu 160 0C
Tempe
diangkat dan ditiriskan
Pengambilan Sampel Minyak Disetiap taraf penggorengan
(0, 1, 2, 3, dan 4)
Pengujian Sampel