• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS FAKTOR YANG BERPENGARUH TERHADAP PENINGKATAN JUMLAH GIZI BURUK ANAK BALITA DI KABUPATEN MADIUN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "ANALISIS FAKTOR YANG BERPENGARUH TERHADAP PENINGKATAN JUMLAH GIZI BURUK ANAK BALITA DI KABUPATEN MADIUN"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS FAKTOR YANG BERPENGARUH TERHADAP PENINGKATAN JUMLAH GIZI BURUK ANAK BALITA DI

KABUPATEN MADIUN

Sudaryani1*, Sri Purwati1, Atni Supratiwi1, Muncul Wiyana1

1. Program D3 Akademi Keperawatan Dr. Soedono Madiun, Jawa Timur 63117, Indonesia

*Email: sudaryanimajida@yahoo.com

Abstrak

Penelitian ini menggunakan rancangan case control, yaitu peneliti berupaya mencari hubungan antara variabel yang menyangkut bagaimana faktor resiko dipelajari dengan menggunakan pendekatan retrospective. Dalam penelitian ini variabel efek (anak balita yang mengalami gizi buruk dan gizi baik), diidentifikasi pada saat sekarang, sedangkan faktor resiko (faktor-faktor yang mempengaruhi gizi buruk pada anak balita) diidentifikasi sekarang berdasar kejadian pada masa lalu. Berdasarkan hasil pembahasan dapat disimpulkan bahwa asupan gizi yang kurang pada anak balita di Kabupaten Madiun berpengaruh sebesar 7 kali mengalami gizi buruk. Penyakit (frekuensi sakit yang sering) pada anak balita di Kabupaten Madiun berpengaruh sebesar 47 kali mengalami gizi buruk. Anak balita dari keluarga yang kurang memiliki ketersediaan pangan di Kabupaten Madiun berisiko sebesar 11 kali mengalami gizi buruk dibanding keluarga yang memiliki ketersediaan pangan yang baik.

Pendahuluan

Hasil Susenas menunjukkan adanya peningkatan prevalensi balita gizi buruk dari 8,0% pada tahun 2002 menjadi 8,3% pada tahun 2003 dan menjadi 8,8% pada tahun 2005.

Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Departemen Kesehatan RI melaporkan adanya penurunan prevalensi gizi buruk menjadi 5,4% pada tahun 2007 dan gizi kurang sebesar 13,0% (Depkes RI, 2008). Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur melaporkan prevalensi gizi buruk di Jawa Timur pada tahun 2009 sekitar 2,7%.

Di Kabupaten Madiun angka gizi buruk masih relatif rendah jika dibandingkan dengan prevalensi nasional maupun Jawa Timur, tetapi prevalensi ini mengalami peningkatan dalam 4 tahun terakhir. Tahun 2006 prevalensi gizi buruk sebesar 0,63%, tahun 2007 sebesar 0,59%, tahun 2008 sebesar 0,9%, tahun 2009 mencapai 1,05% atau sebesar 335 kasus. Kasus ini tersebar di seluruh wilayah kecamatan dan terbanyak di Kecamatan Pilangkenceng, Wungu, Kebonsari, Balerejo, dan Saradan (Dinkes Kabupaten Madiun, 2008 ; 2009).

(2)

Gizi buruk merupakan kejadian kronis dan bukan tiba-tiba. Gizi buruk adalah bentuk terparah dari proses terjadinya kekurangan gizi menahun. Apabila keadaan ini disertai dengan tanda-tanda klinis disebut marasmus atau kwashiorkor (Depkes RI, 2005). Kondisi ini akan menimbulkan dampak terhadap pertumbuhan anak secara keseluruhan dan berdampak pula pada perkembangannya.

Khumaidi (1994) menjelaskan masalah sosial yang mendasari terjadinya gizi buruk adalah; masalah kemiskinan, ketidakstabilan kondisi keluarga, kurangnya pengetahuan dan ketrampilan di bidang memasak, kurang keragaman bahan dan jenis masakan yang menyebabkan kebosanan serta pengadaan dan distribusi pangan antar anggota keluarga yang tidak merata. Dengan demikian masalah gizi merupakan sindroma kemiskinan yang erat kaitannya dengan masalah ketahanan pangan di tingkat rumah tangga dan juga menyangkut aspek pengetahuan serta perilaku yang kurang mendukung pola hidup sehat.

Upaya serupa juga telah dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Madiun dengan melibatkan berbagai sektor yang terkait, termasuk bantuan pangan bagi keluarga miskin untuk menghindarkan masyarakat dari ancaman kelaparan. Namun semua upaya tersebut nampaknya belum juga dapat mengatasi masalah gizi buruk dan prevalensi gizi buruk meningkat pada tahun 2009.

Berdasar fenomena di atas, peneliti tertarik untuk mengetahui faktor-faktor yang berpengaruh terhadap peningkatan jumlah gizi buruk anak balita di Kabupaten Madiun.

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi upaya penanggulangan gizi buruk melalui upaya pencarian faktor yang menyebabkan terjadinya gizi buruk.

Metode

Penelitian ini menggunakan rancangan case control, yaitu peneliti berupaya mencari hubungan antara variabel yang menyangkut bagaimana faktor resiko dipelajari dengan menggunakan pendekatan retrospective. Variabel efek diidentifikasi saat ini, kemudian faktor resiko diidentifikasi dan merupakan kejadian pada masa lalu (Notoatmojo, 2005). Dalam penelitian ini variabel efek (anak balita yang mengalami gizi buruk dan gizi baik), diidentifikasi pada saat sekarang, sedangkan faktor resiko (faktor-faktor yang mempengaruhi gizi buruk pada anak balita) diidentifikasi sekarang berdasar kejadian pada masa lalu.

Pengambilan sampel pada penelitian ini diperoleh dengan menentukan 5 kecamatan sebagai klaster dan anak balita yang mengalami gizi buruk di kecamatan tersebut sebagai unit elementer dengan menggunakan cara pengambilan sampel acak sederhana. Sehingga besar

(3)

sampel tiap-tiap kecamatan adalah 55 : 5 yaitu 11 anak balita yang mengalami gizi buruk, dan 11 anak balita yang bergizi baik sebagai kelompok pembanding.

Peneliti mendatangi rumah responden untuk pengambilan data. Sebelum pengambilan data, peneliti memberikan penjelasan tentang tujuan penelitian dan meminta kesediaan calon responden untuk ikut serta dalam penelitian. Jika bersedia, pasien diminta menandatangani surat persetujuan penelitian. Peneliti menanyakan karakteristik responden dan faktor yang mempengaruhi terjadinya gizi buruk sesuai dengan daftar pertanyaan yang telah disusun.

Responden menjawab setiap pertanyaan yang diajukan oleh peneliti. Pengambilan data gizi buruk dilakukan dengan cara mengukur tinggi/ panjang badan dan berat badan anak menggunakan timbangan dacin dan alat pengukur tinggi badan/ microtoice,.

Hasil

Pengaruh Asupan Gizi Terhadap Gizi Buruk Anak Balita

Asupan gizi balita gizi buruk 76,37 % kurang dan balita gizi baik 72,73 % baik. Hasil uji statistik menunjukkan adanya pengaruh asupan gizi terhadap gizi buruk anak balita dengan nilai p = 0,000 < α (0,05).

Pengaruh Frekuensi Sakit Terhadap Gizi Buruk Anak Balita

Frekuensi sakit pada balita gizi buruk 85,5% sering sakit dan pada gizi baik 89,1% jarang sakit. Hasil uji statistik menunjukkan adanya pengaruh frekuensi sakit sejak lahir terhadap gizi buruk anak balita dengan nilai p = 0,000 < α (0,05).

Pengaruh Ketersediaan Pangan Tingkat Rumah Tangga Terhadap Gizi Buruk Anak Balita

Ketersediaan pangan tingkat rumah tangga pada balita gizi buruk 60,0 % kurang, sedangkan pada balita gizi baik 56,36 % tahan. Hasil uji statistik menunjukkan adanya pengaruh ketersediaan pangan tingkat rumah tangga terhadap gizi buruk anak balita dengan nilai p = 0,000 < α (0,05).

Pengaruh Ketersediaan Pelayanan Kesehatan Terhadap Gizi Buruk Anak Balita

Ketersediaan pelayanan kesehatan balita gizi buruk 96,4% baik dan balita gizi baik 100%

baik. Hasil uji statistik menunjukkan tidak adanya pengaruh ketersediaan pelayanan kesehatan terhadap gizi buruk anak balita dengan nilai p = 0,999 > α (0,05).

(4)

Pengaruh Perilaku dan Budaya Pengasuhan Anak Terhadap Gizi Buruk Anak Balita Perilaku dan budaya pengasuhan anak balita gizi buruk 52,8% cukup dan pada anak balita gizi baik 85,5% baik. Hasil uji statistik menunjukkan adanya pengaruh perilaku dalam pengasuhan anak terhadap gizi buruk anak balita dengan nilai p = 0,000 < α (0,05).

Pengaruh Pendidikan Ibu Terhadap Gizi Buruk Anak Balita

Pendidikan ibu anak balita gizi buruk 51,0% SD, dan ibu anak balita gizi baik 36,4% SD.

Hasil uji statistik menunjukkan tidak adanya pengaruh pendidikan ibu terhadap gizi buruk anak balita dengan nilai p = 0,157 < α (0,05).

Pengaruh Kemiskinan Terhadap Gizi Buruk Anak Balita

Anak balita gizi buruk 60% tergolong miskin dan anak balita gizi baik 94,5% tergolong tidak miskin. Hasil uji statistik menunjukkan adanya pengaruh kemiskinan terhadap gizi buruk anak balita dengan nilai p = 0,000 < α (0,05).

Analisis Asupan Gizi dan Frekuensi Sakit Terhadap Gizi Buruk

Asupan gizi anak balita yang kurang berisiko 7 kali menyebabkan gizi buruk dengan nilai Exp (B) = 6,794. Anak balita yang sering sakit berisiko 47 kali menyebabkan gizi buruk dengan nilai Exp (B) = 47,048.

Analisis Ketersediaan Pangan Tingkat Rumah Tangga, Perilaku dan Budaya Pengasuhan Anak dan Ketersediaan Pelayanan Kesehatan Terhadap Gizi Buruk Anak Balita

Anak balita dari keluarga yang kurang tahan pangan berisiko 11 kali mengalami gizi buruk dibanding keluarga tahan pangan dengan nilai Exp (B) = 10,677. Anak balita dari keluarga yang tidak tahan pangan berisiko 81 kali mengalami gizi buruk dibanding keluarga yang tahan pangan dengan nilai Exp (B) = 80,932

Perilaku dan budaya pengasuhan anak yang cukup baik berisiko 5 kali untuk terjadinya gizi buruk dibanding perilaku dan budaya pengasuhan anak yang baik dengan nilai Exp (B) = 5,236.

Pembahasan

Asupan gizi anak balita menunjukkan jumlah dan jenis makanan yang dikonsumsi oleh anak balita. Gizi pada anak balita digunakan sebagai sumber energi untuk beraktifitas dan melakukan pertumbuhan. Hasil penelitian di Kabupaten Madiun menunjukkan bahwa asupan gizi anak balita bergizi buruk 76,37% kurang, sedangkan asupan gizi anak balita bergizi baik 72,73 % baik. Hasil analisis multivariat menunjukkan asupan gizi yang kurang

(5)

berisiko 7 kali menyebabkan gizi buruk anak balita. Hal ini berarti anak-anak balita yang kurang mendapatkan asupan gizi dapat mengalami kondisi gizi buruk.

Asupan gizi yang adekuat adalah asupan gizi yang memenuhi unsur-unsur dari enam kelompok makanan, yaitu dari kelompok nasi/ sereal, sayuran, buah, susu/keju, protein dan lemak. Keenam kelompok makanan ini harus diberikan secara seimbang, sehingga anak dapat memenuhi kebutuhan gizinya untuk beraktifitas, pertumbuhan dan mencegah penyakit infeksi. Hasil penelitian di Kabupaten Madiun menunjukkan ada 66,4% anak kurang mendapat asupan dari kelompok nasi, sebasar 52,7% kurang mendapat asupan dari kelompok sayur, sebesar 83,6% kurang mendapat asupan dari kelompok buah, 83,6% kurang mendapat asupan dari kelompok susu, 26,4% kurang mendapat asupan dari kelompok protein. Hal ini menunjukkan banyak anak yang kurang mendapatkan asupan gizi seimbang sehingga berpengaruh terhadap status gizinya.

Hasil uji statistik menunjukkan adanya pengaruh asupan gizi terhadap gizi buruk anak balita dengan nilai p = 0,000 < α (0,005). Asupan gizi yang kurang pada anak balita memberikan dampak kurang terpenuhinya kebutuhan zat gizi di dalam tubuh dan tidak adanya zat gizi yang disimpan sebagai cadangan makanan. Hal ini menyebabkan sel mengambil cadangan makanan untuk melakukan metabolisme. Tubuh anak banyak kehilangan cadangan makanan dari lemak bawah kulit, sehingga akan terlihat semakin kurus dan keriput (marasmus). Apabila kondisi berlanjut maka cadangan protein dalam otot juga akan digunakan sebagai energi. Hal ini berakibat semakin menurunnya kadar protein di dalam darah yang menyebabkan bengkak pada seluruh tubuh (marasmus).

Pengaruh Faktor Penyakit Infeksi Terhadap Gizi Buruk Anak Balita

Penyakit infeksi merupakan salah satu penyebab gangguan gizi pada anak balita.

Hasil penelitian menunjukkan anak balita gizi buruk 85,5% sering mengalami sakit sejak lahir, dan anak balita yang sering sakit hanya 10,9 %. Hasil uji statistik menunjukkan adanya pengaruh frekuensi sakit terhadap gizi buruk anak balita dengan nilai p = 0,000 < dari α (0,005). Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa seringnya sakit pada anak balita memberikan kontribusi yang besar terhadap terjadinya gizi buruk di Kabupaten Madiun.

Hasil analisis Multivariat menunjukkan sering sakit berisiko 47 kali menyebabkan gizi buruk.

Hal ini berarti anak balita yang mulai lahir sampai sekarang sering sakit memiliki risiko yang besar untuk mengalami gizi buruk.

(6)

Penyakit yang diderita dan seringnya anak sakit merupakan penyebab terpenting kedua dari masalah gizi buruk, terutama di negara terbelakang dan berkembang seperti Indonesia. Triningsih (2007) menjelaskan bahwa penyakit dan gizi buruk merupakan dua kondisi yang saling berkaitan dan memperberat. Anak yang sering berpenyakit dalam waktu lama dapat mengalami penurunan berat badan atau kurang gizi. Hal ini berhubungan dengan peningkatan metabolisme, perubahan nafsu makan, menurunnya kemampuan absorbsi dan kebiasaan mengurangi makanan pada saat sakit. Penyakit infeksi dapat menyebabkan rusaknya beberapa fungsi organ tubuh termasuk fungsi pencernaan, akibatnya zat-zat makanan yang masuk ke tubuh tidak dapat dicerna dan diserap dengan baik oleh tubuh ( Nency & Arifin 2005 ). Dengan demikian anak yang sakit tidak mendapatkan zat gizi yang adekuat dan bahkan mereka menggunakan cadangan makanan dalam tubuhnya untuk melakukan metabolisme tubuh yang meningkat.

Beberapa penyakit yang sering menyebabkan terjadinya gizi buruk antara lain cacat bawaan pada anak, penyakit kanker dan penyakit infeksi seperti TBC, diare, campak dan HIV/AIDS. Alsegaf dkk, (2002) menjelasakan sekitar 70% kasus TB paru disertai dengan penurunan berat badan yang menggambarkan kehilangan massa otot dan lemak. Hal ini berakibat terjadinya gizi buruk pada penderita tersebut. Hasil penelitian menunjukkan bahwa anak balita yang bergizi buruk 53 anak balita pernah menderita influenza, 7 anak balita menderita retardasi mental, 5 anak balita pernah diare, 2 anak balita masing-masing menderita TBC dan talasemia, 1 anak balita masing-masing menderita hidrocepalus, microchepali dan bibir sumbing. Sedangkan rata-rata lamanya penyakit infeksi akut yang diderita adalah 4 hari.

Pengaruh Faktor Ketersediaan Pangan Tingkat Rumah Tangga Terhadap Gizi Buruk Anak Balita

Ketersediaan/ ketahanan pangan tingkat rumah tangga adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga, yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, merata dan terjangkau. Ketahanan pangan ini berhubungan dengan asupan gizi bagi setiap anggota keluarga. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ketersediaan pangan tingkat rumah tangga pada anak balita gizi buruk 60,0% kurang tahan dan 34,55%

tidak tahan. Ketersediaan pangan tingkat rumah tangga pada anak balita gizi baik 56,36%

tahan dan 40,0% kurang tahan. Hasil uji statistik menunjukkan adanya pengaruh ketersediaan pangan tingkat rumah tangga dengan gizi buruk pada balita dengan nilai p = 0,000 < dari α (0,05). Hal ini berarti bahan makanan yang bergizi dan beragam kurang tersedia untuk

(7)

memenuhi kebutuhan zat gizi bagi setiap anggota keluarga sehingga mengakibatkan terjadinya gizi buruk.

Hasil uji multivariat menunjukkan anak balita dari keluarga yang kurang tahan pangan berisiko 11 kali mengalami gizi buruk dibanding keluarga tahan pangan. 10,677.

Anak balita dari keluarga yang tidak tahan pangan berisiko 81 kali mengalami gizi buruk dibanding keluarga yang tahan pangan. Hal ini berarti semakin rendah kemampuan keluarga dalam menyediakan bahan pangan yang bergizi dan beragam semakin besar pengaruhnya untuk terjadinya gizi buruk pada anak balita.

Terbatasnya persediaan bahan makanan tingkat rumah tangga menyebabkan pengurangan frekuensi dan jumlah makanan yang dimakan serta makan makanan seadanya.

Bagi anak balita kondisi ini tak dapat diadaptasi dengan baik, karena mereka sedang mengalami pertumbuhan dan banyak membutuhkan gizi. Akibatnya anak balita kurang mendapat asupan gizi yang baik dari segi jumlah maupun kualitas dan bahkan dapat berdampak terhadap terjadinya gizi buruk. Hasil penelitian menunjukkan bahwa asupan gizi pada balita gizi buruk 76,37% kurang sedangkan pada balita gizi baik 72,73% baik.

Malawirawan, dkk., (2006) dalam studinya menjelaskan anak balita yang mengalami gizi buruk, diakibatkan oleh kurang mendapat keragaman konsumsi makanan dan kurang mendapat makanan dari sumber energi dan protein. Hasil penelitian menunjukkan sebagian besar anak balita yang bergizi buruk mengkonsumsi makanan dari beras dengan lauk yang terbatas pada protein nabati (tempe) dan jarang mengkonsumsi buah dan sayuran.

Tidak tersedinya makanan tingkat rumah tangga berkaitan dengan kondisi sosial ekonomi, kurangnya pengetahuan keluarga tentang gizi, serta ketersediaan bahan makanan tingkat masyarakat (Sururi, 2006). Hasil penelitian menunjukkan 60% anak balita yang bergizi buruk berasal dari keluarga miskin yang kemampuan daya belinya kurang. Akan tetapi ada 40% keluarga yang tidak miskin memiliki anak balita bergizi buruk. Keluarga yang tidak miskin ini mungkin kurang memiliki pengetahuan keluarga tentang gizi, meskipun daya belinya cukup baik. Hasil penelitian menunjukkan dari 74 keluarga yang tidak miskin terdapat 39,2% kurang tahan pangan. Hal ini berarti keluarga ini memiliki kemampuan untuk membeli tetapi mereka tidak menyediakan sumber bahan makanan yang beragam terutama dari protein hewani.

(8)

Pengaruh Faktor Ketersediaan Pelayanan Kesehatan Terhadap Gizi Buruk Anak Balita

Ketersediaan pelayanan kesehatan adalah terjangkaunya pelayanan kesehatan bagi masyarakat berdasarkan lokasi dan dana serta tingginya pemanfaatan pelayanan kesehatan oleh masyarakat. Pelayanan kesehatan yang terjangkau adalah pelayanan kesehatan yang dapat dinikmati oleh seluruh lapisan masyarakat termasuk keluarga yang miskin. Hasil penelitian menunjukkan ketersediaan pelayanan kesehatan bagi anak balita gizi buruk 96,4%

baik dan 100% baik bagi anak balita gizi baik. Hasil uji statistik menunjukan tidak ada pengaruh ketersediaan pelayanan kesehatan dengan gizi buruk dengan nilai p = 0,999 > α (0,05). Hal ini berarti pelayanan kesehatan yang dilaksanakan di Kabupaten Madiun dapat dijangkau oleh seluruh masyarakat dan kesadaran masyarakat untuk menggunakan fasilitas kesehatan yang tersedia juga tinggi. Dalam hal ini keluarga yang memiliki anak bergizi buruk maupun bergizi baik sama-sama mendapatkan fasilitas kesehatan yang sama dan sama memiliki kesadaran yang baik untuk memanfaatkan fasilitas pelayanan kesehatan yang tersedia.

Pemantauan pertumbuhan/ berat badan di Kabupaten Madiun telah dilaksanakan di posyandu secara rutin setiap bulan. Berdasarkan laporan Gizi di Puskesmas tahun 2009 jumlah posyandu yang ada sebanyak 863 dan 100% aktif. Jumlah balita yang ada 44.127 dan yang ditimbang 33.355. Program cakupan yang dicapai K/S sebesar 99,95%, D/S sebesar 75,59%, N/D sebesar 64,54% dan BGM/D 4,03%. Hasil penelitian menunjukkan seluruh balita memiliki KMS dan rutin melakukan penimbangan.

Upaya tindak lanjut terhadap penemuan hasil penimbangan di bawah garis merah dilakukan melalui kunjungan rumah oleh petugas kesehatan yaitu tenaga gizi, perawat atau bidan. Tindakan ini merupakan konseling tentang upaya pemenuhan kebutuhan gizi pada anak balita serta promosi program keluarga sadar gizi dengan media leaflet. Hasil penelitian menunjukkan sebanyak 96% anak balita gizi buruk telah dikunjungi oleh tenaga puskesmas dan 4% belum dikunjungan karena dianggap penemuan baru.

Upaya pemberian kapsul vitamin A dosis tinggi kepada balita dilaksanakan setiap 6 bulan sekali di posyandu. Pencapaian program tahun 2009 adalah 107,63% untuk anak balita dan 108,54% untuk bayi (6-11 bulan). Hasil penelitian menunjukkan seluruh (100%) anak balita mendapatkan vitamin A secara rutin mulai umur 6 bulan.

Pemberian Makanan Tambahan (PMT) untuk meningkatkan status gizi balita di Kabupaten Madiun dilaksanakan dengan menggunakan dana dari DAU APBD dan APBD 1,

(9)

dengan jumlah sasaran 200 balita dan 125 balita. Paket dari DAU APBD berupa Pan Enteral, susu Dancow Balita, Grotavit sirup dan zink sirup yang diberikan untuk 90 hari. Sedangkan paket dari APBD 1 berupa susu vineral yang diberikan selama 90 hari. Hal ini menunjukkan banyak anak balita yang hasil penimbangaannya di bawah garis merah belum semuanya mendapatkan intervensi PMT. Hasil evaluasi program dari 200 balita yang mendapatkan PMT 18,5% naik statusnya, 79,0% tetap dan 2,5% turun. Hasil penelitian menunjukkan dari 55 anak balita yang bergizi buruk 74,54 % pernah mendapatkan PMT pada tahun 2009.

Sedangkan pada tahun 2010 program pemberian PMT belum ada.

Kegiatan imunisasi dalam upaya mencegah penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi telah dilaksanakan di posyandu maupun di puskesmas. Hasil penelitian menunjukkan 100% anak balita telah mendapatkan imunisasi BCG, polio sebanyak 4 kali, DPT sebanyak 3 kali, campak dan Hepatitis B. Sebagian besar anak mendapatkan imunisasi di posyandu dan di bidan desa.

Upaya pengobatan kasus penyakit pada anak balita dapat dilakukan di puskesmas, posyandu untuk penyakit tertentu dan bidan desa. Seluruh desa yang digunakan untuk pengambilan data penelitian terdapat bidan desa. Seratus persen anak balita yang sakit segera dibawa berobat ke petugas kesehatan baik di puskesmas ataupun bidan desa. Pemerintah juga telah memberikan jaminan kesehatan masyarakat/ jamkesmas atau jamkesmasda bagi keluarga miskin. Hasil penelitian menunjukkan sebanyak 52,72% keluarga telah mendapatkan program ini.

Pengaruh Perilaku dan Budaya dalam Pengasuhan Anak Terhadap Gizi Buruk Anak Balita

Pola pengasuhan anak atau interaksi ibu dengan anak merupakan kebiasaan-kebiasaan yang dilakukan ibu dan memberikan zat gizi pada anak, upaya pencegahan penyakit dan perawatan anak ketika sakit. Hasil penelitian di Kabupaten Madiun menunjukkan bahwa perilaku dan budaya ibu dalam pengasuhan anak balita gizi buruk 52,8% cukup dan 3,6%

kurang. Sedangkan perilaku ibu dalam pengasuhan anak balita gizi baik 85,5% baik dan 14,5% cukup. Hasil uji statistik menunjukkan adanya pengaruh perilaku pengasuhan anak terhadap gizi buruk dengan nilai p = 0,000 < dari α (0,05). Hasil analisis multivariat menunjukkan perilaku dan budaya pengasuhan anak yang cukup baik berisiko 5 kali untuk terjadinya gizi buruk dibanding perilaku dan budaya pengasuhan anak yang baik. Hal ini berarti semakin baik pola pengasuhan anak semakin baik status gizinya, sebaliknya pola pengasuhan yang kurang baik dapat menyebabkan terjadinya gizi buruk.

(10)

Sururi (2006) menjelaskan bahwa interaksi ibu dengan anak atau pola pengasuhan anak berhubungan positif dengan keadaan gizi anak. Anak yang mendapatkan perhatian secara fisik maupun emosional lebih mudah menerima makanan dengan gizi seimbang dibanding dengan anak yang kurang mendapat perhatian dari orang tuanya. Hal ini berkaitan dengan timbulnya perasaan aman, nyama dan rasa kepercayaan diri yang dibangun oleh orang tuanya. Pemberian makan yang menyenangkan, tidak memaksa dengan kekerasan saat anak balita makan, membiarkan balita makan dan memilih makanan sendiri, tidak banyak aturan saat makan, memperhatikan waktu makan balita dan memberikan contoh pola makan yang baik merupakan cara pemberian makan yang dapat dilakukan untuk membiasakan makan secara teratur.

Pola pengasuhan lain yang dilakukan oleh keluarga dengan anak balita bergizi baik di Kabupaten Madiun adalah perilaku Keluarga Sadar Gizi (KADARZI) yang meliputi: 1) Menimbang berat badan dan mengukur tinggi badan anak balita setiap bulan melalui kegiatan posyandu; 2) Memberikan ASI eksklusif; 3) memberikan makanan yang bervariasi dan seimbang zat gizinya; 4) menggunakan garam beryodium; 5) memberikan tablet vitamin A setiap 6 bulan sekali.

Pengaruh Faktor Pendidikan Ibu Terhadap Gizi Buruk Anak Balita

Pendidikan merupakan ijazah pendidikan formal terakhir yang dimiliki oleh ibu dari anak balita. Secara umum diasumsikan bahwa semakin tinggi pendidikan maka pengetahuan seseorang akan bertambah baik, termasuk pengetahuan tentang pengasuhan anak balita.

Dengan demikian semakin tinggi pendidikan ibu semakin mampu mengasuh anak balitanya, sehingga kejadian gizi buruk semakin rendah. Hasil studi Malawirawan L.,dkk, (2006) di NTT, menunjukkan bahwa kasus gizi buruk sebagian besar terjadi pada anak balita yang memiliki orang tua dengan tingkat pendidikan SD.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pendidikan ibu anak balita gizi buruk 51,0%

SD, dan ibu anak balita gizi baik 36,4% pendidikan SD. Hasil uji statistik menunjukkan adanya pengaruh pendidikan ibu terhadap gizi buruk anak balita dengan nilai p = 0,157 < α (0,05). Hal ini berarti ibu yang berpendidikan SD bukan berarti tidak mampu mengasuh dan merawat anak, dan sebaliknya ibu yang berpendidikan tinggi belum tentu juga mampu mengasuh dan merawat anak. Studi yang dilakukan Maryetti, dkk. (2008) pada keluarga di daerah non Gakin menunjukkan bahwa faktor yang berkaitan dengan terjadinya gizi buruk adalah ketidakpedulian orang tua terhadap kebutuhan gizi balita, meskipun sebenarnya mereka memiliki pengetahuan yang cukup baik.

(11)

Pengaruh Faktor Kemiskinan Terhadap Gizi Buruk

Kemiskinan merupakan penyebab pokok dari gizi buruk. Hasil penelitian di Kabupaten Madiun menunjukkan anak balita bergizi buruk 60% berasal dari keluarga miskin, dan anak balita bergizi baik 94,5% berasal dari keluarga tidak miskin. Hasil uji statistik menunjukkan adanya pengaruh kemiskinan terhadap gizi buruk dengan nilai p=0,000 < α (0,05). Hasil uji statistik multivariat menunjukkan anak balita dari keluarga miskin berisiko mengalami gizi buruk sebesar 26 kali.

Studi di Nusa Tenggara Timur pada tahun 2006 menunjukkan bahwa anak balita yang mengalami gizi buruk adalah anak balita yang kurang mendapat keragaman konsumsi makanan dan kurangnya konsumsi makanan dari sumber energi dan protein (Malawirawan, dkk, 2006). Penelitian di Kabupaten Madiun menunjukkan 41,1% anak balita dari keluarga miskin kurang mendapat asupan gizi dari kelompok nasi, 43,1% kurang mendapat asupan gizi dari sayur, 34,8% kurang mendapat asupan gizi dari kelompok buah, 30,4% kurang mendapat asupan gizi dari kelompok susu dan 44,8% kurang mendapat asupan gizi dari protein.

Menurut Nency & Arifin (2005) kemiskinan merupakan penyebab pokok dari gizi buruk, dan kemiskinan identik dengan tidak tersedianya makanan bergizi yang beragam dan adekuat. Penelitian di Kabupaten Madiun menunjukkan 83,3% keluarga miskin kurang tahan pangan dan 13,9% tidak tahan pangan. Hal ini karena mereka kurang mampu membeli bahan makanan yang bergizi terutama dari protein hewani dan susu yang harganya relatif mahal.

Kesimpulan

Berdasarkan hasil pembahasan dapat disimpulkan bahwa asupan gizi yang kurang pada anak balita di Kabupaten Madiun berpengaruh sebesar 7 kali mengalami gizi buruk.

Penyakit (frekuensi sakit yang sering) pada anak balita di Kabupaten Madiun berpengaruh sebesar 47 kali mengalami gizi buruk. Anak balita dari keluarga yang kurang memiliki ketersediaan pangan di Kabupaten Madiun berisiko sebesar 11 kali mengalami gizi buruk dibanding keluarga yang memiliki ketersediaan pangan yang baik. Perilaku dan budaya pengasuhan anak balita di Kabupaten Madiun yang cukup berpengaruh sebesar 5 kali mengalami gizi buruk dibanding perilaku dan budaya pengasuhan anak balita yang baik.

Ketersediaan pelayanan kesehatan tidak berpengaruh terhadap gizi buruk anak balita di Kabupaten Madiun. Ditemukan pula bahwa pendidikan ibu tidak berpengaruh terhadap gizi buruk anak balita di Kabupaten Madiun. Anak balita dari keluarga miskin di Kabupaten Madiun berisiko sebesar 26 kali mengalami gizi buruk. Faktor penyebab langsung yang

(12)

paling berpengaruh untuk terjadinya gizi buruk pada anak balita di Kabupaten Madiun adalah penyakit, dari kelompok tidak langsung tingkat pertama adalah ketersediaan pangan tingkat rumah tangga dan kelompok penyebab tidak kedua adalah kemiskinan.

Daftar Pustaka

Direktorat Jenderal Pembinaan Kesehatan Masyarakat, Direktorat Bina Gizi Masyarakat.

2000. Pedoman Tatalaksana Kurang Energi Protein pada Anak di Puskesmas dan Rumah Tangga. Departemen Kesehatan RI. Jakarta.

Direktorat Jenderal Pembinaan Kesehatan Masyarakat, Direktorat Bina Gizi Masyarakat.

2008. Sistem Kewaspadaan Dini (SKD) KLB-Gizi Buruk. Departemen Kesehatan RI. Jakarta.

Direktorat Jenderal Pembinaan Kesehatan Masyarakat, Direktorat Bina Gizi Masyarakat.

2008. Pedoman Respon Cepat Penanggulangan Gizi Buruk. Departemen Kesehatan RI. Jakarta.

Malawirawan, Lalu; Aryani Ch.K.; Lidya Y.H. Bolo; Yosef R. 2006. Gambaran Determinan Gizi Buruk pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Kabukarudi Kecamatan Lamboya Kabupaten Sumba Barat Nusa Tenggara Timur.

http://www.litbang.depkes.go.id/risbinkes/Buku%20 Laporan%20Penelitian%202006.

Maryetti; Ematip dan Almaizon. 2008. Pengetahuan Ibu tentang Gizi Pada Keluarga Non Gakin di Desa Talawi Hilir Kota Sawahlunto Padang. http://www.bpsnt- padang.info/index.php?option=com_content&task=

view%id=57&itemid...2/202010

Nency, Yetty. Arifin, Muhamad Thohar. 2005. GI ZI BU R U K, ANCA MA N GE N ERA SI Y AN G HI LA N G. Inpvasi Edisi Vol. 5/XVII http://io.ppi-jepang.org/article.

php?id=113

Sabri, L. & Hastono, S.P. 2006. Statistik Kesehatan. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Sururi, M. 2006. Penanggulangan Gizi Buruk. Akses di http://www. dinkes purworejo.go.id/index2.php?option=com_content&do_pdf=1&id=4

Referensi

Dokumen terkait

Karena itu, sejak awal dekade 1980an, telah muncul berbagai upaya sistematis untuk mengembangkan institusi pendidikan tinggi dalam bidang ekonomi dan keuangan Islam, yang

Berdasarkan perhitungan dengan analisis regresi, penelitian ini diperoleh harga r x1y sebesar 0,171 dengan nilai p 0,010 dan r tabel pada taraf signifikan 5% (0,05) dengan

Upaya untuk melakukan perbaikan terhadap produktivitas kerja dengan pendekatan ergonomic dapat dilakukan dengan berbagai cara, antara lain dengan perancangan fasilitas

Hiasan tersebut antara lain membentuk ambang pintu utama, membentuk jendela semu yang berada di kiri dan kanan pintu utama, membentuk ceruk tempat patung Bunda Maria

akan berjalan lancar apabila tidak adanya niat baik untuk menciptakan Hubungan antar manusia ( human relation ) dari orang-orang yang ada didalam perusahaan, baik itu

Variabel independen yang berpengaruh dalam estimasi produksi jagung di Indonesia pada tahun 2010 dengan metode robust estimasi-S adalah luas panen

The following English irregular verbs are now obsolete and use the standard past and participle forms (-ed). infinitive simple past

Pengambilan conto batubara in-situ dari singkapan atau endapan batubara yang tidak terlalu dalam dilakukan dengan p y g g.. pillar sampling atau chanel sampling dengan arah tegak